Ceritasilat Novel Online

Cinta Bernoda Darah 12


Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 12



"Baiklah, Suma-kongcu. Aku percaya kepadamu. Tunggu kuambil buntalan pakaianku sebentar."

   Sian Eng cepat memasuki kamarnya dan tak lama kemudian ia keluar lagi membawa buntalan pakaiannya.

   Ia tidak meninggalkan pesanan sesuatu untuk Lin Lin karena ia maklum bahwa kalau ia meninggalkan pesan, tentu Lin Lin akan mengejarnya. Karena ini pula, sengaja ia tidak berpesan sesuatu kepada para hwesio, dan Suma Boan sudah memberi ingat kepada para hwesio agar tidak memberitahukan siapa pun juga tentang kedatangannya malam hari itu. Di luar kuil, para anak buah Suma Boan menjaga sambil bersembunyi. Hanya Tok-sim Lo-tong yang muncul menjumpainya. Sian Eng memandang dengan mata terbelalak dan hatinya merasa ngeri. Orang yang muncul seperti bayangan setan ini, tidak dapat ia mengikuti gerakannya dan dari mana datangnya, adalah seorang laki-laki yang bentuknya seperti anak kecil bodoh, tapi tubuhnya sudah tinggi melebihi tingginya orang biasa.

   Kepalanya gundul plontos, tubuhnya kurus sekali. Laki-laki ini sudah tua, buktinya wajahnya yang kurus penuh keriput dan mulutnya yang selalu terbuka itu dihias gigi-gigi ompong. Hebatnya, orang ini tidak berpakaian, atau lebih tepat, hanya memakai cawat, yaitu kain panjang yang dilibatkan di sekeliling pinggang dan paha untuk menyembunyikan anggauta rahasia saja. Kakinya pun tidak bersepatu. Akan tetapi, biarpun orang ini lebih pantas disebut orang gila yang terlepas dari neraka, atau sebangsa siluman yang tersesat keluar dari neraka, ternyata Suma Boan bersikap amat hormat. Dengan suara seperti orang sakit napas, orang yang seperti bocah cacingan ini bertanya tak acuh,

   "Mana Suling Emas?"

   Belum habis pertanyaannya ia sudah menguap dengan suara memuakkan.

   "Harap Locianpwe sudi maafkan. Dugaan teecu keliru, ternyata dia tidak berada di sini, malah dua orang musuh teecu juga sudah kabur. Teecu persilakan Locianpwe bersama teecu malam ini mengaso di rumah adik teecu di kota raja. Besok pagi-pagi kita berangkat ke Nan-cao."

   "Suruh aku tidur di rumah gedung? Huh-huh, tak sudi, Aku tidur di kolong jembatan di luar kota, besok kita bertemu di luar tembok kota"

   Setelah berkata demikian, tanpa memberi kesempatan kepada Suma Boan untuk menjawab, ia menoleh ke kiri dan mulutnya mengeluarkan suara seperti cecak. Hampir Sian Eng meloncat kaget dan jijik ketika tiba-tiba terdengar suara mendesis dan seekor ular sebesar paha dan panjangnya dua meter lebih merayap dari tempat gelap, langsung merayap melalui kaki yang kurus panjang itu, terus melingkar dengan enaknya pada pinggang, dada dan leher. Kemudian, alangkah kaget dan herannya Sian Eng ketika sekali menggerakkan kaki-kakinya yang panjang, Si Jangkung itu telah lenyap seperti amblas ke dalam bumi saja. Sian Eng menjadi kagum, heran, ngeri, jijik dan takut. Ia merasa seperti berhadapan dengan seorang iblis lain, yaitu Hek-giam-lo. Suma Boan tersenyum melihat Sian Eng berdiri dengan muka pucat dan mulut setengah terbuka itu.

   "Nona Kam, tidak aneh melihat kau terheran-heran. Beliau tadi bukanlah seorang biasa, melainkan seorang sakti yang amat terkenal di dunia kang-ouw. Julukannya adalah Tok-sim Lo-tong dan nama besarnya tidak kalah oleh Suhu It-gan Kai-ong sendiri. Beliau adalah seorang di antara Thian-te Liok-koai, kesaktiannya tak perlu dibicarakan lagi. Dengan beliau sebagai teman seperjalanan, aku tidak takut kepada siapa pun juga, dan kita akan melakukan perjalanan dengan aman ke Nan-cao."

   "Kau maksudkan kita kita akan melakukan perjalanan bersama.. dia tadi?"

   Suma Boan tertawa dan giginya yang putih berkilau tertimpa sinar bulan,

   "Tidak usah kau takut, Nona. Dia tidak akan mengganggumu, malah menjadi pelindung kita. Pula eh, perlu kunyatakan bahwa dengan adanya aku di sampingmu, tak perlu kau takut apa pun juga. Biarpun tidak secara langsung agar tidak membuat kaget gadis yang masih hijau ini, Suma Boan mulai dengan rayuannya. Kemudian ia mengajak Sian Eng berjalan menuju ke tengah kota di mana terdapat sebuah gedung yang mentereng dan bagus, gedung seorang pangeran"

   Sambil berjalan, mulailah Suma Boan bercerita. Secara singkat ia telah menceritakan hal ini kepada Bu Sin, akan tetapi kalau kepada Bu Sin ia bercerita dengan penuh kebencian, tidaklah demikian kali ini.

   "Kakakmu Liu Bu Song itu dahulu adalah seorang pelajar miskin yang datang ke kota raja untuk mengikuti ujian. Melihat wajahnya yang tampan dan bakatnya yang baik dalam kesusastraan, Ayahku, pada masa itu kepala pengawas ujian, menaruh kasihan. Apalagi karena kakakmu gagal dalam ujian. Ayah lalu menolongnya, memberi pekerjaan sebagai tata usaha di gedung perpustakaan yang juga menjadi pegangan Ayah. Ia rajin dan pekerjaannya dilakukan dengan baik sehingga Ayah makin sayang dan percaya kepadanya. Kadang kala kakakmu itu disuruh melakukan pekerjaan tulis-menulis di gedung kami. Malah ia bersahabat baik denganku, karena usia kami memang sebaya dan aku tidaklah demikian lancar dalam pelajaran sastra. Ia banyak membantuku dalam hal itu."

   Pemuda bangsawan itu berhenti dan menarik napas panjang. Sian Eng senang sekali mendengar cerita ini. Ah, kiranya dia ini sahabat baik kakakku?

   "Ceritamu itu baik sekali. Tapi, mengapa lalu terjadi permusuhan, Kongcu?"

   "Nona, amatlah tidak enak mendengar suaramu yang merdu lewat mulutmu menyebutku Kongcu.."

   "Akan tetapi, kau seorang putera pangeran.."

   "Dan kau pun puteri seorang goan-swe (jenderal). Setelah kuketahui bahwa kau ini adik Bu Song yang pernah menjadi sahabat baikku, perlukah kita saling bersikap sungkan? Apalagi kita akan mengadakan perjalanan jauh bersama, alangkah tidak enaknya kalau kau menyebut Kongcu dan aku menyebut Siocia."

   Jantung dalam dada Sian Eng bergelora, membuat mukanya terasa panas. Biarpun mereka berjalan di bawah sinar bulan yang remang-remang karena terhalang awan sehingga mukanya takkan tampak, namun Sian Eng menunduk, khawatir terlihat wajahnya yang membayangkan gelora hatinya.

   "Habis.. bagaimana..?"

   Katanya setengah berbisik. Suma Boan menatap wajah yang tunduk itu, hatinya girang bukan main. Gadis ini cantik manis, biarpun kepandaiannya hanya lumayan saja, namun wataknya gagah berani, dan puteri jenderal besar pula, lebih penting lagi, dia ini adik Bu Song.

   "Karena kau terlalu sungkan tadi, aku sendiri sampai takut menanyakan nama. Bolehkah aku mengetahui namamu dan selanjuthya kupanggil kau adik, sedangkan kau menyebutku kakak?"

   Makin panas kedua pipi Sian Eng. Tiba-tiba kakinya tersandung batu dan ia hampir terguling. Suma Boan cepat-cepat menangkap lengannya untuk mencegah gadis itu jatuh.

   "Hati-hati.."

   Serunya. Agak lama juga baru lengan ini dilepas kembali. Padahal, seorang dengan kepandaian seperti Sian Eng, tak mungkin bisa jatuh hanya karena tersandung batu kakinya. Hal ini keduanya cukup maklum.

   "Namaku Kam Sian Eng.."

   "Nama yang indah. Adik Sian Eng, kau tentu sudi menyebutku kakak, bukan?"

   Dengan suara lirih dan kepala tetap tunduk Sian Eng menjawab.

   "Tentu saja, akan tetapi, kita baru saja berkenalan.. dan.. aku masih belum tahu apakah kau ini terhitung sahabat ataukah musuh.."

   "Ha-ha-ha-ha, kau lucu"

   Tapi benar juga, memang ceritaku tadi belum selesai. Nah kau dengarlah, Bu Song bekerja pada Ayah sampai lebih dari tiga tahun. Pada suatu malam.. ah, malam celaka itu.. kakakmu tertangkap basah sedang berduaan dengan adikku perempuan bernama Suma Ceng.."

   Hening sejenak dan terdengar Sian Eng memprotes,

   "Ah.. tapi.. tapi tentu adikmu.. eh, suka kepadanya."

   "Itulah soalnya, Kiranya sudah lama juga agaknya, lebih setahun, mereka itu saling mencinta di luar tahu semua orang. Akan tetapi kau tahu sendiri, tak mungkin Ayah menyetujui hal ini. Pertama, adikku itu sudah ditunangkan dengan Pangeran Kiang. Ke dua, kakakmu yang mengaku she Liu itu memperkenalkan diri sebagai seorang sebatangkara yang tak berayah ibu lagi, bahkan katanya datang dari sebuah dusun kecil, sama sekali tidak berdarah bangsawan. Maka tadi kukatakan, sayang kami tidak tahu bahwa dia itu putera seorang jenderal"

   "Kemudian bagaimana? Lalu kakakku itu.. diapakan dia?"

   Suara Sian Eng mengandung was-was, juga berada di pinggir jurang kemarahan dan dendam. Tentu saja seorang yang berpengalaman cukup macam Suma Boan tahu akan hal ini dan ia sudah berhati-hati.

   "Aku tidak dapat menyalahkan Ayahku dalam hal ini. Ayah marah dan malu bukan main. Kalau tidak kucegah, agaknya adikku itu sudah dibunuhnya malam hari itu juga. Baiknya dapat kudinginkan hatinya, adikku diampuni dan Bu Song dimasukkan dalam penjara. Sebagai seorang yang dianggap tak kenal budi, sudah ditolong oleh Ayah sampai tiga tahun lebih, kiranya membalas dengan penghinaan yang mencemarkan nama baik keluarga. Ayah tak dapat mengampuninya, lalu menyerahkan kepadaku untuk membunuh Bu Song.."

   "Ahhhhh.."

   Sian Eng menghentikan langkahnya, membalik dan memandang wajah Suma Boan dengan mata berapi.

   "Tidak, Adik Sian Eng. Jangan kau sangka bahwa aku mau begitu saja membunuh seorang yang sudah tiga tahun menjadi sahabat baikku? Tidak, Tentu saja di depan Ayah aku tidak berani membantah, karena aku pun dapat menyelami perasaan Ayah dan secara jujur aku harus membenarkan hukuman itu. Namun, betapapun juga, aku tidak tega untuk melakukan perintah Ayah. Aku lalu mendatangi Bu Song di kamar tahanan, dan berunding dengannya. Aku hendak menjalankan siasat, menyuruh teman-teman dari luar kota yang pandai untuk tiga hari kemudian, malam-malam menyerbu dan membebaskan Bu Song. Dengan akal demikian Bu Song akan tertolong dan aku sendiri tidak disalahkan Ayah karena memang tahanan diserbu penjahat-penjahat pandai."

   Kembali pemuda bangsawan itu berhenti, menjadi ragu-ragu.

   "Kemudian bagaimana.. Koko?"

   Diam-diam Suma Boan tersenyum girang karena jalan ceritanya telah membuat hati gadis itu kembali mesra terhadapnya, sehingga menyebutnya koko (kanda) dengan suara demikian merdu dan mesra. Tentu saja Sian Eng takkan berani menyebutnya koko kalau saja ia tidak mendahului menyebut gadis itu adik.

   "Untuk memudahkan rencanaku itu, pada malam hari ke tiganya, di depan Ayah aku mencambuki Bu Song dan mengikatnya pada balok bersilang.."

   "Seperti yang kau lakukan terhadap kakakku Bu Sin itu? Apakah kau juga menyiksa kakak Bu Song dengan anak panahmu?"

   Bukan main kagetnya hati Suma Boan mendengar pertanyaan ini. Hampir saja ia melompat menjauhi, seakan-akan pertanyaan itu merupakan seekor ular berbisa yang menyerangnya tiba-tiba. Akan tetapi melihat sikap Sian Eng masih biasa, hanya pada suaranya terkandung kegetiran, ia dapat menguasai perasaannya dan berkata.

   "Dari mana kau bisa tahu tentang kakakmu Bu Sin? Apakah kau sudah berjumpa dengannya?"

   "Belum. Akan tetapi aku mendengar dari Suling Emas.."

   "Ahhh"

   Kiranya dia pula yang telah membawa pergi Bu Sin? Heran sekali.."

   "Mengapa heran? Dia seorang pendekar yang sakti."

   "Aneh sekali.. dia benar-benar orang aneh.."

   Suma Boan berkata lirih, kepada diri sendiri.

   "Memang dia aneh, akan tetapi sakti dan kalau tidak ada dia, agaknya aku dan Kakak Bu Sin tentu telah tewas."

   "Kau tidak tahu akan urusannya, Moi-moi. Dengarlah baik-baik, dan kau akan mengerti mengapa aku menjadi marah dan benci kepada Bu Song sehingga ketika kau dan Bu Sin muncul, aku tidak dapat menahan kemarahanku. Telah kuceritakan tadi, aku menyiksa Bu Song hanya untuk main sandiwara di depan Ayah saja. Terang saja aku hanya mencambukinya agar Ayah percaya. Lalu aku dan Ayah pergi meninggalkan Bu Song terikat di taman dan aku mengerti bahwa menjelang tengah malam, tentu teman-temanku yang sudah siap akan datang menyerbu dan membawanya lari keluar kota. Akan tetapi, apa yang terjadi? Teman-temanku benar menyerbu, akan tetapi.. Bu Song sudah tidak ada lagi di sana. Kegagalan ini membuka rahasiaku sehingga Ayah marah bukan main kepadaku dan hampir aku diusirnya kalau saja Ibu tidak turut campur. Nah, karena melanggar janji dalam rencana itulah aku menjadi benci kepada Bu Song. Apalagi setelah beberapa tahun kemudian, adikku sudah menikah dengan pangeran tunangannya, Bu Song secara sembunyi muncul lagi dan bahkan berani mengunjungi taman adikku, mengadakan pertemuan di sana"

   "Apa..?"

   Sian Eng berseru dengan hati tidak karuan. Heran, penasaran, juga terharu sekali. Demikian besarkah cinta kasih kakaknya terhadap Suma Ceng sehingga kakaknya tidak melihat kenyataan bahwa kekasihnya itu sudah menjadi isteri orang lain?

   "Itulah sebabnya mengapa aku tidak dapat menahan sabar lagi ketika melihat kau dan Bu Sin muncul dan mengaku sebagai adik dari Bu Song. Apalagi terhadap Bu Sin yang ketika kuceritakan hal ini malah membela kakaknya, sehingga kemarahanku menjadi-jadi. Baiknya aku masih ingat dan tidak membunuhnya, dan bukan main bingung hatiku ketika melihat kau lenyap. Syukur kau telah tertolong dari tangan Hek-giam-lo yang mengerikan."

   "Kalau begitu.. agaknya.. Kakak Bu Song memang keterlaluan. Kalau kekasihnya, adikmu itu sudah menjadi isteri orang lain, tidak semestinya ia datang mengunjunginya. Akan tetapi, bagaimana kau bisa tahu bahwa kita akan dapat bertemu dengan dia di Nan-cao?"

   "Dia mempunyai hubungan dengan Kerajaan Nan-cao, kita pasti akan bertemu dengannya di sana. Kau percayalah kepadaku Adik Sian Eng."

   "Kalau aku tidak percaya kepadamu, masa aku suka ikut?"

   Mereka memasuki pekarangan sebuah gedung indah. Beberapa orang penjaga segera maju menghadang, akan tetapi mereka cepat memberi hormat ketika melihat Suma Boan membuka pintu depan dan seorang di antara mereka berlari-lari ke dalam untuk melaporkan kedatangan mereka. Suma Boan mengajak Sian Eng terus ke dalam, malah dengan ramah ia menggandeng tangan gadis itu.

   Di ruangan tengah mereka disambut oleh seorang wanita yang cantik sekali dan mengenakan pakaian mewah. Sejenak Sian Eng tercengang dan kagum. Wanita itu lebih tua beberapa tahun daripadanya, wajahnya yang cantik jelita membayangkan keagungan, rambutnya yang panjang hitam itu digelung indah dan dihias permata mutu manikam. Sepasang matanya yang bersinar-sinar, dagunya yang runcing dan tubuhnya yang langsing padat mengingatkan ia akan Lin Lin. Akan tetapi, tentu saja berlainan sekali karena Lin Lin mempunyai kecantikan yang asing, sedangkan wanita ini adalah seorang yang cantik seperti dewi dalam gambar. Ia cepat-cepat menjura dengan hormat ketika wanita itu berkata, suaranya halus dengan gerak-gerik yang lemah gemulai.

   "Twako, malam-malam begini kau datang mengunjungiku, dari manakah dan ada keperluan apa? Dan adik ini, siapa?"

   Sian Eng kini memandang sekali lagi, dengan penuh perhatian setelah mengerti bahwa inilah kiranya wanita yang menjadi kekasih hati kakaknya. Ah, pantas saja kakak sulungnya tergila-gila, karena memang wanita ini hebat. Diam-diam ia menaruh kasihan kepada kakaknya, juga kepada wanita ini, yang ternyata telah gagal dalam percintaan.

   "Ceng-moi aku mempunyai urusan di kota raja sehingga agak terlambat datang ke sini. Besok pagi-pagi aku akan berangkat ke selatan, menghadiri pesta Agama Beng-kauw di Nan-cao bersama Nona Sian Eng ini. Maafkan kalau aku mengganggu, tapi mana suamimu?"

   Pandang mata Sian Eng yang tajam menangkap wajah yang tiba-tiba muram itu, dan suaranya yang halus merdu tadi berubah tergetar membayangkan batin yang tertekan,

   "Ah.. dia tidak berada di rumah, semenjak sore tadi pergi bersama teman-temannya.."

   Kemudian suaranya meninggi, wajahnya berseri lagi seakan-akan ia memaksa diri melupakan hal itu dan mengubah percakapan.

   "Adik ini tentu lihai sekali ilmu pedangnya. Adik, kau murid siapa, Twako, biarkan dia tidur bersamaku agar kami dapat bercakap-cakap, kau sendiri pakailah kamar di sebelah timur. Akan kuperintahkan pelayan membereskannya."

   Suma Boan tersenyum, menyatakan baik lalu meninggalkan dua orang wanita itu. Akan tetapi sebelum lenyap di ruangan lain, terdengar suaranya.

   "Asal kau tahu saja bahwa Adik Sian Eng adalah adik dari Bu Song."

   Suma Ceng menahan seruannya dengan menaruh tangan kiri di depan mulut, matanya terbelalak memandang Sian Eng, wajahnya menjadi pucat. Sian Eng makin kasihan melihat ini dan maklumlah ia bahwa biarpun wanita ini sudah bersuamikan orang lain namun tetap mencinta kakaknya. Ia cepat memegang tangan Suma Ceng dan berkata,

   "Enci, harap kau jangan kaget. Pertemuan ini tidak kusengaja, hanya kebetulan saja. Baru saja aku mendengar tentang kakakku dan kau. Selama hidupku belum pernah aku bertemu dengan Kakak Bu Song dan sekarang aku sedang mencarinya. Suma-kongcu menyatakan bahwa kalau aku ikut dengannya ke Nan-cao, pasti aku akan dapat bertemu dengan Kakak Bu Song di sana."

   Suma Ceng menarik tangan Sian Eng.

   "Adik Sian Eng, marilah kita bicara di dalam kamarku.."

   Dari suaranya, tahulah Sian Eng bahwa wanita itu menahan isak, agaknya menjadi amat terharu. Maka ia pun mengikutinya dengan hati berdebar karena ia merasa yakin bahwa dari mulut yang mungil ini ia akan dapat mendengar banyak tentang diri kakaknya.

   "Heeeiiiii"

   Dengar kalian semua"

   Aku Si Suling Emas selamanya tidak pernah bermusuhan dengan orang-orang Nan-ping maupun Nan-han dan kerajaan-kerajaan di selatan lainnya. Mundurlah dan biarkan kami lewat, kami sedang menuju ke Nan-cao untuk menghadiri perayaan Beng-kauw di sana. Mundur, aku tidak suka membunuh kalian"

   Biarpun teriakan Suling Emas itu bagaikan halilintar dan sulingnya digerakkan menjadi segulungan awan kuning yang hebat, ditambah pula di sebelahnya terdapat Lin Lin yang juga menggerakkan pedangnya sehingga gulungan sinar kuning yang lebih muda menyilaukan mata dan mengandung hawa dingin mengancam para pengurung, namun puluhan orang yang mengurung mereka itu tidak mau mundur, malah mendesak makin hebat.

   "Jangan kira aku takut, tikus-tikus tak tahu diri"

   Suling Emas membentak dan terdengarlah bunyi senjata yang patah-patah ketika sulingnya bergerak membabat pedang dan golok yang malang-melintang di depannya.

   "Lin Lin, serang dan robohkan mereka, tapi jangan bunuh"

   Akan tetapi jumlah pengeroyok makin banyak dan mereka berteriak-teriak,

   "Bunuh anjing pengkhianat, Jangan percaya omongan anjing penjilat Sung Utara"

   Suling Emas dan Lin Lin dalam perjalanan mereka tiba di luar kota Ban-in di pinggir Sungai Yang-ce-kiang, dan di tempat inilah mereka dihadang kemudian dikeroyok oleh banyak sekali orang yang kesemuanya mahir ilmu silat dan membawa senjata. Hal ini saja cukup membayangkan bahwa mereka ini memang sudah berjaga di situ, dan bahwa pencegatan terhadap Suling Emas dan Lin Lin memang sudah diatur lebih dulu.

   Biarpun puluhan orang pengeroyok itu adalah orang-orang yang melihat gerakan-gerakannya, ternyata pandai mainkan senjata tajam, namun mereka bukanlah lawan Lin Ling apalagi Suling Emas. Sebentar saja, golok-golok dan pedang-pedang berpelantingan, dan tubuh-tubuh terluka roboh saling tindih. Tiba-tiba terdengar suara gerengan yang menggetarkan bumi. Agaknya suara ini merupakan komando karena para pengeroyok makin nekat dan mendesak, kemudian muncullah di antara para pengeroyok itu dua orang yang hebat-hebat. Mereka adalah dua orang laki-laki tua yang hampir telanjang. Hanya cawat dan celana yang menutupi tubuh mereka. Biarpun keduanya sama menjijikkan seperti binatang atau manusia hutan yang liar, namun keadaan mereka jauh berbeda.

   Yang seorang bertubuh gemuk dan di tengkuknya terdapat daging punuk yang besar seperti punuk di punggung sapi jantan. Kedua lengannya panjang berbulu, kelihatan kuat sekali sedangkan sepuluh jari tangannya berkuku panjang dan kotor. Kepalanya gundul, mata dan mulutnya membayangkan kebuasan yang mengerikan. Orang ke dua tinggi kurus, juga tak berbaju, hanya bercawat, juga gundul dan mukanya sama buas dan mengerikan. Kita pernah bertemu dengan yang tinggi kurus itu, karena ia bukan lain adalah Tok-sim Lo-tong, sahabat baik It-gan Kai-ong yang melakukan perjalanan bersama Suma Boan. Adapun yang gendut itu juga bukan tokoh sembarangan, karena dia adalah kakak Si Tinggi Kurus, berjuluk Toat-beng Koai-jin (Manusia Aneh Pencabut Nyawa). Seperti juga Tok-sim Lo-tong, Toat-beng Koai-jin ini termasuk seorang di antara Thian-te Liok-koai Si Enam Jahat. Melihat munculnya dua orang kakak beradik ini, kagetlah Suling Emas, akan tetapi ia pun menjadi marah sekali.

   "Aha, kiranya Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong dua manusia buas yang berdiri di belakang semua ini? Kalian mau apa?"

   "Heh-heh, Suling Emas, menyerah kau dan gadis itu"

   Toat-beng Koai-jin menggeram, air liurnya menetes dari pinggir mulut. Lin Lin mengkirik penuh kengerian.
(Lanjut ke Jilid 12)
Cinta Bernoda Darah (Seri ke 03 "

   Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 12
"Suling Emas, menyerahlah menjadi tawananku kalau mau selamat"

   Si Tinggi Kurus Tok-sim Lo-tong mengeluarkan suaranya yang tak enak didengar. Tiba-tiba Suling Emas tersenyum lebar dan Lin Lin yang menoleh kepadanya menjadi bengong. Baru kali ini ia melihat Suling Emas tersenyum lebar. Wajahnya berubah sekali, kemuraman lenyap, wajah itu berseri-seri menjadi amat tampan. Alangkah inginnya dapat melihat Suling Emas seperti itu selalu.

   "Kalian kira aku manusia macam apa, bisa kalian ancam untuk menyerah?"

   "Heh-heh, aku tahu kau tentu melawan. Lebih baik lagi, tinggal menyeret bangkaimu kubawa pulang"

   Toat-beng Koai-jin terkekeh lalu menerjang maju, menubruk Lin Lin. Gerakannya kelihatan lambat, tubuhnya begitu besar dan kaku akan tetapi entah bagaimana, tubrukan ini hampir tak terhindarkan oleh Lin Lin. Baiknya ia cepat mengayun pedang yang menjadi sinar kuning berkelebat di depan tubuhnya, merupakan senjata yang amat kuat dan agaknya Toat-beng Koai-jin maklum pula akan keampuhan pedang pusaka ini maka ia menggeram dan mengubah gerakan menubruk menjadi gerakan mencengkeram dari samping bawah.

   Sementara itu, Tok-sim Lo-tong juga sudah mengeluarkan senja istimewa, yaitu seekor ular yang besar dan panjang. Ular dilibatkan di leher dan pinggang, ia sendiri memegang leher ular dan bersilatlah ia dengan kacau-balau menerjang Suling Emas. Biarpun kelihatannya ia berjingkrak dan bersilat kacau-balau seperti itu, namun Suling Emas yang sudah mengenalnya maklum bahwa Si Tinggi Kurus ini amat hebat kepandaiannya. Justeru di dalam kekacau-balauan gerakan inilah terletak kekuatannya, apalagi "senjata"

   Ular hidup itu bisa mulur dan mengkeret, amat sukar diduga perkembangannya. Angin pukulan yang menyambar-nyambar disertai bau amis dan berbisa, membayangkan teraga sin-kang yang mujijat, bercampuran dengan hawa ilmu hitam dan hawa beracun. Di samping ini, masih banyak sekali orang yang mengeroyok Suling Emas dari kanan kiri dan belakangnya.

   Mendapat lawan Tok-sim Lo-tong yang lihai ditambah banyak pengeroyok itu sama sekali tidak membikin gentar hati Suling Emas, akan tetapi yang membuat ia khawatir sekali adalah keadaan Lin Lin. Ia maklum bahwa betapapun lihainya Lin Lin dengan ilmu warisan dari Kim-lun Seng-jin, namun gadis itu masih jauh belum cukup kuat untuk menandingi seorang lawan yang seperti Toat-beng Koai-jin, seorang di antara Thian-te Liok-koai.

   "He, Toat-beng Si Lembu Edan, tidak malukah kau melawan seorang gadis cilik? Hayo kau sekalian maju mengeroyokku"

   Bentak Suling Emas seraya mainkan sulingnya sedemikian rupa sehingga gulungan sinar sulingnya itu menahan semua pengeroyok. Akan tetapi, kiranya malah Lin Lin yang menjawab,

   "Siapa gadis cilik? Aku bukan kanak-kanak lagi. Monyet gundul liar menjemukan, jangan dengarkan dia, hayo kau layani pedangku kalau memang berani"

   Lihat, ujung pedangku akan mendodet perutmu yang gendut kebanyakan makan itu"

   Lin Lin menerjang hebat sambil memutar pedangnya dan dengan hati-hati, karena maklum akan kelihaian lawan, ia mainkan ilmunya Khong-in-liu-san sambil mengerahkan tenaga sakti dengan Ilmu Khong-in-ban-kin. Toat-beng Koai-jin yang tadinya memandang rendah dan menyerbu gadis itu sambil tertawa-tawa, diam-diam kaget juga karena ini. Biarpun ia kelihatan buas dan liar seperti orang hutan, namun dalam hal ilmu silat di dunia kang-ouw, sebagian besar telah dikenalnya, maka ia mengenal pula Ilmu Khong-in (Awan Kosong) ini.

   "Heh, kau murid Kim-lun Seng-jin? Bagus, tentu gurih dagingmu dibakar setengah matang. Heh-heh"

   Tiba-tiba kakek liar ini menyambar dua orang pengeroyok suling Emas, memegang pada kakinya dan menggunakan dua "senjata hidup"

   Ini menerjang Lin Lin. Lin Lin kaget setengah mati. Terpaksa ia menggerakkan pedang menangkis.

   "Crak"

   Crak"

   Darah menyembur karena tubuh dua orang itu terbabat putus oleh pedangnya. Kakek itu tertawa-tawa dan.. menggelogok darah yang tersembur keluar itu ke dalam mulutnya, seperti orang kehausan minum air es. Kemudian ia melemparkan dua mayat itu dan sekali lagi ia menyambat kaki dua orang pengeroyok.

   Lin Lin meramkan matanya melihat kakek itu minum darah, wajahnya menjadi pucat dan kakinya menggigil. Tapi kembali Toat-beng Koai-lojin sudah menerjagnya dengan dua "senjata hidup". Lin Lin kewalahan, terpaksa kembali ia menangkis dan kembali dua orang itu mati seketika dengan perut dan dada terbelah. Tangan Lin Lin yang memegang pedang gemetar dan sebelum ia tahu apa yang terjadi, tiba-tiba kakek itu telah menubruknya dan sebuah ketukan keras pada pergelangan tangannya membuat Lin Lin terpaksa melepaskan pedangnya. Tubuhnya tiba-tiba menjadi lemas dan ia sudah disambar oleh Toat-beng Koai-jin yang tertawa terkekeh-kekeh sambil membawa lari tubuh Lin Lin yang lemas.

   "Toat-beng Koai-jin, kalau kau mengganggu dia, aku bersumpah akan menyiksamu dan memotong-motong dagingmu sekerat demi sekerat"

   Bentakan Suling Emas ini keras sekali dan tiba-tiba sulingnya melakukan gerakan-gerakan aneh sekali, begitu halus akan tetapi mengandung kekuatan yang bukan main sehingga dalam sekejap mata enam orang pengeroyok terguling roboh sedangkan Tok-sim Lo-tong sendiri terdorong mundur sampai lima langkah.

   "Ihhhhh.. ilmu apakah ini..?"

   Tok-sim Lo-tong berseru kaget, akan tetapi ia mendesak lagi, dibantu oleh para pengeroyok yang nekat, menghalangi Suling Emas mengejar Toat-beng Koai-jin. Memang hebat gerakan Suling Emas tadi. Dalam kemarahan dan kegelisahannya melihat Lin Lin tertawan, ia tadi mainkan jurus dari ilmu silat yang ia terima dari Bu Kek Siansu.

   Girang hatinya melihat hasil ini, dan tahulah ia bahwa ilmu silat sastra ini sama sekali tidak dikenal Tok-sim Lo-tong sehingga tentu saja hasilnya amat baik. Cepat sulingnya bergerak lagi, membuat huruf KOK (Negara). Huruf ini mengandung gerakan dalam yang rumit, akan tetapi dilingkari garis-garis segi empat yang melengkung. Kembali empat orang pengeroyok roboh dan ketika tubuh Suling Emas melayang dalam pembuatan gerakan melingkar, tahu-tahu ia telah bebas dari pengepungan dan cepat ia berkelebat mengejar ke arah larinya Toat-beng Koai-jin. Akan tetapi yang dikejar telah lenyap, tidak tampak bayangannya lagi. Suling Emas memasuki kota Ban-sin, langsung menuju ke rumah Ouw-kauwsu, seorang guru silat di kota itu yang dikenalnya. Ouw-kauwsu terkejut dan girang bukan main melihat munculnya pendekar sakti ini. Cepat ia menjura dengan hormat dan dengan wajah berseri-seri ia berkata.

   "Wah, tak pernah mimpi siauwte akan menerima kehormatan besar dengan kunjungan Taihiap "

   "Ouw-kauwsu, ada urusan penting. Maaf, aku ingin singkat saja. Tahukah kau di mana aku dapat menjumpai Toat-beng Koai-jin? Lekas, sekarang juga"

   Berubah wajah Ouw-kauwsu, terang bahwa dia menjadi ketakutan.

   "Memang.. memang kulihat dia dalam bulan ini berada di Ban-sin, biasanya dia di.. di dalam kuil.."

   
Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Heh-heh-heh, Suling Emas. Tak usah repot-repot, aku sudah berada di sini"

   Tiba-tiba terdengar suara keras dan parau. Suling Emas dan Ouw-kauwsu cepat memutar tubuh dan.. kiranya manusia iblis yang dijadikan bahan percakapan itu telah berada di situ, duduk nongkrong di atas tiang melintang dekat langit-langit rumah sambil menggerogoti daging dari tulang paha, entah paha apa"

   Dan pada saat itu juga, terdengar suara orang mengomel,

   "Nanti dulu.. tenanglah, kau ajak aku berlari-lari. Kalau betul dia Suling Emas, mau apa? Mau suruh dia tiup suling? Eh, tidak enak memasuki rumah orang seperti ini. Heee, tuan atau nyonya rumah. ke mana kalian? Wah, agaknya rumah kosong.."

   Munculiah orangnya yang berkata-kata itu. Kiranya dia seorang kakek pendek, kumis dan jenggotnya jarang, sikapnya lucu dan selalu terkekeh. Di belakangnya berjalan seorang gadis cantik yang bukan lain adalah Sian Eng. Begitu memasuki ruangan itu, kakek lucu ini melihat Suling Emas dan Ouw-kauwsu berdongak memandang ke atas. Ia pun ikut memandang dan tiba-tiba ia berseru kaget.

   "Eh, eh, anak nakal.. kenapa kau naik ke sana? Hayo turun lekas.. wah, kalau jatuh bisa pecah punukmu. Turun.. turun.."

   Ia menggapai-gapai tangannya menyuruh turun. Akan tetapi Toat-beng Koai-jin hanya memandang sambil menyeringai dan melanjutkan kesibukannya yaitu menggerogoti daging.

   "Kau tidak turun? Celaka.. wah, aku paling ngeri melihat orang jatuh dari tempat tinggi.. hayo turunlah.."

   Ia lalu menghampiri tiang dan mulailah ia memanjat ke atas seperti seorang kanak-kanak memanjat pohon kelapa. Setelah ia tiba di atas, hampir sama tingginya dengan tempat di mana Toat-beng Koai-jin duduk nongkrong matanya terbelalak ketakutan.

   "Kau makan apa itu? Hiiiiihhh, daging itu masih mentah. Lihat ada darahnya, wah-wah, kau memang bocah nakal. Bisa kembung perutmu. Eh, bukankah kau ini si nakal Toat-beng Koai-jin? Ya, kukenal punukmu itu. Ihhh, tentu daging manusia yang kau makan. Wah, serem.. serem.."

   Bagaimanakah Sian Eng bisa datang bersama kakek pendek yang lucu ini dan siapakah gerangan kakek itu? Seperti telah kita ketahui, Sian Eng pergi bersama Suma Boan ke gedung indah milik adik Suma Boan yang bernama Suma Ceng. Seperti telah diduga oleh Sian Eng, setelah berada di dalam kamar berdua dengan bekas kekasih kakaknya ini, ia mendengar banyak tentang diri Bu Song. Kiranya cerita yang ia dengar dari Suma Ceng tiada bedanya dengan yang sudah didengarnya dari Suma Boan, hanya tentu saja, dari mulut Suma Ceng terdengar berlainan. Terang bahwa nyonya muda cantik ini benar-benar mencintai Bu Song.

   "Dia meninggalkan aku.."

   Suma Ceng mengakhiri ceritanya sambil menghapus air matanya.

   "Tapi.. untung Boan-ko menolongnya dan ia tidak sampai tewas. Aku dipaksa kawin.. sekarang sudah tiga orang anakku.. suamiku baik terhadapku.. aku berusaha melupakannya sedapat mungkin, tapi.. tapi.."

   Kembali ia menangis perlahan.

   "yang menyedihkan hatiku, aku tidak tahu bagaimana nasibnya sekarang, di mana ia berada.. kalau saja dia sudah menikah dengan gadis lain dan hidup bahagia.. akan terobatilah hatiku.."

   Sian Eng ikut menangis. Terharu hatinya mendengar cerita yang menyedihkan tentang asmara gagal yang diderita nyonya muda ini dan kakaknya.

   "Betapapun juga, kau sudah berumah tangga, sudah berputera, harap jangan memikirkan kakakku lagi,"

   Kata Sian Eng.

   "Dan kurasa kakakku juga berusaha melupakan peristiwa itu.."

   "Tak mungkin. Bu Song takkan dapat melupakan aku, sampai mati pun takkan ia dapat melupakan aku. Kami.. kami.. ah.."

   Kembali nyonya muda itu menangis sedih.

   "Siapa tahu.. ia malah telah membawa cinta kasihnya ke balik kubur.."

   Terisak-isak ia kini.

   "kalau aku tahu.. ah, aku pun lebih baik mati.."

   Terkejut juga hati Sian Eng. Bukan main. Kiranya cinta kasih antara mereka itu sudah demikian hebat.

   "Enci, harap kau tenangkan hatimu. Kakakku Bu Song belum mati dan besok aku diajak oleh Suma-kongcu menyusulnya. Aku akan sampaikan pesanmu kepadanya kalau aku bertemu dengan kakakku, akan kubujuk dia supaya menikah dengan gadis lain."

   "Betulkah? Benar-benar Boan-ko tahu di mana adanya Bu Song? Hati-hati, Adik Sian Eng.. dia.. kakakku itu.."

   Melihat keraguan ini, Sian Eng timbul curiga.

   "Ada apa dengan kakakmu?"

   "Dia baik, baik sekali kepadaku dan aku amat sayang kepadanya. Kami hanya berdua saudara dan dia amat sayang pula kepadaku. Tapi.. tapi.. ah, bagaimana aku bisa membiarkan adik Bu Song menjadi korban? Adik Sian Eng, terus terang saja, betapapun sayangku kepada kakakku, akan tetapi harus kuakui bahwa dia itu.. dia mudah terjatuh oleh wanita cantik. Dan kau amat cantik, adikku, kau cantik menarik. Aku khawatir kalau-kalau kau menjadi korbannya. Sudah terlalu banyak gadis-gadis tak berdosa jatuh ke tangan kakak kandungku. Kau adik Bu Song, aku harus memperingatkanmu, jangan kau bergaul dengannya. Kecuali.."

   Wajahnya menjadi bersinar.

   "ah, alangkah baiknya. Kecuali kalau ia betul-betul cinta kepadamu dan mau mengambilmu sebagai isteri. Ah, benar. Ini bagus sekali. Aku gagal berjodoh dengan Bu Song, sekarang sebagai gantinya adiknya berjodoh dengan kakakku, bukankah ini baik sekali?"

   Merah wajah Sian Eng.

   "Ah, Cici, omongan apakah ini? Siapa yang berpikir tentang jodoh?"

   Sampai di sini percakapan mereka berakhir dan malam hari itu Sian Eng tak dapat tidur nyenyak biarpun ia mendapatkan kamar yang indah dan tempat tidur yang mewah. Hatinya merasa tidak enak.

   Akan tetapi Suma Boan ternyata pintar sekali mengambil hati. Ia memperlihatkan sikap sopan dan menghormat sehingga Sian Eng mulai percaya lagi kepadanya. Peringatan Suma Ceng sudah hampir lenyap bekasnya di hati, sungguhpun ia selalu masih berhati-hati dan tidak kehilangan kewaspadaannya. Perjalanan jauh itu dilakukan dengan penuh kegembiraan karena sikap Suma Boan yang baik, dan makin kagumlah Sian Eng ketika melihat betapa hampir di setiap kota dan dusun, putera pangeran ini agaknya mempunyai sahabat-sahabat yang amat hormat dan tunduk terhadapnya. Akhirnya tibalah mereka di kota Ban-sin dan Suma Boan mengajaknya bermalam di kota ini. Juga di sini Suma Boan mempunyai banyak hubungan. Malah ia diterima oleh seorang pembesar, dipersilakan bermalam di sebuah rumah gedung yang dijaga oleh perajurit-perajurit, diperlakukan dengan segala kehormatan.

   Yang membuat Sian Eng kaget bukan main adalah ketika ia melibat bayangan It-gan Kai-ong si raja pengemis yang mengerikan itu. Ia melihat pengemis tua ini tanpa sengaja. Ketika itu ia sudah memasuki kamarnya dan langsung membaringkan tubuh di tempat tidur, karena ia merasa amat lelah. Tiba-tiba ia mendengar suara Suma Boan di belakang rumah. Selama ini kecurigaannya terhadap Suma Boan sudah hilang dan makin lama makin baiklah kesan di hatinya terhadap putera pangeran ini. Kini mendengar suaranya, tiba-tiba timbul keinginan hatinya untuk mengajaknya bercakap-cakap. Ia turun dari pembaringan, membuka pintu kamar dan di saat itulah ia mendengar suara parau yang membuat bulu tengkuknya berdiri.

   "Sungguh kau sembrono sekali"

   Kata suara parau itu.

   "Dia hanya berada beberapa puluh li di belakangmu dan kau masih tidak tahu"

   "Tapi, Suhu, Locianpwe Tok-sim Lo-tong juga tidak memberi tahu sesuatu"

   Terdengar suara Suma Boan, membantah.

   "Uh, dasar sembrono. Biar kusiapkan sambutan, untungnya ada Toat-beng Koai-jin di sini. Hati-hati, jaga baik-baik gadis itu, mungkin bisa dipergunakan untuk menundukkannya"

   Sian Eng cepat menyelinap ke balik daun pintu sambil mengintai. Dugaannya tidak keliru, tak lama kemudian ia melihat bayangan It-gan Kai-ong berjalan terbongkok-bongkok bersandarkan tongkat bututnya.

   Di bawah sinar lampu yang suram muram itu kakek ini tampak makin buruk saja, dengan mata satunya yang berair dan terhias kotoran kuning di ujung, rambutnya yang riap-riapan dan mulutnya yang hanya bergigi satu. Sian Eng bergidik dan kedua kakinya gemetar. Sukar untuk mengatakan siapa yang lebih mengerikan antara It-gan Kai-ong, Hek-giam-lo, dan Tok-sim Lo-tong, juga wanita iblis Siang-mou Sin-ni. Munculnya It-gan Kai-ong ini tentu saja membuyarkan lamunan Sian Eng dan membatalkan niatnya untuk menemui Suma Boan. Akan tetapi agaknya putera pangeran itu mengalami dorongan hasrat hati yang sama. Buktinya, tidak lama setelah Sian Eng kembali melempar diri ke atas pembaringan, daun pintu kamarnya diketok orang. Ketika Sian Eng yang berdebar-debar hatinya membuka daun pintu, kiranya Suma Boan yang berdiri di situ sambil tersenyum. Bukan main lega hati Sian Eng, karena tadinya ia sudah merasa cemas dan ngeri, takut kalau-kalau ia akan berhadapan dengan It-gan Kai-ong. Kelegaan hatinya ini memancing senyum manisnya.

   "Sian Eng moi-moi, kau belum tidur?"

   Sian Eng menggeleng kepala. Pertanyaan tentang It-gan Kai-ong berada di ujung bibir, akan tetapi ia tahan.

   "Apakah kedatanganku ini mengganggumu?"

   Tanya pula Suma Boan dengan suara halus.

   "Tidak sama sekali. Kenapa kau begini sungkan, Koko? Dan kelihatan gugup? Ada apa?"

   Senyum Suma Boan melebar, tetapi suaranya gemetar ketika ia menjawab.

   "Tidak apa-apa.. hanya aku.. ah, sudah beberapa malam aku tak dapat memejamkan mata, Moi-moi."

   "Kenapa? sakitkah engkau?"

   Tanya Sian Eng, memandang tajam.

   "Memang sakit, tapi bukan tubuhku yang sakit, melainkan hatiku. Moi-moi.. Sian Eng.. hatiku menderita rindu, mataku tak dapat tidur karena selalu terbayang wajahmu. Ah, alangkah cantik manis engkau, Moi-moi, dam aku tergila-gila kepadamu, aku cinta padamu.."

   Seketika kedua kaki Sian Eng menggigil, mukanya panas rasanya tapi tangan kaki merasa dingin, jantungnya berdegupan sehingga degup jantung itu terdengar berdentam-dentam di kedua telinganya, darahnya berdenyutan sampai terasa hampir memecahkan urat-urat di pelipisnya, ia menunduk, tak berani memandang, mulutnya setengah tersenyum setengah menangis.

   Sian Eng masih dalam keadaan setengah sadar ketika ia merasa betapa pundaknya dirangkul orang, betapa rambut di kepalanya diciumi orang dan betapa Suma Boan memeluknya sambil berbisik-bisik tak tentu ujung pangkal atau pun isinya. Sejenak Sian Eng memejamkan matanya, menyandarkan kepala pada dada pemuda itu, merasa bahagia dan napasnya terengah-engah sesak. Aku juga cinta padamu, bisik suara hatinya. Akan tetapi tiba-tiba telinganya mendengar bisikan-bisikan, itulah suara Suma Ceng ketika bicara kepadanya di dalam kamar.

   ".. aku khawatir kalau-kalau kau menjadi korbannya.. sudah terlalu banyak gadis-gadis tak berdosa jatuh oleh kakak kandungku.."

   Dan tiba-tiba Sian Eng merasa betapa kurang ajar kedua tangan Suma Boan. Ia meronta dan tangannya menampar, tepat mengenai pipi Suma Boan, kemudian ia melompat ke belakang. Melihat betapa pemuda yang sebetulnya telah merebut hatinya itu berdiri bengong dengan muka pucat, dan pipi yang ditamparnya tadi merah sekali, Sian Eng menutupi muka dengan kedua tangannya dan menangis.

   ".. kenapa Moi-moi..? Kenapa kau menamparku? Bukankah.. bukankah kau juga cinta kepadaku seperti cintaku kepadamu?"

   Dengan mata berlinang air mata Sian Eng memandang, kemudian terdengar ucapannya terputus-putus,

   ".. cintaku bukan untuk.. untuk.. menjadi permainanmu.. aku bukan.. bukan perempuan.. yang boleh kau perlakukan sesukamu.. yang boleh kau hina.."

   "Eng-moi, kau aneh.., biarlah kau pikir dan pertimbangkan betapa tidak adilnya sikapmu terhadap aku yang mencintamu sepenuh hati.."

   Setelah berkata demikian, Suma Boan keluar dari kamar sambil menutupkan daun pintunya. Sian Eng tak kuasa menahan kakinya yang lemas gemetar. Ia menjatuhkan diri di atas pembaringan, duduk termenung mendengarkan langkah kaki Suma Boan yang makin lama makin menjauhi kamarnya. Kemudian ia merebahkan diri tertelungkup dan menangis di atas bantal. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Suma Boan sudah terdengar memaki-maki para penjaga yang berdiri dengan muka pucat dan saling pandang.

   "Kalian tikus-tikus goblok"

   Apa kerja kalian malam tadi? Tidur semua, ya?"

   "Ampun, Suma-kongcu, mana kami berani tidur? Tak sedikit pun kami tidur dan.."

   "Bohong"

   Suma-kongcu menggerakkan tangannya dan pembicara itu roboh tersungkur.

   "Orang luar telah memasuki gedung, nona dibawa pergi dan kalian bilang tidak tidur? Pemalas, Goblok"

   "Eh, eh, apakah yang terjadi?"

   Suara serak ini disusul munculnya It-gan Kai-ong. Melihat gurunya, Suma Boan menjadi agak tenang, akan tetapi kemurungan masih membayangi mukanya yang tampan.

   "Suhu, semalam ada musuh mendatangi rumah ini dan membawa pergi Sian Eng. Sungguh teecu tak dapat menduga siapa dia. Akan tetapi dia meninggalkan tanda tapak kaki di tembok"

   "Apa katamu? Tapak kaki di tembok?"

   Si Raja Pengemis bertanya heran. Memang luar biasa keterangan Suma Boan tadi. Mana bisa ada telapak kaki di atas tembok?

   "Mari, harap Suhu periksa sendiri"

   Pemuda itu mendahului suhunya menuju ke ruangan tengah. Dan di atas tembok, dekat kamar Sian Eng, di atas sebuah meja kecil, terdapat beberapa tapak kaki berlumpur di atas tembok.

   "Inilah tanda itu, Suhu, Bukankah ini penghinaan yang amat besar? Entah tapak kaki siapa ini?"

   Kata Suma Boan sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah tembok.

   Beberapa orang penjaga yang tadi dimaki-maki Suma Boan memandang juga dengan muka pucat. Pantasnya, hanya kaki binatang merayap sebangsa cecak yang dapat meninggalkan jejak di atas tembok. Akan tetapi, jejak yang tampak jelas di atas tembok itu adalah jejak kaki manusia. Kaki yang pendek, jari-jarinya terbentang seperti biasanya jari kaki orang yang tak pernah pakai sepatu. Jejak kaki itu kanan-kiri berjalan rapi seperti jejak orang berjalan dengan langkah pendek-pendek. Akan tetapi bagaimana mungkin seorang manusia berjalan di atas tembok seperti cecak? Mata tunggal It-gan Kai-ong melotot sebentar memandang tapak kaki itu.

   "Hu-huh, Pek-houw-yu-chong (ilmu merayap di tembok seperti cecak) tingkat tinggi. Manusia sombong bermaksud menakut-nakutimu atau memang hendak memamerkan kepandaiannya yang tidak seberapa ini. Orangnya pendek, tak pernah pakai sepatu.."

   Tiba-tiba It-gan Kai-ong berhenti bicara, matanya bersinar-sinar.

   "Pendek tak bersepatu? Hanya Kim-lun Seng-jin tokoh sakti yang pendek dan tak pernah bersepatu"

   Suma Boan berkata. Gurunya mengangguk. Tapi segera menggelengkan kepala, alisnya berkerut.

   "Sudah tentu dia bisa melakukan hal ini, akan tetapi kurasa bukan dia. Kim-lun Seng-jin biarpun suka bergurau, akan tetapi tidak seperti anak kecil meninggalkan jejak kaki di sini. Tentu seorang tokoh lain yang gila.."

   It-gan Kai-ong kelihatan marah dan menyumpah-nyumpah di dalam mulutnya.

   Ke manakah perginya Sian Eng? Ketika malam itu ia menangis di atas pembaringannya, tiba-tiba ia mendapat perasaan bahwa ada sesuatu terjadi, bahwa dia tidak sendirian di dalam kamarnya. Ia mengangkat mukanya dari bantal dan dari balik air matanya ia mengerling. Alangkah kagetnya ketika ia melihat bayangan seorang laki-laki tua pendek tersenyum-senyum di tengah kamar, memandangnya. Sian Eng merasa seperti mimpi, digosok-gosoknya kedua matanya, lalu ia bangkit dan duduk. Bayangan itu masih ada, malah kini ia dapat memandang jelas di bawah sinar lampu meja. Benar seorang laki-laki yang tua, pendek dan tersenyum-senyum. Sepasang mata yang jenaka, kumis panjang kaku menunjuk ke kanan kiri, jenggotnya jarang terurai ke bawah. Sama sekali bukan seorang kakek yang menyeramkan seperti It-gan Kai-ong, namun caranya memasuki kamar cukup aneh sehingga menyeramkan. Akan tetapi, sepasang mata itu terang bukanlah mata orang jahat.

   "Siapakah.. kau..? Bagaimana bisa masuk..?"

   Sian Eng memandang ke arah pintu kamarnya yang masih tertutup.

   "Heh-heh, Nona Kam Sian Eng. Kau benar-benar bocah yang bodoh dan nakal. Mana bisa kau mengharapkan kebaikan dari seorang macam Suma Boan? Kau berada dalam bahaya, marilah ikut denganku."

   "Kau siapa? Apa artinya semua ini?"

   Kakek itu tersenyum dan wajahnya benar-benar lucu kalau ia tersenyum, seperti senyum seorang badut.

   "Aku siapa? Panggil saja Empek Gan. Lie Bok Liong itu muridku. Di sini kau terancam bahaya besar, mari ikut denganku keluar. Tiada banyak waktu lagi."

   Sambil berkata demikian kakek itu menggerakkan tangannya dan gadis ini merasa tubuhnya melayang keluar dari jendela kamar yang ditendang terbuka oleh kakek itu sambil melayang dan menariknya. Ia terkejut bukan main, maklum bahwa kakek ini seorang sakti yang luar biasa. Akan tetapi hatinya lega mendengar bahwa kakek ini adalah guru Lie Bok Liong sahabat baik adiknya itu. Hatinya merasa berat meninggalkan tempat itu, atau lebib tepat, meninggalkan Suma Boan. Akan tetapi kalau ia teringat akan peristiwa tadi, betapa dengan penuh nafsu putera pangeran itu merayunya, ia menggigil. Benar-benar berbahaya. Bagaimana kalau ia tidak kuat menahan? Tentu ia menjadi korban. Berpikir sampai di sini, tiba-tiba mukanya menjadi merah sekali.

   Siapa tahu, kakek aneh ini tadi melihat semua adegan memalukan itu. Tanpa ia ketahui tujuannya, ia menurut saja dibawa pergi Empek Gan. Akhirnya mereka memasuki sebuah kelenteng tua yang sudah rusak. Kelenteng yang amat menyeramkan, penuh sarang laba-laba dan agaknya hanya patut dijadikan tempat tinggal para siluman dan setan. Akan tetapi Sian Eng tidak merasa takut, tidak merasa serem seperti ketika ia ditawan Hek-giam-lo. Empek Gan ini ternyata telah membersihkan ruangan samping kelenteng itu, buktinya lantainya bersih dan di situ tidak ada sarang laba-laba.

   "Nah, kita melewatkan malam di sini. Nona, ketahuilah. Muridku ditangisi adikmu yang nakal, yang minta supaya muridku mencarimu sampai dapat. Ketika muridku mendengar bahwa kau pergi bersama Suma Boan dan si badut Tok-sim Lo-tong, ia mencari aku dan memaksa si tua ini turun tangan. Aku sudah lama mengikuti perjalananmu dan baru malam ini turun tangan setelah melihat betapa besarnya bahaya yang mengancam dirimu. Besok kita melanjutkan perjalanan, malam ini kau boleh mengaso. Tentu saja tidak seenak tidur di kamar dalam gedung itu, akan tetapi di sini kau lebih aman. Aku sudah tua, tidak bisa lagi membedakan mana cantik mana buruk, heh-heh"

   Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sian Eng sudah bangun. Memang semalam ia hampir tak dapat memejamkan matanya di dalam kelenteng itu. Pikirannya kacau-balau dan resah kalau ia teringat akan Suma Boan. Dengan girang ia mendapatkan sebuah mata air di belakang kelenteng dan setelah mencuci muka dan tubuh sehingga terasa segar, Sian Eng kembali ke dalam kelenteng, akan tetapi, kakek pendek lucu itu ternyata masih mendengkur. Ia tidak berani mengganggu, dan menanti. Akan tetapi sampai matahari naik tinggi, kakek itu belum juga bangun. Akhirnya habislah kesabaran Sian Eng.

   "Empek Gan.. Empek Gan"

   Bangunlah"

   Ia mengguncang-guncang lengan kakek itu. Kakek itu kaget, geragapan bangun.

   "Ada apa..? Kebakaran..? Dunia kiamat? Celaka.. aku masih ingin hidup"

   Ia melompat dan lari ke sana ke mari, kelihatan bingung sekali sehingga Sian Eng menjadi geli melihatnya.

   "Tidak ada apa-apa, Lopek,"

   Katanya membantah. Kakek itu menjatuhkan diri duduk di atas lantai, bersandar tembok, terengah-engah dan mengusap-usap kedua mata dengan belakang tangan seperti kebiasaan anak kecil kalau bangun tidur.

   "Aduh ampuuuuun.. sampai kaget setengah mampus hatiku. Puluhan tahun hidupku ayem tenterem, sekali dekat wanita, tidur saja tidak nyenyak lagi. Beratnya orang membela murid.. heeeiiii, Mana Bok Liong? Bocah tolol itu belum juga muncul? Nona, kau melihat dia?"

   Sian Eng mendongkol bukan main mendengar kata-kata kakek itu tentang wanita. Akan tetapi maklum bahwa kakek ini termasuk orang aneh. Ia tidak mau melayani dan pertanyaan terakhir ia jawab dengan gelengan kepala.

   "Wah-wah, betul-betul dia tidak muncul? Celaka.. tentu ada apa-apa. Tak mungkin dia berani tidak mentaati perintahku dan memenuhi janji. Wah, sudah siang, hayo kita pergi"

   Kali ini Empek Gan tidak menarik tangan Sian Eng seperti malam tadi. Mereka berjalan keluar dari kelenteng dan Sian Eng mengikuti ke mana kakek itu pergi. Tiba-tiba berkelebat bayangan orang, Sian Eng memandang ke depan dan jantungnya berdebar ketika ia melihat jubah hitam dan topi sastrawan.

   "Suling Emas"

   Dia Suling Emas.. mari kejar dia"

   Sian Eng lalu lari mengejar.

   "Wah-wah, pagi-pagi belum sarapan kau ajak balapan lari. Dengar perutku mengeluh panjang pendek. Tak usah kejar.."

   Akan tetapi kedua kakinya yang pendek itu terpaksa mengikuti Sian Eng yang menggunakan ilmu lari cepat mengejar Suling Emas.

   "Dia Suling Emas, aku mau bertanya tentang kakakku.."

   Sian Eng tidak pedulikan omelan kakek itu dan terus mengejar. Ketika melihat Suling Emas yang sudah jauh itu lenyap ke dalam sebuah rumah yang sunyi, Sian Eng berhenti di depan rumah itu, meragu sebentar lalu tanpa banyak cakap lagi ia juga memasuki pekarangan rumah yang sunyi dan terus menerobos pintu depan untuk mencari Suling Emas. Dari belakangnya Empek Gan berteriak-teriak mencela.

   Seperti sudah diceritakan di bagian depan, begitu memasuki ruangan rumah yang ternyata adalah rumah guru silat Ouw-kauwsu, seorang guru silat di kota Ban-sin yang cukup terkenal, mereka berdua melihat adegan yang aneh, yaitu Ouw-kauwsu berdiri bengong. Suling Emas berdiri dengan alis berkerut memandang ke atas di mana seorang kakek seperti anak hutan sedang duduk di atas balok tiang melintang dekat atap rumah sambil makan daging paha yang digerogoti. Melihat ini Empek Gan berlari menghampiri tiang dan memanjat tiang itu seperti seekor kera memanjat kelapa, berteriak-teriak menyuruh turun kakek seperti orang hutan itu.

   "Wah, aku kenal kau sekarang. Tak salah lagil, Gundul pacul, punuknya seperti lembu jantan, mukanya buruk seperti monyet, perutnya gendut seperti babi, telanjang hanya pakai cawat, permakan daging manusia. Betul, biar selamanya belum pernah bertemu, tapi aku sudah banyak mendengar tentang dirimu. Kau Toat-beng Koai-jin"

   Empek Gan berteriak-teriak sambil memandang dengan wajah memperlihatkan kengerian.

   Memang betul ucapan Empek Gan yang tampak ketakutan itu. Kakek liar itu adalah Toat-beng Koai-jin Si Orang Aneh Pencabut Nyawa. Biarpun dia kelihatan seperti orang hutan, namun seperti juga adiknya, Tok-sim Lo-tong, kakek ini memiliki kepandaian yang hebat sekali. Dia termasuk seorang di antara Thian-te Liok-koai, dan julukan sebagai seorang di antara Si Enam Jahat itu memang patut baginya mengingat bahwa ada kalanya kakek liar ini betul-betul makan daging manusia seperti yang dituduhkan Empek Gan tadi. Biarpun ia hidup seperti orang liar, namun tidak biasa Toat-beng Koai-jin mendengar maki-makian yang ditujukan kepada dirinya. Sedikit saja orang berani menyinggungnya, jangan harap dia mau mengampuni nyawa orang itu, apalagi sekarang ada orang pendek ketakutan ini berani memaki-makinya seperti itu. Toat-beng Koai-jin terbahak-bahak dan inilah menjadi tanda bahwa dia sedang marah besar.

   "Cacing perut, Makanlah ini"

   Tangannya yang besar berbulu itu bergerak. Tulang paha yang sudah tak berdaging lagi itu ia lontarkan ke arah Empek Gan yang masih memeluk tiang dengan kaki tangannya.

   Tulang itu menghantam pinggir tiang, terdengar suara keras dan balok itu somplak seperti dihantam kapak. Tidak hanya membelah kayu, tulang itu terus menghantam pundak Empek Gan dan.. tubuh Empek Gan melorot turun, akhirnya pantatnya terbanting menghantam lantai sampai mengeluarkan suara seperti kasur digebuk. Empek Gan meringis kesakitan, bangun berdiri dan menepuk-nepuk pantatnya, agaknya untuk menghilangkan rasa sakit. Debu mengebul ketika celana belakangnya itu ia tepuk-tepuk. Karena kebetulan sekali Sian Eng berdiri di belakangnya, gadis ini melangkah mundur dengan kening berkerut. Celaka pikirnya, ia telah salah sangka. Kakek ini sama sekali bukanlah orang sakti. Mungkin hanya pandai lari cepat saja. Buktinya, sekali disambit tulang sudah roboh. Sungguh tak tahu malu"

   "Calaknya, Cocok dengan ujudnya"

   Ia menoleh kepada Suling Emas dan berkata menyeringai,

   "Hati-hati kalau kau berurusan dengan monyet hutan liar itu"

   Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Cacing busuk, jangan lari kau"

   Empek Gan tertawa membalikkan tubuhnya membelakangi Toat-beng Koai-jin sambil menggoyang-goyang kibul dan berkata,

   "Beginikah gerakan cacing? Ho-ho, sebentar lagi mau mampus masih suka maki-maki orang"

   Setelah berkata demikian, kakek ini menggerakkan kedua kakinya lari keluar dari rumah itu sambil menoleh ke arah Suling Emas dan berkata,

   "Jaga Nona ini baik-baik, jangan sampai dia dirayu palsu oleh Suma Boan lagi"

   Sian Eng menjadi makin mendongkol, akan tetapi Suling Emas tidak pedulikan kakek itu, juga agaknya tidak peduli kepadanya, buktinya menengok pun tidak. Suling Emas menghadapi kakek liar di atas itu sambil berkata, suaranya serius penuh ancaman.

   "Toat-beng Koai-jin, biarpun di antara kau dan aku tidak pernah terjadi pertentangan karena kita masing-masing mengikuti jalan sendiri, akan tetapi hari ini kau telah melanggarnya. Lekas kau bebaskan dan kembalikan nona yang kau culik, kalau tidak, aku Suling Emas tidak akan berlaku sungkan-sungkan lagi. Dengar baik-baik, kalau kau mengganggu nona itu, aku bersumpah takkan berhenti sebelum dapat merobek tubuhmu menjadi empat potong"

   "Suling Emas, kau bocah kemarin sore yang masih ingusan, sombong amat ucapanmu. Sudah lama aku ingin mencoba kepandaianmu, dan hari ini adalah hari baikku, aku belum ganggu nona cilik itu, tunggu sampai aku menangkapmu untuk kupanggang bersama, heh-heh"

   

Tangan Geledek Eps 34 Suling Emas Eps 19 Suling Emas Eps 33

Cari Blog Ini