Istana Pulau Es 20
Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 20
Melihat ini, Kakek Lu Gak yang dengan terengah-engah sudah datang pula, cepat mengeluarkan suara melengking dari kerongkongannya. Mendengar ini, Siauw Bwee teringat dan melihat kakek itu dengan susah payah mengerahkan tenaga khi-kang, ia lalu mengeluarkan lengking yang amat tinggi dan mengandung getaran, hebat. Mendengar itu kelelawar-kelelawar menjadi panik dan cepat melarikan diri dengan terbang membumbung tinggi sambil cecowetan. Makin lama kelelawar-kelelawar itu makin bingung, bahkan ada yang meluncur jatuh karena tidak kuat diserang suara melengking yang begitu dahsyatnya. Tiba-tiba di luar kuil terdengar suara tertawa-tawa disusul suara teriakan-teriakan kesakitan dan suara gedebak-gedebuk orang berkelahi.
"Locianpwe, harap menjaga agar binatang-binatang jahat itu tidak turun lagi, akan tetapi tidak perlu memaksa diri. Aku akan melihat keluar!"
Tubuh dara perkasa itu sudah berkelebat keluar kuil dan apa yang dilihatnya membuat ia terbelalak keheranan. Puluhan orang-orang anggauta kaki buntung dan lengan buntung itu sedang diamuk oleh dua orang yang tertawa-tawa dan gerakannya aneh serta lihai bukan main! Sudah belasan orang anggauta kedua kaum itu roboh tewas, banyak pula yang terluka dan kedua orang itu mengamuk sambil tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha! Aku adalah raja rawa! Lebih banyak lagi korban untuk dipersembahkan dewa-dewa kelelawar!"
Teriak seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar dan hanya bercawat saja, tubuhnya penuh lumpur.
"Ha-ha-ha! Benar, lebih banyak lebih baik menemani dua orang kakek! Ha-ha-ha, aku adalah pangeran rawa-rawa!"
Siauw Bwee menahan napas melihat orang ke dua itu, yang pakaiannya robek-robek tidak karuan hampir telanjang dan seperti orang pertama rambutnya riap-riapan tubuhnya penuh lumpur dan mata mereka itu merah dan liar berputaran. Akan tetapi ilmu kepandaian mereka luar biasa sekali. Mereka bersilat seperti orang ngawur saja akan tetapi setiap tangan mereka bertemu dengan anggauta-anggauta kedua kaum yang mengeroyok, tentu lawan roboh dan tewas!
"Cia Cen Thok, Liem Hok Sun....!"
Siauw Bwee berteriak dan meloncat ke tengah pertempuran.
"Semua orang mundur, jangan melawan mereka!"
Mendengar seruan ini dan karena memang takut dan gentar menghadapi kehebatan dua orang gila itu, anak buah kedua kaum cacad itu cepat mengundurkan diri sehingga kini hanya Siauw Bwee saja yang berhadapan dengan dua oranggila. ia menoleh dan berkata kepada orang-orang itu.
"Ketua kalian selamat, di halaman belakang!"
Mendengar ini, semua orang lari memasuki kuil.
"Cia Cen Thok, Liem Hok Sun, apa yang kalian lakukan ini?"
Siauw Bwee memberanikan diri menegur dengan hati gentar dan ngeri karena dia dapat menduga bahwa kedua orang ini sudah tidak waras lagi dan tidak normal.
"Ha-ha-ha!"
Kedua orang itu tertawa-tawa dan menudingkan telunjuk mereka ke muka Siauw Bwee.
"Cia Cen Thok! Liem Hok Sun! Apakah kalian tidak mengenal aku lagi? Aku Khu Siauw Bwee!"
"Ha-ha-ha! Korban lunak untuk para dewa kelelawar!"
Tiba-tiba Cia Cen Thok yang tertawa-tawa itu menyerang hebat sehingga Siauw Bwee cepat mengelak.
Dari tangan Si Bekas Mayat Hidup itu tercium bau amis. Tangan beracun! Bahkan tubuh mereka semua beracun! Siauw Bwee dapat menduga bahwa agaknya kedua orang ini telah berhasil menyelamatkan diri dari pengeroyokan burung, akan tetapi agaknya menjadi korban gigitan kelelawar-kelelawar itu sehingga menjadi gila dan selain gila, tubuh mereka menjadi beracun! Dia tidak dapat membujuk lagi karena kini dua orang gila itu telah mengeroyoknya dengan gerakan-gerakan aneh dan dahsyat sekali! Pada saat Siauw Bwee mengelak dan mengandalkan gin-kangnya agar jangan sampai kulit tubuhnya tersentuh tangan-tangan beracun itu, para anggauta kedua kaum telah memapah keluar ketua mereka, mengganti pakaian mereka dan kini mereka semua berdiri di luar kuil menonton pertandingan yang dahsyat mengerikan itu. Mereka tidak membantu karena ketua mereka berkata,
"Dua orang itu korban kelelawar, tubuh mereka beracun dan sekali sentuh saja akan cukup menularkan kegilaan mereka!"
Siauw Bwee harus menggunakan seluruh kepandaiannya menghadapi pengeroyokan yang amat hebat itu. Yang menyulitkannya adalah bahwa dia tidak tega menurunkan pukulan maut karena maklum bahwa dua orang itu menyerangnya dalam keadaan tidak sadar. Betapa mungkin dia tega untuk membunuh mereka? Inilah yang menyulitkan, karena kedua orang itu menyerangnya dengan nafsu membunuh, setelah menjadi korban gigitan kelelawar dan menjadi gila, tidak hanya tubuh mereka beracun, juga gerakan mereka menjadi aneh dan mereka menjadi berlipat kali lebih lihai daripada sebelum gila.
Bukan main ramai dan serunya pertandingan itu. Biarpun Siauw Bwee memiliki gerakan yang ringan dan cepat sekali, akan tetapi sambaran tangan kedua orang gila itu telah membuat beberapa bagian pakaiannya robek-robek, bahkan pundak kirinya telah terserempet cakaran tangan Hok Sun sehingga mengeluarkan darah. Rasa gatal dan panas pada pundaknya membuat, Siauw Bwee maklum bahwa dia telah terkena racun. Terpaksa dia harus mengerahkan sin-kangnya dan dengan hawa murni itu dia mendesak hawa beracun di pundaknya sehingga tidak menjalar lebih luas. Ketika ia agak lengah karena melirik ke arah pundak kirinya, tiba-tiba gerakan aneh dari Cia Cen Thok dengan tendangan yang merupakan jurus gerakan kaki kilat mengenai paha kanannya.
"Desss!"
Tubuh Siauw Bwee terlempar dan jatuh bergulingan di atas tanah!
Dua orang gila itu terkekeh-kekeh dan keduanya menubruk tubuh Siauw Bwee dengan gerakan seperti dua ekor harimau memperebutkan seekor kelinci. Siauw Bwee merasa pahanya panas sekali, cepat ia menggunakan sin-kang melindungi darahnya dan melihat tubrukan dua orang itu, ia mulai menjadi gemas, gila atau tidak, mereka itu adalah dua orang lawan yang berbahaya dan kalau tidak dia robohkan, tentu akhirnya dia sendiri yang celaka. Karena itu, melihat mereka menubruk maju Siauw Bwee mengerahkan sin-kangnya dan menyambut tubuh mereka dengan tendangan kedua kakinya!
"Bukk! Bukk!"
Dua orang gila itu berteriak seperti binatang buas, tubuh mereka terlempar ke belakang dan mereka bergulingan menekan perut yang rasanya seperti diremas-remas! Mereka kini meringis dan Siauw Bwee sudah melompat bangun, kepalanya pening akibat bau racun dan tubuhnya agak terhuyung. Akan tetapi hatinya merasa kasihan sekali melihat dua bekas lawan yang gila itu meraung-raung kesakitan. Namun, kedua orang itu kini sudah bangkit lagi dan dengan gerakan buas telah menyerangnya. Siauw Bwee terkejut. Kalau dilanjutkan, tentu dia akan celaka.
Dia harus membagi sin-kang untuk melindungi tubuhnya dari kedua lukanya. Luka di kulit pundak dan kulit pahanya. Tendangan Cen Thok tadi merobek celananya di paha sahingga kulit pahanya terkoyak dan keracunan pula bertemu dengan kaki Cen Thok! Kini melihat kedua orang gila itu sudah menyerbu lagi, ia menguatkan hatinya, menggunakan Swat-im Sin-jiu mendorong ke depan. Tubuh kedua orang gila itu seperti disambar petir. Mereka terjengkang, muka mereka menjadi biru, tubuh mereka menggigil dan mereka bergulingan sampai jauh kemudian berhasil merangkak bangun dan melarikan diri sambil berteriak-teriak! Siauw Bwee terhuyung-huyung. Seorang nenek kaki buntung dan seorang anggauta lengan buntung cepat menolongnya, memegang kedua lengannya menuntunnya memasuki kuil tua.
"Lepaskan aku...."
Siauw Bwee berkata, kemudian dia duduk bersila di ruangan kuil, memejamkan matanya dan tidak bergerak-gerak.
Para anggauta kedua kaum itu mengerti bahwa Siauw Bwee sedang bersamadhi menghimpun tenaga dan hawa murni untuk mengobati luka-lukanya dan mengusir racun, maka Liok Ki Bok dan The Bian Le memberi isyarat kepada semua anak buahnya untuk meninggalkan Siauw Bwee. Mereka pergi ke ruangan depan di mana mereka bercakap-cakap dari hati ke hati, merasa bersatu dan lenyaplah. rasa permusuhan di antara mereka setelah kedua pihak merasa yakin bahwa nona pendekar yang sakti itu sampai hampir mengorbankan nyawa karena permusuhan mereka dan dami untuk mendamaikan mereka! Mereka tidak mau meninggalkan Siauw Bwee dan beberapa kali kedua orang ketua itu menjenguk dan pergi lagi ketika melihat Siauw Bwee masih tetap bersamadhi. Malam tiba dan para anggauta kedua kaum itu menyalakan lampu dan membersihkan ruangan kuil tua yang dahulu menjadi tempat tinggal nenek moyang mereka yang saling bermusuhan.
Kini tampaklah suasana yang mengharukan di mana seorang kaki buntung dan seorang lengan buntung bekerja sama membersihkan lantai dan menyapu halaman kuil! Bahkan kedua orang ketua mereka, dalam suasana yang ramah-tamah, saling membicarakan kedua ilmu mereka, membuka rahasia gerak kilat masing-masing! Setelah malam tiba dan lampu penerangan dipasang, Siauw Bwee membuka matanya. Racun dari luka di pundak dan pahanya telah dapat ia usir bersih, akan tetapi tubuhnya menjadi lemah karena ia terlampau banyak mengerahkan tenaga untuk usaha pengusiran racun-racun berbahaya itu dan ketika ia bangkit, ia mengeluh dan terhuyung. Kemudian dengan terpincang-pincang ia dipapah dua orang anggauta kaki buntung dan lengan buntung.
"Mana kedua ketua kalian?"
Tanyanya ketika ia dipapah keluar. Kedua orang kakek itu sudah menyambutnya dengan wajah berseri dan ketika melihat Siauw Bwee, mereka berdua lalu menjatuhkan diri berlutut di depan dara perkasa itu!
"Terima kasih kami haturkan kepada Li-hiap yang sudah menolong kami!"
Kata The Bian Le yang berlutut dan mengangkat sebelah tangannya ke depan dada sebagai tanda penghormatan.
"Terima kasih sekali, terutama karena Li-hiap telah berhasil mendamaikan kami. Kami telah bersumpah untuk mengubur semua dendam permusuhan dan mulai saat ini, kedua kaum kami bersatu sebagai saudara-saudara seperguruan,"
Kata Liong Ki Bok. Bukan main girangnya hati Siauw Bwee. Tidak sia-sialah usahanya sekali ini, biarpun ditebusnya dengan bahaya maut yang mengancam nyawanya. Ia girang karena mengingat betapa akan bahagianya rasa hati Kakek Lu Gak. Ia menoleh ke kanan kiri dan bertanya,
"Mana dia?"
Dua orang ketua itu saling pandang,
"Siapakah yang Li-hiap cari?"
Tanya Liong Ki Bok.
"Hemmm, betapa kalian telah melupakan orang yang paling berjasa dalam usaha mendamaikan kalian! Mana Locianpwe Lu Gak?"
"Ahh....!"
Barulah semua orang teringat akan tetapi ketika dicari kakek itu tidak tampak.
"Lekas, jemput dia di pondoknya!"
Siauw Bwee yang masih lemah dan kakinya pincang itu menyuruh mereka karena dia sendiri masih terlalu lemah. Dua orang kakek itu cepat pergi sendiri dan tak lama kemudian mereka datang dengan wajah berduka sambil memanggul tubuh yang hanya berlengan satu dan yang sudah tak bernyawa itu! Hati yang duka dari Siauw Bwee berubah terharu dan juga lega ketika ia melihat wajah jenazah Kakek Lu Gak. Wajah itu berseri, mulutnya tersenyum dan matanya terpejam. Agaknya saking girangnya menyaksikan kedua kaum itu berdamai kakek ini pulang dengan hati girang dan rasa girang yang berlebihan menyerang jantungnya dan membuatnya mati dalam keadaan penuh bahagia! Jenazah Kakek Lu dikubur di halaman kuil itu dan diberi batu nisan yang megah, Siauw Bwee berkata dalam pesannya ketika ia hendak pergi setelah lukanya sembuh,
"Kuharap saja kalian akan dapat mempertahankan perdamaian ini dan tidak lagi memupuk permusuhan dan membuntungi kaki dan lengan orang, dan anggaplah kuburan Lu-locianpwe sebagai lambang perdamaian abadi."
Siauw Bwee diantar oleh semua anak buah kedua kaum yang kini telah bersatu itu, diberi pakaian, kuda dan bekal secukupnya. Kedua ketua itu berlinang air mata ketika Siauw Bwee melambaikan tangan sebagai ucapan selamat tinggal, meninggalkan tempat yang takkan dapat ia lupakan itu karena di situ dia telah mengalami hal-hal yang hebat.
Setelah meninggalkan tempat itu, Siauw Bwee melakukan perjalanan ke selatan mencari ibunya. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa hancur hatinya ketika mendengar berita dari seorang perwira Sung bekas sahabat ayahnya bahwa ibunya yang dahulu melarikan diri mengungsi itu, telah meninggal dunia karena sakit sesudah mendengar bahwa suaminya gugur. Siauw Bwee sempat mengunjungi kuburan ibunya, bahkan dia berkabung dan menangisi kuburan ibunya di dusun sunyi sampai beberapa hari, kemudian karena mendengar keterangan bahwa musuh besarnya, Suma Kiat kini sedang memimpin barisan besar ke utara untuk melawan para pemberontak dan pasukan-pasukan Mancu di perbatasan utara, dia lalu melanjutkan perjalanannya menyusul ke utara.
Kebenciannya terhadap musuh besar itu meningkat karena dia menganggap bahwa kematian ibunya pun disebabkan oleh Suma Kiat! Dara yang hatinya merana dan setiap saat teringat dengan hati penuh rindu kepada suhengnya, Kam Han Ki, kini melakukan perjalanan dengan hati mengandung dendam besar, membuatnya menjadi pendiam dan kurang gembira. Kota-kota dan dusun-dusun daerah utara amat sunyi karena sebagian besar penduduknya lari mengungsi menjauhi pertempuran. Namun, banyak juga yang tidak pergi mengungsi karena selain tidak tahu harus pergi ke mana, juga mereka merasa sayang untuk meninggalkan rumah dan kampung halaman mereka. Ada pula yang menyuruh keluarganya saja pergi mengungsi. Karena banyak warung, toko dan restoran tutup, maka bagi mereka yang berani membuka restoran dan toko merupakan usaha yang amat baik dan menguntungkan.
Warung-warung nasi selalu ramai, akan tetapi tidak terpelihara baik-baik karena tempat itu sewaktu-waktu kalau terjadi perang harus ditinggalkan. Meja-meja dan bangkunya butut, tembok-tembok rumahnya tidak dikapur dan makanan yang disediakan pun amat sederhana, walaupun harganya sama sekali tidak sederhana, melainkan harga pukulan! Bagi restoran-restoran di dusun-dusun, yang menjadi langganan mereka adalah tentara-tentara yang kebetulan pasukannya singgah di situ dan yang membuat perkemahan dekat dusun itu. Para perajurit yang makan-makan di restoran tidak berani berbuat sewenang-wenang, dan selalu membayar karena pemilik-pemilik restoran itu dengan cerdiknya selalu menghubungi komandan mereka dan mengirim hidangan-hidangan yang lezat.
Selama ini, juga dengan adanya rumah-rumah makan itu mereka mendapat kesempatan untuk sekedar menghibur diri. Kalau mereka tidak bayar dan semua restoran tutup, tentu mereka akan kehilangan. Pada suatu pagi, Panglima Maya dan sebelas orang pembantunya memasuki sebuah restoran yang cukup besar di kota dekat tempat pasukannya berhenti. Pelayan segera menyambutnya dan Maya beserta para perwiranya dipersilakan duduk di loteng dan segera mereka itu dilayani penuh hormat. Para pengawal cukup duduk di ruangan bawah saja dan mereka menghadapi meja sambil bersendau-gurau, karena para pemimpin mereka berada di loteng, maka mereka mendapat kesempatan untuk bersenang-senang dan bersendau-gurau saling menggoda.
Tiba-tiba delapan orang perajurit pengawal Pasukan Maut yang sedang bercakap-cakap itu menghentikan sendau-gurau mereka dan semua mata memandang ke arah pintu restoran, mulut mereka tersenyum-senyum. Siapa orangnya yang tidak akan terpesona menyaksikan seorang dara jelita memasuki restoran itu dengan langkah tegap dan lenggangnya menggiurkan itu? Dara itu masih muda, di punggungnya tampak sebatang pedang, bajunya kuning dengan leher baju biru seperti celananya. Melihat pakaian yang agak kotor oleh debu dapat diduga bahwa dia baru datang dari perjalanan jauh. Wajah dara ini cantik sekali, terutama sekali matanya yang bergerak-gerak dan berbentuk indah, kerlingnya tajam dan menyentuh berahi. Ketika seorang pelayan menghampirinya, dara itu mengulur sebelah tangannya yang putih halus, menyentuh lengan Si Pelayan sambil berkata,
"Cepat sediakan nasi lauk-pauk seadanya dan minuman teh panas!"
Para perajurit tertawa-tawa gembira menyaksikan sikap dara itu yang demikian berani dan ramah, berani memegang lengan seorang pelayan laki-laki tanpa sungkan-sungkan lagi.
"Wah, sayang bukan lenganku....!"
Terdengar seorang perajurit berkata sambil mengelus-elus tangannya sendiri dan menciumnya, ditertawai oleh teman-temannya. Dara itu tidak peduli, melainkan menghampiri sebuah meja kosong dan duduk dengan anteng.
Para perajurit itu tidak melihat betapa pelayan yang tadi lengannya disentuh oleh dara baju kuning itu seketika menjadi pucat, tubuhnya gemetar dan setelah dara itu duduk, tergesa-gesa pelayan itu menyediakan makanan yang dipesan, sikapnya amat hormat dan takut-takut. Meledaklah suara tertawa empat orang perajurit dari meja yang telah dilayani, mentertawakan empat orang teman mereka yang belum dilayani. Seorang perajurit dari meja kosong menggebrak meja,
"Apa ini? Pelayan, kami memesan lebih dulu, kenapa melayani orang yang datangnya belakangan? Apa kaukira kami tidak membayar?"
"Ha-ha-ha!"
Seorang perajurit dari meja, yang sudah dilayani tertawa.
"Kenapa mencak-mencak? Kalau mukamu cantik dan kau memakai pakaian wanita, tentu kau dilayani lebih dulu! Ha-ha-ha!"
Teman-temannya tertawa dan empat orang perajurit yang belum dilayani itu makin marah.
"He! Pelayan! Ke sini kau, kalau mau tahu rasanya pukulan perajurlt-perajurit Pasukan Maut!"
Pelayan itu berdiri dengan kaki menggigil ketakutan. Dara itu yang menghadapi meja, telah menuangkan teh ke dalam cawannya dengan sikap tenang, kemudian memandang Si Pelayan,
"Pelayan, jangan layani anjing-anjing mabok itu. Semua tentara tidak baik, terutama sekali yang menggunakan nama Pasukan Maut, tentu lebih tidak baik lagi!"
Mendengar ini, empat orang perajurit itu merasa terhina dan mereka melompat mendekati meja gadis, itu, mengurung dari empat penjuru. Seorang di antara mereka yang berada di belakang gadis itu mencabut golok dan berkata,
"Eh, engkau perempuan kang-ouw merasa jagoan, ya? Cabut pedangmu kalau memang pedangmu lebih tajam dari mulutmu yang manis!"
Gadis itu masih memegang cawan teh panas, menunda minumnya dan, matanya yang indah bergerak melirik ke kanan kiri dan depan. Perajurit yang berada di depannya sudah membentak,
"Engkau sungguh kurang ajar, datang-datang minta dilayani lebih dulu. Mengingat engkau seorang gadis muda cantik, kami masih mengalah dan hanya ingin menegur pelayan. Kenapa kau memaki kami? Penghinaan itu baru lunas kalau kau membayar dengan sebuah ciuman dari bibirmu yang ma.... ougghhh....!"
Perajurit itu tak dapat melanjutkan kata-katanya karena mukanya sudah kena siraman air teh panas yang telah "meloncat"
Dari cawan yang dipegangi dara itu. Tiga orang temannya menjadi marah dan bergerak hendak menyerang, akan tetapi dari dalam cawan itu kini air teh "meloncat"
Ke tiga penjuru, ke kiri kanan dan belakang, tepat mengenai muka tiga orang perajurit yang menjadi gelagapan, bukan hanya karena air teh itu panas sekali, akan tetapi juga karena percikan air yang mengenai muka rasanya seperti jarum-jarum menusuk! Empat orang perajurit lain menjadi marah menyaksikan empat orang temannya mengaduh-aduh dan mengusap-usap mata seperti itu. Mereka sudah meloncat dan mencabut senjata.
"Tentu dia mata-mata musuh! Serang! Bunuh....!"
Dara itu bangkit berdiri, tangannya meraih ke depan dan sebuah piring melayang-layang terbang menyambar empat orang perajurit itu. Terdengar jerit-jerit kesakitan dan empat orang perajurit itu roboh dengan lengan mereka berdarah karena ketika mereka menangkis, lengan mereka tergores piring yang menjadi tajam karena berpusing itu, melebihi pisau!
Akan tetapi tiba-tiba piring itu terhenti di tengah udara kemudian berdesing turun menyambar kepada dara itu sendiri yang mengeluarkan seruan kaget, menangkap piring, meletakkannya di atas meja lalu dia menoleh ke arah anak tangga menuju loteng. Di situ telah berdiri Maya! Melihat seorang wanita cantik dan gagah perkasa berpakaian panglima, dara baju kuning itu memandang tajam dan kakinya menendang meja di depannya sehingga meja itu terlempar jauh. Agaknya dia tahu bahwa dia kedatangan lawan tangguh, maka ingin mencari tempat yang luas untuk menghadapi pengeroyokan. Ketika para perwira lari-lari turun dari loteng dan para pengawal siap untuk mengeroyok, Maya berseru,
"Tahan! Mundur semua! Aku mau bicara.... dengan dia!"
Dara itu telah siap berdiri dengan tenang dan pandang mata tajam mengikuti gerak langkah Maya yang juga tenang-tenang menuruni anak tangga, menghampiri dara itu sampai mereka berhadapan dan saling pandang. Keduanya terkejut dan mengingat-ingat karena masing-masing seperti telah mengenal. Ketika Maya melihat gagang pedang di pungung dara baju kuning itu, teringatlah dia dan segera menegur,
"Bukankah di punggungmu itu Li-mo-kiam (Pedang Iblis Betina)?"
Dara itu kelihatan kaget sekali, akan tetapi dia tetap tenang dan balas bertanya,
"Bagaimana engkau bisa tahu?"
Maya tersenyum lebar.
"Kalau benar, engkau tentulah Ok Yan Hwa. Dan agaknya engkau telah lupa kepadaku!"
Dara perkasa itu memang benar Ok Yan Hwa murid Mutiara Hitam. Dia meneliti wajah Maya dan teringat, lalu berkata,
"Dan engkau agaknya Maya...."
"Benar, Yan Hwa, kebetulan sekali pertemuan kita ini dan maafkan anak buahku yang tidak mengenal wanita perkasa! Heii, dengarlah. Dia ini adalah sumoi dari Can-huciang! Hayo lekas kalian minta maaf!"
Mendengar bahwa dara baju kuning yang gagah perkasa itu adalah sumoi dari Can Ji Kun, delapan orang perajurit pengawal itu cepat memberi hormat dan seorang di antara mereka berkata,
"Lihiap, mohon sudi mengampuni kami yang bermata tapi seperti buta!"
Akan tetapi Ok Yan Hwa yang berwatak angkuh tidak mempedulikan mereka, apalagi karena ia tertarik dan terheran mendengar ucapan Maya yang memperkenalkannya sebagai sumoi dari
"Can-huciang"!
"Apa maksudmu, Maya? Benarkah Suheng berada di sini?"
"Benar, Yan Hwa. Dia adalah seorang di antara pembantu-pembantuku yang utama."
"Suheng? Ah, mana mungkin Suheng menjadi perwira pembantumu? Mengapa bisa begitu?"
Maya mengerti bahwa dalam hal keangkuhan, gadis itu tidak kalah oleh suhengnya. Maka ia pun berterus terang dan tersenyum,
"Dia menjadi perwira pembantuku karena kalah taruhan."
Yan Hwa mengerutkan alisnya, memandang wajah Maya yang tersenyum-senyum itu dengan sinar mata marah karena mengira bahwa Maya bicara main-main,
"Maksudmu?"
"Dia telah mengadu kepandaian melawan aku dengan taruhan bahwa kalau aku kalah aku akan meninggalkan kedudukanku sebagai Panglima Pasukan Maut, dan kalau dia yang kalah dia akan membantuku dan menjadi perwiraku."
Yan Hwa membelalakkan matanya yang bagus, dan wajahnya makin tidak senang. Ketidakpercayaan membayang jelas di wajahnya,
"Aku tidak percaya. Mana dia?"
"Dia sedang bertugas ke pantai timur, menjalankan perintahku."
"Hemmm..., aku lebih tidak percaya lagi." "Bahwa dia menjadi perwira pembantuku?"
"Aku tidak percaya bahwa dia telah kalah olehmu!"
"Namun kenyataannya demikianlah, Yan Hwa, karena suhengmu sudah menjadi pembantuku, bagaimana kalau engkau juga membantu aku? Kita membasmi pasukan Kerajaan Sung yang telah menewaskan Menteri Kam Liong kakak subomu, kita membasmi tentara Yucen, dan terutama sekali kita membasmi bangsa Mongol yang telah membunuh subomu. Bagaimana?"
Sejenak Yan Hwa diam memutar pikirannya. Dia ingin sekali bertemu dengan suhengnya, karena rindu dan juga karena ingin melihat apakah sekarang, setelah merantau sekian lamanya, dia sudah dapat menundukkan suhengnya itu.
"Aku tetap tidak percaya bahwa Suheng telah kalah olehmu."
Ia mengamati wajah Maya yang amat cantik jelita itu. Dia diam-diam harus mengakui bahwa belum pernah ia bertemu dengan seorang gadis yang begini cantik jelita dan gagah. Diam-diam ia mulai merasa cemburu!
"Kalau benar Suheng menjadi perwira pembantumu, aku lebih percaya kalau dia lakukan karena dia jatuh cinta kepadamu."
Wajah Maya menjadi merah, akan tetapi ia tetap tersenyum dan berkata dengan ejekan yang disengaja,
"Yan Hwa, engkau tetap angkuh seperti dahulu. Kalau kau tidak percaya, bagaimana kalau kita pun mengadakan pertaruhan seperti yang telah dilakukan suhengmu?"
"Engkau menantangku?"
Sepasang mata yang bagus itu mengeluarkan sinar berapi.
"Bukan menantang, murid bibiku yang manis, melainkan aku mengajak engkau berjuang bahu-membahu, dan untuk meyakinkan hatimu maka marilah kita mencoba kepandaian, tentu saja kalau kau berani."
"Singggg....!"
Tampak sinar kilat berkelebat menyilaukan mata ketika Yan Hwa mencabut pedangnya. Jantung Maya berdebar dan untuk ke sekian kalinya ia merasa terheran-heran mengapa mendiang bibinya yang terkenal sebagai seorang pendekar wanita yang sakti dan gagah perkasa, suka memiliki dua buah pedang seperti yang diwariskan kepada Ji Kun dan Yan Hwa ini. Pedang di tangan Yan Hwa mempunyai wibawa yang sama dengan Pedang Iblis Jantan milik Ji Kun.
"Engkau menerima pertaruhan ini?"
Dia bertanya. Yan Hwa mengangkat pedangnya, tegak lurus di depan dahinya.
"Maya, aku telah bersumpah demi kehormatan nama suhu dan subo, pedangku ini hanya akan menghirup darah orang-orang jahat. Baru sekarang tercabut keluar dari sarangnya bukan untuk membasmi penjahat. Akan tetapi ketahuilah, sekali pedang ini tercabut, dia tidak akan kembali ke sarungnya sebelum menghirup darah. Karena itu, katakan bahwa engkau membohong, bahwa Suheng tidak pernah kaukalahkan, dan aku akan menyimpannya kembali dan pergi dari sini, akan kupuaskan pedangku dengan darah penjahat di lain tempat yang kudapatkan."
Maya tersenyum.
"Yan Hwa, engkau tidak memalukan menjadi murid mendiang Bibi, Mutiara Hitam, engkau seorang pendekar, akan tetapi betapa angkuh watakmu, betapa kejam hatimu. Aku tidak pernah membohong, dan biarpun aku tidak mamiliki sebatang pedang pusaka sekeji pedangmu itu, namun aku tidak takut menghadapinya."
Sambil berkata demikian perlahan-lahan Maya melolos pedangnya dan membuka jubah luarnya yang ia lemparkan kepada Cia Kim Seng. Bekas penggembala domba ini menerima jubah dan dia bersama para perwira lain kini mencari tempat yang enak buat menonton pertandingan yang akan terjadi. Para perajurit pengawal sudah menjauh-jauhkan meja kursi di dalam restoran itu sehingga ruangan restoran yang cukup luas itu kini menjadi sebuah arena pertandingan yang dapat diduga akan terjadi dengan dahsyat dan seru.
"Maya, bersiaplah engkau!"
Sebelum gema suara ini habis, tahu-tahu tubuh Yan Hwa telah berkelebat ke depan didahului sinar putih berkilat yang menyilaukan mata. Diam-diam Maya kagum. Kiranya Yan Hwa memiliki gerakan yang lebih cepat dan ringan daripada Ji Kun, maka ia bersikap hati-hati dan cepat ia mengelak sambil membalas dengan tusukan pedangnya dari samping. Yan Hwa mengandalkan keampuhan pedang pusakanya maka dia menyabetkan pedangnya untuk menangkis sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya dengan maksud merusak pedang lawan.
Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagus!"
Maya memuji dan meloncat tinggi sehingga sinar kilat itu meluncur di bawah kakinya. Dari atas, jubah Maya membalik, menukik ke bawah dan ujung pedangnya mengancam ubun-ubun kepala lawan. Hebat bukan main gerakan Maya ini, selain indah juga amat sukar dilakukan sehingga para perwira pembantunya memuji.
Juga Yan Hwa kagum sekali, akan tetapi watak dara ini tidak ada bedanya dengan watak suhengnya. Dia tahu bahwa Maya memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, akan tetapi dia tetap tidak dapat percaya kalau Maya dapat mengalahkan suhengnya, atau dia dengan Pedang Iblis Betina di tangannya! Maka serangan Maya yang amat berbahaya itu ia hindarkan dengan merendahkan tubuh lalu menggulingkan tubuhnya ke depan. Ketika serangan Maya itu luput dan panglima wanita ini sudah berjungkir balik lagi membuat salto dan kakinya menginjak lantai, sinar kilat pedang Yan Hwa sudah berkelebat lagi, sinar pedangnya berubah seperti payung, merupakan gulungan yang bundar dan dari gulungan sinar putih itu menyambar-nyambar kilatan sinar yang panjang dan mengandung hawa panas!
Maya makin kagum. Harus ia akui bahwa dalam hal kecepatan gerak dan ilmu pedang, ternyata Yan Hwa ini tidak kalah oleh suhengnya, bahkan mungkin lebih berbahaya serangan-serangannya. Maka dengan hati kagum, gembira namun juga waspada dan mengimbangi permainan lawan dengan gerakannya yang lebih cepat lagi. Dia berlaku hati-hati, tidak pernah pedang mereka bentrok secara langsung. Paling-paling hanya bersentuhan sedikit dan bergeseran, namun itu pun sudah membuat pedangnya mengeluarkan api dan kadang-kadang hampir dapat tersedot dan menempel! Hanya dengan sin-kangnya yang kuat saja dia dapat mencegah pedangnya melekat pada pedang lawan.
Mata para perwira, apalagi para perajurit sudah berkunang-kunang karena silau menyaksikan sinar kilat pedang Yan Hwa berkelebatan di ruangan itu dan seratus jurus telah lewat tanpa ada yang tampak terdesak. Hal ini sebetulnya memang disengaja oleh Maya. Kalau ia mau, dengan sin-kangnya yang amat tinggi dan kuat, tentu saja dia dapat merobohkan lawannya dengan pukulan yang membahayakan bagi keselamatan Yan Hwa, namun dia tahu bahwa jika dia mengalahkan Yan Hwa dalam waktu singkat, tentu hati dara yang angkuh ini akan tersinggung.
"Yan Hwa, inikah Siang-bhok Kiam-sut dari mendiang Bibi? Hebat bukan main....!"
Maya cepat mengelak karena kembali ada sinar kilat menyambar ke arah lehernya.
"Singggg! Wuuuusssshhhh!"
Diam-diam Yan Hwa terkejut dan juga kagum sekali. Kini tahulah dia bahwa Maya benar-benar amat hebat kepandaiannya, ilmu pedangnya aneh dan dalam hal gin-kang. Maya bahkan melampaui tingkatnya! Seperti juga Ji Kun, dia terheran-heran mengapa bocah yang dahulu ikut bersama Panglima Khu Tek San itu kini telah menjadi seorang yang begini lihai. Tentu Menteri Kam Liong, kakak subonya yang kabarnya lebih lihai dari subonya itu yang menjadi gurunya.
"Maya, engkau, pun hebat! Agak berkurang ketidakpercayaanku. Akan tetapi aku belum kalah!"
Kata Yan Hwa yang sudah menyerang lagi dengan hebat, agaknya dia hendak menguras semua kepandaiannya untuk mencapai kemenangan.
Maya maklum bahwa untuk menundukkan orang seperti Yan Hwa ini harus mengalahkannya, maka ia lalu mengeluarkan suara melengking keras dan tiba-tiba tubuhnya berkelebatan sedemikian cepatnya sehingga Yan Hwa mengeluarkan seruan kaget dan pandang matanya berkunang-kunang. Cepat Yan Hwa memutar pedang pusakanya sehingga tubuhnya terlindung dan terkurung oleh benteng sinar kilat. Menghadapi pertahanan seperti ini, Maya tak berdaya. Jalan satu-satunya hanya memancing agar pedangnya melekat, pikirnya. Maka ia mengurangi kecepatannya dan menahan serangannya. Melihat bahwa gerakan Maya tidak secepat tadi, Yan Hwa juga berhenti melindungi tubuh dan ia mendapat kesempatan untuk menyerang lagi dengan tusukan kilat ke dada Maya.
"Bagus!"
Maya memuji, pedangnya menangkis dari samping.
"Trakk! Pedangnya menempel dan tersedot oleh Li-mo-kiam, dan melihat kini lawan berani mengadu pedang sehingga tertempel oleh pedang pusakanya, Yang Hwa menjadi girang sekali dan melanjutkan pedangnya isang sudah membikin tak berdaya pedang lawan itu untuk menusuk ke perut. Kesempatan ini yang dipergunakan Maya. Ia melepaskan pedangnya, membanting diri ke kiri dan sebelum tubuhnya menyentuh tanah ia mengirim pukulan sin-kang ke arah lengan tangan Yan Hwa yang memegang pedang.
"Aiiihhh...."
Yan Hwa memekik, pedangnya yang menempel pedang lawan terlepas, tangannya lumpuh dan tubuhnya menggigil kedinginan, rasa dingin yang terus menjalar ke dalamdadanya. Ia maklum bahwa dia telah terkena pukulan sin-kang yang amat kuat dan berbahaya, maka tanpa mempedulikan sesuatu ia lalu duduk bersila dan mengatur napas. Maya telah melompat dan sekaligus menyambar dua buah pedang yang saling menempel itu.
Dengan tenaga sin-kang ia melepaskan pedangnya yang tersedot dan menempel pada Li-mo-kiam, menyarungkan pedangnya dan mengamat-amati pedang Yan Hwa dengan penuh kengerian. Yan Hwa membuka matanya, lega bahwa lukanya tidak hebat. Kalau dadanya yang terkena pukulan seperti itu, agaknya dia akan tewas. Dan tahulah dia bahwa kalau Maya menghendaki dan menggunakan pukulan-pukulan dahsyat dan sakti seperti itu, tak mungkin dia dapat melawan sampai ratusan jurus. Kini dia percaya penuh. Jangankan baru dia atau suhengnya, bahkan mendiang suhunya atau subonya sekalipun agaknya belum tentu mampu menandingi ilmu kepandaian Maya yang demikian hebatnya. Maya menghampirinya dan menyerahkan pedang pusakanya. Yan Hwa menarik napas panjang, menerima dan menyimpan pedangnya dan berdiri dengan muka tunduk.
"Maafkan aku, kini aku percaya sepenuhnya. Suheng dan aku bukanlah tandinganmu."
Mendengar ucapan yang bernada kecewa itu Maya berkata,
"Tidak perlu penasaran, Yan Hwa. Ketahuilah bahwa aku adalah penghuni Istana Pulau Es, pewaris ilmu Suhu Bu Kek Siansu."
Terbelalak mata Yan Hwa memandang dan dalam pandang mata itu kini terkandung kekaguman dan sikap takluk.
"Aahhhh, sungguh aku tidak tahu diri. Maya, biarlah mulai saat ini aku menjadi pembantumu."
Maya tersenyum girang dan maju merangkul pundak Yan Hwa. Tiba-tiba mereka berdua menoleh ketika mendengar suara keluhan. Ketika memandang ke arah para perwira, mereka itu mengeluh dan menggosok-gosok mata mereka seolah-olah mata mereka sakit dan memang mata mereka terasa pedih dan gatal karena setelah pertandingan berhenti, mata mereka masih terus seperti melihat sinar kilat menyambar-nyambar menimbulkan rasa pedih dan nyeri. Maya menghela napas,
"Yan Hwa, hati-hatilah engkau menggunakan pedangmu. Pedangmu itu di samping pedang Ji Kun, adalah pusaka-pusaka yang ampuhnya menggila dan kalau kurang hati-hati atau salah mempergunakannya dapat menimbulkan malapetaka hebat."
Yan Hwa mengangguk dan dia lalu menceritakan riwayat kedua pusaka Sepasang Pedang Iblis itu. Mendengar penuturan ini, Maya bergidik ngeri dan diam-diam ia amat khawatir akan nasib Yan Hwa dan Ji Kun yang mewarisi sepasang pedang pusaka seperti itu. Namun karena maklum akan keangkuhan mereka, dia tidak mau berkata apa-apa, baik terhadap Yan Hwa maupun terhadap Ji Kun kelak.
Para perwira dan perajurit menjadi makin kagum terhadap Maya, juga menjadi girang karena pasukan mereka bertambah seorang perwira wanita yang luar biasa lihainya sehingga tentu saja hal ini membesarkan hati karena berarti kuatnya pasukan mereka. Pasukan Maut terus bergerak ke selatan dengan hati-hati karena mereka telah mendekati batas-batas daerah yang dikuasai oleh Kerajaan Sung dan Yucen. Ketika mendengar pelaporan dari para penyelidik depan bahwa ada berita di depan, kurang lebih tiga puluh li dari situ terdapat sebuah barisan besar yang belum diketahui barisan kerajaan mana, Maya lalu menghentikan pasukannya dan menugaskan kepada Ok Yan Hwa dan Cia Kim Seng untuk pergi melakukan penyelidikan. Berangkatlah Cia Kim Seng si bekas penggembala dan Ok Yan Hwa menunggang kuda melakukan penyelidikan ke depan.
"Cia-huciang, karena engkau lebih mengenal daerah ini, biarlah engkau yang menjadi penunjuk jalan, aku ikut di belakangmu,"
Kata Yan Hwa di tengah jalan. Cia Kim Seng memandang dengan wajah berseri. Biarpun dalam ilmu silat, wanita ini amat angkuh dan keras hati tidak mau kalah, akan tetapi dalam hal lain cukup jujur dan berwatak gagah, maka ia menjawab,
"Baiklah, akan tetapi tentang keselamatanku di jalan, aku sepenuhnya mengandalkan perlindunganmu."
"Jangan khawatir, Cia-huciangkun aku akan selalu menjaga."
Mereka membalapkan kuda dan setelah melakukan perjalanan belasan li jauhnya, mereka tiba di padang rumput. Dari depan nampak mengebul debu tebal dan tinggi. Mereka menahan kuda dan Cia Kim Seng mengerutkan alisnya yang tebal sambil memandang ke depan penuh perhatian. Tak salah lagi, di sana terdapat barisan besar yang sedang berperang. Entah barisan mana yang agaknya sedang mengundurkan diri ke sini itu. Tiba-tiba Yan Hwa berseru keras,
"Awas belakangmu!"
Cia Kim Seng membalikkan kuda dan pada saat itu terdengar gonggongan anjing yang riuh-rendah. Ketika mereka memandang, banyak sekali serigala keluar dari padang rumput. Demikian banyaknya sehingga kuda yang ditunggangi dua orang itu meringkik-ringkik ketakutan.
"Kita lari....!"
Cia Kim Seng berteriak.
"Jangan! Percuma, kuda-kuda kita akan dapat disusulnya. Tunggu!"
Yan Hwa berseru karena ia melihat penglihatan yang amat aneh. Di antara serigala-serigala itu, merangkak paling depan, tampak seorang laki-laki berkepala gundul, hanya memakai celana hitam sebatas betis yang sudah robek-robek ujungnya. Laki-laki ini merangkak seperti serigala, dan mulutnya mengeluarkan bunyi menggonggong dan agaknya dia memimpin barisan serigala itu!
"Pergunakan cambuk melindungi diri, Cia-hu-ciang! Aku akan menangkap manusia serigala itu. Tentu dia pemimpinnya!"
Setelah berkata demikian, Yan Hwa meloncat dari atas kudanya dan langsung menerkam Si Kepala Gundul. Manusia serigala itu tiba-tiba meloncat berdiri, tertawa-tawa dan menyambut datangnya tubuh Yan Hwa dengan kedua tangan mencengkeram dan mulut dibuka lebar untuk menggigit! Yan Hwa merasa ngeri, akan tetapi dia sama sekali tidak menjadi takut dan gugup. Sambutan serangan ini dapat ia elakkan dan kakinya terayun menendang dari samping.
"Desss!"
Tendangan kaki Yan Hwa tepat mengenai lambung laki-laki aneh itu, akan tetapi ternyata dia memiliki tubuh yang kebal dan kuat sehingga ketika tubuhnya terguling, dia sudah bangkit lagi dan mengeluarkan suara menggonggong keras.
Mendengar suara ini, enam ekor serigala menerjang maju, akan tetapi dengan mudah Yan Hwa menggerakkan kedua kakinya, menendangi binatang-binatang itu sehingga terlempar jauh. Melihat betapa Cia Kim Seng dikeroyok banyak serigala sehingga repot mengayun pecut ke kanan kiri tubuh kudanya yang meringkik-ringkik ketakutan dan keadaannya benar terancam bahaya, Yan Hwa maklum kalau dia tidak cepat bertindak, mereka akan terancam bahaya maut dan dia merasa enggan untuk menggunakan pedang pusakanya membunuh binatang-binatang itu! Maka ia lalu miringkan tubuh ketika laki-lakl gundul itu menerjangnya, dari samplng ia mengirim totokan yang tepat mengenai jalan darah di pundak yang telanjang. Laki-laki itu mengaduh dan Yan Hwa sudah mencengkeram tengkuknya.
"Cepat perintahkan anjing-anjingmu mundur, kalau tidak kupatahkan batang lehermu!"
Ia mengancam dan jari-jari tangannya yang halus itu mencengkeram tengkuk seperti sepasang jepitan baja!
"Aduhhh...., ampun.... lepaskan aku....!"
"Lekas perintahkan anjing-anjing itu mundur atau kau mampus!"
Tiba-tiba laki-laki gundul itu mengeluarkan suara menyalak-nyalak seperti seekor anjing ketakutan dan.... serigala-serigala itu lalu menyalak-nyalak dan mundur teratur meninggalkan Cia Kim Seng! Dengan muka berkeringat Kim Seng melompat turun dari kudanya.
"Bunuh saja manusia serigala itu!"
Katanya marah.
"Ampun....!"
Si Laki-laki gundul berkata.
"Aku mau mengampuni kau, akan tetapi engkau harus siap sewaktu-waktu membantu pasukan kami kalau kami butuhkan!"
Bentak Yan Hwa.
"Baik...., baik...., aku berjanji....!"
Yan Hwa melepaskan cengkeramannya dan sambil mengeluh laki-laki itu mengelus-elus tengkuknya dan memandang dengan gentar.
"Ceritakan siapa kau?"
"Aku bernama Theng Kok, keluargaku habis karena korban perang, dan aku.... sejak kecil bermain-main dengan serigala-serigala di sini, aku pandai menguasai mereka...."
"Hemm, Theng Kok. Kalau kelak kau suka membantu kami, kau akan kami beri hadiah besar, akan tetapi kalau kau tidak mau, lihat ini!"
Yan Hwa mengayun tangannya ke arah sepotong batu dan hancurlah batu itu. Muka Theng Kok menjadi pucat dan ia mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul.
"Aku menurut.... menurut....!"
Yan Hwa lalu menangkap kembali kudanya dan melanjutkan perjalanan bersama Cia Kim Seng. Debu yang tampak di depan mengebul makin tinggi. Mereka membalapkan kuda ke arah debu mengebul itu dan tak lama kemudian tampaklah oleh mereka pasukan Mancu yang bergerak mengundurkan diri. Terjadilah hal yang amat aneh dan mengherankan hati Ok Yan Hwa ketika mereka berdua bertemu dengan pasukan Mancu yang berada paling belakang. Pasukan yang dipimpin oleh seorang perwira Mancu itu begitu bertemu dengan Cia Kim Seng serta-merta menjatuhkan diri berlutut, dan Sang Perwira berkata,
"Pangeran....!"
Lenyaplah sikap Cia Kim Seng yang biasanya sederhana, kini tampak dia penuh wibawa ketika bertanya,
"Siapa yang memimpin barisan ini?"
"Panglima Durbana, Pangeran!"
Jawab perwira itu penuh hormat.
"Mengapa mundur ke selatan dan kini mundur lagi ke timur? Apa yang terjadi?"
"Ketika kami hendak bergerak ke pantai timur, kami bertemu dengan barisan besar Yucen sehingga kami terpukul mundur ke selatan. Kemarin kami bertemu dengan barisan besar Kerajaan Sung dan setelah bertempur sehari semalam, terpaksa kami mundur...."
"Memalukan! Apakah pasukan-pasukan kita sudah demikian lemahnya sehingga bisanya hanya mundur dan lari saja? Panggil Panglima Durbana menghadap!"
"Baik, Pangeran!"
Perwira itu lalu meloncat ke atas kudanya dan membalap ke depan. Ok Yan Hwa memandang "rekannya"
Itu penuh takjub.
"Jadi kau.... kau.... seorang Pangeran Mancu....?"
Cia Kim Seng menggerakkan tubuh menjura dengan membungkuk setengah badan sambil berkata,
"Benar, Ok-lihuciang. Aku adalah Pangeran Bharigan yang sengaja menyamar untuk melakukan penyelidikan sendiri ke arah timur. Tidak ada waktu untuk bicara panjang, kelak tentu kujelaskan semua kepada Maya-ciangkun. Seorang panglima datang berkuda. Dia segera melompat turun dari kudanya dan berlutut dengan sebelah kaki di depan Pangeran Bharigan.
"Lekas katakan mengapa
(Lanjut ke Jilid 20)
Istana Pulau Es (Seri ke 05 "
Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 20
engkau mundur menghadapi pasukan Sung!"
Pangeran itu menegur dengan suara marah.
"Maaf, Pangeran. Terpaksa hamba menarik mundur barisan karena pihak musuh terlalu kuat, apalagi dipimpin oleh Jenderal Besar Suma Kiat dan pembantupembantunya yang berkepandaian tinggi."
Pangeran Bharigan mengelus dagunya, kemudian menoleh kepada Yan Hwa.
"Ok-li-huciang. Harap kau suka segera memberi laporan kepada Maya-li-ciangkun mengenai keadaan kami yang memerlukan bantuan segera."
"Baik, Cia.... eh, Pangeran Bharigan, Ok Yan Hwa meloncat ke atas kudanya dan membalap meninggalkan tempat itu, Ketika tiba di perkemahan Pasukan Maut, dengan singkat namun jelas dia menceritakan kepada Maya dan para perwira lain tentang keadaan barisan Mancu, tentang pihak musuh barisan Sung yang dipimpin Suma Kiat, dan tentang diri Cia Kim Seng yang ternyata adalah Pangeran Bharigan dari Kerajaan Mancu. Mendengar penuturan itu, Maya menjadi terheran-heran, juga kaget dan girang. Musuh besarnya, Suma Kiat, berada di depan!
"Bagus! Kita akan berpesta menghancurkan barisan Sung! Sungguh tidak kusangka bahwa penggembala domba itu ternyata seorang Pangeran Mancu!"
Pada saat Maya mempersiapkan pasukannya untuk membantu pasukan Mancu menggempur bala tentara Sung yang dipimpin oleh Jenderal Suma Kiat, tiba-tiba datang sebuah pasukan kecil, terdiri dari lima puluh orang. Maya menjadi girang ketika mendapat kenyataan bahwa pasukan kecil itu ternyata adalah pasukan yang dipimpin Can Ji Kun yang kembali dari timur setelah memenuhi tugasnya melapor kepada Panglima Laut Bu Gi Hoat yang memberontak terhadap Kerajaan Sung.Hati Maya menjadi tegang dan memandang penuh perhatian kepada Ok Yan Hwa dan Can Ji Kun, suheng dan sumoi yang bertemu di tempat itu dan kini berdiri berhadapan saling pandang itu.
"Hemm...., kiranya engkau di sini?"
Terdengar Can Ji Kun menegur, pandang matanya tidak pernah melepaskan wajah sumoinya.
"Kalau engkau cukup berharga menjadi pembantu di sini, mengapa aku tidak?"
Ok Yan Hwa menjawab pula, suaranya mengandung ejekan dan tantangan, namun sinar matanya yang bersinar dan kedua pipi yang kemerahan itu tak dapat menyembunyikan rasa rindu dan senangnya berhadapan dengan pemuda tampan itu. Dua orang ini aneh, pikir Maya. Untung bahwa saat itu mereka sedang, sibuk menghadapi serbuan ke tempat musuh maka segala urusan pribadi dapat dikesampingkan. Maya lalu berkata,
"Ji Kun dan Yan Hwa, kalian adalah murid-murid tersayang dari Bibi Mutiara Hitam! Suma Kiat adalah musuh besar kita karena dialah yang menjadi biang keladinya sehingga Menteri Kam Liong, uwa guru kalian, tewas secara menyedihkan. Semenjak dahulu, keturunan Suma selalu melakukan kejahatan, dan kini tiba saatnya bagi kita untuk membersihkan dunia dari keturunan jahat itu. Ji Kun, engkau memimpin pasukan sayap kiri, dan Yan Hwa memimpin pasukan sayap kanan. Biar aku sendiri yang akan menghadapinya langsung dari depan bersama pasukan-pasukan Mancu. Kalian berdua jangan ikut menerjang maju karena tugas kalian hanya menjaga kalau Si Keparat itu melarikan diri. Kalian harus mencegahnya lolos dan begitu bertemu dengan dia, lepaskan panah api sebagai isyarat."
Kedua orang suheng dan sumoi itu mengangguk.
"Jangan khawatir, Si Tua Bangka, keparat Suma Kiat itu tentu akan tewas di tanganku!"
Kata Ji Kun sambil meraba gagang pedangnya.
"Belum tentu! Agaknya akulah yang akan berhasil menembuskan pedangku di jantungnya!"
Yan Hwa tidak mau kalah. Maya tersenyum.
"Kita sama lihat sajalah. Hanya, sebagai atasan kalian, aku tidak akan memberi ampun kalau sampai kalian memberi kesempatan kepadanya untuk lolos."
Setelah melepas pandang mata penuh wibawa dengan sinar tajam seperti menembus dada mereka, Maya lalu tersenyum dan berkata,
"Ji Kun, engkau baru datang, beristirahatlah. Aku akan mengatur barisan dan menjelang senja nanti kita berangkat."
Ji Kun mengangguk dan membalikkan tubuh menghadapi Yan Hwa.
Kembali mereka itu saling pandang dengan sinar mata penuh rindu. Maya yang sudah meninggalkan mereka, tiba-tiba teringat akan pandang mata mereka itu, lalu menengok. Alisnya berkerut dan berbagai pertanyaan aneh timbul di hatinya ketika ia melihat kedua orang muda itu sambil berpegangan tangan, bergandeng memasuki tenda Yan Hwa! Jelas sekali sikap mereka itu menunjukkan bahwa mereka saling mencinta! Memasuki perkemahan berdua dengan sikap seperti itu? Hemmm.... diam-diam Maya makin terheran-heran mengapa di samping menyerahkan Sepasang Pedang Iblis yang sungguh tidak pantas dipegang pendekar, juga agaknya bibinya, Mutiara Hitam, telah memberi pendidikan batin yang keliru sehingga kini kedua orang suheng dan sumoi itu agaknya saling mencinta, bukan seperti saudara seperguruan, melainkan seperti seorang pria dan wanita.
Hemmm.... tiba-tiba Maya merasa betapa mukanya panas. Mengapa dia merasa tidak senang? Apakah salahnya kalau Yan Hwa dan Ji Kun saling mencinta? Mereka adalah dua orang muda yang sama-sama tampan dan cantik, sama-sama gagah perkasa. Sedangkan dia sendiri...., dia pun jatuh cinta kepada Kam Han Ki, Suhengnya! Ah, betapapun juga, tidak seperti mereka berdua itu yang secara terang-terangan di siang hari memasuki perkemahan berdua! Sungguh tidak patut! Itu pelanggaran susila namanya! Belum menjadi suami isteri, di siang hari, di depan mata semua anggauta pasukan, memasuki perkemahan untuk bermain asmara! Benar-benar tidak pantas! Akan tetapi...., apa pedulinya? Maya mengangkat kedua pundak dan mengusir bayangan kedua orang itu dari dalam kepalanya lalu menyibukkan diri untuk mengatur barisan yang senja itu juga akan diberangkatkan untuk bersama barisan Mancu menghantam pasukan Sung yang dipimpin oleh Jenderal Suma Kiat.
Barisan Mancu sendiri, setelah melihat kehadiran Pangeran Bharigan yang gagah perkasa dan yang kini langsung memimpin mereka sendiri, timbul semangat baru, apalagi ketika mendengar bahwa mereka kini dibantu oleh Pasukan Maut yang sudah amat terkenal dipimpin oleh panglima wanita bersama pembantu-pembantunya yang lihai. Segera Pangeran Bharigan yang sudah mengadakan kontak dengan Maya, menyusun barisannya dan mengatur siasat yang sesuai dengan petunjuk Maya untuk bersama-sama menyerbu barisan Sung pada malam hari itu. Bala tentara Sung yang dipimpin oleh Suma Kiat itu memang kuat. Bukan hanya lengkap peralatan perangnya, akan tetapi juga besar jumlahnya dan dipimpin sendiri oleh Suma Kiat yang bukan saja amat tinggi ilmu silatnya, juga amat pandai mengatur barisan dalam perang.
Apalagi, di sampingnya terdapat pembantu-pembantunya yang lihai, di antaranya yang menjadi pembantu utamanya adalah selir mudanya sendiri, selir cantik jelita yang amat dicintanya, yaitu Bu Ci Goat yang tak pernah terpisah dari sampingnya semenjak dahulu tertangkap basah bermain gila dengan puteranya, Suma Hoat yang kemudian diusirnya. Bu Ci Goat yang telah mewarisi ilmu kepandaian Suma Kiat, bahkan memiliki tingkat yang lebih tinggi daripada Siangkoan Lee murid tunggal jenderal itu, selain menjadi pembantu utama yang boleh diandaikan juga merupakan satu-satunya yang dapat menghibur dan menyenangkan hati Suma Kiat di mana dan kapan saja. Selain selir mudanya ini, tentu saja orang ke dua yang dapat ia andalkan adalah muridnya sendiri, Siangkoan Lee yang kini juga merupakan seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Semenjak Suma Kiat berhasil mempengaruhi Kaisar untuk mencelakai orang yang amat dibencinya, yaitu Menteri Kam Liong sehingga musuhnya itu tewas bersama muridnya, dikeroyok pasukan pengawal, Suma Kiat merasa hidupnya tidak tenang dan tidak tenteram lagi. Kebenciannya terhadap Kam Liong yang sesungguhnya masih keluarganya sendiri adalah kebencian yang timbul semenjak dia masih muda, timbul perasaan mengiri dan karena dia selalu mempunyai anggapan bahwa keturunan Suling Emas adalah orang-orang yang selalu memusuhinya dan menghalanginya. Padahal Suling Emas adalah kakak ibunya sehingga keturunan Suling Emas adalah saudara-saudara misannya sendiri. Dia tidak pernah mau mengerti bahwa keturunan Suling Emas memusuhi perbuatannya, menentang kejahatannya, bukan pribadinya. Keturunan Suling Emas adalah orang-orang yang berjiwa pendekar, terutama Menteri Kam Liong, sedangkan dia selalu mengumbar nafsu dan tidak segan melakukan perbuatan yang amat jahat (baca cerita MUTIARA HITAM).
Memang demikianlah keadaan manusia yang belum sadar batinnya, suka sekali untuk dapat mengenal kekurangan pada diri sendiri. Orang yang belum sadar selalu tinggi hati, terlalu tinggi menghargai diri sendiri, selalu merasa sebagai orang terbaik, terpandai, dan segala sifat baik yaitu diawali "ter"
Lagi karena dia mempunyai perasaan lebih daripada siapa pun di dunia ini. Mereka paling pandai, paling baik, paling benar karena itu paling patut dianugerahi, paling patut dikasihani, dan lain-lain. Orang yang belum sadar batinnya selalu mengemukakan kebaikan-kebaikan dirinya sehingga dia menjadi terbiasa dan mabok, tanpa, disadarinya menyeret dia menjadi hamba nafsu keakuannya, pertimbangan akalnya miring dan budinya digelapkan. Sebaliknya, manusia yang sudah sadar batinnya akan selalu berhati-hati dalam setiap sepak terjangnya, setiap kata-katanya, selalu mawas diri dan meneliti diri pribadi agar setiap perbuatannya tidak akan menyusahkan atau merugikan lain orang hanya demi keuntungan diri sendiri.
Menilai diri sendiri lebih dulu yang dianggap jauh lebih penting daripada menilai diri orang lain dengan kesadaran bahwa sesungguhnya SUMBER SEGALA SESUATU YANG MELANDA DIRI BERADA DI DALAM HATI SENDIRI. Karena itu, seorang yang sudah sadar batinnya, setiap kali tertimpa sesuatu hal, baik yang menyenangkan maupun yang menyusahkan, selalu akan menjenguk ke dalam hati sendiri untuk mencari sebab musababnya sebelum mencari sebab-sebab itu di luar dirinya. Ketika menteri Kam Liong masih ada, Suma Kiat yang menjadi jenderal dan menduduki kursi panglima itu merasa tidak bebas, seolah-olah sepasang mata saudara misannya yang tajam itu selalu mengikuti dan mengawasinya. Dia selalu beranggapan bahwa kalau Kam Liong sudah dibinasakan, tentu akan merasa senang dan bebas, merasa tidak ada musuhnya lagi.
Akan tetapi, setelah keadaan membantunya, yaitu keadaan yang ditumbulkan oleh hubungan cinta antara Kam Han Ki dan Sung Hong Kwi, sehingga dia berhasil melenyapkan Menteri Kam Liong yang dibencinya, bukan kesenangan dan kebebasan yang didapatnya, melainkan sebaliknya! Kematian Menteri Kam Liong itu membangkitkan kemarahan di hati banyak pembesar dan terutama di hati orang-orang gagah di dunia kang-ouw sehingga Suma Kiat malah dimusuhi banyak orang! Sudah banyak orang gagah berusaha menjatuhkannya, dan biarpun dengan kepandaian dan kedudukannya, dia berhasil mengalahkan mereka, namun dia selalu merasa tidak tenteram dan tidak aman.
Pemberontakan-pemberontakan yang timbul karena terutama sekali disebabkan oleh kematian Menteri Kam Liong membuat Suma Kiat merasa kepalang untuk mundur, bahkan dia mempergunakan kesempatan itu untuk mencari kedudukan lebih tinggi dan jasa lebih besar di mata Kaisar, maka dia sendiri yang memimpin pasukan untuk membasmi para pesnberontak. Di dalam melaksanakan tugas ini pun dia selalu didampingi oleh selirnya yang tercinta dan dapat diandalkan, juga oleh muridnya, Siangkoan Lee. Dengan adanya dua orang pembantu ini, bersama pasukan yang kuat dan besar, dia merasa agak aman sungguhpun dia selalu berhati-hati meneliti para pembantu di kanan kirinya kalau-kalau ada di antara mereka yang menjadi pengagum mendiang Menteri Kam Liong dan merupakan orang berbahaya baginya.
Ketika tiba di perbatasan utara dan bertemu dengan barisan Mancu, tentu saja Suma Kiat segera mengerahkan pasukan-pasukannya dan berhasil memukul mundur barisan Mancu ke utara kembali. Kemenangan besar itu dirayakan oleh Suma Kiat dengan pesta dan pencatatan pahala bagi para perwira dan tentaranya, dan sehari itu dia sendiri bersenang-senang dengan Bu Cin Goat selirnya tercinta sambil memberi kesempatan kepada pasukan-pasukannya untuk beristirahat. Namun penjagaan tetap dilakukan dengan ketat dan para penyelidiknya tetap melakukan penyelidikan di sekitar daerah itu untuk mengawasi gerak-gerik musuh.
Tentu saja Suma Kiat yang memandang rendah pasukan Mancu itu tidak tahu bahwa pasukan yang telah dipukul mundur itu sehabis menderita kekalahan dari pasukan-pasukan Yucen, kini bangkit kembali semangatnya karena Pangeran Bharigan telah berada di tengah mereka, apalagi karena pasukan Mancu ini percaya akan kekuatan Pasukan Maut yang dipimpin Panglima Wanita Maya yang membantunya dan telah mengatur siasat untuk menyerbu barisan Sung di malam itu. Yang didengar oleh Suma Kiat dari para penyelidiknya hanya bahwa pasukan Mancu kini tidak lagi melarikan diri, melainkan menghentikan gerakan mereka lari dan kini agaknya sedang menyusun kekuatan dan membuat perkemahan di lereng bukit. Mendengar itu Suma Kiat tertawa dan memberi perintah kepada para perwiranya,
Cinta Bernoda Darah Eps 9 Cinta Bernoda Darah Eps 14 Mutiara Hitam Eps 25