Ceritasilat Novel Online

Mutiara Hitam 14


Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Bagian 14



"Manusia iblis. Kau bukan manusia, engkau setan. Engkau akan menyeret Hek-coa Kai-pang ke dalam neraka" Dengan kemarahan meluap, Hoan-lokai sudah menerjang maju lagi. Di tangan kanannya tampak seekor ular hitam yang panjangnya semeter lebih. Ular itu mendesis-desis dan kepalanya menyambar, mendahului tangan Hoan-lokai, ke arah leher Bu-tek Siu-lam. Namun tokoh aneh itu hanya tersenyum dan sekali dua jari tangan kirinya menyambar ke depan, leher ular itu telah putus karena telah digunting kedua buah jari tangannya tadi.

   Hoan-lokai melempar bangkai ular hitamnya dan hatinya marah bercampur duka. Ular hitam itu bukan sembarang ular, melainkan binatang peliharaannya. Sesuai dengan nama perkumpulan Hek-coa Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Ular Hitam), maka semenjak dahulu para pemimpinnya tentu memelihara ular hitam yang mempunyai dua kegunaan. Pertama adalah dipelihara untuk diambil racunnya yang dapat dicampur dengan obat penguat tubuh, kedua kalinya di waktu amat perlu dapat dipakai sebagai senjata yang ampuh karena ular hitam ini beracun. Kini ular yang sudah dipeliharanya bertahun-tahun itu demikian mudah terbunuh"

   Sambil memekik keras Hoan-lokai lalu menerjang maju dan kali ini kedua kepalan tangannya secara berbareng, dengan pengerahan tenaga Tiat-ciang-kang sekuatnya, menghantam perut.

   "Wuuuttt.. ceppp.."

   Dua buah kepalan tangan Hoan-lokai masuk ke perut karena sama sekali tidak dielakkan oleh Bu-tek Siu-lam. Akan tetapi segera kakek pengemis itu meronta-ronta dan mukanya menjadi pucat sekali, keringatnya keluar memenuhi muka yang berkerut-kerut. Jelas bahwa ia menderita nyeri yang hebat. Kedua kepalan tangannya yang masuk ke dalam perut lawan itu seperti dibakar api panasnya. Rasa panas menjalar melalui lengan terus ke seluruh tubuh. Ia berusaha untuk meronta, mengerahkan seluruh tenaga untuk mencabut keluar kedua tangannya, namun sia-sia belaka. Bu-tek Siu-lam hanya tertawa, suara ketawanya lucu menyeramkan.

   "Pergilah"

   Bentaknya nyaring dan tubuh Hoan-lokai terdorong ke belakang ketika Bu-tek Siu-lam mengerahkan tenaga. Akan tetapi sebelum tangannya terlepas dari "cengkeraman"

   Perut, terlebih dahulu terdengar suara "pletok-pletok"

   Dua kali dan ketika kedua tangan itu sudah bebas, ternyata tulang-tulang tangannya sudah remuk dan patah-patah. Kedua lengan itu tergantung lumpuh dan rasa nyeri menusuk sampai ke jantung dan tulang sumsum.

   Muka Hoan-lokai menyeramkan sekali. Rasa nyeri membuat mukanya pucat penuh keringat, dan garis-garis keriputnya makin dalam, matanya merah dan basah, mulutnya menyeringai. Dia memang seorang yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi karena kecerdikannya kurang, maka Hoan-lokai tak dapat sadar bahwa kini ia berhadapan dengan lawan yang jauh lebih tinggi ilmunya. Saking hebatnya rasa sakit yang dideritanya, ia menjadi makin marah dan nekat. Dengan pekik yang menyeramkan ia lalu menerjang maju lagi, kedua lengannya bergantungan lumpuh, dan kini ia menyerang dengan menggunakan kepalanya. Serudukan seperti ini sama sekali tak boleh dipandang ringan karena dengan kepalanya, Hoan-lokai sanggup menyeruduk roboh sebuah dinding tembok yang kuat. Akan tetapi Bu-tek Siu-lam hanya berdiri dengan tegak sambil tertawa ha-ha-hi-hi, memasang perutnya yang sengaja ia busungkan untuk diseruduk lawan. Tak dapat dihindarkan lagi tubrukan antara kepala dan perut itu.

   "Suppp"

   Kepala itu dengan tepat menghantam perut dan tiba-tiba perut yang tadinya membusung itu serentak mengempis sehingga kepala Hoan-lokai tersedot masuk ke rongga perut"

   Aneh sekali kejadian ini. Kepala menancap di perut sampai dalam sehingga mata dan hidung Hoan-lokai tak tampak, hanya mulutnya yang tampak menggigit-gigit bibir seperti menahan kesakitan hebat. Kedua lengan yang tangannya remuk itu bergerak-gerak seperti meronta, demikian pula kedua kakinya menendang-nendang tanah di bawahnya. Biarpun semua orang yang hadir belum pernah menyaksikan ilmu yang sehebat itu, yaitu menggunakan perut menangkap kepala orang, namun semua sudah dapat menduga betapa kepala Hoan-lokai, seperti kedua tangannya tadi, akan menjadi remuk tergencet.

   Pada saat itu, dari bawah puncak gunung terdengar suara orang tertawa, suara ketawanya keras sekali dan terbahak-bahak terpingkal-pingkal seakan-akan orang itu melihat sesuatu yang amat lucu. Terdengar lucu sekali, akan tetapi semua pengemis yang berkumpul di dekat puncak menjadi kaget dan berdiri bulu tengkuk mereka karena suara ketawa ini bergema di empat penjuru dan mendatangkan hawa dingin yang membuat jantung seakan-akan berhenti berdetik. Mereka saling pandang dengan melongo. Belum lenyap suara gema ketawa itu, tiba-tiba muncul orangnya. Amat tidak patut dengan suara ketawanya. Kalau suara ketawanya besar dan dalam, panjang dan bergema, sepatutnya suara seorang raksasa tinggi besar, orangnya ternyata biasa saja, bahkan kurang daripada ukuran biasa. Kecil kurus, sedemikian kurusnya seperti cecak kering, tinggal kulit membungkus tulang-tulang yang kecil, sudah amat tua sehingga sukar ditaksir berapa usianya.

   Rambutnya hanya sedikit di atas kepalanya yang kecil, alisnya tebal panjang menutupi matanya yang hanya tampak sebagai dua bayangan hitam. Namun kumisnya yang melintang di tengah muka yang sempit itu amat panjang. Punggungnya dilingkari sabuk yang aneh dan lucu pula karena sabuk itu penuh dengan dompet-dompet kecil berjajar di sekeliling perutnya. Di punggungnya tampak sebuah bambu yang panjangnya dua kaki, diikat di punggung dengan tali. Bajunya berlengan pendek sebatas pangkal lengan, celananya panjang kakinya telanjang. Benar-benar seorang yang aneh dan lucu sekali. Apalagi kalau orang melihat mukanya, muka yang kelihatan serius dan galak, pantasnya ia pemarah sehingga sama sekali tidak cocok dengan suara ketawa terkekeh-kekeh yang keluar dari mulutnya sedangkan mulut itu sendiri tidak tertawa.

   Berbareng dengan munculnya kakek yang aneh ini, dari bawah puncak muncul pula serombongan orang yang beraneka macam bentuk dan pakaiannya, akan tetapi sebuah bendera yang dipegang oleh seorang di antara mereka bertuliskan huruf Thian-liong-pang dengan gambar seekor liong (naga). Kiranya rombongan itu adalah rombongan perkumpulan Thianliong-pang yang sudah kita kenal, yaitu perkumpulan yang diselewengkan oleh Sin-seng Losu dan dua belas orang murid-muridnya, yaitu yang terkenal dengan julukan Dua Belas Ekor Naga. Melihat rombongan ini, mudahlah diduga sekarang siapa adanya kakek kecil kurus yang aneh itu. Dia bukan lain adalah Siauw bin Lo-mo (Iblis Tua Muka Tertawa). Siauw-bin Lo-mo yang belum lama ini menggemparkan dunia persilatan.

   Sebetulnya, julukannya Iblis Tua Muka Tertawa kurang tepat karena biarpun suaranya kalau tertawa seperti orang terpingkal-pingkal, akan tetapi mukanya sama sekali tak pernah memperlihatkan senyum sedikit pun, apalagi ketawa. Kedua kaki orang aneh ini tidak tampak bergerak, akan tetapi tahu-tahu ia sudah berada di depan Bu-tek Siu-lam, yaitu di belakang tubuh Hoan-lokai yang kepalanya masih "menancap"

   Dalam perut Bu-tek Siu-lam. Melihat datangnya orang kate kecil ini, Bu-tek Siu-lam sama sekali tidak memandang mata dan ia masih tersenyum-senyum bangga sedangkan kedua kaki Hoan-lokai masih berkelojotan dalam usahanya membebaskan kepalanya dari perut lawan. Kepalanya terasa makin panas seperti akan meledak dan sakitnya tak dapat diceritakan lagi saking hebatnya.

   "Huah-hah-heh-heh-heh"

   Siauw-bin Lo-mo tertawa bergelak tanpa menggerakkan bibir atau membuka mulut. Suara ketawa itu seperti keluar dari dalam perutnya yang kecil.

   "Gunung di barat takkan dapat berjumpa dengan laut di selatan akan tetapi setan dari barat hari ini bertemu dengan iblis dari selatan. Huah-hah-hah-hah. Aku mendengar kau yang berjuluk Bu-tek Siu-lam, jangan kau bermain-main seorang diri"

   Setelah berkata demikian, kaki kiri Siauw-bin Lo mo diangkat dan ditendangkan ke arah pantat Hoan-lokai.

   "Bukkk"

   Tendangan ini kelihatannya hanya tendangan biasa saja, akan tetapi kelirulah kalau orang mengira demikian, karena tendangan kaki telanjang yang kecil itu mengandung tenaga sakti yang hebat sehingga Hoan-lokai yang ditendang pantatnya itu tiba-tiba merasa betapa serangkum tenaga yang berhawa panas memasuki tubuhnya dan berkumpul di pusar. Sebagai seorang ahli silat tinggi tentu saja Hoan-lokai maklum bahwa ada orang yang membantunya, maka cepat ia mengerahkan tenaga panas itu dari pusar terus ke atas, keluar dari kepalanya untuk melawan gencatan perut Bu-tek Siu-lam yang hebat.

   Kaget sekali Bu-tek Siu-lam. Hawa panas yang keluar dari kepala Hoan-lokai itu amat hebat dan kalau ia melawannya keras sama keras, dia terancam bahaya karena perut merupakan bagian tubuh yang lemah dan gawat. Kalau sampai sebuah di antara isi perutnya terluka, hebatlah akibatnya. Tentu saja ia tidak mau mengambil resiko berat ini dan sambil berseru keras ia membusungkan perutnya sehingga tubuh Hoan-lokai bagaikan sebuah peluru meluncur ke arah manusia kate yang lihai itu. Sambil tertawa-tawa Siauw-bin Lomo menggerakkan tangan kirinya dan sekali tangan ini bergerak entah bagaimana, tubuh Hoan-lokai yang menyambar ke arahnya itu tiba-tiba membalik dan kini dengan kecepatan yang tak kalah besarnya meluncur dan menyambar kembali ke arah Bu-tek Siu-lam.

   Kiranya sekarang ternyata bahwa Si Kecil ini sama sekali tidak bermaksud menolong Hoan-lokai, melainkan tadi melalui tubuh Hoan-lokai hendak mencoba-coba kepandaian Si Iblis Banci. Kasihan sekali nasib Hoan-lokai. Dia boleh jadi tergolong seorang tokoh yang berkepandaian tinggi di antara para anggauta Hek-coa Kai-pang, akan tetapi di tangan dua orang aneh ini, ia seolah-olah menjadi seekor kelinci di antara dua ekor harimau buas"

   Sama sekali tidak berdaya dan kepalanya pening pandang matanya berkunang-kunang ketika tubuhnya kini menjadi semacam bola yang ditendang pergi datang oleh hawa pukulan kedua orang aneh itu. Tanpa menyentuh tubuhnya, dua orang aneh itu hanya dengan dorongan tangan dari jauh, dapat membuat tubuhnya terlempar ke sana ke mari"

   Sambil mempermainan tubuh Hoan-lokai yang beterbangan pulang pergi di udara, dua orang itu sudah bercakap-cakap seenaknya"

   "Heh manusia kerdil, melihat bahwa kau sudah mengenal namaku dan memiliki kepandaian yang tidak buruk, kau tentu bukan sembarang orang. Siapakah kau dan apakah nyawamu rangkap maka kau berani mencoba untuk main-main dengan aku?"

   Bu-tek Siu-lam bertanya, sikapnya masih memandang rendah dan mengejek.

   "Hoh-hoh-huh-huh, manusia pesolek, Bu-tek Siu-lam. Kau boleh. jadi merupakan setan di barat dan ditakuti orang, akan tetapi jangan mengira bahwa aku Si Tua Bangka yang sudah terlalu tua takut kepadamu. Ha-ha-hah, alangkah lucunya kalau seorang tokoh muda hijau seperti Bu-tek Siu-lam mengira bisa membikin gentar Siauw-bin Lo-mo"

   Kakek kecil itu tertawa terus, akan tetapi mulutnya tidak bergerak dan kini dorongannya membuat tubuh Hoan-lokai makin cepat dan kuat meluncur ke arah Bu-tek Siulam.

   "He-he-hi-hi-hik."

   Kiranya Siauw-bin Lo-mo si Iblis Tua Bangka. Pantas, pantas sekali. Orangnya ternyata lebih buruk daripada namanya"

   Bu-tek Siu-lam tidak menanti sampai tubuh Hoan-lokai menyambar dekat. Ia memapaki dengan dorongan jarak jauh sambil mengerahkan tenaga.

   Dua tenaga sinkang raksasa bertemu di udara, menggencet tubuh Hoan-lokai dan.. tubuh kakek pengemis itu terhenti di udara, di tengah-tengah antara mereka seakan-akan tertahan oleh dua tenaga besar yang saling bertemu di udara"

   Kini setelah saling memperkenalkan diri dan tahu bahwa lawan masing-masing adalah seorang yang memiliki kepandaian hebat, kedua orang ini tidak main-main lagi. Dengan berdiri tegak, tangan kanan mereka diulur ke depan dengan jari tangan terbuka dari mana meluncur tenaga sakti yang tak tampak, yang "menahan"

   Bahkan mendorong tubuh Hoan-lokai di tengah udara. Wajah mereka berkeringat, tekanan makin hebat dan keduanya tidak mau saling mengalah.

   Celaka sekali adalah Hoan-lokai. Tadi ia diperlakukan seperti sebuah bola dilontarkan ke sana ke mari sehingga kepalanya pening, pandang matanya berkunang dan kini, tertahan oleh gencetan dua tenaga dahsyat itu, ia merasa tubuhnya terjepit dan sukar bernapas. Makin lama makin hebat dan akhirnya ia mengeluarkan teriakan menyeramkan, tubuhnya lalu menjadi lemas dan dari hidung, mulut dan telinganya bercucuran darah. Hoan-lokai tewas dalam keadaan masih mengapung di tengah udara. Melihat ini, kedua orang aneh itu menarik kembali tangannya dan tubuh Hoan-lokai terbanting berdebuk ke atas tanah. Bu-tek Siu-lam tertawa terkekeh-kekeh dan berkata,

   "Iblis tua bangka kurus kering benar-benar mengagumkan"

   Siauw-bin Lo-mo tertawa juga.

   "Engkau hebat, akan tetapi belum tentu aku kalah. Bangkai ini tak menyenangkan, lebih baik disingkirkan saja"

   Mendengar ucapan datuk mereka, orang-orang Thian-liong-pang maju hendak menyeret mayat Hoan-lokai, akan tetapi Siauw-bin Lo-mo mencegah dengan gerakan tangan, lalu berkata.

   "Tak usah, tak usah, kenapa banyak repot untuk menyingkirkan bangkai ini?"

   Anak buah Thian-liong-pang mundur kembali dan memandang heran.

   Kakek kecil itu sambil mengeluarkan suara tertawa-tawa lalu meraba bumbung bambu di punggungnya, mengambil sebuah botol kecil dan membuka tutup botol, menuangkannya beberapa tetes cairan berwarna kuning ke atas mayat Hoan-lokai. Tampak asap mengebul dan bau sangit. Ketika semua orang memandang ke arah mayat itu, mereka membelalakkan mata saking kaget dan herannya. Bahkan Bu-tek Siu-lam sendiri bergidik. Mayat itu berikut pakaiannya mulai lenyap, melumer menjadi cairan berwarna kuning. Bukan main kakek ini, pikir Bu-tek Siu-lam. Racun cairan di dalam botol tadi benar-benar amat hebat. Dengan racun seperti itu saja, kakek ini sudah dapat menebus kekalahan ilmu silat dan merupakan lawan yang amat berbahaya dan harus diperhatikan. Dalam waktu singkat saja lenyaplah mayat Hoan-lokai. Cairan kuning lenyap pula, masuk ke dalam tanah. Siauw-bin Lo-mo masih tertawa-tawa, kemudian menghadapi Bu-tek Siu-lam sambil berkata.

   "Bagaimana, bocah tampan. Apakah kau masih belum mau mengakui kelihaian kakekmu?"

   Bu-tek Siu-lam mengangguk-angguk.

   "Memang hebat. Patut kau menjadi iblis bangkotan dari selatan. Akan tetapi, tentang kedudukan bengcu, nanti dulu. Belum mau aku menyerahkannya kepadamu sebelum kau mengalahkan aku dan agaknya takkan mudah bagimu untuk mengalahkan guntingku ini, orang tua, biarpun kau mempunyai racun neraka itu"

   "Huah-hah-hah, bocah muda omongannya besar. Apakah hanya engkau saja yang menjadi sainganku? Ataukah masih ada yang lain? Kalau masih ada, lebih baik suruh mereka maju semua agar tidak kepalang tanggung aku turun tangan membuang keringat menghadapi mereka"

   Ucapan kakek kecil ini membuat Bu-tek Siu-lam mendongkol. Wah, tua bangka ini benar-benar sombong bukan main, pikirnya, tentu memiliki ilmu simpanan yang ampuh. Sebelum Bu-tek Siu-lam sempat menjawab, terdengar bunyi pekik seperti lolong serigala, terdengar dari utara. Lolong ini hebat bukan main, menggetarkan tanah dan pohon-pohon di puncak itu, dan bergema di sekeliling puncak. Belum lenyap gema suara melolong mengerikan ini, orangnya sudah muncul.

   Kakek yang muncul kali ini sama anehnya dengan dua orang pertama, akan tetapi lebih lucu lagi agaknya. Tinggi kurus, mukanya seperti tengkorak, kepalanya ditutupi sebuah topi yang tinggi, sepasang matanya hanya tampak dua lubang hitam yang amat dalam sehingga tak tampak biji matanya, tangan kanan memegang sebuah senjata yang aneh, berbentuk seperti pedang, ujungnya berkait dan bergigi seperti gergaji. Tangan kirinya memegang segulung tali kecil yang ujungnya mengikat sebuah pancing bermata kail pula. Benar-benar seorang aneh, akan tetapi pakaiannya tidak kalah mewah oleh pakaian Bu-tek Siu-lam. Berbareng dengan munculnya tokoh aneh ini, muncul pula serombongan orang tinggi besar yang galak sikapnya dan aneh pakaiannya. Kiranya mereka ini adalah orang-orang Khitan dan Mongol, orang orang dari utara. Melihat rombongan ini, mudah saja diduga siapa tokoh aneh itu.

   "Heh-heh-hik-hik. Siapa lagi badut ini kalau bukan Jin-cam Khoa-ong (Raja Algojo Manusia)"

   Kata Bu-tek Siu-lam. Mendengar ini, Siauw-bin Lo-mo memandang penuh perhatian dan amat tertarik, kemudian sambil tertawa-tawa ia pun berkata,

   "Aha, kiranya yang hadir adalah Pak-sin-ong yang terkenal. Bagus, tidak percuma kalau begini kedatanganku, bertemu dengan orang-orang yang bernama besar"

   Bu-tek Siu-lam adalah seorang yang cerdik. Tadi, sungguhpun hanya mengukur kekuatan sinkang masing-masing, ia telah mencoba kelihaian Siauw-bin Lo-mo dan maklum bahwa betapapun lihai kakek kecil itu, ia sanggup menandinginya. Kini muncul lagi seorang saingan yang namanya sudah terkenal sekali, maka ia pun tidak mau menyia-nyiakan waktu dan ingin mencobanya sebelum bertanding memperebutkan kedudukan bengcu. Sambil tersenyum mengejek ia lalu menghadapi Pak-sin-ong atau Jin-cam Khoa-ong dan berkata.

   "Pak-sin-ong terkenal sebagai seorang algojo, maka ke mana-mana membawa gergaji. Agaknya tali itu untuk mengikat korban selain untuk mancing, dan gergaji itu jelas untuk menggorok leher. Hi-hi-hik. Senjatamu lucu sekali, Pak-sin-ong akan tetapi aku sangsi apakah cukup kuat menandingi gunting dan jarum benangku"

   Sambil berkata demikian, Bu-tek Siu-lam sudah mencabut guntingnya yang dipegang di tangan kiri sedangkan tangan kanannya sudah mengeluarkan sebatang jarum besar dengan gulungan benangnya. Pak-sin-ong mengerutkan keningnya. Dia memang aneh dan lucu pakaiannya, akan tetapi sikapnya sama sekali tidak ramah apalagi lucu. Ia seorang yang sikapnya angkuh.

   Tadi begitu muncul dan menghadapi teguran-teguran Bu-tek Siu-lam dan Siauw-bin Lo-mo, ia hanya berdiri dengan kedua kaki terbuka lebar, dada dibusungkan dan kepala dikedikkan, muka agak berdongak memandang kedua orang itu dengan sikap angkuh sekali. Hal ini tidak aneh karena di dunia utara, ia mengangkat diri sendiri menjadi raja, bahkan diperlakukan sebagai raja oleh anak buahnya, yaitu segolongan bangsa Khitan dan Mongol. Kini mendengar ucapan Bu-tek Siu-lam yang tidak hanya amat menghina akan tetapi juga terang-terangan menantangnya itu, mukanya seketika menjadi merah sekali dan dari dua lubang matanya menyambar sinar berapi. Mulut yang seperti tengkorak hidup itu agak tersenyum mengejek, kemudian terdengar suaranya,

   "Bu-tek Siu-lam, sudah lama kudengar namamu. Ternyata memang kau pesolek, genit, sombong dan menjemukan. Nah, rasakan kelihaian Pak-sin-ong"

   Begitu kata-katanya berhenti, sinar putih yang menyilaukan mata sudah menyambar ke depan. Itulah senjata gergajinya yang sudah ia gerakkan membacok dengan gerakan menarik ke arah perut Bu-tek Siu-lam. Kecepatan gerak dan angin yang didatangkan oleh serangan ini cukup dahsyat dan agaknya kalau perut orang kena disambar gigi-gigi gergaji dengan kekuatan sehebat itu, tentu akan terbelah dan isi perutnya akan cerai-berai.

   "Traanggg.."

   Pak-sin-ong terhuyung mundur tiga langkah, juga Bu-tek Siulam terdorong ke belakang ketika senjata gergaji itu bertemu dengan gunting besar di tangan Si Tokoh Genit. Mereka memandang kagum dan muka mereka berubah sedikit. Pertemuan kedua senjata ini cukup bagi mereka untuk mengetahui bahwa lawan tak boleh dipandang ringan.

   "Siuuuuutttt.."

   Kini sinar yang kecil panjang menyambar dari tangan kiri Pak-sin-ong, sinar ini melengkung dan melayang ke atas, lalu dari atas menyambar ke arah kepala Bu-tek Siu-lam.

   "Cringgg.."

   Sinar kecil putih itu terpental kembali ketika tertumbuk oleh sinar kecil kuning yang meluncur dari tangan kanan Bu-tek Siu-lam. Ternyata tali yang ujungnya terdapat sebuah pancing itu tertangkis oleh jarum besar yang diikat benang. Kembali kedua orang ini mendapat kenyataan bahwa lawan masing-masing selain memiliki tenaga yang kuat, juga sama-sama ahli dalam menggunakan senjata rahasia bertali itu. Melihat betapa dua orang yang sudah bergebrak dua kali itu kini saling pandang dan kelihatan ragu-ragu, Siauw-bin Lo-mo tertawa terpingkal-pingkal tanpa menggerakkan mulutnya. Melihat ini, Pak-sin-ong diam-diam meremang bulu tengkuknya. Benar-benar kakek kecil itu menyeramkan sekali, pikirnya.

   "Huah-ha-ha-ha, belum juga lecet kulitnya, kenapa sudah ragu-ragu dan takut-takut? Setelah kita datang, hayo kita putuskan siapa diantara kita bertiga yang patut menjadi Bengcu, ha-ha-ha"

   Kakek kecil itu kini sudah melangkah maju di antara kedua orang calon lawannya, memasang kuda-kuda dan siap untuk menerjang. Dua orang lawannya yang maklum bahwa kakek kecil ini biarpun bertangan kosong namun amat berbahaya, sudah siap menanti serangan untuk menjaga diri.

   Pada saat itu, datang angin besar bersuitan yang membuat pohon-pohon di sekitar tempat itu tergoncang hebat. Seakan-akan datang angin, taufan mengamuk dan di antara angin besar ini terdengar jelas langkah kaki seorang manusia yang terdengar berat seperti langkah kaki gajah. Tiga orang itu saling pandang dan karena mereka semua adalah orang-orang yang berilmu tinggi serta maklum akan datangnya seorang yang lihai, maka mereka menunda gerakan saling serang, menanti penuh kewaspadaan. Tak lama kemudian benar saja, orang yang mendatangkan angin taufan dahsyat itu muncul dengan langkah lebar. Dia seorang tinggi besar berkepala gundul, berpakaian seperti hwesio, mukanya seperti seekor monyet besar, nampaknya kuat sekali, mukanya yang menyeramkan selalu tersenyum, matanya liar, dan kedua tangannya membawa sepasang gembreng, yaitu sepasang alat tetabuhan yang saling dipukulkan berbunyi nyaring dan berisik.

   "Tak salah lagi, engkau tentulah Thai-lek Kauw-ong"

   Seru Bu-tek Siu-lam sambil memandang penuh perhatian.

   "Ha-ha, bagaimana kau bisa tahu bahwa dia adalah Si Raja Monyet?"

   Tanya Siauw-bin Lo-mo, juga memandang penuh perhatian karena nama besar Thai-lek Kauw-ong sudah menjulang tinggi di dunia kang-ouw.

   "Hi-hik. Lihat saja mukanya, tiada ubahnya seekor monyet. Ini tentu datuk monyet-monyet, dan jelas tenaganya besar sekali. Pantas dijuluki Thai-lek Kauw-ong"

   "Bagus, kebetulan sekali"

   Kata Pak-sin-ong yang biarpun di dalam hatinya terkejut menyaksikan kedatangan orang yang mendatangkan angin ribut, namun di luarnya ia tetap bersikap angkuh dan memandang rendah.

   "Sekarang sudah lengkap, empat tokoh besar yang dicalonkan menjadi Bengcu. Kita menanti apalagi? Mari mengeluarkan kepandaian menentukan siapa yang lebih unggul"

   Mendengar ini, Bu-tek Siu-lam dan Siauw-bin Lo-mo mengangguk-angguk. Bu-tek Siu-lam sudah meloncat mundur tiga langkah sambil mencabut gunting dan jarum benangnya, sedangkan Pak-sin-ong sudah mencabut gergaji dan pancingnya, adapun Siauw-bin Lo-mo juga meloncat mundur memasang kuda-kuda, kedua tangannya dekat dengan dompet-dompet yang berbaris di pinggang. Namun raksasa gundul yang baru datang, setelah berganti-ganti memandang tiga orang aneh di depannya, menggeleng kepalanya yang besar, mulutnya tersenyum-senyum, matanya bersinar-sinar, akan tetapi sampai lama baru keluar suara dari mulutnya.

   "Tidak bertempur"
(Lanjut ke Jilid 14)

   Mutiara Hitam (Seri ke 04 "

   Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 14
Kakek gundul ini memang benar Thai-lek Kauw-ong. Ia tidak mempunyai pengikut sungguhpun banyak kaum sesat di Pantai Timur menjagoinya karena kakek ini muncul dari pulau-pulau di laut timur. Akan tetapi kakek ini memang tidak mau mempunyai anak buah, juga tidak ingin menjadi bengcu. Ia hanya tertarik mendengar nama besar Bu-tek Siu-lam, Siauw-bin Lo-mo, Pak-sin-ong dan yang lain-lain, dan ingin sekali bertemu dan berkenalan dengan mereka untuk diajak mengadu ilmu. Thai-lek Kauw-ong ini bukan orang jahat, juga bukan orang baik-baik, karena ia tidak peduli lagi tentang kebaikan maupun kejahatan. Ia hidup sesuka hatinya sendiri, tidak mengenal hukum-hukum dan bertindak seenak hatinya sendiri tanpa mempedulikan orang lain.

   Karena ini, banyak ia melakukan hal-hal yang bagi umum dianggap amat kejam dan jahat, juga tidak jarang ia melakukan hal yang menurut anggapan umum amat baik. Padahal ia melakukan semua itu sama sekali tidak berdasarkan baik atau jahat, hanya menurut perasaan dan sesuka hatinya saja. Kalau hatinya lagi mengkal, tiada hujan tiada angin bisa saja ia turun tangan secara kejam melebihi iblis membunuh-bunuhi orang-orang yang sama sekali tidak salah. Kalau hatinya lagi senang, biar orang bersikap keterlaluan kepadanya, ia akan tertawa saja. Ia seorang aneh, dan tidak pandai bicara. Mendengar ucapan kakek gundul itu, tiga orang aneh lainnya menjadi heran sekali.

   "Apakah kau tidak ingin menjadi Bengcu?"

   Tanya Bu-tek Siu-lam yang suka bicara.

   "Tidak ada Bengcu"

   Jawab Si Kakek Gundul singkat.

   "Huah-ha-ha-ha. Ucapan Kauw-ong benar-benar mengherankan sekali. Bukankah kita berempat ini datang di sini untuk menentukan siapa yang lebih unggul dan lebih pantas menjadi Bengcu di antara kita? Kalau tidak bertempur, mana bisa ada ketentuan?"

   "Tidak bertempur. Dulu Thian-te Liok-kwi menjagoi, apa salahnya kini Bu-tek Su-kwi (Empat Iblis Tak Terlawan)?"

   Ucapan itu singkat namun jelas maksudnya. Agaknya Thai-lek Kauw-ong ini hendak menyatakan bahwa seperti dulu di jaman Thian-te Liok-kwi, juga tidak ditentukan siapa menjadi bengcu dan keenam orang iblis itu menjagoi di dunia hitam dan menjadi sandaran kaum sesat. Sekarang, apa salahnya kalau mereka berempat pun tidak saling bersaing dan hidup sebagai Empat Iblis Tak Terlawan menjagoi dunia hitam? Namun tiga orang aneh yang mendengar usulnya ini mengerutkan kening, tidak setuju. Hal itu adalah karena mereka, bertiga ini semua mempunyai anak buah atau golongan yang mendukung mereka. Bu-tek Siu-lam sudah dianggap sebagai locianpwe atau raja oleh para pengemis golongan hitam dan tentu saja jagoan ini ingin terangkat lebih lagi, menjadi bengcu atau pemimpin besar kaum sesat. Demikian pula Pak-sin-ong yang sudah menganggap dirinya sebagai raja kecil sebagian orang-orang Khitan dan Mongol.

   Ia selalu rindu untuk merampas kedudukan raja di Khitan dan Mongol, maka tentu saja ingin sekali ia merampas kedudukan bengcu. Kalau ia menjadi bengcu, berarti ia menjadi raja sekalian kaum sesat dan dengan mengandalkan bantuan kaum sesat di dunia persilatan tentu akan lebih mudah baginya untuk merampas kekuasaan di Kerajaan Khitan. Orang ke tiga, Siauw-bin Lo-mo juga mempunyai pendukung, yaitu Thian-liong-pang dan semua bajak serta perampok di daerah selatan. Sudah lama ia menjadi musuh besar dari Beng-kauw maka kini ia ingin sekali menjadi bengcu untuk mengerahkan tenaga menyerbu dan mengalahkan Beng-kauw serta merampas Kerajaan Nan-cao yang kecil namun makmur dan jaya. Inilah sebabnya mengapa tiga orang aneh itu tidak setuju akan usul Thai-lek Kauw-ong yang tak banyak bicara.

   "Pemilihan Bengcu harus diadakan"

   Seru Bu-tek Siu-lam.

   "Setelah jauh-jauh datang ke sini, untuk apa kalau tidak menjadi Bengcu?"

   Kata pula Pak-sin-ong penasaran.

   "Terpilih menjadi Bengcu atau tidak, harus diputuskan dalam adu kepandaian"

   Siauw-bin Lo-mo juga berkata.

   "Bodoh"

   Thai-lek Kauw-ong membentak.

   "Kita menjadi sahabat, saling bantu. Kalau mau bertanding, ayolah. Yang jatuh paling dulu menjadi adik termuda, yang menang menjadi kakak tertua. Mari main-main"

   Setelah berkata demikian, kakek gundul ini mengadukan gembrengnya sehingga terdengar bunyi "brenggg"

   Yang nyaring sekali menulikan telinga.

   Tiga rombongan pengikut yang tadinya sudah muncul, menjadi terkejut, menutupi telinga dan cepat-cepat mereka itu lenyap menyembunyikan diri dan mundur. Hanya beberapa orang yang menjadi pimpinan mereka saja berani menonton pertemuan empat orang aneh itu dari tempat yang agak jauh dan aman. Tiga orang aneh itu segera bergerak dan karena mereka bertiga masih ingin sekali menjadi bengcu sesuai dengan cita-cita mereka semula dan menentang usul Thai-lek Kauw-ong yang dikeluarkan melalui ucapan singkat, otomatis mereka bertiga menujukan serangan mereka kepada Thai-lek Kauw-ong seorang. Padahal menurut kemauan Raja Monyet ini, mereka berempat bertanding tanpa pilih kawan atau lawan untuk melihat siapa di antara mereka yang paling kuat untuk dipilih dan ditentukan jago pertama sebagai kakak tertua, ke dua, ke tiga dan ke empat. Kini melihat betapa tiga orang itu menyerbu kepadanya seorang, kakek gundul ini mengeluarkan pekik dahsyat seperti jerit seekor kera marah.

   Gergaji di tangan Pak-sin-ong yang menyambar cepat ke arah perutnya yang gendut itu ia elakkan dengan melesat ke kanan, kemudian sebelum gunting Bu-tek Siu-lam yang juga menggunting ke arah lehernya itu tiba, ia sudah mendahului menggerakkan sepasang gembrengnya menggencet ke arah gunting itu dengan kekuatan dahsyat, sedangkan pada saat itu juga, kaki kirinya menendang dengan gerakan tiba-tiba dan tidak terduga-duga ke arah Siauw-bin Lo-mo yang menerjang maju dan menyerangnya dengan totokan jari telunjuk kanan. Karena kaki Thai-lek Kauw-ong tentu saja jauh lebih panjang daripada lengan Siauw-bin Lo-mo, maka kakek gundul ini hendak sekaligus memunahkan totokan dan balas menyerang dengan tendangannya yang mendatangkan angin bersiutan itu. Sekaligus kakek gundul ini telah melayani serangan tiga orang lawannya. Bu-tek Siu-Iam terkejut. Biarpun ia lihai dan guntingnya merupakan senjata yang kuat, namun melihat betapa sepasang gembreng itu mengancam hendak menjepit, ia merasa khawatir juga dan cepat-cepat menarik kembali serangan guntingnya, akan tetapi melihat betapa cepatnya gerakan sepasang gembreng, ia lalu menggerakkan tangan kanannya.

   "Wiirr.."

   Jarum besar yang diikat benang di tangan kanannya menyambar ke tenggorokan Kauw-ong.

   "Tranggg.."

   Thai-lek Kauw-ong tentu saja tidak membiarkan tenggorokannya ditusuk jarum, maka terpaksa menangkis dengan gembreng kirinya dan usahanya menjepit gunting menjadi gagal.

   Siauw-bin Lo-mo kaget bukan main. Angin yang menyambar keluar dan tendangan kakek gundul itu dahsyat sekali dan tahulah ia bahwa Si Gundul itu tidak percuma mempunyai julukan Thai-lek yang menyatakan betapa tenaganya amat besar. Cepat ia miringkan tubuh mengelak. Dalam segebrakan itu saja, dari keadaan diserang, Thai-lek Kauw-ong mampu merobah keadaan menyerang dan ini membuktikan bahwa ilmu kepandaiannya amat tinggi dan agaknya kalau dibandingkan dengan tiga orang itu masing-masing, kakek gundul ini masih menang setingkat. Namun tentu saja tiga orang aneh yang sudah biasa dengan kemenangan-kemenangan, tidak suka melihat kenyataan ini dan sekarang mereka bertiga sudah siap-siap lagi untuk menerjang Thai-lek Kauw-ong.

   "Hemm, kalian seperti bajingan-bajingan kecil hendak mengeroyok? Boleh"

   Biarpun ia tidak pandai bicara, namun kata-kata singkat yang keluar dari mulut kakek gundul itu cukup menusuk perasaan. Tiga orang tokoh besar itu tentu saja menjadi malu sekali dan biarpun di dalam hati mereka itu diam-diam bermaksud mengeroyok kakek gundul yang kosen ini, namun di luarnya mereka tak sudi mengakuinya. Tuduhan yang tepat mengenai hati ini membuat mereka tiba-tiba meloncat mundur ke belakang dengan muka merah.

   "Siapa mengeroyokmu? Sombong, Lihat kelihaian Pak-sin-ong"

   Seru Pak-sin-ong atau Ji-cam Khoa-ong. Gerakannya amatlah cepat dan karena tokoh ini lebih mengandalkan tenaga dalam, maka gerakannya tidak mengeluarkan suara. Dengan kecepatan seperti kilat menyambar, sinar putih dari tangan kirinya sudah meluncur cepat dan itulah pancing bertali yang menyambar ke arah muka Thai-lek Kauw-ong. Kakek gundul ini cepat mengelak karena ia belum mengenal senjata ini, akan tetapi pancing itu dapat mengikutinya ke mana pun ia mengelak dan tetap mengancam mukanya. Sambil mendengus marah Thai-lek Kauw-ong menggerakkan gembreng kanannya menangkis. Terdengar suara

   "cringgg"

   Keras sekali dan pancing itu menyambar kembali, bahkan menyerang Pak-sin-ong sendiri.

   Pak-sin-ong kaget dan cepat menggentak tali di tangan kirinya sehingga pancing itu berputaran di udara kemudian meluncur lagi ke arah Thai-lek Kauw-ong. Ketika kakek gundul ini menghindar ke kiri sambil mengibaskan gembreng kanan, Pak-sin-ong sudah menerjang maju dan menyerang dengan gergajinya yang menusuk terus mengait ke arah perut dan lambung kiri lawan. Sama sekali bukan serangan ringan yang dilakukan Pak-sin-ong ini karena selain gergajinya bergerak amat cepat serta mengandung tenaga dalam yang dahsyat, juga gerakan gergaji ini melengkung membentuk setengah lingkaran yang merupakan pintu penutup bagi jalan keluar lawan. Thai-lek Kauw-ong berseru memuji dan juga kaget, maka ia cepat menghantamkan gembrengnya yang kiri untuk menangkis sambil mengerahkan tenaganya.

   "Brenggg.."

   Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika gembreng itu berhasil menangkis gergaji. Pak-sin-ong mengeluarkan suara kaget dan terpaksa meloncat cepat ke belakang untuk mematahkan tenaga tangkisan yang sedemikian kuatnya sehingga kalau ia mempertahankan kuda-kudanya, tentu ia akan terhuyung-huyung"

   Pada saat itu, Bu-tek Siu-lam meloncat maju menerjang Raja Monyet itu sambil berseru keras.

   "Klik-klik"

   Guntingnya yang besar berbunyi dua kali dan dengan amat cepatnya Thai-lek Kauw-ong menghindar sehingga guntingan itu tidak mengenai sasaran, sungguhpun hanya sedikit selisihnya dari leher dan pundaknya. Karena melihat majunya tokoh banci ini, Pak-sin-ong cepat mundur menjauhi karena ia tidak sudi jika dianggap mengeroyok. Namun dalam hatinya ia merasa lega karena ia sudah tertolong dari keadaan kehilangan muka. Betapapun juga harus diakui bahwa Si Raja Monyet itu benar-benar lihai sekali.

   "Klik.. brenggg"

   Kembali seperti keadaan Pak-sin-ong tadi, gunting di tangan Bu-tek Siu-lam kena ditangkis sehingga api berpijar dan disusul suara gembreng itu berbunyi susul-menyusul nyaring sekali. Wajah Bu-tek Siu-lam sampai menjadi pucat. Ia dapat menangkis dan mengelak sambaran dan gencatan senjata lawan, namun ia tak dapat mencegah suara yang nyaring hebat itu menerjang memasuki kedua telinganya. Hal ini benar-benar amat mengacaukan perasaan dan ketenangannya sehingga ia segera terdesak hebat.

   "Breng.. brenggg.."

   Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Hampir saja ujung baju depan Bu-tek Siu-lam kena terjepit masih untung ia dapat membuang diri ke belakang dan kini dari tangan kanannya menyambar sinar kecil kuning pada saat ia membuang diri ke belakang ini.

   "Hehh.."

   Thai-lek Kauw-ong terkejut sekali, tidak mengira bahwa tokoh banci itu dalam keadaan terdesak dan membuang diri ke belakang dapat mengirim serangan dengan senjata rahasia yang demikian berbahaya. Terpaksa ia mengibaskan gembrengnya sambil loncat ke belakang. Jarum itu terpukul menyeleweng oleh angin yang menyambar dari gembreng yang dikibaskan dengan tenaga besar. Akan tetapi di lain pihak, Bu-tek Siu-lam juga terkejut dan mengeluarkan keringat dingin. Kalau ia tidak berlaku cepat, jangankan sampai terkena himpitan sepasang gembreng itu, baru terjepit ujung bajunya saja berarti ia sudah mendapat malu. Maka berbareng dengan elakan Thai-lek Kauw-ong ke belakang, ia pun melangkah mundur sambil memasang kuda-kuda dengan sikap waspada. Kesempatan ini dipergunakan oleh Siauw-bin Lo-mo untuk memperlihatkan ilmunya dan menguji kepandaian Si Raja Monyet.

   "Huah-hah-hah, Kauw-ong, kauterimalah senjataku"

   Bentaknya dan ketika tangannya bergerak, sebuah benda hitam menyambar, bukan ke arah tubuh Kauw-ong, melainkan ke depan kakinya. Melihat ini, Thai-lek Kauw-ong, mengeluarkan seruan panjang dan tubuhnya sudah mencelat ke atas tinggi sekali, agaknya ia ketakutan. Bu-tek Siu-lam dan Pak-sin-ong terheran mengapa orang kosen itu takut menghadapi senjata rahasia yang dilemparkan ke depan kaki, sedetik kemudian mereka tahu sebabnya ketika benda itu menyentuh tanah dan meledak keras mengeluarkan api berpijar ke sekelilingnya. Andaikata Thai-lek Kauw-ong tadi tidak meloncat tinggi ke atas, tentu akan kena sambaran api yang muncrat-muncrat dari ledakan itu.

   Thai-lek Kauw-ong marah. Dari atas udara tubuhnya memyambar turun ke arah Siauw-bin Lo-mo, sepasang gembrengnya menyambar karena ia lontarkan ke bawah. Hebat bukan main sepasang gembreng ini. Bukan hanya dapat dipergunakan sebagai senjata, malah kini dipergunakan sebagai senjata lontar yang ampuh. Dua benda itu kini seperti dua buah piring terbang menyambar tubuh Siauw-bin Lo-mo, yang sebuah menyambar leher, yang sebuah lagi menyambar perut. Namun biar Siauw-bin Lo-mo bertangan kosong dan bertubuh kecil, kegesitannya ternyata tidak kalah oleh yang lain-lain, bahkan mungkin melebihi. Tubuhnya tiba-tiba lenyap dan hanya tampak bayangan berkelebat menyelinap di antara dua benda yang menyambarnya. Sepasang gembreng itu berputaran terus kembali ke arah Thai-lek Kauw-ong yang sudah turun ke atas tanah. Raksasa gundul ini menyambut sepasang gembrengnya dengan mudah.

   Empat orang sakti itu kini saling berhadapan, atau lebih tepat lagi, Thai-lek Kauw-ong dengan sepasang gemrengan siap menghadapi tiga orang itu. Karena dalam gebrakan-gebrakan perorangan tadi dapat terlihat bahwa betapa pun juga tingkat ilmu kepandaian Thai-lek Kauw-ong yang paling hebat, maka kini timbul kecenderungan hati tiga yang lain untuk mengeroyok dan menundukkan lebih dulu lawan yang paling kuat ini. Thai-lek Kauw-ong tersenyum mengejek kedua gembreng siap di tangan dan ia gembira sekali bahwa hari ini ia menghadapi tiga orang lawan yang akan merupakan makanan yang keras baginya. Inilah baru kesempatan mengadu ilmu yang memuaskan hatinya.

   Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring. Lengking ini selain nyaring memekakkan telinga, juga membuat jantung empat orang tokoh besar itu tergetar dan ini saja sudah menjadi tanda bahwa lengking itu dikeluarkan dengan pengerahan khikang yang tinggi. Tentu saja empat orang itu terkejut dan seketika menghentikan gerakan mereka yang tadi sudah siap bertanding. Ketika Thai-lek Kauw-ong memutar tubuh dan tiga orang lainnya juga memandang, mereka melihat seorang wanita duduk di atas ranting pohon. Entah kapan wanita itu berada di situ. Kedatangannya yang tak diketahui empat orang itu saja sudah membuktikan ginkang yang luar biasa, apalagi wanita itu duduk di atas ranting yang kecil dan kiranya akan patah kalau diduduki orang biasa.

   Akan tetapi wanita itu duduk dengan enak, membelakangi mereka dengan tubuh diputar dan kepala dipalingkan ke arah mereka. Melihat muka wanita itu, empat orang tokoh besar itu kaget dan heran. Tubuh wanita itu padat dan indah bentuknya, pakaiannya indah, akan tetapi kepala wanita itu tertutup kerudung"

   Biarpun kerudung itu tipis dan membayangkan sebuah muka yang cantik, namun tetap saja menyeramkan dan menimbulkan bayang-bayang gelap pada muka, terutama pada kedua matanya sehingga sepasang mata itu tampak hitam dan hanya kelihatan kilauan seperti titik api bersinar-sinar. Kedua tangan yang berkulit putih halus dan berbentuk kecil itu mempunyai jari-jari mungil, akan tetapi semua jari-jarinya berkuku panjang dan hitam mengkilap.

   Empat orang laki-laki tua itu adalah empat tokoh besar yang hampir dapat dikatakan belum pernah bertemu tanding. Mereka itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan amat percaya akan ketangguhan sendiri sehingga mereka menjadi angkuh dan sombong. Mereka belum pernah bertemu dengan wanita ini, bahkan belum pernah mereka mendengar di dunia kang-ouw terdapat tokoh wanita berkerudung seperti ini. Sebagai orang-orang berilmu mereka dapat menduga bahwa wanita yang dapat muncul seaneh itu dan mengeluarkan lengking seperti tadi tentu memiliki kepandaian yang tak boleh dipandang ringan, akan tetapi mereka sama sekali tidak takut. Terutama sekali Pak-sin-ong yang berwatak angkuh. Ia menjadi marah sekali melihat datangnya orang tak ternama yang berani mengganggu mereka berempat.

   "Hemm, biar kubuka kedok perempuan itu, siapa gerangan dia berani bersikap kurang ajar"

   Tangan kirinya bergerak dan sinar putih menyambar ke arah kepala wanita yang berkerudung itu.

   Pak-sin-ong atau Jin-cam Khoa-ong ini memang mempunyai semacam hobby, yaitu memancing ikan. Hal ini bukan aneh atau lucu karena memang memancing ikan merupakan kesenangan banyak orang sejak jaman dahulu sampai sekarang, terutama sekali orang-orang tua. Akan tetapi bagi Pak-sin-ong, alat pancing dan talinya bukan hanya untuk memancing ikan, melainkan ia manfaatkan menjadi senjata yang amat ampuh. Ia menciptakan ilmu silat yang Khas dengan tali dan pancing ini sehingga di samping gergajinya, senjata pancing ini amatlah berbahaya karena dapat dipergunakan untuk menyerang dari jarak jauh dengan tali yang panjang itu.

   Ketika Pak-sin-ong menggerakkan tangan kirinya, pancing itu meluncur merupakan sinar putih, menyambar ke arah muka wanita itu dengan kecepatan yang tak dapat diikuti dengan pandangan mata biasa. Namun wanita itu yang hanya dapat melihat datangnya serangan ini dari lirikan mata karena mukanya hanya menoleh sedikit, agaknya tidak melihat datangnya pancing yang hendak mengait dan marenggut kerudung yang menutupi mukanya. Ia hanya kelihatan mengangkat tangan kanannya ke atas dekat pipinya dan pada saat pancing itu hampir menyentuh kerudung, ia menggerakkan telunjuknya menyentil dengan kuku telunjuk.

   "Cringg.."

   Sinar putih itu mencelat kembali dan kini pancing menyerang berbalik ke arah pemiliknya. Pak-sin-ong mengeluarkan suara kaget akan tetapi dengan menarik talinya ia dapat menghindarkan diri dengan mudah.

   "Huh, tua-tua bangka sombong yang tak memandang mata lain orang. Kalian lihat, apakah aku tak cukup pantas untuk menghadiri pertemuan puncak ini"

   Terdengar suara wanita itu. Suaranya halus merdu, akan tetapi amat dingin. Kedua tangannya bergerak ke depan mencengkeram daun-daun pohon. Daun-daun kecil memenuhi kedua tangannya dan sekali wanita itu mengeluarkan suara melengking panjang sambil menggerakkan kedua tangan, daun-daun kecil itu melayang turun seperti tawon-tawon kecil menyambar ke arah empat orang itu. Bahkan sebagian terbang lebih jauh lagi, menyambar ke arah beberapa orang pimpinan rombongan pengemis dan rombongan Thian-liong-pang serta rombongan orang-orang Khitan yang tadi berani keluar dari tempat persembunyian untuk menonton datuk-datuk mereka mengadu ilmu. Melihat datangnya daun-daun ini, empat orang berilmu itu terkejut. Itulah tenaga sinkang yang sudah tinggi sekali.

   Dapat mempergunakan daun-daun sebagai senjata rahasia bukanlah ilmu yang aneh atau patut dipuji karena dapat dilakukan oleh ahli-ahli rendahan, akan tetapi dapat melontarkannya sehingga daun-daun itu hanya melayang-layang seolah-olah tidak bertenaga padahal mengandung tenaga yang dahsyat, hanya dapat dilakukan oleh ahli-ahli yang sudah amat tinggi ilmunya Karena maklum akan bahayanya daun-daun kecil itu, apalagi mereka sebagai orang-orang pandai melihat sinar hitam pada daun-daun itu, tanda bahwa ada racunnya, keempat orang itu cepat menggerakkan tangan dan mengerahkan tenaga sinkang memukul ke arah daun-daun yang datang menyambar sehingga daun-daun itu menyeleweng ke samping, namun daun-daun itu tidak terpental jauh sehingga empat orang itu makin kagum karena hal ini berarti bahwa daun-daun itu digerakkan dengan tenaga sinkang yang amat kuat.

   Jerit-jerit mengerikan membuat empat orang tokoh itu semakin kaget lagi. Ketika mereka berempat memandang, ternyata beberapa orang dari tiga golongan tadi telah roboh berkelojotan dan seluruh tubuh mereka berubah hitam. Beberapa helai daun menempel pada muka dan leher mereka. Empat orang pengemis, tiga orang anggauta Thian-liong-pang, dan lima orang Khitan yang roboh terkena sambaran daun-daun terbang dan berkelojotan dalam keadaan sekarat. Setelah kawan-kawan dari beberapa orang yang menjadi korban sambaran daun itu menarik para korban ke tempat tersembunyi, empat orang itu kembali menghadapi wanita aneh dan kini mereka memandang dengan kagum, tidak lagi memandang rendah seperti tadi. Thai-lek Kauw-ong yang paling suka bertemu dengan lawan tangguh dan menjadi kagum, segera berkata,

   "Twanio (Nyonya) siapakah, harap turun"

   Sambil berkata demikian, raksasa gundul ini lalu menekuk kedua lututnya, berjongkok sambil mengerahkan ilmunya yang hebat, yaitu tenaga Thai-lek yang membuat namanya terkenal. Makin lama perutnya menjadi makin melembung besar sekali seperti hendak pecah. Untung bahwa ia memakai celana yang longgar, demikian pula bajunya. Katau tidak tentu sudah pecah-pecah pakaiannya. Tak lama kemudian ia mengeluarkan suara di kerongkongan seperti suara seekor katak jantan dan kedua tangannya mendorong ke arah wanita yang duduk di atas ranting itu.

   "Siuuuuutttt.. krakkk..

   "

   Ranting itu berikut beberapa cabang besar seketika patah dan roboh ke bawah berikut daun-daunnya, mengeluarkan suara hiruk-pikuk. Akan tetapi wanita itu sudah melayang turun dengan loncatan melengkung ke atas sehingga tidak tersentuh hawa pukulan dahsyat itu,

   Melihat kehebatan Ilmu Thai-lek-kang ini, tiga orang tokoh yang lain terkejut dan amat kagum. Tak salah lagi, kalau mereka bertiga maju seorang demi seorang, takkan dapat menandingi raksasa gundul yang hebat ini. Juga wanita berkerudung itu diam-diam amat kaget karena tak disangkanya bahwa Si Gundul yang wajahnya buruk seperti monyet ini benar-benar amat lihai. Jarak antara kakek gundul dan pohon di mana ia duduk cukup jauh, dari tempat ia duduk tadi tidak kurang dari sepuluh meter jauhnya, namun hawa pukulan itu masih mampu merobohkan cabang-cabang pohon, benar-benar seperti angin taufan. Karena maklum bahwa ia berhadapan dengan orang-orang yang sakti, wanita itu lalu mengangguk sedikit dan berkata, suaranya tetap halus dan merdu namun empat orang laki-laki itu yang mendengarnya, bergidik karena suara itu begitu dingin seperti suara setan dari balik kubur saja.

   "Namaku Sian dari Istana Bawah Tanah. Baru sekarang keluar dari bumi memasuki dunia ramai, tertarik hendak melihat macam apa adanya orang yang berani mengangkat diri menjadi Bengcu dari kaum kang-ouw. Siapakah di antara kalian yang menjadi Bengcu? Aku ingin sekali mencoba kepandaiannya"

   Sambil berkata demikian, sepasang mata di balik kerudung hitam itu menyambar ke kanan kiri, mata yang liar dan gerakannya cepat, mata orang yang tidak waras otaknya. Bibir itu tampak tersenyum di balik kerudung, manis bukan main, dan harus diakui bahwa wajah di balik kerudung hitam itu cantik jelita dan sukar ditaksir usianya, karena kecantikannya sudah matang, bukan seperti kecantikan seorang gadis remaja. Akan tetapi, bentuk tubuh yang membayang di balik pakaian sutera putih yang tipis itu benar-benar amat indah, tiada ubahnya bentuk tubuh seorang gadis remaja. Tentu saja empat orang laki-laki tua itu makin terheran-heran dan sejenak mereka saling bertukar pandang. Memang tidak mengherankan kalau mereka belum pernah bertemu atau mendengar tentang wanita ini.

   Wanita ini bukan lain adalah Kam Sian Eng. Semenjak dua puluh tahun yang lalu wanita ini tak pernah muncul di dunia ramai sehingga tak seorang pun mengenalnya. Apalagi karena ilmu silat yang dimiliki Kam Sian Eng amatlah aneh, campur aduk tidak karuan dan caranya mempelajari kitab-kitab peninggalan iblis betina Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian juga seenak perutnya sendiri. Seperti tadi saja, sambitan menggunakan daun adalah bukti dari penggunaan tenaga sinkang yang amat tinggi, akan tetapi nyatanya, dia tidak berani menerima sambaran hawa pukulan Thai-lek-kang, bahkan ketika meloncat turun ke depan empat orang tokoh itu, oleh mereka yang berpandangan tajam tampak betapa ginkangnya biarpun cukup tinggi namun tidaklah sehebat yang mereka duga dan setidaknya tidaklah lebih tinggi daripada tingkat mereka.

   "Huah-hah-hah"

   Siauw-bin Lo-mo tertawa tanpa menggerakkan bibirnya sehingga Kam Sian Eng memandang dengan hati terheran-heran.

   "Sian-Toanio (Nyonya Sian) mengapa masih pura-pura bertanya lagi? Bukankah sudah lama berada di sana tadi mendengar semua persoalan kami? Belum ada ketentuan siapa yang bakal menjadi Bengcu"

   Kam Sian Eng mengangguk.

   "Hemm, kalian berempat memiliki kepandaian yang boleh juga, dan memang tadi aku sudah mendengar semua. Karena kalian bukan orang-orang sembarangan, aku bersedia untuk berkenalan. Aku setuju dengan usul Thai-lek Kauw-ong, bukankah kau yang bernama Thai-lek Kauw-ong?"

   Tanya Sian Eng kepada Si Raja Monyet yang berkepala gundul. Kakek ini mengangguk-angguk, hatinya senang karena wanita ini cocok dengan usulnya.

   "Memang tak perlu ada Bengcu, lebih penting lagi mencari pengganti Thian-te Liok-kwi yang dulu menjagoi dunia. Apa salahnya kalau sekarang terdapat Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tanpa Tanding)?"

   Kam Sian Eng tidak suka akan sebutan Kwi atau Setan, maka ia sengaja memilih sebutan Sian (Dewa), yang selain lebih gagah dan baik, juga sama dengan namanya. Wanita ini di waktu mudanya dahulu sudah banyak melihat lawan yang amat tangguh, oleh karena itu setelah sekarang keluar dari tempat sembunyi, ia merasa lebih aman jika berkawan dengan empat orang yang berkepandaian tinggi, berwatak aneh dan cocok dengan wataknya sendiri ini. Empat orang ini tidak segan-segan membunuh orang, seenaknya saja, dan ini pun cocok dengan pendapatnya. Orang yang tidak menyenangkan hati, orang yang lemah, memang boleh saja dibunuh.

   "Kalau begitu tidak bertanding?"

   Thai-lek Kauw-ong bertanya kecewa.

   "Perlu apa bertanding kalau di antara kita bukan musuh?"

   Tanya Kam Sian Eng. Biarpun wanita ini mengalami gangguan jiwa dan wataknya sudah berubah karena kehancuran hati di waktu mudanya ditambah dengan latihan-latihan samadhi dan lweekang yang menyeleweng, namun ia tidak kehilangan kecerdikannya, bahkan menjadi makin cerdik. Sian Eng tahu bahwa bertanding menghadapi empat orang ini, biarpun ia tidak takut, namun bukan merupakan hal yang ringan dan tidak akan mudah mencapai kemenangan. Selain itu juga tidak ada gunanya.

   "Huah-ha-ha-ha, betul sekali ucapan Sian-toanio. Cocok.. cocok"

   Kata Siauw-bin Lo-mo yang diam-diam merasa jerih terhadap Thai-lek Kauw-ong, apalagi setelah muncul wanita ini yang aneh dan memiliki kepandaian yang menggiriskan hati.

   "Betul. Memang kita segolongan, perlu apa bertempur?"

   Kata pula Pak-sin-ong yang cita-citanya memang ingin mencari teman-teman yang kuat untuk membantunya melanjutkan cita-cita merampas Kerajaan Khitan.

   "Segolongan?"

   Sian Eng bertanya.

   "Golongan apa?"

   "Hi-hik, sahabatku yang manis. Golongan apalagi? Tentu saja golongan kaum sesat, hi-hik"

   Kata, Bu-tek Siu-lam sambil mesam-mesem genit. Sian Eng sudah banyak melihat orang aneh, akan tetapi melihat sikap genit laki-laki gagah dan tampan ini, ia menjadi muak dan geli. Ia juga tersenyum dari balik kerudungnya, senyum geli. Senyum ini oleh Thai-lek Kai-ong dikira senyum karena setuju disebut golongan sesat, maka kakek gundul yang kosen ini lalu menepuk-nepuk dadanya.

   "Huh, memang benar. Banyak orang menyebut aku seorang sesat. Memang aku sesat. Biarlah mereka menyebutku begitu dan hendak kulihat, bagaimanakah macamnya orang yang tidak sesat?"

   "Hemm, mau tahu orang yang tidak sesat? Di antaranya, yang paling menonjol namanya adalah Suling Emas. Dia menganggap jagoan nomor satu di dunia, memandang rendah golongan kita. Aku paling benci kepada Suling Emas dan mengharap bantuan kalian berempat untuk menandinginya karena memang ia memiliki ilmu kepandaian yang lihai sekali."

   Berkata demikian, Jin-cam Khoa-ong atau Pak-sin-ong mengepal kedua tinju dan mukanya membayangkan kebencian hebat. Mengapa Pak-sin-ong membenci Suling Emas? Bukan lain karena Pak-sin-ong masih saudara sepupu Hek-giam-lo seorang di antara Thian-te Liok-kwi yang menjadi musuh besar Suling Emas. Bahkan beberapa kali Hek-giam-lo dikalahkan Suling Emas sehingga terjadi permusuhan antara kedua tokoh ini (baca cerita CINTA BERNODA DARAH). Selain menaruh dendam karena saudara sepupunya ini, juga pasukan Pak-sin-ong pernah dipukul mundur ketika pasukan ini menyerang Khitan dan pada waktu itu Suling Emas masih berada di Khitan.

   Sejenak wajah cantik di balik kerudung itu menjadi merah, sepasang mata yang aneh itu mengeluarkan sinar berapi. Akan tetapi hanya sebentar. Tadinya Sian Eng marah mendengar orang bertopi itu memusuhi Suling Emas. Suling Emas adalah Kam Bu Song, kakak tirinya. Akan tetapi ia sudah tidak merasai lagi cinta kasih antara saudara, apalagi karena semenjak kecil memang tak pernah bertemu dengan kakak tirinya itu (baca cerita CINTA BERNODA DARAH). Maka ia hanya tersenyum dingin dan diam-diam di dalam hatinya ia menertawai Pak-sin-ong karena mana mungkin orang ini dapat melawan kakak tirinya itu.

   "Huah-ha-ha-ha, memang sekeluarga itu orang-orang sombong, menganggap diri sendiri bersih dan orang lain kotor. Suling Emas disebut sebagai pendekar sakti, padahal ibunya adalah Tok-siauw-kwi yang jahatnya melebihi Thian-te Liok-kwi. Dari manakah datangnya Tok-siauw-kwi? Bukan lain dia adalah seorang gadis puteri pendiri Beng-kauw di selatan. Perkumpulan Agama Beng-kauw juga merupakan perkumpulan yang menamakan dirinya kaum putih atau kaum lurus, lawan kaum sesat. Aku menghormat mendiang Tok-siauw-kwi yang tidak suka berpura-pura seperti tokoh-tokoh Beng-kauw. Kuharap kalian berempat suka membantuku kelak mengobrak-abrik Beng-kauw yang sombong"

   

Cinta Bernoda Darah Eps 23 Suling Emas Eps 14 Cinta Bernoda Darah Eps 14

Cari Blog Ini