Ceritasilat Novel Online

Mutiara Hitam 26


Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Bagian 26



Song Goat lalu menceritakan tentang munculnya seorang wanita aneh berkerudung yang ternyata adalah guru Mutiara Hitam dan betapa Yu Siang Ki mengaku cinta kepada Kwi Lan dalam pembelaannya ketika melihat Kwi Lan terancam maut di tangan gurunya sendiri. Mendengar semua ini, Kiang Liong mengangguk-angguk.

   "Setelah mendengarkan pengakuan itu, bagaimana aku mempunyai muka untuk bertemu kembali dengan dia, Kongcu? Apalagi harus bicara tentang jodoh. Jalan satu-satunya untuk menghindarkan diri dari rasa terhina dan malu hanyalah melarikan diri seperti yang kulakukan sekarang."

   Kiang Liong maklum akan keadaan gadis ini yang ruwet dan ia merasa kasihan sekali. Tiba-tiba ia memegang tangan yang kecil itu. Sejenak tangan itu gemetar seperti seekor anak ayam dalam genggaman, akan tetapi tidak ditarik lepas.

   "Nona, apakah kau mencinta Yu Siang Ki?"

   Dua pasang mata bertemu. Song Goat meragu, lalu menggeleng kepala, menunduk dan menarik tangannya.

   "Aku.. aku tidak tahu.. dia memang gagah dan baik, akan tetapi aku baru saja bertemu dengannya.., dan.. mendengar pengakuannya terhadap Kwi Lan, rasanya.. rasanya aku tidak mencintanya.."

   Kembali tangan kanan Song Goat dipegang dan diremas tangan Kiang Liong yang menggeser dekat.

   "Dewiku, kalau begitu mengapa berduka? Kalau pengemis bodoh itu tidak dapat menghargaimu dan kau pun tidak mencintanya, mengapa harus berduka? Engkau sebaliknya harus bersyukur telah terbebas daripadanya. Terus terang saja, aku bersedia sepenuh hati, sepenuh jiwa ragaku untuk mencintamu, dan cinta kasihku akan jauh melampaui cinta kasih pengemis bodoh itu"

   Song Goat mendengar ucapan ini memejamkan matanya dan air matanya berlinang di atas pipi.

   Ia seperti mabok dan mandah saja ketika Kiang Liong menariknya, memeluknya erat-erat, bahkan ia hanya meramkan mata ketika pemuda itu mengecupi air mata dari kedua pipinya. Ia merasa seolah-olah diterbangkan ke angkasa dan terayun-ayun nikmat, merasa aman sentosa dalam pelukan sepasang lengan yang kuat itu, bisikan-bisikan merdu merayu dari mulut Kiang Liong bagaikan nyanyian dewata. Sejenak ia hampir lupa diri, hampir mabok madu asmara. Akan tetapi ketika merasa betapa bibir pemuda itu dengan penuh kasih sayang dan mesra mendekati dan menyentuh bibirnya, ia terhenyak kaget dan menggerakkan kedua lengannya yang tadi merangkul leher pemuda itu untuk mendorong dada Kiang Liong, merenggutkan dirinya terlepas dan meloncat berdiri. Mukanya pucat sekali dan kedua kakinya menggigil.

   "Tidak.."

   Tidak.."

   Keluhnya berkali-kali. Kiang Liong juga meloncat berdiri di depan gadis itu, memandang penuh pertanyaan. Akan tetapi ia tidak mau memaksa dan hanya memandang penuh selidik. Melihat pandang mata ini, Song Goat merasa bersalah. Dia tadi seperti hendak menyerahkan diri, kini merenggut lepas, seolah-olah ia mempermainkan cinta kasih orang.

   "Kiang-kongcu, kau maafkan aku. Sesungguhnya, akan merupakan kehormatan dan kebahagiaan besar sekali bagi seorang dara bodoh dan buruk lagi miskin seperti aku ini untuk mendapatkan cinta kasih seorang Kongcu sepertimu. Ah, betapa aku akan dapat menolak cinta kasihmu, Kongcu? Aku akan bahagia sekali"

   Kiang Liong tersenyum dan hendak meraih dan memeluk gadis itu lagi, akan tetapi Song Goat mengelak dan cepat-cepat menyambung kata-katanya.

   "Akan tetapi.. jelek-jelek aku bukanlah seorang yang tidak memiliki kesetiaan seperti Yu Siang Ki. Aku tidak mau menjadi seorang anak murtad dan tidak berbakti. Aku tidak mau memutuskan tali perjodohan yang sudah dipastikan oleh orang tuaku semenjak aku kecil. Sejak dahulu aku sudah menganggap diriku menjadi isteri Yu Siang Ki dan kalau dia sekarang memutuskan tali perjodohan, tiada lain jalan bagiku kecuali masuk menjadi nikouw (pendeta wanita)"

   "Moi-moi.."

   "Tidak, jangan sentuh aku lagi, Kongcu. Ingat, aku isteri orang lain. Engkau seorang pendekar muda yang sudah terkenal dan aku yakin seorang pendekar akan menjunjung tinggi kesusilaan dan menjaga peraturan. Engkau budiman, lebih baik tunjukkan kepadaku kelenteng yang baik untuk aku mengabdi kepada agama."

   Song Goat menghapus air matanya yang kembali berderai itu dengan ujung bajunya. Kiang Liong menghela napas panjang, hatinya terharu. Bukan wataknya untuk memaksakan cintanya terhadap wanita, maka ia lalu berkata.

   "Nona Song, aku mengerti akan pendirianmu. Baiklah, Kuil Pek-lian-si di lereng Bukit Cin-ling-san diketuai oleh Fang-nikouw yang menjadi sahabat baikku. Kau dapat datang ke sana dan menjadi murid Fang-nikouw mempelajari keagamaan, akan tetapi kau berjanjilah bahwa sebelum satu tahun, engkau tidak akan menjadi nikouw. Aku akan menemui Yu Siang Ki dan kalau dalam satu tahun dia tidak mencarimu, anggap saja usahaku gagal dan sesukamulah kalau kau hendak menjadi nikouw. Kauserahkan suratku kepada Fang-nikouw."

   Pemuda itu lalu mengeluarkan pena bulunya, mengambil sehelai saputangan putih dan menggunakan getah pohon sebagai tinta, mencorat-coret beberapa belas huruf di atas saputangan lalu memberikannya kepada Song Goat.

   "Terima kasih, Kongcu. Engkau baik sekali. Selama hidupku, aku tidak akan melupakan budimu."

   "Aihhh, Song-moi, engkau benar-benar membikin hatiku terasa perih. Akan tetapi apa boleh buat, urusanmu memang ruwet. Kau berjanjilah akan menanti sampai satu tahun."

   "Baiklah, Kongcu, dan selamat berpisah. Semoga Thian memberkahimu."

   Dengan pandang mata sayu Kiang Liong melihat gadis itu pergi. Banyak sudah ia mengenal gadis cantik, akan tetapi baru Song Goat ini yang mendatangkan rasa iba besar di hatinya. Kemudian, setelah bayangan gadis itu lenyap, ia pun melanjutkan perjalanan. Tentu saja ia menuju pulang ke kota raja karena ia menghadapi urusan besar. Ia harus melapor sendiri kepada Kaisar agar Kerajaan Sung dapat bersiap-siap menghadapi ancaman bangsa Hsi-hsia yang makin mengganas. Di sepanjang perjalanan, hanya dua wajah yang selalu terbayang di depan matanya. Wajah Po Leng In dan wajah Song Goat. Dua orang gadis yang amat berbeda wataknya, akan tetapi yang kedua-duanya telah melepas budi kepadanya.

   "Baiklah, Kongcu, dan selamat berpisah. Semoga Thian memberkahimu."

   Ketika ia tiba di lembah Sungai Kuning, di kaki Bukit Fu-niu-san di sebelah selatan kota raja, senja telah mendatang. Ia mempercepat larinya karena tidak ingin kemalaman di jalan, ingin bermalam di sebuah dusun yang ia tahu berada di depan, kurang lebih dua puluh li lagi jauhnya. Akan tetapi perhatiannya tertarik oleh keributan yang terjadi di pinggir hutan di sebelah depan. Dari jauh sudah kelihatan bahwa di pinggir hutan itu terjadi perang kecil yang dilakukan oleh empat lima puluh orang. Hatinya berdebar keras. Dari jauh tampak bahwa yang bertanding adalah orang-orang Hsi-hsia, hal ini dapat dilihat dari adanya beberapa hwesio jubah merah yang bergerak cepat dan tangkas. Sedangkan pihak lawan adalah orang-orang berseragam, seperti pasukan yang pada saat itu keadaannya terdesak karena selain kalah banyak, juga kelihatan para hwesio jubah merah itu membuat mereka repot mempertahankan diri.

   Kiang Liong menjadi cemas sekali. Adakah pasukan Hsi-hsia sudah mulai menyerbu dan berada begini dekat dari kota raja? Adakah pasukan yang terancam itu pasukan pengawal dari kota raja? Dari jauh tidak tampak jelas, maka ia segera mempercepat larinya menuju ke tempat pertempuran. Setelah dekat, ia terheran-heran. Kiranya pasukan yang terdiri dari belasan orang itu adalah orang-orang Khitan. Beberapa orang Khitan sudah menggeletak mandi darah dan belasan orang sisanya melakukan perlawanan mati-matian. Orang-orang Khitan ini tidak pandai silat, akan tetapi mereka biasa bertempur dan memiliki keberanian serta kenekatan yang amat besar. Namun orang-orang Hsi-hsia di bawah pimpinan lima orang hwesio jubah merah itu terlampau kuat bagi orang-orang Khitan ini.

   Dan yang mengagumkan hati Kiang Liong adalah ketika ia melihat seorang gadis remaja mengamuk melawan dua orang hwesio jubah merah. Bukan main gadis remaja ini. Cantik jelita, memiliki kecantikan khas Khitan yang berbeda dengan kecantikan orang-orang daerah, memakai pakaian serba indah dan hebatnya, permainan pedang gadis itu jelas merupakan ilmu pedang yang bertingkat tinggi. Sayangnya gadis itu agaknya belum banyak pengalaman bertanding, karena kalau ia lebih berpengalaman, Kiang Liong yakin bahwa dua orang hwesio jubah merah ini tentu takkan dapat bertahan lama. Apalagi ia telah mengenal bahwa pasukan itu adalah pasukan Khitan yang pada waktu itu merupakan bangsa sahabat,

   Andaikata pasukan tak terkenal sekalipun, tentu Kiang Liong tidak ragu-ragu untuk membantunya melawan orang-orang Hsi-hsia dan hwesio-hwesio anak buah Bouw Lek Couwsu ini. Terutama sekali melihat gadis cantik jelita itu, hatinya kagum dan ingin berkenalan. Amatlah baik kesempatan itu. Kalau dia membantunya merobohkan musuh-musuh gadis itu, tentu mereka akan dapat berkenalan dengan baik. Akan tetapi gadis itu tidak membutuhkan bantuan pada saat itu karena permainan pedangnya dapat mengatasi dua orang pengeroyoknya. Yang amat membutuhkan bantuan adalah pasukan Khitan itu, maka tanpa banyak cakap lagi ia melompat maju, menyerbu dengan cepat. Bagaikan seekor burung rajawali menyerbu serombongan tikus saja, begitu kaki tangannya bergerak, empat orang Hsi-hsia memekik dan roboh terguling.

   Seketika berubah keadaan perang kecil itu. Apalagi ketika hwesio-hwesio jubah merah itu memandang dan mengenal Kiang Liong, mereka menjadi gentar sekali. Kiang Liong terus menerjang dan dalam waktu singkat saja, belasan orang Hsi-hsia sudah roboh terguling. Para perajurit pengawal bangsa Khitan timbul semangat mereka melihat bala bantuan yang lihai ini. Mereka mengeluarkan pekik kemenangan lalu menyerbu makin hebat. Orang-orang Hsi-hsia mawut, sebagian roboh binasa, yang lain melarikan diri. Lima orang pendeta jubah merah yang memimpin mereka, termasuk yang mengeroyok dara jelita tadi, sudah lebih dulu melarikan diri masuk ke dalam hutan dan berlindung kepada kegelapan malam yang mulai timbul.

   "Cianbu (Kapten), syukur kau dan pasukanmu tiba tepat pada saatnya, kalau tidak tentu aku sudah mereka tawan"

   Dara remaja itu berkata sambil menyarungkan pedangnya, wajahnya sedikit pun tidak membayangkan kecemasan atau kekagetan sungguhpun ia baru saja terlepas daripada bahaya besar.

   Kapten yang memimpin pasukan pengawal itu memberi hormat dengan membungkuk dalam-dalam di depan dara itu dan meletakkan tangan kanan di depan dada, kemudian berkata.

   "Rasa syukur dan terima kasih sepatutnya diberikan kepada Kiang-kongcu ini, karena kalau Kiang-kongcu tidak datang tepat pada saatnya, bukan hanya hamba sepasukan akan terbasmi, juga Paduka Puteri tidak akan tertolong."

   Berkata demikian, kepala pengawal itu menunjuk ke arah Kiang Liong.

   Hal ini tidak mengherankan hati Kiang Liong. Ia tahu bahwa Kerajaan Khitan mempunyai banyak mata-mata dan tentu saja namanya sudah dikenal baik oleh para perwira Khitan, bahkan wakil-wakil Kerajaan Khitan yang berada di kota raja merupakan seorang di antara sahabat-sahabatnya. Ia hanya kaget mendengar betapa dara itu disebut Paduka Puteri oleh Si Kapten, maka ia menduga-duga siapa gerangan puteri jelita ini.

   "Cianbu terlalu memuji.."

   Ia berkata sambil menjura di depan dara itu yang memandangnya dengan sepasang mata bintang.

   "Ah, kiranya engkau ialah Kiang-kongcu yang dikatakan murid.. Suling Emas...?"

   Di dalam hatinya Kiang Liong merasa bangga. Kenyataan bahwa dia murid Suling Emas, tidak membanggakan hatinya kalau yang memujinya orang biasa, akan tetapi keluar dari sepasang bibir yang indah ini"

   "Saya orang She Kiang hanya seorang bodoh dan hanya dapat sedikit mempelajari ilmu Guru saya yang mulia."

   Katanya merendah. Dara itu tersenyum, pandang matanya melamun.

   "Sudah sering aku mendengar dari Ayahku tentang kesaktian Paman Suling Emas. Aku pun pernah mendengar penuturan Pangeran Mahkota tentang dirimu, juga Ayah mengenal namamu."

   Kiang Liong memandang wajah ayu itu, mengingat-ingat. Kemudian ia teringat akan cerita bahwa Panglima Besar Kerajaan Khitan yang ia kenal, yaitu Panglima Kayabu yang gagah perkasa dan pandai mengatur barisan, mempunyai seorang puteri yang cantik jelita dan pandai ilmu silat.

   "Ah, kiranya saya berhadapan dengan Puteri Mimi, puteri dari Panglima Kayabu yang terhormat?"

   Puteri Mimi tersenyum, giginya berkilat putih dan indah seperti mutiara disusun dan senyumnya seakan-akan menerangi cuaca yang sudah mulai gelap itu.

   "Dugaanmu benar, Kongcu. Dan hal ini membuktikan ketajaman matamu dan kecerdikanmu, belum pernah jumpa dapat menduga tepat."

   Kemudian puteri jelita itu memandang kepala pengawal dan berkata.

   "Cianbu, bagaimana kau dan pasukanmu dapat muncul secara kebetulan? Ataukah memang kau sengaja mengikuti perjalananku?"

   Pertanyaan terakhir ini mengandung penasaran dan kemarahan. Kepala pengawal itu kembali memberi hormat seperti tadi, menjura dalam-dalam, baru menjawab. Jawabannya singkat sekali dan tegas seperti kalau ia membuat laporan kepada atasannya.

   "Hamba mendapat pelaporan rahasia dari para penyelidik bahwa Pangeran Mahkota telah ditawan pimpinan Hsi-hsia. Hamba memimpin pasukan mengejar Paduka karena khawatir akan terjadi hal serupa."

   "Apa..? Pangeran Talibu tertawan..?"

   Puteri Mimi menjadi kaget sekali.

   "Mengapa orang-orang Hsi-hsia menawan Pangeran? Dan dibawa ke mana?"

   Wajah puteri ini sekarang menjadi pucat dan ia cemas sekali. Kepala pengawal itu menggeleng kepala.

   "Mengapa Pangeran ditawan belum dapat hamba ketahui, hal itu sedang diselidiki. Dan hamba hanya tahu bahwa Pangeran ditawan di luar kota Lok-yang, juga belum diketahui dibawa ke mana. Orang-orang kita sedang sibuk mencari dan menyelidik, dan tentu saja kita amat mengharapkan bantuan Kerajaan Sung.."

   Ia menoleh ke arah Kiang Liong.

   "Hemm, aku agaknya tahu mengapa Pangeran Talibu ditawan orang-orang Hsi-hsia dan tentu saja kami akan membantu sekuat tenaga untuk membebaskannya karena kejadian itu terjadi di wilayah Kerajaan Sung."

   Kata Kiang Liong.

   "Harap Puteri beristirahat saja di rumahku agar terjaga keamanannya, adapun Cianbu kuharap membantu teman-teman melakukan penyelidikan. Hanya pesanku, orang-orang Hsi-hsia dipimpin oleh Bouw Lek Couwsu dan hwesio-hwesio jubah merah, di antara mereka banyak terdapat orang-orang pandai, maka harap jangan tergesa-gesa turun tangan. Aku yakin bahwa orang-orang Hsi-hsia tidak akan membunuh Pangeran Talibu."

   "Kiang-kongcu, agaknya kau banyak mengerti akan urusan ini. Sebetulnya mengapakah mereka menawan Pangeran?"

   Tanya Puteri Mimi. Kiang Liong tersenyum.

   "Tidak banyak waktu untuk bicara, Puteri. Marilah kita berangkat dan kelak kuceritakan kepadamu."

   Puteri Mimi lalu memberi perintah kepada kepala pengawal untuk memenuhi permintaan Kiang Liong tadi. Berangkatlah pasukan itu pergi, juga Sang Puteri lalu bersama Kiang Liong meloncat ke atas punggung dua ekor kuda yang disediakan oleh kepala pasukan. Karena dapat menduga bahwa Bouw Lek Couwsu pada saat itu tentu telah mempunyai banyak kaki tangan yang disebar sebagai mata-mata di kota raja, maka Kiang Liong membawa Puteri Mimi memasuki kota raja lewat tengah malam. Ia sudah dikenal oleh semua penjaga pintu gerbang, maka dapat masuk tanpa kesukaran.

   Kemudian menjelang pagi ia memasuki gedung tempat tinggal ayahnya melalui sebuah pintu rahasia yang hanya diketahui olehnya dari belakang rumah. Ketika pagi itu, sudah agak siang, ia bangun, ia melihat bahwa di taman samping diadakan pesta. Ia membawa Puteri Mimi yang bermalam di sebuah kamar tamu kepada ayah bundanya dan dengan singkat menceritakan pengalamannya, memperkenalkan Puteri Mimi kepada orang tuanya. Sebagai seorang pangeran, tentu saja Pangeran Kiang menerima puteri Panglima Khitan itu dengan hormat dan ramah, juga ibunya amat suka kepada gadis yang cantik jelita ini. Kemudian, dari ibunya ia mendengar tentang kunjungan Suma Kiat yang mengaku putera tunggal mendiang kakak ibunya, Suma Boan.

   "Bagaimana ini, Ibu? Mengapa secara mendadak muncul seorang keponakan Ibu? Kenapa Ibu tidak pernah bercerita bahwa mendiang Paman Suma Boan meninggalkan seorang putera?"

   Kiang Liong bertanya.

   "Hemm, aku pun heran sekali melihat Ibumu, Liong-ji (Anak Liong)."

   Kata Pangeran Kiang dengan muka cemberut.

   "Aku pun baru sekarang mendengar akan hal itu, padahal setahuku, Pamanmu Suma Boan tidak pernah menikah dan tidak pernah punya putera. Kalau saja kau melihat ibu pemuda itu.. hiihh, mengerikan sekali, seperti iblis betina."

   "Ah, terlalu sekali. Tidak sepatutnya kau mengeluarkan kata-kata seperti itu"

   Suma Ceng, ibu Kiang Liong memandang suaminya dengan pandang mata penuh teguran.

   "Kau sendiri dahulu menjadi sahabat baik kakakku Suma Boan, apakah kau tidak melihat betapa Suma Kiat ini mirip sekali dengan Kakakku dahulu? Pula, kita pernah mendengar tentang urusannya dengan Kam Sian Eng. Memang Kam Sian Eng mengerikan, akan tetapi.. ah, dia seorang yang berilmu tinggi, dan tidak waras, apalagi dia masih adik tiri Suling Emas, apakah kau masih bersangsi?"

   Makin keruh wajah Pangeran Kiang.

   "Huh, segala yang menyangkut nama Suling Emass selalu benar dan baik, sebaliknya pendapatku tidak pernah ada yang benar. Sialan"

   "Eh, bukan begitu. Aku hanya bicara sebenarnya dan.."
"Sudahlah"

   Pangeran Kiang membanting kaki dan meninggalkan kamar. Kiang Liong menjadi sedih dan juga malu karena ayah bundanya bertengkar di depan Puteri Mimi. Sungguh memalukan dan menyedihkan. Sudah seringkali ia mendengar ayah dan ibunya bertengkar dan selalu dalam pertengkarannya ini dibawa-bawa nama gurunya, Suling Emas. Dahulu ketika dia diambil murid Suling Emas pun menjadi bahan percekcokan antara ayah dan ibunya. Ia menghela napas panjang dan berkata.

   "Sesungguhnya, bagaimanakah ia datang dan mau apa? Sekarang, eh, wanita yang menjadi ibunya itu ke mana, apakah berada di sini pula?"

   Suma Ceng yang biarpun usianya sudah mendekati lima puluh masih tampak cantik dan halus itu, menarik napas panjang, memegang dan menarik tangan Puteri Mimi menundukkan gadis itu di dekatnya sambil berkata.

   "Puteri harap kau maafkan kami yang tidak tahu sopan-santun. Tentu membikin kau merasa tidak enak sekali."

   Mimi biarpun masih gadis remaja, namun ia terdidik sejak kecil dan hidup di kalangan orang-orang besar, maka ia pandai membawa diri. Ia mengelus-elus tangan nona yang halus itu, kagum akan kecantikannya, lalu tersenyum dan berkata.

   "Bibi yang baik, panggil saja aku Mimi, dan sungguh mati apa yang terjadi dan terucapkan tadi, sekarang pun aku sudah lupa lagi."

   Suma Ceng memandang wajah yang jelita itu dengan pandang mata kagum dan senang. Kemudian berkata, suaranya halus dan matanya sayu termenung.

   "Aahhh, kau tentu dekat dengan Ratu Khitan, Mimi. Mendengar pun tidak mengapa, karena wanita yang dibicarakan tadi, Kam Sian Eng, adalah enci angkat ratumu di Khitan."

   Kemudian ia memandang putera sulungnya.

   "Liong-ji, ketika pamanmu Suma Boan dahulu meninggal dunia, di luar tahu siapapun juga ia meninggalkan Kam Sian Eng dalam keadaan mengandung. Semenjak itu Kam Sian Eng menghilang dan beberapa hari yang lalu di waktu malam dia muncul secara tiba-tiba di sini bersama puteranya, Suma Kiat. Ia minta supaya aku menerima Suma Kiat tinggal untuk sementara di sini dan memperkenalkannya kepada para pembesar di kota raja. Tentu saja aku tidak dapat menolak permintaannya dan pagi hari ini kami memperkenalkan Suma Kiat melalui pesta umum kepada para tamu. Ayahmu tidak setuju, maka terpaksa Suma Kiat sendiri yang menjadi wakil dalam pesta."

   Kiang Liong menghela napas panjang. Sudah lama ia tahu bahwa tentu ada rahasia aneh terselip dalam rumah tangga ibunya, dan di dalam rahasia ini, gurunya memegang peran yang tidak kecil. Gurunya sendiri belum pernah mau bertemu dengan ayah ibunya. Dan ibunya amat sayang kepadanya, melebihi sayangnya kepada dua orang adiknya, Kiang Sun dan Kiang Hoat. Akan tetapi ayahnya jauh lebih sayang kepada dua orang adiknya. Rahasia apakah? Dia tidak tahu dan tidak pernah ibunya mau bicara tentang itu. Kini adiknya Kiang Sun yang sudah berusia dua puluh tiga tahun, sudah menikah dan bahkan tinggal jauh di selatan, di Socouw. Adapun Kiang Hoat adiknya yang bungsu, menjadi siucai (sastrawan) yang pandai, akan tetapi pekerjaannya sehari-hari hanya mengejar wanita-wanita cantik dan menghambur-hamburkan uang saja.

   "Kalau begitu.. Bibi Kam Sian Eng itu tidak tinggal di sini?"

   "Tidak, bahkan ia datang, bicara singkat lalu pergi lagi menghilang seperti.. seperti setan. Tidak terlalu menyalahkan Ayahmu kalau mengatakan dia iblis betina. Memang mengerikan sekali, Liongji. Tentang kepandaiannya, aku tidak heran karena sudah banyak kumelihat orang-orang sakti seperti Suling.. eh, Gurumu sehingga melihat orang berkelebat lalu lenyap bukan hal baru bagiku. Akan tetapi ia menyembunyikan mukanya dalam kerudung hitam, pakaiannya serba putih, dan sikapnya.. hih, menyeramkan"

   Kiang Liong tidak merasa heran kalau adik tiri gurunya seperti itu lihai dan anehnya, hal itu tidak mengherankan. Hemm, pemuda yang kini mewakili tuan rumah berpesta di taman, adalah saudara misan dengannya. Dan melihat ibu pemuda itu sakti, tentu pemuda yang bernama Suma Kiat itu lihai pula. Hal ini menggembirakan hatinya, karena biarpun ia mempunyai dua orang adik namun mereka itu sama sekali tidak mengerti Ilmu silat. Ayahnya lebih senang anak-anaknya belajar ilmu surat daripada ilmu silat. Teringat akan adiknya, ia lalu bertanya.

   "Adik Hong ke mana, Ibu? Apakah ikut berpesta di samping?"

   Ibunya cemberut.

   "Ah, bocah nakal itu, hatiku susah sekali memikirkan dia "Seorang siucai pemogoran"

   Kini tergila-gila kepada anak pemilik rumah makan di barat kota. Merengek minta dikawinkan dengan anak itu. Anak pemilik restoran. Wah benar-benar anak itu membikin malu orang tua"

   Kiang Liong tertawa, dan ibunya memandang marah.

   "Kenapa tertawa?"

   "Ha-ha, Ibu benar aneh. Kalau anak pemilik restoran, mengapa sih? Kan dia juga perempuan tulen? Kalau memang Adik Hoat mencintanya.."

   "Cinta? Ah, cinta hanya awal bencana dan duka. Aku akan merasa bahagia sekali kalau dia mencinta seorang gadis seperti.. Mimi ini.."

   "Ihhh.. Bibi membikin aku malu saja"

   Puteri Mimi menjauhkan diri dan tersenyum jengah.

   "Ha-ha-ha. Ibu tidak usah marah-marah, maafkan kalau pendapat saya, keliru."

   Kiang Liong berlutut dan memeluk kedua kaki ibunya dengan sikap manja. Ibunya menundukkan muka dan mengelus kepala puteranya. Puteranya ini menjadi buah hatinya, putera inilah keturunan dari pria yang dicintanya, putera Suling Emas.

   "Sudahlah, kau sendiri terlalu nakal, sudah begini tua tidak juga mau menikah."

   "Sabar dulu, Ibu. Masih banyak urusan yang harus kuselesaikan. Apalagi sekarang, aku harus cepat-cepat menghadap Kaisar untuk menyampaikan hasil penyelidikanku, bahkan harus cepat-cepat bertindak untuk menyelamatkan kerajaan, juga untuk menolong Pangeran Mahkota Khitan yang kini tertawan orang-orang Hsi-hsia."

   Seketika wanita itu menjadi serius.

   "Aihhh, ada urusan begini besar mengapa kau tadi bicara tentang urusan pribadi saja? Liong-ji, cukuplah tentang urusan kita sendiri, kau harus lekas menghadap kaisar dan selesaikan urusan penting itu."

   Pada saat itulah terdengar suara ribut-ribut di samping gedung, dari arah taman di mana sedang berlangsung pesta. mendengar ini, Kiang Liong lalu melompat dan melangkah keluar, diikuti Puteri Mimi yang juga ingin mengetahui apa yang terjadi di sana. Demikianlah, seperti telah kita ketahui di bagian depan cerita ini, ketika Kiang Liong tiba di taman dan menyaksikan keributan yang terjadi, ia menegur dengan suara penuh wibawa.

   "Hemmm, apakah yang terjadi di sini?"
"Kiang-kongcu datang.."

   Seruan ini keluar dari mulut beberapa orang sekaligus dan semua mata kini memandang ke arah Kiang Liong. Dengan pandang matanya yang tajam Kiang Liong menyapu wajah orang-orang yang kelihatan menimbulkan keributan.

   Tertegun hatinya ketika ia mengenal Mutiara Hitam, juga ia dapat menduga bahwa pengemis muda bertopi itu tentulah ketua baru Khong-sim Kai-pang yang sudah banyak didengarnya. Melihat pemuda itu, teringatlah ia akan Song Goat dan timbul rasa tidak senang di hatinya, apalagi melihat munculnya pengemis muda itu bersama Mutiara Hitam. Hatinya makin sebal melihat seorang pemuda berpakaian serba mewah yang ia dapat menduga tentulah saudara misannya, akan tetapi ia tidak berkata apa-apa, hanya memandang penuh perhatian. Suma Kiat adalah seorang yang wataknya aneh, namun harus diakui bahwa di balik keanehannya, ia memiliki kecerdikan luar biasa. Mendengar seruan orang-orang itu, ia segera menghadapi Kiang Liong dan menarik muka semanis-manisnya, menjura dengan penuh hormat sambil berkata.

   "Kiang-piauw-heng (Kakak Misan Kiang), aku adikmu Suma Kiat mohon maaf sebesarnya bahwa aku tidak dapat mencegah kekacauan dalam pesta ini yang ditimbulkan oleh jembel busuk ini"

   Setelah berkata demikian, ia kembali menggunakan tangan kanan menutupi luka di pundak kirinya. Kiang Liong hanya mengangguk kepada Suma Kiat sebagai balasan, lalu bertanya, suaranya tetap tenang.

   "Siapakah yang mengacau dan apa sebabnya?"

   Dengan muka seperti hendak menangis Suma Kiat lalu menunjuk Yu Siang Ki dan berkata.

   "Jembel busuk inilah yang mengacau. Dia berani menghina tamu-tamu kita, tamu wanita lagi. Aku tentu sudah dapat memukul mampus padanya kalau saja Sumoiku ini tidak mencampuri dan melukai pundakku"

   Kiang Liong tertegun dan merasa amat heran, akan tetapi hanya di dalam hatinya saja. Sungguh tak disangka-sangkanya. Mutiara Hitam ini sumoi dari Suma Kiat? Murid wanita aneh bernama Kam Sian Eng yang menurut ibunya tadi masih adik tiri gurunya sendiri? Jadi kalau begitu Mutiara Hitam ini bukan orang lain, masih terhitung adik seperguruan dengannya. Ia menjadi bingung dan sejenak kesima tak dapat berkata. Kemudian ia memandang Yu Siang Ki, pandang matanya penuh selidik dan ia harus mengaku bahwa pemuda tampan yang berpakaian penuh tambalan ini memiliki wibawa besar dan sinar mata tajam juga. Pemuda bertopi lebar itu amat tenang, membayangkan keagungan seorang ketua. Ia lalu teringat bahwa ia sebagai tuan rumah, maka ia segera mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat. Gerakan ini membuat wajah Yu Siang Ki berseri sedikit, kemudian ia pun balas menghormat.

   "Pesta kecil ini diadakan untuk menyambut kedatangan Adik misanku ini, dan siapa pun yang suka boleh datang. Saya rasa para pelayan kami sudah cukup terlatih untuk menyambut setiap orang tamu sebagaimana mestinya. Akan tetapi, belum pernah terjadi ada tamu menghina tamu lain, apalagi tamu-tamu wanita. Sungguh hal yang amat tidak patut dan mengecewakan. Harap saja sobat sudi memberi penjelasan."

   Sebelum Yu Siang Ki sempat menjawab, lima orang wanita yang tadi dikalahkan Siang Ki sudah berebut maju dan seorang di antara mereka berkata,

   "Mula-mula adalah Si Bocah Iblis ini yang menghina kami, Kiang-kongcu. Tanpa sebab ia membalikkan meja dan menyiram kami dengan kuwah panas. Kemudian setelah kami dapat menahan diri karena ternyata dia sumoi dari Suma-kongcu, Si Jembel busuk ini bikin gara-gara dan menyerang kami"

   Kiang Liong menoleh kepada mereka dan tersenyum masam. Ia tentu saja mengenal mereka, gadis yang cantik dan dan genit ini yang selalu mengejar-ngejarnya, dan tahu pula bahwa orang-orang seperti mereka ini hanya tepat dijadikan teman bersenang-senang, namun tidak boleh didengar omongannya dalam urusan besar.

   "Harap kalian pergilah agar tidak menambah keruh suasana. Aku akan membereskan urusan ini. Pergilah"

   Suara dan pandang mata Kiang Liong membuat lima orang wanita itu mundur dan dengan bersungut-sungut mereka lalu pergi dari dalam taman itu, bersumpah untuk membalas dendam kepada Kwi Lan dan Siang Ki. Kiang Liong kembali menghadapi Siang Ki.

   "Nah, sobat, bagaimana penjelasanmu? Kuulangi lagi bahwa sebagai seorang tamu, adalah amat tidak pantas melakukan pengacauan dan menghina tamu-tamu lain."

   "Kiang-kongcu, sudah amat lama saya mendengar nama besar Kiang-kongcu sebagai seorang Enghiong (pendekar) yang gagah. Akan tetapi keadaan dalam pesta ini benar-benar membuat hati saya kecewa. Terus terang saja, lima orang wanita itu bukanlah manusia-manusia yang patut menjadi tamu Kiang-kongcu. Saya telah turun tangan menghajar mereka, kalau hal ini dianggap salah, saya bersedia menerima pertanggungan-jawabnya."

   
Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Diam-diam Kiang Liong kagum mendengar jawaban itu. Jawaban yang sederhana namun sekaligus menonjolkan sifat gagah pemuda itu yang tidak suka menceritakan peristiwa itu untuk membela diri sendiri dengan jalan menyalahkan orang lain. Juga membayangkan keangkuhan seorang ketua perkumpulan pengemis yang mengaku telah menghajar orang dan kalau dianggap salah, suka menerima pertanggungan jawabnya. Namun jawaban ini pun mengandung tantangan terhadap dirinya sebagai tuan rumah. Kiang Liong seorang laki-laki sejati, betapapun juga Suma Kiat adalah adik misannya dan kini adiknya itu terluka, Si Pembuat Onar berdiri di depannya menantang.

   "Hemm, sombong sekali. Sobat, kau hendak mempertanggungjawabkan perbuatanmu berarti kau menantang aku sebagai tuan rumah. Marilah kita selesaikan urusan ini secara laki-laki"

   Pandang mata Kiang Liong tajam menusuk. Yu Siang Ki berdiri tegak, keningnya berkerut dan ia menjawab dengan lantang dan gagah.

   "Aku Yu Siang Ki sebagai seorang gagah mengenal kegagahan, menjunjung tinggi persahabatan dan tahu mana baik mana buruk. Sebagai Ketua Khong-sim Kai-pang harus mempertahankan nama. Sudah lama mendengar akan kegagahan Kiang-kongcu sebagai murid pendekar sakti Kim-siauw-eng (Suling Emas), maka kalau Kongcu menantangku untuk mengadu kepandaian aku orang she Yu tentu saja tidak berani berlaku kurang ajar dan ceroboh, membentur Gunung Thai-san. Akan tetapi, kalau Kiang-kongcu bertindak sebagai pembela lima orang wanita tadi, berarti Kongcu membela yang sesat dan aku siap untuk menerima pelajaran dari Kiang-kongcu"

   Dua orang muda yang sama tinggi, sama tampan dan gagah itu kini berdiri saling berhadapan, wajah mereka serius, pandang mata berkilat, siap untuk bertanding seperti dua ekor ayam jantan berlagak. Semua tamu menjadi tegang, apalagi setelah mendengar bahwa jembel muda itu adalah Ketua Khong-sim Kai-pang yang baru. Mereka mengharapkan untuk menonton sebuah pertandingan yang hebat antara dua orang jago muda yang berilmu tinggi.

   "Piauw-heng, untuk memukul seekor anjing kotor, perlu apa menggunakan tongkat besar? Harap Piauw-heng jangan mencapaikan diri, untuk membikin mampus anjing ini, adikmu ini masih cukup kuat. Tadi pun kalau tidak dihalangi Sumoi, anjing ini sudah kuhajar sampai mampus"

   Kata Suma Kiat berlagak sambil memegangi pundaknya yang masih mengucurkan darah.

   "Kiang-kongcu, maafkan kalau aku mencampuri urusan yang tidak ada sangkut-pautnya dengan aku, tiba-tiba Puteri Mimi menghampiri Kiang Liong dan menyentuh pundaknya. Sejak tadi puteri ini mendengar dan melihat dengan penuh perhatian, ia amat kagum menyaksikan sikap Yu Siang Ki, juga amat heran dan kagum melihat Kwi Lan yang cantik jelita dan gagah. Mendengar ucapan Siang Ki tadi, puteri ini pun kagum dan dapat menghargai kegagahan orang muda yang ia anggap menyamar dalam pakaian jembel itu. Melihat majunya Puteri Mimi, terpaksa Kiang Liong mengalihkan perhatiannya dan menoleh. Ia melihat betapa dua pipi yang halus itu kemerahan mata yang jeli itu bersinar-sinar dan diam-diam ia menjadi kagum.

   "Ada petunjuk apakah, Puteri?"

   Kini semua orang memperhatikan Mimi karena dandannya, kecantikannya, dan suaranya yang asing namun sedap didengar.

   "Kiang-kongcu, mereka yang ribut-ribut semua adalah tamu. Keributan yang terjadi di antara tamu tentu ada sebabnya. Tanpa menyelidiki sebabnya lalu berpihak, amat tidak bijaksana. Sebagai tuan rumah, sebaiknya bersikap adil dan menyelidiki lebih dulu apa sebab keributan, baru mengambil keputusan yang bijaksana dan adil. Menurutkan hati panas melupakan pertimbangan pikiran akan menimbulkan penyesalan yang sudah terlambat. Harap Kiang-kongcu mendahulukan kesadaran."

   Tidak hanya Kiang-liong dan Yu Siang Ki yang menjadi heran dan kagum sekali, juga semua orang yang mendengar ini tercengang. Amat sukar diharapkan ucapan seperti itu keluar dari sepasang bibir mungil dari seorang dara remaja seperti Puteri Mimi. Kalau semua mata memandang kagum kepada Putera Mimi, sebaiknya Kwi Lan yang sejak tadi sudah amat marah, kini tak dapat menahan kegemasan hatinya. Ia melangkah maju, pedang di tangan kanan, berdiri di depan Yu Siang Ki membelakangi pemuda ini, menghadapi Kiang Liong, sikap dan pandang matanya penuh tantangan. Suaranya nyaring tinggi menyambar telinga semua orang, langsung menusuk jantung mereka dengan kata-kata yang tajam.

   "Orang she Kiang. Apakah karena engkau menjadi murid Suling Emas engkau lalu boleh berlagak sombong seperti seorang pangeran dari langit? Kalau segala macam urusan kecil hendak dibereskan secara begini sukar olehmu, apalagi urusan besar. Ketahuilah dan dengar baik-baik. Yang menghina lima orang pelacur tadi adalah aku, Mutiara Hitam. Yang melukai adik misanmu ini adalah aku pula, Mutiara Hitam. Yu Siang Ki ini hanya turun tangan karena perempuan-perempuan rendah tadi menghinaku. Akan tetapi yang menjadi biang keladi adalah aku. Kalau kau mau berlagak seperti hakim dan memberi hukuman, hayo hukumlah aku. Mutiara Hitam berani berbuat berani bertanggung jawab. Orang she Kiang, aku mendengar bahwa Suling Emas seorang pendekar besar dan patriot, akan tetapi muridnya mengapa mengumpulkan kaum pemberontak? Hayo majulah kau boleh mengandalkan kedudukan dan nama Gurumu, akan tetapi jangan kira aku takut"

   Wajah semua orang menjadi pucat. Mereka yang memang mempunyai persekutuan untuk membantu gerakan bangsa Hsi-hsia, menjadi pucat karena khawatir, sebaliknya yang tidak tahu apa-apa, menjadi pucat karena ucapan yang keluar dari mulut gadis ini benar-benar merupakan penghinaan hebat.

   "Kwi Lan, apakah kau sudah menjadi gila? Mengapa kau mengeluarkan ucapan-ucapan tidak karuan?"

   Yu Siang Ki menegurnya, wajah pemuda ini pun menjadi pucat. Ia maklum bahwa kali ini gadis liar ini telah membuat onar dan kekacauan hebat sekali. Akan tetapi yang ditegur sama sekali tidak mempedulikannya, bahkan sinar matanya seakan-akan mengejek dan berkata.

   "Jangan turut campur"

   Wajah Kiang Liong sebentar merah sebentar pucat. Hebat penghinaan ini. Kalau diucapkan tidak di tempat umum, masih belum hebat dan mungkin ia dapat menerimanya sambil tersenyum. Akan tetapi ucapan yang amat menghinanya itu diucapkan di depan banyak tamu. Suaranya agak gemetar karena menahan amarah ketika ia bertanya.

   "Mutiara Hitam, sungguh lancang mulutmu. Kalau engkau masih Sumoi dari adik misanku Suma Kiat berarti kau bukan orang lain, akan tetapi mengapa kau berani bersikap begini kurang ajar? Kau menuduh dan memfitnah yang bukan-bukan. Siapa mengumpulkan kaum pemberontak? Apa maksudmu?"

   Kwi Lan, tersenyum mengejek. Cuping hidungnya yang tipis berkembang-kempis.

   "Masih berpura-pura lagi? Apa kau menghendaki aku menelanjangi kedokmu dan menunjuk tokoh pemberontak?"

   Sepasang mata Kiang Liong mengeluarkan sinar berkilat. Sudah gatal-gatal tangannya untuk menerjang maju, menghajar gadis yang liar ini. Akan tetapi ia masih dapat menekan hatinya dan membentak,

   "Boleh"

   Coba hendak kulihat siapa orangnya"

   "Kau lihat baik-baik"

   Kwi Lan yang masih memegang pedang itu menyapu taman dengan pandang matanya kemudian melangkah dan menghampiri meja di mana duduk tiga orang hwesio.

   "Sumoi.. jangan.."

   Suma Kiat berseru. Akan tetapi dengan langkah lebar, Kwi Lan sudah tiba di depan meja tiga orang hwesio itu dan sekali tendang, meja itu mencelat dan menimpa tiga orang hwesio tadi.

   "Brakkk.."

   Hwesio kurus berjubah kuning itu dengan tangan kirinya menyampok dan meja itu pecah. Sambil menghantam hwesio itu meloncat dan berdiri tegak memandang Kwi Lan.

   "Omitohud, apakah Nona ini menjadi gila?"

   Kwi Lan tertawa, menuding dengan pedangnya.

   "Apakah engkau yang bernama Cheng Kong Hosiang?"

   "Sumoi, jangan.."

   Kembali Suma Kiat berseru. Cheng Kong Hosiang menjadi beringas pandang matanya. Kakek ini mencium bahaya, akan tetapi ia memandang rendah gadis ini. Ia seorang yang memiliki ilmu silat tinggi, tentu saja tidak takut menghadapi seorang gadis remaja.

   "Pinceng benar Cheng Kong Hosiang, Nona mau apa dan.."

   Belum habis ucapannya, tubuh Kwi Lan menerjang maju. Dua orang hwesio tinggi besar yang duduk di kanan kiri Cheng Kong Hosiang adalah murid-murid hwesio tua ini, mereka pun pandai ilmu silat dan, melihat gadis itu sudah menerjang maju, mereka segera menyambut dari kanan kiri bersenjatakan tongkat.

   "Trang-trang.. wuuut-wuuut, aduhhh.."

   Cepat luar biasa gerakan Kwi Lan. Dengan pedang Siang-bhok-kiam di tangan kanan, ia menangkis dan menempel dua tongkat itu sehingga tak dapat ditarik kembali, kemudian dengan gerakan memutar amat kuat, ia membuat dua batang tongkat ikut berputaran sampai terlepas dari tangan pemegangnya, kemudian secara mendadak tangan Kwi Lan bergerak, dua kali memukul dan robohlah dua orang hwesio itu dengan tulang pundak patah-patah. Cheng Kong Hosiang sudah menyambar tongkatnya yang panjang dan berat, namun gerakan Kwi Lan lebih cepat daripadanya. Tubuh gadis ini seperti lenyap, berubah menjadi bayangan yang didahului sinar pedang kehijauan.

   "Sumoi, tahan.."

   Kembali terdengar suara Suma Kiat yang sudah dekat di belakangnya. Melihat sumoinya nekat dan hendak membuka rahasia hwesio itu, Suma Kiat marah sekali dan mengirim pukulan maut dari belakang. Pukulan ini adalah pukulan jarak jauh yang mengandung hawa beracun dan betapa pun lihainya Kwi Lan, kaarena ia menujukan perhatiannya kepada hwesio di depannya, agaknya sukar baginya untuk menghindarkan diri dari pukulan maut suhengnya. Dan kalau pukulan itu sampai mengenai lambungnya, sukar pula nyawanya dapat ditolong.

   "Dukk.."

   Suma Kiat terhuyung ke belakang, mulutnya menyeringai menahan nyeri, seluruh lengan kanannya terasa lumpuh dan dadanya sesak.

   Bukan karena tangkisan Kiang Liong, melainkan karena hawa pukulannya sendiri membalik ketika pukulannya tadi tertahan oleh lengan Kiang Liong. Melihat betapa adik misannya mengirim pukulan dari belakang seganas dan sekeji itu, Kiang Liong sudah cepat bergerak menangkis. Diam-diam pemuda ini menjadi makin tidak senang kepada adik misannya. Terhadap seorang sumoi saja sudah dapat bersikap sekeji dan securang itu. Andaikata Mutiara Hitam ini benar bersalah dalam hal keributan ini sekalipun, ia tetap tidak akan membiarkan adik misannya atau orang lain merobohkannya secara curang. Sinar matanya yang amat tajam membuat Suma Kiat tak berani membuka mulut, kemudian mereka berdua, seperti juga semua orang, kembali menonton pertandingan antara Mutiara Hitam dan Cheng Kong Hosiang.

   Yu Siang Ki juga menyaksikan peristiwa yang terjadi amat cepatnya itu dan ia makin tidak mengerti akan sikap Kiang Liong. Tadi memperlihatkan sikap bermusuhan, akan tetapi sekarang melindungi Mutiara Hitam. Dan Kwi Lan mengapa bersikap seperti itu? Ia merasa dihadapkan sebuah teka-teki. Benarkah apa yang dituduhkan gadis itu? Bahwa Kiang Liong bersekongkol dengan para pemberontak? Ah, rasanya tidak mungkin. Dan siapakah hwesio bernama Cheng Kong Hosiang yang diserang Kwi Lan? Ia memandang penuh perhatian, siap untuk membantu Kwi Lan apabila gadis itu terancam bahaya.

   Hwesio kurus itu memang lihai sekali. Tongkatnya terbuat daripada baja kebiruan yang kuat dan berat, sedangkan ilmu tongkatnya juga luar biasa kuatnya. Tongkat di tangannya diputar cepat sehingga lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar biru yang menyilaukan mata. Kwi Lan sendiri sudah lenyap bayangannya, tergulung oleh sinar pedangnya yang kehijauan. Namun pertahanan hwesio tua itu benar amat tangguh. Ke manapun juga sinar pedangnya menyerang, selalu dapat ditangkisnya dengan tongkat sehingga pertandingan itu menjadi makin seru dan sengit. Belasan serangan hwesio itu juga tak pernah berhasil karena gerakan Kwi Lan amat gesit.

   "Trang"

   Trang.."

   Dua kali tongkat dan pedang bertemu dan kedua orang yang bertanding seru itu mencelat mundur sampai tiga meter lebih.

   "Tahan"

   Seru Cheng Kong Hosiang, menghapus peluh di dahinya dengan ujung baju lengan kiri, sikapnya bengis.

   "Nona, pinceng adalah tamu Kiang-kongcu dan pinceng cukup menghormat tuan rumah, tidak sudi mengacau di dalam taman ini. Kalau kau tidak memandang mata kepada Kiang-kongcu dan tetap hendak menantang pinceng, bukan di sini tempatnya"

   Kwi Lan tersenyum mengejek.

   "Wah, kau tua bangka gundul benar pandai mencari muka kepada tuan rumah yang menjadi sekutumu. Eh, Cheng Kong Hosiang, apa kau kira aku tidak mengerti akan rahasia busukmu? Engkau adalah utusan Bouw Lek Couwsu pemimpin bangsa Hsi-hsia. Engkau bertugas mengadakan persekutuan busuk dengan kaum pengkhianat dan pemberontak di kota raja. Sebagian besar bangsawan dan pembesar yang hadir di sini.."

   "Trang-trang.."

   Tongkat itu menyambar hebat dan Kwi Lan yang menangkis dua buah serangan itu sampai merasa tergetar pundaknya. Ia menjadi marah dan menggerakkan pedangnya membalas serangan lawan. Kedua orang itu kembali sudah bertanding secara hebat. Berubah wajah Siang Ki mendengar ucapan Kwi Lan tadi. Ah, kiranya gadis itu sudah bertindak dengan dasar yang demikian penting. Betulkah apa yang diucapkan gadis itu? Ia melirik kepada para tokoh pengemis dan mereka bersiap-siap. Sementara itu, para pembesar yang mendengar ucapan Kwi Lan, menjadi pucat wajahnya dan bangkitlah mereka, kemudian secara tergesa-gesa dan diam-diam mereka bergerak hendak pergi meninggalkan tempat berbahaya ini.

   "Berhenti. Semua tidak boleh, meninggalkan tempat ini"

   Bentak Kiang Liong yang cepat memberi isyarat kepada penjaga, kemudian membisikkan perintah agar Si Penjaga cepat pergi mengundang komandan pengawal istana dan pasukannya. Ia sendiri menjaga di pintu dan menonton pertempuran dengan hati tegang. Sejak tadi ia sudah merasa heran melihat betapa hwesio tua itu amat lihai serta memiliki ilmu silat yang didasari gerakan kaki pat-kwa, persis seperti ilmu silat Bouw Lek Couwsu yang lihai. Kini mendengar ucapan Kwi Lan, kecurigaannya makin hebat. Tuduhan gadis itu bukan hal yang tidak boleh jadi, mengingat betapa Bouw Lek Couwsu berniat keras untuk menghubungi para pembesar khianat.

   Kwi Lan maklum bahwa ia telah membongkar rahasia besar dan tentu saja hwesio ini akan berusaha keras untuk membunuhnya. Bahkan mungkin kaki tangan hwesio ini termasuk suhengnya akan mencelakakannya. Akan tetapi hatinya agak lega melihat betapa tadi pukulan suhengnya digagalkan oleh Kiang Liong. Kalau sampai terjadi pertempuran besar, yang ia khawatirkan hanya Kiang Liong yang ia tahu memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi daripadanya. Maka melihat sikap Kiang Liong tadi, hatinya lega, pula dugaannya bahwa Kiang Liong ikut pula berkhianat, kini menipis. Ia harus dapat menghalau hwesio ini lebih dulu, pikirnya. Akan tetapi tidaklah mudah mengalahkan hwesio ini yang sesungguhnya adalah murid kepala Bouw Lek Couwsu sendiri.

   Kwi Lan menjadi penasaran. Pertahanan hwesio itu benar amat kuat, sukar ditembusi pedangnya. Ia harus menggunakan akal. Dalam satu dua detik saja ia sudah mendapatkan akal ini. Kalau lawannya yang merupakan seorang berilmu dan sudah memiliki pengalaman matang dalam pertandingan-pertandingan itu dibiarkan terus mempertahankan diri agaknya dalam waktu selama seratus jurus belum tentu ia akan bisa mendapatkan kemenangan. Jalan satu-satunya hanya memancing agar kakek itu menyerang, karena pertahanan seseorang sudah pasti akan menjadi lebih lemah jika dipergunakan untuk menyerang. Artinya setiap serangan membuka lowongan atau kelemahan dalam pertahanan. Tiba-tiba Kwi Lan menusukkan pedangnya ke arah dada lawan. Sengaja ia membuat gerakannya itu agak miring dengan kedudukan kaki yang tidak cukup kuat.

   Tongkat lawan menangkis dan Kwi Lan berseru keras dan kaget, pedangnya terlepas dari pegangan. Yu Siang Ki mengeluarkan seruan kaget pula, bahkan Suma Kiat juga mengeluarkan seruan, akan tetapi seruan girang. Ia maklum bahwa betapa pun lihainya, Cheng Kong Hosiang akhirnya tidak akan dapat menandingi kehebatan sumoinya dan tentu akan roboh. Kini melihat berobahnya jalannya pertandingan, diam-diam ia merasa girang. Ia mencinta sumoinya, akan tetapi kalau sumoinya menghalang jalan menuju tercapainya cita-citanya, ia tidak segan-segan bergembira melihat sumoinya terancam bahaya maut. Hanya Kiang Liong yang tetap tenang, berdiri tegak matanya tak pernah berkedip memandang jalannya pertandingan. Pemuda ini sudah terlalu hebat digembleng oleh Suling Emas untuk tidak melihat dasar gerakan Kwi Lan itu.

   Akan tetapi Cheng Kong Hosiang yang melihat pedang lawannya terlepas, tidak memikirkan lagi kemungkinan lain. Dalam detik itu, kemenangan sudah terbayang olehnya. Gadis ini harus dibunuh karena terlalu berbahaya. Tongkatnya berkelebat dalam serangannya, menghantam ke arah kepala Kwi Lan. Gadis ini miringkan tubuh menundukkan kepala, sengaja membiarkan ujung tongkat menyerempet pundaknya. Di dalam hatinya, Kiang Liong tertegun. Memang siasat ini hebat, akan tetapi terlalu berbahaya. Gadis ini bukan main, memiliki ketabahan yang sukar dicari tandingnya. Meleset sedikit saja perhitungannya, terlambat seperempat detik saja gerakannya, kepalanya akan hancur dipukul tongkat. Namun, Kwi Lan selain tabah juga tenang dan cerdik, perhitungannya takkan meleset. Pada saat ia merasa pundak kanannya nyeri diserempet ujung tongkat, tangan kirinya sudah menghantam ke depan. Itulah pukulan Siang-tok-ciang (Tangan Racun Wangi).

   "Auuuggghhh.."

   Pukulan itu agaknya tidak terlalu keras, akan tetapi tubuh Cheng Kong Hosiang terpelanting ke belakang, dan kakek ini bergulingan dan menggeliat-geliat kesakitan karena seluruh isi perutnya seperti ditusuk-tusuk.

   "Sumoi, kau terlalu.."

   Suma Kiat lari menghampiri Kwi Lan yang sudah siap sedia melawan suhengnya, akan tetapi pemuda itu sama sekali tidak menyerangnya, melainkan berlutut di dekat tubuh Cheng Kong Hosiang yang masih menggeliat-geliat.

   "Lo-suhu, bagian mana yang terasa sakit? Coba kuperiksanya.."

   Pemuda ini meraba dada, meraba perut dan pendeta tua itu tidak merintih lagi, bahkan tidak bergerak lagi.

   "Piauw-te (Adik Misan), minggirlah"

   Kiang Liong membentak Suma Kiat.

   Pemuda ini hendak memeriksa dan memaksa hwesio itu membuka rahasia, akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia memeriksa, Cheng Kong Hosiang ternyata sudah tak bernyawa lagi. Ia bangkit berdiri, dan menatap wajah adik misannya dengan pandang mata tajam menusuk akan tetapi Suma Kiat hanya menyeringai saja. Pada saat itu, terdengar hiruk-pikuk di luar taman dan masuklah seorang komandan
(Lanjut ke Jilid 26)
Mutiara Hitam (Seri ke 04 "

   Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 26
berpakaian gagah memimpin sepasukan pengawal sendiri dari tiga losin orang. Komandan itu segera melangkah lebar menghampiri Kiang Liong, sedangkan para anak buahnya dengan rapi menjaga di pintu keluar.

   "Hemm, tidak ada perlunya kita berada di sini lebih lama lagi. Siang Ki, mari kita pergi"

   Kata Kwi Lan yang sudah menyimpan pedangnya. Yu Siang Ki mengangguk. Memang ia ingin sekali bicara dengan Kwi Lan mengenai tuduhan yang dilontarkan oleh gadis tadi. Para tokoh kai-pang yang berada di sini ikut bergerak. Komandan pengawal menghadang dan memandang kepada Kiang Liong dengan pandang mata bertanya, menanti perintah. Akan tetapi Kiang Liong berkata halus,

   "Biarkan mereka pergi"

   Yu Siang Ki merasa sungkan juga mendengar ucapan Kiang Liong ini. Ia merangkap kedua tangan di depan dada lalu menjura kepada Kiang Liong sambil berkata.

   "Kiang-kongcu, maafkan kelakuan saya tadi."

   "Hemm, tidak ada yang perlu dimaafkan. Kalau kau ingin minta maaf, pergilah ke lereng Bukit Cin-lin-san, di Kuil Pek-lian-si. Di sana ada seorang calon nikouw yang akan mempertimbangkan apakah kau dapat dimaafkan atau tidak."

   Setelah berkata demikian, Kiang Liong membalikkan tubuh, tidak mempedulikan lagi kepada Ketua Khong-sim Kai-pang ini. Yu Siang Ki tercengang, tidak mengerti, akan tetapi karena Kiang Liong sudah membelakanginya dan bercakap-cakap dengan komandan pengawal, dan karena Kwi Lan sudah menarik tangannya, terpaksa ia mengikuti gadis itu keluar dari taman bersama para tokoh pengemis.

   "Kwi Lan, apakah artinya semua ucapanmu tentang persekutuan.."

   "Ssst, diam dan mari kita keluar kota raja. Ada pekerjaan penting untuk kita. Kita harus pergi menolong Pangeran Mahkota Khitan yang tertawan oleh Bouw Lek Couwsu"

   "Apa..? Bagaimana? Di mana?"

   "Sstt, mari ikut saja, nanti kujelaskan."

   "Mengapa kau tergesa-gesa seperti orang ketakutan?"

   "Hemm, kau benar cerewet. Aku memang takut"

   "Takut siapa?"

   "Bodoh, Guruku tentu. Kalau dia datang aku takkan terlepas dari kematian dan Pangeran Mahkota Khitan takkan tertolong."

   "Ah, Gurumu marah karena kau membunuh hwesio itu?"

   Kwi Lan menghentikan larinya memandang pemuda itu dan membanting kaki.

   "Siang Ki, kau benar cerewet. Dan bodoh. Hwesio itu dibunuh Suheng, apa kau tidak tahu? Suheng bersekutu dengan hwesio itu dan para pembesar Sung yang khianat. Ini bukan urusanku, yang penting aku harus menyelamatkan Putera Mahkota Khitan. Kau mau membantuku? Baik, sekarang lebih baik kau kumpulkan rekan-rekanmu yang memiliki kepandaian, kemudian menyusulku pergi ke lembah Sungai Kuning di sebelah barat Lok-yang, di kaki Gunung Fu-niu-san. Di sanalah markas Bouw Lek Couwsu dan barisan mata-matanya, dan di sana Pangeran Mahkota ditawan. Nah, sampai jumpa di sarang musuh"

   Kwi Lan lalu melompat dan lari meninggalkan Siang Ki dan kawan-kawannya yang berdiri melongo saking kaget dan herannya.

   Mendengar penuturan Kwi Lan ini, ia teringat akan pesan Kiang-kongcu dan tiba-tiba wajahnya berobah. Seorang calon nikouw? Yang akan mempertimbangkan permintaan maafnya? Ah, tentu saja. Siapa lagi kalau bukan Nona Song Goat yang dimaksudkan oleh Kiang-kongcu. Tunangannya itu, dalam keadaan sakit hati dan merasa terhina, tentu mengambil keputusan untuk menjadi seorang nikouw. Dan agaknya Kiang-kongcu pernah berjumpa dengan Song Goat maka memberi pesan seperti itu. Akan tetapi, urusan yang. dikemukakan Kwi Lan amat besar. Biarpun ia tidak peduli tentang nasib Pangeran Khitan, akan tetapi kalau Kwi Lan seorang diri menyerbu ke sana, hal ini amat berbahaya bagi gadis itu. Dia harus menyusul dan membawa pasukan pengemis yang cukup kuat.

   "Mari kita kumpulkan teman-teman"

   Katanya dan barangkatlah mereka mempersiapkan pasukan pengemis yang kuat. Mereka mengumpulkan teman-teman ini dari kota raja dan Lok-yang. Setelah lengkap, Siang Ki memimpin tiga puluh orang tokoh kai-pang, dengan berpencar agar tidak menarik perhatian, berangkat menuju ke tempat yang ditunjuk oleh Kwi Lan.

   Semua tamu yang hadir dalam pesta penyambutan Suma Kiat, digiring oleh pasukan pengawal istana. Setelah diperiksa, ditanya seorang demi seorang, mereka itu tidak ada yang mengaku kenal dengan Cheng Kong Hosiang. Bahkan semua menyatakan tidak mengenal Suma Kiat, dan hanya datang hadir karena mengingat Pangeran Kiang dan terutama sekali mengingat nama Kiang-kongcu. Diam-diam Kiang Liong berunding dengan pembesar yang berwenang, lalu membebaskan mereka semua, akan tetapi semenjak saat itu, gerak-gerik semua pembesar ini selalu diawasi. Kemudian Kiang Liong menghadap Kaisar dan menceritakan pengalamannya dalam penyelidikan gerakan orang-orang Hsi-hsia. Kaisar menerima laporan ini dengan sabar, kemudian menjatuhkan perintah kepada semua panglimanya agar berusaha keras mencegah pecahnya perang.

   "Betapa pun kecilnya, perang tetap merupakan malapetaka bagi rakyat. Oleh karena itu, sedapat mungkin harus dihindarkan. Hubungilah bangsa Hsi-hsia dan selidiki apa kehendak mereka. Kalau hanya harta benda yang mereka kehendaki, kami lebih suka mengorbankan sebagian harta benda daripada mendatangkan malapetaka bagi rakyat"

   Perintah kaisar inilah yang kelak mencelakakan Kerajaan Sung sendiri. Karena perintah semacam ini yang sering kali dikeluarkan oleh Kaisar yang suka damai dan anti perang ini, kedudukan Kerajaan Sung menjadi makin lemah sehingga akhirnya tidak kuat bertahan ketika malapetaka tiba. Perintah ini pula yang membuat bangsa Hsi-hsia yang tidak berapa besar itu menjadi makin kuat dan kelak merupakan ancaman yang sama besarnya dengan bangsa Khitan.

   Kiang Liong kecewa sekali mendengar perintah ini. Namun tentu saja tak seorang di antara para panglima berani membangkang. Dengan hati gelisah Kiang Liong kembali ke rumah orang tuanya. Bagaimana caranya untuk menolong Pangeran Mahkota Khitan kalau kaisar melarang dipergunakannya kekerasan terhadap orang-orang Hsi-hsia? Dan dimanakah adanya Pangeran Khitan yang tertawan itu? Ia teringat akan peristiwa di dalam taman. Melihat betapa Suma Kiat diam-diam membunuh Cheng Kong Hosiang dan melihat pula sikap Suma Kiat ketika Mutiara Hitam menghamburkan dakwaan-dakwaan yang hebat itu. Malam itu ia mengajak Suma Kiat ke kamarnya, mengunci pintu kamarnya dan dengan wajah bengis ia berkata,

   "Nah, sekarang kau harus menceritakan semua rahasiamu, Piauw-te"

   

Cinta Bernoda Darah Eps 14 Suling Emas Eps 10 Suling Emas Eps 24

Cari Blog Ini