Ceritasilat Novel Online

Mutiara Hitam 30


Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Bagian 30



Ia menekan perutnya.

   "Ada apa?"

   Kwi Lan kaget, khawatir.

   "Perutku.. lapar amat, tak tertahankan"

   Ia masih menekan-nekan perutnya dan lapat-lapat terdengar oleh telinga Kwi Lan suara perut berkeruyuk. Kwi Lan tertawa geli.

   "Dasar rakus. Kau tiada bedanya dengan cacing-cacing dalam perutmu"

   "Sstt.., Tuh di sana.."

   Telunjuknya menuding ke kanan, ke sebuah bangunan kecil.

   "Ada apa di sana?"

   Hidung Hauw Lam kembang-kempis menyedot-nyedot.

   "Benar-benarkah kau tidak mencium sesuatu? Begini sedap, begini gurih"

   Baru sekarang Kwi Lan tahu apa yang dimaksudkan. Memang dari bangunan itu tercium bau sedap masakan dan tampak asap mengebul. Agaknya tempat itu adalah sebuah dapur. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.

   "Perlu apa ke sana? Kita lari saja. Kalau sudah terbebas, baru makan sekenyangnya."

   Hauw Lam menggeleng-geleng kepala.

   "Makan saja tanpa kerja amat tidak baik, seperti babi. Akan tetapi kerja saja tanpa makan juga tidak mungkin. Kita menghadapi bahaya, membutuhkan tenaga, kalau perutku yang sudah dua hari dua malam tidak diisi karena mendekam terus di hutan ketika menyerbu ke sini, mana aku ada sisa tenaga untuk bertempur? Kau pun harus makan, Mutiara Hitam."

   "Aku sudah kenyang"

   Jawab Kwi Lan mendongkol, akan tetapi mukanya menjadi merah karena teringat betapa ia makan kenyang di tempat tahanan lalu terjadi hal-hal luar biasa dan memalukan bersama Pangeran Talibu.

   "Tapi kau tidak ingin melihat aku roboh bukan oleh pedang musuh, tapi karena kelaparan, bukan?"

   "Sudahlah. Hayo, kalau memang kau sudah kelaparan"

   Ajak Kwi Lan dan mereka berindap-indap menghampiri dapur itu. Ketika mereka mengintai dari jendela, benar saja dugaan Hauw Lam bahwa tempat itu memang sebuah dapur.

   Dua orang Hsi-hsia yang tinggi besar melayani dua orang koki yang pendek-pendek dan gemuk seperti babi. Dua orang koki itu adalah bangsa Han, agaknya anggauta kaum sesat yang menjadi kaki tangan sekutu-sekutu Bouw Lek Couwsu. Di meja sudah penuh dengan masakan-masakan lezat, mengebul panas dari mangkok-mangkok besar. Hampir tersedak kerongkongan Hauw Lam ketika ia menelan sudah. Karena sudah tidak tahan lagi, Hauw Lam mengayun tangan melempar empat buah batu kerikil ke arah empat orang itu. Terdengar koki-koki itu berseru kaget dan tubuh mereka terhuyung-huyung. Dua orang Hsi-hsia sudah roboh pingsan karena batu-batu kecil itu tepat mengenai belakang telinga mereka.

   Karena koki-koki itu tidak roboh pingsan, maklumlah Hauw Lam dan Kwi Lan bahwa sedikit banyak mereka mengerti ilmu silat. Kalau sampai mereka berteriak, keadaan akan menjadi berbahaya, maka bagaikan dua ekor burung walet, Hauw Lam dan Kwi Lan melayang lewat jendela. Sebelum dua orang koki itu tahu apa yang terjadi, mereka sudah roboh tertotok dan "ngorok"

   Di atas lantai"

   Tanpa banyak cakap lagi dan tanpa sungkan-sungkan Hauw Lam menyeret sebuah bangku, duduk menghadap meja lalu "menyapu"

   Masakan-masakan yang tersedia di atas meja.

   "Wah-wah,"

   Serunya girang sambil mencoba ini mencaplok itu.

   "dalam hal makanan ternyata Bouw Lek Couwsu tidak pelit"

   Tidak kalah dengan masakan orang-orang Thian-liong-pang"

   Supitnya sibuk bekerja menjepit potongan-potongan daging dan sayur. Hauw Lam memang mempunyai hobby (kegemaran) makan enak. Melihat lahapnya pemuda ini makan, Kwi Lan menelan ludah, dan tak dapat menahan keinginannya. Ia pun duduk dan mencicipi beberapa masakan yang memang lezat.

   "Sudahlah,"

   Akhirnya Kwi Lan berkata setelah beberapa lama mereka makan, melihat betapa banyaknya Hauw Lam memasukkan masakan-masakan itu ke dalam perut didorong aliran arak wangi.

   "Kalau kau makan terus sampai kekenyangan, kau bisa tertidur di sini."

   Hauw Lam tertawa, bangkit berdiri, mengelus-elus perutnya yang anehnya tetap kempis dan ramping.

   "Wah, kalau makan lupa segala. Bakso goreng ini luar biasa enaknya, entah terbuat dari daging apa. Perlu bawa sebanyaknya untuk bekal"

   Ia sibuk menggunakan kedua tangannya mengambil bakso-bakso goreng sebesar kepalan tangan itu. Kantung-kantungnya penuh. Ia masih belum puas dan mengambil semua sisa dalam panci, memasukkan panci kecil ini ke dalam celana di mana terdapat sebuah kantung besar tepat di depan perutnya. Kwi Lan hanya tertawa dan menggeleng kepala. Kemudian mereka keluar dan cepat-cepat meninggalkan tempat itu, terus ke jurusan kiri markas. Setelah mereka meninggalkan kelompok bangunan dan mulai menuju ke jalan yang berbatu-batu melalui hutan kecil menuju sungai dan merasa bahwa kini sudah aman, terlewatlah bahaya, mendadak terdengar seruan-seruan dan derap kaki kuda dari belakang.

   "Kita dikejar, Cepat"

   Seru Hauw Lam yang mulai "menancap gas"

   Mempercepat larinya. Kwi Lan yang tadi di dapur mengambil pedang milik koki yang dirobohkan, meraba gagang pedang dan siap untuk melawan. Akan tetapi melihat Hauw Lam berlari cepat, ia pun mempercepat larinya. Tempat itu berbatu-batu dan naik turun, maka sambil berlari mereka melompat-lompat. Para pengejar itu terdiri dari seorang Hsi-hsia berpedang yang memakai topi dan lima orang berpakaian pengemis. Mereka adalah petugas-petugas yang menjaga di wilayah ini, dan kuda yang mereka tunggangi adalah kuda-kuda pilihan yang cepat-cepat larinya.

   "Wah-wah-wah.. celaka bakso-bakso ini"

   Tiba-tiba Hauw Lam berseru.

   "Kenapa?"

   Kwi Lan bertanya, masih lari di samping kiri Hauw Lam. Ketika gadis itu memandang, ia hampir tak dapat menahan tawanya. Kwi Lan menutupi mulutnya yang tertawa dan dengan mata terbelalak ia memandang temannya itu. Kiranya ketika berlari cepat dan berloncat-loncatan, bakso-bakso dalam kantung ikut berloncatan dan yang berada di kantong kanan kiri baju sudah berloncatan keluar.

   Akan tetapi yang berada di dalam panci yang disembunyikan dalam kantung yang letaknya di dalam celana, berloncatan di dalam celana, keluar dari panci dan karena bakso itu digoreng, keluarlah minyaknya membasahi semua bagian bawah tubuh Hauw Lam. Kini sambil berlari dan mengempit goloknya di ketiak kanan, terpaksa Hauw Lam membuka kolor celana dan berlompatanlah bakso-bakso besar bundar-bundar itu keluar dari dalam celana, menggelinding ke atas tanah seperti bola-bola karet. Bersungut-sungut Hauw Lam membuang panci kosong dan pada saat terakhir tangannya masih sempat menyambar bakso penghabisan dan memasukkan bakso ini ke dalam mulutnya. Ia mengeluarkan suara ha-ha-hu-hu saking kecewa. Ia tak dapat bicara karena mulutnya penuh bakso, kini ia mengikatkan kembali kolor celana dan tiba-tiba ia berhenti lari dan membalikkan tubuh. Bakso itu pun sudah ditelannya.

   "Percuma lari. Kita lawan"

   Katanya. Kwi Lan masih tersenyum. Dia tidak tahu apa yang menyebabkan pemuda ini tiba-tiba marah dan hendak melawan. Mungkin sekali karena kecewa dan marah bahwa pengejar-pengejar itu membuat bakso-baksonya hilang.

   Ia pun tidak gentar dan mencabut pedangnya. Ketika para pengejar melihat dua orang itu berhenti dan menanti, mereka meloncat turun dari kuda. Akan tetapi bukan mereka yang menyerbu, melainkan Hauw Lam dan Kwi Lan yang langsung menerjang dengan lompatan jauh dan senjata diputar di tangan. Terjadi pertandingan yang hebat dan seru, akan tetapi yang hanya berlangsung beberapa menit saja. Dua orang muda itu seakan berlumba dan pertempuran berakhir dengan robohnya keenam orang, tiga oleh Hauw Lam dan tiga oleh Kwi Lan dalam waktu hampir bersamaan. Hauw Lam tersenyum memandang mayat-mayat musuh. Ia membersihkan golok pada baju mereka lalu mengangguk-angguk kagum melihat betapa tiga orang lawan Kwi Lan tewas tanpa luka bacokan.

   "Kau makin hebat saja, Mutiara Hitam"

   "Dan kau makin gila"

   Kata Kwi Lan tersenyum, teringat akan bakso-bakso tadi. Mereka menyarungkan senjata dan membalik, lalu melanjutkan lari mereka. Akan tetapi belum seratus meter mereka lari,

   tiba-tiba mereka berhenti dan wajah Kwi Lan berubah ketika gadis ini mengeluarkan suara tertahan. Di depan mereka telah berdiri Kam Sian Eng, Suma Kiat, dan Pak-sin-ong. Dan di belakang mereka berdiri belasan orang Hsi-hsia yang membawa kuda tunggangan mereka. Hauw Lam terkejut sekali, apalagi melihat wanita berkerudung yang sikapnya begitu menyeramkan. Ia sudah mendengar nama Bu-tek Ngo-sian, namun baru sekali ini bertemu dengan Kam Sian Eng maupun dengan Pak-sin-ong. Akan tetapi melihat sikap Kwi Lan, ia menduga bahwa tentu dua orang ini, dan pemuda tampan pesolek itu, merupakan lawan berat. Maka ia cepat mencabut goloknya.

   "Srattt.."

   Begitu goloknya tercabut, golok itu sudah terbang terlepas dari tangannya. kaget sekali.

   Ia hanya melihat sinar menyambar dari tangan kakek bertopi tinggi, bertubuh kurus dan berwajah angkuh. Kiranya sinar itu adalah sehelai tali pancing yang sudah melibat goloknya dan pancingnya mengancam tangannya yang memegang golok sehingga terpaksa ia lepaskan dan golok itu terbang, kini terpegang kakek yang sama sekali tidak tersenyum itu"

   Hebat bukan main"

   Biarpun perampasan golok terjadi di kala ia lengah dan tidak menduga namun melihat ini saja sudah menimbulkan keyakinan bahwa kakek ini benar-benar seorang lawan yang amat tangguh"

   Ia mengharapkan gerakan bantuan Kwi Lan, akan tetapi gadis ini sama sekali tidak bergerak, bahkan memandang ke arah wanita berkerudung dengan kening berkerut gelisah.

   "Kwi Lan, apakah engkau hendak melawan aku?"

   Wanita berkerudung itu bertanya, suaranya dingin seperti suara dari balik kubur, membuat bulu tengkuk Hauw Lam meremang.

   Kwi Lan menggeleng kepala. Ia bukan tidak berani, sungguhpun ia tahu percuma saja melawan gurunya ini, melainkan tidak mau. Kalau ia pernah melawan ketika gurunya hendak membunuh Siang Ki, hal ini lain lagi. Kini tidak ada siapa-siapa yang harus ia bela, maka untuk dirinya sendiri tentu saja ia tidak mau melawan gurunya yang betapapun juga sudah berlaku amat baik terhadap dirinya, seperti seorang Ibu sendiri. Apalagi kalau diingat bahwa guru ini adalah bibinya, bagaimana ia dapat melawannya? Pak-sin-ong berkata kepada Hauw Lam,

   "Orang muda, kau benar-benar tak takut mampus, berani membikin huru hara di sini. Kalau kau menyerah, kau akan kuhadapkan Bouw Lek Couwsu dalam keadaan hidup seperti dikehendakinya, kalau melawan, terpaksa kuhadapkan sebagai mayat"

   Hauw Lam juga seorang pendekar muda yang tak takut mati. Akan tetapi ia bukan seorang bodoh yang nekat dan tidak melihat kenyataan. Dalam keadaan lain, tentu ia akan mati-matian melawan. Akan tetapi kini keadaannya berbeda. Kwi Lan sendiri tidak melawan, dan melawan berarti mati. Kalau hanya tertawan, masih ada harapan membebaskan diri, terutama sekali membebaskan Kwi Lan. Apa artinya ia bebas kalau Kwi Lan tertawan? Ia tertawa, ketawanya begitu wajar dan gembira sehingga diam-diam Pak-sin-ong kagum dan harus mengakui bahwa pemuda ini ada "isinya".

   "Ha-ha-ha, seorang bijaksana mengetahui akan saat ia tak berdaya. Aku menyerah, seperti juga Mutiara"

   "Ikat dia di kuda"

   Perintah Pak-sin-ong dan dua orang Hsi-hsia tinggi besar menghampiri Hauw Lam dan menarik serta mengikatnya tanpa perlawanan sama sekali dari Hauw Lam yang masih tertawa-tawa. Ia diikat di atas kuda, kepalanya di belakang dekat pantat kuda, tubuhnya dilibat-tibat ikatan dari kaki, tangan dan leher. Ia tak dapat berkutik akan tetapi masih menyeringai dan tertawa-tawa mengejek.

   Kwi Lan dengan muka tunduk tak melawan pula ketika gurunya menyuruh ia naik kuda. Di samping kuda yang membawa Hauw Lam, ia digiring kembali ke markas oleh Kam Sian Eng yang mengerutkan kening, Suma Kiat yang tersenyum-senyum, dan Pak-sin-ong yang cemberut angkuh. Dapat dibayangkan betapa kaget dan kecewa hati Kwi Lan dan terutama sekali Hauw Lam ketika mereka digiring masuk ke dalam kamar tahanan, mereka melihat semua teman yang tadi melarikan diri sudah tertawan pula dan berada di situ. Bahkan Kiang Liong dan Yu Siang Ki terluka, sungguhpun tidak berat namun membutuhkan waktu untuk istirahat karena mereka terkena pukulan orang-orang sakti.

   Ketika Kiang Liong lari bersama Pangeran Talibu lari melalui jurusan belakang markas, di tengah jalan mereka dicegat oleh.. Bouw Lek Couwsu sendiri bersama Thai-lek Kauw-ong. Karena maklum akan kelihaian Kiang Liong, maka Bouw Lek Couwsu bersama Thai-lek Kauw-ong segera menerjang dar akhirnya merobohkan pemuda ini dengan pukulan jarak jauh. Sia-sia saja Kiang Liong melawan. Menghadapi seorang di antara mereka, mungkin ia masih mampu menandingi, akan tetapi dikeroyok dua merupakan pertandingan berat sebelah. Apalagi Pangeran Talibu sama sekail tidak dapat diharapkan bantuannya karena keadaannya masih payah.

   Adapun Yu Siang Ki bersama Puteri Mimi yang lewat di jurusan kanan, dicegat oleh Bu-tek Siu-lam dan Siauw-bin Lo-mo. Tentu saja Yu Siang Ki tidak kuat pula menghadapi dua orang kakek sakti ini. Untung bahwa Bouw Lek Couwsu sudah berpesan kepada sekutu-sekutunya agar para tawanan yang lari itu ditangkap kembali dan tidak dibunuh, maka Siang Ki pun hanya terluka yang ringan saja. Mereka kini dibelenggu lagi seperti tadi, dibelenggu kaki tangan mereka dengan rantai besi yang lebih kuat, dengan kaki tangan diikat dengan besi yang berada di dinding. Akan tetapi tidak demikian dengan Tang Hauw Lam.

   Karena marah sekali oleh perbuatan pemuda ini yang hampir saja berhasil membebaskan tawanan dan sudah membunuh banyak penjaga, Bouw Lek Couwsu menyuruh algojo-algojonya untuk menggantung Hauw Lam di dalam ruangan itu pada kakinya. Pemuda ini digantung dengan kaki di atas dan kepala di bawah, kedua lengannya dibelenggu. Dia benar-benar seperti seekor kambing yang digantung setelah disembelih untuk dikuliti dan dikerat dagingnya. Bedanya, ia tidak mengembik dan tidak berteriak-teriak, bahkan selalu tertawa-tawa. Setelah para penjaga meninggalkan ruangan tahanan dan mengunci pintu dari luar, Hauw Lam kembali terkekeh dan berkata,

   "Ha-ha-ha, alangkah lucunya. Kita seperti sekumpulan bocah-bocah nakal yang dihukum gurunya yang galak. Sungguh aku harus malu, usahaku sia-sia belaka malah kalian menjadi lebih sengsara"

   Kiang Liong menghela napas.

   "Tidak bisa menyalahkan engkau atau siapa saja, Saudara Tang. Siapa kira bahwa Bouw Lek Couwsu begitu cerdik. Inilah kesalahan kita, tidak memperhitungkan kecerdikannya yang luar biasa."

   "Ha-ha-ha. Ia tidak cerdik tapi bodoh, buktinya ia menggantung aku seperti ini, memberi keenakan kepadaku saja. Di dalam kantung bajuku sebelah dalam ada obat-obat untuk luka-luka kalian, sayangnya tanganku dibelenggu, tapi kalau kugerak-gerakkan karena aku digantung membalik, agaknya dapat keluar."

   Mulailah Hauw Lam membuat gerakan-gerakan dengan tubuhnya, meliuk-liuk, menggeliat-geliat sehingga pemandangan yang menyedihkan itu tampak lucu. Semua orang merasa kelucuan ini, akan tetapi hanya Kwi Lan seorang yang tertawa terang-terangan.

   "Hi-hi-hik.."

   "Aihhh, kenapa tertawa, Mutiaraku?"

   "Berandal, Kau seperti seekor ular digantung. Untung bakso-bakso itu sudah habis, kalau tidak tentu menggelinding keluar semua. Hi-hik"

   Hauw Lam tertawa.

   "Ha-ha-ha, memang Bouw Lek Couwsu manusia sinting. Ingin aku mengadu kecerdikan dengan dia kalau ada kesempatan"

   Akhirnya Hauw Lam berhasil. Semua isi sakunya keluar dan di antaranya terdapat bungkusan obat yang dimaksudkan. Obat itu terjatuh ke dekat kaki Siang Ki. Jari-jari kaki Siang Ki yang dapat digerakkan menjepit bungkusan ini dan sekali jari-jari itu bergerak, bungkusan mencelat ke atas, diterima dengan jari-jari tangan. Ia membuka bungkusan itu, dan kembali menggunakan lwee-kang, menjemput bubuk obat dan melontarkan dengan jari-jari ke arah luka di bahunya. Setelah selesai, ia membungkus kembali obat itu menggunakan tenaga lwee-kang menyentuh bungkusan ke arah Kiang Liong. Pemuda ini pun mulai mengobati lukanya dengan cara yang sama.

   "Eh, dia sudah tidur. Dasar manusia malas"

   Kwi Lan berkata ketika mendengar dengkur orang dan melihat bahwa yang mengorok adalah Hauw Lam. Pemuda ini dalam keadaan bergantung dengan kepala di bawah seperti itu ternyata sudah tidur nyenyak sampai mendengkur"

   Akan tetapi Kiang Liong mengeluarkan suara kagum.

   "Dia tentu pernah mempelajari ilmu samadhi secara jungkir balik. Entah siapa gurunya yang tentu amat hebat itu."

   "Siapa lagi? Gurunya seorang badut tua, bangka, julukannya Bu-tek Lo-jin,"

   Kata Kwi Lan, teringat akan cerita pemuda lucu itu.

   "Aahhh..? Betulkah itu? Betulkah bahwa Locianpwe yang luar biasa itu masih hidup? Suhu pernah bercerita tentang Bu-tek Lo-jin, akan tetapi bahkan Suhu sendiri mengira beliau sudah meninggal dunia.."

   Pada saat itu terdengar suara. Suara ini aneh sekali, terdengar lapat-lapat seperti dari jarak amat jauh, akan tetapi jelas mereka semua mendengar suara ketawa terbahak-bahak.

   "Huah-hah-hahhah"

   Suling Emas bocah tolol itu mana tahu..?"

   Para tawanan saling pandang, saling bertanya dalam pandang mata. Keadaan menjadi sunyi. Suara setankah itu?

   Akan tetapi mereka tak dapat berpikir dan berheran lebih lama lagi karena pada saat itu pintu kamar tahanan terbuka lebar dan masuklah Bouw Lek Couwsu bersama Bu-tek Ngo-sian dan Suma Kiat. Para orang muda tawanan, kecuali Hauw Lam yang tidur mendengkur, menoleh dan memandang penuh perhatian dan ketegangan Jelas bahwa pimpinan orang Hsi-hia datang dengan maksud tertentu, dan agaknya saatnya telah tiba untuk menerima keputusan hidup mati mereka. Tampak jelas di mata Bouw Lek Couwsu ketika ia memandang para tawanan itu seorang demi seorang.

   "Pinceng datang untuk bicara dengan kalian semua, pembicaraan, terakhir"

   Kali ini pinceng tidak akan bicara kepada seorang demi seorang, melainkan pinceng tujukan untuk semua. Maka pilihlah seorang saja yang mewakili kalian, karena segala keputusan diambil menurut jawab seorang wakil itu. Satu mati semua mati, seorang menolak berarti semua harus mati. Nah, siapa wakilnya?"

   Otomatis semua tawanan memandang kepada Kiang Liong. Biarpun tak seorang pun di antara mereka bicara, namun pandang mata yang ditujukan kepada Kiang Liong ini sudah berkata jelas.

   "Oho, agaknya Kiang-kongcu pula yang harus bicara. Apakah Pangeran Talibu juga setuju mewakilkan dia?"

   "Jawaban Kiang-kongcu sama dengan jawabanku"

   Kata Talibu dengan suara gagah.

   "Bouw Lek Couwsu, bicaralah agar kami semua mendengar. Aku mewakili teman-teman ini demi kepentingan kami bersama, dan sama sekali bukan demi kepentinganku. Bagi aku pribadi, aku tidak peduli lagi mau kau bunuh atau kau siksa atau perbuatan pengecut dan rendah apa lagi yang hendak kau lakukan. Bicaralah"

   Kata Kiang Liong, menentang pandang mata pimpinan orang Hsi-hsia itu dengan tenang. Bouw Lek Couwsu tersenyum.

   "Kau memang sombong, Kiang-kongcu. Nah, dengarlah. Pangeran Talibu harus menulis sepucuk surat kepada ibunya, Ratu Khitan yang minta supaya Khitan membantu Hsi-hsia dalam penyerbuan terhadap Kerajaan Sung. Juga Puteri Mimi harus melampirkan surat untuk ayahnya, Panglima Kayabu di Khitan. Yu-pangcu ini harus berjanji untuk membantu kami dengan pasukan pengemis baju kotor membantu untuk gerakan dari dalam kalau saatnya tiba. Mutiara Hitam sudah berkali-kali melakukan kekacauan dan pelanggaran, namun masih diampuni asal mulai sekarang suka membantu kami di samping gurunya yang kami hormati. Adapun kau sendiri, harus berjanji untuk melanjutkan usaha mengadakan gerakan dari dalam kota raja apabila saatnya tiba, mengumpulkan para pembesar dan panglima Sung."

   Hening sejenak, semua orang diam tegang, yang terdengar hanya dengkur Hauw Lam yang masih tergantung kakinya.

   "Kalau kami menolak?"

   "Kalian berikut anjing yang tergantung itu akan mampus"

   Eh, tiba-tiba saja mendengar dirinya dimaki anjing, Hauw Lam yang tadinya mendengkur itu tiba-tiba mengeluarkan suara seperti anjing kecil,

   "Nguiiikk, nguikk, nguikkk"

   Suasana tegang menjadi lenyap sama sekali dan Kwi Lan bahkan tertawa, sedangkan yang lainnya tersenyum. Hauw Lam membuka mata, menggeliat dengan pinggangnya dan berkata.

   "Mutiaraku, kau tahu aku mimpi aneh sekali"

   "Mimpi apa?"

   Kwi Lan bertanya, maklum bahwa temannya itu tentu tidak hanya bicara asal bicara.

   "Aku mimpi menjadi anjing kecil yang indah dan bersih bulunya, akan tetapi celaka sekali, aku digigit seekor anjing besar yang selain buruk, juga gundul dan buntung. Sialan"

   Kwi Lan tertawa, juga, Puteri Mimi dan Siang Ki. Mereka tahu siapa yang dimaki anjing besar gundul buntung. Siapa lagi kalau bukan Bouw Lek Couwsu?

   "Bagaimana jawabanmu, Kiang-kongcu?"

   Tanya Bouw Lek Couwsu, pura-pura tidak mengerti dan tidak mempedulikan Hauw Lam.

   "Bagaimana kalau seorang di antara kami menolak?"

   "Harus , menurut semua. Seorang saja menolak, semua dihukum mati"

   "Kalau begitu kami menolak"

   Teiak Pangeran Talibu.

   "Kami menolak"

   Seru Puteri Mimi.

   "Aku pun menolak"

   Kata Yu Siang Ki.

   "Aku suka menurut Subo, akan tetapi membantumu? Aku menolak"

   Kata Kwi Lan.

   "Nah, Bouw Lek Couwsu, kau boleh bunuh kami. Jawaban kami sudah jelas"

   Kata Kiang Liong.

   
Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kembali hening sesaat. Wajah Bouw Lek Couwsu keruh sekali. Dia sudah menduga akan kekerasan hati orang muda ini, akan tetapi tidak mengharapkan jawaban ini. Apa untungnya kalau mereka ini mati? Ruginya jelas. Khitan akan memusuhinya, para pendekar akan memusuhinya, para pengemis baju butut akan memusuhinya. Tiba-tiba keheningan dipecahkan suara Hauw lam.

   "Haii, Bouw Lek Couwsu. Aku kok tidak ditanya? Apa aku bukan orang?"

   Hauw Lam berteriak-teriak. Akan tetapi, Bouw Lek Couwsu tidak mempedulikan Hauw Lam, sebaliknya berkata kepada Kiang Liong, suaranya penuh ancaman,

   "Hemm, kau kira begitu enak hukumannya? Sebelum mati kalian harus menyakslkan dan menderita siksaan batin. Terlalu sayang kalau dua orang gadis jelita itu dibunuh begitu saja."

   Bouw Lek Couwsu menoleh ke arah Bu-tek Siu-lam dan berkata.

   "Kau memilih yang mana?"

   "Heh-heh, biar hitam, mutiara namanya. Tetap cemerlang dan indah, tentu saja aku memilih dia."

   "Baik, biar Sang Puteri untuk pinceng. Nah, kau mulailah, seperti kita sudah setujui, kita harus berani melakukan di depan semua orang."

   Bu-tek Siu-lam tertawa terkekeh-kekeh matanya memandang ke arah Kwi Lan, menjelajahi tubuh gadis itu dengan pandang mata lahap dan haus.

   "He, dengar kalian ini pimpinan orang-orang Hsi-Hsia. Kau Bouw Lek Couwsu, dan kalian Bu-tek Ngo-sian. Di mana kegagahan kalian? Huh, menyebut tokoh-tokoh kang-ouw yang jempolan. Bouw Lek Couwsu, orang seperti engkau ini mana patut membimbing bangsa Hsi-hsia yang gagah perkasa?"

   Karena disinggung kepemimpinannya, mau tidak mau Bouw Lek Couwsu mengangkat muka memandang Hauw Lam dengan keningnya yang tebal berkerut.

   "Hemm, kalian sudah memilih wakil pembicara, yaitu Kiang-kongcu, mengapa kau ini anjing kecil besar mulut?"

   "Siapa memilih? Huh, Bouw Lek Couwsu, tampak sekarang kebodohanmu dan kecuranganmu. Memang yang lain di bawah ini sudah memilih Kiang-kongcu, akan tetapi, hayo telinga siapa yang tadi mendengar aku memilih. Aku belum memilih dan aku berhak untuk bicara"

   Bouw Lek Couwsu tertegun. Betapapun gilanya, benar juga ucapan bocah itu dan kalau ia melanggar, maka benar-benar tida tepat dengan kedudukannya sebagai pemimpin besar bangsa Hsi-Hsia. Biarlah ia memberi kesempatan bicara bocah ini, apa bedanya?

   "Hemm, kau bicaralah."

   Kiang Liong yang memandang muka Hauw Lam, melihat betapa sinar mata pemuda itu bersinar-sinar dan wajahnya berseil-seri. Ah, bocah ini cerdik, pikirnya, agaknya hendak mengelabuhi Bouw Lek Couwsu atau setidaknya mengulur waktu.

   "Bouw Lek Couwsu, aku tidak akan mendengar usul atau ancamanmu seperti yang kau kemukakan kepada teman-temanku yang lain. Sebaliknya, akulah yang mengajukan usul sebagai tantangan tanpa mengancam sepertimu. Aku akan mengajukan teka-teki hitungan dan bukan hanya engkau, bahkan Bu-tek Ngo-sian boleh membantumu. Kalau di antara kalian ada yang sanggup menjawab tepat, aku akan membenturkan kepalaku pada dinding ini sampai kepalaku pecah. Dan kalau di antara kalian tidak ada yang dapat menjawab tepat, terserah mau diapakan tubuhku ini, masa bodoh. Bagaimana, sanggupkah kalian?"

   Mendengar ucapan ini, bukan pihak Bouw Lek Couwsu saja yang terheran, bahwa Kiang Liong dan teman-temannya juga menjadi heran. Gilakah pemuda itu? Agaknya karena digantung seperti itu sejak tadi, terlalu banyak darah mengalir ke kepalanya membuat kepalanya pening dan bicaranya melantur. Pertaruhan macam apa itu? Kalau terjawab, ia akan membunuh diri dan kalau tidak terjawab ia boleh diperlakukan apa juga, berarti tentu saja juga dibunuh. Mengapa tidak minta bebas kalau tidak terjawab? Bouw Lek Couwsu yang terheran-heran tadinya tidak mau melayaninya lagi dan menganggap pemuda ini gila, akan tetapi Siauw-bin Lo-mo dan Bu-tek Siu-lam tertarik. Pemuda itu aneh sekali dan gila, teka-teki macam apa yang akan dikemukakannya? Gila atau tidak, mereka menjadi tertarik untuk mendengarnya.

   "Ha-ha-ha, Couwsu, biarkan dia mengajukan teka-tekinya,"

   Kata Bu-tek Siu-lam.

   "He-he, benar, Couwsu. Dia toh takkan dapat melarikan diri terbang ke langit,"

   Kata Siauw-bin Lo-mo. Bouw Lek Couwsu mengerutkan kening. Ia tidak mau dipermainkan bocah ini, dan ia curiga, takut kalau-kalau ditipu. Maka ia bertanya,

   "Bocah gila, kau ulangi syaratmu tadi agar kami dengar baik-baik."

   "Ha-ha, Bouw Lek Couwsu, kau takut ditipu? Boleh saja asal jangan takut kalah karena hanya pengecut yang takut kalah. Dengar kalian semua. Kalau teka-tekiku nanti terjawab, aku akan membenturkan kepalaku ke dinding sampai pecah, kalau tidak, terserah kepadamu terhadap diriku."

   "Hemmm, baik. Akan tetapi untuk membenturkan kepala ke dinding tak mungkin dilakukan dalam keadaan itu. Turunlah"

   Tangan Bouw Lek Couwsu bergerak, serangkum tenaga dahsyat menyambar ke atas rantai yang menggantung tubuh Hauw Lam dan.. rantai pada kakinya itu terlepas dari langit-langit dan tubuh pemuda itu jatuh ke bawah dengan kepala lebih dulu"

   Akan tetapi, dengan gerakan pinggangnya, tubuh Hauw Lam berjungkir balik dan ia jatuh ke lantai dengan kaki dulu sehingga berdiri tegak, akan tetapi kaki tangannya masih terbelenggu. Semua orang kagum, karena tanpa ilmu gin-kang yang tinggi, tak mungkin dapat berjungkir balik dalam keadaan kaki tangan terbelenggu seperti itu.

   "Berandal, apa kau gila? Kalah menang kau tetap mati"

   Seru Kwi Lan yang tidak dapat menahan ketegangan hatinya. Hauw Lam tertawa.

   "Ha-ha-ha, Mutiara, apa artinya mati? Yang penting dalam saat terakhir ini, aku menikmati kemenangan kalau teka-tekiku tak tertebak. Hendak kulihat, apakah Bouw Lek Couwsu yang sudah dikalahkan masih ada muka untuk mengangkat diri menjadi calon raja, dan lima Bu-tek Ngo-sian ini masih ada muka untuk menjagol dunia kang-ouw"

   Bouw Lek Couwsu mendongkol dan diam-diam di dalam hatinya ia mengumpat. Kau tunggu saja bocah, kematianmu akan menjadi kematian yang paling sengsara.

   "Tak perlu banyak cerewet, lekas majukan teka-teki gilamu"

   Bentaknya.

   Di antara mereka semua, hanya Kiang Liong yang benar-benar menjadi tegang hatinya. Tegang sekali karena kini ia mengenal siasat yang dilakukan Hauw Lam. Bocah jenaka yang ia tahu kegilaan terhadap Mutiara Hitam dan oleh Mutiara Hitam disebut Berandal ini jelas menggunakan akal mengulur waktu. Tadi keadaan Mutiara Hitam terancam bahaya mengerikan di tangan Bu-tek Siu-lam tanpa mereka dapat menolong. Kini karena tingkah Hauw Lam, hukuman itu otomatis menjadi mundur dan tentu dalam siasat mengulur waktu ini, Si Berandal sudah mendapatkan akal lain lagi yang belum ia ketahui apa dan bagaimana. Dalam keadaan terbelenggu, Hauw Lam berdiri tegak, kaku dan mengangkat mukanya, membusungkan dadanya.

   "Guruku adalah seorang manusia dewa yang sakti tiada bandingan. Tidak perlu yang budiman Bu Kek Siansu datang ke sini, baru Guruku saja, kalian akan dibikin kocar-kacir."

   "Hemm, siapa gurumu, bocah sombong?"

   Thai-lek Kauw-ong, Si Tukang Cari Lawan, tertarik sekali dan hatinya agak berdebar mendengar nama Bu Kek Siansu disebut-sebut.

   "Guruku bukan manusia biasa, orang-orang seperti kalian belum cukup berharga untuk mendengar namanya."

   "Bocah gila"

   Lekas ceritakan teka-tekimu, tentang Gurumu setan atau iblis kami tidak perlu tahu"

   Kiang Liong tidak heran mendengar pemuda ini menyebut-nyebut nama Bu Kek Siansu, ini adalah siasat untuk membikin gentar lawan, pikirnya. Tapi apa gunanya siasat seperti itu? Kemudian ia teringat akan sesuatu dan bulu tengkuk Kiang Liong meremang. Tadi.."

   Benar sekali, tadi sebelum muncul musuh, ada suara yang menertawakan Suling Emas tolol. Suara siapakah itu? Ia mendengar dari gurunya bahwa kakek sakti yang bernama Bu-tek Lo-jin adalah seorang kakek yang edan-edanan, seperti watak Hauw Lam ini. Mungkinkah suara tadi suara Bu-tek Lo-jin? Timbul harapan di hatinya dan ia mulai mengerti mengapa Hauw Lam menggunakan siasat mengulur waktu. Agaknya dia menanti pertolongan gurunya"

   "Teka-tekiku adalah teka-teki hitungan yang berbentuk syair. Tentu saja buatan Guruku karena siapa lagi manusia di dunia dapat membuat teka-teki seperti ini? Di dalam syair ini terdapat angka-angka terpendam dan kalian boleh menebak berenam, Beginilah syairnya."

   Hauw Lam lalu bernyanyi dengan suaranya yang nyaring dan cukup merdu, sambil menggoyang-goyang tubuhnya yang terikat seperti gerak tari mengikuti irama lagu nyanyiannya :

   Terang bulan memancing kura,
air jernih laksana cermin.
lima ekor yang satu emas,
berapakah jumlah terbilang?

   "Nah, hayo kalian boleh tebak. Angka berapa yang tersembunyi di dalam syair? Pergunakan otak, jangan ngawur, ini bukan sembarangan hitungan melainkan hitungan para dewa. Kuberi waktu satu tahun"

   Hampir Kiang Liong tertawa kalau tidak cepat menekan perasaannya. Ia memandang wajah tampan itu dengan kagum. Benar pemuda cerdik, akan tetapi ugal-ugalan, pantas.. disebut berandal. Masa memberi waktu setahun? Betapapun juga, siasat itu berhasil karena mereka semua, kecuali Kam Sian Eng, mulai mengerutkan kening, berpikir dengan aksi masing-masing. Kam Sian Eng hanya berdiri tak bergerak, kadang-kadang memandang ke arah Kwi Lan, kadang-kadang termenung, tarikan wajahnya tersembunyi di belakang kerudung hitam. Suma Kiat pasang aksi pula, berusaha ikut menebak teka-teki.

   Suasana dalam kamar tahanan hening. Bouw Lek Couwsu meraba-raba hidungnya, satu kebiasaan tanpa disadari kalau ia sedang berpikir, Thai-lek Kauw-ong sudah duduk bersila, bersamadhi mengumpulkan kekuatannya, sambil kadang-kadang terkekeh-kekeh seperti orang gila. Pak-sin-ong makin angkuh mukanya, telunjuk kanan menempel antara kening. Lucunya, melihat para kakek ini memeras otak, Yu Siang Ki, Kwi Lan, Puteri Mimi, dan Pangeran Talibu ikut pula berpikir memecahkan teka-teki. Sungguh permainan yang lucu dan aneh, mudah menular. Ketika Kiang Liong bertemu pandang dengan Hauw. Lam, mereka saling berkedip menahan senyum.

   Sampai lama keheningan menyelubungi kamar itu. Para penjaga di luar kamar tahanan saling bertanya-tanya dan terheran-heran. Namun karena para datuk ini berkumpul di situ, tak seorang pun di antara mereka berani lancang mengintai. Waktu ini dipergunakan oleh Kiang Liong dan Yu Siang KI untuk bersamadhi memulihkan luka-luka mereka. Akhirnya terdengar suara Bu-tek Siu-lam yang bernyanyi menirukan syair tadi. Suaranya merdu sekali, akan tetapi kecil seperti suara perempuan. Ia bernyanyi sambil berdiri dan tubuhnya bergoyang goyang pula, akan tetapi ia betul-betul menari seperti seorang perempuan genit. Selesai bernyanyi, ia berkata,

   "Heh-hehheh, sudah terdapat olehku jawabannya. He-he-he, amat mudahnya"

   "Jangan tertawa dulu, kakek banci"

   Kata Hauw Lam berani.

   "Dan jangan katakan dulu tebakanmu, menanti yang lain. Aku memberi bantuan. Jawaban angkanya tidak lebih dari dua puluh. Nah, lebih mudah bukan?"

   Wajah Bu-tek Siu-lam tampak girang, agaknya jawabannya memang tidak lebih dari angka dua puluh, maka ia merasa yakin bahwa jawabannya tentu benar. Juga kini tokoh-tokoh yang lain sudah siap dengan jawabannya.

   "Sudah siap? Nah, boleh katakan seorang demi seorang tapi jangan ngawur, berikut alasan jawaban. Nanti baru kukatakan siapa benar siapa salah,"

   Kata pula Hauw Lam yang hatinya sudah berdebar-debar karena gurunya yang tadi suaranya ia dengar belum juga muncul.

   Ia harus mencari akal lain dan otaknya yang cerdik sudah memikir-mikir mencari siasat yang lebih berhasil. Ketika melihat betapa tadi wanita berkerudung yang kini ia tahu adalah Sian-toanio dan guru Kwi Lan berdiri tak acuh akan tetapi seringkali mencuri pandang ke arah muridnya, ia sudah merencanakan akalnya sebagai lanjutan daripada akal teka-tekinya. Keadaan kembali tegang. Bahkan para tawanan juga ikut memperhatikan apa dan berapa gerangan jawaban pihak musuh, apakah sama dengan tebakan mereka? Bu-tek Siu-lam yang sudah tidak sabar mulai dengan jawabannya.

   "Hi-hi-hik, orang muda yang lucu. Kalau kau tidak menjadi musuh Couwsu, aku akan senang sekali tidur satu kamar bersamamu mendengar syair-syair dan teka-tekimu yang lain. Syairmu tadi mudah saja. Jawabannya adalah angka TUJUH. Betul tidak?"

   Hauw Lan tersenyum.

   "Betul atau tidaknya nanti kuberi tahu. Yang penting apa yang kau jadikan dasar tebakanmu, supaya diberi tahu.

   "

   "Hi-hi-hik, heh-heh, bocah nakal. Kau ingin membikin bingung kami dengan syair itu? Hi-hik, Bu-tek Siu-lam tak mungkin bingung oleh itu. Yang pokok dan penting dalam syairmu hanyalah bulan dan kura-kura. Waktu itu terang bulan, tentu bulan purnama dan air jernih, berarti bulan terbayang di air, jadi ada dua buah bulan, bukankah sudah jelas bilangannya? Bulan, bayangannya, dan kura jumlahnya tujuh. Nah, angka yang tersembunyi tujuh"

   Hauw Lam hanya tersenyum lebar, lalu menoleh kepada yang lain, sikapnya menantang.

   "Bagus sekali uraian Bu-tek Siu-lam. Kini siapa lagi yang menebak?"

   "Bocah gila, betul atau tidak tebakan kami nasibmu toh sama saja. Menurut perhitunganku, bilangan yang tersembumyi adalah DUA PULUH. Sudah jelas, bulan sedang purnama, airnya jernih, jadi jumlah bulan ada dua. Permukaan bulan bundar berarti angka nol, jadi dua dan nol sama dengan dua puluh"

   Kata Bouw Lek Couwsu. Hauw Lam berseri-seri wajahnya, senyumnya tetap gembira.

   "Siapa lagi?"

   Thai-lek Kauw-ong mengeluarkan suaranya yang parau besar,

   "Bulan purnama berarti tanggal lima belas. Nah, angka bilangan yang tersembunyi tentu LIMA BELAS."

   Hauw Lam mengangguk-angguk.

   "Bagus juga khayalmu, Locianpwe. Nah, siapa lagi?"

   "Tidak ada yang penting dalam syair itu kecuali bulan dan emas. Sinar bulan pun seperti emas, bulan dan bayangannya laksana bola emas. Yang penting hanya tiga, bulan, bayangannya, dan emas, maka tentu angka TIGA yang dimaksudkan."

   Kata Pak-sin-ong tenang. Kembali Hauw Lam hanya tersenyum sehingga tidak ada yang dapat menduga, jawaban Siapa yang paling tepat.

   "Siapa lagi? Kau bagaimana, Siauw-bin Lo-mo?"

   "Ha-ha-ha, kau bocah edan. Membikin orang-orang tua memeras otak dan teman-temanku sampai harus menggunakan arti yang dalam-dalam. Akan tetapi bocah seperti engkau ini mana mengerti arti yang dalam? Tentu kau maksudkan di dalam syair itu jumlah semua benda hidup atau mati dan yang disebut adalah lima ekor kura-kura, sebuah pancing, seorang manusia yang memancing, dan sebuah bulan. Jumlahnya hanya delapan. Nah, angkanya tentu DELAPAN"

   "Boleh kau terka sesukamu. Nah, siapa lagi? Engkau bagaimana, Toanio?"

   Hauw Lam menghadapi Kam Sian Eng. Sepasang sinar mata menyorot dari balik kerudung hitam dan Hauw Lam bergidik.

   "Jangan ganggu aku, tolol"

   Hardik Kam Sian Eng. Hauw Lam menahan napas. Sekali wanita itu bergerak, dia bisa celaka, maka ia lalu cepat-cepat menghadapi para penebaknya dan berkata,

   "Sudah jelas semua tadi, Bu-tek Siu-lam menebak angka tujuh, Bouw Lek Couwsu angka dua puluh, Thai-lek Kauw-ong angka lima belas, Pak-sin-ong angka tiga, dan Siauw-bin Lo-mo angka delapan. Bukan begitu?"

   Lima orang kakek mengangguk-angguk tertarik untuk mendengar siapa di antara mereka yang tepat tebakannya.

   "Ketahuilah, biarpun kalian mengaku kakek-kakek yang pandai, akan tetapi ternyata tebakan kalian ngawur tidak karuan, tidak ada seorang pun yang benar. Mau tahu jawabannya yang betul? Nah, jawabannya, adalah angka EMPAT"

   Hening sejenak, Bouw Lek Couwsu cemberut, semua mengerutkan kening, menghitung-hitung kembali.

   "Aihhh, kenapa empat?"

   Akhirnya Bu-tek Siu-lam bertanya.

   "Kalian yang bodoh, kecual Sian-toanio yang tentu saja sudah mengerti maka tidak mau menjawab. Yang dipersoalkan dalam syair hanya baris ke tiga yang berbunyi : LIMA EKOR YANG SATU EMAS. Nah, kalau ada lima ekor kura-kura tapi yang seekor adalah emas, maka yang empat ekorlah yang benar-benar kura-kura tolol, kura-kura yang buruk dan tua seperti kakek-kakek tua buruk dan jahat. Yang satu adalah emas, cantik dan cemerlang, mana bisa direndahkan dengan empat ekor kura-kura? Maka kalau dibilang lima ekor adalah keliru, yang benar hanya ada empat ekor kura-kura tua sedangkan yang satu hanya terbawa-bawa akan tetapi sama sekali tidak patut disebut kura-kura melainkan emas. Maka aku mempunyai sebutan untuk empat ekor kura-kura itu, paling tepat adalah Bu-tek Su-kwi (Empat Setan Tanpa Tanding). Ha-ha-ha-ha"

   Hebat bukan main siasat Hauw Lam ini, pikir Kiang Liong sambil memandang dengan hati berdebar. Jelas maksudnya, Hauw Lam dalam jawabannya yang teratur telah menyindir Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tanpa Tanding). Ia mengumpamakan empat kakek itu kura-kura dan Sian-toanio diumpamakan emas. Sisanya empat kakek itu ia sebut jebagai Bu-tek Su-kwi"

   Inilah siasat memecah belah, memperingatkan Sian-toanio bahwa ia sama sekali tidak pantas merendahkan diri bersekutu dengan empat orang kakek. Cerdik Hauw Lam, pikirnya. Ingin meminjam tangan Sian-toanio untuk menghadapi empat orang kakek.

   Bu-tek Siu-lam, Pak-sin-ong, Siauw-bin Lo-mo, dan Thai-lek Kauw-ong bukanlah orang bodoh. Mereka kini maklum bahwa mereka dipermainkan dan diejek, akan tetapi karena yang berkuasa di situ Bouw Lek Couwsu, mereka tidak berani turun tangan. Bouw Lek Couwsu juga mengerti bahwa tamu-tamu dan sekutunya dihina, maka ia berkata.

   "Bocah gila, kau tunggu saja giliranmu. Kematianmu akan menjadi kematian yang paling sengsara dan mengerikan. Sebelum mati terakhir, kau saksikan dulu teman-temanmu"

   Bu-tek Siu-lam, harap lanjutkan rencana kita tadi. Bu-tek Siu-lam melangkah maju menghampiri Kwi Lan yang memandangnya dengan sinar mata penuh kemarahan dan kebencian. Semua tawanan menjadi tegang, akan tetapi Hauw Lam tertawa bergelak dan berkata,

   "Salahkah aku menyebut mereka ini kura-kura tua bangka buruk dan jahat? Lihat saja Bu-tek Siu-lam ini. Katanya mengaku jagoan utama dari dunia barat. Mengaku seorang di antara Bu-tek Ngo-sian. Sebetulnya lebih tepat disebut setan tak bermalu. Masa seorang tua bangka yang mengaku jago, kini menghadapi seorang gadis remaja seperti Mutiara Hitam saja takut-takut dan begini pengecut? Coba Mutiara Hitam tidak terbelenggu tentu dia sudah terkencing-kencing di celana saking takutnya. Ha-ha-ha"

   Hebat memang penghinaan dan ejekan Hauw Lam ini. Kwi Lan girang mendengar ini dan berkata,

   "Ah, mana dia berani. Berandal? , Dia pengecut besar, seekor kura-kura masih terlampau baik baginya. Ia mirip.. eh, kadal buduk"

   Merah sepasang mata Bu-tek Siu-lam. Senyumnya melebar dan tiba-tiba tangannya bergerak ke depan dua kali. Terdengar suara keras dan.. belenggu pada kaki tangan Kwi Lan sudah patah-patah. Gadis itu bebas.

   "Hi-hik, anak manis. Sekarang kau sudah bebas. Mari kita coba-coba lihat sampai berapa jurus kau mampu melawan Bu-tek Siu-lam sebelum kutelanjangi dan kunikmati tubuhmu"

   Kwi Lan merasa lega. Biarpun ia maklum akan kelihaian Bu-tek Siu-lam, namun setelah kini ia bebas, ia akan melawan mati-matian dan tidak menyerah begitu saja seperti kalau dia dibelenggu tadi. Sambil mengeluarkan jerit melengking keras ia menerjang maju, menggunakan seluruh kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaganya menyerang Bu-tek Siu-lam. Sayang bahwa ia tidak berpedang, dan lebih sayang lagi bahwa tenaganya sudah banyak berkurang karena lelah dengan penderitaan yang bertubi-tubi, dengan penahanan dan dalam belenggu yang membikin kaku urat tubuh.

   Bu-tek Siu-lam tertawa terkekeh ketika mengelak dan balas menyerang. Pertandingan terjadi dalam ruang tahanan. Pertandingan yang berat sebelah. Keahlian Kwi Lan adalah bermain pedang. Kini ia bertangan kosong dan biarpun ia merupakan seorang gadis remaja yang jarang bandingnya dalam bersilat tangan kosong, namun menghadapi seorang tokoh seperti Bu-tek Siu-lam, ia masih kalah setingkat. Bahkan kini karena tenaganya sudah banyak berkurang, ia kalah tenaga sehingga tiap kali dengan mereka beradu, Kwi Lan terhuyung mundur. Bu-tek Siu-lam makin mendesak sambil terkekeh-kekeh. Kini gerakan tokoh banci ini makin kurang ajar, kadang-kadang menowel pipi, meraba dada dan mencubit paha. Kwi Lan malu dan marah sekali, berlaku nekat dan mati-matian.

   Lewat seratus jurus, tiba-tiba Bu-tek Siu-lam menubruk, tangan kiri mencengkeram dada dan tangan kanan mencengkeram paha. Kwi Lan kaget dan jengah. Serangan ini kurang ajar sekali, melanggar batas kesopanan. Mana ia mau membiarkan dirinya dipegang? Ia menjatuhkan diri dan bergulingan, akan tetapi tiba-tiba gadis ini menjerit ketika terdengar bunyi kain robek. Kiranya serangan Bu-tek Siu-lam tadi hanya siasat belaka dan ia kini mencengkeram baju Kwi Lan terus direnggut robek. Hebat tenaga Bu-tek Siu-lam sehingga pakaian gadis itu, baik yang luar maupun yang dalam sebagian besar berada dalam tangannya dan hanya sedikit saja yang masih menempel ditubuh Kwi Lan. Gadis ini cepat menelungkup di lantai, tak berani bangkit lagi karena tubuhnya sudah setengah telanjang. Bahkan ketika menelungkup pun, sebagian pinggul dan pahanya yang putih bersih tampak nyata.

   "Hi-hik, begini saja kepandaianmu?"

   Bu-tek Siu-lam terkekeh- kekeh dan membawa robekan pakaian ke depan hidung sambil menyedot-nyedot dan berseru,

   "Aihh, wangi"

   Mari kita main-main, Nona manis"

   Hauw Lam berseru,

   "Coba dengar sombongnya Si Tokoh Banci. Biarpun ada guru Mutiara Hitam hadir, dia berani memandang rendah ilmunya. Murid sama dengan anak, kalau murid dipermainkan berarti guru dihina. Kalau murid dihina berarti guru dibunuh. Di depan Sian-toanio Si Banci menjemukan ini berani bermain gila. Sungguh tak tahu diri"

   Ketika itu Bu-tek Siu-lam sudah melangkah maju hendak memaksa Kwi Lan membalikkan tubuh, hendak melakukan penghinaan seperti direncanakan Bouw Lek Couwsu untuk menundukkan Pangeran Talibu, Kiang Liong, dan Yu Siang Ki. Tak seorang pun tahu kecuali Hauw Lam dan Kiang Liong betapa wajah di balik kerudung hitam itu mengeluarkan napas yang membuat kerudung bergerak-gerak, betapa pandang mata dari balik kerudung seperti dua titik api membakar. Ketika Hauw Lam mengeluarkan kata-kata yang bagaikan minyak menyiram api, terdengar lengking mengerikan dan tubuh Kam Sian Eng sudah berkelebat maju, tangannya yang kanan mencengkeram pundak Bu-tek Siu-lam sedangkan tangan kiri melemparkan jubahnya yang tepat menyelimuti tubuh Kwi Lan. Bu-tek Siu-lam mengeluh dan tubuhnya terlempar membentur dinding. Cengkeraman tadi bukan sembarang cengkeraman, melainkan cengkeraman dengan jari-jari beracun yang sudah menembus baju dan kulit pundak Bu-tek Siu-lam.

   Wajah Si Banci menjadi pucat ketika ia melompat bangun, jelas ia kesakitan bercampur marah dan keluarlah senjata guntingnya dan jarum di ujung benang. Ia memekik dan menerjang maju. Namun tangan kiri Kam Sian Eng bergerak dan sinar hitam menyambar ke depan. Itulah jarum-jarum hitam yang sebetulnya adalah warna merah yang amat tua sehingga kalau disambitkan sinarnya menjadi hitam. Tiga belas batang jarum menyambar ke tiga belas jalan darah di tubuh Bu-tek Siu-lam. Sinar ini mendatangkan suara berciutan mengerikan. Namanya Ang-sin-ciam (Jarum Sakti Merah) dan jarang ada lawan dapat menyelamatkan diri terhadap serangan jarum-jarum ini. Dilepas dari jarak dekat, cepatnya seperti kilat menyambar, sasarannya tiga belas jalan darah di sebelah depan tubuh, suaranya mengerikan dan racunnya sedemikian hebat sehingga jangankan terluka, baru tergores sedikit saja sudah mendatangkan maut.

   Jarum-jarum hijau milik Kwi Lan kalau dibandingkan dengan jarum-jarum merah milik gurunya ini masih belum apa-apa. Baru Ang-sin-ciam sudah begini hebat, belum lagi Pek-sin-ciam (Jarum Sakti Putih). Jarum-jarum ini tidak mengeluarkan suara, hampir tak tampak sinarnya akan tetapi racunnya lebih gila lagi, tersentuh kulit orang bisa menimbulkan maut. Racunnya terdapat dari kerangka-kerangka manusia di bawah tanah. Bu-tek Siu-lam memang lihai sekali namun ia tetap saja kaget dan repot menyelamatkan diri dari sambaran sinar hitam jarum-jarum itu. Memang benar dengan jalan memutar gunting melempar diri ia berhasil terbebas dari terjangan jarum, namun Kam Sian Eng yang sudah menduga akan gerakan ini, sudah berkelebat maju dan sebuah tamparan tepat mengenai punggung Bu-tek Siu-lam yang sedang repot menghindarkan diri dari jarum-jarum.

   "Plakk.., Auuuukhhh"

   Bu-tek Siu-lam terhuyung ke belakang dan dari mulutnya menyembur darah segar. Ia sudah terluka hebat.

   Kini ia berdiri dengan tubuh bergoyang-goyang, bibir berlepotan darah, mata beringas memandang Kam Sian Eng yang berdiri tenang dan dengan gerakan tenang pula Kam Sian Eng membuka kerudung hitamnya. Semua orang menahan napas. Betapa cantiknya wajah di balik kerudung itu. Kulitnya putih kemerahan seperti kulit muka gadis remaja, hidungnya mancung dengan cuping bergerak-gerak kembang-kempis dan angkuh. Matanya tajam namun sinarnya aneh bergerak-gerak ke kanan kiri dan senyumnya membuat bulu tengkuk berdiri. Senyum wanita biasanya membuat hati makin tenang, mendatangkan kehangatan. Akan tetapi senyum ini dingin sekali, seperti kita melihat senyum pada bibir orang-orang mati. Dengan kerudung hitam di tangan kiri, diputar-putar seperti seorang gadis remaja memutar saputangan sutera, tangan kanannya bergerak ke pinggang dan.., sebatang pedang tipis telah dipegangnya.

   "Bu-tek Siu-lam, apakah kau masih berani memandang rendah ilmuku?"

   Suara ini merdu dan manis, namun didorong ancaman yang mengerikan. Bu-tek Siu-lam yang sudah dua kali terkena pukulan yang membuatnya terluka dalam amat hebat, maklum bahwa keselamatannya sukar ditolong lagi. Hatinya gelisah dan kemarahan membuat lehernya serasa tercekik. Ia tidak dapat menjawab, hanya mengeluarkan suara seperti tertawa atau ringkik seekor kuda, kemudian tubuhnya menerjang ke depan, guntingnya bergerak menggunting ke arah, leher Kam Sian Eng, sedangkan jarumnya meluncur ke arah perut lawan.

   Namun gunting itu terhenti di tengah jalan, bertemu dengan kerudung hitam yang kini menjadi semacam senjata ampuh. Kerudung itu terbuat daripada bahan yang kuat sekali, dari benang baja hitam yang halus, maka biarpun Bu-tek Siu-lam menggerakkan guntingnya menggunting tidak ada hasilnya, malah guntingnya terlibat-libat kerudung tak dapat bergerak lagi. Adapun jarumnya dapat dielakkan oleh Kam Sian Eng yang sambil tersenyum membetot kerudungnya membuat tubuh lawan doyong ke depan lalu ia papaki dengan tusukan pedang mematikan. Bu-tek Siu-lam terkejut. Tidak mengira bahwa ia akan mati demikian mudah di tangan wanita ini, akan tetapi apa daya, racun mulai bekerja di tubuhnya, membuat tenaganya menjadi lemas dan ia hanya dapat memejamkan mata menanti datangnya pedang dan memasuki dadanya.

   "Tranggg.."

   Pedang di tangan Kam Sian Eng terpental ketika tongkat kuningan Bouw Lek Couwsu menangkisnya.

   "Toanio, tak boleh kau membunuh tamuku"

   Bentak Bouw Lek Couwsu sambil menyerang dengan tongkatnya. Kam Sian Eng mengeluarkan suara melengking marah, tubuhnya berkelebat cepat dan dalam waktu beberapa menit saja ia sudah bertanding sampai belasan jurus, balas-membalas dengan ketua orang Hsi-hsia.

   "Ha, kau tangguh, Toanio. Tapi tetap saja aku yang menjadi orang pertama dari Bu-tek Ngo-sian. Inilah suara Thai-lek Kauw-ong yang sudah berjongkok lalu memukul dengan ilmu pukulan Thai-lek-kang yang luar biasa lihainya. Kam Sian Eng terkejut, berusaha menahan namun ia tetap saja terhuyung ke belakang, permainan pedangnya menjadi kacau dan pada saat ia memutar pedang menghadapi tongkat kuningan Bouw Lek Couwsu, dari belakang ada tangan menyambar.

   "Awas, Bibi.."

   Terdengar Kwi Lan berseru. Gadis ini sudah membungkus tubuh dengan jubah gurunya dan kini melihat serangan ganas Bu-tek Siu-lam dari belakang, ia memperingatkan gurunya.

   Namun Sian Eng yang sudah marah itu menggerakkan tangan kiri dan sinar putih menyambar. Hanya tiga batang jarum yang ia sambitkan namun ketiga-tiganya memasuki tubuh Bu-tek Siu-lam yang roboh berkelojotan dan menjerit-jerit seperti babi disembelih karena seluruh tubuhnya terasa sakit-sakit, tak tertahankan. Rasa nyeri yang amat hebat membuat tokoh banci ini seperti gila, guntingnya bergerak menggunting bagian tubuhnya yang terasa nyeri sehingga dalam sekejap mata saja lengan kirinya buntung, lalu kedua kakinya dan terakhir sekali batang lehernya. Ia mati dalam keadaan tubuh terpotong-potong gunting seperti nasib sekian banyak korbannya.
(Lanjut ke Jilid 30)

   Mutiara Hitam (Seri ke 04 "

   Serial Bu Kek Siansu)

   Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 30
Andaikata ia harus menghadapi Bouw Lek Couwsu atau bahkan Thai-lek Kauw-ong satu lawan satu saja agaknya Kam Sian Eng tidak akan mudah dapat dikalahkan. Akan tetapi sekarang ia harus menghadapi Bouw Lek Couwsu dan Thai-lek Kauw-ong malah kini Pak-sin-ong dan Siauw-bin Lo-mo sudah maju mengeroyoknya. Dikeroyok empat orang sakti itu, tentu saja, ia menjadi repot sekali. Kwi Lan dengan nekat membantu gurunya. Ia menyambar gunting Bu-tek Siu-lam yang berlepotan darah, lalu mengamuk, mainkan gunting itu seperti orang mainkan pedang. Namun karena senjata ini tidak cocok, ia menjadi kaku dan gerakannya canggung.

   "Kwi Lan, kau bebaskan saja kami agar kami dapat membantu. Lekas"

   Teriak Hauw Lam, Siang Ki, dan Kiang Liong. Akan tetapi gadis itu dalam kemarahan meluap-luap tidak ingat akan hal ini dan akhirnya, ketika Thai-lek Kauw-ong memutar-mutar tubuh mainkan ilmu Soan-hong-sin-ciang sehingga tubuhnya berputaran seperti gasing, Kwi Lan roboh tertotok dan tak mampu bergerak lagi"

   Hauw Lam menjadi kecewa sekali dan pemuda ini hanya mampu memaki-maki dan berteriak-teriak,

   "Tak tahu malu. Empat ekor kura-kura busuk tua bangka hanya berani melakukan pengeroyokan"

   Aku berani mempertaruhkan kepala nenek moyangku kalau bertanding satu lawan satu, semua tentu dapat terbunuh mampus oleh Sian-toanio"

   Namun teriakan-teriakannya percuma saja dan akhirnya Kam Sian Eng harus mengakui keunggulan empat orang pengeroyoknya. Ia tak dapat bertahan lama. Serangan Thai-lek Kauw-ong membuat ia terhuyung-huyung dan pening. Ia sudah menghabiskan jarum-jarumnya, sudah mainkan pedang dan kerudung, namun sia-sia dan akhirnya ia roboh terkena hantaman gergaji Pak-sin-ong yang mengenai lambungnya. Lambungnya robek. Kam Sian Eng memekik marah dan tendangan kakinya yang dilakukan secara tak terduga-duga membuat Pak-sin-ong terlempar akan tetapi pada saat itu, tongkat Bouw Lek Couwsu, senjata gembreng Thai-lek Kauw-ong, dan pukulan tangan Siauw-bin Lo-mo membuat ia roboh terkapar tak bernyawa lagi. Pak-sin-ong sudah bangkit dan hanya terluka ringan.

   "Wanita hebat.."

   Thai-lek Kauw-ong mengangguk-angguk dan diam-diam ia memuji karena biarpun ia sanggup seorang diri mengalahkan Kam Sian Eng namun tentu memakan waktu yang lama.

   Kiang Liong, Pangeran Talibu, Mimi, Yu Siang Ki, dan Hauw Lam memandang ke arah empat orang kakek itu dengan jantung berdebar. Bahkan Hauw Lam sendiri kini diam saja, maklum bahwa kata-kata tidak ada artinya lagi sekarang. Bahaya hebat mengancam mereka, akan tetapi mengapa gurunya belum juga muncul? Ataukah ia salah dengar dan bukan suara gurunya? Bouw Lek Couwsu dengan muka geram menghadapi para tawanan muda. Ia marah sekali karena sekaligus kehilangan dua orang pembantu kuat, yaitu Kam Sian Eng dan Bu-tek Siu-lam. Suma Kiat hanya berdiri memandang mayat ibunya, tidak menangis tidak tertawa hanya menunduk.

   "Suma-kongcu, bagaimana pendapatmu kini?"

   Tiba-tiba Bouw Lek Couwsu bertanya kepada pemuda itu. Ia hendak menjenguk isi hati pemuda yang kematian ibunya ini. Suma Kiat berkata, suaranya menggetar.

   "Apa yang dapat kukatakan, Couwsu? Kami ibu dan anak telah membantumu dengan kenyataan, akan tetapi Ibu karena membela gadis sialan ini telah menjadi korban. Couwsu, berikan gadis itu kepadaku, aku ingin membalas dendam ini kepadanya"

   Bouw Lek Couwsu mengangguk. Baik sekali kalau begitu pendapat pemuda ini.

   "Boleh saja, asal kemudian dibunuh. Dia telah menimbulkan banyak kerewelan."

   Kemudian setelah Suma Kiat memondong tubuh Kwi Lan yang pingsan dan dibawa keluar kamar tahanan, Bouw Lek Couwsu menghadapi Pangeran Talibu dan berkata.

   "Pangeran, untuk penghabisan kali, apakah kau masih keras kepala? Kalau sekarang kalian semua kubunuh, siapa yang akan berani menolongmu?"

   Sunyi tiada jawaban dari para tawanan muda. Tiba-tiba terdengar bunyi ledakan keras disusul sorak-sorai. Agaknya ini sebagai jawaban pertanyaan Bouw Lek Couwsu karena pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan semua tawanan muda itu tiba-tiba saja berkelebat bayangan orang dan bagaikan gerakan iblis, entah dari mana datangnya, tahu-tahu di situ berdiri seorang laki-laki yang tinggi tegap tampan dan gagah berusia lima puluh lima tahun kurang lebih. Sebatang suling terselip di pinggang, topinya lebar dan sepasang mata yang memandang dari bayangan topi itu penuh wibawa.

   

Suling Emas Eps 29 Suling Emas Eps 6 Cinta Bernoda Darah Eps 5

Cari Blog Ini