Istana Pulau Es 25
Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 25
"Baik, Cici,"
Jawab Siang Hui dan dia berjalan di belakang cicinya karena Siang Kui lebih berpengalaman disamping lebih tinggi tingkat ilmunya. Mereka berhenti di tepi padang rumput yang membentang luas di antara mereka dan tembok benteng. Di kanan kiri mereka terdapat gunung-gunung batu karang.
"Hemm, begini sunyinya dan tenang. Amat mencurigakan!"
Kata Siang Hui.
"Benar, kita harus menyelidiki dulu, baru boleh melintasi padang rumput ini. Siapa tahu di bawahnya tersembunyi jebakan."
Berkata demikian, Siang Kui mengambil sepotong batu untuk dilemparkan ke arah rumput yang hijau segar di sebelah depan.
"Trakk!"
Batu itu hancur berkeping-keping disambar sinar merah dari samping dan kepingannya jatuh ke atas rumput tanpa menimbulkan reaksi apa-apa. Dua orang wanita perkasa itu cepat menengok ke kiri dan mereka memandang dengan muka merah dan mata terbelalak penuh kemarahan kepada seorang kakek yang sudah berdiri di situ sambil tertawa bergelak. Hoat Bhok Lama, musuh besar yang mereka cari-cari, pembunuh Kauw Bian Cinjin, suami mereka dan para tokoh Beng-kauw yang lain! Inilah orang yang telah merampas nama Beng-kauw, menghancurkan Beng-kauw aseli yang didirikan oleh kakek mereka, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan dan kini mengangkat diri menjadi Ketua Beng-kauw, membawa anak buah Beng-kauw menyeleweng ke arah jalan sesat!
"Ha-ha-ha, kalian berdua perempuan keras kepala, sudah berkali-kali kami beri ampun mengingat bahwa keturunan pendiri Beng-kauw hanya tinggal kalian berdua, mengapa masih belum bertobat dan datang mengantar nyawa? Bukankah lebih baik kalian yang menjadi janda, masih cantik, mencari suami-suami baru sebelum terlambat sehingga memiliki keturunan untuk menyambung keluarga?"
"Hoat Bhok Lama, engkau penjahat besar yang berkedok pendeta, manusia terkutuk yang berselimut jubah merah Lama, keparat busuk yang bersembunyi di balik nama pendeta! Hari ini kami akan mengadu nyawa denganmu untuk membersihkan nama Beng-kauw dan membalas kematian tokoh-tokoh Bang-kauw!"
Setelah mencaci marah, tubuh Kam Siang Kui bergerak cepat berubah menjadi bayangan hijau, pedangnya menusuk ke arah perut lawan.
"Crengggg....!"
Siang Kui terhuyung ke belakang, tangan yang memegang pedang tergetar hebat. Hoat Bhok Lama tertawa bergelak, sepasang gembreng yang tahu-tahu telah berada di kedua tangannya dan tadi dipergunakan menangkis pedang itu berkilauan menyilaukan mata dan bunyi gembreng membuat telinga kedua orang wanita kakak beradik itu seperti tuli. Akan tetapi Siang Hui telah menggerakkan pecut hitam di tangannya.
"Tar-tar....!"
Ujung cambuk hitam ini menyambar ke arah kepala Hoat Bhok Lama yang menjadi kaget juga karena ia mengenal cambuk bulu kera yang ampuh ini. Cepat ia melempar tubuh ke belakang, kemudian berjungkir-balik dan tubuhnya meluncur ke depan, gembreng di tangan kiri menghantam ke arah kepala Siang Hui.
"Cringgg....!"
Seperti juga encinya, ketika pedangnya menangkis gembreng kuning itu, tubuhnya terhuyung dan tangan kanannya tergetar.
"Ha-ha-ha! Aku akan menangkap kalian hidup-hidup! Ha-ha!"
Hoat Bhok Lama kini menerjang maju, sepasang gembrengnya berubah menjadi gulungan sinar kuning yang lebar, menyambar-nyambar seperti dua bola api.
"Sing-sing-sing, crenggg....!"
Sepasang gembreng itu menyambar-nyambar dengan suara berdesing dan kadang-kadang diseling bunyi berdencreng kalau sepasang senjata aneh itu saling bertemu sendiri atau beradu dengan pedang lawan.
Hebat bukan main sepasang senjata ini. Dahulu, seorang di antara datuk kaum sesat yang bernama Thai-lek Kauw-ong merupakan orang yang amat sakti sehingga hanya pendekar-pendekar sakti seperti Suling Emas saja yang sanggup menandinginya, di samping tokoh-tokoh atau datuk-datuk kaum sesat lain seperti mendiang Bu-tek Siu-lam, Jin-cam Khoa-ong, Siauw-bin Lo-mo dan Kam Sian Eng bibi kedua orang wanita ini yang telah mewarisi ilmu-ilmu aneh dari Liu Lu Sian, puteri Pat-jiu Sin-ong Liu Gan pendiri Beng-kauw. Dan Hoat Bhok Lama adalah keturunan langsung yang mewarisi ilmu kepandaian Thai-lek Kauw-ong. Di samping senjata sepasang gembreng yang amat ampuh, bukan saja dapat dimainkan dengan dahsyat akan tetapi dapat pula mengeluarkan getaran suara yang menulikan telinga dan menggetarkan jantung, namun di samping ini dia memiliki Ilmu Silat Soan-hong Sin-ciang (Tangan Sakti Angin Puyuh) dan pukulan Thai-lek-kang yang mengandung sin-kang amat kuat.
"Wuuut-wuuut-wuuut, tar-tar-tar!"
Kedua orang wanita Beng-kauw itu terpaksa menjaga diri dengan cambuk hitam mereka yang diputar cepat, berubah menjadi segulung sinar hitam yang membentuk benteng sinar kuat menyelimuti tubuh mereka sedangkan dari dalam gulungan sinar hitam itu, pedang mereka kadang-kadang meluncur ke depan secara tiba-tiba untuk membalas serangan lawan.
Sebetulnya, tingkat kepandaian kedua orang wanita perkasa itu masih jauh lebih rendah kalau dibandingkan dengan tingkat kepandaian Hoat Bhok Lama, dan kalau kakek ini menghendaki, tentu saja dia dapat mengeluarkan itmunya yang tinggi untuk merobohkan dan membunuh mereka dalam waktu yang tidak terlalu lama. Akan tetapi, kedua orang wanita itu bertanding mati-matian, bermaksud mengadu nyawa dan rela mati asal dapat membunuh kakek itu. Hal ini membuat mereka seolah-olah berubah menjadi dua ekor naga betina yang ganas. Di samping ini, Hoat Bhok Lama juga ingin menangkap kedua lawannya hidup-hidup seperti yang ia janjikan kepada para pembantunya. Dua orang wanita ini telah banyak membikin pusing kepadanya, maka akan terlalu enak bagi mereka kalau dibunuh begitu saja.
Kalau dia menawan mereka hidup-hidup, dia akan memperoleh dua keuntungan, pertama, ia dapat menyiksa musuh-musuh ini dan ke dua ia akan dapat menyenangkan hati pembantu-pembantu dan anak buahnya. Bagi dia sendiri, biarpun mata keranjang dan harus diakui bahwa kedua orang janda ini masih amat menarik, namun sudah terlalu tua dan dia dapat memperoleh gadis-gadis muda setiap saat yang dikehendakinya! Karena itulah maka pertandingan itu berlangsung lama dan amat hebat. Siang Kui dan Siang Hui maklum bahwa memang mereka datang mengantar nyawa. Mereka tahu bahwa lawan jauh lebih pandai dari mereka, karena itu mereka tadinya berusaha minta bantuan Ketua Siauw-lim-pai untuk membantu mereka. Namun semua usaha mereka gagal dan kini mereka datang dengan tekad bulat untuk membunuh lawan atau mengorbankan nyawa terbunuh olehnya!
"Cuit-cuit-tar-tar-tar!"
Dua batang cambuk yang bergulung-gulung itu menyambar empat kali ke arah empat jalan darah di tubuh Hoat Bhok Lama, disusul tusukan dua batang pedang dari kanan kiri.
"Aihhhh!"
Hoat Bhok Lama terkejut sekali sepasang gembrengnya bergerak melindungi tubuhnya sehingga terdengarlah suara nyaring yang membuat dua orang wanita itu menjerit karena telinga mereka seperti ditusuk jarum dan jantung mereka tergetar, membuat mereka terhuyung ke belakang.
Namun, sebatang ujung cambuk di tangan Siang Kui masih berhasil melecut dan menotok leher kanan Hoat Bhok Lama, mendatangkan rasa nyeri bukan main. Kalau lain orang yang terkena totokan ini tentu akan roboh, setidaknya menjadi lumpuh lengan kanannya. Namun, sin-kang kakek ini kuat sekali dan ia hanya merasa lehernya ngilu dan matanya berkunang. Bangkitlah kemarahan kakek ini dan ia mengeluarkan teriakan keras seperti seekor singa terluka, sepasang gembrengnya digerakkan cepat sekali dan tubuhnya berpusing seperti gasing! Siang Kui dan Siang Hui terkejut bukan main. Pusingan tubuh kakek itu mengeluarkan angin seperti angin puyuh, membuat mereka berdua tidak dapat tetap pasangan kuda-kuda kaki mereka.
Itulah Soan-hong Sin-ciang yang biasanya dilakukan dengan tangan kosong, akan tetapi kini lebih berbahaya lagi karena yang menyambar-nyambar dari bayangan yang berpusingan itu adalah sepasang gembreng! Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui melakukan perlawanan mati-matian, mengimbangi cengkeraman-cengkeraman maut yang berupa sepasang gembreng itu dengan serangan-serangan mereka yang tidak kalah dahsyatnya. Akan tetapi yang membuat keduanya merasa pening dan bingung adalah tubuh lawan yang berpusing ditambah suara gembreng beradu yang selain menulikan telinga juga menggetarkan jantung mereka. Untuk memusatkan sin-kang menghadapi lawan yang lihai ini, kedua orang kakak beradik itu memejamkan mata dan hanya mengandalkan pendengaran mereka yang sudah kacau oleh suara gembreng.
"Cuit-cuittt....!"
Ketika Hoat Bhok Lama secara tiba-tiba menghentikan pusingan tubuhnya hanya untuk sejenak saja, dua orang wanita itu secepat kilat telah menyerang dengan cambuk mereka.
"Cret-crett!"
Ujung cambuk bertemu sepasang gembreng, melekat dan melibat tak dapat ditarik kembali. Terdengar kakek itu terkekeh dan tiba-tiba ia melepaskan kedua gembrengnya, tubuhnya berjongkok dan ia memukul dengan kedua tangan terbuka dari bawah ke arah perut kedua orang lawannya. Inilah pukulan Thai-lek-kang yang jaman dahulu membuat Thai-lek Kauw-ong menjadi seorang di antara datuk-datuk golongan hitam!
"Siuuut! Siuuutt!"
Dua sinar kecil hitam menyambar ke arah kedua pelipis Hoat Bhok Lama dari kanan kiri. Kakek ini terkejut sekali, terpaksa menarik kembali kedua tangannya dan tubuhnya ke belakang sehingga sambaran benda-benda itu lewat yang ternyata hanyalah dua buah batu kecil yang dilepas dengan tenaga dahsyat. Kakek ini meloncat ke atas, mencengkeram ke arah kepala dua orang wanita yang sudah terkena pukulan Thai-lek-kang sehingga terhuyung ke belakang. Ketika mereka membuang diri ke belakang, cepat Hoat Bhok Lama sudah merampas kembali sepasang gembrengnya yang tadi terbelit oleh ujung kedua batang cambuk. Ketua Beng-kauw itu menoleh ke kanan kiri dan melihat munculnya dua orang laki-laki muda.
Yang muncul dari sebelah kirinya adalah seorang pemuda tampan sekali, dengan pakaian mewah indah dan di punggungnya tampak gagang pedang beronce merah, sikapnya gagah dan sepasang matanya bersinar tajam. Yang muncul dari kanan adalah seorang pemuda yang pakaiannya sederhana, memegang tongkat dan kedua kakinya telanjang. Ia maklum bahwa dua orang yang dapat melempar sebuah batu kerikil dengan tenaga lontaran seperti itu tentu memiliki tenaga besar dan kepandaian tinggi. Kalau tadi dia maju sendiri untuk menghadapi dua orang kakak beradik itu adalah karena dia sudah yakin akan dapat memenangkan pertandingan melawan mereka. Akan tetapi kini munculnya dua orang muda yang lihai membuat dia ragu-ragu untuk mengandalkan kepandaian sendiri, maka kakek itu tertawa aneh dan tubuhnya sudah melompat ke belakang, ke arah padang rumput.
"Manusia terkutuk, hendak lari ke mana kau?"
Siang Kui berseru dan meloncat pula mengejar, diikuti oleh Siang Hui.
"Kedua bibi jangan kejar dia!"
Laki-laki tampan yang bukan lain adalah Suma Hoat si jai-hwa-sian berteriak memberi peringatan. Kalau saja yang muncul bukan Suma Hoat tentu enci adik Kam itu akan menurut, akan tetapi munculnya keponakan yang dianggap sebagai seorang manusia cabul dan jahat, membuat hati mereka marah. Apalagi Siang Kui yang cerdik tidak mau melakukan hal yang lengah atau sembrono, mengejar begitu saja. Dia sudah curiga bahwa padang rumput itu mengandung jebakan, maka dia pun meloncat ke arah bekas kaki Hoat Bhok Lama menginjak. Dan benar saja, ketika tubuhnya turun, dia menginjak tempat yang keras.
"Moi-moi, ikuti jejak kakiku!"
Dia berteriak kepada adiknya tanpa menoleh karena dia harus mencurahkan seluruh perhatiannya untuk melihat dan mengingat bekas injakan kaki orang yang dikejarnya. Tiga kali dia meloncat mengikuti Hoat Bhok Lama dan dia sudah berada di tengah padang rumput, di belakang Hoat Bhok Lama, sedangkan Siang Hui juga sudah menyusul dan berada di belakang encinya ketika tiba-tiba Hoat Bhok Lama tertawa bergelak dan tubuh Siang Kui bersama adiknya yang menginjak tepat di bekas kaki pendeta itu terjeblos dan roboh terguling ke dalam air!
Ternyata bahwa rumput hijau itu tumbuh di atas air yang tertutup tanah tipis. Tempat berpijak kaki Hoat Bhok Lama memang tepat di atas balok-balok yang dipasang dan disembunyikan di bawah rumput, akan tetapi balok-balok ini dipasangi kawat sehingga dapat diatur oleh anak buahnya yang bersembunyi sehingga ketika ia memberi isyarat, anak buahnya menggerakkan balok-balok itu sehingga tentu saja kaki Siang Kui dan Siang Hui tergelincir dan terjatuhlah mereka ke dalam air. Dua orang wanita ini boleh jadi amat perkasa kalau mereka di darat, akan tetapi setelah mereka tercebur ke dalam air yang ternyata dalam karena tempat ini sesungguhnya merupakan telaga kecil yang oleh Hoat Bhok Lama diatur menjadi padang rumput sebagai jebakan,
Mereka tidak berdaya dan menjadi gelagapan. Empat orang anak buah Hoat Bhok Lama yang bertugas menjaga tempat ini segera muncul dari bawah rumput di mana mereka bersembunyi, lalu mereka berenang menghampiri Siang Kui dan Siang Hui. Mereka adalah ahli-ahli renang yang pandai, maka mereka dengan mudah dapat menarik kaki kedua orang wanita itu dari bawah dan dalam pergulatan ini kedua orang wanita perkasa itu kehilangan senjata pedang dan cambuk mereka, akan tetapi mereka berhasil membunuh dua orang pengeroyok. Biarpun demikian, mereka tidak mampu melepaskan pegangan tangan dua orang pada kaki mereka yang menarik mereka ke bawah sehingga terpaksa mereka gelagapan minum air telaga yang kotor!
"Cepat, kita harus menolong mereka!"
Teriak Im-yang Seng-cu yang tadi muncul bersama Suma Hoat. Orang aneh bertelanjang kaki ini sudah melontarkan tongkatnya, tubuhnya menyusul melayang seperti seekor burung terbang dan kakinya hinggap di atas tongkatnya yang melintang dan mengambang di atas rumput dekat tempat kedua orang wanita itu tenggelam. Juga Suma Hoat sudah melontarkan sepotong kayu yang didapatnya di situ, meniru perbuatan kawannya melompat. Sekali menggerakkan tangan mereka sudah berhasil membunuh dua orang yang berusaha menenggelamkan dua orang wanita itu, kemudian mereka menarik tangan Siang Hui dan Siang Kui.
Namun berat tubuh dua orang terlalu banyak untuk dapat ditahan oleh hanya sebatang tongkat dan kayu, maka sambil menarik mereka terus melontarkan tubuh Siang Kui dan Siang Hui ke depan, ke arah tepi di seberang yang lebih dekat. Siang Kui dan Siang Hui yang sudah kehilangan senjata, meluncur ke depan dan mereka berjungkir-balik di udara untuk menambah tenaga luncuran sehingga mereka dapat turun ke tepi seberang padang rumput dengan selamat. Dengan kemarahan meluap-luap mereka tidak sernpat berterima kasih kepada keponakan mereka yang tadinya mereka benci itu, melainkan terus mengejar bayangan Hoat Bhok Lama yang berlari ke depan sambil tertawa-tawa. Kakek itu lari mendekati sebuah gunung batu karang di sebelah depan. Melihat kenekatan kedua orang bibinya, Suma Hoat menjadi khawatir sekali. Dia dan Im-yang Seng-cu baru saja tiba di tempat itu dan hampir mereka terlambat menolong Siang Kui dan Siang Hui.
"Monyet tua itu lihai dan licik sekali, kita harus membantu bibimu!"
Im-yang Seng-cu berkata,
"Aku harus membawa senjataku, lontarkan aku ke sana!"
Suma Hoat mengangguk, lalu ia memegang lengan kanannya dan mengerahkan sin-kang melemparkan tubuh kawan itu ke seberang depan. Im-yang Seng-cu menjepit tongkatnya dengan jari kaki yang telanjang dan dia pun mengerahkan gin-kangnya untuk membantu tenaga lontaran Suma Hoat. Pemuda tampan ini sampai amblas kedua kakinya yang menginjak kayu ketika melontarkan tubuh kawannya, kemudian ia menggunakan kayu itu sebagai perahu untuk menyusup di antara rumput hijau menuju ke seberang.
Hoat Bhok Lama tadinya tertawa-tawa menanti dua orang wanita yang sudah tidak memegang senjata. Dia merasa yakin kini akan dapat menawan mereka, akan tetapi ketika ia melihat dua orang laki-laki muda yang lihai itu juga mengejar, cepat kakek ini mengeluarkan suara melengking panjang untuk memberi isyarat kepada anak buahnya. Pada saat Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat tiba di seberang padang rumput atau telaga yang tertutup rumput itu, dari atas puncak gunung karang tampak datang banyak orang anak buah Beng-kauw yang menjadi kaki tangan Hoat Bhok Lama. Melihat ini Suma Hoat berteriak,
"Harap Bibi berdua hadapi tikus-tikus dari atas itu. Serahkan monyet tua ini kepada kami!"
Sekali ini Siang Kui dan Siang Hui tidak membantah. Diam-diam mereka merasa berbesar hati bahwa keponakan mereka itu agaknya telan insyaf dan kini datang bersama seorang bertelanjang kaki yang kelihatan juga lihai sekali untuk membantu mereka menghadapi pendeta Lama yang menyelewengkan Beng-kauw. Mereka juga tahu diri, maklum bahwa mereka tidak akan mampu menandingi Hoat Bhok Lama, apalagi setelah mereka kehilangan senjata mereka. Maka mereka hanya mengangguk dengan pandang mata bersyukur, kemudian mereka lari naik menyambut rombongan anak buah Hoat Bhok Lama. Dengan beberapa kali loncatan Suma Hoat dan Im-yang Seng-cu sudah berhadapan dengan Hoat Bhok Lama yang sudah menanti dengan sepasang gembreng di tangan dan sepasang mata yang memandang ringan, mulutnya menyeringai menyambut dua orang muda itu dengan ucapan memuji,
"Wah, kepandaian kalian boleh juga! Siapakah kalian orang-orang muda yang berani menentang Ketua Beng-kauw?"
Suma Hoat tidak mau menjawab dan sudah akan menerjang maju, akan tetapi Im-yang Seng-cu tertawa menjawab,
"Anak buah Beng-kauw yang kau pimpin adalah penyeleweng-penyeleweng dan engkau adalah seorang ketua palsu, Hoat Bhok Lama! Karena itu maka hari ini aku, Im-yang Seng-cu dan sahabat kentalku ini, Jai-hwa-sian sengaja datang untuk melenyapkan yang palsu membangun yang aseli. Bagaimana?"
Hoat Bhok Lama menjadi merah mukanya dan alisnya berkerut.
"Hemmm, seingatku, nama julukan Jai-hwa-san dimiliki seorang yang rendah hati menggolongkan diri sebagai kaum sesat dan hitam, juga Im-yang Seng-cu kabarnya adalah seorang pelarian yang murtad dari Hoa-san-pai, jadi juga tidak tergolong kaum bersih. Mengapa kini berlagak seperti orang-orang bersih yang sombong dan hendak menentang golongan sendiri? Sebaiknya Ji-wi membantu kami dan Ji-wi akan menikmati hidup ini, apalagi Jai-hwa-sian, ingin mendapatkan gadis yang betapa cantik pun tidak usah repot-repot mencari sendiri. Bagaimana?"
Mereka saling pandang, kemudian Im-yang Seng-cu tertawa,
"Ha-ha-ha-ha! Usulmu memang adil dan baik sekali. Kami bukan hendak mengaku-aku orang baik-baik dan orang suci! Memang kami akui bahwa Jai-hwa-sian dan Im-yang Seng-cu bukan manusia suci, namun kami tidak pernah menyembunyikan diri di balik jubah pendeta merah dan di bawah kepala gundul! Di antara kami dengan engkau jelas terdapat perbedaan yang mencolok, Hoat Bhok Lama. Kami kotor akan tetapi tidaklah palsu seperti engkau! Kalau sekarang engkau suka berlutut minta ampun kepada dua orang keturunan Beng-kauw asli itu dan menyerahkan kembali anak buahmu yang sudah kaubawa menyeleweng, kemudian kau membiarkan aku mengetuk kepalamu yang gundul sampai benjol-benjol, kemudian kau membiarkan rambut kepalamu tumbuh dan mengganti baju pendetamu, nah, kalau begitu mungkin kami mau mengampunkan engkau!"
"Manusia sombong! Makanlah gembrengku seorang satu!"
Bentak Hoat Bhok Lama yang menjadi marah sekali dan menyerang ke depan, kedua gembrengnya sebelum menyerang saling beradu sehingga terdengar suara yang menggetarkan jantung menulikan telinga, kemudian tampak sinar kuning menyambar ke arah Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat.
"Cringgg! Tranggg!"
Pedang di tangan Suma Hoat dan tongkat di tangan Im-yang Seng-cu menangkis.
Dua orang muda perkasa itu terdorong mundur tanda bahwa tenaga sin-kang kakek itu benar-benar amat hebat, mereka terkejut dan balas menyerang, maka terjadilah pertandingan yang amat seru dan dalam sekejap mata saja lenyaplah bayangan mereka bertiga, terbungkus oleh sinar senjata masing-masing. Dua gulungan sinar kuning dari sepasang gembreng Hoat Bhok Lama saling belit dengan sinar putih pedang Suma Hoat dan sinar hijau tongkat Im-yang Seng-cu! Hoat Bhok Lama adalah keturunan langsung dari Thai-lek Kauw-ong yang mempunyai dua orang murid. Murid ke dua adalah Pat-jiu Sin-kauw yang pernah bentrok dengan dua orang muda itu ketika mereka menyerbu tempat Coa-beng-cu, ketua perkumpulan hitam di pantai Po-hai dahulu.
Namun dibandingkan dengan Hoat Bhok Lama kepandaian Pat-jiu Sin-kauw masih terlalu rendah karena murid pertama ini benar-benar telah mewarisi kepandaian Thai-lek Kauw-ong yang hebat. Setelah kini bertanding mati-matian, tahulah Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat bahwa tingkat mereka masih kalah oleh Ketua Beng-kauw palsu ini, maka mereka mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaian mereka untuk mengimbangi gerakan sepasang gembreng yang benar-benar dahsyat sekali itu. Andaikata mereka berdua itu maju satu lawan satu pasti mereka akan kalah, akan tetapi karena mereka itu maju berdua dan di antara mereka terdapat kecocokan hati dan perasaan persahabatan yang mendalam sehingga gerakan mereka pun dapat saling melindungi, repot juga bagi Hoat Bhok Lama untuk dapat mendesak kedua orang pengeroyoknya yang jauh lebih muda.
Apalagi selama ini Hoat Bhok Lama terlalu banyak membuang tenaga untuk bersenang-senang dengan wanita-wanita muda yang menjadi tawanannya sehingga tenaga sin-kangnya banyak berkurang, juga daya tahan dan napasnya. Untung baginya bahwa Suma Hoat tidak dapat mencurahkan seluruh perhatiannya dalam pertandingan itu karena pemuda perkasa ini membagi perhatiannya kepada kedua orang bibinya yang sudah bertempur dikeroyok banyak orang anak buah Beng-kauw yang menyeleweng. Pertandingan di dekat puncak gunung karang itu lebih seru lagi. Dua puluh orang lebih pembantu-pembantu Hoat Bhok Lama yang memegang bermacam senjata mengeroyok Siang Kui dan Siang Hui yang mengamuk seperti dua ekor singa betina yang marah.
Biarpun tingkat kepandaian para pembantu ketua palsu itu tidak setinggi tingkat mereka, namun mereka berdua bertangan kosong dan mereka dikeroyok dan dikepung ketat. Siang Kui dan Siang Hui mengamuk, merobohkan enam orang, namun muncul pula beberapa orang lagi sehingga para pengeroyoknya tetap berjumlah dua puluh orang lebih. Sambil memutar pedang melindungi tubuh dari sambaran sinar kuning yang bergulung-gulung, Suma Hoat sering kali melirik ke atas. Dia melihat betapa kedua orang bibinya mengamuk dan kini para pengeroyok itu makin mundur menuju ke puncak gunung karang dikejar oleh kedua bibinya. Ia merasa tidak enak sekali, mengingat betapa licik mereka ini dan betapa berbahayanya tempat itu, penuh jebakan.
"Bibi berdua, harap jangan mengejar mereka....!"
Ia berteriak, akan tetapi teriakannya itu sia-sia belaka karena Siang Kui dan Siang Hui yang sudah berhasil merobohkan banyak musuh dan kini melihat anak buah Beng-kauw palsu itu mundur tentu saja tidak mau melepaskan mereka dan berniat untuk membasmi sampai ke akar-akarnya. Apalagi karena mereka kini memperoleh kesempatan baik sekali selagi Hoat Bhok Lama yang amat lihai itu sibuk menghadapi pengeroyokan dua orang muda perkasa. Enci adik ini mengejar terus dan merobohkan banyak anak buah musuh yang melarikan diri ke puncak gunung karang. Ketika sisa anak buah Beng-kauw itu tiba di bawah puncak, tiba-tiba mereka lenyap seperti ditelan jurang. Dua orang wanita perkasa itu melompat jauh dan setibanya di bawah puncak mereka memandang ke kanan kiri, mencari-cari.
"Bibi.... awaaasss....!"
Masih terdengar teriakan Suma Hoat jauh di bawah dan tiba-tiba tanah batu yang mereka injak tergetar hebat! Siang Kui dan Siang Hui terkejut sekali. Getaran makin menghebat disertai suara bergemuruh seolah-olah gunung itu akan meletus!
"Moi-moi, turun....!"
Siang Kui berseru keras. Hampir berbareng mereka membalik dan hendak meloncat turun melalui jalan mereka mengejar naik tadi. Akan tetapi mata mereka terbelalak dan tubuh mereka berdiri kaku memandang ke depan. Batu-batu besar yang mereka lalui tadi kini telah merekah pecah membentuk jurang menganga lebar dan kini puncak gunung batu itu runtuh ke bawah! Mula-mula hanya batu-batu kecil lalu disusul batu-batu sebesar kerbau bahkan batu-batu sebesar rumah bergulingan ke bawa.
"Cici....!"
Siang Hui menjerit. Mereka berusaha mengelak, akan tetapi mana mungkin menghindarkan diri dari hujan batu yang sedemikian banyaknya? Suma Hoat dan Im-yang Seng-cu menyaksikan malapetaka mengerikan itu. Suma Hoat menjadi nekat. Dengan gerengan seperti seekor singa dia menubruk maju, menerima gembreng kanan lawan dengan telapak tangan kiri sedangkan pedangnya membacok ke arah kepala yang ditangkis oleh Hoat Bhok Lama dengan gembreng kiri. Saat itu, tongkat Im-yang Seng-cu bergerak dan memang inilah yang dihendaki Suma Hoat, yaitu membuat sepasang senjata lawan sibuk menghadapinya, agar temannya dapat turun tangan.
"Desss!"
Biarpun Hoat Bhok Lama dapat menyelamatkan kepala dan lehernya, namun tetap saja pundaknya kena hantaman tongkat Im-yang Seng-cu sehingga ia terlempar ke belakang dan terhuyung-huyung, akan tetapi Suma Hoat juga mengeluh dan roboh miring. Hoat Bhok Lama tertawa bergelak lalu berloncatan pergi menghilang. Im-yang Seng-cu tidak berani mengejar ketika melihat temannya terluka. Dia berlutut dan bertanya,
"Bagaimana?"
Suma Hoat menyeringai dan menarik napas panjang. Tangan kirinya, dari telapak tangan sampai ke siku, berwarna biru karena tadi ketika ia menahan gembreng dia kalah tenaga sehingga hawa sin-kang lawan yang mendesaknya membuat lengannya terluka dan kemasukan hawa beracun. Akan tetapi Suma Hoat tidak mempedulikan diri sendiri, matanya memandang ke arah puncak, kedua matanya berlinang air mata, kemudian dengan nekat ia meloncat bangun dan berlari mendaki pundak yang kini sudah tidak berguncang lagi. Batu-batu dari puncak telah menutup tempat di mana Siang Kui dan Siang Hui berdiri, ribuan bongkah batu besar yang membentuk puncak baru.
"Bibi....! Bibi....!"
Suma Hoat sudah menyarungkan pedangnya dan tanpa mempedulikan lengan kirinya yang sudah biru itu dia mulai membongkar batu-batu besar seperti kelakuan seorang gila.
"Sabar dan tenanglah, sahabatku. Bagaimana mungkin kita membongkar batu-batu sebanyak dan sebesar ini?"
Im-yang Seng-cu menghibur akan tetapi ia pun ikut membantu kawannya membongkar batu-batu. Suma Hoat tidak menjawab dan tidak mempedulikan kawannya, melainkan terus membongkar batu-batu itu sambil memanggil-manggil kedua orang bibinya.
"Bibi....! Tiba-tiba Suma Hoat melemparkan sebuah batu besar dan Im-yang Seng-cu juga memandang terbelalak ketika tampak pakaian orang di bawah batu itu. Suma Hoat mengulur tangan menangkap lengan orang itu.
"Bi....!"
Akan tetapi ia berhenti memanggil dan meloncat ke belakang ketika melihat bahwa orang di bawah batu itu sama sekali bukan bibinya, bahkan kini tampak bergerak-gerak dan muncullah sebuah kepala seorang kakek tua, kepala yang botak dan amat besar, dengan mata melotot dan mulut tersenyum-senyum! Melihat kakek yang kepalanya besar ini, Im-yang Seng-cu segera mengayun tongkatnya tepat mengenai kepala yang rambutnya jarang itu dengan keras sekali.
"Takkk!"
Akan tetapi tongkatnya terpental dan Im-yang Seng-cu merasa betapa kedua telapak tangannya nyeri bukan main seolah-olah bukan kepala orang yang dihantamnya tadi melainkan kepala terbuat dari baja murni. Kakek itu mengejapkan matanya, kemudian tubuhnya digoyang dan dia terlepas dari himpitan batu-batu, meloncat bangun. Kiranya kakek ini bertubuh pendek cebol, tubuh seperti anak kecil akan tetapi kepalanya lebih besar daripada kepala orang dewasa yang manapun juga!
"Monyet, kau orangnya Hoat Bhok Lama, ya?"
Tangannya terulur dan angin dorongan yang keras membuat Im-yang Seng-cu roboh terguling sungguhpun dia telah mengerahkan sin-kang menahan. Tentu saja dia terkejut sekali dan cepat melompat bangun sambil melintangkan tongkat di depan dada siap bertanding.
"Jangan, Locianpwe! Dia sahabatku, malah memusuhi Hoat Bhok Lama!"
Suma Hoat yang dapat mengerti bahwa kakek itu amat sakti segera berkata.
"Heh-heh-heh, kalau aku tidak tahu, apakah dia dapat bangun lagi? Ha-ha-ha, Hoat Bhok Lama benar kurang ajar, dan kalau tidak ada kau orang muda yang membongkar batu, kiranya aku si tua bangka akan mampus."
Kakek yang bertubuh kecil dan berkepala besar itu tertawa bergelak sampai keluar air matanya! Tiba-tiba Im-yang Seng-cu menghampiri kakek itu dan menjura penuh hormat sambil berkata,
"Mohon Locianpwe mengampuni boanpwe yang seperti buta tidak mengenal Locianpwe Bu-tek Lo-jin."
Mendengar disebutnya nama itu, Suma Hoat terkejut bukan main dan memandang kakek itu dengan mata terbelalak.
Di dalam perantauannya, pernah ia mendengar akan nama orang-orang sakti seperti dewa yang oleh dunia kang-ouw dianggap telah lenyap dari dunia ramai, orang-orang seperti Bu Kek Siansu dan ke dua adalah Bu-tek Lo-jin. Teringatlah ia akan ciri-ciri orang aneh ini, bertubuh seperti kanak-kanak akan tetapi kepalanya besar. Pantas saja pukulan tongkat Im-yang Seng-cu yang amat dahsyat pada kepala kakek ini seperti tidak terasa tadi, kiranya kakek ini adalah orang yang memiliki kesaktian yang kabarnya seperti dewa itu! Maka ia pun cepat memberi hormat di depan kakek itu. Kakek itu memang benar Bu-tek Lo-jin, seorang yang sudah amat tua usianya dan sudah puluhan tahun tidak pernah terdengar lagi muncul di dunia ramai.
Di dalam cerita "Mutiara Hitam"
Kakek yang sakti dan berwatak aneh ini muncul, bahkan menjadi guru pendekar Pek-kong-to Tang Hauw Lam, suami dari pendekar wanita Mutiara Hitam. Kakek Bu-tek Lo-jin ini pulalah yang mengunjungi Khitan dan mengadakan pelamaran atas diri Mutiara Hitam sebagai wali muridnya itu. Biarpun hanya beberapa bulan saja Tang Hauw Lam menerima petunjuk dari kakek ini, namun kakek itu telah menurunkan ilmu yang dahsyat-dahsyat dan membuat pendekar itu makin terkenal. Setelah Tang Hauw Lam menikah dengan Mutiara Hitam, kakek yang aneh watak dan bentuk tubuhnya ini lalu menghilang dan tidak pernah terdengar lagi sepak terjangnya yang aneh-aneh. Karena itu, dapat dibayangkan betapa keget dan heran hati Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat ketika tanpa disangka-sangka mereka bertemu dengan kakek sakti ini secara demikian luar biasa!
"Ha-ha-ho-ho-ho! Engkau sudah mengemplang kepalaku satu kali, akan tetapi engkau bermata tajam dapat mengenalku, berarti sudah lunas! Kulihat gerakanmu tadi seperti ilmu dari Hoa-san. Eh, bocah tak bersepatu seperti aku, siapakah sih engkau ini? Dan kau ini, bocah yang bertulang baik dan telah menyelamatkan aku dari himpitan batu-batu, kau siapa?"
Suma Hoat cepat menjawab,
"Dia itu adalah sahabat saya yang terkenal dengan sebutan Im-yang Seng-cu, bekas tokoh Hoa-san-pai. Adapun saya sendiri.... saya bernama Suma Hoat...."
"Heh-heh-heh! Im-yang Seng-cu? Nama sebutan yang bagus. Dan kau she Suma? Hemm, kau berjodoh denganku. Eh, Suma Hoat, coba kauserang dengan seluruh kepandaian yang kau miliki!"
Tentu saja Suma Hoat terbelalak heran. Dia teringat akan kedua bibinya, maka dia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu dan berkata,
"Harap Locianpwe sudi memaafkan teecu. Sesungguhnya teecu ingin membongkar batu-batu ini untuk menolong kedua orang bibi teecu yang tertimbun batu."
Setelah berkata demikian, kembali Suma Hoat membongkar batu-batu itu.
"Hayaaaa....! Jadi mereka itu tadi bibi-bibimu? Percuma, siapa dapat menyelamatkan dua orang wanita yang terhimpit batu-batu begini banyak? Mereka telah tewas dan mengapa masih harus mengganggu jenazah mereka yang sudah baik-baik terkubur seperti ini? Jarang ada orang mati dapat dikubur sehebat ini! Apakah engkau bersusah payah membongkar batu-batu ini hanya untuk menyaksikan tubuh mereka yang tentu sudah hancur?"
"Bu-tek Locianpwe benar sekali, sahabatku. Daripada membuang waktu membongkar batu yang tidak akan dapat menolong kedua orang bibimu, lebih baik kita mencari Hoat Bhok Lama dan membalas kematian kedua orang bibimu,"
Kata Im-yang Seng-cu. Ucapan ini menyadarkan Suma Hoat. Dia meloncat bangun, pandang matanya beringas.
"Kau betul! Mari kita kejar dia!"
"Heitt, nanti dulu!"
Bu-tek Lo-jin berseru dan tampak bayangan berkelebat, tahu-tahu tubuhnya yang kecil sudah berdiri di depan Suma Hoat.
"Aku tadi sudah merasakan gebukan tongkat Si Kaki Telanjang akan tetapi aku belum melihat kepandaianmu. Dengan kepandaian seperti yang dimiliki Si Kaki Telanjang, bagaimana mungkin melawan Si Gundul Jubah Merah? Apalagi, setelah aku bebas, Si Gundul busuk itu dapat berlari ke manakah? Hayo Suma Hoat, kauseranglah aku!"
Suma Hoat kelihatan ragu-ragu, akan tetapi Im-yang Seng-cu cepat berkata, suaranya terdengar gembira,
"Suma Hoat, mengapa kau begini bodoh dan tidak cepat-cepat mentaati perintah gurumu?"
Tentu saja Suma Hoat tidak bodoh, bahkan dia cerdik sekali. Kalau tadi dia kurang perhatian adalah karena hatinya berduka oleh kematian kedua bibinya, dan marah kepada Hoat Bhok Lama. Kini ia teringat betapa besar untungnya kalau dia bisa menjadi murid orang sakti ini, maka biarpun lengan kirinya terasa nyeri, dia memasang kuda-kuda dan berkata,
"Baik, teecu mentaati perintah Locianpwe. Teccu menyerang!"
Tubuhnya sudah menerjang maju, kedua kakinya melakukan gerakan aneh dan ketika ia menggerakkan kedua tangannya, angin menyambar ke arah leher dan pusar kakek itu.
"Cuss! Cusss!" "Heiiihhh! Dari mana engkau memperoleh ilmu setan ini?"
Bu-tek Lo-jin berteriak sambil membelalakkan kedua matanya, mengelus-elus leher dan perut yang tadi tercium ujung jari tangan Suma Hoat. Pemuda ini sendiri sudah terhuyung ke samping dengan kaget sekali. Ketika ia menotok tadi, jari tangannya seperti menotok air saja, bahkan tenaga sin-kangnya seperti terbanting membuat ia terpelanting ketika dari tubuh kakek itu timbul hawa mujijat yang melawannya. Maklum betapa saktinya kakek aneh ini, Suma Hoat menjatuhkan diri berlutut.
"Teecu mohon petunjuk."
Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bu-tek Lo-jin mengerutkan alisnya yang tebal putih.
"Di dunia gila ini banyak sudah kulihat dan temui orang-orang gila yang memiliki kepandaian seperti setan. Biarpun mereka semua sekarang telah menjadi setan-setan, entah di neraka, entah di mana, akan tetapi mengenang kepandaian mereka, aku masih bergidik. Pek-kek Sin-ong dan Lam-kek Sin-ong memiliki ilmu kepandaian istimewa, tidak perlu bicara lagi tentang ilmu kepandaian Suling Emas dan keturunan-keturunannya. Dahulu, di empat penjuru dunia terdapat datuk-datuk golongan hitam yang seperti raja-raja kejahatan, mereka adalah Bu-tek Siu-lam dari barat, Thai-lek Kauw-ong dari timur, Jin-cam Khoa-ong dari utara, dan Siauw-bin Lo-mo dari selatan. Namun mereka semua itu masih tidak mampu menandingi kedahsyatan, kegilaan dan keseraman adik Suling Emas yang telah menjadi murid iblis-iblis sendiri, bernama Kam Sian Eng. Heh, orang muda, gerakan kakimu tadi bukankah dari Cap-sha Seng-keng, dan serangan tanganmu yang aneh tadi mirip Im-yang-tiam-hoat? Padahal dua ilmu itu dahulu milik Kam Sian Eng si wanita iblis!"
"Beliau adalah nenek teecu!"
Suma Hoat berkata.
"Aihhhh! Pantas.... pantas....!"
Kakek yang sudah tua sekali itu berloncatan seperti seorang anak kecil.
"Dia memang mempunyai seorang putera Suma Kiat yang licik dan jahat sekali, jadi dia...."
"Dia adalah ayah teecu!"
Suma Hoat berkata cepat, suaranya keras karena ia merasa mengkal sekali, sungguhpun ia tidak dapat membantah akan kebenaran kata-kata kakek ini.
"Ha-ha-ha-ha! Besar sekali untungku! Pernah aku mengambil murid calon suami Mutiara Hitam sekarang aku mengambil murid seorang keturunan keluarga Suling Emas, biarpun dari keluarga yang gila dan jahat. Eh Suma Hoat, di dalam dirimu engkau condong kepada yang jahat atau yang baik?"
"Tentu saja yang baik, Locianpwe!"
Im-yang Seng-cu mendengarkan percakapan itu penuh perhatian dan diam-diam ia merasa terharu mendengar pengakuan sahabatnya. Dia pun percaya bahwa sebetulnya sahabatnya yang berjuluk jai-hwa-sian itu tidaklah memiliki dasar watak yang jahat, memiliki sebuah penyakit yang ditimbulkan oleh dendam kebencian terhadap wanita sehingga terciptalah dorongan nafsu berahi yang tidak wajar di samping kekejaman yang amat mengerikan terhadap kaum wanita. Bu-tek Lo-jin memandang dengan matanya yang tua dan mulut yang tak bergigi lagi.
"Heh-heh, kalau engkau mengerti yang baik, coba terangkan, apakah kebaikan itu?"
Tanpa ragu-ragu Suma Hoat menjawab,
"Apa yang baik menurut perasaan hati teecu, itulah baik bagi teecu!"
Im-yang Seng-cu mengerutkan alisnya dan menganggap betapa piciknya jawaban sahabatnya itu. Akan tetapi Bu-tek Lo-jin tertawa bergelak sampai keluar air matanya.
"Huah-ha-ha-hah, berbahaya sekali! Perasaan hati dapat dikuasai nafsu sehingga bukanlah hati yang murni yang akan diturut, melainkan nafsu. Akan tetapi, setidaknya engkau jujur, muridku. Mengaku apa adanya, tanpa ditutupi kepalsuan. Bagiku, masih lebih kuhargai seorang penjahat yang mengaku dirinya jahat daripada seorang baik yang menyombongkan kebaikannya. Nah, mulai sekarang engkau menjadi muridku yang bungsu, murid terakhir sebelum aku lenyap ditelan maut. Engkau siap menerima warisan ilmu-ilmuku?"
"Teecu siap, Suhu." "Nah, kalau begitu, mari kau ikut aku pergi dari tempat ini!"
Kakek aneh itu bangkit dan Suma Hoat juga bangkit berdiri.
"Heii, nanti dulu, Suma Hoat! Apakah kau lupa untuk membalaskan kematian kedua orang bibimu?"
Im-yang Seng-cu menegur. Suma Hoat memandang gurunya.
"Suhu, teecu harus membunuh Hoat Bhok Lama dan membasmi Beng-kauw palsu yang mereka rampas dari tangan kedua bibi teecu yang telah tewas. Setelah itu baru teecu akan mengikuti Suhu"
Bu-tek Lo-jin mengerutkan alisnya.
"Mengapa kau hendak membunuhnya? Untuk membalas dendam kematian kedua bibimu?"
Suma Hoat yang cerdik itu ternyata sedikit banyak telah dapat menyelami dan mengenal watak gurunya yang amat aneh itu. Ia menggeleng kepala dan menjawab.
"Sebagai murid, teecu harus mencontoh Suhu. Suhu sama sekali tidak mendendam kepada Hoat Bhok Lama padahal Suhu dicelakainya. Tidak, teecu bukan hendak membonuhnya karena dendam, melainkan karena teecu harus memberantas kejahatan yang dilakukan Hoat Bhok Lama dan anak buahnya. Teecu harus menolong dan melindungi orang-orang dari ancaman perbuatan jahat mereka."
Kembali kakek itu tertawa bergelak,
"Ha-ha-ha-ha! Pikiran keruh, pendapat yang kacau-balau. Siapakah engkau ini yang dapat memberantas kejahatan yang dilakukan orang-orang? Siapakah engkau ini yang dapat menolong dan melindungi orang-orang? Khayalan kosong melompong! Akan tetapi selama ucapan dan perbuatanmu sejalan dengan isi hatimu, engkau jujur dan tulen. Hayolah, aku pun ingin sekali mengetuk satu kali kepala Hoat Bhok Lama yang botak, ha-ha-ha!"
Setelah berkata demikian, Bu-tek Lo-jin yang masih tertawa-tawa itu menyambar lengan Suma Hoat, meloncat dan sekali berkelebat tubuhnya dan tubuh murid barunya lenyap di balik tumpukan batu-batu yang longsor dari puncak tadi. Im-yang Seng-cu menarik napas panjang. Dia merasa senang sekali bahwa sahabatnya telah menjadi murid kakek aneh itu. Dia tidak merasa iri hati, karena dia sendiri tidak mempunyai keinginan menjadi murid siapapun juga, bahkan dia telah melepaskan diri dari ikatan Hoa-san-pai.
Im-yang Seng-cu adalah seorang yang ingin bebas, tidak mau terikat oleh peraturan, tidak mau mencontoh guru yang sudah dicetak untuk murid, ingin hidup bebas lahir batin. Akan tetapi, di dalam hatinya, terdapat rasa simpati yang besar terhadap Jai-hwa-sian Suma Hoat, perasaan yang timbul di luar kesadarannya. Dia merasa kasihan kepada Suma Hoat, maka kini merasa girang bahwa sahabatnya itu menjadi murid seorang pandai. Dengan hati tegang Im-yang Seng-cu lalu meninggalkan tempat itu, menyusul guru dan murid itu yang ia tahu tentulah mencari Hoat Bhok Lama di sarangnya. Karena puncak gunung batu karang itu runtuh, perjalanan menuruni tempat itu sukar sekali. Terbentuk puncak-puncak tumpukan batu baru, dan goncangan tadi membuat banyak tanah batu merekah menjadi jurang-jurang yang amat curam. Im-yang Seng-cu berjalan hati-hati menuju ke bangunan yang dikelillngl pagar tembok tinggi.
Menjelang senja barulah ia sampai di depan pintu gerbang dan dia merasa heran bukan main menyaksikan keadaan markas Beng-kauw yang amat sunyi itu. Tidak nampak penjaga di depan pintu dan ketika ia melangkah maju dengan hati-hati karena maklum bahwa markas besar Beng-kauw ini mempunyai banyak alat-alat rahasia dan jebakan berbahaya, melongok ke dalam, ia menjadi makin terheran. Biarpun terasa amat sunyi karena tidak ada suara, namun di sebelah dalam benteng itu tampak kesibukan orang-orang. Im-yang Seng-cu menggerakkan tubuhnya, melesat ke dalam melalui pintu gerbang yang terbuka lebar. Kini tampaklah olehnya betapa orang-orang itu sibuk mengangkuti mayat-mayat manusia yang malang-melintang di tempat itu termasuk mayat Hoat Bhok Lama dan para pembantunya.
Ketika melihat mayat Hoat Bhok Lama diangkat, Im-yang Seng-cu mendapat kenyataan bahwa mayat itu tidak kelihatan terluka, tidak mengeluarkan darah, hanya ada tanda biru di ubun-ubun kepalanya yang gundul. Im-yang Seng-cu bergidik dan teringat suara Bu-tek Lo-jin yang ingin mengetuk satu kali kepala yang gundul itu! Ketika orang-orang yang bekerja dengan sunyi itu melihat munculnya Im-yang Seng-cu, mereka memandang dengan khawatir, bahkan seorang di antara mereka yang agaknya memimpin pekerjaan mengurus mayat-mayat itu, seorang laki-laki yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, cepat menghampiri Im-yang Seng-cu, menjura dengan penuh hormat dan berkata,
"Harap Taihiap tidak turun tangan mengganggu kami yang hanya menaati perintah Bu-tek Locianpwe dan Suma Taihiap."
Im-yang Seng-cu mengangguk-angguk kagum, maklum betapa dalam waktu singkat sahabatnya dan gurunya yang luar biasa itu telah dapat membereskan Beng-kauw, membunuh Hoat Bhok Lama dan para pembantunya dan menundukkan anak buahnya.
"Apa yang telah terjadi?"
Tanyanya. Orang itu memandang tajam, agaknya terheran mendengar ucapan pendekar kaki telanjang ini.
"Bukankah Taihiap sahabat baik Suma-taihiap dan datang bersama dia?"
"Benar, akan tetapi aku tertinggal di sana. Harap kauceritakan apa yang sebenarnya telah terjadi, dan mengapa pula Bu-tek Locianpwe dapat muncul di tempat ini."
Qrang itu menarik napas panjang, kemudian setelah memandang Im-yang Seng-cu beberapa lama, ia berkata,
"Taihiap adalah Im-yang Seng-cu seperti yang dikatakan Suma-taihiap, sudah sepatutnya mendengar semua keadaan kami. Marilah kita bicara di dalam dan saya akan menceritakan semuanya."
Im-yang Seng-cu mengikuti orang itu memasuki sebuah bangunan yang cukup mewah dan setelah duduk menghadapi meja dan diberi suguhan arak, dia mendengarkan penuturan Lauw Kiam, orang itu yang dahulunya seorang anggota Beng-kauw tulen yang sudah memiliki kedudukan lumayan tingginya.
"Ketika Hoat Bhok Lama dan kaki tangannya mula-myla menyerbu Beng-kauw, kami pihak Beng-kauw melakukan perlawanan mati-matian. Dalam perlawanan ini, satu demi satu gugurlah para pimpinan kami, bahkan tokoh tertua yang kami andalkan, Kauw Bian Cinjin, gugur pula di tangan Hoat Bhok Lama. Sampai habis semua pimpinan kami tingkat tinggi, dan hanya kedua orang Kam-toanio kakak beradik saja yang masih sempat meloloskan diri. Kami, termasuk saya yang sejak muda menjadi anggauta Beng-kauw yang setia, tadinya bertekad untuk melakukan perlawanan sampai mati. Akan tetapi, kemudian tertarik oleh bujukan-bujukan Hoat Bhok Lama, pelajaran-pelajaran ilmu silat tinggi dan kebatinan sehingga akhirnya kami sampai terpikat dan terbujuk pula. Antara lain, Hoat Bhok Lama mengatakan bahwa Agama Beng-kauw adalah Agama Terang yang semenjak dahulu memerangi Gelap dan bahwa keturunan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, pendiri Beng-kauw di Nan-cao, telah menyelewengkan pelajaran Beng-kauw yang sejati!"
"Hemm, agaknya Hoat Bhok Lama mengerti benar akan pelajaran Beng-kauw,"
Kata Im-yang Seng-cu.
"Apa saja yang dikatakannya mengenai penyelewengan itu?"
Lauw Kian lalu bercerita. Menurut pelajaran Hoat Bhok Lama yang disebarkan kepada semua bekas pengurus dan anggauta Beng-kauw, Agama Beng-kauw atau Agama Terang (Manichaeism) didirikan oleh Guru Besar Mani. Terang adalah lambang kebaikan dan Gelap adalah lambang kejahatan. Pelajarannya adalah untuk menyelamatkan Terang dari selubungan Kegelapan.
Jadi menurut pelajaran agama ini, terdapat dua kerajaan di alam semesta ini, yaitu Kerajaan Terang dan Kerajaan Gelap yang saling berlawanan. Setan menjadi raja dari kegelapan. Manusia adalah ciptaan Setan, demikian menurut Hoat Bhok Lama, karena itu selalu diliputi kegelapan atau kejahatan. Dan Agama Beng-kauw merupakan pelajaran dari Sang Duta Terang, yaitu Guru Besar Mani, pendirinya. Dongeng yang menjadi pegangan para penganut Beng-kauw ini memang sama dengan yang dijelaskan oleh Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Letak perbedaannya adalah bahwa kalau Liu Gan mengajarkan bahwa para penganutnya harus mengenyahkan kegelapan, mengenyahkan kejahatan dengan pantangan-pantangan, sebaliknya Hoat Bhok Lama tidak mengadakan pantangan, bahkan mengajarkan anak buahnya untuk memasuki kegelapan!
"Betapa mungkin kita dapat mengalahkan musuh tanpa menyelidiki keadaan musuh itu sendiri, tanpa mengetahui kekuatan-kekuatannya dan kelemahan-kelemahannya? Dan untuk dapat mengetahui keadaan musuh melalui penyelidikan, kita harus terjun ke dalamnya! Kita lahir dari kegelapan, setelah kita sadar dan mendapat sinar terang untuk melawan kegelapan itu sendiri, kita harus benar-benar memahami apakah itu kegelapan, apakah itu kejahatan, apakah itu kekuasaan nafsu. Untuk menyelidiki kekuasaan nafsu, jalan satu-satunya hanyalah menuruti dorongan itu sendiri! Setelah kita mengenal betul sifat-sifat nafsu dalam diri kita, tidak akan sukar lagi untuk menundukkannya!"
Demikianlah bujukan dan pelajaran yang disebar oleh Hoat Bhok Lama, dan sudah lajimnya manusia yang lemah lebih suka menganut sesuatu yang menyenangkan hati dan badan daripada menganut pelajaran yang sukar dan tidak menyenangkan hati dan badan. Mengekang nafsu merupakan hal yang sukar dan tidak mendatangkan nikmat kepada tubuh, sebaliknya mengumbar nafsu mendatangkan nikmat jasmani. Tentu saja pelajaran macam itu segera mendapat minat yang besar sekali dari para bekas anggauta Beng-kauw sehingga banyak di antara mereka yang tunduk dan mengakui Hoat Bhok Lama sebagai seorang ketua baru yang jauh lebih "bijaksana"
Daripada para bekas pengurus lama. Apalagi di samping itu sudah menjadi kenyataan bahwa Hoat Bhok Lama memiliki kepandaian yang amat tinggi sehingga mereka makin tertarik untuk dapat mempelajari ilmu-ilmu tinggi dari pendeta Lama itu.
Im-yang Seng-cu mengangguk-angguk mendengar penuturan itu dan diam-diam ia menarik napas panjang. Dia masih belum tua namun sudah banyak sekali mengalami hal-hal aneh di dunia ini yang membuat pandangannya cukup luas. Di mana-mana ia melihat kegagalan usaha para tokoh agama apapun juga dalam perjuangan mereka mendatangkan damai dan bahagia bagi manusia seluruhnya. Kegagalan itu seluruhnya terletak kepada kelemahan manusia yang biarpun dengan akal budi dan pikirannya dapat menerima inti pelajaran untuk hidup sebagai manusia yang baik, namun jasmaninya terlalu kuat sedangkan hatinya terlalu lemah untuk menentang nafsu badani sendiri sehingga terjadilah pertentangan yang amat menyedihkan.
Pertentangan antara hati nurani sendiri dengan perbuatan-perbuatan yang terdorong oleh nafsu pribadi, yang biasanya sering kali dimenangkan oleh nafsu. Inilah sebabnya mengapa makin banyak orang mempelajari kebatinan, makin banyak pula terjadi pelanggaran dan dosa. Raja Kegelapan memiliki senjata yang amat ampuh untuk menundukkan manusia, yaitu senjata sayang diri atau iba diri yang menjadi dasar sehingga manusia dengan senang hati dan mudah melakukan hal-hal yang tidak baik. Lihatlah manusia-manusia kecil, kanak-kanak. Betapa mudahnya mereka itu, tanpa disuruh tanpa diajar, untuk membohong dalam membela diri. Sebaliknya, biarpun setiap hari diajar dan disuruh pantang membohong, disuruh jujur dan lain sifat-sifat baik, agaknya amat sukar bagi mereka.
"Hem, dia memang cerdik, mungkin iblis sendiri yang mengajarinya,"
Kata Im-yang Seng-cu.
"Dan bagaimanakah kakek dewa Bu-tek Lo-jin dapat muncul di tempat ini?"
"Hal itu terjadi dua bulan yang lalu,"
Kata Lauw Kian. Kemudian ia menceritakan tentang kakek aneh itu. Bu-tek Lo-jin pada dua bulan yang lalu datang ke Pegunungan Heng-toan, ke markas Beng-kauw karena hendak mencari Kauw Bian Cinjin yang dikenalnya. Kakek ini tidak tahu bahwa Beng-kauw telah terjatuh ke tangan Hoat Bhok Lama dengan paksa. Ketika mencari Kauw Bian Cinjin yang telah tewas, kakek ini kemudian mengunjungi Beng-kauw untuk bertanya tentang kematian sahabat yang dikenalnya itu.
Hoat Bhok Lama tentu saja mengenal kakek sakti ini dan dengan amat cerdiknya, Hoat Bhok Lama membujuk agar kakek sakti itu membantu Beng-kauw yang katanya hendak dikembangkannya sampai ke seluruh daratan. Ketika tampak gejala penolakan dari Bu-tek Lo-jin, dan ada pula bahaya akan diketahui kakek itu bahwa dia merampas Beng-kauw dan membunuh semua pengurusnya, Hoat Bhok Lama lalu menipu Bu-tek Lo-jin memasuki guha di puncak yang merupakan tempat jebakan yang amat berbahaya. Kakek yang sakti akan tetapi terlalu berani dan terlalu ingin tahu itu kena diakali dan jatuh terjerumus ke dalam lubang jebakan yang terdapat di guha puncak gunung itu.
"Hoat Bhok Lama menutup lubang dan guha itu, kami menganggap kakek itu telah tewas."
Lauw Kian menutup ceritanya.
"Siapa dapat menduga, tadi kakek yang luar biasa itu muncul bersama Suma-taihiap. Entah bagaimana dia dapat hidup selama dua bulan tertutup di dalam sumur guha itu."
Im-yang Seng-cu kagum sekali. Hanya orang yang memiliki ilmu yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali saja yang akan dapat mempertahankan hidupnya setelah dua bulan tertutup di dalam sumur di puncak, bahkan ketika puncak itu longsor oleh gerakan alat-alat rahasia sehingga kakek itu terbawa runtuh pula ke bawah, dia masih mampu menyelamatkan diri.
"Setelah kini kalian terlepas dari tangan orang-orang jahat yang menguasai Beng-kauw, apa yang akan kalian lakukan?"
Im-yang Seng-cu bertanya.
"Kami akan meninggalkan tempat ini, kembali ke Nan-cao dan kami akan berkumpul kembali dengan bekas para anggauta Beng-kauw, bsrsama-sama membangun ksmbali Beng-kauw,"
Jawab Lauw Kian dengan wajah berduka, teringat akan para tokoh dan pimpinan Beng-kauw yang tewas sehingga kini perkumpulan mereka seolah-olah tidak mempunyai pimpinan lagi. Im-yang Seng-cu mengangguk-angguk,
"Perkumpulan kalian adalah perkumpulan agama yang semestinya mencurahkan segala perhatian khusus untuk agama, berarti untuk kerohanian. Kalau urusan kerohanian dicampur dengan urusan dunia, tentu akan timbul pertentangan-pertentangan karena di antara keduanya bersimpang jalan. Kuharap saja Beng-kauw akan dapat benar-benar menjadi Agama Terang yang akan mendatangkan penerangan bagi manusia yang telah kehilangan slnar rohaninya, digelapkan oleh awan-awan nafsu. Sebuah perkumpulan agama bukanlah sebuah parkumpulan tukang pukul, yang disebut kuat dalam perkumpulan kalian bukanlah kaki tangannya, melainkan batinnya, rohaninya, sehingga msmancarkan sinar tsrang membantu mereka yang ksgslapan. Semoga kalian berhasil."
Im-yang Ssng-cu meninggalkan Pegunungan Heng-toan, berjalan menyusuri sepanjang tepi Sungai Cin-sha, diam-diam ia memujikan semoga sahabatnya, Jai-hwa-sian Suma Hoat, selaln memperoleh ilmu kepandaian tinggi dari Bu-tek Lo-jin, juga akan dapat sadar dan mengalahkan penyakitnya sendiri yang membuat pemuda itu mendapat julukan Dewa Pemetik Bunga!
"Aiihhh...., semua tempat kacau-balau oleh perang. Dalam keadaan sekacau ini, mana mungkin mencari orang? Ahhh, Suheng.... di manakah engkau....?"
Siauw Bwee menghela napas berulang-ulang sambil duduk termenung menghadapi api unggun yang dinyalakannya di tengah hutan sunyi itu. Berbulan-bulan lamanya ia melakukan perjalanan tanpa arah tertentu dalam usahanya mencari dua orang dengan perasaan hati yang berlawanan. Yang seorang dicarinya dengan hati penuh rindu dan kasih, yang ke dua dicarinya dengan dendam dan benci. Namun, sudah banyak kota dijelajahi, hutan-hutan dimasuki dan bukit-bukit didaki, sudah banyak ia menyaksikan perang dan kekacauan, belum juga dia dapat menemukan orang-orang yang dicarinya, yaitu Kam Han Ki suhengnya dan Suma Kiat musuh besarnya.
Tersorot cahaya api unggun yang kemerahan itu, Siauw Bwee kelihatan amat cantik jelita. Rambutnya yang panjang dan mawut itu mengkilap, kedua pipinya kemerahan tersentuh sinar api, matanya yang merenung itu kadang-kadang berkilat. Dara jelita yang memiliki ilmu kesaktian tinggi itu duduk bertopang dagu. Kudanya menggerogoti rumput kurus tak jauh di depannya. Di dalam perantauannya semenjak meninggalkan Pulau Es Siauw Bwee yang telah mengalami banyak hal hebat, telah pula mematangkan ilmu-ilmunya dan telah menerima ilmu-ilmu baru yang tinggi. Terutama sekali ilmu yang diterimanya dari kakek Lu Gak, yaitu gerakan kaki tangan kilat, benar-benar membuat Siauw Bwee menjadi seorang dara sakti yang akan sukar dikalahkan lawan. Namun, dara yang berilmu tinggi dan yang cantik jelita seperti bidadari ini ternyata tidak berbahagia seperti yang disangka semua orang yang melihatnya. Tidak sama sekali, dia kini duduk termenung penuh penasaran, kekecewaan dan kedukaan.
Kewaspadaan seorang ahli silat tinggi setingkat Siauw Bwee amat luar biasa sehingga seolah-olah penglihatan, pendengaran dan perasaannya, menjadi satu dan selalu siap menjaga diri. Namun, segala kewaspadaan akan hilang apabila manusia dikuasai perasaan duka yang membuat semangat tenggelam. Siauw Bwee benar-benar sedang tenggelam di lautan duka sehingga perlahan-lahan matanya berkilau basah, berkumpul di pelupuk membentuk dua butir mutiara yang turun bergantung pada bulu matanya yang panjang lentik. Kalau ia teringat akan nasibnya, ayahnya sebagai seorang panglima yang gagah perkasa dan setia harus menerima kematian sebagai seorang pemberontak, ibunya yang meninggal dunia dalam keadaan merana berduka, kemudian ia terpaksa harus berpisah dari sucinya Maya dengan kandungan dendam di dalam hati, harus berpisah dari suhengnya dengan kandungan rindu dan kasih tak sampai di hatinya. Siapa yang takkan berduka?
Mutiara Hitam Eps 20 Mutiara Hitam Eps 10 Mutiara Hitam Eps 25