Ceritasilat Novel Online

Mutiara Hitam 28


Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Bagian 28



Kwi Lan memandang dengan mata berseri. Sungguh patut menjadi seorang pangeran. Patut menjadi putera angkat ibu kandungnya. Patut menjadi kakak angkatnya. Pemuda ini memiliki semangat pendekar, jiwa satria, dan amat tampan"

   Ia pun tersenyum dan berkata lirih.

   "Pangeran Talibu, selama nyawa saya belum meninggalkan badan, selalu masih ada harapan untuk hidup. Mari kita menghajar anjing-anjing Hsi-hsia itu"

   "Bagus. Kau hebat sekali, Nona. Marilah kita mati bersama atau bebas"

   Pangeran Talibu berseru penuh semangat sambil menerjang maju, memutar pedangnya.

   Melihat gerakan pedang Pangeran itu, Kwi Lan maklum bahwa orang-orang Hsi-hsia untuk sementara tidak mungkin dapat merobohkannya, maka ia pun lalu meloncat maju memutar pedangnya, tidak jauh dari Sang Pangeran karena ia harus memasang mata melindungi Pangeran itu dari marabahaya. Begitu enam orang memapaki pedangnya, Kwi Lan membuat gerakan menyilang dengan pedang agak ke bawah dan robohlah tiga orang lawan dengan perut terobek pedang. Tiba-tiba terdengar suara bergelak ketawa dan Kwi Lan cepat-cepat meloncat mundur ketika ada angin hebat menyambar dari kanan kiri. Kiranya Siauw-bin Lo-mo telah berdiri di depannya dan tadi mengirim pukulan dengan tangan kirinya.

   "Kakek busuk"

   Mari kita mengadu nyawa"

   Bentak Kwi Lan yang menjadi marah sekali melihat musuh besarnya Ini.

   "Heh-heh-heh, kau masih belum kapok?"

   Siauw-bin Lo-mo mengejek dan cepat menubruk maju. Kwi Lan menyambar dengan tusukan pedang, akan tetapi sambil membuang diri ke kiri, kakek itu maju terus, tangannya menjangkau dan hampir saja pundak Kwi Lan kena dicengkeram. Hebat bukan main dan aneh gerakan kakek lihai ini. Kwi Lan berlaku hati-hati, tidak memberi kesempatan kepada kakek bertangan kosong itu untuk mendekati dirinya dengan jalan memutar pedang ke mana pun bayangan kaki itu berkelebat. Dengan gerakannya yang lincah dan ilmu pedang yang ganas, untuk sementara Kwi Lan dapat, bertahan terhadap desakan kakek ini, akan tetapi hatinya gelisah karena ia kini sama sekali tidak dapat membagi perhatiannya untuk melindungi Pangeran Talibu.

   "Pangeran, kau larilah"

   Bentak Kwi Lan nyaring sambil menubruk dengan pedangnya yang diputar membentuk lingkaran panjang. Namun Siauw-bin Lo-mo sambil terkekeh-kekeh dapat menghindarkan diri dan membalas dengan sebuah tendangan kuat yang dipapaki sabetan pedang dengan gemas oleh Kwi Lan.

   Kembali kakek itu dapat menghindarkan diri. Serang-menyerang terjadi dan Kwi Lan terpaksa harus mencurahkan seluruh perhatiannya terhadap kakek ini. Siauw-bin Lo-mo diam-diam menjadi gemas sekali. Ia ingin menangkap hidup-hidup nona ini, untuk dipersembahkan kepada Bouw Lek Couwsu sebagai tebusan tempo hari ketika ia kehilangan gadis yang sudah menjadi tawanannya. Setelah melayani Kwi Lan selama lima puluh jurus dan melihat betapa Pangeran Talibu juga belum dapat tertawan kembali, ia mendapatkan akal baik. Ia tahu bahwa orang-orang Hsi-hsia dan para hwesio anak buah Bouw Lek Couwsu tidak berani membunuh Pangeran Talibu yang merupakan tawanan penting, dan untuk menangkap hidup-hidup Pangeran yang nekat itu pun bukan hal mudah bagi mereka.

   "Kalian kepung gadis ini"

   Tiba-tiba ia berseru dan tubuhnya mencelat ke atas, berjungkir balik beberapa kali melewati kepala hwesio-hwesio jubah merah yang sudah datang menerjang Kwi Lan, kemudian turun di depan Pangeran Talibu sambil terkekeh menyeramkan. Pangeran Talibu terkejut, cepat menusukkan pedangnya ke dada kakek itu, Siauw-bin Lo-mo hanya miringkan tubuh kemudian secepat kilat ia sudah menangkap pergelangan tangan Pangeran itu, merampas, pedangnya, kemudian sekali kakinya menendang lutut, Pangeran Talibu roboh. Siauw-bin Lo-mo menempelkan ujung pedang di dada Pangeran Talibu sambil berseru.

   "Mundur semua, Lepaskan bocah itu"

   Namun sebelum para pengeroyok mundur, Kwi Lan sudah berhasil merobohkan empat orang hwesio jubah merah dengan pedangnya yang ganas. Kini ia membalik memandang ke arah suara Siauw-bin Lo-mo dan pucatlah wajahnya ketika melihat Pangeran Talibu sudah roboh dan ditodong pedang.

   "Heh-heh-heh, bocah nakal. Lekas kau lepaskan pedang dan menyerah. Kalau tidak, sebelum aku mengambil nyawamu, Pangeran ini akan kutusuk sampai tembus jantungnya"

   Kwi Lan ragu-ragu. Ia maklum akan kelihaian kakek itu dan harus ia akui bahwa dia sendiri belum tentu dapat mengatasinya. Dan ia tahu pula betapa kejam hati Si Kakek yang tentu tidak akan ragu-ragu untuk membunuh Pangeran Talibu. Hatinya menjadi lemas dan ia berdiri dengan tubuh lemas.

   "Nona, kau larilah. Jangan mendengarkan ocehan kakek ini. Kematian bagi Talibu bukan apa-apa. Lari dan lawanlah, Jangan menyerah"

   Talibu berteriak-teriak akan tetapi sebuah tendangan pada dagunya membuat ia pingsan"

   "Heh-heh-heh, Nona, kau menghendaki aku menusuk jantungnya?"

   Siauw-bin Lomo mengguratkan ujung pedang pada dada yang telanjang itu dan.. kulit Pangeran Talibu di dada robek sedikit, memperlihatkan garis merah memanjang. Kwi Lan merasa pusing, terpaksa melepaskan pedangnya dan berkata lemah,

   "Siauw-bin Lo-mo, kau jahanam tua bangka, lepaskan dia"

   "Heh-heh-heh, aku tidak akan membunuhnya kalau kau menyerah. Hayo belenggu dia"

   Empat orang hwesio jubah merah menghampiri Kwi Lan dan membelenggu kedua tangan gadis itu.

   Kwi Lan tidak melawan. Ia harus berani menyerah untuk menyelamatkan nyawa Pangeran Talibu. Seorang Hsi-hsia tinggi besar yang merasa benci dan marah kepada gadis yang telah membunuh banyak kawannya ini, menyeringai dan datang mendekati Kwi Lan, tangannya menjangkau untuk meraba dada gadis itu. Sudah biasa bagi orang-orang peperangan ini apabila pasukan mereka menawan seorang wanita, siapa saja di antara anggauta pasukan boleh mempermainkan si tawanan. Orang Hsi-hsia tinggi besar ini pun tidak terkecuali. Melihat kecantikan Kwi Lan dan mengingat betapa gadis ini sudah menjatuhkan korban banyak di antara temannya, ia hendak menjadi orang pertama menghina dan mempermainkan gadis jelita yang lihai ini.

   "Heh, mundur.."

   Namun seruan Siauw-bin Lo-mo ini terlambat. Kalau kakek ini mau tentu saja ia akan dapat menyelamatkan orang Hsi-hsia itu, akan tetapi tentu saja ia tidak sudi merendahkan diri menolong seorang perajurit Hsi-hsia biasa yang baginya tidak lebih seekor kucing atau anjing. Pada saat jari tangan kurang ajar itu menyentuh dada, kaki Kwi Lan bergerak dengan kecepatan yang sukar diduga, tepat menghantam pusar orang Hsi-hsia itu yang hanya sempat mengeluarkan suara.

   "Hekkk"

   Lalu tubuhnya terlempar dan roboh tak dapat bergerak lagi. Isi perutnya berantakan karena tendangan Kwi Lan tadi mengandung tenaga sinkang yang hebat. Setelah menendang, gadis itu tetap tenang hanya menyapu semua orang dengan pandang mata dingin, yang agaknya bertanya atau menantang siapa lagi berani kurang ajar terhadap dirinya. Keadaan tegang dipecahkan suara ketawa Siauw-bin Lo-mo.

   "Heh-heh-heh, orang goblok macam dia sudah sepatutnya mampus. Hayo bawa tawanan menghadap Couwsu"

   Ia sendiri lalu memegang dengan dan menarik Kwi Lan, sedangkan Pangeran Talibu yang pingsan dipanggul oleh seorang hwesio jubah merah.

   "Ha-ha, Bouw Lek Couwsu, memang sudah takdirnya engkau bernasib baik. Lihat siapa yang kutawan untukmu ini. Si Mutiara Hitam, Ha-ha-ha, kutanggung selama hidupmu belum pernah kau menikmati bunga liar sehebat ini"

   Kata Siauw-bin Lo-mo kepada Bouw-Lek Couwsu yang sedang duduk bercakap-cakap ditemani Bu-tek Siu-lam dan Thai-lek Kauw-ong serta Jin-cam Khoa-ong.

   Memang Bouw Lek Couwsu selain lihai ilmunya juga amat cerdik. Dalam usahanya memperluas daerah kekuasaan dan menggerakkan bangsa Hsi-hsia menyerbu Kerajaan Sung, ia telah dapat pula menempel kelima orang Bu-tek Ngo-sian. Tentu saja lima orang sakti ini suka sekali bersekutu dengan Bouw Lek Couwsu, oleh karena, kecuali Thai-lek Kauw-ong seorang, mereka semua pun bercita-cita untuk mengangkat diri sendiri menjadi seorang yang berkedudukan tinggi. Dengan bersekutu dengan Bouw Lek Couwsu mereka mendapatkan sekutu yang kuat dengan barisan orang-orang tangguh.

   Sian Eng sendiri tidak bersekongkol dengan pemimpin Hsi-hsia ini karena wanita ini mempunyai cita-cita yang lebih tinggi lagi, yaitu apabila bala tentara Hsi-hsia berhasil mengalahkan Kerajaan Sung, ia akan mengangkat puteranya, Suma Kiat, menjadi kaisar baru. Betapa tidak? Suma Kiat adalah putera Suma Boan yang masih keturunan Pangeran. Inilah sebabnya mengapa Kam Sian Eng menempatkan puteranya di kota raja di rumah Pangeran Kiang, kemudian mengusahakan persekutuan di antara pembesar-pembesar Kerajaan Sung.

   Adapun Bu-tek Siu-lam, tokoh sakti banci itu, adalah seorang dari dunia barat yang sengaja bertualang untuk mencari kesempatan baik guna menempatkan dirinya dalam kedudukan yang tinggi. Tadinya ia hanya ingin menguasai para pengemis dan ingin menjadi raja pengemis, akan tetapi kini melihat kesempatan terbuka untuk memperoleh kedudukan ynng lebih tinggi lagi, ia segera menerima penawaran Bouw Lek Couwsu untuk bersekutu dan mengerahkan barisan pengemis baju bersih untuk membantu Hsi-hsia apabila saat penyerbuan tiba. Ia yakin bahwa kalau gerakan ini berhasil, kelak ia sedikitnya tentu akan menjadi seorang pangeran.

   Siauw-bin Lo-mo adalah seorang perampok sejak kecil, kini pun ia telah menjadi datuk para perampok dan bajak. Setelah terbuka kesempatan untuk memiliki jabatan atau kedudukan tinggi, tentu saja ia pun senang membantu Bouw Lek Couwsu. ia sudah tua dan sudah waktunya hidup bergelimang kesenangan dan kemewahan, hidup dimuliakan orang sampai matinya. Ia pun mengerahkan anak buahnya, para perampok dan bajak, juga orang-orang Thian-liong-pang, untuk membantu usaha Bouw Lek Couwsu bahkan berjanji kelak akan bergerak dari dalam bersama para pengemis anak buah Bu-tek Siu-lam.

   Jin-cam Khoa-ong sudah tentu saja mendukung usaha Bouw Lek Couwsu sepenuh hati. Seperti diketahui, Algojo Manusia ini juga disebut Pak-sin-ong (Raja Sakti dari Utara), menjadi musuh Kerajaan Khitan dan dianggap sebagai seorang pengkhianat bangsa Khitan. Ia pun menyatakan ingin membantu Hsi-hsia dengan janji bahwa kalau usaha Hsi-hsia ini berhasil, kelak ia akan diberi pinjam tentara dan perlengkapan untuk menyerbu Khitan dan merampas singgasana Ratu Khitan yang menjadi musuh besarnya.

   Hanya Thai-lek Kauw-ong seorang yang tidak mempunyai cita-cita. Ia datang ke markas Bouw Lek Couwsu karena terbujuk teman-temannya dan terutama sekali karena tidak mau kalah dengan empat orang temannya yang katanya sedang mengusahakan pekerjaan penting dan besar. Ia sendiri tidak peduli siapa yang akan menjadi kaisar, akan tetapi kalau empat orang kawannya yang tergabung dalam Bu-tek Ngo-sian semua berjasa, dan ia sendiri berpeluk tangan tentu namanya akan kalah dan ia tidak patut menjadi orang pertama dari Bu-tek Ngo-sian. Inilah sebabnya mengapa ia suka datang menjadi tamu Bouw Lek Couwsu.

   Akan tetapi ia tidak pernah ikut bicara tentang urusan pemberontakan, hanya menikmati hidangan yang serba lezat. Bouw Lek Couwsu sendiri yang cerdik juga tidak mau mengajak kakek raja monyet ini untuk merundingkan soal politik, karena ia hanya mengharapkan bantuan tenaga kakek sakti itu apabila menghadapi musuh-musuh tangguh kelak. Apa lagi kalau diingat bahwa Thsi-lek Kauw-ong tidak mempunyai seorang pun pengikut atau anak buah. Kini kelima Bu-tek Ngo-sian sudah lengkap sendiri di belakangnya, bahkan sudah berkumpul di markas Sian-toanio yang lebih aktip bersama puteranya untuk mengumpulkan dan memperkuat persekutuannya dengan pembesar-pembesar kota raja.

   Ketika Siauw-bin Lo-mo datang membawa tawanan Mutiara Hitam, ia menjadi girang dan juga terkejut mendengar laporan tentang usaha Mutiara Hitam untuk membebaskan Pangeran Talibu. Ah, ia terlalu sembrono, terlalu percaya kepada alat-alat rahasia dan penjagaan anak buahnya. Ternyata masih ada yang menyelundup dan hampir saja membebaskan tawanan penting itu. Ia telah menggunakan pelbagai usaha untuk memaksa Pangeran Talibu menulis surat kepada Ratu Khitan, bahkan sudah menyiksanya, namun pangeran yang keras hati itu tetap tidak mau menuruti permintaannya. Pangeran itu ditahan dalam guha juga dalam rangka penyiksaan agar Pangeran itu tunduk. Siapa kira malah hampir dibebaskan Mutiara Hitam.

   Bouw Lek Couwsu adalah seorang laki-laki tua, seorang pendeta yang diwaktu mudanya terlalu banyak mengejar ilmu, mengekang nafsu dan karena pada dasarnya ia memang seorang hamba nafsu, setelah tua pengekangannya jebol dan jadilah ia seorang sakti yang gila nafsu, gila perempuan. Melihat Mutiara Hitam yang selain muda remaja dan cantik jelita, juga lihai ilmu silatnya, ia sudah mengeluarkan air liur. Akan tetapi di samping sifatnya yang mata keranjang, ia amat cerdik dan ambisinya besar sekali untuk kedudukan yang tertinggi. Ambisi ini agaknya lebih besar daripada nafsunya, sehingga begitu melihat Mutiara Hitam yang jelita dan melihat Pangeran Talibu yang masih pingsan, timbul sebuah akalnya untuk menundukkan. Pangeran Talibu.

   "Bagus"

   Jawabnya kepada Siauw-bin Lo-mo sambil tertawa bergelak.

   "Sekali ini pinceng benar-benar berterima kasih kepadamu, Lo-mo."

   Kemudian ia berkata kepada muridnya.

   "Masukkan mereka berdua dalam kamar tahanan di belakang, jaga yang kuat jangan sampai ada kemungkinan didatangi orang luar"

   Setelah Kwi Lan dan Pangeran Talibu dibawa pergi, Bouw Lek Couwsu membicarakan rencananya terhadap Kwi Lan dan Talibu kepada empat orang kakek sakti dan tertawalah mereka. Bahkan Thai-lek Kauw-ong mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul sambil berkata.

   "Demi Iblis. Engkau benar-benar pintar sekali, Couwsu"

   Bouw Lek Couwsu tertawa.

   "Memang, sesungguhnya sayang sekali melepaskan bunga ini kepada seorang Hsi-hsia, sama dengan melemparkan daging pilihan untuk seekor anjing buduk. Akan tetapi, makin buruk si anjing, makin sakit hati Talibu dan makin besar kemungkinan ia menyerah. Ha-ha-ha"

   "Heh-heh-heh, Couwsu. Rencanamu ini baik sekali, akan tetapi harus cepat-cepat kau laksanakan. Karena kalau sampai Sian-toanio keburu datang, tak mungkin hal itu dilaksanakan lagi, bahkan kiraku, Mutiara Hitam harus dibebaskan."

   "Mengapa?"

   Bouw Lek Couwsu bertanya heran.

   "Heh-heh, Mutiara Hitam itu adalah murid Sian-toanio."

   Semua orang terkejut mendengar ini. Keadaan menjadi sunyi. Bouw Lek Couwsu mengerutkan kening lalu memandang Siauw-bin Lo-mo.

   "Eh, Lo-mo. Apa artinya ini? Kalau kau sudah tahu dia murid Sian-toanio, mengapa kau sengaja menawannya dan memberikannya kepadaku? Apakah kau sengaja hendak mengadu aku dengan Sian-toanio?"

   Siauw-bin Lo-mo terkekeh,

   "Couwsu, kau benar-benar pelupa sekali. Berapa kali Mutiara Hitam menentangmu? Berapa kali menentangku? Bahkan sekarang dia datang untuk membebaskan Talibu. Bukankah dia termasuk musuh yang berbahaya? Kalau muridnya seperti itu, kita harus berhati-hati terhadap gurunya. Siapa tahu hati macam apa yang ada di balik kedok kerudung hitam mengerikan itu? Kau harus hati-hati, Couwsu"

   Bouw Lek Couwsu masih mengerutkan kening, meraba-raba dagunya, berpikir lalu mengangguk-angguk.

   "Hemmm, memang diam-diam aku sudah menaruh curiga kepada wanita itu. Kalau dapat menariknya sebagai kawan, baik, kalau sebagai lawan, amat berbahaya. Memang kita harus berhati-hati dan rencana ini harus cepat-cepat dikerjakan, sekarang juga"

   Kalau Kwi Lan dan Talibu mendengar apa yang mereka rencanakan tentu hati kedua orang muda ini menjadi cemas sekali. Akan tetapi mereka tidak mendengar apa-apa ketika mereka digusur dan dimasukkan ke dalam sebuah kamar tahanan yang luas.

   Kamar ini merupakan ruangan yang lebarnya sepuluh meter, kosong tidak ada perabot sebuah pun. Lantainya dari batu putih yang bersih dingin, dindingnya dari tembok tebal, atapnya pun dilapisi jeruji besi yang amat kuat. Sebuah jendela di samping dilindungi jeruji besi sebesar lengan manusia, pintunya juga besi dan bagian atasnya ada jeruji pula. Setelah Kwi Lan yang dibelenggu kedua tangannya dan Talibu yang masih pingsan itu didorong masuk, pintu ditutup kembali dan dikunci dari luar. Dua pasang mata penjaga untuk beberapa lama memandang ke arah Kwi Lan dengan pandang mata kurang ajar, mulut mereka menyeringai kemudian mereka bicara dalam bahasa Hsi-hsia, tertawa-tawa dan lenyap dari balik jeruji pintu. Kwi Lan duduk di atas lantai, memandang Pangeran Talibu yang rebah telentang di dekatnya. Kembali jantungnya berdebar.

   Wajah Pangeran ini telah menggetarkan perasaannya, membuat darahnya berdenyut lebih cepat daripada biasa. Ia telah rela menyerah, rela ditawan untuk menyelamatkan nyawa pemuda yang baru sekarang ia jumpai ini. Alangkah anehnya ini. Biasanya ia tidak peduli akan keadaan orang lain. Mengapa ia menjadi takut dan ngeri melihat nyawa pemuda ini diancam maut dan tidak ragu-ragu untuk mengorbankan dirinya? Jantungnya berdebar aneh dan teringatlah ia akan pernyataan Hauw Lam, Siangkoan Li, dan Yu Siang Ki terhadap dirinya. Mereka itu menyatakan cinta kepadanya. Adakah perasaan hatinya terhadap Pangeran Talibu ini yang dinamakan cinta? Adakah dia mencinta pemuda ini? Kakak angkatnya, putera angkat ibunya?

   Kwi Lan mengguncang-guncang kepalanya, seakan hendak mengusir semua lamunan yang membuat ia bingung dan jantungnya berdebar-debar itu. Bagaimana ia harus meloloskan diri bersama Pangeran Talibu? Kakinya bebas. Tangannya biarpun terbelenggu, namun kalau ia berusaha, kiranya akan dapat ia bebaskan pula. Ia masih mempunyai tenaga simpanan untuk mematahkan belenggu baja ini. Akan tetapi apa gunanya? Dinding itu amat kuat. Pintu dan jendelanya pun kokoh kuat. Belum lagi para penjaga, dan di sana berkumpul orang-orang sakti seperti Bouw Lek Couwsu, Bu-tek Siu-lam, Siauw-bin Lo-mo, dan dua orang kakek lain yang ia duga tentu juga amat sakti. Ataukah mereka itu Bu-tek Ngo-sian yang pernah ia dengar?

   Harapan untuk dapat lolos dari tangan mereka amat tipis. Seorang di antara mereka saja sudah merupakan lawan yang amat berat. Apalagi kini pedangnya terampas oleh Siauw-bin Lo-mo. Dan ada Pangeran Talibu lagi yang masih harus ia lindungi. Kwi Lan duduk menekur dengan kening berkerut. Satu-satunya harapannya adalah Yu Siang Ki. Kalau saja pemuda itu datang membawa banyak tokoh kai-pang yang sakti. Ia tidak kaget ketika mendengar pintu dibuka dan Bouw Lek Couwsu seorang diri masuk. Iasudah siap menghadapi segala macam kemungkinan yang paling buruk sekalipun. Tanpa bangkit, ia mengangkat muka memandang.

   "Bouw Lek Couwsu, apakah kau akan membunuh kami? Silahkan. Memang orang macam engkau ini pengecut, mana berani menghadapi lawan secara jantan?"

   Bouw Lek Couwsu tersenyum lebar dan sabar.

   "Bagaimana kalau menghadapi secara jantan?"

   "Berikan pedangku dan mari kita bertanding sampai selaksa jurus, sampai seorang di antara kita menggeletak tak bernyawa lagi. Barulah jantan namanya"

   Kembali pendeta itu memperlebar senyumnya.

   "Nona, kau ganas benar. Kalau kau sayang kepada Pangeran ini, kau harus bersikap sabar dan tenang. Aku berjanji sebagai pimpinan bangsa Hsi-hsia, kalau Pangeran Talibu suka menulis surat membujuk ibunya untuk membantu pergerakan Hsi-hsia, akan kubebaskan engkau dan dia juga. Berlakulah sabar dan tenang, dan untuk menjaga agar kau tidak menimbulkan keributan, terpaksa kau harus dibuat tidak berdaya."

   Setelah berkata demikian, Bouw Lek Couwsu bergerak maju dan menotok dengan jari telunjuknya ke arah tengkuknya.

   Kwi Lan yang kedua tangannya terbelenggu, tidak dapat menangkis dan berusaha mengelak, akan tetapi gerakan tangan Bouw Lek Couwsu amat cepat, dan sudah meluncur turun menotok pundaknya. Kwi Lan roboh lemas dan hanya dapat memandang dengan mata terbelalak penuh kemarahan ketika Bouw Lek Couwsu mengeluarkan sebuah bungkusan. Ia melihat betapa bungkusan itu ditaburkan di atas mukanya, ia mencium bau wangi dan keras, kemudian tak ingat apa-apa lagi, pingsan. Baik Kwi Lan maupun Pangeran Talibu dalam keadaan pingsan dan tidak tahu betapa Bouw Lek Couwsu memberi mereka minum anggur yang dicampuri obat, memaksa mereka minum dengan menuangkan anggur ke dalam mulut yang dipaksa membuka. Setelah membuka belenggu Kwi Lan, Bouw Lek Couwsu meninggalkan kamar sambil tersenyum dan meninggalkan pesan kepada para penjaga.

   Menjelang senja, Kwi Lan siuman dari pingsannya. Tubuhnya terasa panas bukan main, rasa panas yang menyesak dada. Ia bangkit dan duduk, tubuhnya basah oleh keringat. Ia menghapus peluh dari dahi dan leher. Kemudian berseru heran karena baru ia ingat bahwa kedua tangannya kini tidak terbelenggulagi. Ia sudah bebas dari belenggu. Aneh sekali, Siapa yang membuka belenggunya? Dan mengapa begini panas? Ia duduk menoleh ke arah Pangeran Talibu. Pemuda itu pun basah oleh keringat. Dadanya yang bidang dan berkulit halus putih itu berkilauan. Lantai di bawahnya sampai basah oleh tetesan-tetesan keringat dari tubuh pemuda itu.

   Pangeran Talibu agaknya baru sadar. Menggeliat perlahan, seperti orang merintih. Jantung Kwi Lan terasa tertusuk. Rasa iba dan cinta menyesak dada. Tanpa ia sadari, ia sudah merangkak maju, lalu bersimpuh di dekat pemuda itu, menggerakkan tangan mengusap luka-luka di dada dan dahi, luka kecil, darahnya pun sudah mengering. Pemuda itu membuka mata, dua pasang mata bertemu pandang, sejenak bertaut, kemudian pemuda itu bangkit duduk. Entah mengapa, pandang mata pemuda itu bagi Kwi Lan seperti sinar matahari yang menyilaukan matanya. Ia menunduk, tersenyum kecil, tak berani mengangkat muka, rasa panas menjalar ke mukanya, dadanya, dan pusarnya.

   "Sakit sekalikah luka-luka itu..?"

   Tanya Kwi Lan, menjadi heran sendiri mengapa suaranya begini halus dan mesra, mengapa ia menjadi begini malu, mengapa ia gemetar dan tidak berani menentang pandang mata pemuda itu.

   "Ti..tidak.., Nona..,mengapa kau menyerah..?"

   Lebih aneh lagi bagi Kwi Lan ketika mendengar suara ini. Mengapa suara Pangeran Talibu menggetar dan setengah berbisik? Suaranya yang baginya begitu mesra sehingga getaran suara itu menggetarkan pula hatinya, membuat Kwi Lan menahan isak yang menyesak di dada.

   Ia mengangkat muka perlahan. Kembali dua pasang mata bertemu pandang dan bertaut, lekat seperti tak dapat dipisahkan lagi. Bagi Kwi Lan, mata Pangeran itu memandangnya begitu mesra, begitu penuh cinta kasih, begitu halus. Seakan-akan ada kekuatan ajaib dalam pandang mata itu yang mendorong dorongnya atau menariknya, membuat ia ingin membuang diri ke dalam pelukan Pangeran itu, membuat ia ingin merapatkan mukanya pada dada yang bidang dan berkeringat itu, ingin merasai belaian jari-jari tangan Pangeran Talibu dan mendengar bisikan-bisikan cinta di dekat telinganya. Semua keinginan yang amat besar ini membuat ia terengah-engah, menahan-nahan sekuat tenaga sampai kepalanya menjadi pening.

   "Aku..aku tak mungkin..membiarkan kau..,kau terbunuh.."

   Suaranya tersendat-sendat, agak serak dan tubuhnya terasa lemas, dan tentu ia sudah terguling kalau saja sepasang lengan yang kuat tidak merangkul dan menariknya.

   "Nona.."

   Suara Pangeran Talibu tersendat-sendat, kedua lengannya memeluk erat, sedangkan Kwi Lan seperti dalam mimpi membenamkan muka di dalam dada itu sehingga mukanya yang sudah basah menjadi makin basah oleh keringat Pangeran Talibu. Hatinya merasa bahagia sekali, kedua telinganya mendengar suara detak jantung pemuda itu, kemudian mendengar suara Talibu seperti bunyi musik yang merdu,

   "Nona..,siapakah engkau..? Siapakah namamu..?"

   Belum pernah selama hidupnya Kwi Lan menikmati perasaan seperti saat ini. Terhadap pemuda ini, lenyap semua rasa malu dan jengah, ia tersenyum manis dan tanpa mengangkat muka ia berkata lirih,

   "..aku..namaku Kam Kwi Lan.."

   Tubuh Pangeran Talibu serasa digetarkan sinar kilat yang menyambarnya. Tubuh itu seperti kejang, mendadak menjadi dingin dan ia meloncat ke belakang sampai tubuhnya membentur dinding. Kwi Lan yang tenggelam dalam kenikmatan madu yang manis memabokkan itu sampai jatuh terguling, namun gerak refleks tubuhnya yang matang membuat ia terloncat bangun dan berdiri.

   "Ada apakah..? Mengapa kau..kau..?"

   Ia bertanya gagap, lalu duduk pula di atas lantai. Pangeran Talibu terengah-engah, serasa tercekik lehernya. Ah, pantas ia merasa kenal betul dengan gadis ini. Persamaan dengan wajah ibunya. Inilah Kam Kwi Lan Mutiara Hitam. Inilah adik kandungnya, bahkan saudara kembarnya"

   "Kau.. kau.. Mutiara Hitam..?"

   Bisiknya dengan suara menggetar. Kwi Lan memandang terbelalak dan lalu mengangguk.

   "Betul. Kau kenapakah, Pangeran? Menyesalkah kau karena.. karena.. kita saling mencinta?"

   "Diam.."

   Pangeran Talibu membentak.

   "Jangan bicara tentang itu.."

   Biarpun Kwi Lan merasa sudah tergila-gila kepada pemuda ini, namun dia seorang gadis yang keras hati. Ia mengerutkan kening dan berkata,

   "Apa? Jadi.. kau tadi.. hanya pura-pura.. dan kau tidak cinta kepadaku?"

   "Demi Tuhan. Aku mencintamu, Mutiara Hitam. Aku cinta kepadamu seperti kepada diriku sendiri. Tapi.. kau.."

   "Kenapa..?"

   Tiba-tiba Kwi Lan menaruh telunjuknya di depan bibir, tanda bahwa ia mencegah pemuda ini bicara karena pendengarannya yang tajam menangkap gerak kaki di luar jendela. Kemudian ia menuding ke jendela sambil menyentuh telinga sendiri. Pangeran Talibu mengangguk, maklum bahwa di luar jendela ada orang mendengar dan mengintai. Ah, untung ia belum membuka rahasia. Kalau tadi ia katakan kepada Mutiara Hitam bahwa gadis itu adik kembarnya dan berarti puteri Ratu Khitan, tentu keadaan mereka menjadi makin berbahaya. Ia lalu merangkul dan duduk dekat Kwi Lan.

   Merasa kehangatan tubuh pemuda itu, mencium bau keringatnya, membuat tubuh Kwi Lan menggigil. Hawa nafsu remaja menyesakkan napasnya. Ia tidak tahu bahwa inilah akibat obat yang dipaksakan masuk ke perutnya. Demikian pula dengan Pangeran Talibu. Melihat wajah adik kembarnya yang begini cantik jelita, sepasang pipi yang halus putih kemerahan, mata yang indah bersinar sinar, hidung yang kecil mancung dan seakan-akan menghembuskan hawa panas penuh nafsu dengan cuping hidung kembang-kempis, bibir yang kecil mungil, penuh dan merah basah seakan menantang, dada yang padat dan bergelombang turun naik seperti minta dipeluk. Ah, hampir pemuda ini tidak kuat bertahan.

   Keadaannya bagaikan seekor harimau kelaparan yang dihadapkan seekor kelinci gemuk. Ingin sekali langsung menerkam dan memangsanya. Akan tetapi, pengetahuan bahwa gadis jelita ini adalah adik kandungnya bahkan adik kembar yang lahir pada hari yang sama, pengetahuan ini merupakan perisai yang kokoh kuat. Ketika lengannya bersentuhan dengan lengan Kwi Lan, pemuda itu memejamkan mata. Seperti ada aliran yang menggetar-getar melalui kulit mereka yang bersentuhan. Naik sedu-sedan di dada pemuda ini dan cepat-cepat ia menggigit bibirnya sendiri sampai berdarah. Ia terpekik kesakitan, akan tetapi dorongan nafsu berahi dapat tertahan. Juga Kwi Lan dalam keadaan seperti mabok. Memang ia mabok, mabok nafsu berahi yang timbul dari obat pemberian Bouw Lek Couwsu. Kwi Lan adalah seorang gadis yang aneh dan sejak kecil digembleng oleh gurunya yang aneh pula.

   Di balik kemabokannya, masih ada kesadaran pikirannya yang merasa terheran-heran melihat sikapnya sendiri. Mengapa ia begini gila? Mengapa ia ingin sekali bersentuhan dengan Pangeran Talibu? Dan ingin didekap dibelai? Ingin mendengar bisikannya? Mengapa? Andaikata ia mencinta pemuda ini, mengapa harus ada perasaan yang seperti memabokkannya ini? Di sudut hatinya yang masih perawan, gadis ini merasakan sesuatu yang tidak wajar. Akan tetapi ia tidak tahu apa ketidakwajaran itu dan mengapa. Kini menyaksikan keadaan Pangeran Talibu ia makin terheran. Sinar mata pemuda itu jelas memancarkan kasih mesra, memancarkan kehausan akan cinta. Akan tetapi pemuda itu seperti tersiksa bahkan menggigit bibir sendiri sampai berdarah.

   "Pangeran, kau kenapa? Kita.. kenapa?"

   Ketidakwajaran yang makin mendesak dalam kesadarannya membuat ia mengajukan pertanyaan terakhir itu. Pertanyaan ini menolong banyak bagi Pangeran Talibu.

   "Kwi Lan.. Mutiara Hitam ah, kita mabok. Tidak wajar ini. Kita keracunan.. begini panas dan begini.. merangsang.."

   Kwi Lan tersentak kaget. Benar "Racun"

   Biarpun racun yang amat aneh dan belum pernah ia mendengar akan racun vang menimbulkan kemabokan seperti ini, yang mendatangkan daya rangsangan berahi begini hebat, namun ia dapat menduga tentu mereka telah terkena racun. Teringat akan taburan bubuk wangi yang membuat ia pulas, dan tahu-tahu setelah ia sadar, belenggu tangannya telah terlepas dan ia bersama Pangeran Talibu berada dalam keadaan tidak wajar. Akan tetapi teracun atau tidak, tetap saja ia yakin bahwa ia mencinta pemuda ini. Ia rela menyerahkan jiwa raganya kepada Pangeran Talibu, kapan dan di manapun juga.

   "Benar kiranya, Pangeran. Kita terkena racun. Akan tetapi.. apa bedanya? Aku tidak menyesal.."

   "Apa? Apa maksudmu?"

   "Aku tidak menyesal menjadi tawanan bersamamu, Pangeran. Aku.. aku.. ah, bukan main panas hawanya.."

   Kwi Lan mengeluh dan mengerang, mengerang bukan hanya karena hawa panas. Ia lalu duduk di sudut dan bersandar pada dinding, mengebut-ngebutkan bajunya bagian atas agar agak melonggar untuk mengurangi hawa panas.

   Gerakan gadis itu begitu menarik dan manis. Kembali Talibu memejamkan mata dan ia pun mundur di sudut yang berlawanan. Mereka kini duduk berpisah dalam jarak sepuluh meter. Hanya saling pandang dari jauh, saling menahan gelora berahi yang membakar. Namun siksaan batin ini bagi Pangeran Talibu tidaklah seberat yang diderita Mutiara Hitam. Pangeran itu memaksakan kesadaran pengetahuannya bahwa gadis jelita itu adalah adik kembarnya sendiri. Teringat akan ini, ingin ia menangis. Menangis saking girang bertemu dengan adik kandung yang sejak terlahir dipisahkan orang. Menangis karena berduka karena begitu bertemu, mereka berdua menjadi tawanan dan keselamatan nyawa mereka di ujung rambut. Akan tetapi, semua perasaan ini merupakan penguat batinnya untuk melawan arus berahi yang tidak wajar dan yang membakar tubuhnya.

   Hebat memang pengaruh obat itu. Serangan yang datang dari dalam tubuh ini bukan main kuatnya. Kwi Lan terpaksa mempergunakan sin-kang yang dikerahkannya untuk melawan hasrat yang dianggapnya gila dan tidak tahu malu. Ia menjadi lemas karena pengerahan sin-kang ini dipergunakan untuk menindas hawa yang timbul dari dalam tubuh sendiri. Cuaca sudah menjadi gelap. Hal ini melegakan hati Pangeran Talibu. Sungguhpun ia mempunyai perisai berupa pengetahuan bahwa gadis itu adik kembarnya, namun tetap saja rangsangan di dalam tubuhnya masih amat membahayakan. Kalau keadaan dalam ruangan itu gelap dan ia tidak dapat melihat wajah cantik dan tubuh menggairahkan itu, tentu akan berkurang siksaan yang dirasakannya. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ketawa, suara ketawa Bouw Lek Couwsu disusul kata-kata mengejek,

   "Tuan dan Nyonya pengantin tentu lapar, silakan makan minum"

   Daun pintu terbuka dan seorang hwesio jubah merah masuk membawa sebatang lilin merah besar yang sudah dinyalakan, meletakkan lilin di dekat pintu, kemudian meletakkan pula beberapa mangkuk makanan dan seguci arak di atas lantai. Tanpa berkata apa-apa hwesio ini lalu keluar lagi dan mengunci daun pintu. Kwi Lan tadinya hendak menerjang hwesio itu, akan tetapi ia melihat pula Bouw Lek Couwsu yang memegang tongkat kuningannya berada di depan pintu, maka ia mengurungkan niatnya. Belum saatnya untuk turun tangan, pikirnya. Kembali ruangan itu menjadi sunyi. Api lilin berkelap-kelip menerangi kamar dengan cahayanya yang kemerahan, membuat suasana dalam kamar menjadi romantis, dan indah seperti suasana kamar pengantin.

   "Pangeran, apakah yang kau pikirkan?"

   Kwi Lan akhirnya bertanya setelah sekian lamanya ia memandang ke arah Talibu yang duduk di sudut bersandar dinding dengan mata meram, kening berkerut dan dada turun naik bergelombang. Talibu membuka mata memandang, mata yang bersinar-sinar dan ganas penuh nafsu berahi. Mata yang melotot menyusuri tubuh Kwi Lan yang tanpa sadar telah membuka kancing pakaian luar sehingga tampak pakaian dalamnya yang tipis halus berwarna merah. Gadis ini telah melepaskan kancing tanpa disadarinya saking hebat serangan hawa panas. Akan tetapi keadaan pakaiannya ini membuat Talibu menjadi makin tersiksa. Pandang mata Talibu seolah-olah sudah melahap dan menelannya bulat-bulat.

   "Apa yang kau pikirkan? Aku.. aku.. memikirkan.. kematian"

   Jawab Talibu. Bagi Pangeran ini, keadaannya merupakan siksaan batin hebat. Ia jatuh cinta atau berhasrat mencinta adik kembarnya sendiri"

   Berbeda dengan Kwi Lan yang belum tahu akan rahasia itu, baginya perasaan yang merangsang terhadap pria yang ia cinta, bukanlah merupakan hal yang terlalu menyiksa batin, sungguhpun ia tahu bahwa racun membuatnya seperti mabok. Kwi Lan tersenyum dan kembali Talibu memejamkan mata. Senyum itu demikian manisnya, seperti ujung golok menusuk jantung.

   
Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Pangeran, mengapa engkau berputus asa benar? Jangan khawatir, aku bersumpah akan membelamu sampai titik darah terakhir."

   Kembali Talibu membuka matanya. Ia merasa terharu sekali. Ingin ia meneriakkan bahwa mereka adalah kakak adik kembar, namun terpaksa ia menahan. Kalau Bouw Lek Couwsu mendengar dan tahu bahwa Mutiara Hitam ini pun puteri Ratu Khitan, tentu pendeta murtad itu akan mempergunakan kenyataan ini untuk makin menekan Ratu Khitan agar suka membantu Hsi-hsia. Tidak, ia harus memegang rahasia selama mereka masih menjadi tawanan Bouw Lek Couwsu. Namun rangsang berahi sukar dikendalikan lagi. Melihat mangkuk-mangkuk di lantai, Pangeran itu menjadi girang dan segera mengalihkan perhatian dengan berkata gembira.

   "Apapun yang terjadi, sebelum mati kita harus dapat menikmati hidup. Ada makanan lebih baik dimakan, Nona"

   Kwi Lan tersenyum, senang hatinya melihat Pangeran itu bergembira dan baru ia merasa betapa lapar perutnya. Ia mengangguk dan mendekati mangkuk-mangkuk yang diletakkan di atas lantai. Mereka duduk menghadapi mangkuk itu yang terisi makanan harum sedap baunya. Araknya pun arak wangi. Talibu kembali tertawa dan berkata.

   "Bagaimana kalau makanan ini ada racunnya?"

   "Paling hebat kita mati. Tiada lebih mengerikan daripada itu."

   Jawab Kwi Lan yang membuat pangeran itu kaget. Gadis ini begitu pasrah, begitu rela seakan-akan tiada kekurangan sesuatu di dunia ini. Memang demikianlah orang muda kalau sudah bercinta. Lupa akan segala. Asalkan berada di samping orang yang dicintanya, lupa makan lupa tidur lupa segala, tidak peduli apakah dunia akan kiamat.

   Pangeran Talibu menarik napas panjang. Alangkah akan bahagianya kalau Kwi Lan bukan adiknya. Mempunyai kekasih seperti gadis ini. Tiba-tiba ia mengerutkan keningnya penuh penyesalan. Mengapa hatinya begini tidak setia? Ia sudah mempunyai seorang yang amat dikasihinya, dikasihi seperti seorang pria mencinta wanita, yaitu Puteri Mimi. Teringat akan Mimi, terasalah betapa aneh dan janggal jalan hidupnya. Puteri Mimi yang semenjak kecil ia anggap adik kandung, kiranya sama sekali bukan apa-apanya. Orang lain dan cintanya sebagai kakak berubah menjadi cinta sebagai pria terhadap wanita. Sebaliknya, gadis ini yang sampai saat ini mengira bahwa mereka orang lain yang tiada hubungan sama sekali, tiada hubungan darah, bahkan saudara kembarnya.

   "Kalau memang ada racunnya, marilah kita mati bersama"

   Jawabnya kemudian dan mulai makan. Kwi Lan tersenyum bahagia dan tanpa ragu-ragu makan pula. Masakan-masakan itu ternyata amat lezat dan araknya pun amat harum. Sampai habis beberapa mangkuk masakan itu, guci araknya pun menjadi kosong. Sebaliknya, perut mereka kenyang.

   "Ahh.. betapapun juga Bouw Lek Couwsu bukan orang yang terlalu pelit. Lezat makanannya.."

   Kata Pangeran Talibu sambil bangkit berdiri, menghapus bibir dengan telapak tangannya, lalu berjalan menuju ke sudut kembali. Akan tetapi pandang matanya berkunang dan ia terhuyung-huyung. Rasa aneh menguasai seluruh tubuhnya, hawa panas makin menghebat sampai terasa kepalanya seperti akan meledak.

   "Pangeran..

   "

   Talibu sampai disudut membalikkan tubuh dan ternyata Kwi Lan sudah berada di depannya. Mereka saling pandang tubuh mereka bergoyang,-goyang dan bagaikan besi dengan besi sembrani, keduanya saling tubruk dan saling peluk.

   "Mutiaraku.."

   "Talibu, Pangeranku.."

   Dekapan makin erat dan muka mereka bertemu dalam ciuman mesra. Kwi Lan sudah pasrah bahkan membalas peluk cium pemuda itu dengan penuh nafsu. Tiba-tiba Pangeran Talibu mengeluarkan seruan seperti isak tertahan, lalu merenggutkan diri terlepas dari pelukan dan terhuyung-huyung lari ke sudut lain.

   "Pangeran.."

   "Berhenti"

   Jangan maju selangkah pun. Kalau kau bergerak, mendekatku, aku.. aku akan bunuh diri.."

   Terengah-engah Talibu berteriak.

   Kwi Lan sedang dibuai racun yang memabokkan. Di dalam makanan tadi memang diberi obat oleh Bouw Lek Couwsu, yang membuat racun di tubuh mereka bekerja makin hebat. Bouw Lek Couwsu yang mengintai di luar kamar menjadi penasaran sekali tadi melihat betapa obatnya belum juga berhasil, maka ia lalu mengirim makanan yang ia campur dengan obat untuk memperhebat pengaruh racun asmara itu. Melihat kekasihnya melarikan diri dan mengeluarkan ucapan seperti itu, Kwi Lan menjadi heran, kaget, dan juga kecewa. Ia melangkah maju sedikit dan serentak menghentikan langkahnya karena tiba-tiba Pangeran Talibu membenturkan kepalanya pada dinding.

   "Ahhh.., jangan.. Pangeran"

   Aku aku tidak akan mendekatimu.."

   Jerit Kwi Lan cemas.

   Pangeran Talibu yang sudah putus asa karena ngeri memikirkan kalau sampai terjadi pelanggaran susila dengan adik kembarnya sendiri, dapat mendengar jerit ini dan ia nmenghentikan perbuatannya yang nekat. Dengan terengah-engah ia duduk di sudut ruangan itu memandang. Gadis itu terlampau cantik, apalagi dibawah penerangan lilin merah. Bentuk-bentuk yang menonjol pada tubuhnya tampak nyata antara sinar dan bayangan. Ia tahu bahwa biarpun ia merasa yakin bahwa gadis itu adiknya, namun keyakinan ini belum tentu akan kuat menahan gelora nafsu yang menyesak di dada dan ia akan menjadi seperti seorang buta mabok kalau gadis itu mendekati dan menyentuhnya lagi.

   "Mutiara Hitam.. ini tidak baik.. kita dirangsang racun.. nafsu berahi menguasai kita.."

   Gumamnya. Tiada jawaban dan ketika Talibu mengangkat muka, dilihatnya Kwi Lan yang duduk di sudut lain menangis terisak-isak. Gadis ini merasa terhina dan malu. Merasa bingung dan kecewa.

   "Mutiara, Adikku sayang.. maafkan aku.. percayalah, aku tidak bermaksud menolak dan menghinamu.. akan tetapi kau tunggu.. sampai racun ini bersih dari tubuh kita.. aku tetap cinta kepadamu."

   Kwi Lan menarik napas panjang, menahan tangisnya dan pikiran bersih menyelinap di benaknya. Mengapa ia harus merasa nelangsa? Jelas bahwa mereka telah keracunan, bahkan perasaan tubuhnya membuktikan bahwa makanan dan minuman tadi pun mengandung racun yang mempunyai daya rangsang hebat. Ia mencinta pemuda ini, akan tetapi tidak semestinya menurutkan rangsang nafsu berahi. Dengan pengerahan tenaga batinnya, ia bersila dan memejamkan mata, bersamadhi. Melihat keadaan gadis itu, Pangeran Talibu bernapas lega dan ia pun lalu mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk menindas nafsu dan bersamadhi.

   Malam itu merupakan malam siksaan bagi Kwi Lan dan Talibu. Belum pernah mereka merasa tersiksa seperti malam hari itu. Tubuh yang terasa panas dengan hawa yang menggelora tidak memungkinkan mereka dapat bersamadhi secara layak. Mereka gelisah sekali. Terdengar. Pangeran Talibu menggereng berkali-kali seperti harimau terluka. Tubuhnya penuh peluh. Adapun Kwi Lan tidak dapat dibayangkan sengsaranya. Gadis ini yang mencinta Talibu dan yang merasa yakin bahwa pemuda itu pun mencintanya, lebih hebat penderitaannya. Berkali-kali ia mengeluarkan suara merintih dan mengerang, tubuhnya menggeliat, peluhnya bercucuran, namun ia berusaha sekuat tenaga untuk bertahan agar dapat menindas keinginan hatinya yang membuat ia seakan-akan ingin loncat menubruk pemuda itu.

   Menjelang pagi, mereka mendengar suara Bouw Lek Couwsu di luar kamar tahanan. Suara pendeta itu menyumpah-nyumpah dan marah-marah agaknya kecewa sekali melihat dua orang muda ini tidak terpengaruh obatnya yang amat luar biasa. Diam-diam ia merasa kagum akan kekerasan hati dua orang muda itu, di samping merasa kecewa, penasaran, dan marah. Tak lama kemudian, kamar tahanan itu penuh dengan asap yang disemprotkan dari luar melalui lubang jendela dan pintu. Mula-mula Kwi Lan yang mencium bau harum tidak sewajarnya.

   "Pangeran, hati-hati, asap beracun.."

   Serunya, namun sia-sia belaka. Mereka meloncat dan hendak menghindarkan diri, akan tetapi ke mana? Tak mungkin keluar dari ruangan tertutup itu dan asap makin menebal Tak mungkin pula menahan napas untuk waktu lama dan akhirnya mereka terhuyung dan roboh pingsan setelah terbatuk-batuk dan menyedot asap wangi itu. Ketika Pangeran Talibu sadar, ia sudah terbaring di sudut ruangan. Ia mendengar suara orang dan ketika ia membuka mata, bukan main kaget dan ngeri rasa hatinya.

   Ia melihat Kwi Lan terbelenggu kaki tangannya dan di situ berdiri Bouw Lek Couwsu dan dua orang Hsi-hsia yang tinggi besar dan amat buruk rupanya, seperti monyet-monyet besar. Mereka berdua itu hanya memakai sebuah celana kasar pendek sebatas lutut dengan badan bagian atas telanjang. Tampak kaki tangan mereka yang besar dan kekar kuat itu penuh bulu hitam. Juga dada mereka penuh bulu yang memanjang sampai ke perut. Muka mereka menghitam dan kasar sekali karena bopeng bekas luka penyakit cacar. Mata mereka liar dan merah, hidung besar dengan mulut besar tampak gigi mereka besar-besar menguning. Pendeknya, dua orang raksasa Hsi-hsia ini mengerikan dan buruk sekali, sedikit pun tidak mempunyai daya tarik sebagai seorang laki-laki dan mendatangkan rasa jijik. Bouw Lek Couwsu memperlihatkan kertas putih dan alat tulis kepada Pangeran Talibu, lalu berkata, suaranya halus dan sopan.

   "Pangeran, apakah sampai sekarang juga Pangeran tidak sudi menulis surat untuk Ibunda Pangeran di Khitan?"

   "Bouw Lek Couwsu. Percuma saja kau membujuk. Sampai mati pun aku tidak sudi. Kau boleh membunuhku, aku tidak peduli"

   Jawab Talibu sambil bangkit duduk. Rasa panas tubuhnya masih ada, akan tetapi tidak sehebat malam tadi. Ia kini dapat melihat betapa Kwi Lan juga sudah sadar, akan tetapi gadis itu tidak mampu bergerak karena belenggu pada kaki tangannya yang amat kuat. Gadis ini pun sama sekali tidak membayangkan takut pada pandang matanya yang melotot ke arah Bouw Lek Couwsu penuh kemarahan.

   "Hemmm.."

   Pemimpin orang-orang Hsi-hsia itu menyeringai dan tampak betapa muka pendeta itu kini membayangkan kekejaman hati yang dingin.

   "Pangeran benar-benar keras hati. Mengingat bahwa kita sama-sama bangsa yang besar dan dan gagah perkasa, kami tidak ingin menyusahkan Pangeran. Sekarang harap Pangeran sudi memilih, menulis surat ini ataukah terpaksa pinceng membunuh gadis ini"

   Terbelalak mata Pangeran Talibu. Mutiara Hitam adalah adik kandungnya, adik kembarnya. Andaikata orang lain sekalipun, tak mungkin ia dapat membiarkan gadis itu tewas karena dia. Apalagi adik kembarnya, adiknya yang telah datang dengan niat menolongnya, tanpa mengetahui bahwa yang ditolong adalah kakak kembarnya. Bagaimana mungkin ia mengorbankan nyawa adik yang dicintanya ini? Ia tak mampu menjawab, hanya menatap wajah pendeta yang tersenyum-senyum dingin itu, sambil menggelenggeleng kepalanya.

   "Pinceng tahu bahwa hati Pangeran adalah baik dan tentu saja tidak tega melihat gadis jelita ini mati. Oleh karena itu, harap Pangeran sudi membuat surat yang kami butuhkan itu dan inilah kertas.."

   "Pangeran Talibu, Jangan pedulikan dia. Eh, Bouw Lek Couwsu pendeta palsu. Kau mau bunuh aku lekas bunuh. Apa kau kira aku takut mati? Cih, pendeta tak tahu malu. Jahanam yang berkedok pendeta untuk melampiaskan angkara murka"

   Bouw Lek Couwsu melihat perubahan pada muka Pangeran Talibu yang kini kembali mengeras, tanda bahwa Pangeran itu timbul semangatnya dan tidak akan suka tunduk. Ia menjadi marah sekali kepada Mutiara Hitam.

   "Baiklah, jangan kira bahwa kau akan begitu enak menerima kematianmu. Dan kau, Pangeran Talibu, marilah kita menyaksikan pemandangan yang amat menyenangkan."

   Ia memberi perintah dalam bahasa Hsi-hsia kepada dua orang raksasa buruk itu.

   Dua orang setengah telanjang itu saling pandang, tertawa ha-ha-hi-hi, menyeringai lebar sehingga deretan gigi besar-besar kuning dekil tampak nyata. Kemudian keduanya bermain jari mengadu untung. Si Raksasa yang hidungnya pesek sekali yang menang, maka sambil mengeluarkan suara seperti binatang buas ia berlutut, girang bukan main, Si Raksasa Hidung Besar yang kalah hanya tertawa ha-ha-he-he, lalu berlutut dekat kepala Kwi Lan dan tangannya yang besar meraih ke bawah.

   "Breeetttt.."

   Sekali renggut robeklah baju Kwi Lan, tidak hanya baju luar yang robek sama sekali, bahkan sebagian baju dalamnya ikut robek dan tampaklah sebagian dada yang putih padat dan sebagian kulit paha yang putih bersih. Si Raksasa Hidung Pesek kembali mendengus dan tangannya siap bergerak untuk menelanjangi calon korbannya. Jelas kelihatan betapa nafsu iblis sudah menguasainya, siap melakukan perkosaan tanpa mempedulikan orang-orang di sekelilingnya.

   "Iblis keparat.."

   Pangeran Talibu sudah meloncat maju dan dalam kemarahan yang meluap-luap ia menerjang dengan pukulan ke arah raksasa hidung pesek yang hendak memperkosa Kwi Lan. Tubuhnya agak membungkuk, mukanya menjadi pucat dan lengan kanannya mengeluarkan suara berkerotokan ketika pemuda bangsawan ini mengirim pukulan ke arah kepala Si Raksasa Hidung Pesek. Inilah ilmu pukulan sakti Tok-hiat-coh-kut (Racun Darah Lepaskan Tulang) yang amat hebat dan biarpun baru dilatih setengah matang dari Ratu Yalina namun raksasa Hsi-hsia yang hanya bertenaga besar itu mana mampu menghindarkan diri. Terdengar suara.

   "kraakkkk.."

   Dan raksasa itu terguling dengan kepala remuk isinya.

   "Hemmm.."

   Bouw Lek Couwsu mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya, tangannya bergerak dan Pangeran Talibu terguling roboh dengan kaki seperti patah rasanya. Pukulan jarak jauh pendeta ini telah merobohkannya. Bouw Lek Couwsu memberi perintah lagi dalam bahasa Hsi-hsia. Raksasa hidung besar yang menjadi marah sekali karena temannya roboh tewas, mentaati perintah itu lalu bangkit berdiri dan mencabut sebuah cambuk kulit dari ikat celananya.

   Kemudian menghampiri Pangeran Talibu dan terdengarlah suara meledak-ledak ketika cambuk itu melecut dan menghantam tubuh Pangeran Talibu yang juga telanjang bagian atasnya, pangeran yang memang sudah luka-luka itu merasa betapa kulit dan sedikit daging di bawah kulit seperti dicacah-cacah, digigiti cambuk, terasa panas dan perih. Saking sakitnya, ia sempat menggeliat-geliat dan bergulingan ke sana ke mari seperti seekor ayam disembelih, akan tetapi ia menggigit bibir sampai berdarah, sedikit pun tidak ada suara keluhan keluar dari mulutnya. Biarpun Kwi Lan tidak mengeluarkan kata-kata sesuatu saking terharu dan sakit hatinya, namun air matanya bercucuran menyaksikan betapa pemuda yang dicintanya ini mengalami siksaan seperti itu. Kemudian ia mendapatkan kembali suaranya lalu memaki-maki nyaring.

   "Bouw Lek Couwsu kau manusia iblis. Kau anjing tua berkedok pendeta. Aku bersumpah akan mencabut nyawamu kalau diberi kesempatan"

   Bouw Lek Couwsu hanya tertawa bergelak, kemudian berkata dalam bahasa yang dimengerti Kwi Lan,

   "Heeii, kau beri rasa sekali dua kali kepada bocah bermulut lancang ini"

   Raksasa Hsi-hsia berhidung besar yang tadinya memandang Kwi Lan dengan mata penuh nafsu berahi, kini memandang dengan kebencian meluap-luap. Ia membalik dan mengangkat cambuknya, siap dijatuhkan ke atas muka yang jelita dan berkulit halus putih kemerahan itu. Cambuk diangkat ke atas, bergerak di udara mengeluarkan bunyi "tarrr"

   Dan ujungnya menyambar ke arah muka Kwi Lan.

   "Binatang.."

   Tubuh Pangeran Talibu yang tadinya sudah menggeletak kehabisan tenaga dan amat menderita rasa panas perih dan nyeri, kini meloncat dan ujung cambuk yang menyambar ke arah muka Kwi Lan tertangkap oleh tubuhnya.

   "Tarrr.."

   Tubuh Pangeran Talibu terguling roboh lagi. Ia tadi dapat bergerak karena kemarahan yang meluap-luap ditambah rasa gelisah menyaksikan adik kembarnya akan disiksa, akan tetapi begitu ia berhasil menghindarkan wajah adiknya dari cambukan, kedua kakinya yang sudah setengah lumpuh oleh pukulan Bouw Lek Couwsu tadi tidak dapat berdiri tegak maka ia terguling. Orang Hsi-hsia tinggi besar menjadi marah. Ia lalu menggerakkan cambuknya dan kembali tubuh Talibu dihajar bertubi-tubi sampai akhirnya pemuda itu roboh pingsan. Dada dan punggungnya tertutup darah dan garis-garis biru merah.

   "Cukup, kau anjing tolol. Jangan bunuh dia, Hajar perempuan ini kataku"

   Bouw Lek Couwsu membentak kemudian melangkah minggir. Orang Hsi-hsia itu terkejut, maklum akan hebatnya hukuman kalau ia membuat marah pemimpin besar ini, lalu mengangkat cambuknya, menghantam sekerasnya ke arah Kwi Lan yang rebah telentang tak mampu bergerak. Gadis ini sama sekali tidak berkedip, menanti datangnya cambuk ke muka dengan ketabahan luar biasa.

   "Wuuuutt.., adduuuuhhhh.."

   Cambuk yang sudah nenyambar itu berhenti di tengah jalan bahkan lalu terlepas dari pegangan Si Raksasa Hsi-hsia yang roboh seperti pohon ditebang. Sebatang jarum telah menembus punggung dan terus menancap di jantungnya.

   "Hemmm.. Bouw Lek Couwsu. Beginikah engkau memperlakukan muridku?"

   Terdengar suara halus dingin dan muncul di ambang pintu seorang wanita berpakaian putih berkerudung hitam, Kam Sian Eng. Tangan kanannya masih mengempit tubuh Kiang Liong dan tadi dengan tangan kiri, hanya menggunakan sebatang jarum, ia telah membunuh raksasa Hsi-hsia dalam sekejap mata.

   Di sebelahnya tampak Suma Kiat yang memondong tubuh Puteri Mimi, dan di belakang dua orang ini berdiri Bu-tek Siu-lam, Pak-sin-ong, Siauw-bin Lo-mo, dan Thai-lek Kauw-ong. Empat orang tokoh sakti ini hanya tersenyum-senyum, agaknya mereka ini tidak peduli, atau bahkan gembira menyaksikan betapa kini Bouw Lek Couwsu agaknya akan bentrok dengan Sian-toanio. Bouw Lek Couwsu tentu saja tidak akan dapat menjadi seorang pemimpin bangsa Hsi-hsia kalau ia tidak cerdik dan pikirannya dapat bekerja amat cepat dan mengambil keputusan yang amat tepat, pada waktunya. Ia sama sekali tidak kelihatan terkejut atau kehilangan akal. Bahkan lalu cepat-cepat menjura kepada Kam Sian Eng,
(Lanjut ke Jilid 28)
Mutiara Hitam (Seri ke 04 "

   Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 28
tersenyum lebar dan kemudian menghela napas panjang, menggeleng kepala dan berkata.

   "Aaahhh, sayang sekali. Tanpa aku sengaja, kau telah menggagalkan siasatku, Sian-toanio. Pinceng belum gila untuk menyakiti murid Toanio. Dapat Toanio periksa apakah muridmu itu terluka sedikit pun, Pinceng terpaksa melakukan ancaman ini tidak lain hanya dalam usaha menundukkan kekerasan hati Pangeran Khitan itu. Marilah kita ke dalam dan bicara lebih leluasa, Toanio. Dan orang yang Toanio bawa itu.. ah, bukankah dia Kiang-kongcu murid Suling Emas?"

   Kam Sian Eng tadi membunuh raksasa Hsi-hsia, bukan semata-mata karena hendak menolong Kwi Lan, melainkan ia merasa terhina kalau muridnya diganggu orang di depan matanya. Ia sebetulnya masih marah kepada muridnya itu, apalagi ketika mendengar penuturan Suma Kiat tentang sepak terjang Kwi Lan di kota raja. Kini mendengar ucapan Bouw Lek Couwsu, ia mendengus dan melemparkan tubuh Kiang Liong ke atas lantai. Kiang Liong ternyata pingsan dan tubuhnya menggelundung dekat Kwi Lan yang hanya melotot dan memandang gurunya.

   "Kakanda Pangeran.."

   Puteri Mimi meronta dari pondongan Suma Kiat. Ketika pemuda ini yang tertawa-tawa tidak mau melepaskannya, Mimi mencakar dan menggigit. Lucu juga pemandangan itu dan terdengar Kam Sian Eng berkata ketus,

   "Lepaskan dia"

   Suma Kiat masih menyeringai, akan tetapi ia tepaksa melepaskan Mimi yang segera lari dan menubruk tubuh Pangeran Talibu dan menangis tersedu-sedu, memanggil nama Talibu dan menggosok-gosok tubuh yang penuh darah dan luka-luka cambukan. Bouw Lek Couwsu mengajak tamu-tamunya meninggalkan ruangan tahanan. Daun pintu ditutup dan dikunci dari luar, para penjaga kini ditambah jumlahnya dan sunyilah keadaan ruangan tahanan itu, kecuali tangis Puteri Mimi.

   Kwi Lan yang melihat guru dan suhengnya tidak berusaha membebaskannya, mengerti di dalam hatinya bahwa ia telah dianggap musuh oleh mereka. Namun ia tidak merasa sedih karena kini tahulah ia bahwa gurunya dan suhengnya itu bukanlah manusia-manusia baik. Ia bahkan merasa lega ditinggal di sini bersama Pangeran Talibu dan Kiang Liong, karena andaikata ia dibebaskan gurunya, ia masih belum yakin apakah ia akan mau bersekutu dengan mereka. Kini perhatiannya tercurah kepada Puteri Mimi yang menangisi Talibu. Entah mengapa ia sendiri tidak tahu, melihat puteri cantik yang pernah ia jumpai di taman bunga Kiang Liong itu kini menangisi Talibu, ia secara tiba-tiba saja membenci puteri ini"

   Ingin ia bangkit dan menamparnya, menyeretnya pergi menjauhi Pangeran Talibu.

   "Kakanda Pangeran.."

   Panggilan berkali-kali ini membuat Talibu sadar. Ia mengeluh lalu membuka matanya. Ia masih dikuasai racun yang memabokkan. Begitu membuka mata dan melihat Puteri Mimi duduk bersimpuh di dekatnya dan memeluki serta memanggil-manggil namanya sambil menangis, serentak ia bangkit.

   

Suling Emas Eps 4 Suling Emas Eps 16 Suling Emas Eps 30

Cari Blog Ini