Ceritasilat Novel Online

Istana Pulau Es 18


Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 18



"Guruku tidak boleh disebut namanya, aku hanya belajar dari suhengku yang bernama Kam Han Ki. Locianpwe jangan terlalu memuji dan membuatku menjadi bangga dan sombong."

   Kembali kakek itu tertawa.

   "Engkau benar-benar masih bocah. Eh, Nona yang baik, engkau selain lihai juga rendah hati, dan hatimu amat baik penuh budi dan welas asih. Engkau belum mengenal aku akan tetapi engkau berani mempertaruhkan nyawa untuk membelaku mati-matian."

   Siauw Bwee tertawa manis dan dia berkata,

   "Aihhh, Locianpwe membikin aku merasa malu saja. Aku tidaklah sebaik yang Locianpwe katakan. Tentu saja aku membela mati-matian kepada Locianpwe yang telah menolongku kemarin."

   Mata kakek itu terbelalak.

   "Menolongmu? Apa maksudmu, Nona?"

   "Waah, Locianpwe pandai berpura-pura lagi. Siapakah yang kemarin menggunakan Ilmu Coan-im-jip-bit menyelamatkan aku dari serangan burung-buruhg gila? Kalau tidak ada pertolongan Locianpwe, agaknya aku akan mati di tengah rawa!"

   "Ah, engkaukah orangnya? Aku tidak mengenal siapa orangnya karena dari jauh. Aku kebetulan berjalan-jalan di dekat rawa dan melihat orang dikeroyok burung elang. Kiranya engkaukah orangnya?"

   Hati Siauw Bwee menjadi geli. Orang tidak mempunyai sebuah kaki pun, bagaimana bisa berjalan-jalan? Ingin dia menyaksikan bagaimana orang tak berkaki bisa berjalan.

   "Akulah orangnya, Locianpwe. Dan aku mengucapkan banyak terima kasih atas pertolonganmu itu,"

   Siauw Bwee menjura dengan hormat. Kakek itu tertawa bergelak dan sejenak wajahnya yang muram itu berseri gembira.

   "Wah, pengakuanmu ini meningkatkan pandanganku terhadap dirimu, Nona. Di samping segala kebaikanmu, engkau jujur dan ingat budi pula! Engkaulah orangnya. Ya, engkaulah orangnya yang akan dapat menolong kedua kaum yang saling bermusuhan sehingga setiap tahun mengorbankan banyak nyawa manusia tidak berdosa. Aku mohon kepada-mu, Nona, sukakah engkau mewakili aku menyelamatkan mereka!"

   Siauw Bwee mengerutkan alisnya. Sikap kakek itu benar-benar patut dikasihani. Dalam keadaan seperti itu masih mementingkan keselamatan orang lain, keselamatan kaum buntung kaki dan buntung lengan yang memperlakukannya dengan buruk.

   "Apakah maksudmu, Locianpwe? Mereka itu saling bermusuhan dan kedua pihak amat lihai. Bagaimana aku dapat mencampuri dan betapa mungkin aku dapat menolong dua pihak yang saling bermusuhan?"

   "Duduklah, Nona, dan dengarkan ceritaku."

   Siauw Bwee memang tertarik sekali akan permusuhan kedua kaum yang cacat itu, yang sebagian sudah ia dengar dari Cia Cen Thok, maka ia lalu duduk di atas dipan bambu di sebelah kakek itu.

   "Tahukah engkau mengapa kedua kaum yang bercacat itu saling bermusuhan, Nona?"

   Siauw Bwee mengangguk.

   "Permusuhan mereka ditanam oleh kedua orang saudara seperguruan yang bermusuhan dan dalam pertandingan, seorang kehilangan kaki kanan dan yang seorang lagi kehilangan lengan kiri."

   "Benar, dan aku tadinya adalah seorang di antara kaum lengan buntung itu. Akan tetapi, sejak dahulu aku tidak menyetujui permusuhan antara saudara sendiri, karena kaum kaki buntung dan kaum lengan buntung sebenarnya adalah saudara-saudara seperguruan. Apalagi cara mereka menerima murid-murid yang harus dibuntungi kaki atau lengannya seperti kaum mereka, benar-benar merupakan perbuatan yang amat keji. Aku adalah suheng dari The Bian Le dan aku berusaha membujuk suteku yang menjadi ketua kaum lengan buntung sekarang untuk berdamai dengan pihak kaki buntung. Pada waktu itu akulah yang menjadi ketua kaum lengan buntung. Usul itu diterima dengan penuh kemarahan dan mereka memberontak. Aku yang menjadi ketua mereka malah mereka anggap pengkhianat sumpah leluhur dan aku dikeroyok, kemudian kaki kananku mereka buntungkan dan aku diusir dengan kata-kata menghina bahwa aku berpihak kepada kaum kaki buntung, maka kaki kananku dibuntungi dan aku diusir."

   Kakek itu menundukkan mukanya dan menarik napas panjang, Siauw Bwee mengepal tangannya dan berkata,

   "Betapa kejamnya!"

   Kakek itu menggeleng kepala,

   "Merceka patut dikasihani, Nona. Aku tidak menyesal karena kakiku dibuntungi sebelah, melainkan menyesal bahwa usahaku itu gagal sama sekali. Aku lalu pergi ke tempat kaum kaki buntung. Biarpun kaki kananku sudah buntung seperti lengan kiriku, aku tidak putus harapan dan berusaha menghubungi Liong Ki Bok, ketua mereka yang sebenarnya kalau diperhitungkan malah suteku sendiri pula. Akan tetapi, karena tadinya aku adalah ketua kaum lengan buntung, aku dicurigai dan malah di sana aku dikeroyok dan kaki kiriku dibuntungi pula."

   "Ahhh....! Biadab! Jahat benar mereka itu!"

   Kembali kakek itu menggeleng kepala.

   "Mereka, kedua pihak telah dibikin mabok oleh dendam permusuhan. Akulah orangnya yang patut disesalkan karena berusaha mendamaikan mereka. Akan tetapi aku malah tetap penasaran dan aku takkan dapat mati dengan meram kalau belum berhasil mendamaikan mereka."

   Kakek itu kelihatan berduka sekali dan diam-diam Siauw Bwee merasa terharu dan kasihan, juga kagum menyaksikan iktikad baik yang tak kunjung padam dari hati kakek yang tubuhnya sudah cacad seperti itu.

   "Apa hubungannya semua itu dengan aku, Locianpwe? Kalau engkau sendiri yang tadinya adalah ketua kaum lengan buntung sama sekali tidak dapat mendamaikan mereka bahkan dianggap pengkhianat, bagalmana aku akan dapat mengusahakannya?"

   "Dengan jalan lain pasti dapat, Khu-lihiap. Akan tetapi dengarlah dulu ceritaku. Aku terasing di antara mereka kedua pihak dan aku, dengan tekad untuk tetap hidup dan terus berusaha mendamaikan mereka, dapat menyeret tubuhku dengan hanya lengan kanan ini sampai ke tempat ini, terpencil dan terasing. Sepuluh tahun lamanya aku berdiam di sini, menggembleng diri dan terutama sekali mempelajari rahasia ilmu-ilmu kedua pihak yang sesungguhnya memang sesumber. Dan ketekunanku selama sepuluh tahun ini berhasil baik, Nona! Aku telah memecahkan kedua ilmu mereka, maksudku aku telah menemukan cara pemecahannya dan cara untuk menundukkan ilmu gerak tangan kilat dari kaum kaki buntung dan ilmu gerak kaki kilat dari kaum lengan buntung. Dengan ilmu ini mereka tentu akan dapat ditundukkan kalau perlu dengan kekerasan!"

   Wajah Siauw Bwee berseri, dia ikut merasa gembira akan hasil kakek itu yang akan dapat memenuhi cita-cita hidupnya, yaitu menundukkan dan mendamaikan kedua kaum yang bersaudara akan tetapi permusuhan itu.

   "Bagus sekali, Locianpwe. Kalau begitu, Locianpwe pergunakan saja ilmu itu untuk menghajar orang-orang keras kepala itu!"

   Serunya.

   "Nona, lihatlah keadaanku. Aku hanya mempunyai sebuah lengan dan aku.... karena terlalu tekun menggembleng diri dengan ilmu-ilmu itu, aku menderita sakit jantung yang hebat dan takkan terobati lagi. Biarpun semua teori silat mereka sudah berada di telapak tanganku kalau aku hanya mempunyai satu lengan saja, bagaimana mungkin aku dapat menghadapi mereka?"

   "Ohhh....! Maafkan aku, Locianpwe,"

   Siauw Bwee berkata dengan muka merah karena dalam kegembiraannya tadi ia sampai lupa bahwa kakek itu tubuhnya tidak lengkap lagi.

   "Tidak apa, Nona. Bahkan akulah yang minta maaf kepadamu karena berani minta engkau seorang luar untuk mewakili aku...."

   "Maksudmu....?"

   "Ilmu kepandaianmu hebat, Nona. Baik Liong Ki Bok maupun The Bian Le, malah aku sendiri tidak akan dapat menandingimu. Engkau tentu murid seorang yang amat sakti. Akan tetapi, kalau engkau dikeroyok dan menghadapi ilmu silat gerak tangan sakti dan gerak kaki sakti, engkau yang masih kurang pengalaman tentu akan menjadi bingung sehingga keadaanmu akan berbahaya. Akan tetapi kalau engkau kuberi pelajaran rahasia tentang kedua ilmu itu dan pemecahannya, dengan mudah engkau akan dapat mengalahkan mereka. Nona, sudikah engkau memenuhi permintaan seorang tua yang sudah hampir mati dan sudikah engkau membiarkan aku mati dalam keadaan meram dan tenang karena menyaksikan kedua kaum itu telah dapat dipaksa berdamai?"

   Kakek itu suaranya seperti orang akan menangis dan disambungnya dengan suara parau.

   "Andaikata aku memiliki dua buah kaki, aku akan berlutut memohon kepadamu, Khu-lihiap!"

   Siauw Bwee merasa terharu sekali. Dia memiliki watak yang halus dan perasa, penuh welas asih, bagaimana mungkin ia dapat menolak permintaan itu?

   "Aihh, Locianpwe harap jangan terlalu sungkan. Aku sudah Locianpwe tolong dari ancaman maut dikeroyok burung-burung liar dan aku belum dapat membalas budi itu. Tentu saja aku akan berusaha untuk memenuhi permintaanmu."

   "Terima kasih, Li-hiap! Semoga Tuhan memberkatimu! Dan jangan bicara tentang budi pertolongan dariku, karena aku tahu bahwa tanpa kunasihatkan untuk menyelam juga, burung-burung gila itu mana mungkin dapat menjatuhkan seorang seperti Li-hiap? Nah, marilah kita mulai dengan latihan ilmu-ilmu tangan kilat dan kaki kilat, Nona. Waktu untuk pibu (mengadu ilmu) di antara mereka tiga bulan lagi, cukup lama bagimu untuk menguasai kedua ilmu itu dan kelak, dalam pertandingan pibu Nona dapat maju dan mengalahkan mereka. Kalau ketua mereka kalah olehmu, tentu mereka tidak berani membantah dan akan memenuhi permintaan Li-hiap untuk berdamai dan bersumpah mengubur semua permusuhan di antara kedua kaum!"

   Waktu tiga bulan bukanlah waktu yang sebentar dan berarti bahwa perjalanan akan tertunda selama tiga bulan. Akan tetapi waktu itu tidak dibuang sia-sia, dan sebagai seorang ahli silat seperti Siauw Bwee, tentu saja akan girang sekali, menerima pelajaran dua macam ilmu yang demikian hebat. Apalagi kalau diingat bahwa dia sedang melakukan tugas yang mulia yaitu berusaha mendamaikan permusuhan semua saudara sehingga kalau berhasil berarti dia telah menyelamatkan entah berapa banyak nyawa yang setiap tahun pasti ada yang jatuh menjadi korban pibu. Demikianlah, mulai hari itu, Siauw Bwee menerima petunjuk-petunjuk kakek cacad itu melatih diri dengan ilmu gerak tangan kilat dan gerak kaki kilat dan karena dasar ilmu silatnya malah lebih tinggi tingkatnya daripada kedua ilmu itu dia dapat melatih diri dengan mudah dan hasilnya amat hebat, lebih hebat daripada kalau kedua ilmu itu dilatih oleh tubuh Si Kakek sendiri andaikata dia tidak bercacad!

   Terpaksa kita tinggalkan dulu Siauw Bwee yang setiap hari tekun berlatih kedua macam ilmu silat istimewa itu dan sebaiknya kita mengikuti perjalanan Kam Han Ki, karena hal ini untuk memperlancar jalannya cerita. Telah kita ketahui betapa Kam Han Ki merana hatinya, seolah-olah kehilangan semangat dan gairah hidup ketika kedua orang sumoinya meninggalkan Istana Pulau Es sehingga dia tinggal seorang diri di Pulau Es. Karena tidak dapat menahan kesepian yang menggerogoti hatinya, juga karena khawatir akan keadaan kedua orang sumoinya, Han Ki lalu membuat sebuah perahu dan berlayarlah dia meninggalkan Pulau Es dengan maksud hendak mencari kedua orang sumoinya, atau setidaknya, seorang di antara mereka.

   Setelah mendarat di tepi pantai daratan Tiongkok, pemuda ini menjadi bingung karena dia tidak tahu di sebelah mana kedua orang sumoinya mendarat dan ke mana pula mereka pergi. Akan tetapi, dia berjalan terus ke barat dan di sepanjang jalan dia berusaha menemukan jejak kedua orang sumoinya dengan bertanya-tanya kepada orang-orang yang dijumpainya di jalan. Akan tetapi, sampai berpekan-pekan ia melakukan perjalanan, belum juga ia mendapatkan jejak kedua orang sumoinya. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang ditanyainya pernah melihat dua orang gadis itu, sebaliknya, Han Ki mendengar akan keadaan kerajaan baru yang makin luas saja wilayahnya, yaitu Kerajaan Cin yang dibangun oleh bangsa Yucen.

   Kini di daerah utara, hampir seluruh wilayah Kerajaan Sung telah terjatuh ke tangan Kerajaan Cin. Dari dia mendengar pula tentang pergolakan di Kerajaan Sung, tentang para pembesar yang memberontak dan berdiri sendiri-sendiri menguasai wilayah masing-masing. Mendengar pula akan pergerakan bangsa Mancu di samping bangsa Yucen. Ketika ia mendengar bahwa dia memasuki daerah yang telah dikuasai bangsa Yucen yang mulai mengangkat pejabat-pejabat daerah sebagai pegawai Kerajaan Cin, teringatlah Han Ki akan kekasihnya, Sung Hong Kwi yang dahulu akan dikawinkan dengan Raja Yucen. Timbul hasrat hatinya untuk mendengar berita tentang kekasihnya itu, dan kalau mungkin.... menjumpainya! Masih hidupkah Hong Kwi kekasihnya itu? Apakah kini telah menjadi seorang yang mulia di Kerajaan Cin? Ataukah hanya menjadi selir rendahan saja?

   Hatinya terasa perih kalau ia mengingat akan cerita betapa raja-raja yang berkuasa, seperti halnya Kaisar Kerajaan Sung, paling suka mempermainkan wanita dan setiap hari berganti wanita, yang lama dicampakkan begitu saja. Jangan-jangan seperti itu pula nasib Hong Kwi. Kekhawatiran ini mendorong hasratnya untuk menyelidiki keadaan Hong Kwi. Akhirnya, karena dorongan hasrat ingin bertemu bekas kekasihnya tak dapat ditahannya lagi, Han Ki mendatangi kota raja Yucen dan berhasil pada suatu malam menyelundup masuk ke taman Istana Raja Yucen! Dilihatnya bahwa dia telah memasuki harem (keputren, tempat selir-selir raja) dan ketika ia melihat beberapa orang wanita cantik berpakaian indah bersendau-gurau di dekat kolam ikan, ia lalu melompat ke dekat mereka. Wanita-wanita itu terkejut dan menjerit, akan tetapi Han Ki mengangkat tangannya dan berkata halus,

   "Harap kalian jangan takut. Aku datang tidak berniat buruk, hanya ingin bertemu dengan Sung Hong Kwi. Adakah dia di sini?"

   Ketika melihat bahwa yang muncul seperti setan itu adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah, lenyaplah rasa takut wanita-wanita itu dan di antara mereka bahkan ada yang tersenyum-senyum dan melirik-lirik tajam. Mereka adalah wanita-wanita yang selalu dikurung dan hanya kadang-kadang melayani Raja Yucen yang sudah tua, tentu saja jantung mereka berdebar tegang dan aneh ketika berhadapan dengan seorang pemuda tampan dan gagah seperti itu. Seorang di antara mereka yang paling berani, segera berkata,

   "Engkau sungguh berani mati memasuki tempat ini. Bagaimanakah engkau tidak ditangkap dan dibunuh oleh para pengawal yang menjaga di luar?"

   "Hal itu tidak penting. Yang penting, adakah Sung Hong Kwi di sini? Aku ingin berjumpa dengan dia."

   "Siapa itu Sung Hong Kwi? Kami tidak mengenalnya dan tidak pernah mendengar namanya."

   Han Ki mengerutkan kening. Salahkah dugaannya bahwa kekasihnya itu diboyong oleh Raja Yucen?

   "Lima tahun yang lalu, ada seorang puteri Kerajaan Sung dikawinkan dengan Raja Yucen...."

   "Ohhh! Kau maksudkan dia?"

   Seorang selir yang usianya paling tua, kurang lebih tiga puluh tahun akan tetapi masih amat cantik, segera berkata,

   "Puteri yang rewel itu? Dia tidak menjadi selir sribaginda, akan tetapi diberikan kepada Pangeran Dhanu yang tergila-gila kepadanya. Aihhh, kasihan Pangeran Dhanu yang tampan, rela tidak memelihara selir akan tetapi isterinya itu selalu merongrongnya!"

   Han Ki terkejut.

   "Pangeran Dhanu? Di mana istananya?"

   Wanita itu tertawa.

   "Mana ada waktu beristirahat dengan tenang di istana? Isterinya, Puteri Sung itu terlalu rewel, bahkan kini kabarnya sakit sehingga diajak tetirah ke Hutan Bunga Bwee di tepi sungai"

   "Di mana tempat itu?"

   "Ihh, mau apa sih engkau mencari puteri yang sakit-sakitan? Di sini banyak...."

   "Lekas katakan!"

   Han Ki membentak marah ketika mendengar wanita-wanita itu mulai tertawa memikat.

   "Kalau tidak terpaksa aku akan membunuh kalian!"

   Ia sengaja mengancam dan berhasillah dia karena wanita-wanita itu menjadi pucat dan ketakutan.

   "Di luar kota raja, di sebelah utara, dekat sungai ada hutan penuh bunga bwee dan sudah beberapa hari mereka di sana.... aihhh....!"

   Wanita itu dan temantemannya menjerit ketika tiba-tiba tubuh Han Ki berkelebat dan pemuda gagah itu sudah lenyap dari depan mereka.

   "Setan....! Siluman....!"

   Mereka berteriak-teriak sambil melarikan diri, ada yang terkencing-kencing ketakutan dan bahkan ada yang pingsan di tempatnya! Semenjak malam itu, sampai beberapa lama pemuda itu menjadi bahan percakapan para selir dengan penuh rasa ngeri dan juga rindu!

   Akan tetapi ketika Han Ki tiba di hutan yang dimaksud, ia terkejut menyaksikan bekas-bekas pertempuran dan mendapat kabar bahwa malam tadi tempat itu diserbu oleh gerombolan pasukan Mancu yang memang telah bermusuhan dengan pihak Yucen. Banyak terdapat mayat-mayat bangsa Mancu dan Yucen dan ketika dia tiba di situ, pasukan Yucen sedang mengangkuti mayat-mayat itu dan melakukan penjagaan ketat. Namun, dengan kepandaiannya yang tinggi, Han Ki berhasil mendekati sampai di luar perkemahan yang ditinggali Pangeran Dhanu dan isterinya. Di luar perkemahan dia dihadang oleh para pengawal!

   "Berhenti! Siapa engkau dan ada keperluan apa?"

   Bentak pengawal-pengawal itu.

   "Aku hendak berjumpa dengan Pangeran Dhanu. Aku adalah.... seorang saudara dari isterinya, hendak menengoknya, karena kabarnya sakit."

   Para pengawal mengepungnya dengan pandang mata curiga.

   "Sang Pangeran sedang sibuk, Sang Puteri sakit keras...."

   Tiba-tiba Han Ki meloncat ke dalam kemah, gerakannya amat cepat sehingga para pengawal itu sejenak melongo karena kehilangan pemuda itu. Baru mereka tahu bahwa pemuda itu menerobos masuk ketika mendengar pemuda itu menjerit,

   "Hong-Kwi....!"

   Mendengar kekasihnya sakit keras, pemuda itu seperti gila dan nekat menerobos sambil memanggil nama kekasihnya.

   "Han Ki-koko....? Ohhh...."

   Suara ini cukup bagi Han Ki.

   Dia mengerahkan tenaganya dan tubuhnya berkelebat memasuki sebuah kamar di dalam perkemahan besar itu dan dia berdiri pucat dengan mata terbelalak memandang tubuh kekasihnya yang rebah telentang seperti mati di atas pembaringan. Di kepala pembaringan itu duduk seorang laki-laki yang berkumis tipis berpakaian indah dan bersikap gagah namun wajahnya diliputi kedukaan besar. Laki-laki ini meloncat bangun dan tangannya meraba gagang pedangnya. Seorang pelayan wanita mundur-mundur ketakutan memandang Han Ki. Wajah Hong Kwi pucat sekali, matanya sayu dan rambutnya yang hitam itu terurai lepas, tubuhnya kelihatan lemah. Dia memandang Han Ki, beberapa kali bibirnya bergerak namun tidak ada suara keluar. Air mata seperti butiran-butiran mutiara menetes turun dan akhirnya dia dapat juga bersuara,

   "Han Ki-koko.... kau datang....? Ahh, Koko.... bawalah aku pergi.... bawalah....!"

   Kedua lengannya diangkat lemah, diulurkan ke arah Han Ki, akan tetapi tiba-tiba kedua lengannya terkulai kembali di atas pembaringan, mukanya yang tadinya menghadap ke Han Ki itu tergolek ke kiri, matanya terpejam, hanya mulutnya yang masih agak terbuka seolah-olah dia belum selesai bicara.

   "Hong Kwi....!"

   Han Ki tidak mengenal suaranya sendiri, suara yang terhenti di kerongkongannya.

   "Isteriku....!"

   Pangeran Dhanu, laki-laki gagah itu menubruk dan menangis. Kemudian ia meloncat bangun, memandang Han Ki dan berkata, air matanya masih menetes-netes,

   "Jadi engkaukah Kam Han Ki, laki-laki kejam yang menghancurkan hati isteriku? Engkau datang hanya untuk menyaksikan kematiannya? Betapa kejam engkau!"

   Ucapan ini bagaikan petir menyambar karena seolah-olah Han Ki baru tahu bahwa kekasihnya, telah meninggal dunia. Dia menubruk ke depan, dipegangnya tangan kanan Hong Kwi, diguncang-guncangnya pundak mayat itu.

   "Hong Kwi.... Hong Kwi....! Ini aku Kam Han Ki! Aku telah datang. Hong Kwi....! Hong Kwi, bukalah matamu, pandanglah aku, bicaralah....!"

   Menyaksikan sikap pemuda itu, Pangeran Dhanu agak berkurang kemarahannya dan memandang dengan kening, berkerut. Di belakang Han Ki, Si Pelayan menangis sesenggukan dan di luar kamar itu, seorang pengawal berdiri tegak menjaga, dalam keadaan siap seolah-olah tidak tahu apa yang terjadi di dalam kamar, sungguhpun alisnya berkerut menandakan bahwa dia ikut prihatin terharu.

   "Hong Kwi...., kekasihku.... Hong Kwi, aku berdosa padamu! Ah, kekasihku, kau bawalah aku....!"

   Han Ki yang biasanya tenang itu kini tidak dapat menahan pukulan batin yang amat hebat itu. Dia masih mencinta Hong Kwi, bahkan belum pernah dia berhenti mencintanya. Kini melihat kekasihnya mati setelah bertemu dengannya, dia merasa berdosa dan berduka.

   "Hemm, dia sudah mati baru engkau datang dan bicara seperti itu. Kam Han Ki, engkau bukan seorang laki-laki yang patut dipuji!"

   Ucapan yang bernada keras ini membuat Han Ki sadar bahwa dia telah berada di tempat orang, bahkan sadar bahwa mayat yang dipeluknya itu adalah mayat isteri orang lain. Dia bangkit, menekan perasaannya, berdiri lemas dan dengan mata merah dan pipi basah ia memandang Pangeran Dhanu. Sejenak kedua orang laki-laki itu saling berpandangan.

   "Engkau tentu Pangeran Dhanu...."

   Katanya perlahan.

   "Benar! Akulah Pangeran Dhanu, laki-laki yang mencintanya dengan seluruh jiwa ragaku, yang selama bertahun-tahun ikut menderita bersamanya, yang berusaha menghiburnya, yang memenuhi segala permintaannya. Akan tetapi, pada saat terakhir, namamulah yang diucapkannya!"

   Di dalam ucapan pangeran itu terdapat kegetiran yang hebat sehingga diam-diam Han Ki merasa kasihan dan bersalah.

   "Pangeran, selama bertahun-tahun aku berpisah darinya, dipisahkan dengan kekerasan, akan tetapi engkau.... selama itu berada di sampingnya. Akulah yang lebih menderita daripada engkau."

   "Aku sudah mendengar akan namamu, dia bercerita tentang dirimu. Akan tetapi kumaafkan dia asal dia dapat membalas dan menerima cintaku. Akan tetapi.... dia selalu berduka, teringat kepadamu, selalu sakit-sakitan.... kuajak tetirah ke mana-mana untuk menghiburnya, kukorbankan tugas-tugasku. Semalam anjing-anjing Mancu menyerbu perkemahan, biarpun dapat dipukul mundur akan tetapi isteriku menderita kaget yang hebat, Jantungnya lemah.... dan.... kemudian kau datang.... ah, isteriku....!"

   Pangeran itu mengusap air matanya.

   "Pangeran, maafkan aku. Betapapun juga, engkau yang mencintanya telah menjadi suaminya selama lima tahun. Engkau telah memiliki dia sebagai isteri yang tercinta...."

   "Memang aku memiliki tubuhnya akan tetapi tidak memiliki hatinya. Engkau telah merampas hatinya, keparat!"

   "Dan orang-orang Mancu telah merampas nyawanya. Aku akan membalas ini!"

   "Orang she Kam! Tidak perlu menimpakan kesalahan kepada orang lain. Engkaulah yang telah membunuh isteriku! Engkaulah yang menghancurkan hidupnya, dan engkau pula yang merampas kebahagiaan hidupku! Pengawal, tengkap orang ini!"

   Belasan orang pengawal menerjang masuk dengan tombak di tangan. Han Ki berseru,

   "Hong Kwi, kalau rohmu masih di sini, dengarlah sumpahku. Aku tidak akan menikah dengan wanita lain di dunia ini!"

   Setelah barkata demikian, tubuhnya berkelebat keluar dan robohlah enam orang pengawal yang menghadangnya.

   Dia tidak membunuh karena dia maklum betapa hancur hati Pangeran Dhanu, maklum pula bahwa pangeran itu betul-betul mencinta Hong Kwi. Dia hanya marah kepada orang-orang Mancu karena andaikata malam tadi orang-orang Mancu tidak menyerbu sehingga tidak mengagetkan hati Hong Kwi yang jantungnya lemah karena sakit, tentu pertemuannya dengan bekas kekasihnya itu tidak berskhir dengan kematian Hong Kwi! Biarpun Pangeran Dhanu yang marah, berduka dan sakit hati itu mengerahkan semua sisa pasukannya, namun mereka tidak dapat mencegah Han Ki melarikan diri dan keluar dari hutan itu dengan gerakan cepat seperti menghilang.

   Han Ki berlari cepat meninggalkan Kerajaan Yucen. Ingin sekali ia dapat menggabungkan diri dengan barisan Kerajaan Sung, melupakan semua peristiwa yang membuat ia menjadi orang buruan. Ingin ia membela Sung dan menghajar musuh-musuh besarnya. Akan tetapi, tentu dia akan ditangkap begitu muncul di kota raja! Ah, biarpun tanpa pasukan, dia tetap berusaha untuk membalas kematian Hong Kwi kepada bala tentara Mancu! Dengan keputusan bulat, Han Ki melanjutkan perjalanannya, hatinya makin merana. Dia tidak saja kehilangan Maya dan Siauw Bwee, bahkan kini ditinggal mati Hong Kwi yang sampai detik terakhir masih mencintanya!

   Kenyataan ini makin memberatkan hatinya, dan ia selalu merasa telah berbuat dosa yang amat besar kepada Hong Kwi. Cinta kasih di antara mereka yang terenggut putus, yang disangkanya hanya membuat dia seorang menderita sengsara, kiranya lebih menyiksa lagi bagi Hong Kwi sampai dibawanya mati! Hati Han Ki menjadi kosong dan ia merasa dirinya sudah tua sekali. Padahal pada waktu itu, usia Han Ki baru tiga puluh satu atau tiga puluh dua tahun. Maya membuka matanya. Sudah matikah dia? Pertama yang berkelebat dalam pikirannya adalah bahwa dia terseret ke dalam air yang gelap lalu ia tidak ingat apa-apa lagi. Tentu sudah mati. Akan tetapi mengapa dia berada di atas perahu? Dan ada enam orang perajurit di perahu itu, perahu yang didayung cepat.

   Tidak! Dia tentu belum mati. Ataukah perahu ini perahu yang akan menyeberangkannya ke alam baka dan enam orang itu malaikat-malaikat? Tak mungkin. Mana ada malaikat berpakaian seperti perajurit dunia! Keparat, tentu mereka ini yang membuat ia terjatuh ke air dan mereka yang menyeretnya ke dalam air sehingga dia pingsan dan tertawan. Dia menjadi marah dan menggerakkan tangan.... akan tetapi, kedua tangan dan kedua kakinya tidak dapat digerakkan. Terbelenggu! Ia mengerahkan tenaga, akan tetapi dia lelah sekali sehingga tenaganya masih belum cukup untuk mematahkan belenggu, dan ketika ia memandang, kiranya belenggu itu terbuat daripada baja yang tebal dan kuat sekali! Maya pura-pura masih pingsan dan tidak bergerak, diam-diam mengumpulkan hawa murni ke lengannya. Perahu itu kini menempel pada sebuah perahu besar. Dia membuka mata memperhatikan.

   "Wah, dia sudah sadar!"

   Kata seorang di antara mereka yang kebetulan menengok dan melihat Maya membuka mata. Karena sudah ketahuan, Maya tidak berpura-pura lagi. Dengan gerakan tubuhnya, ia berhasil bangun duduk.

   "Siapa kalian? Mengapa aku kalian tangkap?"

   Akan tetapi ketika melihat pakaian seragam mereka adalah tentara laut Kerajaan Sung, ia lalu berkata,

   "Hemm.... kalian tentu anjing-anjing Kerajaan Sung!"

   "Perempuan liar. Bangunlah dan ikut kami menghadap panglima, atau engkau lebih suka kami seret ke atas perahu?"

   Karena belum mendapat kesempatan mematahkan belenggunya, Maya bangkit berdiri dan tiba-tiba kedua kakinya membuat gerakan menendang sambil meloncat. Akibatnya, dua orang perajurit terlempar ke dalam air!

   "Wah! Wah! Awas...., betina ini liar sekali!"

   
Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Seru seorang di antara mereka dan kini dari atas perahu besar meloncat turun banyak perajurit. Tubuh Maya diringkus dan dia dipaksa naik ke atas perahu besar.

   Dua orang perajurit yang bertubuh kuat memegang ujung rantai yang membelenggu kedua tangannya, dan setengah diseret Maya dibawa memasuki ruangan besar di atas perahu. Biarlah, pikirnya, biar aku dihadapkan panglima mereka. Kalau nanti ada kesempatan, dia akan membasmi anjing-anjing ini! Dengan dada membusung dan kepala tegak Maya berjalan terpincang-pincang karena kedua kakinya dibelenggu, memasuki ruangan. Ketika ia melihat dua orang panglima duduk di atas kursi dalam ruangan itu, matanya terbelalak. Ia mengenal mereka! Mereka adalah panglima-panglima perahu besar yang telah ditolongnya! Bahkan panglima muda yang kini sudah bangkit berdiri adalah panglima muda yang ditolongnya dari tangan Si Dampit yang lihai! Juga panglima besar yang berjenggot itu memandang dengan kaget.

   "Engkau....? Engkau pendekar wanita penolong kami....!"

   Ia lalu membentak anak buahnya,

   "Apakah kalian ini buta dan gila semua? Hayo cepat lepaskan belenggunya!"

   "Krek! Krekkk!"

   Tiba-tiba Maya yang sudah berhasil mengumpulkan kembali tenaganya, sekali mengerahkan telah mematahkan belenggu kaki tangannya! Dia melangkah maju dan termanyum.

   "Ciangkun, selamat berjumpa!"

   Panglima besar itu meloncat dari tempat duduknya dan cepat menjura.

   "Selamat datang, Li-hiap!"

   Dan kepada anak buahnya ia membentak,

   "Lihat apakah yang telah kalian lakukan, orang-orang tolol! Menawan dan membelenggu penolong kami! Seolah-olah belenggu kalian itu ada artinya bagi Li-hiap yang sakti!"

   Kemudian ia membentak makin nyaring,

   "Hayo cepat berlutut, minta ampun kepada Li-hiap!"

   Enam orang itu, yang dua tertendang tadi sudah ikut naik, cepat menjatuhkan diri dan seperti burung-burung saling sahut mereka berseru,

   "Mohon maaf kepada Li-hiap, karena kami tidak tahu maka...."

   Maya menggerakkan tangannya.

   "Sudahlah! Salahku sendiri yang kurang pandai berenang sehingga mudah kalian bekuk!"

   "Li-hiap, silakan duduk!"

   Panglima muda yang brewok cepat menyerahkan kursinya dan ia memandang kagum. Ketika ia ditolong dari tangan lawan dampit yang lihai dia tidak dapat melihat jelas wajah penolongnya. Kini ia kagum bukan main melihat bahwa penolongnya hanyalah seorang dara remaja yang masih amat muda lagi cantik jelita seperti bidadari!

   "Lekas ambil pakaian bersih dan kering untuk Li-hiap! Dan sediakan meja perjamuan!"

   Panglima besar itu memberi perintah. Sibuklah anak buahnya mempersiapkan barang-barang yang diperintahkan itu.

   "Li-hiap, silakan berganti pakaian kering dulu. Nanti kita bicara,"

   Panglima tua itu mempersilakan. Tanpa sungkan-sungkan Maya lalu memasuki kamar di perahu yang ditunjuk dan berganti pakaian. Panglima besar itu berbisik-bisik dengan wajah serius dengan pembantunya, panglima muda brewok.

   "Wah, betapa lucunya aku berpakaian seperti ini!"

   Maya yang sudah selesai berganti pakaian dan keluar dari kamar, tertawa memandangi pakaian panglima yang dipakainya.

   "Engkau gagah sekali dan patut dalam pakaian itu, Li-hiap. Hanya kurang pedangnya. Silakan memakai pedangku."

   Panglima tua itu menyambut dan meloloskan sabuk pedangnya kemudian menghampiri Maya dan memakaikan sabuk pedang itu di punggung Maya sehingga dara itu tampak makin gagah perkasa. Atas ajakan penuh hormat dari kedua orang panglima itu, Maya kini dijamu dan sambil makan minum mereka bercakap-cakap. Atas pertanyaan panglima tua itu, Maya menjawab,

   "Namaku Maya dan kuharap Ciangkun jangan menanyakan siapa guruku dan dari mana asal-usulku karena hal itu takkan dapat kuterangkan. Seandainya aku tidak melihat sendiri betapa pasukan Ciangkun bertempur melawan pasukan-pasukan Sung, tentu aku tidak akan dapat duduk semeja dengan kalian. Ciangkun siapakah, dan mengapa pula pasukan Ciangkun bertempur melawan Pasukan Sung yang menjadi musuhku?"

   Wajah panglima tua itu berseri mendengar bahwa dara perkasa yang menjadi penolongnya ini menganggap Kerajaan Sung sebagai musuhnya. Dia menyuguhkan secawan arak, setelah arak yang disuguhkan sebagai penghormatan itu diminum, dia berkata,

   "Namaku Bu Gi Hoat, dan dia ini adalah pembantuku, Panglima Muda Lai Sek. Tadinya aku adalah seorang panglima besar Kerajaan Sung yang ditugaskan memimpin armada menjaga pantai timur. Kini kami menjadi musuh Kerajaan Sung yang makin menyuram dan penuh kelaliman."

   "Hemm...., jadi Ciangkun memberontak terhadap Kerajaan Sung? Mengapa?"

   Panglima she Bu itu menarik napas panjang.

   "Selama beberapa keturunan, nenek moyangku adalah pembesar-pembesar militer yang setia kepada kerajaan. Akan tetapi, sekarang ini Kerajaan Sung mengalami kesuraman hebat karena kelemahan Kaisar yang dipengaruhi oleh menteri-menteri dorna, thaikam-thaikam dan panglima-panglima jahat macam Suma-goanswe. Karena itu, banyak sekali panglima yang memberontak, pembesar-pembesar daerah yang berdiri sendiri. Aku pun tidak dapat tinggal diam, apalagi semenjak Menteri Kam yang amat kami hormati itu difitnah dan tewas oleh kekejian Kerajaan Sung. Kami harus membunuh Kaisar dan kaki tangannya yang lalim dan membentuk kerajaan baru yang bebas daripada penindasan para pembesar korup."

   Maya mengangguk-angguk. Diam-diam ia merasa girang karena kini mendapat kesempatan untuk membasmi musuh-musuhnya, terutama Kerajaan Sung! Apalagi karena jelas bahwa panglima ini bersetiakawan dengan pek-hunya, Menteri Kam. Tanpa ragu-ragu lagi ia berkata,

   "Kalau begitu, aku siap membantumu, Ciangkun!"

   Bukan main girangnya hati panglima itu. Ia mengisi cawan arak dan mengajak Maya minum kemudian berkata,

   "Sungguh sudah menjadi kehendak Tuhan agaknya bahwa Kerajaan Sung yang buruk itu mesti hancur sehingga hari ini Tuhan sendiri yang mengirim Lihiap untuk membantu kami! Belum juga aku berani mengutarakan maksud hatiku minta bantuanmu, engkau telah menyatakan hendak membantu. Terima kasih, Li-hiap, terima kasih!"

   "Ah, engkau terlalu sungkan, Ciangkun. Memang aku pun berniat membasmi Kerajaan Sung yang kubenci sehingga kebetulan sekali kerja sama ini. Kalau Bu-ciangkun setuju, berilah aku pasukan yang cukup banyak dan kuat, dan sekarang juga aku akan membawa pasukan itu menyerbu ke kota raja Sung!"

   Hampir saja kedua orang panglima perang itu tertawa bergelak mendengar ucapan ini. Betapa dangkalnya pengetahuan dara ini tentang perang. Begitu mudahnya hendak membawa pasukan menyerbu ke kota raja, seolah-olah jalan ke kota raja Sung itu halus lunak tanpa rintangan. Perjalanan ribuan li itu sebelum ditempuh sepersepuluhnya sudah akan menghadapi pasukan-pasukan besar musuh yang amat banyak jumlahnya. Dara ini bicara tentang perang seperti orang membalikkan tangan saja mudahnya! Akan tetapi karena maklum bahwa tentu saja dara semuda ini sama sekali tidak mengerti tentang perang, dan agar jangan menyinggung perasaan, kedua orang panglima itu hanya saling pandang dan menahan kegelian hati mereka.

   "Li-hiap, serahkan urusan perang kepadaku karena perang melawan Kerajaan Sung tidaklah semudah itu. Mereka masih memiliki bala tentara yang kuat dan besar jumlahnya. Akan tetapi, kau akan kuangkat menjadi panglima muda dan kuserahi pasukan yang hendaknya kau gembleng menjadi pasukan istimewa yang kuat dan percayalah kami hanya mengandalkan kegagahan Li-hiap dengan pasukanmu untuk mendobrak pihak musuh di garis depan."

   Maya mengangguk.

   "Terserah kepadamu, Ciangkun. Bagiku, asal aku mendapat kesempatan membasmi pasukan Sung, cukuplah. Lebih banyak lebih baik."

   "Bagus! Mulai sekarang engkau adalah seorang panglima dan sudah selayaknya kalau engkau sebagai pembantuku yang kupercaya, sebagai pembantu utama di samping Lai-ciangkun, tahu akan kedudukan dan siasat kita."

   Dengan panjang lebar Bu-ciangkun lalu memberi tahu kepada pembantunya yang baru ini bahwa dia telah mengadakan kontak dengan bala tentara Mancu yang besar dan kuat agar bersama-sama mereka dapat menyerang ke selatan. Mendengar ini, Maya tidak ambil peduli. Baginya, bersekutu dengan Mancu pun tidak menjadi soal asal dia dapat membalas kepada Kerajaan Sung, Yucen dan Mongol!

   "Boleh saja bersekutu dengan orang Mancu. Bu-tai-ciangkun. Asal jangan bersekutu dengan orang-orang Mongol dan Yucen saja. Kedua bangsa itu pun masih musuhku!"

   Bu-ciangkun tertawa bergelak. Gadis ini memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa sekali, akan tetapi tidak berpengalaman sama sekali, bahkan masih memiliki sifat kekanak-kanakan dan jujur,

   "Ha-ha-ha! Jangan khawatir, Li-ciangkun (Panglima Wanita)! Kami tidak mempunyai hubungan dengan bangsa Mongol! Sedangkan bangsa Yucen yang sekarang telah mendirikan Kerajaan Cin juga merupakan musuh kita karena dia merupakan penjajah yang mengancam bangsa dan negara. Di dalam pertempuran yang akan kau hadapi, engkau bahkan akan melawan Bangsa Yucen dan juga pasukan Kerajaan Sung."

   "Bagus!"

   Maya, girang sekali.

   "Lekas siapkan pasukan untukku, Tai-ciangkun. Akan kulatih mereka!"

   Demikianlah, mulai hari itu, Maya mengepalai lima ratus orang pasukan dengan sepuluh orang perwira pembantunya. Dara ini dahulu adalah seorang Puteri Khitan dan dia sudah sering kali melihat, bahkan mengikuti cara ayahnya dan para panglima Khitan melatih tentaranya, maka kini dengan baik sekali ia dapat melatih pasukan di bawah perintahnya. Mereka dia beri pelajaran ilmu berkelahi dengan menurunkan beberapa jurus yang lihai dari ilmu silatnya. Juga para perwira pembantunya ia latih sendiri dengan beberapa jurus ilmu silat sehingga mereka pun menjadi lihai. Mula-mula Bu-ciangkun terkejut dan terheran-heran, juga girang menyaksikan cara Maya melatih pasukannya.

   Diam-diam ia lalu menyebar para penyelidik dan tak lama kemudian dia mendengar bahwa puteri Raja Khitan yang bernama Maya tidak ketahuan ke mana perginya semenjak ikut bersama Menteri Kam Liong yang tewas dikeroyok oleh tentara Sung. Diam-diam ia menjadi girang dan kagum sekali. Tidak salah lagi, melihat bentuk wajahnya, Maya yang kini menjadi panglimanya itulah Puteri Maya, puteri Khitan dari Raja Khitan dan keponakan dari mendiang Menteri Kam Liong! Akan tetapi karena dara itu sudah menyatakan tidak akan menceritakan riwayatnya, ia pun diam-diam saja, bahkan tidak memberitahukan dugaannya itu kepada siapapun juga. Setelah selesai menggembleng pasukan di tepi pantai sampai dua bulan lamanya, pada suatu pagi Bu-ciangkun mengumpulkan para panglimanya yang berjumlah lima orang,

   "Barisan Mancu yang menjadi sekutu kita berjanji akan menyambut kita di pantai ini untuk bergabung kemudian bergerak ke selatan. Akan tetapi, telah sebulan mereka terlambat dan kurirnya juga belum tampak. Aku khawatir kalau-kalau ada perubahan keadaan, maka sebaiknya seorrang di antara kalian harus membawa pasukan untuk menghubungi mereka di perbatasan Mancu. Akan tetapi selain perjalahan itu jauh, melalui daerah-daerah yang kering dan sukar, juga ada bahayanya akan bertemu dengan pasukan-pasukan Mongol, terutama sekali pasukan Kerajaan Cin. Siapakah di antara kalian yang sanggup melakukan tugas berat ini?"

   Seperti telah diduganya, dan juga diharapkannya maka dia sengaja menyebutkan bahaya pasukan Mongol dan Yucen. Maya segera berdiri sigap dan menjawab,

   "Aku sanggup!"

   Empat orang panglima yang lain telah mengenal kelihaian panglima wanita itu, maka mereka tidak berani berebut, bahkan Li-ciangkun yang brewok dan dapat menangkap isi hati panglimanya, segera berkata,

   "Memang tugas berat ini paling tepat dilakukan oleh Li-ciangkun dengan pasukan mautnya."

   Bu-ciangkun mengangguk-angguk.

   "Akan kubuatkan surat untuk pimpinan barisan Mancu yang berada di perbatasan. Li-ciangkun tentu maklum bahwa suratku ini sama harganya dengan nyawa."

   "Baiklah, Tai-ciangkun. Akan kujaga dengan taruhan nyawaku sendiri. Harap jangan khawatir."

   "Selain mengadakan hubungan dengan mereka dan menyerahkan suratku, di sepanjang jalan harap Li-ciangkun mencari tenaga-tenaga dari rakyat yang sekiranya akan dapat memperkuat kedudukan kita dan dapat membantu perjuangan kita."

   "Baik!"

   Jawab Maya yang teringat, akan rakyat Khitan. Kalau dia bisa bertemu dengan rakyat Khitan dan membujuk mereka masuk menjadi perajurit di bawah pimpinannya, betapa akan senang hatinya. Diam-diam timbul keinginan hatinya melihat rakyatnya bangkit di bawah pimpinannya untuk membangun kembali Kerajaan Khitan yang besar dan jaya!

   Karena persediaan kuda amat terbatas, pasukan yang dipimpin Maya sebanyak lima ratus orang itu hanya membawa seratus ekor kuda. Maya dan sepuluh orang perwiranya tentu saja mempunyai masing-masing seekor kuda, adapun seratus ekor kuda itu akan ditunggangi lima ratus orang secara bergilir, lima orang perajurit untuk setiap kuda seekor. Maka berangkatlah pasukan itu dengan megahnya, dipimpin oleh Panglima Muda Maya yang menunggang kuda putih berada di depan, diapit dua orang pengawal pembawa bendera. Amat gagah dan barisan itu pun bergerak rapi, yang berjalan kaki di depan, yang berkuda, seratus orang banyaknya, di belakang. Bu-ciangkun sendiri mengantar berangkatnya pasukan istimewa ini sampai di luar daerah perkemahan. Dua buah bendera itu berkibar-kibar. Yang sebuah bertuliskan nama pasukan yang diberi oleh Bu-ciangkun sendiri, yaitu

   "Pasukan Maut"! Dan bendera yang sebuah lagi bertuliskan nama panglimanya, yaitu Panglima Wanita Maya!

   Perjalanan ke barat dimulai. Oleh gemblengan-gemblengan keras Maya selama dua bulan, tubuh anak buah pasukan kuat-kuat dan semangat mereka juga besar. Mereka semua merasa bangga menjadi perajurit Pasukan Maut, mempunyai seorang panglima yang mereka tahu amat sakti, melebihi kegagahan Bu-tai-ciangkun sendiri, seperti seekor naga betina. Belasan hari kemudian, pasukan itu telah tiba di daerah kering tandus dan di sana-sini mereka melalui padang pasir yang tidak berapa luas. Ketika mereka tiba di daerah pegunungan yang mulai memperlihatkan kesuburan, tiba-tiba mereka diserbu oleh pasukan Yucen yang berjaga di situ karena daerah itu sebagian telah dikuasai oleh tentara Yucen.

   "Basmi anjing-anjing Yucen!"

   Maya berteriak, suaranya melengking tinggi mengatasi semua kegaduhan dan terdengar oleh semua anak buahnya sehingga mereka bertempur seperti harimau-harimau kelaparan,
(Lanjut ke Jilid 18)
Istana Pulau Es (Seri ke 05 "

   Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 18
Pasukan Yucen yang terdiri dari tiga ratus orang lebih dan mengira bahwa yang mereka serbu adalah pasukan Sung yang dianggap melanggar wilayah, menjadi kewalahan. Apalagi ketika Maya sendiri turun dari kudanya dan mengamuk, pedangnya membabati tentara musuh seperti orang membabat rumput saja, pasukan Yucen menjadi gentar. Komandan Yucen mengeluarkan aba-aba untuk mundur, akan tetapi dengan gerakan kilat, Maya melompat, pedangnya memenggal leher seorang perwira musuh dan tangan kirinya mencengkeram leher baju Panglima Yucen itu terus menariknya dari atas kuda. Panglima itu terkejut dan meronta, heran dan kaget melihat bahwa yang menawannya adalah seorang dara jelita yang masih muda. Akan tetapi keringatnya mengucur deras ketika ia mendengar dara itu mendesis bengis,

   "Engkau Panglima Yucen keparat. Ingatkah kepada ayahku Raja Talibu dari Khitan?"

   Wajah panglima itu pucat dan ia menggeleng-gelengkan kepala,

   "Aku.... aku tidak....!"

   Akan tetapi kata-katanya terhenti dan lehernya terbabat putus oleh pedang Maya. Dara perkasa ini melompat ke atas batu besar, membawa kepala Panglima Yucen sambil berseru,

   "Heii.... anjing-anjing Yucen! Lihat kepala siapa ini?"

   Suaranya yang dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khikang amat nyaringnya dan makin paniklah tentara Yucen mendengar dan melihat kepala pemimpin mereka, sebaliknya makin bersemangatlah Pasukan Maut itu sehingga mereka mengamuk, membunuhi musuh yang kocar-kacir dan lari berserabutan.

   "Hidup Maya Li-ciangkun!"

   Sorak para perajurit dan mereka mengejar musuh yang melarikan diri. Hanya setelah ada perintah Maya saja para perajurit berhenti mengejar. Ketika Maya memerintahkan para perwira menghitung, dalam perang pertama ini pasukannya kehilangan dua puluh orang akan tetapi membunuh lebih dari seratus orang musuh. Ini merupakan kemenangan besar dan perajurit yang terluka dirawat baik-baik, sedangkan yang tewas lalu dikubur. Mayat-mayat para perajurit Yucen dibiarkan saja berserakan. Maya lalu memerintahkan pasukannya bergerak maju lagi.

   "Pasukan Maut yang gagah perkasa. Serbu....!"

   Barulah pasukan Yucen itu menjadi panik benar-benar. Suara perintah itu datang dari atas puncak dan mereka dapat menduga bahwa itu tentulah suara panglima wanita yang menurut cerita perajurit Yucen yang melarikan diri memiliki ilmu kepandaian yang mengerikan. Akan tetapi, serbuan itu datangnya bukan dari puncak, melainkan dari bawah, dari belakang mereka!

   Terjadilah perang tanding yang jauh lebih hebat mengerikan daripada tadi, akan tetapi lebih celaka lagi akibatnya bagi tentara Yucen karena mereka berada dalam keadaan panik dan siasat mereka hancur sehingga mereka berada di pihak yang diserang. Keadaan yang sama sekali di luar perhitungan mereka ini, yang membuat keadaan menjadi berbalik secara tiba-tiba, membuat para komandan pasukan itu tidak sempat lagi memikirkan siasat, maka satu-satunya jalan adalah melawan dan mempertahankan diri secara kacau-balau dan mencari selamat sendiri-sendiri! Di lain pihak, tentara Pasukan Maut yang bergerak secara terpimpin dan teratur, ditambah kegembiraan mereka karena baru sekarang mereka tahu akan kelihaian siasat pimpinan mereka, tumbuh semangatnya dan terjadilah penyembelihan besar-besaran seperti yang semula direncanakan pasukan Yucen,

   Akan tetapi sekarang merekalah yang menjadi domba-dombanya dan pihak musuh yang menjadi jagalnya! Banyak di antara mereka terbunuh, bukan hanya oleh senjata Pasukan Maut, akan tetapi juga yang terjun ke jurang dan tewas dalam usaha mereka menyelamatkan diri, dan hanya ada dua ratus orang saja yang sempat melarikan diri menerobos kepungan musuh dan terus lari sipat-kuping ke bawah bukit! Pertempuran yang berat sebelah itu berlangsung sampai pagi dan dengan hati penuh kegembiraan Maya mendapat kenyataan bahwa dalam perang kedua kalinya ini pasukannya membasmi hampir tiga ratus orang musuh sedangkan dia hanya kehilangan tiga puluh orang, itu pun tidak semua tewas dan masih ada yang dapat tertolong karena hanya menderita luka-luka saja!

   Kemenangan yang membesarkan hatinya dan hati anak buahnya itu sekali ini benar-benar dirayakan mereka dengan tertawa-tawa dan bersendau-gurau menceritakan pengalaman masing-masing dalam pertempuran semalam! Maya membawa pasukannya turun bukit dan beristirahat setengah hari lamanya di padang rumput yang luas sehingga mereka tidak akan dibokong musuh. Kemudian perjalanan ke barat dilanjutkan dengan semangat penuh. Maya tidak selalu menunggang kuda di depan pasukannya, kadang-kadang membiarkan pasukannya lewat sambil dia mengucapkan kata-kata bersemangat dan menyapa anak buahnya sehingga semua anak buahnya merasa bangga dan dekat dengan panglima ini. Banyak di antara mereka yang ketika panglima di atas kuda putihnya itu menjajari mereka, berkata terang-terangan,

   Hidup Maya Li-ciangkun! Kami siap mati membelamu!"

   Maya tersenyum mengangguk dan berkata dengan suara merdu,

   "Aku pun siap mati membela Pasukan Maut! Setiap orang dari Pasukan Maut adalah seperti kaki dan tanganku sendiri!"

   Tentu saja ucapan panglima wanita remaja yang cantik jelita ini disambut sorak-sorai gembira. Ketika pasukan pada beberapa hari kemudian melalui padang rumput, tiba-tiba pasukan berhenti. Maya yang sedang berada di belakang membalapkan kudanya menuju ke depan. Kiranya di depan pasukannya menghadang ribuan ekor domba. Ia mengerutkan keningnya dan memerintahkan perwiranya mengurus hal itu.

   Akan tetapi sampai agak lama pasukan masih belum bergerak maju, maka dia menjadi tidak sabar dan cepat ia menuju ke bagian depan. Seorang perwira melaporkan bahwa para perwira dan pengawal cekcok dengan para penggembala domba, bahkan terjadi perkelahiani Maya terkejut, cepat ia menghampiri dan ketika melihat betapa enam orang perwira roboh dan terluka, dia marah sekali dan cepat meloncat turun dari atas kudanya dan lari ke depan. Dilihatnya bahwa para perwiranya sedang berkelahi melawan pimpinan penggembala domba. Dia tertarik sekali menyaksikan kelihaian seorang di antara para penggembala itu. Agaknya dia itu pemimpinnya, seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun, bertubuh tinggi tegap, tangan kanan memegang sebatang pecut kulit hitam, lengan kiri memondong seekor anak domba.

   Gerakan penggembala muda ini hebat dan cepat sekali dan pecutnya itu menyambar-nyambar ganas, merobohkan dua orang perwira sekaligus dan yang masih menandinginya adalah Kwa-huciang, seorang di antara perwiranya yang paling lihai. Kwa-huciang bersenjata pedang dan kini terjadilah pertandingan antara kedua orang itu. Maya menghampiri dan memandang penuh perhatian, diam-diam kagum menyaksikan kegagahan pemuda penggembala muda itu. Setelah bertanding belasan jurus, tiba-tiba penggembala yang melawan Kwa-huciang sambil memondong domba itu berseru keras, pecutnya melibat pedang Kwa-huciang dibetot dan perwira itu terlempar. Kakinya menendang lutut Si Perwira yang jatuh terpelanting dan kini penggembala itu menginjakkan kaki kanannya di atas dada Kwa-huciang sambil berkata nyaring,

   "Hayo lekas perintahkan pasukanmu mengambil jalan memutar, kalau tidak akan kuinjak hancur dadamu!"

   "Eh, galak amat!"

   Maya berseru sambil melompat maju.

   "Penggembala berbau domba, kau sombong sekali. Mengapa engkau dan kawan-kawanmu mengamuk dan merobohkan para perwiraku!"

   Penggembala domba itu menengok dan kelihatan tercengang lalu menjawab,

   "Domba kami banyak yang terinjak mati, sebagian lari kocar-kacir ketakutan. Domba-domba kami sedang makan rumput, mengapa pasukan kalian mengganggu? Mengapa tidak mengambil jalan memutar? Lihat, domba kecil ini sampai patah kakinya!"

   Ia menoleh ke arah domba yang dipondongnya. Kemudian ia memandang lagi kepada Maya sambil bertanya,

   "Eh, engkau ini perajurit wanita, mau apa?"

   Maya tersenyum.

   "Orang kasar, agaknya engkau lebih pandai bergaul dengan domba daripada dengan manusia."

   "Tentu saja! Apa sih baiknya manusia? Palsu dan berpura-pura, ganas dan kejam melebihi srigala. Domba-domba adalah mahluk yang lemah, selalu mengalah dan...."

   "Dan engkau lupa bahwa kau sendiri juga seorang manusia!"

   Maya memotong.

   "Ataukah barangkali engkau ini pun seekor domba yang menyamar manusia?"

   Pemuda itu gelagapan, merasa kalah bicara maka ia membentak,

   "Kau siapa dan mau apa?"

   "Aku adalah panglima Pasukan Maut ini!"

   Jawab Maya dengan sikap keren. Tiba-tiba penggembala domba yang muda itu melepaskan injakan kakinya sehingga Kwa-huciang mampu bernapas lagi dan Si Penggembala tertawa bergelak sampai tubuhnya berguncang-guncang dan mukanya memandang langit.

   "Ha-ha-ha-ha! Panglimanya seorang bocah perempuan belasan tahun yang halus dan cantik! Pasukan macam apa ini? Pantas saja para perwiranya lebih lemah daripada domba!"

   Kwa-huciang marah sekali. Dia sudah bangkit duduk dan kini ia bangun sambil membentak,

   "Penggembala kurang ajar! Apakah kau sudah bosan hidup berani menghina Li-ciangkun?"

   Akan tetapi Maya menggoyang tangan berkata,

   "Kwa-huciang, kaumundurlah dan biar aku sendiri yang memberi hajaran kepada bocah nakal bau domba ini. Hei, bocah! Engkau kira bahwa engkau sudah paling jempolan setelah mengalahkan beberapa orang perwiraku yang memang sudah kelelahan dan kehabisan tenaga. Coba kau melawan aku! Lihat, aku akan tetap berdiri di sini, sedikit pun tidak akan memindahkan kedua kakiku. Kau boleh menyerangku, kalau sampai aku merobah kedudukan kedua kakiku, aku mengaku kalah padamu!"

   "Kalau hanya mengaku kalah saja apa gunanya bagiku?"

   Pemuda itu membantah dan memandang Maya penuh selidik, seolah-olah ia dapat merasa bahwa biarpun hanya seorang wanita muda, panglima itu agaknya tidak boleh dibuat sembrono. Kalau tidak berkepandaian tinggi, mana mungkin bersikap demikian tekebur? Kembali Maya tersenyum,

   "Eh, pecinta domba. Kalau sampai kau dapat merobah kedudukan kakiku, selain aku mengaku kalah, aku akan memerintahkan pasukanku mengambil jalan memutar dan akan kuganti harganya semua dombamu yang terluka atau hilang. Akan tetapi bagaimana kalau kau tidak mampu merobah kedudukan kakiku malah kau akan roboh olehku kurang dari sepuluh jurus? Apa yang akan kaupertaruhkan?"

   Mata yang lebar penuh kepolosan itu terbelalak.

   "Aku? Roboh dalam waktu kurang dari sepuluh jurus olehmu? Mana mungkin ini? Kalau sampai begitu, aku akan berlutut dan menyembah seratus kali kepadamu!"

   "Kalau hanya disembah seratus kali oleh orang seperti kau saja apa gunanya bagiku?"

   Maya membalas bantahan pemuda penggembala itu. Pemuda itu kembali merasa kalah bicara. Sudah jelas bahwa dalam hal silat lidah ia bukan tandingan gadis jelita yang perkasa itu.

   "Habis, kau minta apa? Aku seorang miskin, hanya menjadi buruh menggembala domba bersama teman-temanku, gajinya sebulan dimakan dua puluh hari. Aku tidak punya apa-apa untuk dipertaruhkan!"

   Maya mengangguk-angguk.

   "Engkau punya banyak sekali. Kepandaianmu, kegagahanmu, kekasaranmu, kejujuran, kesetiaan. He, penggembala domba yang gagah. Kalau dalam sepuluh jurus aku merobohkan engkau tanpa menggerakkan kaki pindah dari sini, engkau harus suka menjadi seorang perwira Pasukan Mautku!"

   Pemuda penggembala itu mengerutkan keningnya yang tebal. Sebetulnya, tidak ada sedikit pun hasrat hatinya menjadi perwira atau perajurit. Akan tetapi, ditantang seperti itu, dia menjadi penasaran. Pula, kalau benar panglima wanita muda ini dapat merobohkannya dalam sepuluh jurus tanpa mengangkat kedua kaki, berarti panglima ini bukan manusia, melainkan dewa dan dia tentu akan suka sekali menjadi pembantu panglima dewa atau dewi!

   Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Baiklah! Nah, rasakan lihainya pecutku!"

   Penggembala itu melangkah maju menghampiri Maya, pecutnya ia gerakkan, diputar-putar di atas kepalanya sehingga terdengar suara ledakan-ledakan kecil yang nyaring. Ketika sinar hitam pecut itu melalui atas kepala Maya karena Si Penggembala memang mengeluarkan gerakan ancaman, dia cepat mengangkat tangan kiri dan.... pecut itu sudah berada di tangannya, yaitu ujung pecut dia pegang. Penggembala itu terheran-heran melihat betapa ujung pecutnya tadi seolah-olah tertarik oleh sesuatu sehingga terbang ke arah tangan panglima wanita itu. Melihat ujung pecutnya sebelum dipakai menyerang sudah terpegang lawan, ia menjadi penasaran dan berusaha melepaskan dengan membetot keras. Maya tersenyum.

   "Aku hanya menahan sebentar seranganmu, untuk memberi kesempatan padamu melepaskan dombamu. Lepaskan dulu domba itu biar gerakanmu menjadi leluasa!"

   Bukan main heran hati penggembala itu, akan tetapi makin keras dugaannya bahwa seorang yang dapat bersikap sedingin itu, setenang itu, sudah pasti memiliki kepandaian yang boleh diandalkan. Maka ia pun tidak menjadi sungkan-sungkan lagi, dilepaskannya perlahan domba yang dipondong lengan kirinya. Maya juga melepaskan ujung pecut itu dan memandang tersenyum melihat pemuda itu mulai menghampirinya, dengan gerak langkah satu-satu, memasang kuda-kuda, langkah seperti seekor harimau menghampiri calon mangsanya. Maya memandang kagum. Bukan main gagahnya pemuda kasar ini.

   Pakaiannya kasar sederhana, kepalanya ditutupi topi bulu domba, pasangan kuda-kudanya kokoh kuat, tangan yang memegang pecut melintang di depan dada, tangan kiri diangkat ke atas kepala dengan jari terbuka dan telapak tangan menghadap langit, sepasang matanya yang lebar memandang tanpa berkedip ke arah pundak Maya. Sikap seorang ahli silat yang kuat! Sementara itu, pemuda penggembala yang sudah banyak mengalami hidup penuh kesukaran dan di tempat yang liar sehingga keselamatan banyak mengandalkan kekuatan, juga telah mempelajari banyak macam ilmu silat utara dari beberapa orang pertapa di pegunungan utara, bersikap hati-hati. Dari para gurunya ia pernah mendengar bahwa lawan yang patut dihadapi dengan waspada justeru adalah lawan yang kelihatannya lemah. Orang-orang tua lemah, pendeta-pendeta lemah lembut, dan wanita-wanita.

   

Cinta Bernoda Darah Eps 6 Cinta Bernoda Darah Eps 35 Mutiara Hitam Eps 30

Cari Blog Ini