Suling Emas 24
Suling Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 24
Sambil berkata demikian, ia menggerakkan tubuhnya, menggeliat-geliat dan... dengan mudah ia dapat "merosot"
Keluar dari pelukan ketat itu! Cu Bian masih berdiri agak membongkok dengan kedua lengan memeluk seperti tadi, akan tetapi yang dipeluknya sudah terlepas dan ia masih terengah-engah dan meramkan matanya!
"Bagaimana, Ciangkun?"
Lu Sian tertawa dan menggigit bibir menahan geli. Cu Bian cepat sadar dan ia segera membungkuk dan memberi hormat.
"Benar-benar Toanio lihai sekali, saya merasa takluk. Dan amat beruntunglah saya akan mendapat bimbingan Toanio dalam mempelajari Sia-kut-hoat."
"Ciangkun, Ilmu Sia-kut-hoat mudah, akan tetapi dasarnya harus kuat, seperti kukatakan tadi, berdasarkan penggunaan hawa sakti dalam tubuh yang disalurkan pada sambungan tulang. Untuk mempelajari ini, kita harus berada dalam ruangan tertutup dan biarlah aku membantu penyaluran hawa dalam tubuh Ciangkun agar lebih cepat hasilnya. Sanggupkah Ciangkun?"
Makin merah muka Cu Bian, akan tetapi ia percaya betul bahwa Sian-toanio ini bersungguh-sungguh hendak melatihnya. Kalau memang caranya demikian, apa mau dikata lagi? Toh ini hanya latihan, demi memenuhi syarat agar berhasil!
"Baiklah, Toanio, apakah kamar saya cukup memenuhi syarat?"
"Cukuplah, asal ditempat tertutup,"
Jawab Lu Sian menahan geli hatinya. Mereka lalu meninggalkan taman dan memasuki kamar Cu Bian yang cukup luas dan bersih. Sebuah tempat tidur lebar berdiri disudut kamar. Lu Sian tidak mau tergesa-gesa, karena ia tidak ingin membuat pemuda ini terlalu sungkan, malu dan bercuriga. Maka ia berkata,
"Ciangkun harus duduk bersila menyatukan perhatian dan mengerahkan hawa sakti dalam tubuh. Biar saya yang membantu penyaluran hawa sakti itu. Akan tetapi agaknya Ciangkun akan merasa tidak pantas kalau kita berlatih diatas... sana itu!"
Ia menuding kearah ranjang dan Cu Bian menundukkan muka, tak berani memandang wajah Lu Sian.
"Karena itu, biarlah kita duduk bersila dilantai ini saja."
Cu Bian tidak berani menjawab. Ia benar-benar merasa amat sungkan dan malu. Selama hidupnya belum pernah ia berdua dengan seorang wanita didalam kamar, apalagi berada diatas satu ranjang, biarpun hanya bersila!
"Terserah... kepada Toanio..."
Jawabnya dan ia lalu mendahului duduk bersila di atas lantai. Lu Sian pun duduk bersila didepannya, kemudian wanita itu menempelkan kedua telapak tangannya kepada tangan Cu Bian sambil berkata,
"Atur napas kerahkan tenaga biar nanti aku yang membantumu menyalurkan tenaga kesambungan-sambungan tulang. Kau menurutlah saja dan lihat hasilnya."
Cu Bian mengangguk karena sukarlah baginya mengeluarkan suara setelah kedua tangan mereka saling menempel. Betapa takkan berdebar jantungnya karena tapak tangan yang halus lunak itu menyalurkan hawa mujijat yang seperti membanjir kedalam tubuhnya membuat tubuhnya penuh getaran-getaran aneh. Dan bau yang semerbak harum itu! Cu Bian cepat memejamkan kedua matanya, mencurahkan perhatiannya dan mengerahkan sin-kang (hawa sakti) dalam tubuhnya. Terasa olehnya betapa satu kekuatan hebat yang masuk ketubuhnya melalui telapak tangan itu menguasai hawa saktinya dan mendorongnya menembus seluruh tulang dalam tubuh. Mula-mula lengan kanannya berbunyi berkeretakan, lalu lengan kiri, kedua kaki, kedua pundak, leher dan punggung.
"Sia-kut-hoat dapat membuat tubuh menjadi kecil, tulang-tulang seperti dapat dilipat sehingga kita mudah lolos dari ikatan apapun juga."
Lu Sian berbisik.
"tanpa menggerakkan tubuh sekalipun kita dapat meloloskan diri dari cengkeraman apa saja. Lihatlah buktinya!"
Tiba-tiba Cu Bian yang masih meramkan mata itu merasa betapa tulang pundaknya bergoncang, ia tidak melawan karena tadi sudah dipesan, menurut saja. Pundaknya serasa tak bertulang lagi sehingga ia terkejut.
"Cu Ciangkun, lihat hasilnya, buka matamu..."
Kembali Lu Sian berbisik perlahan.
Cu Bian membuka kedua matanya dan... terbelalak ia memandang tubuh bagian atas yang tak tertutup apa-apa lagi itu. Kulit yang putih halus memerah terkena sinar lampu, dada yang montok padat dengan lekuk lengkung sempurna. Dia sendiri pun bertelanjang ditubuh bagian atas. Entah bagaimana, baju mereka berdua telah terlepas dan bergantungan di pinggang, sedangkan kedua tangan mereka masih saling menempel dan tak pernah lepas. Pemuda yang selama hidupnya belum pernah menyaksikan pemandangan seperti ini, tak dapat menahan lagi. Tubuhnya menggetar, mukanya menjadi merah dan terasa panas, dadanya menggelora menyesakkan napas. Kedua tangan Lu Sian kini memegang kedua tangan pemuda itu dan memijit-mijitnya mesra.
"Tak senangkah hatimu karena hasil ini?"
Ia berbisik dengan senyum memikat dan mata basah penuh nafsu. Makin berombak dada Cu Bian, ia hanya mengangguk-angguk tanpa dapat berkata apa-apa, matanya tidak berani langsung bertemu pandang dengan Lu Sian melainkan tak pernah berkedip menatap kearah dada! Tiba-tiba Lu Sian tertawa lirih dan menubruknya, merangkul dan menciumnya.
"Eh... eh... Toanio..."
Cu Bian terengah-engah dan tubuhnya menggigil, akan tetapi kedua lengannya yang kuat itu memeluk dan mendekap tubuh yang menggairahkan, mendekap sekuat tenaganya sehingga kalau yang dipeluknya itu wanita lain tentu akan remuk-remuk tulang iganya. Akan tetapi Lu Sian bukannya wanita biasa. Didekap sekuat itu, ia hanya tertawa dan kini ia menoleh ke arah lampu, tampak senyumnya melebar, senyum kemenangan ketika bibirnya meruncing untuk meniup kearah lampu disudut kamar sehingga padam!
Karena didalam istana Kaisar Cin Muda ini Lu Sian mengalami penghidupan yang penuh kesenangan dimana ia dapat memuaskan semua nafsunya, hidup bergelimang harta dunia dan kesenangan, maka ia merasa seakan-akan tercapai semua yang menjadi cita-citanya. Sampai delapan tahun ia tinggal didalam istana, dan selama itu Coa Kim Bwee berhasil menyenangkan hatinya dengan pelayanan-pelayanan manis sehingga banyak pula ilmu yang ia turunkan kepada selir raja ini. Bahkan ilmu awet muda ia turunkan pula kepada Coa Kim Bwee yang tentu saja menjadi amat girang. Biarpun maklum bahwa wanita yang didalam istana dikenal sebagai Sian-tonio itu sesungguhnya adalah puteri Beng-kauwcu yang berjuluk Tok-siauw-kwi dan yang menghabiskan pangeran-pangeran dan panglima-panglima muda yang tampan untuk dijadikan kekasihnya, namun Raja tidak mau menghalanginya.
Hal ini adalah karena hadirnya Lu Sian di dalam istana itupun merupakan hal yang menguntungkan, semenjak ada Lu Sian di dalam istana, jarang sekali terjadi penyerbuan musuh dan kalaupun ada, tentu akan disapu bersih oleh wanita sakti itu. Karena istana sudah terjaga dengan adanya Lu Sian, para panglima yang tadinya bertugas menjaga keselamatan raja, kini memindahkan perhatiannya keluar istana dan mulai membantu melakukan pembersihan dalam kota raja. Banyak sudah mata-mata musuh ditangkap dan dibunuh, bahkan belum lama ini belasan orang pengikut atau anak buah Couw Pa Ong yang masih selalu berusaha merampas kekuasaan, dapat dibasmi habis dalam sebuah kuil kosong di sebelah selatan kota raja.
Yang memimpin pembasmian ini adalah Panglima Muda Cu Bian yang kini telah memperoleh kemajuan hebat dalam ilmu silatnya semenjak ia menjadi kekasih Lu Sian. Panglima muda ini banyak berhasil dalam usaha membasmi musuh, karena dia melakukan penyelidikan dengan menyamar sebagai penduduk biasa, tidak berpakaian sebagai panglima. Dalam penyelidikannya, Cu Bian tahu bahwa komplotan mata-mata yang paling aktif di kota raja adalah gerombolan anak buah Couw Pa Ong atau Kong Lo Sengjin, bekas Raja Muda Kerajaan Tang yang masih setia kepada dinasti yang sudah runtuh itu. Dan ia tahu pula bahwa di dalam kota raja terdapat sebuah tempat yang dijadikan tempat pertemuan mereka, di samping kuil kosong dimana ia telah membasmi tiga belas orang mata-mata belum lama ini.
Pada suatu pagi, seorang diri Cu Bian pergi menyelidiki rumah tua di ujung kota yang sunyi sebelah barat itu, berpakaian sebagai seorang penduduk biasa. Goloknya ia sembunyikan di balik baju dan ia mendekati rumah tua itu dengan hati-hati dan menyelinap diantara pohon-pohon dibelakang rumah. Biasanya rumah tua ini kosong, akan tetapi tadi ia melihat berkelebatnya bayangan orang melalui jendela yang tidak berdaun lagi itu. Setelah dekat ia mengintai dan terdengar suara orang bercakap-cakap. Ketika ia melihat seorang kakek tua duduk diatas kursi sedang marah-marah kepada seorang laki-laki yang berdiri ketakutan, hatinya tergerak. Siapakah kakek ini, pikirnya. Kakek yang mukanya penuh cambang, pakaiannya longgar dan wajahnya berwibawa!
"Goblok! Tolol sekali kalian! Bagaimana sampai berhasil disergap dan dibunuh? Benar-benar tidak berotak. Dan semua usaha ke istana gagal belaka, mengantar nyawa dengan sia-sia! Ah, baru beberapa tahun aku mengaso di Pek-coa-to (Pulau Ular Putih), usaha kita macet karena ketololan kalian. Kalau para pembantuku seperti kalian ini patriot-patriot konyol, mana mungkin Kerajaan Tang yang jaya dapat bangkit kembali?"
"Ampun, Ong-ya, sesungguhnya kami cukup hati-hati, akan tetapi semenjak Tok-siauw-kwi berada disini, kami tidak berdaya apa-apa. Semua serbuan ke istana gagal dan teman-teman kita banyak yang mati konyol. Gerakan kita di sini menjad macet sama sekali."
Diam-diam Cu Bian terkejut. Kiranya inilah Sin-jiu Couw Pa Ong yang terkenal pula dengan julukannya Kong Lo Sengjin? Ia memandang penuh perhatian dan melihat betapa kedua kaki yang tergantung di kursi itu lemas dan lumpuh, ia tidak ragu-ragu lagi. Hatinya berdebar dan ia menoleh kebelakang. Kalau saja ada pembantu, ah, kalau saja ada Sian-toanio! Akan tetapi masa ia tidak akan dapat mengalahkan seorang kakek yang lumpuh kedua kakinya? Dan orang kedua itupun kelihatan lemah.
"Huh, menghadapi Tok-siauw-kwi saja takut? Biarlah, setelah aku datang, akan kuhancurkan kepala siluman betina itu. Hemm, kau lihat baik-baik!"
Tiba-tiba kakek itu menggerakkan lengannya dan angin besar menyambar kearah jendela di mana Cu Bian mengintai.
"Brakk!"
Runtuhlah sebagian dinding jendela itu, akan tetapi Cu Bian sudah melompat ke samping, terus ia memutar golok yang sudah dicabutnya sambil menyerbu ke dalam rumah melalui jendela.
"Pemberontak tua bangka! Lebih baik kau menyerahkan diri untuk diadili daripada harus berkenalan dengan golokku!"
Bentaknya. Kong Lo Sengjin tidak mempedulikan panglima muda ini, bahkan menoleh kearah laki-laki temannya tadi sambil bertanya,
"Siapakah budak ini?"
Laki-laki itu meloncat kepinggir, gerakannya cukup ringan, dan ia berkata,
"Ong-ya, inilah dia Cu-ciangkun, panglima muda yang memimpin pembasmian teman-teman kita di kuil tua...!"
"Oho! Bagus sekali, kau mengantarkan nyawa kesini, budak. Lekas berlutut agar kau dapat terbebas dari kematian mengerikan!"
Suara Kong Lo Sengjin berubah menyeramkan.
"Ong-ya, dia ini seorang diantara kekasih Tok-siauw-kwi!"
Laki-laki itu berkata pula. Sementara itu, Cu Bian sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi.
"Pemberontak rendah! Rasakan golokku!"
Ia menerjang maju, membacok dengan goloknya, gerakannya cepat dan kuat sekali, goloknya lenyap berubah sinar putih seperti kilat menyambar kearah leher kakek itu.
"Singgg...!!"
Namun goloknya mengenai angin belaka karena kakek yang sakti itu telah mencelat keatas bersama kursinya! Dengan masih duduk diatas kursi, Kong Lo Sengjin telah berhasil mengelakkan sambaran golok! Gerakan luar biasa ini dibarengi suara tertawa bergelak-gelak.
Cu Bian penasaran sekali. Sambil berseru keras ia menerjang terus kemanapun berkelebatnya bayangan kakek bersama kursinya. Ia sudah memperoleh pelajaran dari wanita cantik itu, tidak hanya pelajaran bermain cinta, melainkan juga pelajaran untuk memperhebat gin-kangnya, lweekang dan ilmu goloknya. Namun menghadapi kakek lumpuh ini, ia benar-benar tidak berdaya. Goloknya selalu membacok angin belaka danpada detik terakhir, kakek itu selalu dapat berpindah tempat bersama kursinya dan masih tetap tertawa-tawa.
"Ha-ha, disuruh berlutut tidak mau, kau menghendaki kematian yang mengerikan!"
Kakek itu berkata dan lengan bajunya yang panjang itu berkibar menyambar ke depan, yang kanan menangkis golok, yang kiri menyambar ke arah kepala Cu Bian. Bukan main kagetnya pemuda ini ketika goloknya hampir saja terlepas dari pegangannya bertemu dengan ujung lengan baju. Akan tetapi ia lebih memperhatikan sambaran ujung lengan baju ke dua ke arah kepalanya. Cepat ia miringkan tubuh membuang diri, akan tetapi tetap saja pundaknya kena dihantam ujung lengan baju.
"Plakk!"
Perlahan saja tampaknya hantaman itu, namun akibatnya cukup hebat karena tubuh Cu Bian terhuyung-huyung kebelakang dan kepalanya serasa hampir pecah saking hebatnya rasa nyeri di pundaknya. Namun orang muda ini mempunyai keberanian besar. Ia meloncat bangun dan kini dengan kemarahan meluap, sambil meluapkan rasa nyeri yang menusuk jantung, ia menerjang maju lagi dengan dahsyat.
"Hah, rebahlah kau!"
Bentak Kong Lo Sengjin tanpa berpindah dari kursinya, hanya dengan gerakan kedua tangannya, dilain saat ia telah dapat merampas golok dan merobohkan Cu Bian dengan totokan yang membuat tubuh pemuda itu lemas dan seperti lumpuh. Cu Bian mengerahkan tenaga hendak bangun, akan tetapi begitu bangun duduk ia terbaring kembali karena tubuhnya menjadi amat lemas. Akan tetapi matanya tetap melotot memandang kakek ini, sedikit pun tidak membayangkan ketakutan. Pada saat itu terdengar bentakan-bentakan diluar dan menerobos masuklah tiga orang berpakaian perwira diikuti oleh belasan orang anak buahnya. Mereka ini adalah pasukan keamanan di kota raja yang tadi melihat gerakan Cu Bian menyelidiki rumah kosong dan kini datang memberi bantuan.
"Kau hadapi mereka!"
Teriak Si Kakek dan sekali mengulur tangan, ia telah menyambar Cu Bian berikut goloknya, kemudian tubuhnya melayang kearah pintu.
"Serbu! Tolong Cu-ciangkun!"
Teriak seorang perwira dan mereka yang berada dekat pintu segera memapaki tubuh kakek yang melayang itu dengan tombak dan golok. Terdengar suara berkerontangan disusul robohnya empat orang perajurit ketika Kong Lo Sengjin menangkis dengan kebutan ujung lengan bajunya sambil mengibaskan tangan mengirim tamparan. Tubuhnya sudah mencelat keluar dengan mempergunakan sepasang tongkat yang tadinya ia sambar dari dekat meja, ia telah meleset jauh ke depan, sebentar saja lenyap dari tampat itu membawa tubuh Cu Bian yang tak dapat bergerak sama sekali dalam kempitannya.
Yang celaka adalah anak buah Kong Lo Sengjin yang tertinggal dalam rumah tua. Dia lihai juga, melawan mati-matian dengan golok rampasan, akan tetapi tiga orang perwira itu adalah pengawal-pengawal istana yang tangkas, maka setelah mengalami pertempuran hebat, akhirnya orang itu tewas dibawah bacokan banyak senjata dan tubuhnya hancur. Peristiwa tertawanya Cu-ciangkun oleh seorang kakek pemberontak amat menggegerkan kota raja. Penjagaan diperketat, diseluruh kota tampak para perajurit hilir mudik mengadakan pemeriksaan dan penjagaan. Juga sekitar istana dijaga keras. Namun semua itu tidak menghalangi Kong Lo Sengjin yang menyelundup kedalam istana, mempergunakan kepandaiannya yang luar biasa. Bagaikan seekor burung saja ia melompati pagar tembok yang mengurung istana, tidak tampak oleh para penjaga, kemudian menyelinap dalam gelap, meloncat ke atas bangunan istana, Cu-ciangkun masih berada dalam kempitannya ketika ia tiba diatas istana, mencari-cari.
Lu Sian juga mendengar tentang tertawannya Cu-ciangkun. Ia ikut merasa gelisah, karena Cu Bian merupakan seorang diantara kekasihnya yang menyenangkan hatinya. Ia menduga-duga siapa gerangan kakek tua lihai itu dan samar-samar ia teringat akan Kong Lo Sengjin atau Sin-jiu Couw Pa Ong. Diam-diam ia bergidik. Pernah beberapa tahun yang lalu ia menyaksikan sepak terjang kakek lumpuh itu yang amat lihai. Akan tetapi ia tidak takut sekarang. Bahkan iangin ia mencoba kepandaian kakek itu. Agaknya sekarang ia takkan kalah menandingi kesaktian Si Kakek yang ia tahu amat lihai ilmu silat tangan kosong dan amat kuat tenaga sin-kangnya untuk melakukan pukulan jarak jauh. Malam itu Lu Sian tak dapat tidur. Ia duduk dalam kamarnya termenung menghadapi meja. Karena hawa udara agak panas, ia membuka jendela kamarnya yang berbentuk bulat seperti bulan purnama.
Telinganya yang terlatih itu dapat menangkap suara perlahan diluar kamar, akan tetapi ia hanya tersenyum mengejek dan tidak bergerak dari bangku yang didudukinya, pura-pura tidak tahu bahwa ada seorang tamu malam yang tinggi gin-kangnya sehingga gerakan kakinya hampir tidak menerbitkan suara tengah mendekati kamarnya. Selama ini, tak pernah berhenti ia berlatih sehingga Lu Sian merasa amat percaya akan kepandaiannya sendiri. Tiba-tiba sinar putih menyambar dari luar jendela memasuki kamar. Biarpun sinar itu menyambar dari belakangnya, namun Lu Sian maklum bahwa senjata itu tidak akan mengenai tubuhnya, maka ia tetap duduk tidak bergoyang sama sekali.
"Capp!"
Sinar itu ternyata sebatang golok yang kini menancap diatas meja didepannya, golok yang indah dan diujung golok itu terdapat sebuah benda merah kebiruan yang kini berada diatas meja tertancap golok. Benda yang berlumur darah. Sebuah jantung manusia! Melihat golok itu, jantung Lu Sian berdebar. Inilah golok Cu Bian, kekasihnya. Dan jantung itu...?? Tiba-tiba terdengar berkesiurnya angin dan sesosok tubuh melayang masuk melalui jendela, menubruk Lu Sian. Wanita ini bangkit berdiri, tangan kirinya menyampok dan tubuh itu terbanting keatas lantai. Ketika ia memandang, ternyata itu adalah sesosok mayat seorang laki-laki yang telentang dengan dada robek dan mata terbelalak. Mayat Cu Bian!
"Ha-ha-ha! Tok-siauw-kwi, kukirim pulang tubuh kekasihmu! Wanita tak tahu malu, kau mengotori nama besar Beng-kauw!"
Terndengar suara memaki dan mengejeknya diluar. Hampir meledak rasa dada Lu Sian saking marahnya. Mukanya menjadi merah sekali, sepasang matanya berkilat dan ia menyambar pedangnya, terus melayang keluar dari jendela. Ketika ia turun didalam taman bunga dipinggir rumah, ternyata disitu telah berdiri seorang kakek, berdiri diatas kedua tongkatnya yang menggantikan kaki. Sin-jiu Couw Pa Ong alias Kong Lo Sengjin!
"Hemmm, kiranya engkau tua bangka keparat! Bukankah engkau ini si pemberontak Couw Pa Ong yang juga bernama Kong Lo Sengjin!"
"Ha-ha-ha! Betul sekali, Tok-siauw-kwi. kau boleh menyebut aku pemberontak, akan tetapi aku memberontak kepada kerajaan-kerajaan yang dahulunya memberontak dan merobohkan Dinasti Tang, aku seorang patriot sejati! Tidak seperti engkau ini! Suamimu, Jenderal Kam Si Ek juga seorang patriot sejati, akan tetapi engkau telah mengkhianatinya, mencemarkan namanya. Apalagi kalau diingat bahwa engkau puteri Beng-kauwcu Pat-jiu Sin-ong Liu Gan benar-benar menyebalkan dan merendahkan nama ayahmu dan Beng-kauw!"
"Tutup mulutmu yang kotor! Kong Lo Sengjin, orang lain boleh takut kepadamu, akan tetapi aku tidak!"
"Ha-ha-ha, sombongnya! Ayahmu sendiri tidak akan berani kurang ajar terhadapku, kau ini bocah sombong bisa apakah? Mengingat muka Ayahmu, biarlah aku mengampunimu dan lekas kau minggat dari Kerajaan Hou-han ini dan jangan membelanya. Ada hubungan apakah Hou-han denganmu maka kau membelanya mati-matian?"
"Kakek tua bangka! Apa yang kulakukan, ada hubungannya apa denganmu? Kau peduli apa?"
"Wah, benar keras kepala! Kukira aku tidak tahu bahwa kau disini mengumpulkan pemuda-pemuda tampan untuk memuaskan nafsumu yang kotor dan hina? Kau...."
"Keparat!"
Lu Sian sudah menerjang maju dengan pedangnya karena tidak tahan lagi mendengar kata-kata Kong Lo Sengjin. Pedangnya berkelebat cepat bagaikan kilat menyambar, dengan gerakan dahsyat sekaligus telah menyerang dengan tiga kali bacokan dan dua tusukan berubi-tubi.
"Trang-trang-trang-trang-trang....!"
Lima kali pedang bertemu tongkat dan keduanya meloncat kebelakang sampai mereka terpisah dalam jarak enam meter. Hebat serangan Lu Sian, akan tetapi hebat pula tangkisan Si Kakek Tua. Keduanya merasa telapak tangan mereka tergetar dan diam-diam Kong Lo Sengjin terheran-heran. Tangkisannya tadi telah ia gerakkan dengan pengerahan sin-kang dengan maksud membuat pedang lawan terpental, akan tetapi jangankan terpental, bahkan pedang itu masih dapat menyerang terus sampai lima kali. Hal ini membuat Kong Lo Sengjin menjadi marah dan penasaran.
Di lain fihak, Lu Sian juga bersikap hati-hati. Ia maklum bahwa kakek ini pandai sekali serta kuat tenaganya. Serangannya tadi merupakan jurus yang lihai dari Toa-hong Kiam-sut, akan tetapi dapat ditangkis dengan baik oleh lawan dan tangannya terasa gemetar tanda bahwa tenaga yang tersalur pada tongkat itu amat kuatnya. Tangan kiri Lu Sia bergerak dan dan sinar merah menyambar ke depan. Itulah jarum-jarum Siang-tok-ciam yang ia lepas dengan pengerahan tenaga. Belasan batang jarum halus yang mengeluarkan bau harum itu menyambar ke arah jalan darah yang mematikan, sukar sekali dielakkan lawan karena begitu tangannya bergerak, sinar berkelebat dan jarum-jarum itu sudah sampai ditempat sasaran! Namun sambil tertawa Kong Lo Sengjin mengebutkan ujung lengan bajunya dengan gerakan memutar dan jarum-jarum itu bagaikan tergulung angin kemudian runtuh ditanah sebelum sampai ke tubuh kakek sakti itu.
"Ha-ha, jangan berlagak didepan Kakekmu! Rasakan ini!"
Bentak Kong Lo Sengjim sambil mengerahkan tenaga dan menggerakkan kedua tangannya mendorong ke depan. Terdengar angin bersiutan menerjang ke arah Lu Sian. Angin pukulan ini amat dahsyat dan karena kehebatan kedua tangannya inilah maka Kong Lo Sengjin dijuluki Sin-jiu (Kepalan Sakti). Banyak musuh kuat roboh hanya oleh angin pukulannya ini. Bahkan Lu Sian sendiri dahulu pernah menyaksikan betapa kakek ini merobohkan banyak lawan dengan penggunaan ilmu pukulan jarak jauh. Dahulu ia merasa ngeri melihat kedahsyatan pukulan Si Kakek, akan tetapi sekarang ia bukanlah Lu Sian beberapa tahun yang lalu. Melihat kakek itu menggunakan pukulan jarak jauh, ia cepat memasang kuda-kuda dengan kedua kaki terpentang, lutut ditekuk, tubuh direndahkan, kemudian kedua tangannya juga dia pukulkan kedepan.
Pedang di tangan kanan ditarik ke dalam di belakang lengan, dan ia mengerahkan tenaga sin-kang untuk melawan dorongan hawa pukulan lawan. Dari kedua tangannya menyambar pula angin pukulan dahsyat kedepan! Benturan dua tenaga sin-kang di udara itu tidak menimbulkan suara, juga tidak tampak oleh mata, akan tetapi akibatnya hebat karena keduanya terpental kebelakang dengan kuda-kuda masih tidak berubah. Mereka saling pandang dengan kaget, karena adu tenaga sin-kang tadi membuktikan bahwa keduanya memiliki tingkat seimbang! Hal ini tentu saja tidak dinyana-nyana oleh Kong Lo Sengjin, maka kakek ini menjadi penasaran sekali. Ia tidak pernah mimpi bahwa tingkat kepandaian Lu Sian pada waktu itu sudah mengejar ayahnya sendiri dan dibandingkan dengan tingkat Kong Lo Sengjin, ia barangkali hanya kalah matang saja.
"Kau ingin mampus!"
Seru Kong Lo Sengjin dan kini kakek itulah yang berkelebat ke depan dengan lompatan tinggi. Inilah terjangan berbahaya sekali karena dari atas, kakek sakti ini dapat menyerang dengan sepasang tongkatnya. Namun Lu Sian maklum dan sama sekali tidak takut, bahkan ia pun mengeluarkan pekik melengking nyaring lalu tubuhnya mencelat pula keatas, menyambut serangan lawan.
Dua tubuh itu masih melayang ketika mereka bertemu di udara, dekat sebatang pohon dan dekat pula dengan ujung atap. Mereka menggerakkan senjata dan bertanding di udara, saling tusuk dan tangkis sebelum tubuh mereka meluncur turun. Terdengar suara keras senjata beradu disusul muncratnya bunga api menyilaukan mata. Ketika keduanya turun ke atas tanah, daun-daun pohon rontok terbabat pedang Lu Sian sedangkan ujung atap dari tembok itu pecah berantakan dihantam tongkat Kong Lo Sengjin. Begitu keduanya hinggap diatas tanah, keduanya cepat membalik saling berhadapan, sejenak tak bergerak, mata memandang tak berkedip, napas agak terengah karena biarpun baru beberapa gebrakan, namun tadi mereka telah mempergunakan seluruh tenaga sin-kang. Ikatan rambut Lu Sian terlepas dan kulit lehernya berdarah sedikit, akan tetapi pangkal lengan kiri Kong Lo Sengjin juga berdarah, bajunya robek. Kiranya dalam pertempuran di udara tadi, keduanya telah terluka, biarpun hanya luka ringan!
Makin panas dan penasaran hati Kong Lo Sengjin. Ia mengeluarkan gerengan seperti harimau terluka. Kakek ini memang wataknya tidak mau kalah, maka kini menghadapi seorang wanita muda ini ia hanya dapat menandingi seimbang saja, kemarahannya memuncak. Sambil menggereng liar ia menerjang maju, tongkatnya bergerak cepat sekali dan amat kuat sehingga berpusinglah angin pukulan yang mengeluarkan bunyi bersiutan. Namun Lu Sian yang juga tak pernah mau kalah kembali memekik panjang melengking-lengking, lalu tubuhnya bergerak cepat terbungkus sinar pedangnya yang mengeluarkan suara berdesing-desing. Kini kedua orang sakti ini bertanding dari jarak dekat, tak lagi mengandalkan tenaga sin-kang seperti tadi, melainkan mempergunakan ilmu silat dan mengandalkan kegesitan gerakan tubuh. Hebat bukan main pertandingan ini. Lu Sian sudah mahir akan Ilmu Coan-in-hui yang ia pelajari dari jago gin-kang Tan Hui, maka gerakannya cepat dan tubuhnya ringan seperti seekor lebah.
Pedangnya mainkan ilmu pedang campuran Pat-mo Kiam-hoat dan Toa-hong Kiam-sut, hebat bukan main, tubuhnya seakan-akan sudah lenyap dan yang tampak hanyalah cahaya pedang gemerlapan yang merupakan sinar panjang melayang-layang membentuk lingkaran-lingkaran seperti seekor naga mengamuk. Namun Kong Lo Sengjin bukanlah lawan ringan. Kakek lumpuh ini amat lihai. Biarpun kedua kakinya sudah lumpuh, namun kegesitannya tidak berkurang. Malah kedua tongkat yang menggantikan kedudukan sepasang kaki itu dapat dipakai menyerang dan meloncat, diikuti tamparan dan kebutan tangan dan ujung lengan baju yang kesemuanya merupakan senjata yang tiak kalah ampuhnya. Kadang-kadang pedang bertemu tongkat, ada kalanya lengan bertemu lengan dan pertandingan itu sukar diikuti pandang mata karena keduanya seakan-akan telah menjadi satu gundukan sinar yang saling gulung.
"Trang... cring... plak-plak....!"
Tiba-tiba keduanya meloncat setengah terlempar ke belakang. Kiranya dalam jurus terakhir tadi, Kong Lo Sengjin berhasil menghajar punggung Lu Sian dengan telapak tangan kirinya, akan tetapi pada detik yang sama Lu Sian berhasil pula menggunakan rambutnya yang riap-riapan untuk menghantam jalan darah di leher lawan! Ketika mereka terhuyung ke belakang dan saling pandang, ternyata dari ujung bibir Lu Sian mengucur darah segar, akan tetapi Kong Lo Sengjin memejamkan dan lehernya kelihatan biru menghitam. Setelah membuka matanya lagi, ia tertawa.
"Ha-ha-ha, Tok-siauw-kwi siluman betina. Kiranya kau benar-benar lihat sekali!"
"Tua bangka tak usah banyak cerewet. Mau lanjutkan, hayo maju! Kalau kau sudah menerima kalah, lekas minggat dari sini!"
"Siluman betina, siapa kalah?"
Kong Lo Sengjin sudah siap menerjang lagi, akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
"Iblis tua, jangan menjual lagak! Cici, biarkan kami membantumu!"
Muncullah Coa Kim Bwee bersama tujuh orang panglima istana yang merupakan orang-orang pilihan dan memiliki kepandaian yang lumayan. Segera mereka mengurung dan menerjang Kong Lo Sengjin!
"Ha-ha-ha, Tok-siau-kwi, lain kali kita bertanding pula. Eh, anjing-anjing buduk, Kakekmu tidak ada waktu melayani segala macam anjing!"
Tiba-tiba tubuh Kong Lo Sengjin mencelat keatas, melayang melampaui kepala para pengurungnya dan cepat sekali sudah menghilang keatas tembok istana.
"Tak usah dikejar... sia-sia belaka....!"
Kata Lu Sian. Coa Kim Bwee membalik dan baru terlihat olehnya Lu Sian mengusap darah dari bibir,
"Eh, Cici, kau... kau terluka...?"
Ia memegang lengan wanita itu hendak menolongnya. Akan tetapi Lu Sian mengibaskan lengannya.
"Aku tidak apa-apa. Lebih baik suruh orang mengurus mayat Cu-ciangkun didalam kamar itu,"
Coa Kim Bwee terkejut sekali dan ngeri hatinya ketika melihat betapa panglima muda yang tampan itu sudah menjadi mayat yang tidak berjantung lagi karena jantungnya sudah tertancap diatas meja oleh goloknya sendiri!
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Kwee Seng dan keluarganya. Seperti telah diceritakan di bagian depan, perubahan besar terjadi dalam kehidupan Kwee Seng. Tadinya ia seakan-akan telah bosan hidup, tidak peduli lagi akan dirinya dan hidup sebagai seorang jembel tanpa sedikit pun memelihara diri. Ia telah menjadi korban asmara ketika gagal dalam cinta dengan Liu Lu Sian, kemudian hatinya terpukul hebat pula ketika ia mengalami hubungan cinta yang luar biasa dengan nenek Neraka Bumi. Semua ini menambah hebat luka dihatinya yang tadinya sudah tergurat oleh peristiwa pengalamannya dengan Ang-siauw-hwa. Memang, semenjak keluar dari Neraka Bumi, ilmu kepandaian Kwee Seng meningkat tinggi, akan tetapi juga keadaan dirinya berubah sama sekali. Kalau dahulu ia merupakan seorang pemuda terpelajar yang halus dan selalu berpakaian rapi bersih, kini ia berubah menjadi seorang yang tidak peduli dan keadaannya seperti jembel. Tidak ada lagi bekas-bekasnya seorang pelajar yang sopan dan bersih, sehingga ia disana-sini disangka seorang gila.
Akan tetapi, semenjak pertemuannya kembali dengan Khu Gin Lin saudara kembar Ang-siauw-hwa yang ternyata adalah seorang wanita cantik yang dahulu menyamar sebagai nenek-nenek tua di Neraka Bumi, berubahlah keadaan hidupnya. Timbul pula kagairahan dan kegembiraan hidupnya. Apalagi karena "nenek"
Yang ternyata seorang wanita muda cantik itu datang bersama seorang anak perempuan, anaknya! Ia telah menjadi seorang ayah dan ternyata dia dahulu sama sekali tidak melakukan hubungan gila dengan seorang nenek-nenek tua, melainkan dengan seorang gadis jelita, bahkan saudara kembar Ang-siauw-hwa yang merupakan wanita pertama yang menggugah cinta kasihnya. Kegembiraan ini ditambah pula dengan kenyataan tentang diri Bu Song. Sama sekali tidak pernah ia sangka bahwa muridnya yang menimbulkan sayangnya ini ternyata adalah putera Liu Lu Sian!
Dua hal yang datang berbareng ini benar-benar telah mengobati luka-luka di hati Kwee Seng. Seperti telah kita ketahui, Kwee Seng membawa isteri dan puterinya, juga muridnya, ke Gunung Min-san di mana ia hidup berbahagia dengan mereka, Khu Gin Lin adalah seorang isteri yang mencinta suami, adapun Kwee Eng atau biasa dipanggil Eng Eng adalah seorang anak perempuan yang lincah gembira, merupaka matahari ke dua di puncak Min-san itu. Bu Song sebagai murid juga amat penurut dan taat sehingga makin membahagiakan hati Kwee Seng. Adapun Bu Song dan Eng Eng yang selalu berdua di puncak gunung itu semenjak kecil, menjadi amat rukun.
Ketika masih kecil, mereka itu seakan-akan kakak beradik, akan tetapi makin besar makin berakarlah rasa kasih sayang mereka satu kepada yang lain sehingga tidaklah aneh kalau menjelang dewasa, daya tarik gadis itu menjatuhkan hati Bu Song sehingga diam-diam ia mencinta Eng Eng yang kini telah menjadi seorang gadis remaja berusia enam belas tahun yang cantik jelita, lincah jenaka dan lihai ilmu silatnya. Adapun Bu Song telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh satu tahun yang bertubuh tinggi tegap, berwajah tampan serius, wataknya pendiam, dan pandai dalam ilmu surat. Tanpa ia sadari, di dalam tubuhnya telah terdapat dasar-dasar ilmu silat, Bu Song telah memiliki tenaga dan hawa sakti didalam tubuhnya. Hanya saja, ia tidak tahu bagaimana harus mempergunakannya!
Pada suatu pagi yang indah di puncak Gunung Min-san, Kwee Seng bersama isterinya duduk di depan pondok, menikmati hawa pagi pegunungan yang bersih sejuk dan menyehatkan. Sinar matahari pagi dari timur mulai mengusiri halimun pagi yang tebal. Dalam usianya empat puluh tahun lebih, Kwee Seng belum kelihatan tua benar. Wajahnya masih segar berseri, tubuhnya makin tegap dan agak gemuk. Hanya jenggotnya dan kumisnya yang tipis itu dipeliharanya dan membuat ia tampak lebih tua daripada dahulu. Adapun isterinya yang amat cinta kepadanya, juga belum tampak tua benar. Tubuhnya masih ramping, senyumnya masih segar dan sepasang matanya masih bening seperti bintang. Ketika mereka duduk di depan pondok itu, tiba-tiba terdengar suara ketawa Eng Eng yang nyaring gembira, lalu tampak gadis itu berlari-lari mendekat puncak sambil berseru.
"Koko, kayu bakar kita telah habis. Hayo berlumba mencari kayu!"
Tubuhnya yang kecil ramping itu berkelebat cepat, bajunya yang berwarna merah berkibar-kibar ketika ia lari sambil menengok ke belakang, wajahnya cantik berseri-seri. Di belakangnya tampak Bu Song berusaha mengejarnya. Pemuda ini memiliki bentuk tubuh yang baik sekali. Bahunya bidang, dadanya berbentuk segitiga dan jelas membayangkan kekuatan, langkahnya tidak seperti seorang pelajar yang lemah melainkan seperti seekor harimau. Wajahnya tampan dan ganteng, dengan alis hitam tebal berbentuk golok, mata lebar bersinar tajam sekali penuh wibawa, hidungnya mancung dan bibirnya jarang tersenyum. Dagunya terdapat belahan kecil ditengah-tengahnya, menambah ketampanan dan sifat yang ganteng ini terbayang kemurungan yang membuat ia pendiam dan sering kali keningnya berkerut.
"Moi-moi, biarlah aku yang mengumpulkan kayu. Pekerjaan kasar ini adalah pekerjaan laki-laki. Kalau berlomba, tentu saja aku kalah. Larimu lebih cepat daripada larinya rusa, mana aku bisa menyusulmu?"
Biarpun ia berkata demikian, namun Bu Song lari juga agar tidak mengecewakan hati gadis yang menjadi teman bermain sejak kecil selama belasan tahun. Sebentar kemudian bayangan kedua orang muda itu lenyap dalam sebuah hutan di puncak. Suami isteri yang duduk di depan pondok itu tersenyum, saling pandang penuh arti.
"Tak dapat disangkal lagi, mereka adalah pasangan yang amat cocok dan setimpal,"
Kata Kwee Seng setelah menarik napas panjang penuh kepuasan. Isterinya mengangguk.
"Benar Eng Eng orangnya lincah jenaka sebaliknya Bu Song pendiam dan penyabar, amat cocok dan dapat saling mempengaruhi. Juga kulihat mereka itu saling mencinta. Hanya sayang..."
"Mengapa sayang, isteriku?"
"Ada dua hal yang kusayangkan. Pertama, orang tuanya tidak hidup bahagia, rumah tangga orang tuanya berantakan, ayah bunda bercerai, Ayah kawin lagi, Ibu..."
Kwee Seng menghela napas.
"Memang tak dapat disangkal hal itu, akan tetapi apakah kita harus mengukur keadaan seseorang anak dari orang tuanya? Bu Song anak baik, semenjak kecil dia dalam pengawasan kita. Bertahun-tahun kita melihat dia tumbuh dewasa, melihat watak-wataknya, apakah masih belum cukup dan haruskah kita mengingat keadaan ayah bundanya?"
"Kau memang betul. Aku terpengaruh oleh keadaan orang tuanya karena biasanya dari keluarga yang berantakan akan tumbuh anak-anak yang kurang baik. Akan tetapi Bu Song semenjak kecil menjadi muridmu. Hanya aku sayangkan, karena kalau saja orang tuanya tidak demikian, alangkah akan lebih baiknya..."
"Hemmm, tak salah omonganmu itu. Dan hal kedua yang kau sayangkan, apakah itu?"
"Aku menyayangkan bahwa Bu Song tidak mau belajar ilmu silat. Sedangkan anak kita, sungguhpun tidak sangat pandai, boleh dibilang telah memiliki kepandaian tinggi. Apakah hal ini tidak akan menjadi penghalang kesesuaian faham dan watak mereka kelak?"
Suling Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kwee Seng tersenyum.
"Kau tidak tahu, isteriku. Karena memang hal ini kurahasiakan agar jangan sampai bocor dan mengagetkan hati Bu Song. Kasihan anak yang hidupnya sebatang kara dan berhati bersih itu. Dia begitu benci kepada ilmu silat karena sejak kecil ia menelan filsafat-filsafat hidup penuh damai dan penuh cinta kasih terhadap sesama hidup, dan terutama sekali karena ia kecewa melihat ayah bundanya yang menurut jalan pikirannya terpisah dan tersesat oleh ilmu silat. Disamping ini, telah banyak ia menyaksikan kekejaman dan kekejian di waktu ia masih kecil sehingga timbul anggapannya bahwa ilmu silat hanya menjadi alat untuk melakukan kekejaman dan pembunuhan belaka. Inilah sebabnya ia tidak mau belajar ilmu silat. Akan tetapi, aku melihat bakat baik sekali terpendam dalam dirinya. Bakat luar biasa yang bahkan jauh lebih baik daripada aku sendiri. karena inilah, diam-diam aku menanam dasar-dasar ilmu silat dan telah menyuruh dia berlatih siulian dan napas. Sekarang pun ia telah memiliki sin-kang yang hebat, hanya saja, ia tidak sadar akan hal ini. Kelak, kalau ia mengalami penderitaan hidup karena ketidakmampuannya bersilat, baru akan terbuka pikirannya dan sekali ia mempelajarinya, ia akan menjadi seorang yang luar biasa, bahkan mungkin melebihi kepandaian dan tingkatku."
Gin Lin tercengang, akan tetapi juga girang sekali.
"Syukurlah kalau begitu. Kini hilang keraguanku. Sebaiknya kita lekas-lekas laksanakan perjodohan mereka. Setelah mereka menjadi suami isteri, baru lega hatiku dan dapat kita tinggalkan mereka...."
"Ah, isteriku. Kurang bahagiakah kita tinggal disini? Adakah yang lebih nikmat daripada hidup tenang dan tenteram seperti hidup kita sekarang ini? Apakah kau masih selalu merindukan dunia ramai dan menyaksikan pertumpahan darah?"
Tiba-tiba wajah berseri nyonya itu digelapi mendung, bahkan kedua matanya menjadi basah sehingga cepat-cepat ia mengusap air mata itu dengan saputangannya. Dengan muka tunduk ia berkata,
"Suamiku, memang aku berterima kasih kepada Thian, juga bersyukur kepadamu yang telah memberi kebahagiaan hidup kepadaku di tempat ini. Aku cukup bahagia, akan tetapi... ah, betapa aku dapat melupakan ayah bundaku terbunuh secara kejam, saudara kembarku menjadi... pelacur... dan aku sendiri, seandainya tidak bertemu denganmu, apa jadinya dengan aku? Semua itu karena kebiadaban musuh yang membunuh, merampok, memperkosa, menghina... suamiku, katakanlah, apakah aku harus diam saja sekarang? Apakah mungkin kebahagiaan hidupku tanpa mengingat sedikitpun akan penderitaan orang tua dan keluargaku? Suamiku, diwaktu sadar aku hidup bahagia di sampingmu dan di samping anak kita, akan tetapi tahukah kau betapa setiap malam aku bermimpi dan bertemu dengan arwah orang tuaku yang memandang penuh penyesalan? Ah, suamiku..."
Gin Lin lalu menangis. Kwee Seng memegang pundak isterinya.
"Tenangkan hatimu, isterku. Jangan kau kira bahwa aku pun tidak peduli akan hal itu semua. Akan tetapi, kurasa tidaklah tepat kalau urusan pribadi dicampuradukkan dengan urusan negara. Keluargamu terbasmi bukan karena urusan pribadi, melainkan karena urusan negara. Karena keluargamu bangsawan Tang, maka ketika Dinasti Tang roboh, tentu saja keluargamu terlanda malapetaka. Andaikata kau hendak membalas, kepada siapakah kau akan membalas? Dalam keributan seperti itu, dalam perang, mana bisa kita membalas kepada seseorang?"
"Memang betul ucapanmu, suamiku,"
Kata Gin Lin yang sudah dapat menenangkan hatinya.
"Dan memang aku tidak mendendam kepada seseorang, melainkan menaruh dendam kepada mereka yang menurunkan Dinasti Tang, karena mereka itulah yang menghancurkan keluarga kami. Karena itu, kalau anak kita sudah menikah, aku... ijinkanlah aku membantu Paman Couw Pa Ong untuk menghancurkan musuh sehingga dengan jalan itu berarti aku sudah melakukan kewajibanku berbakti kepada orang tua dan keluarga..."
"Baiklah... baiklah, kita bicarakan hal ini kelak. Apa kau kira aku dapat melepasmu begitu saja? Sekali kita berkumpul, untuk selamanya. Kalau memang kulihat bahwa musuh-musuhmu itu orang jahat, sebagai seorang pendekar tentu saja aku akan suka membantumu membasmi mereka."
Gin Lin memegang lengan tangan suaminya dan matanya basah memandang wajah suaminya ketika ia berkata terharu,
"Aku tahu engkau suamiku yang berhati baik sekali..."
Mereka berpadangan dan diam-diam Kwee Seng menarik napas. Ia hanya menaruh kasihan kepada wanita ini, wanita yang menjadi isterinya karena kebetulan dan terpaksa. Ia tahu bahwa Gin Lin amat mencintanya, mencintanya semenjak masih menyamar sebagai nenek di Neraka Bumi. Akan tetapi dia, cinta jugakah dia kepada isterinya ini? Sukar dikatakan, dan Kwee Seng akan membohongi diri sendiri kalau dia mengaku demikian. Cinta kasih terhadap wanita agaknya telah lenyap dari hati Kwee Seng. Hatinya sudah kosong. Cintanya sudah lenyap bersama Lu Sian. Akan tetapi, sampi mati pun ia tidak akan suka menyatakan hal ini melalui mulut, bahkan ia coba mengusir dari dalam hatinya setiap kali timbul. Ia merasa kasihan kepada Gin Lin dan akan membela isterinya ini dengan seluruh jiwa raganya.
"Isteriku, bukankah sekarang Paman Couw Pa Ong telah berhasil pula meruntuhkan Kerajaan Cin dan dengan demikian berarti sudah menang perang?"
"Betul, suamiku. Akan tetapi Paman bersekutu dengan golongan lain sehingga kini didirikan Kerajaan Han Muda (947-951). Akan tetapi Kerajaan Han ini pun selalu dibayangi musuh, selalu diserang dan keadaan Paman kabarnya makin payah..."
"Bagaimana kau bisa tahu?"
Merah wajah isterinya ketika menjawab,
"Aku telah menyuruh seorang penduduk lereng gunung pergi menyelidik ke kota raja...."
Kwee Seng terkejut. Hemmm, kiranya isterinya ini diam-diam tak pernah melupakan urusan negara. Akan tetapi pada saat itu, berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu seorang kakek telah berada disitu, kedua kakinya bersila, tergantung diantara dua batang tongkat yang dipegangnya, menggantikan kedua kaki untuk berdiri.
"Paman...!"
Gin Lin berseru girang.
"Ah, kiranya Paman yang datang. Maafkan kami tidak dapat menyambut lebih dulu karena tidak tahu,"
Kata Kwee Seng yang sudah bangkit berdiri dan memberi hormat. Sejenak kakek itu tidak menjawab, hanya berdiri menatap tajam kepada suami isteri itu. Kemudian dia berkata,
"Kim-mo Taisu Kwee Seng, aku ingin bicara empat mata denganmu."
"Tentu saja boleh, silakan Paman masuk ke pondok kami yang buruk...."
"Tidak disitu, Kwee Seng. Mari kau ikut aku menuruni puncak. Dilereng sunyi sana kita bicara. Waktu hanya sedikit, musuh-musuh mengejar-ngejarku, aku perlu... bantuanmu, suami keponakanku!"
"Paman! Apakah yang terjadi...?"
Gin Lin berseru kaget.
"Diamlah kau, Lin-ji. Tidak perlu ribut-ribut, hanya perlu kau tahu bahwa Kerajaan Han Muda runtuh pula. Masih untung Pamanmu ini tidak tewas. Relakah kau kalau suamimu membantuku?"
(Lanjut ke Jilid 24)
SULING EMAS (Seri ke 02 "
Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 24
"Tentu saja, Paman! Kwee-koko, kau pergilah ke lereng bersama Paman. Kasihanlah, bantulah..."
Ucapan nyonya ini disertai pandang mata penuh permohonan, juga suaranya menyembunyikan isak tangisnya. Agaknya ia sedih sekali mendengar bahwa pamannya kembali sudah jatuh!
"Baiklah, Lin-moi. Mari, Paman!"
Kedua orang sakti itu berkelebat cepat menuruni puncak. Di sebuah lereng yang sunyi Kong Lo Sengjin berhenti, lalu menjatuhkan diri duduk bersila dengan sepasang kakinya yang lumpuh sambil berkata,
"Kim-mo Taisu, kali ini kau benar-benar membutuhkan bantuanmu."
"Hemm, bantuan bagaimana yang Paman maksudkan?"
"Duduklah disini. Aku sengaja mengajakmu kesini agar lebih enak kita bicara secara terbuka, jauh dari wanita yang tentu akan mengganggu saja."
Di dalam hatinya Kwee Seng tidak setuju dengan pendapat ini, akan tetapi ia tidak membantah lalu duduk didepan kakek itu. Kakek yang sudah amat tua, akan tetapi dari pandang matanya jelas tampak semangat bernyala-nyala. Setelah melihat Kwee Seng duduk didepannya, kakek ini berkata, suaranya lambat perlahan.
"Engkau tentu telah mendengar dari isterimu betapa malapetaka hebat menimpa Kerajaan Tang berikut semua bangsawan dan keluarga kaisar. Dan tentu kau pun sudah tahu betapa aku kehilangan tenaga kedua kakiku dalam perang itu dan kemudian betapa aku mengorbankan seluruh hidupku untuk berusaha membangun kembali Kerajaan Tang yang telah dirobohkan para pemberontak."
Kwee Seng mengangguk.
"Bagaimana pendapatmu tentang semua usahaku itu?"
"Sudah sepatutnya mengingat bahwa Paman adalah seorang bekas pangeran dan Raja Muda Tang yang tentu harus bersetia kepada Kerajaan Tang,"
Jawab Kwee Seng sejujurnya.
"Bukan itu saja. Akan tetapi juga mengingat akan malapetaka yang menimpa keluargaku, keluarga Gin Lin isterimu. Jangan mengira bahwa aku aktif bergerak untuk mencari kedudukan. Sama sekali bukan. Terus terang kukatakan bahwa ketika Kerajaan Tang Muda berhasil meruntuhkan Kerajaan Liang, aku lalu mengundurkan diri ke pulau kosong di mana aku melatih dua orang muridku. Baru setelah Kerajaan Tang Muda roboh, aku keluar lagi dari pulau dan berusaha membangun kembali Kerajaan Tang. Akan tetapi, banyak pengikut Tang sudah tewas sehingga terpaksa dengan mengadakan persekutuan dengan golongan lain, akhirnya kami berhasil meruntuhkan Kerajaan Cin dan membangun Kerajaan Han Muda. Namun, begitu aku kembali ke pulau mengundurkan diri, sekarang Kerajaan Han telah runtuh kembali, hanya berdiri selama empat tahun saja (947-951)!"
"Hemm, lalu sekarang apa yang dapat kulakukan untuk membantu Paman?"
"Sekarang sudah runtuh semangatku untuk membangun kembali Kerajaan Tang. Sudah habis sekarang keturunan kaisar, dan sudah musnah pula pengikut-pengikutnya. Apa artinya kalau tinggal aku seorang? Betapapun juga, aku harus membalas dendam kepada tokoh-tokoh yang dahulu telah meruntuhkan Kerajaan Tang, juga tokoh-tokoh yang sekarang telah merobohkan Han Muda. Akan tetapi aku hanya sendiri, dan musuh-musuh itu begitu banyak. Oleh karena itulah. Kwee Seng, demi sakit hati dan dendam isterimu, maukah kau membantuku?"
"Maaf, Paman. Menurut pendapatku, keluarga isteriku terbasmi dalam keadaan perang dan dia sendiri pun tidak dapat mengatakan dengan jelas siapa-siapa orangnya yang melakukan pembasmian, karena dalam perang tentu keadaan kacau-balau dan seluruh barisan pihak musuh merupakan lawan. Tak mungkin saya dan isteri saya membalas secara membabi buta, karena bukankah tentara pihak musuh itupun hanya memenuhi tugas mereka? Tidak ada dendam pribadi dalam urusan perang. Adapun tentang membantu Paman, agaknya sudah sepatutnya aku membantu kalau Paman terancam bahaya. Akan tetapi, kulihat Paman tidak terancam siapa-siapa pada saat ini. Kalau Paman mempunyai musuh-musuh pribadi lalu minta bantuanku, tentu saja harus kulihat dulu siapakah mereka itu. Kalau mereka terdiri dari golongan jahat, tentu aku tidak akan segan-segan membantumu."
Kong Lo Sengjin menampar batu didekatnya sehingga hancurlah batu.
"Heh! Sudah kuduga kau akan banyak membantah! Banyak sekali musuh-musuhku dan sekarang pun aku sedang dikejar-kejar mereka. Diantara mereka adalah Ban-pi Lo-cia, Hek-giam-lo tokoh setan baru yang mewakili Khitan. Pouw-kai-ong Si Raja Pengemis baru yang jahat. Ma Thai Kun orang Beng-kauw yang murtad, dan terakhir ada pula Tok-siauw-kwi..."
"Ahh...?"
Tanpa disadarinya Kwee Seng berseru kaget.
"Hemm, kau kaget mendengar nama Tok-siau-kwi? Benar, dia adalah puteri Beng-kauwcu yang dulu menjadi tunanganmu!"
Kata Kong Lo Sengjin sambil memandang tajam. Diam-diam Kwee Seng mengeluh. Kiranya peristiwa dua puluh tahunan yang lalu itu telah diketahui pula oleh kakek sakti ini.
"Mereka adalah orang-orang jahat, akan tetapi tidak mempunyai urusan pribadi dengan saya, Paman. Pernah saya mendengar nama mereka yang terkenal kejam, akan tetapi kiranya hanya Ban-pi Lo-cia seorang yang menimbulkan dendam dihati saya karena dialah pembunuh keponakanmu Khu Kim Lin!"
"Hah, segala urusan wanita! Bagiku yang terpenting adalah karena mereka ikut bersekongkol merobohkan Kerajaan Han sehingga kini berdiri kerajaan yang menamakan dirinya Kerajaan Cou! Pendeknya, kau membantuku atau tidak menghadapi mereka?"
"Kalau Paman diancam dan diserang, saya tentu akan membela Paman. Akan tetapi mencari mereka untuk memusuhi? Benar-benar kurang cocok dengan..."
Pada saat itu terdengar pekik dari puncak. Samar-samar terdengar suara Khu Gin Lin menjerit memanggil suaminya disertai pekik minta tolong..
"Celaka....!"
Bagaikan kilat menyambar, tubuh Kwee Seng sudah berkelebat dan seperti terbang saja ia berlari ke puncak. Kakek lumpuh itupun bangkit dan menggunakan sepasang tongkatnya berlari mengejar, akan tetapi wajahnya sama sekali tidak membayangkan kekhawatiran, bahkan mulutnya tersenyum dingin.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Kwee Seng ketika ia tiba di puncak, dari jarak jauh ia melihat isterinya, Khu Gin Lin, sedang bertanding seru melawan seorang laki-laki yang berjenggot pendek, berambut panjang seperti saikong dan memegang sebatang pedang. Isterinya pun berpedang, akan tetapi pedang di tangan isterinya itu tinggal sepotong, agaknya patah ketika bertanding. Laki-laki lawan isterinya itu hebat ilmu pedangnya dan isterinya yang memang kurang terlatih terdesak hebat sekali dan berada dalam keadaan bahaya.
"Lin-moi... lari...!"
Teriak Kwee Seng dengan wajah pucat karena ia maklum bahwa setiap detik nyawa isterinya terancam bahawa. Ujung pedang lawan itu sudah mematahkan semua jalan keluar dan sudah mengancam hebat. Mendengar teriakan ini, Gin Lin timbul semangatnya dan memutar pedang buntungnya, namun sekali tangkis pedangnya terlepas. Kwee Seng meloncat dan mengeluarkan seruan keras sekali seperti seekor garuda memekik, namun terlambat. Gerakan pedang laki-laki itu amat cepatnya ketika menusuk dan...
"blessss...!"
Ujung pedangnya amblas kedalam dada kiri Khu Gin Lin! Hanya beberapa detik Kwee Seng terlambat. Melihat hal mengerikan ini, Kwee Seng menggereng, tubuhnya mencelat maju dan tangan kirinya menampar.
"Krakk!!!"
Hebat bukan main tamparan ini. Tepat mengenai kepala penyerang yang masih memegangi gagang pedang yang menancap didada kiri Gin Lin. Seketika pecah kepala itu, kedua biji matanya terloncat keluar dan otaknya muncrat bercampur darah, tubuhnya terkulai tak bernyawa lagi. Dengan gerakan aneh Kwee Seng menyambar tubuh isterinya yang terhuyung-huyung. Pedang itu masih menancap di dada kiri. Tak berani Kwee Seng mencabutnya, karena ia maklum bahwa hal itu berbahaya sekali. Dengan pedang menancap, berarti darah masih tertahan sementara. Ia memeluk dengan hati hancur karena mendapat kenyataan bahwa nyawa isterinya tak mungkin dapat tertolong lagi. Pedang itu menancap terlalu dalam, hampir menembus dada!
"Lin-moi... oh, Lin-moi...!"
Ia mendekap dan air mata turun bertitik membasahi pipinya. Gin Lin membuka matanya dan tersenyum!
"Kwee-koko... aku puas... akhirnya aku dapat mengorbankan nyawa untuk berbakti kepada orang tua dan keluarga, untuk Kerajaan Tang...! Aku puas... dia... dia... sengaja datang mencari aku... begitu aku mengakui namaku, dia... terus menyerang...."
Ia terbatuk payah, lalu merangkul leher suamnya, mencium pipinya..
"Koko... jaga baik-baik anak kita... kawinkan dengan Bu... Song..."
Tiba-tiba mata itu terpejam, leher itu lemas dan nyawa Gin Lin meninggalkan tubuhnya.
"Lin-moi...!"
Kwee Seng mendekap muka isterinya itu ke dada, sejenak ia memejamkan matam, menahan napas. Kemudian ia sadar kembali, perlahan mengangkat tubuh isterinya, membawanya masuk kedalam pondok. Ketika ia keluar lagi dengan muka pucat, ia melihat Kong Lo Sengjin ikut mengamuk, menusuk-nusuk mayat laki-laki itu dengan kedua tongkatnya sampai hancur lebur!
"Dia adalah seorang di antara musuh-musuhku! Lihat ini, disakunya ada surat penantang Ban-pi Lo-cia ditujukan kepadaku! Aku mengenal dia ini seorang jagoan di pantai timur yang ikut bersekutu menjatuhkan Kerajaan Han!"
Kwee Seng tidak memperhatikan ucapan itu, akan tetapi ia menerima surat itu dan membacanya. Sebuah surat tantangan! Ditandatangani oleh Ban-pi Lo-cia yang isinya menantang Kong Lo Sengjin datang ke muara Sungai Kuning d Laut Po-hai.
"Kau akan mencari mereka..."
Seperti dalam mimpi Kwee Seng menggelengkan kepalanya.
"Harap Paman berangkat lebih dulu. Aku tidak berjanji apa-apa, akan tetapi kalau Paman bertemu dengan mereka, katakanlah bahwa Kim-mo Taisu akan menemui mereka, biarpun mereka bersembunyi dalam neraka sekalipun!"
Kong Lo Sengjin mengangguk-angguk.
"Begitupun baik, akan tetapi bulan pertama tahun depan mereka berkumpul di lembah Sungai Kuning di Laut Po-hai. Nah, sampai ketemu lagi!"
Kakek itu tanpa mempedulikan kematian keponakannya, lalu berkelebat dan pergi dari puncak Min-san. Kwee Seng memasuki pondok, berlutut disamping jenazah isterinya, menahan getaran hatinya ketika mendengar suara Bu Song dan Eng Eng di luar pondok. Mendengar Eng Eng berseru tertahan dan Bu Song yang juga kaget. Agaknya mereka menemukan mayat yang hacur di luar pondok, pikir Kwee Seng seperti dalam mimpi. Lalu kedua orang muda itu berlari-lari, membuka pintu pondok dan...
"Ayah...??"
Eng Eng lari mendekati ayahnya yang duduk bersila seperti patung, kemudian ia memandang keatas pembaringan depan ayahnya.
"Ibu...??!!"
Ia memeluk, lalu melihat pedang yang menancap di dada ibunya.
"Ibu...!! Ibu...!!! Ibuuu...!!!"
Eng Eng memeluk dan terguling, pingsan disamping mayat ibunya. Semenjak kematian isterinya, Kwee Seng atau Kim-mo Taisu berpekan-pekan selalu duduk termenung, bersamadhi didalam kamarnya.
Jarang ia keluar, jarang pula ia suka makan hidangan yang disediakan puterinya. Puncak Min-san seperti kosong, sunyi dan gelap, seakan-akan selalu tertutup mendung kedukaan. Biarpun di dalam hatinya Kim-mo Taisu tidak pernah mencinta isterinya seperti seorang pria mencinta wanita, namun ia mendapatkan seorang isteri yang berbudi dalam diri Gin Lin. Seorang teman hidup yang menyenangkan dan ia merasa amat iba kepada wanita itu. Kini ia merasa menyesal mengapa hatinya tak pernah menjatuhkan cinta kasihnya kepada Gin Lin, wanita yang demikian baiknya, melainkan masih saja terikat kepada Lu Sian. Ia merasa menyesal dan berdosa kepada isterinya. Ia harus membalas dendam. Biarpun pembunuh isterinya telah ia bunuh pula, namun ia harus mencari orang-orang yang memusuhi Kong Lo Sengjin dan isterinya.
Bu Kek Siansu Eps 20 Tangan Geledek Eps 32 Tangan Geledek Eps 1