Ceritasilat Novel Online

Cinta Bernoda Darah 17


Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 17



Pada saat itu tampak sinar hitam yang panjang berkelebat menerjang ke arah leher Suma Boan, disusul sinar hitam mengurung pinggangnya. Pemuda ini kaget sekali, cepat ia menggunakan lengan baju menangkis.

   "Plak-plak"

   Ia terhuyung dan ujung lengan bajunya pecah-pecah. Ketika ia melompat ke belakang sambil berjungkir balik, kiranya yang menerjangnya adalah kakek yang buntung kedua kakinya tadi. Gentarlah hati Suma Boan. Ia tidak mengenal kakek ini dan tadi ia memandang rendah mendengar kakek ini pengawal Lin Lin. Kiranya kakek buntung ini memiliki ilmu yang dahsyat.

   Pedang di tangan Lin Lin tidak memberi ampun, mendesaknya hebat. Suma Boan mencari kesempatan untuk melompat keluar dari pondok dan memanggil teman-temannya, akan tetapi agaknya kakek buntung itu selain lihai ilmunya, juga amat cerdik. Sepasang tongkat pengganti kaki itu kiranya dimainkan seperti sepasang toya yang menghalangi jalan keluar. Ketika pedang bersinar emas itu menusuk dadanya, Suma Boan cepat miringkan tubuh dan bermaksud merampas pedang, akan tetapi tiba-tiba pundaknya kena dihantam tongkat si buntung. Keras sekali pukulan ini sehingga kulit daging pundaknya pecah dan mengeluarkan darah. Suma Boan terhuyung-huyung, masih berhasil mengelak daripada sambaran pedang Lin Lin, akan tetapi totokan ujung tongkat membuatnya roboh, tak dapat menggerakkan kaki tangan lagi. Lin Lin segera menodongkan pedangnya ke depan dada Suma Boan.

   "Hayo lekas mengaku di mana adanya Kakak Bu Song, kalau kau mau hidup"

   Suma Boan tersenyum mengejek. Keringat membasahi dahinya, darah di pundaknya membasahi bajunya, akan tetapi ia tidak kelihatan gentar.

   "Nona manis, mati di tanganmu amatlah menyenangkan. Biar kau membunuhku, aku Suma Boan bukanlah manusia yang tunduk akan ancaman maut. Aku hanya mau bicara dalam keadaan yang lebih baik dan manis, atau kalau encimu sendiri datang ke sini."

   Bukan main gemasnya hati Lin Lin. Ia memang benci kepada laki-laki ini, apalagi bicaranya begitu kurang ajar.

   "Kalau begitu kau mampus saja.."

   "Tok-tok-tok.."

   Lin Lin kaget dan cepat melangkah mundur, memberi tanda supaya Pak-sin-tung siap. Suma Boan tersenyum lebar. Lucu benar keadaannya, siapa pula tamu yang datang kali ini?

   "Siapa di luar?"

   Tanyanya tanpa niat minta tolong, karena maklum bahwa orang datang mengetuk pintu seperti itu pasti bukan teman atau anak buahnya.

   "Aku.., Suma-kongcu, keluarlah aku mau bicara.."

   Berubah wajah Lin Lin. Itulah suara Sian Eng, encinya. Cepat ia memberi tanda kepada Pak-sin-tung dan kakek buntung ini segera mengikuti Lin Lin, menyelinap ke bagian belakang rumah, bersembunyi.

   "Ha, kebetulan sekali, Eng-moi. Kau masuklah, aku.. aku tak dapat bergerak.."

   Hening sejenak di luar. Kemudian terdengar daun pintu dibuka dari luar. Sian Eng muncul, kelihatan ragu-ragu, curiga, juga cemas. Ketika pandang matanya melayang ke arah Suma Boan yang menggeletak terlentang di atas lantai, bajunya mandi darah, ia berseru kaget. Sejenak ia ragu-ragu, kemudian ia lari dan berlutut dekat Suma Boan.

   "Suma.. Koko. Kau kenapakah? Kau terluka.. parah..?"

   Suma Boan tersenyum dan napasnya makin terengah-engah disengaja, mulutnya merintih-rintih menahan sakit.

   "Aku diserang penjahat, Eng-moi, tolong kau bebaskan totokan pada jalan darah thian-hu-hiat.."

   Sian Eng membungkuk, lalu membuka jalan darah itu dengan totokan dan tekanan. Akhirnya Suma Boan dapat bergerak, bangkit duduk dan mengeluh lagi, mengaduh-aduh sambil memegangi pundak kirinya yang terluka.

   "Bagaimana? Sakit sekalikah? Biar kuperiksa, harus segera dibalut.."

   Kata Sian Eng yang timbul kasih dan ibanya menyaksikan orang yang dikasihinya itu menderita luka. Dengan bantuan Sian Eng, Suma Boan berdiri dan jalan terhuyung-huyung ke arah bangku. Matanya mencari-cari dan mulutnya tersenyum ketika mendapat kenyataan bahwa Lin Lin dan kakek buntung sudah tidak berada di situ lagi. Dengan sikap manja ia merintih-rintih, membuat hati Sian Eng makin tak tega. Gadis ini lalu mencuci luka dan membalutnya.

   "Penjahat siapakah yang melukaimu, Koko? Dan kenapa?"

   "Tidak tahu, aku tidak mengenalnya. Kebetulan kau datang, Eng-moi. Kau baik sekali, tapi.. tapi kenapa malam hari dahulu itu kau lari dariku? Kenapa, Eng-moi? Apakah kau tidak dapat memaafkan kesalahanku? Aku menyesal Eng-moi, dan aku siap mohon maaf kepadamu.."

   Setelah berkata demikian, Suma Boan menjatuhkan diri berlutut di depan gadis itu. Sian Fng terisak menangis, mengangkat bangun Suma Boan.

   "Sudahlah, aku datang ini sebetulnya hendak bertanya kepadamu di mana aku bisa bertemu dengan Kakak Kam Bu Song. Kau bilang dia pasti berada di sini. Ketika tadi aku melihatmu, aku menjadi bingung dan ingin sekali aku menemuimu untuk menanyakan hal ini.."

   "Eng-moi, apakah kau pernah menyuruh adikmu Lin Lin menanyakan hal ini kepadaku?"

   "Tidak pernah. Malah aku sendiri tidak tahu ke mana perginya anak itu, sampai sekarang aku tidak melihat dia. Aku khawatir sekali, adikku itu biarpun anak perempuan akan tetapi suka berandalan dan terlalu berani"

   "Aku percaya.. dia.. dia gadis yang aneh dan gagah. Eng-moi, terus terang saja, Kam Bu Song adalah bekas sahabatku, dan kekasih adik perempuanku seperti pernah kuceritakan kepadamu. Akan tetapi semenjak.. semenjak ia menghilang, aku tidak pernah bertemu dengan dia lagi. Aku hanya mempunyai dugaan keras bahwa dia tentu berada di Nan-cao, karena aku mendengar bahwa dia masih mempunyai hubungan dengan Beng-kauw. Kalau saja kau mau bertanya kepada orang Beng-kauw, kiraku akan dapat membuka rahasianya."

   "Aku pun pikir begitu. Aku pun mengerti bahwa ibu tiriku, ibu kandung Kakak Bu Song adalah Tok-siauw-kwi Liu Sian, puteri mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan ketua Beng-kauw yang diperingati hari kematiannya sekarang.."

   "Apa..?"

   Suma Boan melompat kaget dari tempat duduknya.

   "Kalau begitu.. dia.. dia.. Suling Emas. Sudah kuduga, ada persamaan.. tapi Suling Emas jarang memperlihatkan diri lama-lama dan.. dan Bu Song seorang lemah sebaliknya Suling Emas demikian sakti.."

   Sian Eng menjadi pucat mukanya. Ia pun berdiri dan melongo.

   "Suling Emas..? Kakakku.. Kam Bu Song.. Suling Emas..?"

   Bibirnya menyerukan kata-kata ini berkali-kali seakan-akan ia tidak mau percaya, akan tetapi sekarang terbayanglah semua peristiwa ketika Suling Emas menolongnya, terulang kembali gema kata-kata pendekar itu dan maklumlah bahwa dia adalah adik tirinya. Pantas saja Suling Emas selalu menolong adik-adiknya secara diam-diam. Namun ia masih belum percaya benar.

   "Suma-koko, bagaimana kau menduga bahwa Kakak Bu Song adalah Suling Emas?"

   Suma Boan dengan gerakan halus dan sopan memegang tangan Sian Eng, ditariknya ke dekat meja.

   "Mari kita duduk, adikku dan kita bicara baik-baik. Aku tidak ragu-ragu lagi sekarang. Pasti Suling Emas itulah penjelmaan dari Bu Song. Hanya beberapa kali aku melihat Suling Emas, itu pun hanya sekelebatan saja, akan tetapi bentuk tubuhnya dan wajahnya, sudah kuduga. Akan tetapi mana aku bisa percaya? Bu Song seorang pelajar yang lemah, sama sekali tidak tahu ilmu silat, sedangkan Suling Emas..? Akan tetapi setelah mendengar darimu bahwa kakakmu Bu Song itu putera dari puteri mendiang Pat-jiu Sin-ong, keraguanku lenyap karena cucu tunggal dari mendiang Pat-jiu Sin-ong adalah.. Suling Emas. Kalau begitu, tidak bisa lain, Bu Song adalah Suling Emas sendiri"

   "Wah.. dan kami telah menyangka sebagai pembunuh ayah bundaku"

   "Memang dia orang aneh, bisa melakukan apa saja. Sudahlah, Eng-moi, mari kita bicara tentang diri kita.."

   Sian Eng mengangkat muka, memandang tajam penuh selidik.

   "Bicara tentang diri kita? Apa yang hendak kau bicarakan?"

   Kedua pipinya mendadak berubah merah. Suma Boan memegang tangannya, karena caranya sopan dan halus, Sian Eng tidak menarik lepas, hanya menundukkan muka dengan jantung berdebar.

   "Moi-moi, kita saling mencinta.. tapi aku.. aku yang canggung ini takut kalau-kalau kau marah lagi. Moi-moi, apakah yang harus kulakukan untuk menyatakan cinta kasihku, dan bagaimana kau dapat selalu berada di sampingku?"

   Tubuh Sian Eng panas dingin, tangannya gemetar, lalu perlahan ia berkata,

   "Aku adalah seorang gadis terhormat, tentu saja aku hanya menghendaki penghormatan selayaknya. Aku tidak mau dipermainkan, dan.. dan kalau memang kau suka kepadaku, Koko, kuharap kau suka dengan resmi meminangku. Karena ayah bundaku sudah meninggal, maka kau bisa utusan meminangku kepada bibi guruku Kui Lan Nikouw di Kwan-im-bio yang berada di lereng puncak Cin-ling-san."

   Suara Sian Eng makin lirih, agaknya ia bicara dengan malu-malu. Di luar pondok makin gelap, dan dari luar hanya bisik-bisik saja yang terdengar, bisik-bisik mesra sepasang orang muda yang sedang diayun gelombang asmara.

   "Tuanku puteri, mengapa kita harus lari? Gadis yang masuk itu seorang biasa saja, tak usah kita takut, kalau perlu dia boleh hamba robohkan sekali"

   Pak-sin-tung memprotes ketika Lin Lin mengajaknya lari pergi meninggalkan pondok Suma Boan setelah ia mendengar munculnya Sian Eng. Akan tetapi ia menggelengkan kepala terus lari sehingga terpaksa kakek buntung itu mengikutinya sambil bersungut-sungut. Akhirnya Lin Lin berhenti di tempat sunyi dan kembali Pak-sin-tung memprotes.

   "Tuanku puteri, belum pernah hamba Pak-sin-tung melarikan diri seperti ini. Gadis itu tidak lebih pandai daripada Suma-kongcu, ia hanya seorang di antara banyak kekasih kongcu hidung belang itu takut apa?"

   "Diam kau"

   Lin Lin membentak, betul-betul marah karena hatinya sudah mengkal menyaksikan peristiwa yang tidak ia duga-duga, yaitu bahwa cicinya itu ternyata bermain cinta dengan Suma Boan, hal yang benar-benar tak tersangka dan mendatangkan perasaan mendongkol. Ucapan kakek buntung itu menambah kemarahannya.

   "Aku bukannya takut kepada gadis itu, aku.. aku.. hanya mengubah niatku. Sekarang kita mencari Suling Emas"

   "Tuan Puteri.. hal ini.. hamba rasa kita membutuhkan bantuan Suheng Hek-giam-lo.."

   Diam-diam Lin Lin tertawa di dalam hatinya melihat kakek buntung yang lihai ini ketakutan. Memang ia sengaja hendak mencari Suling Emas, tentu saja bukan untuk menawannya, melainkan untuk mencegah orang-orang Khitan ini memaksanya ke Khitan. Kalau sudah bertemu dengan Suling Emas, ia akan minta tolong pendekar itu membantunya melawan orang-orang Khitan yang berani memaksanya pergi. Akan tetapi pada lahirnya ia pura-pura marah dan membanting kaki.

   "Pak-sin-tung"

   Belum apa-apa kau sudah dua kali membantah kehendakku. Kelak di Khitan kalau kulaporkan kebandelanmu ini kepada Paman Kubakan, hemmm.. ingin kulihat ke mana kau hendak menyembunyikan kepalamu"

   "Maaf, Tuan Puteri.. bukan maksud hamba membangkang.."

   "Cukup. Kau takut kepada Suling Emas, ya? Huh, jago macam apa ini. Jago Khitan tidak takut terhadap siapa pun juga. Kalau kau takut, aku tidak takut. Hayo, kau mau bantu atau tidak?"

   "Baiklah, Tuan Puteri, baiklah.."

   Si buntung kaki ini mengeluarkan bunyi melengking di kerongkongannya dan dari tempat gelap bermunculan dua puluh empat orang pembantunya. Ia memberi tugas dalam bahasa Khitan yang tidak dimengerti Lin Lin. Beberapa menit kemudian dua puluh empat orang itu lenyap lagi seperti bayangan-bayangan setan di dalam gelap.

   "Hamba telah siap,"

   Kata Si buntung.

   "Mari kita mencarinya. Kulihat tadi dia duduk dekat ketua Beng-kauw, agaknya ada hubungan baik sekali, maka malam ini kiranya dia pun akan ikut berjaga di ruangan sembahyang untuk persiapan upacara besok pagi. Mari kita mencari ke sana."

   Ruangan sembahyang itu amat lebar dan berada di ujung kiri yang sunyi dan jauh dari tempat pemondokan para tamu. Anehnya, di tengah-tengah ruangan itu terdapat sebuah peti mati yang besar dan panjang. Apakah jenazah Pat-jiu Sin-ong maSih berada di dalam peti mati itu? Memang betul demikianlah. Menurut kehendak Pat-jiu Sin-ong sendiri ketika mau mati, ia minta agar supaya jenazahnya dimasukkan di dalam peti mati yang berlapis baja di sebelah dalam dan yang rapat sekali, kemudian petinya supaya dimasukkan ke dalam kamar samadhinya. Sebelum sepuluh tahun petinya tidak boleh dikubur"

   Permintaan yang amat aneh, akan tetapi karena Pat-jiu Sin-ong sewaktu hidupnya memang amat aneh lagi sakti, tidak ada yang berani membantah permintaannya.

   Demikianlah, tiap setahun sekali peti mati yang besar dan berat itu diangkat ke ruangan sembahyang untuk disembahyangi dan kali ini, tiga tahun kemudian bertepatan dengan hari ulang tahun Beng-kauw, peti mati itu disembahyangi secara besar-besaran. Ketika mengintai dari jauh dan melihat betapa di ruangan itu duduk banyak tokoh pandai, di antaranya ketua Beng-kauw sendiri dan Suling Emas, Pak-sin-tung menjadi pucat dan jelas sekali ia kelihatan gelisah.

   "Dia di sana, akan tetapi harap Paduka sabar dan menunggu kesempatan. Terlalu banyak orang lihai di ruangan itu."

   "Ah, kalau tahu kau tidak becus seperti ini, tentu aku lebih suka mengajak Hek-giam-lo.. eh, tongkatnya masih ada. Celaka, Hek-giam-lo rupa-rupanya juga belum berhasil. Benar-benar memalukan sekali jagoan-jagoan Khitan"

   Pak-sin-tung, kau tunggu saja di sini, biar aku menyelundup ke dalam melalui bangunan belakang. Kau lihat dan biar mereka melihat bahwa puteri Khitan lebih berani daripada jago-jago Khitan. Kalau kalian yang memalukan nama besar Khitan, akulah yang akan mengangkatnya"

   "Tuan Puteri.. ini berbahaya.."

   Pak-sin-tung hendak mencegah akan tetapi Lin Lin sudah mencabut Pedang Besi Kuning dan mengacungkannya ke atas. Terpaksa Pak-sin-tung melangkah mundur dengan sikap menghormat, dan ketika ia mengangkat muka memandang, gadis itu sudah menyelinap di antara bangunan di belakang ruangan sembahyang, lalu lenyap di sebuah bagian yang kecil.

   "Celaka.. dia memasuki bagian terlarang.. kabarnya di situ tersimpan peti-peti mati keluarga kaisar dan ketua Beng-kauw, juga pusaka-pusaka Beng-kauw.."

   Pak-sin-tung berdiri dengan muka pucat, bingung tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Maka ia hanya bersembunyi dan mengintai ke arah ruang sembahyang, ke arah Suling Emas dengan tekad di hati kalau muncul puteri junjungannya itu, apa pun yang terjadi, ia akan membantunya sampai titik darah penghabisan.

   Dengan hati tabah Lin Lin menyelinap masuk ke dalam sebuah pintu yang tak berdaun pintu, lagi amat gelap. Ia tidak melihat betapa di kanan kiri pintu itu terdapat tempat hio yang terisi hio (dupa) masih mengebulkan asap, dan tidak melihat pula betapa di atas lantai di ambang pintu dan di atas pintu itu terdapat tulisan-tulisan yang melarang siapa pun juga memasuki pintu ini dengan ancaman hukuman mati"

   Sebetulnya, tentu saja bukan sekali-kali maksud hati Lin Lin untuk mengacau dan menangkap Suling Emas, walaupun di lubuk hatinya ada pula keinginan ini, yaitu untuk melihat Suling Emas menjadi tawanannya dan dia sebagai Puteri Khitan. Namun sekarang hal itu ia jadikan siasat untuk membebaskan diri daripada pengawasan Pak-sin-tung dan ia tahu, menghadapi orang-orang sakti dari Khitan, hanya Suling Emas yang akan mampu menolongnya. Maka begitu melihat bahwa Suling Emas duduk di antara orang-orang sakti di ruangan sembahyang ia berlaku nekat, pura-pura hendak menyerbu dan menyelinap masuk ke pintu kecil yang gelap itu.

   Kita tinggalkan dulu Lin Lin yang memasuki tempat terlarang tanpa ia sadari dan kita meninjau ke tempat para tamu karena di sana pun terjadi hal-hal yang amat hebat. Peristiwa yang menggemparkan terjadi di tempat kediaman para utusan Kerajaan Hou-han. Mereka ini adalah tokoh-tokoh Kerajaan Hou-han, terdiri dari tiga orang panglima perang bernama Lu Bin, Giam Siong, dan Gak Houw. Seperti kita ketahui, secara tidak resmi, Siang-mou Sin-ni juga mengawal barang sumbangan Kerajaan Hou-han yang berupa sebuah kendaraan emas. Resminya, ketiga panglima ini berikut belasan orang anak buahnya yang mengawal, akan tetapi sebetulnya Siang-mou Sin-ni yang bertanggung jawab dan yang diandalkan oleh tiga orang panglima ini. Tentu saja tiga orang panglima ini pun bukan orang-orang sembarangan. Ilmu kepandaian mereka tinggi dan mereka merupakan orang-orang pilihan di Hou-han.

   Malam hari itu, tiga orang panglima yang menjadi utusan Hou-han itu sedang menghadapi meja, menjamu makan pada orang lain yang mukanya seperti monyet, dahinya lebar dan sikapnya gagah serta lincah. Rombongan Hou-han mendapatkan tempat tersendiri, sebuah bangunan yang cukup besar karena mereka terdiri dari belasan orang. Tentu saja Siang-mou Sin-ni berada di tempat terpisah, tempat "terhormat".

   "Sam-wi boleh rundingkan hal ini dengan Sin-ni,"

   Terdengar suara si muka monyet itu berkata sambil minum araknya.

   "Jalan satu-satunya untuk menggerakkan hati para tokoh Nan-cao hanya dengan cara itulah. Kalau diminta bersekutu secara baik-baik, takkan mungkin berhasil. Siauwte (aku yang muda) tahu betapa keras hati Beng-kauwcu, tidak goyah oleh sodoran emas permata maupun kedudukan mulia. Satu-satunya jalan hanya membakar kayu basah agar menjadi kering dan dapat termakan api."

   Kalimat terakhir ini berarti membakar hati seseorang yang sukar ditundukkan agar orang itu menjadi marah dan mengubah pendiriannya yang kukuh.

   "Akan tetapi menurut Sin-ni, Raja Nan-cao lebih mudah dibawa berunding,"

   Bantah Gak Houw yang paling muda diantara tiga panglima itu.

   "Rasanya tidak enak kalau kita harus mengambil jalan fitnah. Kami orang-orang dari Hou-han tidak biasa melakukan hal-hal yang tidak sewajarnya."

   "Ucapan Gak-enghiong memang patut diperhatikan,"

   Jawab si muka monyet.

   "akan tetapi hendaknya maklum bahwa siauwte berdua dengan suheng menerima anjuran ini sendiri dari Sri Baginda di Nan-cao. Harap Sam-wi ketahui bahwa biarpun Sri Baginda yang menjadi raja di sini, namun kekuasaan mutlak berada di tangan Beng-kauwcu dan ketahuilah bahwa watak Beng-kauwcu amat keras dan percaya akan kekuatan sendiri, tidak suka bersekutu dengan kerajaan manapun, tidak berniat memusuhi kerajaan mana juga, akan tetapi juga tidak takut menghadapi musuh dari mana pun."

   Gak Houw mengangguk-angguk dan Lu Bin mengelus jenggotnya yang pendek sambil berkata.

   "Saudara Su Ban Ki betul, biarlah hal ini akan kami sampaikan kepada Sin-ni. Agar jelas usul saudara saya ulangi, yaitu kita harus membakar hati Beng-kauwcu dengan melakukan pengrusakan kepada kendaraan emas sumbangan kami, kemudian mencuri bagian penting kendaraan itu yang harus dapat kita selundupkan ke dalam pondok penginapan orang-orang Sung. Akan tetapi, apakah hal ini dapat dilakukan dengan mudah?"

   "Sukar bagi orang luar, akan tetapi tidak bagi kami,"

   Jawab si muka monyet yang bernama Su Ban Ki.

   "Suhengku Ciu Kang sekarang pun sedang bertugas menjaga barang-barang sumbangan, mudah saja baginya untuk.."

   Tiba-tiba terdengar suara "braaakkkk"

   Genteng di atas rumah itu pecah-pecah dan dari atas menerobos turun sebuah benda hitam besar. Mereka berempat kaget sekali, apalagi setelah menyaksikan betapa jebolnya genteng itu disusul meluncurnya benda hitam yang ternyata adalah sebuah peti mati. Tepat sekali peti mati ini jatuh ke atas meja, di bagian tengahnya terikat tambang yang panjang, membuktikan bahwa peti mati ini diturunkan orang dari atas genteng.

   "Keparat, siapa berani main gila?"

   Cepat sekali Lu Bin, Giam Siong, dan Gak Houw tiga orang jagoan Hou-han itu mencabut pedang sambil melompat keluar, terus melayang ke atas genteng. Akan tetapi sunyi di atas genteng, tidak tampak bayangan seorang pun manusia. Para anak buah rombongan pengawal dari Hou-han juga sudah berserabutan keluar dan belasan orang ini mencari-cari di sekitar tempat penginapan mereka, namun sia-sia hasilnya, tidak ada seorang pun manusia yang tampak kecuali kawan-kawan mereka sendiri.

   Ketiga orang jago Hou-han ini kembali ke dalam ruangan dan mereka melihat Su Ban Ki berdiri dengan muka pucat di dekat meja sambil memandang peti mati itu dengan mata terbelalak. Ketika tiga orang itu masuk, Su Ban Ki memandang mereka, menudingkan telunjuknya ke arah peti mati, mulutnya komat-kamit akan tetapi tidak dapat mengeluarkan suara. Tiga orang jago Hou-han itu adalah orang-orang gagah sejati. Tentu saja mereka merasa muak juga menyaksikan sikap dan wajah ketakutan ini sehingga pandangan mereka terhadap Su Ban Ki berubah. Heran mereka mengapa Raja Nan-cao menaruh kepercayaan kepada orang yang jiwanya pengecut seperti ini.

   "Saudara Su Ban Ki, tenanglah dan ceritakan kepada kami, apa artinya semua ini?"

   Tanya Lu Bin, suaranya keren. Su Ban Ki membasahi bibir dengan lidah, mencoba menelan ludah yang kering.

   "Ini.. ini.. peti mati.. istana.. entah apa artinya.."

   Ia tergagap. Gak Houw maju ke depan, membuka tambang yang mengikat peti lalu menggunakan kedua lengannya yang kuat membuka tutup peti.

   "Kerrriittt"

   Tutup itu berbunyi dan tampaklah isinya. Sesosok tubuh seorang laki-laki sudah menjadi mayat.

   "Suheng.."

   Su Ban Ki berseru kaget, tubuhnya menggigil.

   "Celaka.. suheng dibunuh.. tentu rahasia bocor atau.. ah, ini alamat buruk. Selamat tinggal, aku harus segera pergi, lari keluar kota.."

   Ia menyambar jenazah itu, mengeluarkannya dari dalam peti lalu memanggul jenazah dan lari dengan cepat sekali. Akan tetapi segera terdengar suara jeritannya di luar rumah dan terdengar orang jatuh.

   Tiga orang jagoan Hou-han cepat melompat keluar dan di dalam gelap mereka masih sempat melihat Su Ban Ki roboh terlentang tak bergerak di dekat mayat suhengnya dan yang membuat tiga orang ini melongo adalah ketika mereka melihat sebuah peti mati bergerak-gerak pergi, kadang-kadang bergulingan, kadang-kadang berloncatan. Saking kaget dan ngeri hati, mereka tidak mengejar. Akan tetapi Lu Bin cepat meloncat ke dalam rumah dan melihat bahwa peti mati yang tadi masih menggeletak di atas meja, terbuka dan kosong. Dengan demikian, berarti bahwa peti mati di luar yang "hidup"

   Itu adalah peti mati lain, walaupun bentuk dan modelnya sama, yaitu di bagian kepala terdapat ukir-ukiran kepala siluman seperti naga atau harimau. Ia cepat melompat keluar lagi.

   "Kejar.."

   Serunya sambil lari cepat diikuti kedua orang sutenya. Akan tetapi dalam sekejap mata saja peti mati "hidup"

   Itu sudah lenyap. Dengan penuh keheranan dan penasaran, tiga orang jago Hou-han ini kembali dan alangkah kaget dan herannya hati mereka ketika mereka tiba di depan pondok, mereka tidak melihat lagi mayat Su Ban Ki dan suhengnya. Ketika mereka memasuki rumah, anak buah mereka masih berdiri saling pandang dengan muka pucat, memandang peti mati yang masih terbuka kosong di atas meja.

   "Hemmm, apa artinya ini semua?"

   Gak Houw berseru marah.

   "Orang sakti mempermainkan kita. Sayang tidak ada Sin-ni, kalau ada jangan harap dia dapat bermain gila seperti ini"

   "Betapapun juga, dia masih merasa sungkan dan tidak mengganggu kita. Siapa lagi yang dapat mengirim mayat dalam peti mati istana kalau bukan orang sini juga? Su Ban Ki dan suhengnya telah dihukum, mungkin dianggap sebagai pengkhianat, lenyapnya mayat mereka menjadi bukti bahwa pembunuhnya tentulah orang Beng-kauw sendiri yang tidak mau melihat anak buah mereka menggeletak di luar. Juga agaknya mereka itu hendak memperingatkan kita."

   Memang Lu Bin seorang yang berpemandangan luas dan sudah berpengalaman dalam dunia kang-ouw yang serba aneh.

   "Habis, bagaimana baiknya?"

   Kata Giam Song.

   "Apakah kita harus melaporkan hal ini kepada Sin-ni?"

   "Tidak perlu,"

   Kata Lu Bin.

   "Kita tidak mempunyai maksud buruk, tugas kita hanya untuk menghubungi Nan-cao dan untuk mengadakan persekutuan guna memperkuat pertahanan bersama. Soal-soal yang busuk tadi datangnya dari fihak Nan-cao sendiri sebagai usul, bukan hasil pemikiran kita. Dan inilah sebabnya kita tidak diganggu. Hebat benar orang sakti itu, dan sudah sepatutnya kita mengucap syukur bahwa kita tidak mempunyai maksud-maksud kotor. Peti mati itu pun harus kita kembalikan."

   
Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kembalikan? Ke mana?"

   Gak Houw berseru kaget.

   "Datangnya dari atas genteng, tentu saja harus kita kembalikan ke atas genteng pula"

   Sambil berkata demikian, ia menghampiri meja, mengempit peti mati itu dengan lengan kiri, membawanya keluar kemudian sekali menggerakkan tangan, peti mati itu melayang naik ke atas genteng, jatuh di atas genteng tanpa membikin pecah genteng dan terletak di situ seperti diletakkan perlahan-lahan oleh tangan yang amat hati-hati. Ini membuktikan betapa lwee-kang dari orang she Lu ini sudah cukup kuat. Lu Bin lalu mengajak teman temannya masuk ke dalam pondok dan memesan anak buahnya agar supaya iangan lengah, biarpun berada di dalam kamar masing-masing agar supaya malam itu jangan tidur, melainkan berjaga-jaga.

   Tidak hanya di tempat penginapan orang-orang Hou-han yang terjadi peristiwa aneh. Juga di tempat lain terjadi keributan. Pada keesokan harinya, di ruangan tempat kediaman para utusan Kerajaan Sung, juga terjadi hal yang bikin geger. Pada waktu itu, rombongan utusan Kerajaan Sung Utara sedang sarapan. Di kepala meja duduklah ketua rombongan, yaitu wakil Kerajaan Sung, seorang panglima tua bernama Ouwyang Swan yang pada saat itu mengenakan pakaian biasa. Ia semeja dengan tiga orang panglima lain yang lebih muda. Tentu saja dalam percakapan mereka bicara tentang peristiwa dalam perjamuan kemarin, dan membicarakan Gan-lopek dan Suma Boan. Mereka tertawa-tawa geli. Sebagian besar panglima yang setia kepada Kerajaan Sung, tidak senang belaka kepada Suma Boan, putera dari Pangeran Suma yang korup. Tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar dan ketika mereka menengok, dengan heran mereka melihat seorang kakek tua yang telanjang bulat memegangi sehelai kain berlari-lari ke arah mereka sambil berteriak-teriak.

   "Waduhhh.. walaaahhh.. ular.. hiiiii.. ular, ular.."

   Sambil berteriak-teriak dengan mata terbelalak ketakutan, kakek itu berlari memasuki ruangan dan terus saja meloncat ke atas meja di depan Panglima Ouwyang Swan, kakinya yang juga telanjang itu menginjak-injak hidangan dan menendang cawan-cawan arak sehingga hidangan dan minuman itu hancur berhamburan dan tumpah semua. Ia terus berloncat-loncatan dari meja ke meja dan menghancurkan semua hidangan. Tentu saja para panglima dan rombongan Sung menjadi kaget, heran, dan juga marah sekali. Apalagi ketika mereka melihat seorang kakek lain yang muncul dengan seekor ular besar membelit-belit tubuhnya, kakek yang bukan lain adalah Tok-sim Lo-tong, seorang di antara keenam Thian-te Liok-koai, kakek yang hanya bercawat saja dan tubuhnya tinggi kurus kering seperti tiang lampu.

   Melihat munculnya iblis ini, barulah panglima Ouwyang Swan teringat dan kini ia memandang kepada kakek pendek telanjang bulat yang masih menari-nari di atas meja-meja, menginjak-injak semua hidangan sambil berteriak "ular-ular". Kini ia mengenal kakek telanjang itu, bukan lain adalah Gan-lopek si kakek badut yang sakti dan yang sejak pagi tadi menjadi bahan percakapan mereka. Kagetlah hati Ouwyang Swan. Pagi-pagi muncul dua orang sakti dalam keadaan begitu aneh, benar-benar hal yang luar biasa sekali. Para anak buahnya banyak yang marah sekali, akan tetepi sebagai anak buah yang taat, mereka belum berani bergerak sebelum mendapat komando dari Ouwyang Swan sendiri.

   "Tikus busuk she Gan, jangan lari, hayo ke sini lawan aku"

   Suara kecil dan berbunyi ngik-ngik seperti orang sakit napas itu menantang.

   "Memang aku tikus, paling takut melihat ular"

   Empek Gan menggigil.

   "Tapi engkau bocah cacingan kurang ajar. Engkau cacing busuk. Kalau mengajak berkelahi, pakailah aturan. Masa orang lagi enak-enak mandi kau ganggu dan takut-takuti dengan ular? Aku paling jijik melihat ular yang kotor"

   Orang-orang yang tadinya sarapan kini sudah berdiri semua, ada yang menahan ketawa, ada yang memandang tegang. Peristiwa itu tampaknya saja lucu, melihat seorang kakek yang disohorkan sakti terbirit-birit ketakutan melihat ular sampai lari bertelanjang, akan tetapi sebetulnya amatlah menegangkan karena kakek sakti ini kini berhadapan dengan seorang di antara Enam Iblis.

   "Orang she Gan, mari.. mari.. kita main-main sejenak.."

   Kembali Tok-sim Lo-tong menantang sambil berdiri dengan kaki terpentang lebar di luar pondok. Akan tetapi Empek Gan tidak mempedulikan dia lagi. Entah dari mana dapatnya, tahu-tahu kakek ini sudah mengeluarkan puluhan butir obat bundar sebesar kelingking. Kain yang tadi dibawanya sudah ia libatkan menutupi tubuhnya, dan sambil tertawa lebar ia berkata.

   "Kalian ini jagoan-jagoan dari Kerajaan Sung mengapa begini goblok?"

   Ouwyang Swan mengerutkan alisnya. Dia seorang panglima tua yang namanya sudah terkenal, ilmu kepandaiannya tinggi dan kedudukannya tinggi pula di Kota Raja Sung. Biarpun ia maklum akan kesaktian Gan-lopek, namun ia merasa bahwa orang sakti ini keterlaluan, sama sekali tidak memandang mata kepadanya.

   "Gan-locianpwe, kami mengerti bahwa kau adalah seorang yang sakti dan kami adalah orang-orang bodoh saja, akan tetapi tidak ada alasan bagimu untuk memaki-maki karena di antara kita tidak ada.."

   "Aduhhh.."

   Dua orang anak buahnya terguling dan merintih-rintih, mukanya pucat dan mereka memegangi perut yang terasa amat sakit. Ouwyang Swan kaget sekali, mengira bahwa kakek sakti itu turun tangan jahat, akan tetapi tiba-tiba tiga orang temannya yang menjadi pembantu-pembantunya juga mengerang kesakitan dan menekan-nekan perut. Empek Gan tertawa bergelak.

   "Salahkah kalau aku bilang kalian goblok? Begitu gobloknya sehingga tai busuk dimakannya. Sekarang setelah keracunan, masih berlagak lagi. Nih, telanlah seorang satu sebelum nyawa melayang. Kalau masih ada yang rakus, mau makan sisa makanan yang sudah kuinjak-injak, silakan dan aku tidak bisa menolong lagi"

   Setelah melempar puluhan butir obat itu ke atas meja, ia berlari-lari keluar.

   "Eh, kau masih di sini? Tok-sim Lo-tong, bocah baik, jangan menakut-nakuti orang tua dengan ular, ya? Lebih baik kau main tari-tarian ular biar nanti kuberi hadiah"

   "Hadiah kepalamu"

   Tok-sim Lo-tong menerjang maju, ular itu telah ia pegang perutnya dan kini binatang ini ia pergunakan sebagai senjata, menyambar ke arah kepala Gan-lopek.

   "Hiiiii.. jijik aku.."

   Dengan amat mudahnya Gan-lopek mengelak, kelihatannya tidak mengelak hanya menggerakkan pantat megal-megol, tapi serangan-serangan Tok-sim Lo-tong mengenai tempat kosong melulu. Ketika iblis itu marah dan mendesak, Gan-lopek sudah lari pergi sambil berteriak-teriak ketakutan. Tok-sim Lo-tong juga lari mengejar. Adapun Ouwyang Swan cepat membagi-bagi obat. Dia lebih dulu menelan obat itu karena tiba-tiba perutnya juga terasa panas dan sakit. Ajaib. Begitu ditelan, rasa panas dan sakit lenyap seketika. Anak buahnya juga mengalami hal serupa.

   "Hemmm, ada yang menaruh racun pada makanan kita.."

   Ouwyang Swan berkata marah.

   "Heran sekali, apakah pemerintah Nan-cao mau berlaku serendah ini, meracuni tamu-tamunya yang datang memberi selamat dan mengantarkan sumbangan sebagai tanda persahabatan?"

   "Tuan rumah memperlihatkan sikap bermusuhan, tak perlu kita tinggal lebih lama di sini, Ouwyang-twako"

   Kata panglima lainnya, Tan Hun, yang menjadi pembantunya.

   "Memang, hendak kulaporkan hal ini kepada Beng-kauwcu sendiri sambil berpamit."

   Cepat Ouwyang Swan memasuki kamar hendak berganti pakaian dinas, akan tetapi pada saat itu terdengar pekik kesakitan di sebelah belakang rumah. Mereka cepat berlari-lari ke belakang dan melihat dua orang berpakaian pelayan menggeletak tak bernyawa lagi dan di situ berdiri seorang laki-laki tua yang bersikap gagah, berpakaian sederhana, kepalanya tertutup topi lebar, tangannya memegang senjata pecut. Kauw Bian Cinjin, sute dari Beng-kauw yang bertugas menyambut tamu.

   "Maaf, Cu-wi enghiong dari Kerajaan Sung tentu mengalami banyak kaget karena gara-gara pengkhianat dua orang pelayan ini. Syukur ada Gan-lopek yang datang lebih dulu menyampaikan obat penawar. Lohu (aku yang tua) atas nama Beng-kauw menghaturkan maaf atas keteledoran ini."

   Ia menjura dengan hormat kepada Ouwyang Swan. Panglima tua ini cepat balas menghormat.

   "Kiranya ada pengkhianatan, akan tetapi sebetulnya apakah yang terjadi? Siapakah yang menaruh racun dalam makanan untuk kami Cinjin?"

   Kakek Beng-kauw itu tersenyum sabar dan menggeleng kepala.

   "Banyak terjadi hal aneh, Ciangkun (Panglima), yang agaknya ditujukan untuk mengotori nama Beng-kauw. Kami sedang melakukan penyelidikan, karena itu hal ini masih menjadi rahasia. Akan tetapi percayalah, semua ketidakwajaran yang terjadi, pasti bukan dari kami datangnya dan kalau ada anak buah kami yang terbawa-bawa, kami tidak ragu-ragu untuk memberi hukuman seperti yang kulakukan kepada dua orang pelayan ini. Nah, selamat pagi dan sekali lagi maaf"

   Setelah berkata demikian, Kauw Bian Cinjin membunyikan cambuknya satu kali "tar"

   Maka muncullah dua orang anak buah Beng-kauw yang segera mengangkat dua jenazah itu dan pergi tanpa mengeluarkan kata-kata. Kauw Bian Cinjin menjura kepada para tamu dan berjalan pergi. Ouwyang Seng dan anak buahnya saling pandang, lalu kembali ke ruangan, tiada hentinya membicarakan hal yang aneh itu. Tak lama kemudian dua orang pelayan baru datang untuk membersihkan tempat itu dan menggantinya dengan makanan baru. Panglima Sung itu dan teman-temannya lalu melanjutkan makan pagi untuk kemudian bersiap-siap pergi ke tempat sembahyangan guna memberi hormat kepada arwah mendiang ketua Beng-kauwcu yang tersohor, yaitu Pat-jiu Sin-ong Liu Gan.

   Kita kembali mengikuti Lin Lin. Malam hari itu ia dan Pak-sin-tung, dikawal pula oleh dua puluh empat orang Khitan yang berkepandaian tinggi secara sembunyi, telah mendatangi ruangan sembahyang. Melihat Suling Emas berada di ruangan itu, bersama tokoh-tokoh Beng-kauw sibuk mengatur ruangan sembahyangan di mana terdapat sebuah peti mati yang besar dan panjang, melihat pula betapa Beng-kauwcu masih memegang tongkatnya yang berhiaskan ya-beng-cu permata yang mengeluarkan sinar itu, Lin Lin kecewa sekali. Ia dapat menduga bahwa Hek-giam-lo tentu belum berhasil merampas tongkat itu. Selain kecewa juga ia melihat kesempatan terbuka baginya untuk membebaskan diri dari Pak-sin-tung karena Suling Emas berada di situ, maka dengan nekad ia menyelinap masuk melalui pintu belakang ruangan sembahyang itu yang merupakan sebuah bangunan besar, megah dan serem.

   Pak-sin-tung kaget sekali karena kakek ini sudah mendengar bahwa bangunan ruangan sembahyang ini adalah bagian terlarang yang tidak boleh sekali-kali dimasuki orang, apalagi orang luar, bahkan para anggauta Beng-kauw sendiri ia dengar tidak berani memasukinya. Sekarang, Lin Lin masuk melalui pintu kecil. Tadinya ia hanya bersembunyi sambil mengintai, menanti munculnya gadis itu dan ia siap membantu dengan taruhan nyawa. Akan tetapi karena sampai lama gadis itu tidak muncul, kegelisahannya memuncak. Ia lalu bergerak dengan hati-hati, meninggalkan tempat sembunyinya dan dengan beberapa kali loncatan yang tidak mengeluarkan suara, ia telah berada di depan pintu kecil. Alangkah kagetnya ketika ia membaca tanda-tanda larangan bahkan ancaman hukuman bagi orang yang berani memasuki pintu itu. Betapapun gagahnya Pak-sin-tung, ia cukup maklum akan keangkeran Beng-kauw, maka ia mundur lagi, tidak berani masuk. Dengan hati gelisah, kembali ia bersembunyi dan mengintai ke arah ruangan yang masih sibuk.

   Lin Lin memasuki lorong yang amat gelap dan hawanya dingin sekali. Ia berjalan terus, meraba-raba dengan kedua kakinya, berlaku hati-hati. Ia mulai merasa serem ketika lorong yang panjang itu terus berada dalam kegelapan dan dinginnya makin menyusup tulang, seakan-akan ia berada di dalam lorong yang ditutup es. Mulailah ia ragu-ragu dan takut, siap untuk memutar tubuh dan kembali. Akan tetapi ia teringat bahwa di belakangnya, Pak-sin-tung dan dua puluh empat orang Khitan siap untuk memaksanya ke Khitan. Ingat akan ini, ia mengeraskan hati dan melangkah maju terus. Tiba-tiba ia tersentak kaget. Ada suara bercicit aneh di dalam gelap, suara yang mula-mula terdengar di atas, kemudian terdengar di sebelah bawah. Ia berhenti, bulu tengkuknya meremang, mendengarkan dengan penuh perhatian. Suara itu makin mendekat, terdengar di bawah kakinya. Dengan mengeraskan hatinya yang kebat-kebit ia melangkah lagi, kakinya agak menggigil. Tiba-tiba kakinya menginjak sesuatu dan terdengar suara,
(Lanjut ke Jilid 17)
Cinta Bernoda Darah (Seri ke 03 "

   Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 17
"Cuittttt"

   Keras. Lin Lin meloncat ke atas, semangatnya serasa melayang meninggalkan tubuhnya ketika ia tahu bahwa suara itu suara tikus-tikus dan bahwa ia tadi kena injak tikus. Hampir ia pingsan. Celaka baginya karena diantara segala benda dan mahluk di dunia ini, hanya tikuslah yang paling ia takuti. Setan ia tidak takut, iblis akan dilawannya, harimau akan diterjangnya, akan tetapi tikus. Menggigil ia dibuatnya. Saking jijik dan takutnya, Lin Lin memutar tubuh dan setengah berlari kembali. Akan tetapi anehnya sampai lama ia tidak juga sampai di pintu kecil tadi. Ia telah salah jalan, tidak tahu bahwa lorong itu mempunyai banyak jalan simpangan. Lin Lin telah tersesat ke dalam liku-liku jalan di bawah tanah.

   Kegelisahan tercampur rasa ngeri dan takut akan tikus-tikus yang agaknya banyak terdapat di jalan terowongan gelap itu agak berkurang ketika Lin Lin tiba-tiba dapat melihat cahaya remang-remang di sebelah depan. Ia berlari terus, hatinya lega. Tak salah lagi, pikirnya, tentu di depan itu terdapat jalan keluar. Benar saja, lorong itu makin lama makin lebar dan cahaya menjadi makin terang. Tiba-tiba terdengar suara mendesis dari sebelah kanan dan sebuah bayangan panjang kecil menyambarnya. Lin Lin cepat mencabut pedangnya dan sinar kuning berkelebat ketika pedangnya membacok ke arah bayangan ini.

   "Crakkk"

   Lin Lin berdiri dengan mata terbelalak ketika melihat benda hitam itu kiranya adalah seekor ular hitam. Agaknya ular ini tadi kaget melihat kedatangannya dan menyerang. Kini tubuh ular itu menjadi dua potong dan bagian ekornya melilit-lilit tubuh sendiri. Lin Lin menyimpan kembali pedangnya dan melangkah maju dengan hati-hati.

   Setelah berjalan maju sejauh tiga puluh meter, ia berhenti. Di depannya adalah sebuah ruangan besar dan cahaya yang sebagian menerangi lorong tadi ternyata adalah cahaya matahari yang masuk melalui sebuah jendela yang lebar, berjeruji baja dan tingginya dari lantai kurang lebih dua meter. Tiba-tiba mata gadis itu terbelalak dan wajahnya berubah agak pucat ketika pandang matanya meluncur ke bawah dan bertemu dengan tumpukan peti-peti mati yang jumlahnya ada tujuh buah, peti-peti mati itu bentuknya biasa, akan tetapi di bagian kepalanya terukir muka binatang yang menyeramkan, seperti muka iblis. Kemudian Lin Lin dapat menenangkan hatinya. Mengapa harus takut, pikirnya. Peti-peti mati kosong itu tentulah persediaan bagi keluarga kaisar atau para pimpinan Beng-kauw. Tadi ia kaget karena melihat bentuk dan model peti-peti yang berjajar dan bertumpuk itu sama benar dengan peti mati yang berada di ruanyan sembahyang.

   "Ah, benda mati, hanya terbuat daripada kayu dan kosong, takut apa?"

   Dengan suara hati menenangkan ini Lin Lin melangkah maju, sengaja tidak mau memperhatikan peti-peti mati itu, lalu sibuk mencari jalan keluar. Ia bingung dan heran. Ruangan ini tidak berpintu. Akan tetapi dari balik ruji jendela itu ia melihat atap sebuah rumah. Agaknya ruangan ini merupakan tempat terakhir dari jalan terowongan, dan melihat peti-peti mati itu, agaknya memang dijadikan semacam tempat penyimpanan peti mati, semacam gudang. Akan tetapi, kalau memang demikian, mengapa tidak ada pintunya yang menembus ke bangunan lain? Apakah untuk memasuki ruangan ini orang harus melalui jalan terowongan yang berliku-liku, banyak cabang dan rahasianya dan selain jauh, juga demikian gelapnya? Tak masuk akal. Ia melangkah maju dan menghampiri dinding, meraba-raba. Mungkin ada pintu rahasia.

   "Kriiittttt.."

   Lin Lin menengok, bulu tengkuknya berdiri.

   Jelas ia mendengar suara itu, seperti sebuah pintu karatan dibuka, atau.. sebuah tutup peti. Akan tetapi tumpukan peti-peti mati itu tidak bergerak. Tiba-tiba Lin Lin meloncat dan hampir ia menjerit. Seekor tikus besar lari ke luar dari bawah peti mati sambil mencicit lari melalui bawah kakinya. Dengan hati berdebar-debar Lin Lin menenangkan hatinya sendiri. Hanya seekor tikus, Ia menggerakkan kedua pundak seperti orang kedinginan karena timbul rasa jijik dan gelinya. Akan tetapi segera wajahnya berubah. Biasanya, tikus takut melihat manusia dan tentu akan bersembunyi. Mengapa tikus yang sudah sembunyi di bawah tumpukan peti mati itu malah keluar dari tempat sembunyinya dan melarikan diri lewat dekat kakinya? Hanya satu hal yang memungkinkan kejadian ini. Tikus juga takut akan sesuatu. Takut sesuatu di dalam peti mati. Dan suara berkerit tadi.

   "Ah, tidak ada setan di siang hari"

   Pikir Lin Lin menabahkan hati, kemudian dengan penuh kegemasan ia melangkah maju mendekati tumpukan peti mati.

   "Nah, tidak ada apa-apa, peti mati kayu yang kosong. Apa sih yang harus ditakuti?"

   Katanya perlahan sambil menepuk-nepuk peti mati yang paling atas. Setelah kengeriannya lenyap dan keberaniannya timbul kembali, gadis ini sengaja hendak memeriksa terus. Tangan kanannya memegang gelang baja yang dipasang di atas tutup peti mati yang paling atas, lalu mengerahkan tenaga membukanya untuk menyatakan bahwa peti mati itu memang kosong.

   Peti mati itu terbuka tutupnya, mengeluarkan suara seperti tadi, berkerit karena engselnya berkarat. Sedikit demi sedikit tutup itu terbuka, karena amat berat sehingga Lin Lin harus mengerahkan tenaga. Ia tersenyum sambil memandang ke dalam peti mati dan.. Lin Lin melepaskan gelang baja dan terhuyung mundur, terus mundur sampai punggungnya menyentuh dinding dingin, matanya terbelalak lebar, wajahnya pucat, tubuhnya menggigil dan mulutnya bergerak-gerak tanpa dapat mengeluarkan suara. Apa yang dilihatnya? Sesosok mayat di dalam peti, muka mayat yang pucat kurus dan lebih hebat lagi.. tangan mayat yang hanya tulang terbungkus kulit itu bergerak menyangga tutup peti mati. Mayat itu bergerak dan hidup.

   Dapat dibayangkan betapa kaget, ngeri dan takutnya hati Lin Lin melihat peti mati itu bergoyang-goyang, tutupnya setengah terbuka sehingga tampak kepala mayat, kemudian peti mati itu meloncat turun dari tumpukan, muka mayat yang mengerikan menjenguk keluar dan lengan kirinya keluar pula dari bawah tutup. Lin Lin menggerakkan tangan kanan meraih gagang pedang, akan tetapi pada saat itu terdengar lengking tinggi mengerikan, seperti suara suling, keluar dari mulut itu. Tiba-tiba Lin Lin menggigil kaki tangannya, tak dapat lagi mencabut pedang. Suara itu selain mengandung pengaruh melumpuhkan, juga mengingatkan ia akan sesuatu.

   "Kau.. kau.."

   Suaranya tenggelam dalam lengkingan yang panjang dan nyaring, kemudian gadis ini menjadi lemas dan terguling, pingsan. Kekagetan mengingat bahwa ia berhadapan dengan pembunuh ayah ibu angkatnya, yaitu setan peti mati dengan suara seperti suling, ditambah kengeriannya tak dapat tertahankan oleh Lin Lin.

   Suara lengking itu berhenti, peti mati yang tadinya berada di tumpukan paling atas, kini sudah berada di bawah, tidak bergerak-gerak lagi. Akan tetapi tutup peti mati terbuka makin lebar oleh lengan yang kurus dan dengan gerakan perlahan mengerikan.

   "setan"

   Itu keluar dari dalam peti mati. Ia seorang laki-laki tinggi, kurus sekali seperti tengkorak terbungkus kulit, kepalanya gundul, matanya tak pernah berkedip, hidungnya besar dan panjang melengkung ke bawah, mulutnya seperti orang menangis, tubuh yang kurus itu terbungkus pakaian yang robek di sana-sini, sepatunya juga sudah butut. Muka yang pucat dan tak bergerak-gerak itu memang tak pantas menjadi muka manusia hidup, lebih patut menjadi muka mayat. Akan tetapi kenyataan bahwa ia dapat bergerak, menandakan bahwa ia masih hidup. Inilah kiranya yang disebut mayat hidup.

   Mayat hidup itu berjalan perlahan menghampiri Lin Lin, terbungkuk berdiri memandang ke arah muka gadis itu, mulutnya mengeluarkan suara "ah-ah-uh-uh"

   Seperti orang setengah tertawa setengah menangis, kemudian ia membungkuk dan dengan sebelah tangan saja ia mengangkat tubuh Lin Lin dengan ringannya, menghampiri peti mati yang bertumpuk, membuka tutup peti mati teratas lalu.. memasukkan tubuh Lin Lin ke dalam peti mati itu dan menutupnya kembali. Setelah melakukan hal ini, ia kembali mengeluarkan suara seperti tadi dan kini bibirnya bergerak seperti orang tersenyum iblis, kemudian ia melompat masuk ke dalam peti matinya yang dapat bergerak-gerak meloncat ke atas tumpukan peti mati. Dalam sekejap mata, peti-peti mati itu sudah bertumpuk seperti tadi dan keadaan di dalam ruangan itu sunyi tak terdengar apa-apa lagi.

   Di ruangan sembahyang telah mulai ramai dengan para tamu yang berdatangan untuk memberi penghormatan. Mereka itu, seperti juga Lin Lin, terkejut dan heran melihat adanya peti mati besar yang berada di tengah ruangan, di belakang meja sembahyang. Bukankah Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, ketua pertama dan pendiri Beng-kauw itu telah meninggal dunia seribu hari yang lalu? Bagaimana sekarang peti matinya masih berada di sini? Apakah selama tiga tahun ini peti matinya tidak dikubur? Pertanyaan-pertanyaan ini terkandung di hati setiap orang pengunjung, akan tetapi mereka tidak berani bertanya dan dengan penuh hormat mereka memasang hio dan memberi hormat ke arah peti mati yang membujur di tengah ruangan. Asap hio makin banyak dan tebal mengebul memenuhi ruangan, membawa bau harum.

   Di sebelah kanan peti mati berdiri ketua Beng-kauw sendiri, yang menerima penghormatan dan membalas dengan sikap hormat kepada setiap orang tamu yang bersembahyang. Di sebelah kiri peti mati berdiri Liu Hwee dan di belakangnya berjajar para pembantu pimpinan Beng-kauw. Mereka ini pun membalas penghormatan para tamu. Yang berdatangan adalah tamu-tamu terhormat, wakil-wakil dari kerajaan lain. Tokoh-tokoh kang-ouw belum ada yang tampak. Hari masih terlampau pagi agaknya. Akan tetapi Suling Emas sudah kelihatan duduk di ujung kursi kehormatan. Di sebelahnya duduk Bu Sin yang bercakap-cakap dengannya sambil tersenyum-senyum dan wajahnya berseri-seri.

   "Sungguh, Song-koko, kau telah mempermainkan kami adik-adikmu bertiga secara hebat. Setengah mati kami mencarimu, sampai mengalami hal-hal yang sengsara dan berbahaya. Mengapa kau tidak mengaku terus terang bahwa pendekar besar Suling Emas adalah kakak kami Kam Bu Song?"

   Suling Emas menahan senyumnya sehingga mukanya tampak berduka, lalu ia menggeleng-gelengkan kepala dan berkata.

   "Bu Sin, aku sudah hampir lupa akan orang yang bernama seperti itu. Bagiku, aku adalah Suling Emas.."

   Bu Sin mengeluarkan sebuah gelang emas,

   "Twako (Kakak Tertua), biarpun kau sudah melupakan kami, sebaliknya kami tidak melupakanmu. Ayah kita selalu ingat kepadamu, berusaha susah payah mencarimu, bahkan di hari terakhir beliau meninggalkan pesan agar kami bertiga mencarimu dan memberikan benda ini kepadamu. Twako apakah kau berani bilang bahwa kau melupakan benda ini?"

   Ia menyerahkan gelang emas itu kepada Suling Emas.

   Melihat benda ini, Suling Emas berubah mukanya, menerima dan mengamat-amatinya. Ia membaca dua buah huruf yang berbunyi BU SONG terukir pada gelang emas kecil itu, ia meramkan matanya untuk beberapa detik lamanya, agaknya untuk membayangkan ketika ia masih kanak-kanak, membayangkan ayah bundanya, ketika ia membuka kembali matanya, Bu Sin melihat betapa bola matanya itu agak membasah, dan ia menjadi terharu. Suling Emas mempermainkan gelang itu dengan kedua tangannya, seakan-akan heran bagaimana benda sekecil itu dahulu dapat menghias lengan tangannya.

   "Bu Sin.."

   Katanya kemudian, perlahan sekali setengah berbisik.

   "kau keliru kalau kau menyangka aku melupakan semua. Tidak, aku tidak pernah melupakan Ayah, biarpun harus kuakui bahwa aku juga tidak dapat lupa betapa Ayah berpisah dari Ibu, dan menikah lagi. Juga.. aku girang sekali bertemu dengan kalian bertiga, tapi.. Bu Sin, kupesan kepadamu, jangan membuka rahasia bahwa aku adalah kakak kalian, belum lagi tiba saatnya. Kelak mungkin.."

   Pada saat itu, Suling Emas tiba-tiba menghentikan kata-katanya dan matanya memandang keluar ruangan. Bu Sin juga cepat memandang dan ia melihat dengan mata terbelalak ke arah mahluk yang kini menghampiri meja sembahyang, menjura dan suaranya terdengar parau dan bergema seakan-akan suara yang datang dari balik kubur.

   "Pat-jiu Sin-ong, tiga tahun mati, petimu masih belum dikubur, benar-benar membikin aku merasa kagum."

   Ia lalu melangkah maju menghampiri peti mati, mengamat-amati dengan mata terbelalaknya. Menyeramkan sekali iblis ini bagi Bu Sin yang baru kali ini menyaksikannya, seorang manusia tapi mukanya adalah muka tengkorak, pakaiannya serba hitam. Kalau ia bukan tengkorak hidup, tentulah seorang manusia yang memakai kedok tengkorak yang menyeramkan.

   "Hek-giam-lo, terima kasih atas penghormatan terhadap kami,"

   Kata Beng-kauwcu Liu Mo.

   "Kau datang mewakili Kerajaan Khitan ataukah atas nama pribadimu sendiri?"

   "Khitan tidak ada urusan maupun permusuhan dengan Nan-cao, Hek-giam-lo juga tidak ada permusuhan dengan Beng-kauw, apalagi bedanya? Sepuluh tahun yang lalu, dalam pertandingan yang cukup adil, aku dikalahkan Pat-jiu Sin-ong, sayang dia sudah mati tiga tahun yang lalu. Akan tetapi karena peti matinya masih berada di sini, apa salahnya aku melihat sejenak wajah dari bekas sahabatku?"

   Memang sepuluh tahun yang lalu, Hek-giam-lo pernah dikalahkan dalam adu kesaktian oleh mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan.

   Beng-kauwcu Liu Mo tentu saja cukup tahu akan wataknya yang seperti iblis, dan aneh sekali. Akan tetapi mendengar bahwa iblis ini hendak membuka peti mati kakaknya, ia terkejut dan marah sekali. Dengan gerak-geriknya yang tenang, ia menggerakkan kakinya mendekat, siap mencegah dengan cara apa pun juga agar iblis hitam tidak melakukan perbuatan yang lancang ini.

   "Hek-giam-lo, mengingat akan hubungan di antara kita, harap kau suka lepaskan tanganmu dari peti mati dan jangan mengganggunya."

   Akan tetapi secara tiba-tiba sekali Hek-giam-lo membalikkan tubuh dan.. kedua tangannya memukul dengan gerakan hebat sekali, mendatangkan angin pukulan dahsyat ke arah pusar dan dada Beng-kauwcu Liu Mo. Pukulan ini selain dahsyat dan sakti, juga dilakukan tiba-tiba di luar dugaan, karena seluruh perhatian ketua Beng-kauw itu tadinya ditujukan ke arah peti mati yang hendak dijaganya daripada gangguan Hek-giam-lo.

   Siapa duga, bukan peti mati yang diserang melainkan dirinya. Kalau saja bukan Beng-kauwcu Liu Mo yang menghadapi serangan kilat yang mematikan ini, tentu akan kalah dia yang diserang Hek-giam-lo. Para tamu dan para pimpinan Beng-kauw sudah mengeluarkan seruan tertahan saking kaget dan gelisahnya. Akan tetapi, biarpun dalam keadaan berbahaya sekali, Beng-kauwcu Liu Mo tetap tenang dan tidak kehilangan kewaspadaannya. Ia mengangkat kedua tangan, secepatnya digerakkan menangkis pukulan sambil membanting tubuh ke belakang. Kiranya pukulan Hek-giam-lo itu hanya gertakan belaka karena tahu-tahu iblis hitam ini sudah menubruk dari samping dan sekali renggut, tongkat di tangan Beng-kauwcu itu telah dirampasnya. Ia melompat keluar dari ruangan itu sambil tertawa bergelak.

   "Manusia curang.."

   Suling Emas berseru marah, akan tetapi karena tidak ada perintah dari tuan rumah, ia hanya bangkit berdiri dari tempat duduknya dan memandang marah.

   "Hek-giam-lo, kembalikan tongkat kami"

   Dengan gerakan ringan Beng-kauwcu Liu Mo melayang keluar mengejar, akan tetapi tiba-tiba dari samping kiri menyambar sebatang tongkat dengan tenaga dahsyat pula. Beng-kauwcu Liu Mo yang sudah siap segera mengelak dan ia berhadapan dengan seorang kakek yang buntung kedua kakinya. Kakek ini bukan lain adalah Pak-sin-tung, adik seperguruan Hek-giam-lo.

   "Kauwcu, tidak perlu mengejar dia,"

   Kata kakek buntung ini.

   "Ketahuliah, tongkatmu itu hanya dipinjam, terpaksa dirampas untuk memenuhi permintaan Tuan Puteri kerajaan kami yang ingin meminjamnya sebentar"

   Pada saat itu Suling Emas sudah berada di belakang Beng-kauwcu Liu Mo, juga anak buah Beng-kauw sudah ikut mengejar.

   Para tamu yang tertarik akan peristiwa hebat itu pun tidak mau ketinggalan, ikut pula mengejar hendak menonton. Mereka kini seakan-akan telah pindah dari ruangan sembahyang ke ruangan depan, lalu otomatis membentuk lingkaran lebar dan mengurung Pak-sin-tung yang ditemani oleh enam orang anak buahnya yang muncul dari tempat-tempat sembunyi mereka. Seperti kita ketahui, Pak-sin-tung yang mengantar Lin Lin tidak berani mengikuti gadis itu yang memasuki pintu kecil yang menembus terowongan, lalu menanti dan mengintai di situ sampai keesokan harinya. Demikian pula para anak buah yang dua puluh empat orang itu, diam-diam bersiap di tempat persembunyian masing-masing sehingga melihat Pak-sin-tung kini mewakili Hek-giam-lo menghadapi ketua Beng-kauw, enam orang di antara mereka muncul mengawaninya.

   

Tangan Geledek Eps 36 Tangan Geledek Eps 32 Suling Emas Eps 21

Cari Blog Ini