Ceritasilat Novel Online

Istana Pulau Es 41


Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 41



Demikianlah, Bi Kiok lenyap dari kehidupan Suma Hoat dan tak mungkin dapat dicari lagi. Adapun Suma Hoat sendiri, yang masih amat lemah tubuhnya, diantar oleh Im-yang Seng-cu. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Suma Kiat bekas panglima besar yang menjadi buronan karena persekutuan dengan pihak Yucen itu, melarikan diri bersama selirnya yang tercinta, Bu Ci Goat dan muridnya yang setia, Siangkoan Lee, menuju ke Tai-hang-san. Di puncak In-kok-san yang indah, mereka mendirikan rumah dan hidup cukup mewah karena ketika pergi, mereka tidak lupa membawa banyak harta benda. Suma Kiat sudah tua sekali, akan tetapi masih mendelik marah ketika Im-yang Seng-cu membawa Suma Hoat menghadap.

   "Aku tidak mempunyai anak bernama Suma Hoat!"

   Bentaknya.

   "Im-yang Seng-cu, kalau tidak mengingat mendiang gurumu, Tee Cu Cinjin yang menjadi sahabatku, tentu engkau sudah kubunuh sekarang juga, berani lancang membawa manusia ini menghadapku!"

   Mendengar ucapan ayahnya itu, Suma Hoat yang masih lemah itu merasa berduka sekali, akan tetapi dia tetap berlutut dan tidak berkata apa-apa. Sebaliknya Im-yang Seng-cu menjadi penasaran. Dia sudah mengenal baik Suma Kiat yang dahulu menjadi sahabat suhunya, bahkan dahulu di waktu dia masih kecil, kalau Suma Kiat mengunjungi gurunya, Suma Kiat bersikap baik kepadanya dan memperlihatkan rasa sayang besar. Akan tetapi dia pun maklum siapa adanya Suma Kiat, seorang yang selalu haus akan kedudukan dan kemuliaan, seorang yang tidak segan-segan melakukan kekejaman apa pun demi tercapainya cita-citanya mengejar kemuliaan.

   "Suma-locianpwe,"

   Katanya dengan berani.

   "Suma Hoat adalah putera tunggalmu, sekarang sedang menderita luka parah dan perlu perawatan khusus. Saya tidak percaya bahwa Locianpwe akan tega membiarkannya menghadapi ancaman maut. Andaikata dia telah melakukan kesalahan-kesalahan terhadap Locianpwe, saya mohon sudilah kiranya memaafkan putera sendiri."

   "Tutup mulut! Sudah kukatakan bahwa aku tidak mempunyai anak yang bernama Suma Hoat! Im-yang Seng-cu, aku dahulu menyayangmu di waktu engkau kecil karena engkau seorang anak baik yang tidak pernah menentangku, akan tetapi kalau sekarang engkau hendak menentangku, terpaksa aku akan menggunakan kekerasan mengusirmu dari sini!"

   Tiba-tiba terdengar suara tertawa melengking nyaring disusul suara seorang wanita,

   "Bagus sekali, dasar manusia jahat seperti iblis, anak sendiri pun dikutuknya!"

   "Maya....!"

   Tiba-tiba Suma Hoat yang berlutut dan berusaha melompat akan tetapi roboh kembali karena tubuhnya masih lemah dan pukulan batin mendengar ucapan ayahnya tadi benar-benar membuat hatinya makin remuk. Im-yang Seng-cu cepat memeluknya dan dengan mata terbelalak melihat betapa ada bayangan didahului sinar berkelebat menyambar ke arah tubuh Suma Kiat! Kakek yang masih lihai sekali ini sudah mencabut pedangnya menangkis. Terdengar suara keras dan pedang di tangan Suma Kiat patah, tubuhnya roboh dan kembali bayangan itu berkelebat keluar.

   "Keparat, hendak lari ke mana?"

   Siangkoan Lee dan Bu Ci Goat meloncat dan mengejar, akan tetapi baru sampai di pintu, kedua orang ini roboh dan bayangan itu berkelebat keluar meninggalkan suara melengking dan mengerikan! Bu Ci Goat yang lihai itu telah berhasil bangun lebih dulu daripada Siangkoan Lee yang merangkak dan terengah-engah karena pukulan jarak jauh yang yang tadi membuat dadanya sesak. Bu Ci Goat cepat menghampiri suaminya dan terkejut melihat goresan pedang melukai leher dan dada suaminya. Suma Kiat dipapah bangun, duduk di kursinya dan melihat Suma Hoat, bangkit lagi kemarahannya, seolah-olah anaknyalah yang mendatangkan malapetaka itu. Telunjuknya menuding,

   "Pergi....! Pergi kalian dari sini....!"

   Im-yang Seng-cu mengerutkan alisnya, mengempit tubuh temannya dan membawanya keluar. Anak murid In-kok-san yang berbaris di depan, hanya memandang bengong. Mereka tidak berani mencampuri dan tadi ketika ada bayangan berkelebat cepat, mereka pun tidak dapat berbuat sesuatu. Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee cepat merawat Suma Kiat. Akan tetapi, biarpun serangan pedang itu mendatangkan luka yang tidak berapa berat, serangan batin karena munculnya Suma Hoat lebih hebat dan membuat kakek ini jatuh sakit lagi, tidak mampu meninggalkan pembaringannya. Im-yang Seng-cu membawa Suma Hoat pergi dan berhenti di sebuah lereng puncak pegunungan itu. Suma Hoat mengeluh minta diturunkan, lalu berkata,

   "Im-yang Seng-cu, apakah engkau melihat dia tadi?"

   Im-yang Seng-cu menggeleng kepalanya.

   "Orang itu gerakannya luar biasa sekali. Aku hanya tahu bahwa dia seorang wanita, entah tua ataukah muda, namun kecepatannya luar biasa sehingga aku tidak dapat mengenalnya. Tentu dia seorang yang sakti dan musuh Suma Kiat."

   "Dia adalah Maya.... penghuni Pulau Es...."

   Im-yang Seng-cu terkejut bukan main.

   "Akan tetapi.... mungkin hanya rohnya saja.... dia.... dia sudah mati...."

   Mendengar ini, Im-yang Seng-cu makin bingung dan meraba dahi sahabatnya.

   "Engkau panas lagi. Harap jangan pikirkan apa-apa dan beristirahatiah."

   "Im-yang Seng-cu, engkau satu-satunya sahabatku. Kaupenuhilah permintaanku. Kautinggalkan aku di sini dan pergilah kaucari Bi Kiok."

   "Akan tetapi engkau perlu perawatan,"

   Im-yang Seng-cu membantah. Tiba-tiba terdengar jawaban seorang wanita,

   "Biarlah aku yang akan merawatnya, Im-yang Seng-cu."

   Im-yang Seng-cu menengok dan melihat bahwa Bu Ci Goat, selir yang lihai dari Suma Kiat, telah berdiri di situ. Biarpun usianya sudah lima puluhan tahun, namun wanita itu masih tampak cantik dan pakaiannya mewah.

   "Jangan kau kawatir, biarpun ayahnya membencinya, aku tidak. Kau pergilah memenuhi permintaannya, aku yang akan merawatnya di sini."

   Im-yang Seng-cu masih ragu-ragu, menoleh kepada sahabatnya. Suma Hoat mengangguk dan berkata lemah,

   "Pergilah dan cari dia, Im-yang Seng-cu. Ibu tiriku akan merawatku di sini."

   Legalah hati Im-yang Seng-cu dan dia segera pergi meninggalkan sahabatnya bersama Bu Ci Goat. Setelah Im-yang Seng-cu pergi, Bu Ci Goat berlutut di dekat Suma Hoat, memeriksa keadaannya.

   "Hemm, kulihat engkau telah diobati dengan baik dan hanya perlu beristirahat. Eh, Suma Hoat, siapakah adanya bayangan yang menyerang ayahmu tadi?"

   Suma Hoat menggelengkan kepalanya.

   "Aku tidak tahu...."

   "Akan tetapi, engkau tadi menyebut nama Maya...."

   "Mungkin dia, aku tidak yakin. Dia sudah mati ditelan badai.... andaikata benar dia, agaknya dia kaget dan takut dikenal olehku, maka dia pergi lagi. Untung bagi Ayah...."

   "Dia lihai bukan main!"

   "Dia penghuni Pulau Es, tentu saja amat sakti...."

   Mengingat akan cinta kasihnya dahulu, Bu Ci Goat merawat Suma Hoat di lereng itu dan menyuruh anak buahnya membangun sebuah pondok. Semua itu dilakukan secara diam-diam tanpa diketahui oleh Suma Kiat yang juga jatuh sakit.

   Setelah Suma Kiat jatuh sakit, maka tampaklah betapa Siangkoan Lee merupakan seorang yang pandai memimpin. Semua urusan berada di tangannya dan semua anak buah In-kok-san yang telah dikumpulkan untuk menyenangkan hati gurunya, amat tunduk dan setia kepadanya. Juga ilmu kepandaian Siangkoan Lee menjadi hebat. Boleh dibilang seluruh ilmu gerakan telah dia kuasai, dan biarpun dibandingkan dengan Bu Ci Goat dia masih kalah setingkat, namun pada waktu itu, Siangkoan Lee telah menjadi seorang yang sukar dicari lawannya. Munculnya Suma Hoat menimbulkan gairah cinta lama di hati Bu Ci Goat.

   Biarpun wanita ini secara diam-diam telah memuaskan nafsunya dengan pelayan-pelayan pria yang menjadi anak buah In-kok-san, namun begitu melihat Suma Hoat, timbul kembali cintanya. Maka dia lalu melakukan pengejaran dan berhasil menemukan Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat, bahkan dia lalu menawarkan diri untuk merawat anak tiri yang pernah menjadi kekasihnya itu. Akan tetapi, dia segera mengalami kekecewaan. Suma Hoat telah berubah banyak sekali. Suma Hoat telah menjadi seorang yang sama sekali tidak mempedulikan bujuk rayunya, bahkan dengan suara dingin bekas Jai-hwa-sian ini berkata,

   "Bu Ci Goat, harap kau jangan menimbulkan lagi persoalan hanya untuk melampiaskan nafsu-nafsumu. Hal pertama kali yang merenggangkan aku dengan Ayah adalah akibat perbuatanmu. Ketahuilah, pada saat ini, di dunia ini hanya ada seorang saja wanita yang kucinta, dan aku telah bersumpah tidak akan menyentuh wanita lain kecuali dia! Aku tidak dapat melayani hasratmu, dan engkau hendak merawatku atau tidak setelah penolakanku ini terserah kepadamu!"

   Tentu saja Bu Ci Goat merasa malu sekali dan mundur teratur. Akan tetapi, demi kasih sayangnya kepada Suma Hoat dia masih menyuruh beberapa orang anak buahnya merawat dan memenuhi kebutuhan anak tirinya itu.

   Kemudian, untuk memenuhi kebutuhan nafsu berahinya yang selalu mendesak, mulailah dia menggoda Siangkoan Lee yang biarpun rupanya buruk seperti seekor kuda, akan tetapi merupakan laki-laki yang tidak pernah bermain gila dengan wanita sehingga keadaannya itu membangkitkan berahi Bu Ci Goat yang merasa penasaran apakah dia tidak akan dapat menjatuhkan hati pria yang berhati teguh ini! Dan dia berhasil. Akan tetapi, karena memandang rendah Suma Kiat yang sedang rebah dan sakit, dua orang ini kurang hati-hati dan mereka berani mengadakan pectemuan di dalam kamar Bu Ci Goat yang hanya berpisah dinding dengan kamar Suma Kiat. Pada suatu hari, masih siang, kedua orang yang mabuk nafsu itu sedang berada di dalam kamar, tidak tahu sama sekali bahwa Suma Kiat mendengar suara mereka, turun dari pembaringan dan menghampiri pintu kamar Bu Ci Goat.

   "Ci Goat....!"

   Suma Kiat mendorong pintu, terbuka, dan memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak ke atas tempat tidur Bu Ci Goat di mana selirnya dan muridnya, dua orang yang paling dicinta dan dipercaya, terbelalak penuh rasa kaget memandang kepadanya, kehabisan akal!

   Tiba-tiba Suma Kiat mengeluh, menekan dada kiri dengan tangan kanan, menyemburkan darah dari mulutnya, tubuhnya tergelimpang dan robohlah kakek ini ke atas lantai! Serangan batin yang hebat ini tidak tertahan oleh tubuh yang lemah itu. Suma Kiat roboh pingsan dan tidak sadar kembali. Setelah jenazahnya dimasukkan peti mati dan dilakukan upacara sembahyang, Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee yang berkabung, menangis sedih di depan peti mati. Suma Hoat yang masih lemah, datang juga untuk bersembahyang ketika mendengar bahwa ayahnya meninggal dunia. Setelah bersembahyang, Suma Hoat menoleh kepada Bu Ci Goat, berkata perlahan,

   "Apa gunanya setelah mati ditangisi?"

   Ucapan itu ditujukan kepada selir ayahnya yang dia tahu merupakan seorang isteri yang berhati palsu, yang selalu menyeleweng, seorang isteri yang amat dicinta ayahnya, namun yang sesungguhnya tidak patut mendapatkan cinta seorang suami. Akan tetapi tanpa disengaja, teguran Suma Hoat itu membuat Siangkoan Lee menjadi merah sekali karena dia merasa disindir. Sebelum melakukan hubungan rahasia dengan Bu Ci Goat, dia merupakan seorang murid yang amat setia, dan dia memang selalu merasa berhutang budi kepada gurunya itu. Kini mendengar ucapan Suma Hoat, dia bangkit berdiri dan berkata,

   "Mengapa Suheng berkata demikian? Budi Suhu amat besar, sampai mati pun takkan terlupa olehku. Biarpun Suhu bersikap marah kepada Suheng, akan tetapi Suheng adalah puteranya, bagaimana berkata demikian? Apakah setelah Suhu meninggal, Suheng hendak menunjukkan kekuasaan di sini menuntut warisan dengan kekeraaan?"

   Menggigil tubuh Suma Hoat saking marahnya mendengar ini. Tubuhnya masih lemah sekali, akan tetapi kemarahan membuat matanya mendelik memandang Si Muka Kuda itu.

   "Bedebah, kau sombong sekali, Siangkoan Lee! Engkau yang dahulu hanya seorang pelayan, yang telah menerima budi semenjak kecil, kini berani bersikap kurang ajar kepadaku? Apa kau kira aku takut kepadamu?"

   Melihat ini, Bu Ci Goat cepat bangkit berdiri,

   "Harap kalian suka bersabar. Sungguh tidak patut sekali ribut-ribut di depan peti mati!"

   Suma Hoat menarik napas panjang menyabarkan diri karena dia dapat memahami kebenaran ucapan ibu tirinya itu.

   "Kalian dengarlah baik-baik. Biarpun aku putera Ayah, namun Ayah sudah tidak mengakui aku sebagai puteranya. Aku pun tidak haus akan warisan dan aku tidak akan menuntut dan tidak akan menguasai tempat ini. Bahkan aku tidak sudi tinggal di In-kok-san, lebih baik tinggal di pondok yang dibuatkan Bu Ci Goat. Itu pun hanya untuk sementara sambil menanti kembalinya sahabatku."

   Setelah berkata demikian, Suma Hoat pergi meninggalkan mereka dan tidak pernah lagi datang sampai peti ayahnya dikubur. Hatinya menjadi makin risau dan tertekan. Dia merasa betapa hidupnya penuh dengan kekecewaan dan kesengsaraan.

   Baru terbuka mata hatinya betapa selama ini dia hidup sebagai seorang yang amat jahat. Tiap kali dia teringat akan semua perbuatannya, diam-diam dia merasa menyesal sekali dan berjanji bahwa kalau sampai dia dapat berkumpul kembali dengan Bi Kiok, dia akan menebus semua kesalahannya, akan membahagiakan isterinya, anaknya, semua orang! Akan tetapi, beberapa bulan kemudian, Im-yang Seng-cu datang dengan wajah lesu dan dengan suara berat mengatakan bahwa dia tidak berhasil menemukan Bi Kiok.

   "Hanya ada dua kemungkinan. Pertama, mereka itu tewas oleh gerombolan orang jahat yang tidak terkenal sehingga tidak ada yang tahu. Ke dua, mereka memang sengaja menyembunyikan diri darimu dengan mengubah nama palsu dan pergi jauh sekali dari sini."

   Suma Hoat mengeluh dan semenjak saat itu, kesehatannya makin memburuk. Im-yang Seng-cu berusaha menghibur dan merawatnya, namun percuma saja karena Suma Hoat sudah kehilangan pegangan hidup, kehilangan harapan dan satu-satunya yang dirindukan hanyalah kematian. Akhirnya, hanya berselisih setengah tahun dari kematian ayahnya, Jai-hwa-sian yang pernah menggemparkan dunia persilatan itu meninggal dunia dalam rangkulan Im-yang Seng-cu, satu-satunya orang yang mengenal betul hatinya, mengenal kelemahan-kelemahan dan kekuatan-kekuatannya! Dengan sederhana sekali, tanpa dihadiri siapa pun, Im-yang Seng-cu mengubur jenazah sahabatnya di lereng bukit, membuatkan batu nisan yang dipahatnya sendiri dengan huruf-huruf : MAKAM JAI-HWA-SIAN SUMA HOAT.

   Kemudian dia membakar pondok bekas tempat tinggal sahabatnya, dan meninggalkan lereng bukit sambil bernyanyi! Memang Im-yang Seng-cu seorang manusia yang berwatak aneh sekali, berbeda jauh dengan manusia biasa, bahkan kadang-kadang sikapnya merupakan kebalikan dari sikap manusia biasa sehingga seringkali dia dianggap berotak miring. Apakah benar bayangan yang menyerang Suma Kiat dahulu itu adalah Maya seperti yang diteriakkan oleh Suma Hoat? Tidak ada seorang pun yang mengetahuinya. Yang sudah jelas, bahwa Maya maupun Khu Siauw Bwee tidak pernah muncul lagi di dunia ramai, tidak pernah ada orang yang berterTru dengan seorang di antara mereka.

   Juga Kam Han Ki lenyap dan sebagai gantinya, puluhan tahun kemudian, muncullah nama seorang yang sakti dan aneh, seorang laki-laki yang membiarkan rambutnya riap-riapan, tak pernah bersepatu, berpakaian sederhana dan tingkah lakunya seperti orang gila. Dia disebut Koai-lojin (Kakek Aneh) karena tidak pernah memperkenalkan namanya. Namun dia memiliki kesaktian yang tidak lumrah manusia. Keanehannya adalah serupa dengan keanehan Bu Kek Siansu si manusi dewa yang menjadi dongeng di dunia kang-ouw. Koai-lojin juga menolong siapa saja, mencinta siapa saja tanpa pilih bulu! Karena itu, banyak sekali tokoh dunia persilatan yang mendapat rezeki kebagian ilmu dari kakek sakti ini yang selalu memberi ilmu kepada siapa saja yang memintanya.

   Pembaca tentu dapat menduga siapa adanya Koai-lojin ini. Dia bukan lain adalah Kam Han Ki! Apakah dia dapat melupakan kedukaannya? Sukar untuk diketahui karena tak mungkin untuk menanyakan hal itu kepada Koai-lojin yang jarang sekali muncul di antara manusia. Yang jelas, duka sengsara harus dihadapi dengan wajar, dimengerti dengan jalan mengenal diri sendiri. Kalau hanya dijauhi, dilupakan, takkan berhasil karena berhasil melupakan duka yang satu, akan muncul duka yang lain. Yang penting mengenal sumber dari segala duka di dalam diri sendiri. Kalau sudah mengenal diri sendiri, mengenal sumber segala duka maka apa yang oleh umum disebut duka, bukanlah menjadi duka lagi baginya. Duka hanyalah hasil angan-angan pikiran yang mengingat masa lampau.

   Sekali ingatan akan masa lalu terhapus, lenyap pulalah duka. Berusaha melupakan duka dengan penekanan, tidak akan menghilangkan sumber dari segaia macam duka. Akan tetapi menghadapi duka, menyelami, mengenal duka yang berada di hati sendiri dengan mempelajari dan mengenal diri sendiri lahir batin, maka akan timbullah keadaan lain yang jauh dari jangkauan duka. Koai-lojin yang kelihatan sebagai seorang kakek sederhana itu, paling suka berkelana di tempat-tempat sunyi, bergembira dengan alam yang masih bersih dari kotoran akibat solah-tingkah manusia. Akan tetapi kadang-kadang dia muncul di dalam Istana Pulau Es yang selalu kosong itu, berdiri bengong di depan tiga arca buatannya sendiri, dan setelah membersijkan Istana Pulau Es, beberapa hari kemudian dia sudah meninggalkan lagi Pulau Es.

   Dia pun tidak pernah berhasil mencari kedua orang sumoinya, bahkan kemudian sama sekali tidak mencarinya. Namun, sebagai penebus rasa sesal dan salahnya terhadap Khu Siauw Bwee, diam-diam dia meninggalkan surat-surat pernyataan menyesal dan cintanya kepada Khu Siauw Bwee, dan menaruh surat-surat itu di dalam Istana Pulau Es. Puluhan tahun kemudian, Koai-lojin datang ke Pulau Es, membawa seekor biruang salju yang berbulu putih, meninggalkan biruang yang jinak dan terlatih itu di Pulau Es sebagai penghuni dan penjaga! Kemudian, sampai lama sekali dia tidak pernah muncul lagi di Pulau Es, juga tidak muncul di dunia ramai. Semua kedukaan yang menimpa diri tokoh-tokoh dalam cerita ini adalah gara-gara cinta, tentu demikian pendapat kita. Akan tetapi, benarkah demikian?

   CINTA tidak akan mendatangkan sengsara, karena CINTA itu adalah KEBENARAN, CINTA adalah KENYATAAN, CINTA adalah TUHAN! Di dalam CINTA, tidak ada si pemberi dan si penerima, tidak ada si pencinta dan yang dicinta. Berbahagialah manusia yang mengenal dan memiliki CINTA ini di dalam dirinya, karena CINTA ini sesungguhnya juga BAHAGIA! Cinta yang dikenal umum bukanlah cinta sejati. Kalau Suma Hoat menyatakan "Aku cinta Bi Kiok!"

   Maka sesungguhnya bukan Bi Kiok yang dicintanya, melainkan dirinya sendiri! Segala macam derita, kekecewaan, kebencian, cemburu, kemunafikan, iri hati dan dengki, semua ini timbul dari apa yang disebut cinta itu, yaitu cinta kepada si aku, bukan CINTA yang sejati. Cinta kepada si aku sajalah yang menimbulkan perbuatan-perbuatan yang merugikan orang lain. Aku dirugikan, anakku diganggu, hartaku dicuri, keluargaku dihina, bangsaku, negeriku, agamaku tidak dihargai, maka marahlah AKU, bencilah AKU kepadanya!

   Karena itu, selama AKU, ENGKAU, dan DIA menjadi pendorong semua perbuatan, maka timbullah pertentangan, dan selama ada pertentangan, timbullah duka sengsara. Sebaliknya, kalau semua perbuatan itu berdasarkan CINTA tanpa perpecahan aku-engkau-dia, kiranya sebutan Sorga bukan hanya terdapat dalam dongeng belaka, karena bumi kita ini menjadi Sorga dan kita adalah mahluk-mahluk manusia yang sebenarnya, bukan hanya hamba-hamba nafsu.

   Sampai di sini, pengarang mohon diri dan mudah-mudahan dapat berjumpa kembali dalam karangan mendatang.

   TAMAT

   


Cinta Bernoda Darah Eps 17 Cinta Bernoda Darah Eps 8 Cinta Bernoda Darah Eps 8

Cari Blog Ini