Ceritasilat Novel Online

Istana Pulau Es 40


Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 40



Setelah mereka berdua duduk, dengan suara yang halus dan tenang, seolah-olah semua kedukaan telah dihabiskan dalam sajak-sajak tadi, Kam Han Ki lalu menceritakan betapa dia pun dipermainkan badai dan terlambat mendarat sehingga tidak berhasil mencegah terjadinya peristiwa yang amat mengerikan, yaitu Maya dan Khu Siauw Bwee saling bertanding. Maya terluka pundaknya dan Khu Siauw Bwee buntung kakinya, kemudian kedua orang dara itu terjun ke bawah, ditelan gelombang yang amat buas di waktu badai mengamuk. Wajah Suma Hoat menjadi pucat sekali, matanya terbelalak, mulutnya ternganga dan sampai lama dia tidak dapat mengeluarkan kata-kata. Tanpa disadarinya, dari kedua pelupuk matanya mengalir air mata yang turun perlahan-lahan di sepanjang kedua pipinya.

   "Jadi.... me.... mereka.... telah tewas....?"

   Akhirnya dia dapat bertanya dengan suara terengah-engah.
Kam Han Ki menggeleng kepalanya.

   "Hanya Thian yang mengetahuinya. Akan tetapi dapat engkau bayangkan kalau orang yang terluka melempar diri ke dalam gelombang di waktu badai mengamuk...."

   "Ahhhh....!"

   Suma Hoat mengeluh, tak dapat menahan air matanya dan diusapnya air mata dengan ujung lengan bajunya yang koyak-koyak pula karena keadaannya tidak lebih baik dari Kam Han Ki setelah dipermainkan gelombang seperti itu. Dia tahu bahwa sudah pasti sekali kedua orang itu tewas. Dia sendiri yang tidak terluka, yang berperahu, hampir mati dan hanya karena keajaiban saja dia masih hidup. Apalagi dua orang dara yang terluka, lebih-lebih Khu Siauw Bwee yang sebelah kakinya buntung, yang melempar diri begitu saja di dalam gelombang!

   "Mengapa....? Kam-taihiap, mengapa mereka saling bertanding? Mengapa pula mereka melempar diri ke dalam gelombang badai? Mengapa....?"

   Dia berteriak penuh penasaran.

   "Urusan mereka sendiri, Suma Hoat. Bukan urusanmu dan kiranya tidak ada gunanya kauketahui juga,"

   Han Ki berkata tenang dan tegas.

   "Urusan mereka adalah urusanku juga, Taihiap! Saya mencinta mereka, saya rela mengorbankan nyawa untuk mereka. Saya harus mengetahui mengapa mereka melakukan hal itu!"

   Kam Han Ki memandang wajah orang muda itu sambil tersenyum penuh pengertian, lalu berkata,

   "Andaikata kau ketahui juga, apa gunanya? Yang terpenting adalah untuk mengetahui isi hatimu sendiri, mengetahui keadaan dirimu sendiri. Engkau berkali-kali menyatakan bahwa engkau cinta kepada mereka, namun sebenarnya bukan, Suma Hoat. Engkau tidak mencinta mereka, tidak mencinta siapa-siapa, kecuali mencinta dirimu sendiri. Itu pun cinta dangkal yang hanya ingin melihat diri sendiri, ingin mencapai kehendak hati mempersunting si cantik yang menggairahkan hatimu. Setelah kini dua orang dara yang kau rindukan tidak ada lagi, engkau menjadi kecewa dan berduka, yang sesungguhnya hanya sedikit selisih dan bedanya dengan keadaanmu apabila engkau memperoleh seorang di antara mereka karena kulihat tidak ada cinta dalam hatimu, melainkan cinta berahi belaka!"

   Suma Hoat menjadi merah mukanya, bukan merah karena marah melainkan karena malu. Betapapun menyakitkan kata-kata itu baginya, namun harus diakui bahwa memang seperti itulah kenyataannya. Betapapun juga, dia merasa penasaran dan bertanya,

   "Tentu saja cinta mengandung sifat-sifat seperti itu, Taihiap. Kalau tidak ada nafsu ingin memperoleh, ingin bersatu dan berdamping menghilangkan rindu, bukanlah cinta namanya dan mana ada laki-laki dan wanita bersuami isteri?"

   Kam Han Ki menghela napas panjang.

   Kedukaan hebat yang menimpanya ketika badai mengamuk, mendatangkan perubahan luar biasa pada diri pendekar ini, seolah-olah mata batinnya terbuka dan dia melihat kenyataan-kenyataan yang selama ini tidak dilihatnya. Kenyataan hidup yang penuh duka dan sengsara, yang kesemuanya timbul karena kekurangsadaran manusia, yang tercipta oleh keadaan hidup manusia sendiri. Sebelumnya terjadi peristiwa mengerikan itu memang hatinya sudah mulai terbuka, maka dia pun ragu-ragu untuk memilih Siauw Bwee yang dicintanya karena maklum bahwa pemilihan itu hanya terdorong oleh rasa sayang diri dan akibatnya akan membikin kecewa dan sengsara hati Maya. Namun, sekarang, dia mulai mengerti hal-hal yang selama ini tidak disadarinya.

   "Suma Hoat, cinta yang mengandung kehendak ingin menguasai, ingin memiliki bukanlah cinta yang sejati. Karena menguasai dan memiliki hanya akan menimbulkan pertentangan dan persoalan batin, hanya menimbulkan kecewa dan sengsara kalau yang dikuasai dan dimiliki itu kemudian bersikap tidak sesuai dengan yang kita kehendaki. Bukanlah cinta yang sejati kalau bersyarat, kalau menuntut balas jasa, menghadapkan hal-hal yang menyenangkan hatinya sendiri. Cinta macam itu akan menimbulkan cemburu, iri hati, dengki, amarah dan mungkin berbalik menjadi benci. Padahal di mana ada cemburu dan lain-lain itu, apalagi benci, di sana tidak mungkin ada cinta!"

   Suma Hoat melongo memandang Kam Han Ki, kemudian menggeleng kepala sampai lama dan berkata,

   "Aihhh.... aku menjadi bingung, Taihiap.... aku harus merenungkan kata-katamu itu.... aku tidak mengerti...."

   "Apabila rasa sayang diri masih melekat kuat di dalam pikiran, memang sukarlah untuk menjadi waspada, sukar untuk memandang dan melihat sesuatu sebagaimana adanya, karena kecenderungan pandangan dikuasai oleh pertimbangan demi kesenangan dan kepentingan diri pribadi. Sudahlah, Suma Hoat. Karena engkau sudah berada di sini, engkau boleh tinggal di pulau ini selama yang engkau suka, hanya pesanku, harap engkau jangan merusak dan mengganggu istana dan isinya."

   "Terima kasih atas kebaikan Taihiap. Memang saya merasa senang sekali tinggal di sini. Setelah kedua orang nona itu lenyap, hidup tiada artinya bagi saya. Kembali ke dunia ramai hanya akan berarti mengumbar hawa nafsu berahi belaka. Saya akan bertapa di sini menjauhkan diri dari dunia ramai, hidup sederhana dan melupakan wanita!"

   Kam Han Ki sudah membalikkan tubuhnya hendak memasuki istana, akan tetapi mendengar ucapan itu, dia tersenyum dan menoleh, berkata,

   "Apa artinya hidup di tempat sunyi kalau pikiran dan hatinya masih gaduh dan ribut? Apa artinya hidup sederhana ditandai pakaian, tempat tinggal, dan makan sederhana kalau semua itu hanya untuk menutupi hati yang membayangkan kemuliaan hidup? Apa artinya menjauhkan diri dari wanita dan mencoba melupakannya kalau pikirannya masih penuh dengan bayangan wanita? Yang perlu sekali dibebaskan adalah batinnya, bukan lahirnya, Suma Hoat."

   Setelah berkata demikian, Han Ki memasuki istana, meninggalkan Suma Hoat yang makin bengong terlongong mendengarkan semua ucapan itu, merasa seperti disiram air dingin karena tiba-tiba dia melihat kebenaran nyata terkandung dalam semua ucapan Kam Han Ki, kebenaran nyata menelanjangi keadaan hatinya seperti apa adanya sehingga tak mungkin dapat dibantah lagi!

   Selama beberapa hari, Suma Hoat memulihkan kesehatannya akibat siksaan badai, kemudian dia menjelajahi Pulau Es, bukan saja untuk memeriksa keadaan pulau yang menjadi bahan dongeng ini, juga dengan harapan kalau dia akan bertemu dengan Maya atau Siauw Bwee. Siapa tahu, dua orang dara itu, atau seorang di antaranya masih hidup. Namun ada juga kengerian hatinya membayangkan mayat mereka yang akan ditemukannya! Setelah mengelilingi pulau selama beberapa hari dan tidak melihat bayangan dua orang dara itu, dia lalu kembali ke tengah pulau dengan niat menemui Kam Han Ki.

   Namun, istana Pulau Es itu telah kosong! Kam Han Ki tidak ada lagi di situ. Ketika Suma Hoat memasuki ruangan yang indah di mana beberapa hari yang lalu dia bertemu dengan Kam Han Ki, dia melihat tiga buah arca itu masih berjajar di situ. Dia mencari dalam kamar-kamar lain, dan di kamar yang terbesar dia melihat betapa dinding penuh dengan tulisan-tulisan indah berupa sajak-sajak yang mengandung kedukaan di samping sajak-sajak mengenai hidup. Sajak yang terpanjang dan ditulis paling indah membuat dia teringat akan suara Kam Han Ki ketika membaca sajak itu dengan suara penuh duka, sajak yang dimulai dengan pernyataan keinginan hati pria yang sedang dibuai asmara. :

   Betapa ingin mata memandang mesra
betapa ingin jari membelai sayang
betapa ingin hati menjeritkan cinta....

   Suma Hoat menghentikan bacaannya karena kata-kata itu menusuk jantungnya, mengingatkan dia akan kemesraan cinta dan kelembutan wanita. Dia memeriksa seluruh keadaan istana itu dan mengagumi bangunan yang amat indah dan halus. Namun hatinya berduka kalau teringat akan nasib buruk yang menimpa penghuni-penghuninya. Tiga orang manusia sakti, kakak beradik seperguruan, menjadi cerai-berai oleh cinta yang gagal! Dan dia sendiri, orang ke empat yang kini secara kebetulan berada di Pulau Es dan memperoleh ijin untuk menghuni Istana Pulau Es, dia pun seorang manusia gagal yang rusak oleh cinta gagal pula! Dengan penekanan mati-matian terhadap segala keinginan hati mudanya, Suma Hoat hidup sendiri di Pulau Es, memperdalam ilmu-ilmunya dan terutama sekali melatih Jit-goat Sin-kang.

   Pulau Es merupakan tempat yang amat baik untuk melatih sin-kang, karena hawa udara di situ amat dinginnya. Untuk melawan hawa dingin ini saja sudah merupakan latihan yang baik dan memperkuat daya tahan tubuhnya. Bertahun-tahun lewat tanpa dia pedulikan dan tanpa disadarinya, pemuda tampan putera bangsawan yang sudah biasa hidup mewah itu, hidup menyendiri di Pulau Es selama empat lima tahun lamanya! Kurang lebih lima tahun kemudian, pada suatu pagi, kembali ada badai mengamuk dan air laut naik sampai beberapa meter tingginya. Pulau Es tergetar dan terguncang hebat, angin bertiup kencang membuat Suma Hoat yang gagah perkasa itu merasa ngeri juga dan terpaksa dia menyelamatkan dan menyembunyikan diri ke dalam istana! Karena angin benar-benar amat kuat, Suma Hoat bersembunyi di ruangan bawah istana itu.

   Sampai sehari semalam badai mengamuk. Suma Hoat tidak dapat keluar dari ruangan bawah karena tiupan angin menyerbu masuk ke dalam istana. Perutnya terasa lapar dan ketika tiba-tiba muncul seekor ular dari sebuah lubang di lantai di ruangan bawah tanah itu, Suma Hoat menjadi girang. Ular itu cukup besar, sebesar lengan tangannya, berkulit merah dan kelihatan bersih sekali. Sekali melompat, Suma Hoat berhasil menangkap leher ular dan mencengkeram leher itu sampai putus! Ular mati seketika, akan tetapi daging dan darahnya masih segar ketika Suma Hoat yang kelaparan mengulitinya lalu memanggang daging ular di dalam ruangan itu. Bau yang sedap gurih membuat perutnya makin kelaparan. Dengan lahapnya dimakanlah daging ular itu sampai habis! Setelah perutnya kenyang, Suma Hoat merebahkan diri dan tertidur pulas.

   Dia mimpi tidur di atas sebuah ranjang lebar dan indah dalam sebuah kamar mewah dan berbau harum, ditemani oleh Coa Kim Hwa, Khu Siauw Bwee, dan Maya! Tiga orang dara cantik jelita itu semua melayaninya dengan manja dan penuh kasih sayang. Bukan main hebatnya kemesraan yang dinikmatinya itu, yang memeluk dan menciuminya secara bergilir dan sama sekali tidak bersaing. Gairah ketiga orang dara itu mendatangkan rasa panas sekali pada tubuhnya, membuat kepalanya berputar rasanya dan matanya berkunang. Payah juga melayani tiga orang dara yang begitu besar dan panas gairahnya. Rasa panas makin menghebat sehingga dia terpaksa mendorong mereka ke samping dan terguling jatuh dari atas ranjang lalu.... sadar dari mimpi!

   "Aughhhh....!"

   Suma Hoat menggosok dahinya, kaget merasa betapa tangannya menjadi basah oleh keringat yang memenuhi muka dan leher bahkan ketika dia melihatnya, seluruh tubuhnya berpeluh.

   Tubuhnya panas bukan main. Agaknya badai telah mereda, tidak terdengar lagi hembusan angin ribut. Karena tidak dapat menahan panasnya, Suma Hoat meloncat bangun, terhuyung-huyung dan lari keluar. Biarpun dia telah berada di luar istana yang hawanya dingin, tetap saja dia merasa panas. Bukan hanya panas yang menyiksa, melainkan terutama sekali nafsu berahi yang mengguncangnya dan menguasainya. Nafsu berahi yang membuat dia membayangkan semua wanita yang pernah dihubunginya, pernah diperkosanya, membuat dia makin tersiksa.

   "Auhhh, setan keparat! Iblis laknat! Ini tentu gara-gara daging ular merah! Celaka sekali, daging itu mengandung racun perangsang berahi!"

   Suma Hoat cepat duduk bersila dan mengerahkan sin-kangnya untuk melawan rangsangan nafsu berahi yang tidak sewajarnya itu. Namun, racun ini benar-benar hebat sekaii. Terlalu banyak dia makan daging ular sehingga amat banyak pula racun yang menguasai dirinya. Suma Hoat benar-benar tersiksa selama tiga hari tiga malam. Andaikata dia tidak berada di Pulau Es, di tempat yang sunyi dan kosong tidak ada manusia lainnya, tentu dia sudah tidak dapat menahan, dan tentu dia sudah melakukan kembali perbuatan yang menjadi penyakit lamanya, yaitu melampiaskan nafsunya pada wanita yang mana saja, baik secara halus dengan bujukan maupun secara kasar dengan perkosaan! Dia menyumpah-nyumpah, bukan hanya memaki ular merah, akan tetapi juga memaki-maki diri sendiri.

   "Manusia lemah! Manusia terkutuk! Bertahun-tahun bertapa, sekarang menghadapi racun yang merangsang nafsu berahi saja tidak kuat bertahan!"

   Aduhhh, benar ucapan Kam Han Ki! Sekarang dia melihat kenyataan ucapan itu, bukan dengan teori, bukan dengan pemikiran, melainkan kenyataan yang dialaminya sendiri! Menjauhkan diri dari wanita bukan berarti dia akan dapat melenyapkan nafsu berahi karena datangnya segala macam nafsu bukanlah dari luar, melainkan dari dalam diri pribadi, dari pikiran sendiri! Andaikata dia berada di tengah-tengah antara seribu wanita cantik, kalau pikirannya menerima kenyataan ini tanpa disertai angan-angan pikiran membayangkan pengejaran kenikmatan demi si aku, tentu tidak akan terjadi sesuatu, tidak akan timbul rangsangan yang tidak sehat.

   Sebaliknya, biarpun berada di pulau kosong seperti keadaannya sekarang, kalau hatinya masih mengenangkan dan membayangkan wanita, tentu saja nafsu berahi akan timbul, baik dengan racun ular merah maupun tidak! Sambil mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menahan diri agar dia tidak menjadi gila karena rangsangan nafsu, dalam keadaan tersiksa dan menyendiri itu timbul pula perasaan jemu di hati Suma Hoat dengan pulau kosong ini. Memang patut dikasihani Suma Hoat. Demikianlah halnya manusia yang belum terbuka mata batinnya. Batinnya selalu diamuk pertentangan-pertentangan dalam diri sendiri. Nafsu yang sekarang dikekang dan ditentang tidak akan hilang, sesaat kelihatannya dapat ditundukkan akan tetapi di lain saat akan bangkit dan tak dapat dikendalikan lagi.

   Keinginan untuk melenyapkan nafsu adalah nafsu itu sendiri dalam kedok lain. Bagi seorang yang ingin belajar dan mengerti, seyogianya mempelajari dan mengenal nafsu sendiri apabila nafsu datang, menghadapinya dengan wajar, meneliti dan waspada akan keadaan diri pribadi, lahir batin. Hanya orang yang belajar mengenal diri pribadi setiap saat, meneliti penuh kewaspadaan dan kesadaran akan sikap diri pribadi terhadap segala sesuatu yang menimpa dirinya, lahir maupun batin, dia itulah yang akan terbebas dari nafsu, karena dia akan terbebas pula dari keinginan akan sesuatu demi diri pribadi. Mengenal diri pribadi, melihat dengan penuh kewajaran bahwa dirinya penuh dengan iri, dengki, murka, benci, munafik, berahi, dan sebagainya berarti dimulainya pembebasan akan semua itu.

   Sayang sekali Suma Hoat tidak mau mencari ke dalam, seperti sebagian besar manusia di dunia ini. Setiap persoalan yang dihadapinya, manusia selalu menunjukkan pandang matanya ke luar, mencari sasaran, mencari kambing hitam yang akan dipergunakan sebagai penyebab persoalan. Andaikata manusia suka menunjukkan pandang matanya ke dalam, mempelajari diri sendiri, sikap diri sendiri menghadapi persoalan itu, maka setiap persoalan akan dapat diatasi tanpa menciptakan persoalan baru. Setelah mengerahkan seluruh tenaganya melawan racun ular merah selama tiga hari, pada pagi hari ke empatnya, pengaruh racun sudah mulai melemah, sama lemahnya dengan tubuh Suma Hoat yang selama tiga hari tiga malam mengerahkan tenaga, tidak tidur dan tidak makan.

   Selagi dia menghentikan perlawanannya terhadap racun, bangkit berdiri dengan lemas dan hendak mencari makanan, tiba-tiba dia mendengar suara mendesis-desis dari dalam istana. Dia terkejut dan heran, cepat dia berlari masuk karena memang dia tadinya hendak mencari bahan makanan yang banyak terdapat di gudang belakang. Mendadak ia terbelalak dan mencelat ke belakang. Kiranya yang mengeluarkan suara mendesis-desis itu adalah barisan ular merah yang banyak sekali jumlahnya, ada ribuan ekor banyaknya, keluar dari dalam istana, dan ada pula yang merayap datang dari belakang istana. Sukar dikatakan dari mana datangnya ular-ular itu, mungkin dari bawah istana, mungkin juga dari pantai laut yang letaknya di belakang istana.

   Suma Hoat terkejut dan pucat wajahnya. Menghadapi ribuan ekor ular beracun itu benar-benar amat menjijikkan dan mengerikan. Dia lalu melompat dan melarikan diri, menuju ke pantai di mana dia meninggalkan perahunya. Setelah dia menyeret perahu ke pinggir laut, dia membalikkan tubuh memandang Pulau Es dan menarik napas panjang berulang-ulang. Kemudian dia menghampiri sebongkah batu besar. Dia mulai membuat goresan-goresan pada permukaan batu itu, menulis huruf-huruf dengan tangan gemetar karena dia memang masih amat lemah sehingga huruf-huruf yang ditulisnya itu kasar dan buruk jadinya.

   "Betapa menjemukan ular salju merah itu! Aku datang ke sini untuk menjauhi wanita, dan daging ular itu membuat aku menderita hebat! Dan hari ini, tiga hari kemudian, pulau diserbu ribuan ekor ular salju merah, memaksa aku harus pergi. Keparat! Pulau Es ini pulau terkutuk agaknya, tanah di bawahnya menjadi istana ular-ular salju merah! Ataukah nenek moyangku yang terkutuk sehingga Suma Hoat tidak berjodoh dengan Pulau Es?"

   Tulisan itu dibuat oleh Suma Hoat untuk menyatakan penyesalan dan juga diharapkan sebagai peninggalan pesan untuk Kam Han Ki mengapa dia meninggalkan pulau itu. Kemudian Suma Hoat mendayung perahunya ke tengah dan mulailah dia meninggalkan Pulau Es untuk kembali ke daratan yang diperkirakan berada di sebelah selatan atau barat itu. Kegagalan Suma Hoat di Pulau Es mulai dari kegagalan cinta sampai kegagalan menggembleng diri, membuat penghidupan pendekar itu menjadi makin rusak! Setelah dia berhasil mendarat, dunia kang-ouw menjadi gempar lagi dengan munculnya Jai-hwa-sian yang amat tinggi ilmu kepandaiannya, juga amat berani. Dalam petualangannya yang jahat dan berbahaya Suma Hoat tidak mempedulikan anak dara siapa saja yang disukai, baik dara puteri seorang pembesar tinggi, maupun puteri seorang ketua partai persilatan besar,

   Anak murid partai besar, asal bertemu dengan dia dan membangkitkan berahinya, tentu akan dibujuknya atau dipaksanya! Perbuatannya ini membuat nama Jai-hwa-sian menjadi makin terkenal sehingga namanya sendiri malah tidak dikenal orang. Selain itu, juga mendatangkan banyak musuh karena banyak orang-orang gagah ingin membasminya, dan banyak pula tokoh-tokoh persilatan merasa sakit hati dan menaruh dendam karena murid wanita atau anak mereka menjadi korban keganasan Jai-hwa-sian. Namun, sampai belasan tahun Jai-hwa-sian merajalela, entah sudah berapa ratus orang gagah yang roboh di tangannya, tidak mampu menandingi kelihaian Dewa Pemetik Bunga ini. Selain lihai, juga Jai-hwa-sian tidak pernah tinggal lama-lama di sebuah kota, di samping ini dia jarang memperlihatkan diri sehingga jarang ada orang mengenalnya, kecuali para wanita korbannya yang sempat hidup setelah diperkosanya.

   Namun mereka ini, untuk menjaga kehormatan dan nama sendiri, tentu saja membungkam dan menyimpan rahasianya sampai mati. Hampir semua orang gagah di dunia kang-ouw memusuhinya, tentu saja ada pula yang menganggapnya sebagai seorang pendekar yang gagah berani karena sesungguhnya, sepak terjang Suma Hoat memang sebagai seorang pendekar. Di mana pun dia berada dia selalu menentang kejahatan, membasmi gerombolan perampok, membela yang tertindas dan seringkali membagi-bagikan harta benda yang dia rampas dari sarang-sarang perampok. Akan tetapi, tentu saja semua perbuatan baik ini tidak ada artinya karena dikotori oleh kesukaannya yang terkutuk, yaitu mendapatkan setiap orang wanita yang menggerakkan hatinya, baik secara halus maupun kasar! Di antara orang-orang gagah di seluruh dunia kang-ouw yang menganggapnya sebagai sahabat, adalah Im-yang Seng-cu, tokoh pelarian Hoa-san-pai yang amat lihai itu.

   Seringkali mereka berdua bersama-sama berjuang menghadapi gerombolan-gerombolan penjahat yang kuat, dan di antara kedua orang ini terdapat kecocokan watak. Namun, semua nasihat Im-yang Seng-cu tidak dapat mengubah watak buruk, yaitu kesukaannya memetik bunga dengan paksa (memperkosa wanita)! Kesukaan buruk inilah yang lagi-lagi memisahkan mereka dan membuat hati Im-yang Seng-cu kecewa dan menyesal sekali. Pada suatu pagi, di dalam sebuah hutan di luar kota Lok-yang, di sebelah utara dekat Sungai Huang-ho, terdengar jerit mengerikan seorang wanita di antara suara beradunya senjata tajam dan teriakan-teriakan kesakitan. Kiranya, sebuah rombongan piauwsu (pengawal) yang mengantar pelancong dan pengawal barang-barang berharga, bertanding melawan gerombolan perampok yang hendak merampok barang dan menculik wanita. Di dalam sebuah kereta yang dikawal, terdapat seorang ibu dengan anak daranya yang cantik.

   Jerit itu keluar dari mulut Si Dara yang menjadi ketakutan dan berpelukan dengan ibunya yang menangis penuh rasa takut dan gentar. Sedangkan ayah dara itu pun dengan muka pucat duduk sambil mengembangkan kedua lengan, seolah-olah hendak melindungi anak isterinya dengan kedua lengan yang dikembangkan itu! Biarpun rombongan piauwsu itu melakukan perlawanan sekuatnya, namun karena jumlah mereka hanya dua puluh orang sedangkan perampok-perampok itu jumlahnya lebih lima puluh, dikepalai oleh seorang raksasa tinggi besar bersenjata sepasang ruyung yang mengerikan, akhirnya rombongan piauwsu itu tewas semua, termasuk para pelayan dan kusir kereta. Mayat mereka bergelimpangan dan terbenam dalam darah yang memenuhi tempat itu.

   "Ha-ha-ha, kumpulkan semua barang!"

   Kepala rampok itu tertawa-tawa.

   "Tai-ongya, di dalam kereta terdapat seorang nona yang amat cantik!"

   Seorang perampok melapor sambil cengar-cengir.

   "Ha-ha-ha, bagus. Biar aku sendiri yang menangkapnya!"

   Kepala rampok itu melangkah lebar, menyingkap tirai jendela kereta dan nampaklah dara remaja itu dipeluk ibu dan dijaga ayahnya! Sepasang mata kepala rampok itu terbelalak penuh kagum, air liurnya menitik dan matanya menjadi merah, mulutnya terkekeh genit.

   "Heh-heh-heh, manis. Marilah kupondong kau, kusenangkan kau.... ha-ha!"

   "Pergi! Jangan ganggu anakku!"

   Ayah dara itu membentak, akan tetapi sekali saja kepala rampok itu mengayun tangannya, laki-laki itu terlempar keluar dari kereta!

   "Jangan ganggu anakku! Setan, perampok jahat....! Tolooonnggg....!"

   Ibu dara itu menjerit, akan tetapi kembali tubuhnya terlempar keluar dari dalam kereta ketika didorong oleh kepala rampok yang sudah menyambar lengan Si Dara dan ditarik lalu didekapnya. Dara itu menjadi pucat sekali, tubuhnya menggigil dan tidak ada suara keluar dari mulutnya saking takut, hanya matanya terbelalak seperti mata seekor kelinci yang ketakutan. Karena ibu dara itu pun belum tua benar dan memang cantik, begitu melihat mereka terlempar dari kereta sehingga bajunya tersingkap dan kelihatan bentuk dadanya yang masih padat, seorang perampok segera menubruk dan menciuminya, hendak memperkosanya di tempat itu juga, di dekat Si Suami yang mulai merangkak bangun sambil memegangi lengan kiri yang patah tulangnya ketika dia terjatuh tadi!

   "Bretttt!"

   Perampok itu sudah merobek baju wanita itu dan Si Wanita selain meronta-ronta juga menjerit-jerit, akan tetapi tentu saja dia tidak mampu melawan Si Perampok yang jauh lebih kuat dan yang tertawa-tawa senang melihat korbannya melakukan perlawanan itu. Sementara itu Si Dara jelita yang dipondong oleh kepala rampok, menjerit-jerit dan menggunakan kedua tangannya memukuli dada perampok itu, akan tetapi Si Kepala Perampok tertawa-tawa bergelak dan membawa anak dara yang meronta-ronta itu ke belakang semak-semak, diiringi gelak tawa anak buahnya. Tiba-tiba kepala rampok itu terbelalak ketika melihat seorang laki-laki secara aneh sekali tahu-tahu telah berada di depannya. Seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, berpakaian mewah dan berwajah tampan, dengan sepasang mata seperti mata setan, tajam mengerikan!

   "Lepaskan dara itu!"

   Laki-laki itu berkata dengan sikap dingin, suaranya memerintah, seperti seorang bangsawan memerintah pelayannya saja. Tahulah Si Kepala Rampok bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan yang hendak menentangnya. Sambil tertawa dia melempar dara itu ke atas rumput, kemudian berkata,

   "Kiranya masih ada yang belum mampus, keparat!"

   Dia menggerakkan ruyungnya, akan tetapi tiba-tiba tampak sinar berkelebat disusul pekik Si Kepala Rampok yang melihat betapa lengan kanannya terbang bersama ruyungnya, darah muncrat dari pangkal lengan kanan yang buntung!

   "Singgg....! crottt!"

   Kembali sinar berkelebat dan kini pangkal lengan kirinya yang buntung! Si Kepala Rampok menjerit mengerikan sebelum tubuhnya tcrjengkang rohoh, matanya terbelalak dan ia berkelojotan dalam sekarat!

   Karena para perampok sedang sibuk dengan kesenangan masing-masing, membongkar-bongkar barang berharga, mereka tidak melihat peristiwa aneh itu. Ketika Si Perampok tengah berusaha memperkosa ibu Si Dara yang melakukan perlawanan keras, tiba-tiba perampok itu memekik nyaring dan tubuhnya terlempar ke belakang, lambungnya robek dan ususnya keluar. Barulah para perampok sadar bahwa ada seorang pengacau! Mereka cepat mengurung laki-laki perkasa itu dan gegerlah mereka setelah ada yang melihat betapa kepala rampok pemimpin mereka itu telah berkelojotan dengan kedua lengan buntung! Sisa gerombolan perampok yang masih ada tiga puluh orang lebih itu kini mengurung dan menyerbu laki-laki itu dan menghujankan senjata. Akan tetapi, laki-laki itu memutar pedang yang berubah menjadi sinar bergulung-gulung, tubuhnya berkelebat ke sana-sini dan terdengar teriakan-teriakan disusul robohnya para perampok itu seorang demi seorang!

   Keadaan di tempat itu sungguh mengerikan dan akhirnya, semua perampok roboh dan tewas, kecuali seorang yang berusaha melarikan diri. Laki-laki itu menoleh ke arah perampok yang melarikan diri, kakinya mencongkel sebatang golok yang terletak di atas tanah, menendang dan terdengarlah jerit perampok itu yang roboh dengan golok menembus punggung! Selesailah pertandingan itu dan keadaan menjadi sunyi sekali, kecuali suara isak tangis ibu dan anak yang saling merangkul, dan suara ayah Si Dara yang menghibur mereka. Di sekeliling tempat itu penuh dengan mayat! Di tengah-tengah tempat mengerikan itu, berdirilah laki-laki setengah tua yang tampan tadi, kini tersenyum-senyum dan matanya ditujukan kepada Si Dara yang sedang menangis bersama ibunya. Ayah Si Dara itu bangkit dan mengajak anak isterinya menghampiri pendekar itu, berlutut dan memberi hormat.

   "Taihiap, kami sekeluarga menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Taihiap,"

   Kata Si Ayah.

   "Bangunlah, sudah sepatutnya kalau aku menolong kalian, terutama sekali mengingat akan puterimu. Semua ini berkat nasib puterimu yang amat baik."

   Terdengar pendekar itu berkata. Mendengar suara yang halus itu, Si Dara mengangkat muka dan tiba-tiba kedua pipinya berubah merah sekali. Tadi dia melihat wajah menyeramkan dari Si Kepala Rampok yang hampir saja memperkosanya. Kini melihat wajah amat tampan dan gagah dari pria yang telah menyelamatkannya, hati siapa yang tidak akan berdebar dan tertarik?

   "Pertolongan In-kong lebih berharga daripada nyawa dan sampai mati pun saya tidak akan melupakannya."

   Dara itu berbisik dengan suara mengandung isak karena bersyukur. Laki-laki perkasa itu membungkuk, menyentuh kedua pundak dara itu dengan sentuhan mesra, menyuruhnya bangkit,

   "Aku pun merasa bahagia sekali dapat menyelamatkanmu, Nona."

   "Taihiap, kami adalah keluarga Kwa dari Tai-goan hendak pindah ke Lok-yang. Bolehkah kami mengetahui nama besar Taihiap dan mempersilakan Taihiap singgah di tempat kediaman baru kami?"

   Kata pula Kwa Liok, ayah Si Dara itu.

   "Namaku adalah Suma Hoat, dan tentu saja saya suka singgah, karena memang saya pun hendak ke Lok-yang, sekalian akan saya kawani kalian sampai ke Lok-yang dengan selamat. Silakan naik kereta, biar aku yang akan mengemudikannya."

   Ketika keluarga yang terdiri dari ayah ibu dan anak itu sudah naik kereta, Suma Hoat bertanya,

   "Milik siapakah barang-barang di dalam kereta ke dua di belakang itu?"

   "Bukan milik kami Taihiap. Mungkin barang-barang kiriman yang dikawal oleh rombongan piauwsu. Kami hanya ikut rombongan dengan membayar biaya pengawalan, kami keluarga miskin tidak membawa barang apa-apa kecuali bungkusan-bungkusan dalam kereta ini."

   Suma Hoat mengangguk-angguk, meloncat ke belakang dan setelah memilih dan mengantongi beberapa benda berharga dari emas permata, dia lalu kembali ke kereta, naik ke tempat di depan dan mencambuk dua ekor kuda yang tadi ketakutan itu sehingga dua ekor binatang itu membalap ke depan menarik kereta.

   Setelah tiba di rumah keluarga Kwa di Lok-yang, tentu saja Suma Hoat diterima sebagai tamu agung, dihormati oleh suami isteri Kwa dan terutama oleh puterinya, Kwa Bi Kiok yang benar-benar merasa kagum dan berhutang budi kepada penolongnya itu. Dara ini memang cantik manis, maka tidaklah mengherankan apabila timbul rasa suka di hati Jai-hwa-sian terhadap gadis itu! Seperti biasa, begitu hatinya tergerak, begitu nafsunya terangsang, dia harus mendapatkan gadis itu dan kebetulan sekali, terhadap Bi Kiok, Suma Hoat tidak perlu mempergunakan kekerasan karena ketika pada malam harinya dia memasuki kamar gadis itu, dia diterima dengan penuh kemesraan dan cinta kasih!

   Sekali ini tidak seperti biasanya, Suma Hoat jatuh hati terhadap Bi Kiok. Biasanya, setelah gairah nafsunya terlaksana terhadap seorang wanita yang dikehendakinya, dia tidak mau menengok lagi dan meninggalkan si korban begitu saja. Akan tetapi entah mengapa, terhadap Bi Kiok dia tidak dapat bersikap demikian. Timbul rasa cinta dan kasihan terhadap gadis ini dan di dalam diri Bi Kiok, dia seolah-olah menemukan sesuatu yang dicari-carinya, bagaikan seekor burung yang gelisah menemukan pohon yang cocok untuk berteduh seperti sebuah perahu menentukan pangkalan yang tepat untuk berlabuh. Ataukah, mungkin juga dia menemukan cinta, bukan hanya nafsu berahi seperti biasanya?

   Malam hari itu dia tinggal di rumah Kwa Bi Kiok, bahkan dia menghadiahkan semua barang-barang berharga, perhiasan-perhiasan indah mahal kepada kekasih barunya ini. Dia menjadi amat "jinak", tidak pernah keluar rumah. Apalagi setelah ayah bunda Bi Kiok mengetahui akan hubungan antara penolong mereka dan puteri mereka, peristiwa yang mereka sesalkan akan tetapi mereka tidak berani mencegah atau melarangnya, Suma Hoat hidup di dalam rumah itu sebagai pengantin baru dengan Bi Kiok yang ternyata amat mencintanya. Makin mendalam perasaan Suma Hoat terhadap Bi Kiok ketika tiga bulan kemudian kekasihnya itu mengandung! Kalau saja dia tidak khawatir akan datangnya malapetaka, tentu dia akan menikah secara resmi dengan kekasihnya itu.

   Akan tetapi betapa mungkin dia melakukan pernikahan? Begitu namanya tersiar, tentu akan datang musuh-musuh besar yang selalu mencarinya, dan gadis yang menjadi isterinya tentu akan dimusuhi pula. Bahkan sampai tiga bulan tinggal di dalam kota Lok-yang ini saja sudah merupakan hal yang amat berbahaya dan belum pernah dilakukan sebelumnya. Biasanya dia selalu berpindah-pindah, tidak lebih dari sepekan saja berada di sebuah kota. Akan tetapi, karena Bi Kiok, dia kini telah tiga bulan berada di Lok-yang. Biarpun selama tiga bulan itu dia tidak pernah keluar dari dalam rumah, apalagi melakukan perbuatannya sebagai Jai-hwa-sian, namun sudah amat berbahaya. Pada suatu malam, terjadilah apa yang dikhawatirkan oleh Jai-hwa-sian. Selagi tidur bersama Bi Kiok yang pulas (Lanjut ke Jilid 39 - Tamat)
Istana Pulau Es (Seri ke 05 "

   Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 39 (Tamat)
dalam pelukannya, dia mendengar gerakan yang perlahan sekali di atas rumah!

   Dia menengok dan memandang wajah kekasihnya, wajah yang cantik manis dan gemilang mengeluarkan cahaya cemerlang seperti biasa wajah seorang wanita yang mengandung, tidur pulas dengan bibir tersenyum penuh kepuasan dan kebahagiaan. Jantung Suma Hoat seperti ditusuk rasanya. Dia mencinta wanita ini! Hati-hati sekali dia menarik lengannya yang dijadikan bantal oleh kepala Bi Kiok, cepat mengenakan pakaian dan sekali berkelebat, dia telah meloncat keluar dari kamar membawa pedangnya. Tepat seperti apa yang diduga dan dikhwatirkannya, begitu tubuhnya melayang naik ke atas genteng, lima orang telah menghadapinya!

   "Jai-hwa-sian, iblis keparat, serahkan nyawamu kepada kami!"

   Seorang di antara mereka membentak. Tanpa menanti jawaban, lima orang itu telah menerjang maju serentak dengan senjata mereka.

   Suma Hoat tidak ingin mengagetkan kekasihnya, juga tidak ingin kekasihnya tahu akan keadaan dirinya, maka dia hanya mengelak lalu melarikan diri untuk memancing musuh-musuhnya itu melakukan pengejaran. Maka dia tidak berlari terlalu cepat sehingga musuh-musuhnya mampu menyusulnya keluar dari kota Lok-yang. Akan tetapi yang mengejar Suma Hoat hanya empat orang, sedangkan orang ke lima, seorang hwesio, telah melayang turun dan memasuki rumah keluarga Kwa. Kwa Liok telah bangun karena kaget mendengar suara berisik tadi, dan melihat seorang hwesio di situ, dia kaget dan heran sekali. Akan tetapi, hwesio yang berwajah tenang itu segera berkata,

   "Harap engkau tidak kaget dan lebih baik kau lekas melihat keadaan puterimu. Pinceng percaya bahwa engkau tentu mempunyai seorang gadis."

   Tentu saja Kwa Liok bingung dan heran. Dia menangguk, menelan ludah dan berkata,

   "Memang, Twa-suhu, kami mempunyai seorang anak perempuan, akan tetapi.... mengapa....?"

   "Lekas, lihat ke dalam kamarnya!"

   Hwesio itu mendekat dengan alis berkerut karena dia khawatir kalau-kalau Jai-hwa-sian telah memperkosa puteri tuan rumah ini. Biarpun ragu-ragu dan heran, Kwan Liok menghampiri kamar puterinya. Tiba-tiba muncul isterinya yang menjadi pucat melihat seorang hwesio bersama suaminya menghampiri kamar puterinya. Tanpa bertanya, dia ikut menghampiri kamar itu. Pintu kamar ditekuk perlahan oleh Kwa Liok yang memanggil-manggil nama anaknya. Tak lama kemudian terdengar jawaban,

   "Ehmmm....? Siapa....? Eihh, ke mana perginya....?"

   "Bi Kiok, engkau tidak apa-apa?"

   Kwa Liok bertanya dan isterinya memandang bingung. Daun pintu terbuka dan Bi Kiok terkejut, cepat-cepat menutupkan bajunya yang terbuka sedikit ketika melihat seorang hwesio bersama ayah bundanya.

   "Eh, ada apakah, Ayah?"

   "Omitohud....!"

   Hwesio itu menarik napas panjang dan merasa lega.

   "Untung bahwa Tuhan masih melindungi puterimu dari cengkeraman keji Jai-hwa-sian."

   Kwa Liok, isterinya, dan Bi Kiok terkejut.

   "Jai-hwa-sian....?"

   Tentu saja mereka telah mendengar nama penjahat yang ditakuti ini, dan Kwa Liok menyebut nama itu dengan penuh pertanyaan.

   "Ya, benar, baru saja kami berlima menyerbu setelah mendengar kabar bahwa Jai-hwa-sian, penjahat cabul yang kami cari-cari itu berada di rumah ini. Dia tadi telah kabur dan dikejar teman-teman pinceng. Akan tetapi, melihat bahwa anakmu masih selamat, sebaiknya sekarang juga kalian segera pergi dari tempat ini. Biasanya kalau Jai-hwa-sian belum berhasil mendapatkan korbannya, dia akan penasaran dan akan terus melakukan pengejaran."

   "Tapi.... tapi...."

   Kwa Liok tak dapat melanjutkan kata-katanya karena dia merasa bingung sekali.

   "Biarpun teman-teman pinceng tadi mengejarnya, belum tentu mereka dapat menangkap atau membunuhnya. Dia amat lihai dan kejam. Untung bahwa anakmu masih belum menjadi korban, tadinya pinceng mengira dan mengkhawatirkan, seperti yang sudah-sudah, anakmu sudah menjadi mayat."

   "Lo-suhu, siapakah yang kaumaksudkan dengan Jai-hwa-sian itu? Yang berada di sini sama sekali bukan Jai-hwa-sian, melainkan.... eh, suamiku.... Suma Hoat, bukan Jai-hwa-sian...."

   Bi Kiok yang mendengarkan dengan muka pucat ini tiba-tiba tak dapat menahan hatinya dan berkata dengan tegas. Biarpun dia belum menikah secara resmi dengan kekasihnya, namun Suma Hoat sudah dianggap sebagai suaminya sendiri, maka kini mendengar suaminya dituduh sebagai Jai-hwa-sian, penjahat cabul yang sudah terkenal di mana-mana, tentu saja dia tidak senang dan membantah.

   "Omitohud.... suamimu....? Apa artinya ini....? Suma Hoat adalah Jai-hwa-sian, Jai-hwa-sian adalah Suma Hoat.... haittt!"

   Tiba-tiba hwesio itu melempar tubuhnya ke belakang untuk menghindarkan diri dari sambaran sebatang jarum yang datang dari atas. Sambil bergulingan, hwesio itu memutar toyanya, kemudian melompat bangun dan berhadapan dengan Suma Hoat yang telah meloncat turun.

   "Jai-hwa-sian....!"

   Hwesio itu membentak, matanya terbelalak penuh kaget dan heran mengapa orang yang dikejar-kejar empat orang temannya tadi tahu-tahu telah muncul di situ.

   "Hemmm, agaknya engkau murid Siauw-lim-pai, ya? Nah, mampuslah seperti empat orang kawanmu!"

   Suma Hoat menggerakkan pedangnya menerjang ke depan. Hwesio itu cepat menangkis dan terjadilah pertandingan di dalam rumah keluarga Kwa. Ternyata hwesio itu bukan tandingan Suma Hoat. Baru dua puluh jurus lebih saja, pundaknya terbabat pedang dan toyanya terlepas. Hwesio itu meloncat keluar dari rumah, melarikan diri.

   "Engkau hendak lari ke mana?"

   
Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Suma Hoat membentak, akan tetapi tiba-tiba Bi Kiok menubruk. Wanita ini memeluk dan menangis.

   "Engkau.... engkau.... benarkah engkau Jai-hwa-sian....?"

   Suma Hoat merangkul pundak kekasihnya, mengusap rambut yang awut-awutan itu dan menghela napas.

   "Bi Kiok, kekasihku, dewi pujaan hatiku calon ibu anakku.... siapa pun adanya aku, engkau yakin bahwa aku mencintamu, bukan?"

   Bi Kiok mengangkat muka memandang wajah orang yang dicintanya itu, terisak, merangkul leher memaksa muka Suma Hoat mendekat, lalu menempelkan pipinya pada pipi kekasihnya. Sambil menangis dia hanya mengangguk-angguk, tak mampu menjawab karena dia bingung sekali. Pria yang dipeluknya ini adalah laki-laki yang dicintanya, benarkah orang yang dianggapnya paling mulia di dunia ini adalah Jai-hwa-sian, penjahat cabul yang telah memperkosa ratusan orang wanita dan membunuh korbannya secara keji? Benarkah ini? Sukar untuk mempercayai hal ini!

   "Bi Kiok, hwesio tadi benar. Aku memang Jai-hwa-sian, bekas penjahat cabul yang kejam. Kukatakan bekas, karena setelah bertemu denganmu, aku tidak mau lagi melakukan kejahatan itu. Dan hwesio tadi benar bahwa engkau dan ayah bundamu harus segera pergi dari sini, malam ini juga. Bukan takut kepadaku, melainkan takut kepada orang-orang kang-ouw yang memusuhiku. Kalau mereka tahu bahwa engkau telah menjadi kekasihku, menjadi isteriku, menjadi calon ibu anakku, tentu engkau akan terbawa-bawa, akan dimusuhinya pula. Sebentar lagi pun mereka tentu akan menyerbu rumah ini. Bi Kiok, pergilah engkau."

   "Suma-koko.... aku mau mati di sampingmu...."

   Bi Kiok menangis.

   "Suma-taihiap, bagaimanakah ini....?"

   Kwa Liok akhirnya berkata dengan bingung.

   "Apa yang kalian dengar dari hwesio tadi benar semua. Malam ini juga, kalian bertiga harus pergi dari sini. Saudara Kwa, bawa Bi Kiok pergi dari kota ini. Bawalah pergi ke kota Han-tiong di lembah sungai di kaki Pegunungan Ta-pa-san. Temui seorang tokoh kang-ouw bernama Im-yang Seng-cu, kau tanya-tanya di sana tentu akan bertemu. Mintalah perlindungan kepadanya. Dia sahabat baikku, tentu dia akan mellndungi Bi Kiok kalau membawa surat ini, sampai Bi Kiok melahirkan dan sebelum itu, aku akan berusaha untuk menyusul ke sana...."

   Suma Hoat menyerahkan sepucuk surat dan sebuah pundi-pundi.

   "Ini adalah uang emas untuk bekal di perjalanan. Nah, berangkatlah..."

   Kwa Liok hanya mengangguk-angguk tak mampu menjawab saking bingungnya. Dia dan isterinya lalu lari ke dalam kamar untuk berkemas, mempersiapkan barang yang kiranya dapat mereka bawa melarikan diri. Akan tetapi Bi Kiok menubruk dan memeluk kekasihnya sambil menangis.

   Sampai ayah bundanya datang lagi mengajaknya, dia masih menangis sehingga terpaksa Suma Hoat melepaskan pelukannya dan setengah diseret wanita itu dipaksa meninggalkan rumah di malam buta. Suma Hoat berdiri dengan jantung berdebar, ingin lari menyusul wanita yang tangisnya masih terdengar olehnya, makin lama makin lirih itu. Semangatnya seperti terbawa pergi, jantungnya seperti ditusuk-tusuk dan dia makin yakin bahwa dia benar-benar mencinta Bi Kiok! Bukan cinta berahi, melainkan cinta seorang suami terhadap isterinya, cinta seorang pria terhadap wanita yang akan menjadi ibu anaknya! Tiba-tiba ia sadar dari lamunan ketika mendengar gerakan orang. Dia meloncat keluar rumah dan di depan rumah itu telah terdapat belasan orang mengurung! Suma Hoat tersenyum mengejek, lalu berkata,

   "Apa kalian sudah bosan hidup? Mau apa kalian mencari Jai-hwa-sian?"

   "Jai-hwa-sian iblis jahat. Kalau belum membunuhmu, sampai dunia kiamat kami orang-orang kang-ouw akan selalu mencarimu!"

   Suma Hoat tertawa melengking dan meloncat ke depan, disambut oleh belasan batang senjata yang mengeroyoknya. Terdengar suara senjata beradu keras sekali, Suma Hoat mengamuk dan setelah merobohkan lima orang lawan, dia terpaksa melarikan diri karena para pengeroyoknya adalah orang-orang yang lihai ilmu silatnya, sedangkan malam hampir berganti pagi. Dengan cepat dia melarikan diri ke luar dari kota Lok-yang, menuju ke utara untuk memancing mereka menjauhi arah yang ditempuh Bi Kiok dan ayah bundanya.

   Setelah dapat membebaskan diri dari para pengejarnya, Suma Hoat mengambil jalan memutar menuju ke kota Han-tiong menyusul rombongan kekasihnya. Dia sengaja mengambil jalan jauh dan memutar agar jangan sampai ada orang tahu tempat tinggal Bi Kiok kalau-kalau ada yang melihat dan membayanginya. Karena perjalanan yang memutar ini, setelah tiga bulan barulah dia tiba di kaki Pegunungan Ta-pa-san, memasuki kota Han-tiong dan mencari kekasihnya. Akan tetapi hasilnya sia-sia. Keluarga Kwa Liok tidak berada di kota itu. Dia sudah mencari ke sekeliling kota, sudah bertanya-tanya, akan tetapi tidak ada orang yang tahu akan rombongan tiga orang itu! Akhirnya Suma Hoat bertemu dengan Im-yang Seng-cu, sahabat lamanya yang tinggal di dalam pondok kecil di sebuah hutan di luar kota Han-tiong.

   "Aihhh, Jai-hwa-sian, angin apa yang membawamu ke sini?"

   Im-yang Seng-cu cepat menyambut sahabatnya itu dan menegur gembira. Dengan singkat Suma Hoat lalu menceritakan tentang pilihan hatinya yang baru tentang Bi Kiok dan orang tuanya yang disuruh melarikan diri ke Han-tiong karena dia dikejar-kejar oleh musuh-musuhnya.

   "Sudah lebih dari tiga bulan mereka pergi, mestinya sudah berada di Han-tiong, akan tetapi kucari-cari mereka di sini tidak ada, bahkan agaknya tidak pernah datang ke Han-tiong. Jangan-jangan ada halangan di jalan...."

   Suma Hoat kelihatan gelisah sekali memikirkan kekasihnya. Im-yang Seng-cu memandang heran.

   "Sahabatku, tidak kelirukah pendengaranku dan penglihatanku bahwa agaknya engkau amat memperhatikan wanita yang kau cari ini?"

   "Memperhatikan? Im-yang Seng-cu, aku mencintanya! Mencinta dengan seluruh tubuh dan nyawa!"

   "Kau? Mencinta? Ha-ha, Jai-hwa-sian, harap jangan mempermainkan aku! Di waktu muda belia saja tidak pernah mengenal cinta, apalagi setelah kini rambutmu mulai ada ubannya!"

   "Sungguh aku tidak main-main. Aku telah menemukan cintaku, Im-yang Seng-cu. Dia adalah wanita satu-satunya yang sampai kini berhasil merebut kasihku, menghentikan semua petualanganku, dan.... dan dia sudah mengandung. Dia isteriku, dan aku harus dapat menemukan dia....! Ahhh, jangan-jangan dia tertimpa halangan. Aku harus pergi sekarang juga!"

   Jai-hwa-sian akan meloncat bangkit dengan wajah keruh dan penuh kekhawatiran.

   "Eh-eh, ke mana, sahabatku?"

   "Aku harus mencarinya. Dia dan ayah bundanya berangkat dari Lok-yang menuju ke sini, aku akan menyelusuri jalan itu sampai ke Lok-yang. Sampai jumpa, sahabatku!"

   Jai-hwa-sian meninggalkan Im-yang Seng-cu yang berdiri bengong di depan pondoknya, menggeleng kepala dan menarik napas panjang.

   "Aihhh.... sungguh kasihan. Makin tua makin terlibat urusan hati sendiri!"

   Im-yang Seng-cu yang biasanya memang suka merantau, menjadi tidak kerasan di pondoknya dan beberapa hari kemudian, Im-yang Seng-cu juga meninggalkan pondok dan mengambil jurusan ke Lok-yang karena dia merasa khawatir melihat sikap sahabatnya yang dianggapnya tidak seperti biasa. Kedatangan kembali Suma Hoat ke Lok-yang sama dengan ular mencari penggebuk. Musuh-musuhnya masih berada di Lok-yang dan masih mencari-carinya di sekitar tempat itu, maka begitu dia memasuki daerah ini, di luar kota dia sudah bertemu dan dikepung belasan orang kang-ouw yang dipimpin oleh Ceng San Hwesio, seorang tokoh besar dari Siauw-lim-pai yang telah dicalonkan menjadi ketua!

   Ceng San Hwesio ini adalah murid keponakan Kian Ti Hosiang dan karena dia dianggap seorang calon yang kuat dan tepat, Kian Ti Hosiang yang sakti berkenan menurunkan beberapa ilmu kepandaian kepadanya sehingga kini hwesio Siauw-lim-pai ini memiliki tingkat ilmu silat yang hebat! Sekilas pandang saja tahulah Suma Hoat bahwa sekali ini dia harus menghadapi pertandingan berat karena yang menghadangnya terdiri dari tokoh-tokoh Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai, semua berjumlah empat belas orang dan dari sikap mereka, para penghadangnya itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi, kegelisahan hati dan kelakuannya karena kehilangan kekasihnya membuat Suma Hoat tidak sempat memikirkan diri sendiri, bahkan langsung dia bertanya,

   "Kalian adalah orang-orang Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai yang katanya terdiri dari orang-orang gagah di dunia kang-ouw. Kalau kalian memusuhi Jai-hwa-sian, mengapa kalian mengganggu seorang wanita yang tidak berdosa dan tidak tahu apa-apa?"

   "Omitohud....!"

   Ceng San Hwesio menggeleng-gelengkan kepalanya yang tidak berambut.

   "Engkau sendiri telah melakukan dosa besar terhadap ratusan orang wanita yang tidak berdosa, sekarang menuduh kami mengganggu seorang wanita! Jai-hwa-sian, apa maksud kata-katamu itu?"

   "Tidak perlu berpura-pura atau menyangkal! Di dunia ini yang memusuhi Jai-hwa-sian adalah orang-orang macam kalian ini! Sekarang, isteriku lenyap, tentu kalian yang telah menyembunyikan dan menculiknya. Kembalikan isteriku, baru aku akan dapat mengampuni kalian!"

   Suma Hoat mencabut pedangnya.

   "Siancai.... orang ini benar-benar tak tahu diri!"

   Seorang tosu Hoa-san-pai berseru marah dan seruannya ini agaknya merupakan dorongan kepada mereka semua yang serentak menerjang maju mengeroyok Suma Hoat. Suma Hoat terkejut juga. Benar dugaannya. Para pengeroyoknya ini tidak boleh disamakan dengan para pengeroyok yang lalu. Selain pemimpin hwesio Siauw-lim-pai itu lihai sekali, juga pemimpin orang-orang Hoa-san-pai adalah wakil Ketua Hoa-san-pai, tentu saja memiliki kepandaian yang hebat pula.

   Namun, dia sudah marah sekali karena menduga keras bahwa kekasihnya tentu celaka di tangan mereka ini, maka dia mengamuk seperti seekor naga terluka! Namun, jumlah musuh terlalu banyak dan tingkat kepandaian Ceng San Hwesio dan wakil ketua Hoa-san-pai terlalu tinggi, maka setelah melakukan perlawanan selama satu jam lebih, biarpun dia berhasil merobohkan tiga orang dan melukai tiga orang lain lagi, dia sendiri pun menderita luka parah di leher, pundak dan lambungnya! Dengan luka-luka berat, Suma Hoat terpaksa melarikan diri, dikejar-kejar oleh para pengeroyoknya. Akan tetapi hujan jarum beracun yang disebarkan oleh Suma Hoat membuat para pengeroyok dan pengejar itu terpaksa menunda pengejaran dan Suma Hoat berhasil lolos dan menghilang ke dalam hutan yang lebat.

   Maklum akan kelihaian Jai-hwa-sian dengan senjata-senjata rahasianya, Ceng San Hwesio dan kawan-kawannya tidak berani melakukan pengejaran terus, melainkan kembali ke tempat tadi untuk mengurus dan merawat teman-teman yang terluka dan tewas. Luka-luka yang diderita oleh Suma Hoat amat parah. Dia lelah sekali dan tiga luka di tubuhnya amat nyeri, juga terlalu banyak mengeluarkan darah. Ini semua masih tidak sehebat derita yang terasa di hatinya yaitu akan kenyataan bahwa kekasihnya, Kwa Bi Kiok, calon ibu anaknya, telah lenyap! Penderitaan lahir batin ini membuat Suma Hoat tergelimpang di dalam hutan dalam keadaan pingsan! Ketika Jai-hwa-sian siuman kembali dan membuka matanya, ternyata Im-yang Seng-cu telah berlutut di dekatnya dan luka-luka di tubuhnya telah diobati oleh sahabat itu.

   "Luka-lukamu hebat sekali, engkau perlu beristirahat. Terlalu banyak engkau kehilangan darah,"

   Im-yang Seng-cu berkata.

   "Musuh-musuhku.... terlalu lihai.... terutama hwesio Siauw-lim dan tosu Hoa-san itu...."

   Im-yang Seng-cu mengangguk dan menarik napas panjang.

   "Sayang sekali engkau tak pernah menghentikan kesenangan yang sesat sehingga engkau dimusuhi orang-orang gagah di dunia kang-ouw. Tentu saja mereka itu lihai karena hwesio itu adalah tokoh Siauw-lim-pai calon ketua, namanya Ceng San Hwesio. Adapun tosu tua itu adalah paman guruku, Thian Cu Cinjin, juga calon ketua Hoa-san-pai!"

   Suma Hoat terkejut.

   "Aahhh.... pantas kalau begitu.... aku tidak penasaran terluka parah.... akan tetapi, tidak mengapalah, yang memusingkan aku adalah lenyapnya Bi Kiok...."

   Ia berhenti sebentar dan menerima air yang diminumkan oleh Im-yang Seng-cu.

   "Tentu dia celaka di tangan mereka yang memusuhiku."

   "Tidak, Jai-hwa-sian. Aku pun sudah membantumu melakukan penyelidikan. Tidak ada tokoh kang-ouw yang mengganggu kekasihmu dan ayah bundanya. Aku percaya kalau mereka itu sengaja melarikan diri darimu, entah bersembunyi di mana."

   "Tidak mungkin! Bi Kiok mencintaku! Tidak mungkin dia lari dariku!"

   Suma Hoat berkata penuh semangat dan kepercayaan.

   "Gadis itu mungkin mencintamu dan tidak akan meninggalkan, akan tetapi orang tuanya? Orang tua manakah yang akan senang mempunyai mantu Jai-hwa-sian yang lebih terkenal jahat dan keji? Tentu mereka tidak rela puterinya menjadi isteri Jai-hwa-sian dan telah melarikan dan menyembunyikannya."

   "Kalau begitu, akan kubunuh mereka, dan kurampas Bi Kiok!"

   Im-yang Seng-cu menghela napas panjang.

   "Itulah yang menyedihkan hatiku, sahabatku. Engkau seorang yang gagah perkasa, akan tetapi dalam hal satu ini, engkau seorang yang amat lemah dan kelemahanmu membuat engkau mudah saja berubah menjadi seorang iblis yang amat kejam!"

   "Ahhhh.... akan tetapi dia adalah wanita yang kucinta, dan dia sudah mengandung.... anakku...."

   Suma Hoat terengah-engah dan memejamkan kedua matanya, merintih penuh kedukaan dan penasaran. Melihat ini, Im-yang Seng-cu merasa kasihan. Agaknya sahabatnya ini mulai memetik buah-buah dari perbuatannya sendiri, buah-buah yang pahit getir.

   "Biarlah aku akan membantumu mencari Bi Kiok, akan tetapi yang terpenting sekarang, luka-lukamu amat parah darr berbahaya, harus dirawat dan diobati lebih dulu."

   "Jangan pedulikan aku, pergilah kau dan bantu aku mencari Bi Kiok. Im-yang Seng-cu, kalau kau bisa menemukan dan mengembalikan Bi Kiok kepadaku, selama hidupku aku takkan melupakan kebaikan budimu."

   "Tidak ada budi antara sahabat. Aku akan membantumu, akan tetapi lebih dulu harus dipikirkan keadaanmu. Kalau tidak mendapat rawatan yang baik, luka-luka ini bisa menyeret nyawamu. Apa artinya aku berhasil menemukan Bi Kiok kalau engkau mati karena luka-luka ini?"

   Tiba-tiba Suma Hoat memegang tangan sahabatnya.

   "Aku harus bertemu dengan ayahku. Aku telah berdosa besar kepadanya. Aku seorang anak yang tidak berbakti. Bawalah aku kepada Ayah, engkau tahu bukan di mana dia? Aku mendengar dia kini berada di Tai-hang-san...."

   Im-yang Seng-cu mengangguk.

   "Baiklah, aku pun pernah mendengar bahwa ayahmu itu kini menjadi pertapa di puncak In-kok-san, di Pegunungan Tai-hang-san."

   Im-yang Seng-cu lalu memondong tubuh sahabatnya dan dibawalah Suma Hoat menuju ke Tai-hang-san. Sebetulnya, apakah yang terjadi dengan diri Kwa Bi Kiok dan ayah bundanya? Tepat seperti yang diperkirakan Im-yang Seng-cu, tidak ada sesuatu menimpa diri wanita muda ini, karena mereka itu memang tidak memenuhi permintaan Suma Hoat dan tidak melarikan diri ke kota Han-tiong. Ketika mendapat kenyataan bahwa puterinya menjadi kekasih Jai-hwa-sian, Kwa Liok menjadi terkejut, menyesal dan penasaran sekali. Jai-hwa-sian adalah seorang penjahat yang sudah terkenal keganasannya, tukang perkosa dan tukang bunuh wanita.

   Mungkin sekarang, sebelum bosan, anaknya dicinta, akan tetapi siapa tahu kalau penjahat itu sudah bosan? Tentu anaknya akan dibunuh, dan bersama isterinya tentu tidak akan terluput dari kebinasaan! Di samping ngeri akan kemungkinan menjadi korban kekejaman Jai-hwa-sian ini, juga andaikata dia membiarkan anaknya menjadi isteri Jai-hwa-sian, tentu selamanya anaknya akan menjadi korban pula kalau Jai-hwa-sian akhirnya terbunuh oleh orang-orang gagah dan pemerintah yang sudah lama mencari-cari penjahat itu. Karena pikiran inilah, biarpun Bi Kiok mengeluh dan menangis minta diantar ke Han-tiong, Kwa Liok tetap memaksa anak dan isterinya untuk melarikan diri ke lain jurusan, yaitu jauh ke selatan, menuju ke kota Nan-king!

   Rombongan ini tidak kepalang-tanggung dalam usaha mereka menjauhkan diri karena mereka lari jauh sekali, sampai memakan waktu berbulan-bulan dan Kwa Liok yang cerdik telah mengganti nama dan nama keturunan mereka untuk menghilangkan jejaknya. Akhirnya, Kwa Liok bertempat tinggal di kota kecil Kam-chi dekat Nan-king. Kepada para tetangga barunya dia mengatakan bahwa puterinya adalah seorang janda, ditinggal mati suaminya yang bernama Sie Hoat. Setelah Bi Kiok melahirkan seorang anak laki-laki, Kwa Liok memberinya nama Sie Bun An dan semenjak kecil Sie Bun An ini dijauhkan dari segala yang berbau silat! Sie Bun An tumbuh besar dalam didikan bun (sastra) dan sama sekali buta silat!

   

Mutiara Hitam Eps 20 Cinta Bernoda Darah Eps 6 Mutiara Hitam Eps 31

Cari Blog Ini