Ceritasilat Novel Online

Mutiara Hitam 32


Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Bagian 32



"Plak-plak-plak-plak"

   Empat kali kedua pipi Suma Kiat ditampar. Biarpun Suma Kiat berusaha mengelak dan menangkis, namun tetap saja tamparan-tamparan itu mengenai kedua pipinya sampai matang biru. Ia terhuyung-huyung mundur beberapa langkah, meraba kedua pipinya lalu mewek, menangis"

   "Piauw-heng.. Piauw-heng.. kau.. kau mau bunuh aku..?"

   Ia mundur-mundur ketakutan. Kiang Liong menggigit bibir,

   "Kalau engkau bukan adik misan, atau kalau engkau sudah berhasil berbuat keji, tentu kau sudah kubunuh sekarang juga. Hayo, pergilah sebelum aku bunuh engkau"

   Suma Kiat membalikkan tubuh lalu.. lari secepatnya meninggalkan kuil itu sambil berteriak-teriak menangis dan memegangi kedua pipinya"

   Kiang Liong menghampiri Kwi Lan, lalu membebaskan totokan di punggung. Kwi Lan bangkit duduk perlahan. Tubuhnya kaku dan sakit-sakit karena terlalu lama lumpuh. Setelah duduk bersila sejenak dan tenaga serta jalan darahnya pulih, ia lalu bangun berdiri. Kiang Liong sudah berada di luar kuil, tadi membiarkan dia beristirahat.

   Kiang Liong sudah duduk bersila di luar kuil, memangku yang-khim, Kwi Lan berhenti dan mendengarkan, terpesona. Indah bukan main petikan Yang-khim itu, suaranya mengalun merdu, kemudian mendengar suara pemuda itu bernyanyi, suaranya halus dan mengandung ketenangan, namun juga menimbulkan haru dan iba. Mutiara Hitam berdiri tertegun, tak bergerak beberapa meter di belakang pemuda itu. Bahkan kuda yang ditinggalkan Suma Kiat dan berada di belakang pemuda itu pun diam, seakan ikut mendengarkan.

   Matahari cerah
menerangi bumi dan angkasa
tidak menembus hatiku
tetap gelap dan gelisah
hanya sepatah kata
kuharapkan dirimu
pengusir gelap dan resah

   Dengan iringan suara yang-khim, nyanyian berhenti dan heninglah keadaan sekeliling tempat itu, Kiang Liong masih duduk bersila memangku yang-khim, tak bergerak seperti arca orang melamun. Kwi Lan menarik napas panjang, melangkah maju dan memanggil.

   "Kiang-kongcu.."

   Kiang Liong terkejut, bangkit berdiri, mengalungkan yang-khim di punggung dan membalikkan tubuh. Mereka berdiri berhadapan, pandang mata mereka bertemu, masing-masing seperti hendak menjenguk isi hati. Perlahan-lahan kedua pipi Kwi Lan menjadi merah. Dalam nyanyian tadi dia merasa seakan-akan pemuda ini bicara kepadanya, seakan-akan dari dialah pemuda itu mengharapkan sepatah kata pengusir gelap dan resah"

   Dengan perasaan wanitanya yang kini amat tajam karena berkali-kali menerima pernyataan cinta, Kwi Lan merasa bahwa pemuda yang perkasa ini, pemuda yang terkenal di kota raja, pemuda idaman setiap wanita remaja, murid Suling Emas, agaknya juga.. jatuh cinta kepadanya, Jelas tersinar dari pandang mata itu. Kwi Lan menunduk, lalu berkata.

   "Kiang-kongcu, kau telah menolongku, membebaskan aku daripada malapetaka. Terimalah ucapan syukur dan terima kasihku, Kongcu."

   Kiang Liong menjura,

   "Ah. Nona mengapa banyak sungkan? Kita sudah pernah senasib sependeritaan di dalam kamar tahanan Bouw Lek Couwsu, kita bersama sudah lolos dari lubang jarum di sana. Apa artinya perbuatanku tadi? Agaknya memang nasib Nona harus mengalami banyak kaget dan ancaman bahaya, namun selalu terhindar ini membuktikan bahwa orang baik selalu dilindungi Thian."

   Kwi Lan bergidik.

   "Tidak sangka.., Suheng makin gila.."

   "Maafkanlah dia, Nona. Suhengmu atau adik misanku itu patut dikasihani. Dia tidak normal dan.. dan baru saja kehilangan ibunya.."

   Kwi Lan menggerakkan pundak. Sukar baginya untuk memaafkan Suma Kiat, biarpun ia tahu bahwa pemuda itu gila, setelah apa yang dilakukan Suma Kiat terhadap dirinya. Menggigil ia kalau ingat pipinya dicium, tubuhnya dipeluk semalaman. Hih, masih untung tidak tercapai maksudnya yang keji. Cepat-cepat ia mengusir kenangan mengerikan ini dan mengalihkan percakapan.

   "Apa yang terjadi di markas Bouw Lek Couwsu, Kongcu? Bagaimana Kongcu dapat lolos dan bagaimana dengan.. Pangeran.. dan teman-teman yang lain?"

   Berdebar jantung Kwi Lan teringat akan Pangeran Talibu, penuh kekhawatiran.

   "Suhu datang setelah gurumu tewas dan berhasil menewaskan Bu-tek Siu-lam. Sungguh harus diakui kecerdikan Hauw Lam. Karena ketajaman lidahnya dan kecerdikannya memanaskan hati gurumulah kita semua selamat. Gurumu berhasil membunuh Bu-tek Siu-lam, akan tetapi tewas pula oleh pengeroyokan yang lain. Kemudian muncul guruku bersama pasukan-pasukan Khitan yang besar jumlahnya. Pasukan Khitan menghancurkan orang-orang Hsi-hsia, sedangkan guruku dikeroyok empat kakek-kakek sakti. Aku tidak tahu bagaimana selanjutnya karena aku dibebaskan Suhu dan disuruh, mengejar Suma Kiat untuk menolongmu."

   Kwi Lan mengerutkan kening. Ia percaya akan kesaktian Suling Emas dan besar harapan Pangeran Talibu dan yang lain-lain akan selamat. Akan tetapi mengapa Kiang Liiong disuruh menolongnya?

   "Gurumu menyuruhmu mengejar Suma suheng dan menolongku?"

   "Aku sendiri tidak mengerti, Nona. Begitu datang, Suhu bertanya kepadaku tentang kau. Ketika aku memberi tahu bahwa kau dibawa lari Suma Kiat, Suhu membebaskan aku dan menyuruh aku cepat mengejar. Suhu agaknya amat memperhatikammu."

   Kwi Lan tidak mengerti, akan tetapi ia tidak memusingkan hal itu lebih lanjut karena ia masih mengkhawatirkan keselamatan yang lain-lain.

   "Bagaimana dengan mereka? Ah, jangan-jangan.."

   "Tak usah khawatir, Nona. Suhu tidak akan menyuruh aku pergi kalau beliau tidak yakin akan kemenangannya. Kurasa mereka semua selamat. Sekarang aku akan kembali ke kota raja mencari berita tentang mereka. Dan engkau, hendak ke manakah, Nona? Kalau tidak berkeberatan, kita melakukan perjalanan bersama,"

   Pandang mata pemuda itu penuh harapan.

   Kwi Lan tersenyum. Semua pemuda yang dijumpainya selalu ingin melakukan perjalanan bersamanya. Semua mencintanya. Tapi di sana ada Pangeran Talibu. Selain Pangeran ini, kalau disuruh memilih, sungguh amat sukar. Semua mempunyai kelebihan dan kebaikan masing-masing.

   "Aku ingin ke Khitan, akan tetapi, baiklah kita ke kota raja dulu, karena aku pun ingin sekali mendengar bagaimana dengan akhir pertempuran di markas orang Hsi-hsia itu,"

   Tentu saja, bagaimana ia dapat pergi ke Khitan menyusul Pangeran Talibu kalau ia belum mendengar tentang keadaan Pangeran itu?

   Berangkatlah mereka ke kota raja. Kiang Liong mempersilakan Kwi Lan naik kuda sedang ia sendiri ber jalan di samping kuda. Pemuda itu nampak gembira bukan main. Besar harapannya melihat sikap gadis itu yang selalu manis dan ramah kepadanya. Ia merasa betapa hatinya benar-benar jatuh terhadap Kwi Lan. Belum pernah selamanya ia menaruh simpati begini besar terhadap seorang gadis, yang kehadirannya membuat matahari bersinar lebih terang, bunga-bunga mekar lebih indah. Ia tidak mau secara sembrono menyatakan cinta kasihnya, dan mengharap senyum itu dapat dimengerti gadis ini. Kelak kalau sudah tiba saatnya, ia akan mengajukan lamaran secara resmi.

   Dapat dibayangkan betapa besar rasa kegembiraan mereka, terutama hati Kwi Lan, ketika mereka tiba di luar kota raja, mereka sudah mendengar berita tentang kesudahan pertempuran di markas Bouw Lek Couwsu. Mereka mendengar berita bahwa markas orang Hsi-hsia dihancurkan oleh Suling Emas dan pasukan Khitan, bahwa Pangeran Talibu dan Puteri Mimi yang ditahan di sana telah dibebaskan dan kembali ke Khitan, juga tentang kematian Siauw-bin Lo-mo dan Pak-sin-ong oleh Suling Emas yang dibantu oleh seorang kakek cebol berkepala raksasa yang amat aneh dan lihai. Dua orang muda itu menduga-duga dan Kiang Liong berkata,

   "Tak salah lagi, kakek aneh itu tentulah Bu-tek Lo-jin"

   "Guru Berandal? Betul-betul dia datang?"

   Tanya Kwi Lan, tertawa geli kalau teringat kepada Hauw Lam. Muridnya begitu ugal-ugalan, entah bagaimana gurunya.

   "Tentu dia, siapa lagi kakek begitu aneh yang dapat menandingi orang-orang seperti Siauw-bin Lo-mo? Akan tetapi, agar dapat mendengar keterangan lebih jelas, mari kita memasuki kota raja. Mungkin Suhu masih berada di kota raja."

   Mereka melanjutkan perjalanan. Di depan pintu gerbang kota raja, mereka disambut pasukan kota raja sebanyak dua losin orang yang dikepalai seorang komandan. Begitu bertemu, komandan itu lalu membentak.

   "Kiang Liong, lebih baik engkau menyerah"

   Kiang Liong terkejut bukan main. ia mengenal komandan ini, seperti juga komandan yang lain. Dia sudah terkenal dan selalu dihormati mereka. Bagaimana sekarang komandan ini membentak suruh ia menyerah?

   "Heii, apa maksudmu?"

   Ia balas bertanya, terheran-heran. Komandan ini berkata angkuh,

   "Lekas berlutut dan dengarkan firman Kaisar"

   Melihat betapa komandan itu mengeluarkan segulung surat perintah, Kiang Liong segera berlutut, mendengarkan bagaikan mimpi suara komandan itu yang lantang membacakan surat perintah. Hampir tidak percaya ia ketika mendengar bahwa surat perintah itu adalah pernyataan Kaisar bahwa dia adalah seorang pemberontak yang memancing permusuhan dengan bangsa Hsi-hsia dan tidak mentaati perintah damai dari Kaisar"

   Ia termenung tak dapat berkata-kata. Ketika komandan menghampirinya membawa belenggu, ia menyerahkan kedua lengannya tanpa membantah, wajahnya pucat.

   "Heii, lepaskan dia"

   Tiba-tiba Kwi Lan menerjang maju dan Si Komandan terpental jauh, jatuh bergulingan dan pingsan. Dua losin tentara mengurung, namun Kwi Lan mengamuk. Begitu kaki tangannya bergerak, enam orang tentara sudah terpelanting, roboh.

   "Nona, jangan.."

   Kiang Liong berseru menahan.

   "Jangan bagaimana? Kiang Liong, engkau mengapa begini lemah? Biar kaisar biar setan kalau perintahnya tidak benar perlu apa ditaati? Kau tidak bersalah hendak ditangkap, masa menyerah begitu saja? Kau boleh menyerah, akan tetapi aku tetap tidak membiarkan kau ditangkap"

   Kiang Liong bingung, apalagi melihat nona itu mengamuk terus dan setiap orang tentara yang mendekatinya tentu terpelanting roboh. Ia menghela napas, kemudian mengambil keputusan untuk sementara lari dan mencari suhunya minta pertimbangan agar mencegah Mutiara Hitam mengamuk yang dapat menimbulkan bencana lebih besar lagi.

   "Baiklah, Mutiara Hitam. Mari kita lari"

   Mereka berdua lalu kabur dengan ilmu lari cepat. Pasukan yang kehilangan komandan karena komandan itu masih pingsan menjadi bingung dan hanya dapat menolong mereka yang terluka dan pingsan. Setelah lari jauh, dengan suara penuh harapan Kiang Liong bertanya,

   "Mutiara Hitam, engkau.. mengapa kau menolongku mati-matian?"

   Kwi Lan tersenyum.

   "Siapa bicara tentang tolong-menolong? Bagaimana aku dapat melihat kau ditangkap begitu saja? Nah, kita berpisah di sini. Aku akan terus ke Khitan."

   "Aku mendengar bahwa Nona adalah puteri Ratu Khitan. Nona hendak menemui ibumu?"

   Di dalam hatinya, Kwi Lan sebetulnya bukan hanya ingin menemui ibunya, melainkan terutama sekali menyusul.. Pangeran Talibu. Akan tetapi ia menjawab dengan anggukan kepala dan melanjutkan,

   "Nah, sampai jumpa."

   "Sampai jumpa, Mutiara Hitam dan terima kasih. Kelak aku akan berkunjung ke Khitan."

   Ketika Mutiara Hitam membalapkan kudanya, Kiang Liong berdiri mengikutinya dengan pandang mata sampai bayangan manusia dan kuda lenyap ditelan debu yang mengebul tinggi. Kemudian Kiang Liong melanjutkan perjalanan, bertanya-tanya dan akhirnya mendengar bahwa Suling Emas setelah menghadap kaisar lalu meninggalkan kota raja dengan wajah muram. Ada tokoh pengemis yang mengetahui bahwa Suling Emas pergi menyusul Yu-pangcu ke Kang-hu. Berangkatlah Kiang Liong ke Kang-hu.

   Pagi hari itu kota Kang-hu kebanjiran.. pengemis. Dari segenap penjuru kota berbondong-bondong datang para pengemis, bahkan banyak pula datang dari luar kota. Berita telah tersiar luar, berita yang amat aneh, yang menarik perhatian bukan saja para pengemis baju kotor, bahkan para pengemis baju bersih, golongan kaum sesat, dan para tokoh kang-ouw juga tertarik. Maka pada hari itu, kota Kang-hu tidak hanya kebanjiran kaum pengemis, bahkan bermacam orang kang-ouw datang berkunjung. Berita apakah yang begitu menarik? Bukan lain adalah berita penantangan Yu Kang Tianglo kepada Suling Emas. Sha-gwee Cap-go. Bulan tiga tanggal lima belas, itulah harinya.

   Perkumpulan pengemis Khong-sim Kai-pang sudah mempersiapkan panggung besar di depan rumah perkumpulan. Sebuah panggung dari papan yang luas, yang biasa disebut panggung tempat pibu (adu silat). Yu Siang Ki atau Yu-pangcu sendiri yang mengatur segalanya, sesuai dengan pesan Suling Emas. Dan malam tadi Suling Emas sudah datang, kini berada di dalam rumah perkumpulan, mengenakan pakaian tambal-tambalan. Bagi mereka yang mengerti duduknya persoalan, menjadi tegang dan gelisah. Yu Kang Tianglo sudah meninggal dunia dan yang kini menggunakan nama Yu Kang Tianglo adalah Suling Emas yang sebenarnya, menantang Suling Emas palsu.

   Yu Kang Tianglo tidak ada dan kini berarti Suling Emas tulen berhadapan dengan Suling Emas palsu, atau lebih tepat, Yu Kang Tianglo palsu berhadapan dengan Suling Emas palsu. Yu Siang Ki sendiri yang menyampaikan surat tantangan dari "Yu Kang Tiang-lo"

   Kepada "Suling Emas"

   Di Lembah Ang-san-tok di Gunung Heng-tuan-san, dan mendapat jawaban siap oleh "Suling Emas"

   Bahkan menentukan jamnya di waktu pagi. Demikianlah, ketika jam penentuan sudah dekat, Suling Emas yang berpakaian sebagai pengemis itu keluar dari dalam rumah perkumpulan, lalu duduk di atas sebuah bangku di atas panggung.

   Sorak-sorai para pengemis menyambut munculnya tokoh ini, terutama dari para anggauta Khong-sim Kai-pang yang mengenal bahwa tokoh besar inilah sesungguhnya Suling Emas tulen. Yang tidak tahu duduknya persoalan dan tidak mengenal Suling Emas, mengira bahwa tokoh ini benar-benar Yu Kang Tianglo tokoh Khong-sim Kai-pang. Suling Emas duduk di atas bangku, hatinya tegang karena ia masih belum mengerti apa maksunya orang memalsukan namanya dan menantang Yu Kang Tianglo. Tentu ada rahasia tersembunyi di balik kejadian ini. Juga ia merasa penasaran dan ingin menguji kepandaian orang yang memalsukan namanya. Tepat pada jam yang ditentukan, tiba-tiba terdengar bunyi melengking tinggi dari jauh, disusul suara, orang.

   "Suling Emas tiba. Adakah Yu Kang Tianglo sudah tiba?"

   Suling Emas terkejut. Bukan main suara itu. Jelas bahwa orang itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, memiliki khikang yang hebat, mampu mengirim suara dari jauh, bahkan mampu menirukan lengkingnya yang khas Suling Emas. Ia lalu bangkit berdiri dari bangkunya, berdongak dan membusungkan dada, kemudian menjawab dengan pengerahan khikang sehingga suaranya dapat mencapai tempat jauh, ke arah dari mana suara tadi terdengar.

   "Yu Kang Tianglo siap menerima kunjungan Suling Emas"

   Keadaan menjadi hening. Mereka yang hadir dan memenuhi tempat di bawah panggung menjadi tegang. Tak lama kemudian tampak berkelebat bayangan dan bagaikan seekor burung besar, di atas panggung itu muncul seorang laki-laki tua yang meloncat turun seperti burung terbang cepatnya. Ketika semua orang memperhatikan, terdengar suara ketawa di sana-sini.

   Laki-laki itu sudah tua, lebih tua sedikit daripada Suling Emas, tubuhnya kurus sekali, jenggotnya panjang, hidungnya mancung dan mulutnya membayangkan keangkuhan. Akan tetapi yang lucu adalah pakaiannya. Pakaian itu terlalu besar gedobyoran akan tetapi di bagian dadanya jelas tersulam sebatang suling dengan latar belakang bulan purnama, persis seperti tanda gambar pada pakaian Suling Emas. Bahkan Yu Siang Ki sendiri terheran-heran dan mendongkol menyaksikan pemalsuan yang mentertawakan ini. Orang ini bukan muncul seperti Suling Emas yang terkenal kegagahan dan ketampanannya, melainkan sebagai seorang badut. Betapapun juga, harus ia akui bahwa cara laki-laki tua ini datang benar amat mengagumkan, sesuai dengan ilmunya yang tinggi.

   Kalau semua orang memperhatikan dan mentertawakan, adalah Suling Emas yang memandang dengan serius dan terkejut. Orang ini bukan semata-mata hendak memalsukan namanya, pikirnya. Pemalsuan yang dibuat untuk berolok-olok, memperolok Suling Emas karena orang ini jelas sengaja memakai pakaian yang kebesaran dan kedodoran seperti hendak memperlihatkan bahwa Suling Emas hanya seorang badut. Ia cepat menyambut dengan kedua tangan di depan dada, sambil memandang tajam ia bertanya.

   "Benarkah yang saya hadapi ini adalah Suling Emas yang menantang Yu Kang Tianglo?"

   Sambil bicara, Suling Emas sengaja hendak menguji lawannya, mengerahkan sin-kang pada kedua tangannya yang mendorong. Orang itu balas menjura, menangkis dengan sin-kang pula, dan biarpun tubuh orang itu agak doyong ke belakang sedikit, namun Suling Emas harus mengakui bahwa tenaga sin-kang orang itu tidak lemah. Orang itu pun biar tahu bahwa lawannya benar bertenaga hebat, tidak kelihatan takut, bahkan tersenyum mengejek dan balas bertanya.

   "Sebelum saya menjawab, saya hendak bertanya apakah yang saya hadapi ini benar-benar Yu Kang Tianglo yang gagah perkasa?"

   Suling Emas tercengang, menduga-duga siapa gerangan orang ini. Ia merasa disindir dan menjadi tidak enak sekali. Bagaimana ia dapat menuduh orang palsu kalau ia sendiri juga palsu? Segera ia berkata lagi, suaranya tetap halus.

   "Sepanjang ingatanku, di antara Yu Kang Tianglo dan Suling Emas terjalin persahabatan yang erat, bagaimana sekarang terjadi permusuhan? Apa kehendak yang tersembunyi di balik kelakuanmu, sobat?"

   "Tidak salah"

   Orang itu menjawab, matanya menentang tajam.

   "Memang dahulu terjalin persahabatan yang erat, akan tetapi persahabatan erat dapat putus kalau seorang di antara mereka berkhianat"

   Suling Emas makin tidak enak. Pandang mata orang itu biarpun membayangkan kekerasan hati, namun menyinarkan keberanian dan kejujuran. Maka ia merasa tidak perlu pura-pura dan berkata.

   "Sobat, terus terang saja, aku tidak mengenalmu. Tidak perlu memalsukan nama Suling Emas, lebih baik menggunakan nama sendiri. Ingat, Suling Emas masih hidup"

   Orang itu tertawa bergelak, suara ketawanya nyaring sekali, tanda bahwa lwee-kangnya sudah matang,

   "Ha-ha-haha. Alangkah lucunya, Memalsukan nama orang yang sudah mati saja ada orang berani lakukan, mengapa memalsukan nama orang yang masih hidup tidak berani? Sedikitnya, yang terakhir ini lebih jujur dan berani dari yang terdahulu"

   Merah Suling Emas. Ia merasa disindir-sindir. Apa hak orang ini menyindirnya kalau ia mengaku bernama Yu Kang Tianglo? Sedikitnya tidak merugikan Yu Kang Tianglo yang sudah mati, dan ia pun menyamar bukan dengan maksud buruk. Maka ia lalu maju selangkah dan berkata.

   "Sobat, engkau Suling Emas palsu. Akulah Suling Emas"

   Kembali orang itu tertawa,

   "Begitukah? Apakah engkau ini sebangsa bunglon bisa saja berganti-ganti nama seenaknya? Kemarin mengaku Yu Kang Tianglo kini mengaku Suling Emas? Ho-ho, tidak begitu mudah, sobat. Akulah Suling Emas"

   Suasana menjadi makin tegang dan di antara para pengemis Khong-sim Kai-pang sudah ada yang berteriak,

   "Hantam saja Suling Emas palsu ini"

   "Enyahkan si badut"

   "Buka kedoknya"

   Suling Emas makin mendongkol,

   "Hemm, kalau kau berkeras berarti engkau menghendaki kekerasan?"

   "Terserah. Demi kebenaran, aku tidak takut kepadamu"

   "Baik. Majulah"

   Bentak Suling Emas.

   Dua orang itu lalu bergerak maju. Suling Emas yang ingin mencoba kepandaian orang itu sudah menerjang dengan pukulan-pukulan berat. Namun orang itu ternyata lincah sekali, dapat mengelak cepat dan menangkis, bahkan balas menyerang. Ternyata bahwa ilmu silat tangan kosong orang ini cukup lihai dan memiliki daya tahan yang kuat luar biasa sehingga kalau ia melanjutkan pertandingan tangan kosong itu tentu makan waktu yang lama. Apalagi kalau ia pikir bahwa tidak sekali-kali ia ingin mencelakakan orang ini sebelum ia mengetahui apa latar belakang perbuatannya yang aneh. Maka ia lalu mengirim pukulan sambil melangkah maju, ketika melihat betapa lawannya menerima pukulannya dengan jari terbuka itu dengan dorongan yang sama agaknya untuk mengadu tenaga, ia mengerahkan tenaga.

   Dua telapak tangan bertemu keras sekali dan akibatnya.., tubuh keduanya terpental ke udara dan mencelat ke belakang. Hanya bedanya, kalau Suling Emas hanya berjungkir balik satu kali saja, lawannya berjungkir balik sampai tiga kali baru turun ke atas papan panggung. Sorak-sorai tepuk tangan menyambut demonstrasi ini. Dalam penglihatan mereka yang kurang tinggi ilmunya, gerakan "Suling Emas"

   Itu lebih indah karena sampai tiga kali berjungkir balik, akan tetapi dalam pandangan yang mengerti, kakek yang memalsu nama Suling Emas itu jelas kalah kuat tenaganya. Kini mereka sudah berhadapan lagi. Suling Emas ingin menguji apakah pemalsuannya juga mempunyai suling, maka sekali tangannya bergerak, sebatang suling emas berkilauan berada di tangan kanannya.

   "Ha-ha-ha-ha. Lucu sekali, Yu Kang Tianglo yang sudah mati kini hidup lagi dan senjatanya berubah menjadi suling emas. Sebaliknya Suling Emas yang sudah puluhan tahun tenggelam entah ke mana kini muncul dengan tongkat di tangan"

   Berkata demikian, kakek itu mengeluarkan sebatang tongkat rotan kecil dari tangannya, dan langsung menyerang Suling Emas. Tongkat rotan kecil itu ketika digerakkan mengeluarkan bunyi melengking-lengking. Melihat ini, Suling Emas dan Yu Siang Ki mengeluarkan seruan kaget. Suling Emas cepat menangkis dengan sulingnya dan ketika lawannya menerjang terus sampai belasan jurus secara bertubi-tubi, ia cepat mencelat ke belakang sambil berseru,

   "Tahan dulu. Sobat, pernah apakah engkau dengan Yu Kang Tianglo almarhum?"

   Orang itu memandang Suling Emas dengan mata melotot,

   "Kau sudah tahu almarhum, kenapa masih tega memalsukan namanya? Suling Emas adalah seorang pendekar sakti yang dikagumi seluruh dunia kang-ouw, mengapa menjadi pengecut, menyembunyikan diri seperti penjahat dikejar, kemudian menyelinap bersembunyi di bawah nama Yu Kang Tianglo? Mengapa orang yang sudah mati diganggu, biarpun oleh sahabatnya sendiri? Seorang laki-laki sudah berani berbuat berani bertanggung jawab, tidak nanti melarikan diri daripada tanggung jawab. Yang tidak berani mengakui semua perbuatannya, yang tidak berani menghadapi kenyataan pahit sebagai akibat perbuatannya, tidak patut disebut laki-laki. Hayo, kalau mau dilanjutkan aku akan melayani sampai mati"

   Suling Emas seperti ditusuk jantungnya. Ia memejamkan mata menahan keperihan hati. Kata-kata tadi amat menusuk perasaannya karena tepat sekali menyindir keadaannya. Puluhan tahun menyembunyikan diri, melarikan diri dari Ratu Yalina, dari musuh-musuh mendiang ibunya. Kemudian ia melihat akibat perbuatannya dengan terlahirnya Kiang Liong, terlahirnya Talibu dan Kwi Lan. Akan tetapi ia tetap masih menyembunyikan semua itu, dengan dalih menjaga nama baik mereka. Ah, lebih tepat menjaga nama baiknya sendiri. Ia memang pengecut selama ini"

   "Sudahlah"

   Katanya dengan keluhan berat dengan dua titik air mata membasahi matanya dan sekali renggut robeklah jubah pengemis dan tampak pakaian aselinya, pakaian Suling Emas.

   "Akulah Suling Emas dan memang aku pernah mempergunakan nama mendiang sahabat Yu Kang Tianglo. Akan tetapi hal ini tidak menyinggung siapapun juga. Siapakah engkau ini yang mencampuri urusanku?"

   "Tidak menyinggung orang lain akan tetapi menyinggung aku, Suling Emas"

   Kata kakek itu sambil merobek pula jubah "Suling Emas"

   Nya dan ternyata ia berpakaian ringkas sederhana.

   "Namaku adalah Ong Toan Liong dan aku suheng dari Yu Kang Tianglo. Ketika engkau menyamar sebagai Yu Kang Tianglo, aku besusah payah membantu Kauw Bian Cinjin membalaskan kehancuran Beng-kauw. Dan engkau enak-enak saja mempermainkan kaum pengemis dengan penyamaranmu."

   Suling Emas tertegun dan pada saat itu, Yu Siang Ki melompat naik ke atas papan panggung, langsung berlutut di depan kakek itu sambil berseru,

   "Ong supek (Uwa Seperguruan Ong).., Mendiang Ayah banyak bercerita tentang Supek.. kenapa baru sekarang Supek memperkenalkan diri?"

   Ong Toan Liong atau yang terkenal dengan julukan Hui-to-ong (Raja Golok Terbang) mengelus kepala dan pundak murid keponakannya,

   "Aku sudah tua dan tadinya ingin mengaso di pegunungan. Siapa tahu timbul urusan kehancuran Beng-kauw dan urusanmu di sini. Ayahmu dulu sering menyatakan kepadaku bahwa ia ingin sekali melihat puteranya menjadi seorang gagah, akan tetapi tidak perlu melanjutkan hidup sebagai pengemis. Siapa kira, Suling Emas yang kukagumi malah menjadi gara-gara kau diangkat menjadi pangcu."

   Suling Emas berdiri melamun dengan hati duka. Pada saat itu, di antara para penonton meloncat naik seorang pemuda yang langsung berlutut di depan Suling Emas sambil berseru,

   "Suhu.."

   
Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Suling Emas memandang dan ketika mengenal bahwa pemuda ini adalah Kiang Liong hatinya seperti diremas dan kembali dua titik air mata meloncat keluar ke atas pipinya,

   "Liong-ji.., (Anak Liong..), mengapa kau menyusulku..?"

   Kiang Liong melangkah heran. Baru kali ini suhunya memanggilnya Liong-ji dengan suara menggetar seperti itu. Tidak biasanya gurunya memperlihatkan kelemahan. Alangkah herannya ketika ia merasa kepalanya dielus-elus dan dibelai, dan lebih terkejut lagi melihat dua titik air mata di atas pipi gurunya. Kiang Liong memang sedang bingung dan berduka karena ia menjadi orang buruan pemerintah. Maka kini dielus-elus dan melihat gurunya terharu, ia pun tak dapat menahan hatinya dan betapapun ia menggigit bibir, tetap saja air matanya jatuh berderai.

   "Suhu.. Suhu.. teecu.., ahhh.."

   Barulah Suling Emas terkejut dan sadar akan keadaannya. Tentu telah terjadi peristiwa yang amat hebat maka muridnya yang biasanya tenang ini sampai menangis. Ia cepat membalikkan tubuh menjura ke arah Ong Toan Liong dan berkata.

   "Cukuplah, Ong-twako. Maafkan semua kesalahanku dan selamat berpisah. Siang Ki, kau turutlah semua petunjuk supekmu. Hayo Liong ji, kita pergi"

   Ia menarik tangan Kiang Liong dan mereka berdua meloncat jauh dan lenyap dalam sekejap mata.

   Sepeninggalan Suling Emas dan muridnya, Yu Siang Ki lalu membubarkan pertemuan, kemudian ia mempersilakan supeknya masuk ke dalam. Di situ supek dan murid keponakan itu menceritakan pengalaman masing-masing. Akhirnya atas permintaan Siang Ki, sesuai pula dengan keinginan ayahnya agar ia tidak menuntut penghidupan pengemis. Siang Ki mohon kepada supeknya agar sudi membimbing Khong-sim Kai-pang karena ia sendiri ingin merantau memperluas pengetahuannya. Ong Toan Liong yang tahu pula bahwa kedudukan kaum kai-pang terancam oleh kaum sesat, menyanggupi, maka secara resmi Ong Toan Liong diangkat menjadi Ketua Khong-sim Kai-pang. Beberapa hari kemudian Yu Siang Ki lalu pergi merantau, tentu saja tujuan pertama perjalanannya adalah menyusul Song Goat, tunangannya.

   Adapun Suling Emas membawa muridnya keluar kota. Di tempat sunyi jauh di luar kota, mereka berhenti, duduk di pinggir jalan dan Kiang Liong lalu menceritakan pengalamannya, semenjak ia mengejar Suma Kiat sampai ia hampir ditangkap oleh pasukan kota raja.

   "Tidak sekali-kali teecu hendak memberontak terhadap perintah Kaisar, Suhu. Akan tetapi Mutiara Hitam mengamuk dan merobohkan para perajurit, kemudian memaksa teecu untuk melarikan diri. Teecu bingung dan terpaksa lari, lalu teecu mencari Suhu untuk mohon pertimbangan. Teecu dianggap pemberontak dan tidak mentaati Kaisar. Kalau memang Suhu memutuskan bahwa teecu harus menyerahkan diri, sekarang juga teecu akan berangkat ke kota raja."

   Suling Emas termenung. Kemudian dengan suara berat ia berkata,

   "Kiang Liong, sebelum aku bicara tentang hal itu, lebih dulu kau bersiaplah menerima pembukaan rahasia besar hidupmu. Liong-li, ketahuilah, Nak, bahwa engkau ini sebenarnya adalah puteraku sendiri."

   "Suhu.."

   Wajah Kiang Liong menjadi pucat sekali ketika ia menengadah dan menatap wajah gurunya.

   Suling Emas tersenyum. Kini hatinya bebas tidak terdapat ganjalan seperti biasanya kalau ia berhadapan dengan puteranya ini. Ong Toan Liong memang betul. Orang tidak perlu bersembunyi dari kenyataan, baik manis maupun pahit. Orang tidak bisa lari daripada pertanggungan-jawab perbuatannya. Sudah berani berbuat harus berani menanggung risiko, betapapun beratnya. Setelah dihadapi kenyataannya malah tidak seberat kalau dijadikan ganjalan hati.

   "Bukan suhu, melainkan ayah, Anakku. Dengarlah baik-baik dan engkau tidak perlu tersinggung atau malu karena cinta kasih antara ibumu dan aku dahulu adalah cinta kasih yang murni, yang diputuskan orang karena paksa. Dahulu sebelum menikah dengan ayahmu, ibumu dan aku saling mencinta.."

   Suling Emas lalu menceritakan semua pengalamannya dengan Suma Ceng, ibu Kiang Liong (dalam cerita Cinta Bernoda Darah).

   "Demikianlah, cinta kasih antara kami direnggut. Kami dipisahkan dengan paksa, sedangkan ibumu telah mengandung engkau, Anakku. Hanya untuk menjaga nama baik keluarga ayah bundamu, maka engkau diberi she Kiang seperti ayahmu. Padahal engkau adalah puteraku, dan hal ini agaknya diketahui pula oleh ayahmu maka dia membesarkan engkau menjadi muridku."

   Makin lama mendengar cerita Suling Emas, makin pucat wajah Kiang Liong, dan akhirnya ia menubruk kaki Suling Emas sambil mengeluh.

   "Ayahhh.."

   "Liong-ji, anakku. Mulai sekarang, kita tidak perlu berpura-pura, tidak perlu bersembunyi, kau sebut ayah padaku, jangan suhu. Aku sudah bosan untuk berpura-pura bersih. Kita tidak perlu berpaling lagi dari kenyataan."

   "Ayah.., kiranya Ayah demikian menderita oleh asmara. Ah, semoga saja tidak menurun kepadaku, Ayah."

   Merah wajah Suling Emas. Ah, Anakku engkau tidak tahu, aku belum bercerita tentang Ratu Yalina"

   Akan tetapi ia menekan perasaannya dan berkata,

   "Ada terjadi apakah, Liong-ji?"

   "Ayah, terus terang saja, setelah mengetahui bahwa engkau adalah ayahku, dan karena Kaisar menganggap aku pemberontak, aku segan kembali ke kota raja. Aku.. aku.. mohon Ayah sudi melamarkan.."

   "Ah, engkau mempunyai pilihan hati? Semoga engkau bahagia, tidak seperti ayahmu. Siapakah gadis itu, Liong-ji? Tentu Ayah akan melamarkan untukmu, karena engkau sudah cukup dewasa."

   "Dia bukan orang lain, masih anak keponakan Ayah sendiri, yaitu Mutiara Hitam."

   Kata Kiang Liong sambil menundukkan muka. Dan untung bagi Suling Emas bahwa pada saat itu Kiang Liong menundukkan muka, kalau tidak tentu akan melihat betapa wajahnya menjadi pucat sekali dan matanya terbelalak lebar.

   Harus diakui bahwa Suling Emas adalah seorang pendekar besar yang sudah menguasai perasaan hatinya, tenang dalam segala hal, bahkan dalam menghadapi bahaya maut sekalipun. Akan tetapi, mendengar betapa puteranya jatuh cinta dan minta dilamarkan puterinya, ia hampir pingsan. Timbul penyesalan yang amat besar di hatinya, semua ini terjadi sebagai tamparan bagi mukanya, tamparan yang keluar dari mulut Ong Toan Liong. Mengingatkan ia akan semua peristiwa dahulu, semua perbuatannya, karena hal-hal ini timbul sebagai akibat daripada perbuatannya dahulu. Akan tetapi mengakui sekarang di depan Kiang Liong bahwa pemuda ini melamar adik sendiri? Ah, ia tidak tega. Ia sendiri mengakui semua perbuatannya, bersedia memetik buah tanamannya sendiri, namun mengingat puteranya, ia tidak sampai hati. Dengan suara halus ia berkata.

   "Liong-ji, kau tidak usah kembali ke kota raja. Dan tentang perjodohan, marilah kau ikut bersamaku ke Khitan."

   Hanya sekian Suling Emas berkata, tidak sanggup bicara panjang karena khawatir kalau-kalau lidahnya tak kuasa membendung pertahanan hatinya.

   Seperti juga mendiang ibunya, betapapun tidak waras otak Suma Kiat namun ia mempunyai kecerdikan dan kelicinan yang luar biasa. Setelah maksud hatinya memperisteri Kwi Lan secara paksa digagalkan Kiang. Liong, Suma Kiat melarikan diri dan pemuda ini terus menuju ke Khitan. Untuk kembali ke kota raja, ia tidak berani karena, ia tentu akan ditangkap sehubungan dengan persekutuannya dengan Bouw Lek Couwsu. Pula, ia pergi ke Khitan bukan tanpa tujuan. Ia harus mendahului Kwi Lan menemui Ratu Khitan yang menurut ibunya adalah adik ibunya sendiri, jadi bibinya. Suma Kiat melakukan perjalanan tak kunjung henti dan ia tiba di kota raja Khitan dalam keadaan lelah dan lapar. Pakaiannya kotor dan robek-robek, mukanya pucat kurus. Ketika para pengawal mendengar bahwa orang asing ini hendak menghadap Ratu, ia ditangkap dan Suma Kiat sama sekali tidak melakukan perlawanan. Karena para pengawal menaruh curiga, ia dihadapkan kepada Panglima Kayabu.

   "Saya ingin menghadap Ratu Khitan dan ingin bicara empat mata. Saya adalah anak keponakannya"

   Berkali-kali Suma Kiat berkata dan akhirnya oleh Panglima Kayabu sendiri di bawah ke istana menghadap Ratu Khitan. Begitu berhadapan dengan ratu yang masih cantik dan bersikap agung itu, serta merta Suma Kiat menjatuhkan diri berlutut dan menangis menggerung-gerung.

   "Aduh, Bibi.., keponakanmu ini mengalami penderitaan yang hebat."

   Ratu itu berkata dalam bahasa Han yang fasih, sedikit pun tidak kaku seperti kalau orang Khitan lain bicara,

   "Orang muda, tenanglah. Engkau siapa?"

   "Ibu saya bernama Kam Sian Eng.."

   "Ahhh.."

   Ratu Yalina lalu memberi isyarat dengan matanya kepada Panglima Kayabu agar meninggalkan mereka berdua. Panglima yang setia ini bangkit, mengangguk lalu pergi meninggalkan ratunya bersama orang muda itu. Biarpun ia masih menaruh curiga kepada pemuda itu, namun mendengar bahwa pemuda itu putera Kam Sian Eng, pemuda itu benar keponakan Sang Ratu. Pula, ia tidak perlu khawatir karena ilmu kepandaian ratunya amat tinggi sehingga tak mungkin diganggu lawan apalagi seperti orang muda itu.

   Ratu Yalina bergetar hatinya, akan tetapi ketika mengamat-amati wajah pemuda itu, ia teringat akan Suma Boan dan teringatlah ia betapa dahulu kakak angkatnya, Kam Sian Eng, terbujuk dan tergila-gila kepada putera pangeran yarig bernama Suma Boan yang kemudian menipunya. Karena patah hati, Kam Sian Eng menjadi gila, secara aneh mendapatkan ilmu-ilmu yang hebat, dan bersama dia membunuh Suma Boan. Akan tetapi hubungannya dengan Suma Boan itu telah membuat Kam Sian Eng mengandung dan dalam keadaan mengandung Kam Sian Eng lari minggat entah ke mana. Kiranya inikah puteranya?

   "Siapa namamu?"

   Tanyanya kepada pemuda yang masih menangis.

   "Nama saya Suma Kiat.."

   Ratu Yalina tersenyum dan yakinlah ia sekarang bahwa ini memang putera Suma Boan. Ternyata kakak angkatnya itu masih mengakui bekas kekasihnya dan memberi she Suma kepada puteranya.

   "Ah, kalau begitu engkau benar keponakanku. Kiat-ji (Anak Kiat), setelah bertemu bibimu, kenapa kau menangis?"

   "Aduh, Bibi, yang mulia, kasihanilah hamba.. yang sudah sebatangkara ini."

   "Heh? Ke mana Ibumu?"

   "Ibu.. Ibu tewas dalam membela dan menyelamatkan puteri Bibi.."

   ".. puteriku? Siapa..?"

   Wajah Ratu Yalina berubah tegang.

   "Siapa lagi kalau bukan Kwi Lan Si Mutiara Hitam?"

   Berdebar jantung Ratu Yalina. jadi benarkah puterinya yang hilang itu berjuluk Mutiara Hitam?

   "Bagaimana engkau bisa tahu dia puteriku?"

   Tanyanya makin tegang.

   "Mendiang Ibu yang menceritakan. Ibu mengambilnya ketika masih bayi dan Kwi Lan menjadi muridnya.."

   "Ceritakan semua.., lekas ceritakan semua, anakku"

   Ratu Yalina berseru sambil menyambar tangan Suma Kiat dan menariknya masuk ke ruangan dalam. Ia berseru memanggil pelayan untuk menyediakan makan minum bagi orang, muda ini. Para pelayan terheran-heran dan diam-diam Suma Kiat terkejut karena tangan halus yang mencekal lengannya itu mengandung tenaga dalam yang hebat luar biasa. Sambil makan minum, berceritalah Suma Kiat tentang Kwi Lan. Tentu saja ia menonjolkan kebaikan-kebaikan ibunya dan dia sendiri. Akhirnya ia menceritakan peristiwa di markas Bouw Lek Couwsu dan dengan akal cerdik ia berkata,

   "Saya hanya ikut dengan ibu dan agaknya ibu yang termasuk seorang di antara Bu-tek Ngo-sian kena bujuk Bouw Lek Couwsu untuk memusuhi Kerajaan Sung. Akan tetapi ketika ibu melihat bahwa di markas Bouw Lek Couwsu itu terdapat tahanan-tahanan penting, yaitu Pangeran Talibu dan Puteri Mimi.."

   "Untung mereka sudah bebas dan sedang berangkat pulang. Aku telah mendengar laporan dari pembawa berita, akan tetapi tidak jelas. Hanya mendengar bahwa Talibu dan Mimi ditawan orang-orang Hsi-hsia akan tetapi kini telah bebas. Bagaimana sesungguhnya yang terjadi?"

   "Saya sendiri tidak tahu jelas, Bibi. Hanya kalau tidak salah, mereka itu ditawan karena Bouw Lek Couwsu hendak memaksa Khitan membantunya kalau dia menyerbu Kerajaan Sung."

   Ratu Yalina mengangguk-angguk,

   "Hemmm, begitukah? Kalau begitu Bouw Lek Couwsu belum mengenal watak bangsa Khitan yang perkasa"

   Nah, lanjutkan ceritamu, anakku"

   "Ketika ibu melihat Pangeran Talibu dan Puteri Mimi ditahan, apalagi ketika melihat Sumoi Kwi Lan ditahan pula dan hendak diperhina Bu-tek Ngo-sian, ibu lalu marah dan membunuh Bu-tek Siulam. Akan tetapi ibu dikeroyok banyak orang sakti sehingga tewas dalam usaha menolong Sumoi"

   Tak terasa lagi kedua mata Ratu Yalina menjadi basah air mata. Biarpun Enci Sian Eng telah menculik bayiku, akan tetapi akhirnya dia mengorbankan nyawa untuk anaknya. Kasihan Enci Sian Eng. Demikian keluh hatinya.

   "Lanjutkan, anakku."

   Katanya memandang Suma Kiat dan kini wajah pemuda itu kelihatan tampan dan simpati.

   "Saya lalu membawa pergi Sumoi. Sampai di tengah jalan, karena Ibu telah tidak ada, saya sampaikan pesan terakhir Ibu kepada Sumoi. Siapa kira.. Sumoi menjadi marah-marah dan hampir saja saya dibunuhnya.. uuh-huk-huk.. Bibi, lebih baik Bibi bunuh saja saya agar tidak menanggung malu dan sengsara lebih lama lagi. Kalau saya tidak dapat memenuhi pesan terakhir Ibu, apa gunanya hidup menjadi seorang anak puthauw (durhaka)?"

   Pemuda ini menangis lagi. Ratu Yalina menjadi terheran.

   "Ah, kau tenanglah, Kiat-ji. Apakah pesan terakhir Ibumu?"

   "Ibu berpesan kepada saya bahwa saya dan Sumoi harus menjadi suami isteri."

   "Aahh.., begitukah?"

   Kembali Ratu Yalina mengangguk-angguk.

   "Dan Kwi Lan menolak?"

   "Tidak hanya menolak, bahkan marah dan hampir membunuhku."

   Di dalam hatinya Ratu Yalina tertegun. Puterinya yang berjuluk Mutiara Hitam itu agaknya liar dan galak, seperti.. eh, dia dahulu. Selalu menurutkan kehendak hati sendiri, tidak terkekang, seperti kuda liar.

   "Kau.. kalah olehnya? Bukankah kau suhengnya?"

   "Sumoi lihai sekali, dan saya.. saya tidak tega untuk melawannya.."

   Ratu Yalina kembali memandang wajah tampan itu. Ia makin kasihan dan makin suka kepada pemuda ini. Kalau Enci Sian Eng sudah berpesan demikian.. hemm, akan kulihat nanti kalau berjumpa dengan Mutiara Hitam.

   "Tenangkan hatimu, Kiat-ji. Aku menghargai pesan ibumu, dan urusan ini baik ditunda lebih dulu. Kelak kalau aku bertemu dengan puteriku, akan kita bicarakan lagi. Kau mengasolah."

   Ratu Yalina memanggil pelayan dan pemuda itu lalu dipersilakan mengaso di sebuah kamar indah di kompleks istana, diberi pakaian serba indah dan hidangan-hidangan lezat. Terhibur juga rasa hati Suma Kiat yang selama ini mengalami kesengsaraan.

   Tentu saja Kwi Lan sama sekali tidak pemah menduga bahwa Suma Kiat telah mendahuluinya ke Khitan. Tidak seperti Suma Kiat yang melakukan perjalanan siang malam, ia menuju ke Khitan tidak tergesa-gesa, sambil melihat pemandangan indah. Maka ketika ia tiba di Khitan, Suma Kiat sudah lama berada di sana, bahkan Pangeran Talibu dan Puteri Mimi sudah lama pula kembali ke kota raja Khitan. Kwi Lan yang sudah merasa rindu sekali kepada Pangeran Talibu, lalu bertanya-tanya di mana adanya Pangeran ini. Karena yang bertanya adalah seorang wanita yang agaknya baru saja belajar bahasa Khitan, dan melihat wajah Kwi Lan memang patut menjadi peranakan Khitan, orang-orang yang ditanyai tidak menaruh curiga, mengira bahwa nona itu memang seorang pelancong yang ingin tahu saja. Akhirnya Kwi Lan mendapat keterangan bahwa Pangeran Talibu tinggal di sebuah gedung indah di lingkungan Istana, di sebelah kiri dimana terdapat pertamanan luas mengelilingi gedungnya.

   Mendengar ini, Kwi Lan mencari kesempatan di waktu pagi hari yang masih sunyi, dengan menggunakan kepandaiannya ia melompat masuk melalui dinding yang mengelilingi taman luas. Karena Istana selalu aman dan dinding itu tinggi, maka penjagaan tidak begitu ketat sehingga Kwi Lan dapat melompat masuk tanpa diketahui penjaga. Berdebar jantung Kwi Lan. Bagaimana nanti penerimaan Pangeran Talibu? Bagaimana kalau tidak mau menerimanya? Ah, tidak mungkin. Terbayang olehnya semua peristiwa di kamar tahanan ketika dia dan Pangeran Talibu diberi racun. Terbayanglah kemesraan dan cinta kasih Pangeran itu kepadanya yang tidak hanya terpancar dari sinar mata dan sentuhan tangan, dekapan dan ciuman, akan tetapi juga dari kata-katanya. Masih berkumandang di telinganya suara Pangeran itu menggetar penuh perasaan.

   "Demi Tuhan"

   Aku mencintamu, Mutiara Hitam. Aku cinta kepadamu seperti kepada diri sendiri"

   Ia menyusup-nyusup dan menyelinap di antara pohon-pohon dan bunga. Kemudian tampak olehnya sebuah pondok kecil di tengah taman. Pondok itu sudah tua dan tidak begitu mewah, bahkan dindingnya ada yang sudah robek-robek kulitnya. Agaknya memang dibiarkan demikian karena tampak lebih artistik (nyeni). Ia berindap-indap mendekati dan jantungnya berdebar tidak karuan ketika ia mendengar suara orang yang dirindukan selama ini. Suara Talibu di sebelah belakang pondok. Ia cepat menghampiri dan memutari pondok, lalu mengintai. Benar saja dugaannya. Pangeran itu berada di belakang pondok, diruangan luar. Alangkah tampannya. Alangkah gagahnya. Pakaiannya begitu cermerlang indah, serba mengkilap dan berkilauan. Topinya terhias naga emas yang aneh, bentuknya, dadanya bergambarkan Dewa Matahari.

   Pedangnya panjang dengan gagang terukir indah, dari emas bertabur batu permata. Sejenak Kwi Lan terpesona dan terharu. Demikian tampannya pria ini sampai menimbulkan haru di hati. Akan tetapi hatinya mulai panas terbakar ketika ia melihat siapa teman Pangeran bercakap-cakap. Puteri Mimi lagi. Dan mereka duduk bersanding di bangku dengan sikap begitu mesra. Mereka saling berpegangan tangan saling pandang, dan dari gerak-gerik, pandang mata, dari seluruh pribadi kedua orang itu jelas memancarkan cinta kasih menggelora. Pening rasa kepala Kwi Lan. Ia memejamkan matanya dan hampir terguling roboh kalau ia tidak cepat-cepat menekan dinding pondok dengan tangan tanpa disadari mulutnya mengeluarkan suara keluhan perlahan. Namun suara ini cukup untuk membuat Pangeran Talibu dan Puteri Mimi bangkit dan membalikkan tubuh.

   "eh, kau.. Mutiara Hitam.."

   Seru Puteri Mimi dengan suara girang. Namun Pangeran Talibu tidak berkata apa-apa, hanya memandang dengan mata terbelalak. Ia dapat melihat kemarahan, kehancuran hati, terbayang pada wajah dan pandang mata itu dan ia tahu apa sebabnya. Maka ia lalu berkata gagap,

   "Mutiara Hitam, sudahkah kau bertemu ibunda Ratu..? Mari kuantar kau menghadap.."

   "Tidak perlu. Semua orang boleh saja tidak pedulikan diriku.."

   Dengan isak tertahan Kwi Lan membalikkan tubuh dan meloncat pergi. Hatinya perih dan patah. Kekasihnya direnggut orang. Ingin ia mengamuk. Memang ia akan mengamuk, akan menemui Ratu Khitan, menuntut bahwa dia sebagai puteri disia-siakan. Dengan kemarahan meluap-luap ia keluar dari taman mencari jalan ke istana.

   "Sumoi.."

   Kwi Lan terhenti seperti disambar kilat. Di depannya telah berdiri Suma Kiat dengan wajah berseri dan pakaian indah. Sungguh ia terheran-heran dan tidak dapat mengeluarkan kata-kata, hanya memandang dengan mata lebar.

   "Ah, Sumoi, kau baru datang? Kami sangat mengharap-harap kedatanganmu.."

   "Kau..? Di sini..?"

   Kwi Lan akhirnya dapat menegur. Wajah Suma Kiat berseri-seri,

   "Sudah lama aku tinggal di sini. Bibi Ratu menerimaku dan.. dan pesan mendiang ibu disetujui. Ya, adikku sayang. Dengan perkenan Bibi Ratu, kita dijodohkan. Kau dan aku. Akhirnya kita berjodoh juga, Adikku dan aku akan menjadi pangeran mantu"

   Wajah Kwi Lan menjadi merah sekali, matanya menyorotkan kemarahan hebat. Jadi inikah sebabnya? Inikah sebabnya mengapa Pangeran Talibu menerimanya begitu dingin? Pantas saja Pangeran Talibu mengajak dia bertemu dengan Ratu, kiranya ada urusan ini. Tentu Suma Kiat telah membujuk bibinya tentang perjodohan dan Ibunya.. ah, ibunya yang sejak ia kecil menyia-nyiakan itu telah menyetujuinya. Tentu saja Pangeran Talibu sudah tahu akan hal ini dan memutuskan pertalian cinta.

   "Keparat.."

   Tubuhnya menerjang ke depan menyerang Suma Kiat.

   "Eh.. eh, Sumoi.. eh.."

   Suma Kiat mengelak dan menangkis. Namun Kwi Lan tidak main-main dan serangannya bertubi-tubi dan hebat. Akhirnya sebuah pukulan membuat Suma Kiat roboh.

   Kwi Lan menubruknya dan menghujani pukulan. Kalau tidak ingat bahwa orang ini putera gurunya, tentu ia sudah mengirim pukulan maut. Dia masih ingat ini dan pukulan-pukulannya hanya pukulan dengan tenaga luar saja yang membuat Suma Kiat mengaduh-aduh. Mulut dan hidung pemuda itu mengucurkan darah, mukanya bengkak-bengkak dan kaki tangannya lumpuh karena ditotok. Kwi Lan dengan hati sakit dan gemas bukan main terus memukul sampai Suma Kiat pingsan. Kemudian ia menyeret leher baju pemuda itu, terus menarik dan menyeretnya menuju ke pondok di mana tadi ia melihat Pangeran Talibu. Pangeran Talibu dan Puteri Mimi sedang membicarakan Mutiara Hitam. Hati Pangeran itu gelisah sekali melihat sikap Mutiara Hitam. Ia sudah menceritakan segalanya kepada Mimi dan gadis ini sampai menangis saking terharu kepada Kwi Lan yang nasibnya begitu buruk, dipermainkan keadaan.

   Dia sendiri begitu bahagia, kehilangan kakak kandung mendapatkan tunangan. Cinta antara saudara berubah menjadi cinta asmara. Pangeran Talibu mengajaknya menyusul Mutiara Hitam, karena menurut Mimi, tidak mengapalah kalau Pangeran itu sendiri menjelaskan duduknya perkara, membuka rahasia saudara kembar kepada Mutiara Hitam. Akan tetapi, pada saat mereka hendak keluar dari pondok, tampak Mutiara Hitam datang menyeret tubuh Suma Kiat yang pingsan. Pangeran dan puteri itu kaget sekali, memandang dengan mata terbelalak. Kwi Lan menyeret terus kemudian melempar tubuh Suma Kiat ke depan kaki Pangeran Talibu, suaranya dingin matanya berapi ketika ia berkata.

   "Orang inikah yang hendak dijodohkan denganku? Aku tidak sudi. Aku bukan seorang yang begitu mudah berubah, bukan seorang yang tidak setia. Biar Ratu sendiri yang menentukan, tetap kutentang. Sekarang juga hendak kusampaikan kepada Ratu Khitan"

   Sebelum Pangeran Talibu sempat bicara, Mutiara Hitam sudah melompat pergi dan lari meninggalkan tubuh Suma Kiat yang menggeletak pingsan dengan muka bengkak-bengkak dan hidung mulut berdarah.

   Kwi Lan berlari terus memasuki Istana. Penjaga-penjaga tercengang dan hendak melarang akan tetapi gadis itu terlalu cepat sehingga sebentar saja ia sudah sampai di ruangan tengah. Pengawal dalam sebanyak tiga orang cepat menghadang dan hendak menangkapnya, akan tetapi dengan gerakan yang luar biasa cepatnya Kwi Lan sudah menangkap seorang di antara mereka, mengerahkan lwee-kang membuat tubuh pengawal itu terangkat dan diputar ke arah dua yang lain. Mereka bertiga roboh bergulingan dan gadis ini menyelinap masuk terus.

   "Tangkap penjahat.."

   Para pengawal berseru dan sebentar saja Kwi Lan terkurung belasan pengawal yang mencabut senjata.

   "Boleh tangkap aku kalau mampu. Aku Mutiara Hitam hendak bertemu dengan Ratu Khitan, siapa pun kalau menghalangi akan mampus di ujung pedangku"

   Ia sudah mencabut pedang dan siap mengamuk. Pada saat itu terdengar bentakan halus dan semua pengawal lalu mundur dengan wajah terheran. Kwi Lan mengangkat muka dan memandang wanita yang berjalan dengan langkah ringan menghampirinya. Wanita setengah tua yang cantik jelita berpakaian indah. Mereka saling pandang, seperti terkena pesona, keduanya menduga, menaksir, menyelidiki.

   "Engkau Mutiara Hitam..?"

   "Engkau Ratu Khitan..?"

   Pertanyaan mereka hampir berbareng terucapkan. Ratu Yalina terhuyung maju, kedua tangan dikembangkan hendak memeluk, wajahnya pucat dan matanya penuh air mata. Akan tetapi Kwi Lan dengan cemberut mengelak, pandang matanya penuh tantangan, penuh tuduhan, penuh penyesalan. Menggigil bibir Ratu Yalina menahan tangis, menahan jerit hatinya,

   "Kau.. kau.., telah belasan tahun menyiksa hatiku.. kau.."

   Ia tak dapat melanjutkan, tubuhnya lemas, kakinya gemetar, air matanya bercucuran. Kwi Lan tetap cemberut. Kekecewaannya tentang Pangeran Talibu masih menyesak di dada.

   "Siapa yang menyakitkan hati? Siapa yang menyia-nyiakan anak? Siapa yang membuang anak begitu saja seperti orang membuang sampah?"
(Lanjut ke Jilid 32 - Tamat)
Mutiara Hitam (Seri ke 04 "

   Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 32 (Tamat)
"Haaahhh.."

   Ratu Yalina menahan jerit, hampir mencekik leher sendiri dengan tangannya, matanya terbelalak memandang gadis itu.

   "Begitukah kiranya? Kau belum mengerti? Aduh, Kwi Lan.. Mutiara Hitam.. mari kita bicara.."

   Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ia maju memegang tangan Kwi Lan untuk diajak masuk kamar, akan tetapi Kwi Lan merenggut lepas tangannya dan berjalan di belakang orang yang menjadi ibu kandungnya ini. Ia kagum dan timbul rasa sayang dan haru, akan tetapi semua perasaan ini terbendung oleh kemarahannya. Selain menyia-nyiakannya, kini ibu ini masih menjodohkan dia dengan seorang gila macam Suma Kiat. Sampai di dalam kamar Ratu Yalina yang gemetar kakinya itu duduk mempersilakan Kwi Lan duduk. Akan tetapi Kwi Lan tetap berdiri di depan Ratu, tidak mau duduk, siap mendengarkan.

   "Kau anakku.. ah, betapa rinduku kepadamu. Akan tetapi baiklah kau dengarkan penuturanku agar kau tidak salah paham. Ketika kau terlahir dan dibawa oleh perawat, kau diculik oleh Enci Sian Eng yang membunuh perawat itu. Pada waktu itu tidak ada seorang pun tahu siapa penculiknya, tahu-tahu Si Perawat itu mati dan kau lenyap. Betapa sengsara hatiku, betapa selama belasan tahun hatiku tersiksa. Sudah kuperintahkan semua panglimaku untuk pergi mencari, menyelidiki, namun hasilnya sia-sia belaka, kini kau datang.. Anakku, kenapa kau bersikap begini..? Aku ibumu, ibu yang melahirkanmu, aku.. betapa rinduku.. ah, Anakku.."

   Melihat wanita itu menangis terisak-isak, Kwi Lan menjadi terharu. Akan tetapi ia masih marah dan dua macam perasaan ini mengaduk hatinya, membuat ia lemas dan akhirnya ia menjatuhkan diri di bangku lalu menangis tersedu-sedu, menutupi muka dengan kedua tangan. Air matanya mengalir keluar melalui celah-celah, jarinya. Ratu Yalina bangkit berdiri, menghampiri anaknya. Ia tahu bahwa anak ini memiliki watak aneh dan keras sekali, tidak kalah oleh wataknya dahulu ketika muda. Betapapun inginnya ia memeluk, ia menahan hati dan ingin memecahkan persoalan yang mengganggu hati puterinya lebih dahulu.

   "Ada apakah, Anakku? Engkau agaknya bingung dan marah. Ada apakah?"

   "Ibu.. Ibu terlalu. Sudah menyia-nyiakan hidupku sehingga terpaksa aku hidup seperti setan bertahun-tahun lamanya di istana bawah tanah, kini setelah aku dewasa, tanpa bertanya-tanya Ibu.. menjodohkan aku dengan iblis jahanam macam Suma Kiat. Begini bencikah Ibu kepadaku?"

   Ratu Yalina mau tak mau tersenyum geli di balik keharuannya. Ia memegang pundak Kwi Lan, dengan halus berkata,

   "Tidak, Anakku. Aku sama sekali tidak memutuskan tentang perjodohanmu. Memang Suma Kiat bilang bahwa mendiang ibunya berpesan begitu. Akan tetapi aku tidak akan mengambil keputusan mengenai perjodohanmu dengan siapapun juga. Tentang perjodohan kuserahkan kepadamu, kalau kau tidak cocok dengan siapa pun Ibumu takkan melarang.."

   Timbul harapan di hati Kwi Lan, akan tetapi karena malu, ia masih menutupi mukanya ketika berkata,

   "Aku tidak mau menikah dengan siapapun juga di dunia ini kecuali dengan Pangeran Talibu"

   Kalau ada halilintar menyambar kepalanya di saat itu, kiranya Ratu Yalina tidak akan sekaget ketika mendengar ucapan ini. Ia terhuyung ke belakang, tangan kanan meraba dada yang seakan-akan berhenti berdetik, kepalanya pening. Pada saat itu, dari pintu menerobos masuk Pangeran Talibu. Melihat keadaan ibunya yang pucat terbelalak seperti hampir roboh dan Kwi Lan yang duduk menangis menutupi muka, ia berseru memanggil,

   "Ibu.."

   Dan melompat menghampiri. Kehadiran Pangeran ini mendatangkan tenaga baru bagi Ratu Yalina. Ia cepat memegang tangan Pangeran Talibu seperti mencari bantuan tenaga, kemudian berkata, suaranya menggigil,

   "Talibu.. dia.. dia cinta padamu.. dia.. ingin menikah denganmu.. oohh, Anakku.."

   Kini Ratu Yalina tak dapat menahan kehancuran hatinya lagi. ia menubruk dan memeluk leher Kwi Lan, menciumi muka gadis itu sehingga muka Kwi Lan yang sudah basah oleh air matanya sendiri kini makin basah oleh air mata ibunya.

   "Kwi Lan.. Anakku.. aduhhh, kasihan sekali kau.. ketahuilah, Anakku.. dahulu kau terlahir kembar.. engkau terlahir tak lama setelah kakakmu terlahir. Kemudian engkau diculik Enci Sian Eng.. dan.. dan kakakmu.. kakak kembarmu.. dia Pangeran Talibu.."

   Terdengar suara melengking menyayat hati ketika tubuh Kwi Lan roboh terguling dari atas kursinya, pingsan. Ibunya dan kakaknya menubruk, menangis dan berusaha menyadarkannya. Tapi setelah sadar, Kwi Lan meloncat ke atas menjauhi mereka, rambutnya terlepas awut-awutan, matanya liar, hidungnya kembang-kempis seakan-akan sukar bernapas. Ia memandangi mereka bergantian, dengan mata terbelalak seperti seekor kelinci yang ketakutan.

   ".. Anakku.. Kwi Lan anakku.."

   Ratu Yalina mengembangkan tangannya, hatinya hancur oleh keharuan dan kecemasan melihat Kwi Lan, khawatir kalau-kalau gadis itu berubah ingatan karena duka.

   ".. Adikku.. Kwi Lan.."

   Suara Pangeran Talibu parau, pipinya basah, akan tetapi ia memandang adiknya dengan senyum penuh kasih. Melihat ini, naik sedu-sedan dari dada Kwi Lan memenuhi kerongkongannya, kemudian ia meloncat ke depan Talibu, tangannya bergerak menampar.

   

Cinta Bernoda Darah Eps 23 Suling Emas Eps 22 Suling Emas Eps 5

Cari Blog Ini