Suling Emas 5
Suling Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 5
"Minggir! Minggir!"
Tiga orang gadis itu berseru nyaring tanpa mengurangi kecepatan lari kuda mereka. Padahal jalan itu sempit sekali. Terpaksa Kwee Seng menarik kendali kudanya, dipinggirkan.
Melihat Lu Sian tetap membiarkan kudanya menghadap jalan, Kwee Seng tidak mau membiarkan keributan terjadi, ia meraih kendali kuda tunggangan Lu Sian dan menarik binatang itu minggir pula. Dua ekor kuda tunggangan pertama dan kedua lewat cepat sekali dan tercium bau harum minyak wangi. Kuda ketiga yang ditunggangi gadis termuda, melambat dan gadis ini mengerling kearah Kwee Seng, lalu melempar senyum! Setelah melirik penuh arti barulah gadis ke tiga ini membalapkan kudanya lagi. Kwee Seng cepat menggerakkan tangannya menangkap pergelangan tangan Lu Sian. Gadis ini menggenggam jarum-jarum yang merupakan senjata rahasia dan yang tadinya hendak ia sambitkan kepada tiga orang gadis itu!
"Moi-moi, mengapa mencari gara-gara dengan orang-orang yang sama sekali tidak kita kenal dan tidak ada permusuhan dengan kita?"
Lu Sian menjebirkan bibirnya, kebiasaan yang selalu membetot jantung Kwee Seng, lalu menyimpan kembali jarum-jarum rahasianya.
"Menjemukan! Koko, apakah kau selalu menjadi lemah hati dan siap menolong setiap orang perempuan cantik?"
Merah kedua pipi Kwee Seng.
"Bukan begitu, moi-moi. Aku hanya suka menolong kepada orang yang perlu ditolong, tak peduli dia perempuan atau laki-laki. Akan tetapi mereka itu tadi tidak mempunyai salah apa-apa, mengapa hendak kau serang?"
"Tidak salah apa-apa? Ihh, kenapa matanya lirak-lirik seperti tukang copet?"
Kwee Seng tertawa geli mendengar ini.
"Tukang copet? Ha-ha, perumpamaanmu sungguh tak tepat. Masa gadis cantik menjadi tukang copet? Dan lagi, aku Si Miskin ini apanya yang patut di copet?"
Lu Sian tersenyum juga.
"Apalagi kalau bukan hatimu yang akan dicopet?"
Kwee Seng membelalakan matanya memandang, akan tetapi gadis itu hanya mentertawakannya tanpa menutupi mulut, memperlihatkan deretan gigi putih dan lubang mulut kemerahan. Kwee Seng merasa ditertawakan, hatinya sebal dan sakit.
"Mari kita lanjutkan perjalanan!"
Akhirnya ia berkata agak marah, akan tetapi Lu Sian tetap tertawa-tawa ketika membedal kudanya dibelakang pemuda itu.
"Ah, kau terburu-buru amat. Apakah hendak mengejar pencopet dan menyerahkan hatimu? Dia manis sekali, Kwee-koko! Kerlingnya tajam dan mengundang tantangan!"
Berkali-kali Lu Sian menggoda, akan tetapi Kwee Seng tidak menjawab dan terus membalapkan kudanya. Akan tetapi agaknya tiga orang gadis tadi pun melarikan kuda cepat sekali, buktinya sampai tiga hari mereka berdua belum juga dapat menyusul tiga orang gadis itu. Pada hari keempatnya, setelah bermalam didalam hutan yang dingin, Kwee Seng dan Lu Sian melanjutkan perjalanan.
Di persimpangan jalan mereka melihat banyak orang pengungsi pula, akan tetapi anehnya mereka itu bukan berjalan ke selatan, sebaliknya mereka menuju ke utara! Bukan hanya Lu Sian yang merasa heran, juga Kwee Seng terheran-heran sehingga pemuda ini menanya kepada seorang pengungsi laki-laki yang sudah tua.
"Lopek, kalian semua hendak mengungsi ke manakah?"
"Kemana lagi kalau tidak ke benteng Naga Emas? Hanya disanalah tempat yang aman bagi kami, karena Kam-goan-swe (Jenderal Kam) berada disana."
"Mengapa dilain tempat tidak aman Lopek? Apakah yang mengancam keselamatan kalian?"
Kwee Seng mulai tertarik sedangkan Lu Sian juga mendengarkan dengan penuh perhatian. Mendengar pertanyaan ini kakek itu memandang heran.
"Kongcu datang dari manakah sehingga tidak tahu keadaan disini? Dimana-mana terdapat manusia-manusia serigala, bala tentara gubernur merajalela menganggu penduduk dan merampok harta memperkosa wanita dengan alasan membasmi pemberontak! Semua orang takut menentang Gubernur Li, hanya Kam-goan swe seorang yang berani melindungi kami. Kongcu dan Nona sebagai orang-orang asing sebaiknya jangan melakukan perjalanan di daerah ini, berbahaya."
Setelah berkata demikian, kakek itu melanjutkan perjalanan bersama rombongan pengungsi yang terdiri dari tiga puluh orang lebih itu.
"Lopek, masih jauhkah benteng itu dari sini?"
Tiba-tiba Lu Sian bertanya sambil mengajukan kudanya.
(Lanjut ke Jilid 05)
SULING EMAS (Seri ke 02 "
Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 05
Kakek itu menoleh dan memandang, akan tetapi keningnya berkerut, tidak mau menjawab, malah lalu berjalan lagi dan timbul kemarahannya, membentak,
"Ah, Kakek! Apakah kau tuli dan bisu?"
Kakek itu cemberut, menoleh lagi dan mengomel.
"Tidak ada wanita baik di jaman edan ini!"
Tentu saja Lu Sian makin marah. Melihat ini, Kwee Seng khawatir kalau-kalau Liu Sian akan turun tangan, maka ia cepat menggeprak kudanya, maju kedepan Lu Sian dan berkata kepada kakek itu.
"Lopek, sahabatku ini bertanya baik-baik, mengapa kau tidak mau menjawab? harap jangan salah melihat orang, sahabatku ini seorang pendekar wanita yang berhati mulia."
Lenyap kemarahan Lu Sian dan ia tersenyum-senyum mendengar pujian ini. Adapun kakek itu lalu membalikkan tubuh, memandang ragu kepada Lu Sian lalu menjura.
"Harap nona suka maafkan. Baru pagi tadi sini lewat pula tiga orang gadis seperti nona, akan tetapi mereka itu kasar bukan main, bahkan lima orang kami mereka pukul dengan cambuk karena kurang cepat minggir untuk mereka lewat dengan kuda mereka yang besar-besar. Kalau nona hendak mengetahui, benteng itu tidak jauh lagi, kurang lebih tiga li lagi dari sini."
Setelah rombongan itu bergerak lagi dan Kwee Seng mulai menggerakkan kendali untuk melanjutkan perjalanan, Lu Sian menyentuh lengannya dan berkata,
"Kwee-koko, kita berhenti disini, mencari tempat mengaso sampai nanti malam."
"Ah, mengapa begitu? Hari masih siang, dan perjalanan masih jauh. Ada keperluan apa yang harus berhenti disini?"
"Keadaan benteng itu, Jenderal Kam itu, dan tiga orang gadis yang agaknya juga pergi kesana, menarik hatiku untuk menyelidiki. Malam nanti aku hendak menyelidiki kesana, melihat keadaan dan mencari tahu apakah sebenarnya yang terjadi."
"Ah, Moi-moi, mengapa kau mencari urusan yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan kita? Urusan Jenderal Kam adalah urusan negara, dan selama orang menyangkutkan diri dengan urusan negara, maka tak boleh tidak ia mempunyai cita-cita yang kotor. Tak perlu kita mencampurinya, Moi-moi."
Akan tetapi lu Sian sudah memutar kudanya dan mencari tempat yang enak untuk mengaso dan bermalam. Akhirnya ia berhenti di bawah pohon yang besar, lalu turun dari kudanya. Terpaksa Kwee Seng mengikutinya.
"Sudahlah, koko, aku lapar karena terlalu banyak bicara. Biar kucarikan daging untuk teman roti kering kita."
Gadis itu meloncat dan lenyap memasuki hutan yang gelap. Tak lama kemudian ia tertawa-tawa sambil memegang dua ekor kelinci gemuk pada telinganya, Kwee Seng tidak berkata apa-apa, hanya membantu gadis itu menguliti kelinci dan membakar dagingnya.
Setelah mereka makan kenyang, Lu Sian merebahkan diri diatas rumput yang gemuk empuk. Tak sampai sepuluh menit kemudian gadis itu sudah tidur nyenyak, mukanya miring berbantal tangan, napasnya panjang teratur, pipinya kemerahan, bulu matanya yang merapat kelihatan panjang membentuk bayangan pada pipi. Berjam-jam Kwee Seng hanya duduk sambil memandangi tubuh yang rebah miring didepannya. Pikirannya melayang-layang. Alangkah cantiknya gadis ini. Rambutnya yang hitam itu agak kacau, sebagian rambut yang terlepas dari ikatan menutupi pipi dan kening. Dahi yang halus putih itu agak basah oleh peluh karena hawa memang panas menjelang senja itu. Kwee Seng melihat ini lalu memadamkan api unggun yang tadi dipakai memanggang daging kelinci. Kemudian ia duduk lagi menghadapi Lu Sian sambil menikmati wajah ayu itu.
Lu Sian bergerak sedikit dalam tidurnya, bibirnya tersenyum, tangannya menyibakkan rambut yang menutup pipi dan kening, lalu tubuhnya bergerak terlentang, terdengar bisikannya.
"Kwee-koko,"
Berdebar keras jantung Kwee Seng. Gadis ini mengigau dan menyebut-nyebut namanya dalam tidur! bukankah itu berarti bahwa Lu Sian juga menaruh hati kepadanya? Ia memandang lagi. Mulut yang manis itu masih tersenyum. Tiada bosannya memandang wajah ini, bagaikan orang memandang setangkai bunga mawar segar. Terpesona Kwee Seng memandangi rambut hitam panjang yang kini awut-awutan itu, mengingatkan ia akan syair tentang keindahan rambut yang pernah di bacanya :
halus licin laksana sutera hitam mulus
melebihi tinta gemuk panjang berikal
mayang mengikat kalbu menimbulkan sayang
harum semerbak laksana bunga
melambai meraih cinta asmara
sinom berikal di tengkuk dan dahi
pembangkit gairah dendam berahi!
Setelah kenyang pandang matanya menikmati keindahan rambut di kepala lalu pandang mata itu menurun, berhenti di alis dan mata yang terlindung bulu mata panjang melengkung, sejenak terpesona oleh bukit hidung. Kecil mungil mancung dan patut halus laksana lilin diraut cuping tipis bergerak mesra mengandung seribu rahasia. Makin berdebar jantung Kwee seng, hampir tak terahankan lagi, serasa hendak meledak. Melihat rambut itu, bulu mata, hidung yang agak berkembang-kempis cupingnya, mulut manis yang tersenyum-senyum dalam tidur, pipi yang putih kemerahan, teringatlah ia akan Ang-siauw-hwa.
Bukan gadis pelacur itu yang terbayang, melainkan pengalaman mesra penuh asyik yang pada saat itu mendorong semua gairah birahi memenuhi hati dan pikirannya bagaikan awan mendung hitam menggelapkan kesadarannya. Dengan tubuh gemetar menggigil, Kwee Seng lalu membungkuk kearah wajah ayu itu dan mencium bibir dan pipi Lu Sian sepenuh kasih hatinya. Suara ketawa gadis itu mengejutkannya, membuyarkan sebagian awan mendung yang menutupi kesadarannya. Terkejutlah Kwee Seng, mukanya pucat dan ia cepat-cepat menjauhkan diri, jantungnya berdebar keras dan barulah lega hatinya ketika ia melihat bahwa Lu Sian masih tidur. Suara ketawa tadi pun agaknya hanya dalam keadaan mimpi. Akan tetapi ciumannya tadi membuat ia makin dalam terjatuh ke jurang asmara! Lewat senja, setelah matahari mulai bersembunyi, Lu Sian menggeliat dan membuka matanya.
"Ahhh, alangkah sedapnya tidur di sini. Eh kwee-koko, kau masih duduk disitu sejak tadi? Tidak mengaso?"
Gadis itu kini bangkit duduk dan membereskan rambutnya. Duduk seperti itu, kedua kaki ditekuk kebelakang, tubuh tegak dada membusung, kedua lengan dikembangkan karena sepuluh buah jari tangannya sibuk menyanggul rambut dibelakang kepala, benar-benar merupakan pemandangan indah. Hemm, kalau saja aku pandai melukis, alangkah indahnya gadis ini dilukis dalam keadaan begini, pikir Kwee Seng, demikian terpesona sehingga ia seakan-akan tidak mendengar akan kata-kata Lu Sian.
"Hih! Kwee-koko, apakah kau sudah berubah menjadi arca? Apa sih yang kau lihat?"
Tegur Lu Sian, senyumnya lebar dan sepasang matanya berkedip-kedip mengandung ejekan.
"Heh kau bilang apa tadi, Moi-moi"
Kwee seng tergagap. Kini Lu Sian tertawa,
"Kukira kau tidak mengaso kiranya kau agaknya malah tidur. Kwee-koko, aku ingin sekali mandi. Kalau saja ada anak sungai disini."
"Kudengar suara air gemericik di sebelah kiri sana, Sian-moi. Mungkin ada anak sungai atau air terjun disana."
"Bagus, mari kita ke sana, Koko."
Seperti seorang anak kecil, Lu Sian menyambar tangan Kwee Seng dan menariknya berlari-lari ke arah kiri. Benar saja dugaan Kwee Seng, di situ terdapat sebatang sungai kecil yang amat jernih airnya, pula tidak dalam, hanya semeter kurang lebih. Batu-batu licin di dasar tampak beraneka warna menambah keindahan dan kesejukan air.
"Hah, dingin dan segar, Koko!"
Teriak Lu Sian kegirangan ketika memasukkan tangannya ke dalam air di pinggir sungai.
"Koko, aku hendak mandi! Kau jangan melihat kesini sebelum aku masuk kedalam air. Awas, kalau kau menengok, kumaki kau kurang sopan dan kusambit kau dengan batu!"
Kwee Seng tertawa, terseret oleh kenakalan dan kegembiraan gadis itu.
"Siapa ingin melihat?"
Serunya sambil membalikkan tubuh berdiri membelakangi sungai. Ia hanya mendengar gerakan gadis itu, suara pakaian dilepas, kemudian mendengar gadis itu turun ke dalam air. Semua yang didengarnya ini menimbulkan bayangan yang amat menggodanya sehingga ia meramkan kedua matanya seakan-akan hendak mengusir bayangan itu dari depan mata.
"Sudah, Kwee-koko. Kau sekarang boleh saja melihat kesini, aku sudah aman tertutup air. Ah, enak benar, Koko. Kau mandilah segar bukan main."
Kwee Seng membalikkan tubuhnya dan ia terpaku ditempat ia berdiri. Kedua kakinya menggigil dan matanya berkunang-kunang. Aduh, Lu Sian apakah benar-benar sengaja kau sengaja ingin menggodaku? Demikian keluhnya dalam hati. Ketika ia menengok, ia melihat pakaian gadis itu bertumpuk dipinggir sungai, diatas sebuah batu besar, semua pakaian berikut sepatu dan pita rambut. Kemudian, apa yang dilihatnya ditengah sungai itu benar-benar membuat ia berkunang dan lemas. Memang gadis itu merendamkan tubuhnya didalam air sehingga yang tampak dari luar air hanya leher dan kepalanya. Akan tetapi agaknya Lu Sian lupa bahwa air itu amat jernih! Ataukah memang sengaja? Air itu demikian jernihnya sehingga batu-batu didasarnya tampak. Apalagi tubuh yang duduk diatasnya! Pemandangan aneh tampak oleh Kwee Seng. Tubuh padat berisi sempurna lekuk-lekungnya, bergoyang-goyang bayangannya oleh air. Cepat-cepat ia menundukkan mukanya. Kuatkan hatimu! Ah, kuatkan hatimu sebelum! kau kemasukan iblis! Demikianlah dengan kaki gemetar Kwee Seng berdiri menundukkan mukanya, mengerahkan tenaga batinnya untuk melawan dorongan nafsu.
"Moi-moi"
Ia berhenti karena suaranya kedengaran aneh.
"Hemm Kau mau bilang apa, Koko?"
Kwee Seng menarik napas panjang dan mulai tenanglah gelora isi dadanya.
"Sian-moi, aku tidak mandi. Kau mandilah yang puas, biar kunanti kau disana. Aku khawatir kalau-kalau kuda kita dicuri orang."
Tanpa menanti jawaban Kwee Seng lalu membalikkan tubuhnya dan lari dari tempat semula dimana ia menjatuhkan diri duduk termenung memikirkan Lu Sian. Gadis yang aneh! Ia harus mengaku bahwa hatinya sudah jatuh betul-betul. Ia memuja Lu Sian, memuja kecantikannya. Padahal ia maklum sedalam-dalamnya bahwa watak gadis itu sama sekali tidak cocok dengan wataknya, bahwa kalau ia mempunyai isteri seperti Lu Sian, hidupnya akan banyak menderita.
Aku harus dapat menahan diri, semua ini godaan iblis, pikirnya. Aku sejak semula tidak menghendakinya sebagai isteri, hanya karena sudah berjanji dengan Pat-jiu Sin-ong untuk menurunkan ilmu yang mengalahkannya, maka sekarang mengadakan perjalanan bersama. Ah, mengapa ia menjanjikan hal itu? Ia kena diakali Pat-jiu Sin-ong yang tentu saja ingin menguras ilmunya. Kalau sudah menurunkan ilmu, aku harus cepat-cepat menjauhkan diri dari Lu Sian, pikirnya. Akan tetapi, teringat akan perbuatannya mencuri ciuman tadi, kembali gelora di dadanya membuat Kwee Seng meramkan mata. Gila! Kau sudah gila! Tiba-tiba Kwee Seng yang masih meram itu menampar kepalanya sendiri! Heee!
"Apakah kau sudah gila?"
Teguran ini membuat Kwee Seng terkejut dan meloncat bangun sendiri! Kiranya Lu Sian sudah berdiri di depannya, biarpun cuaca sudah mulai gelap, masih tampak gadis itu segar dan berseri-seri, makin cantik setelah mandi. Gadis itu tertawa geli.
"Kwee-koko, kukira kau tadi menjadi gila, apa-apaan itu tadi kau menampar kepalamu sendiri?"
"Aku Ah.. kau tidak melihat tadi? Banyak nyamuk di hutan ini. Mengiang-ngiang di atas telinga, kucoba menepuk mampus nyamuk-nyamuk itu."
Baiknya Lu Sian percaya alasan ini.
"Kwee-koko, sekarang aku hendak pergi. Kau menanti disini saja, ya?"
"Kemana, Sian-moi? Ke benteng itu. Meyelidik! Ah, apakah perlunya? Jangan mencari perkara Sudahlah!"
"Kau seperti nenek bawel saja. Kalau tidak suka, kau tidak usah ikut. Aku tahu kau tidak suka, maka aku akan pergi sendiri. Biarlah kau menanti disitu bersama eh, nyamuk-nyamuk itu. Aku pergi, Koko!"
Setelah berkata demikian, Lu Sian mempergunakan kepandaiannya meloncat dan lari cepat, sebentar saja lenyap dari situ. Kwee seng mengerutkan keningnya. Gadis aneh. Ia takkan berbahagia hidup disamping gadis itu sebagai isterinya. Akan tetapi ah, mengapa hatinya seperti ini? Mengapa timbul kekuatirannya kalau-kalau Lu Sian menghadapi malapetaka? Biarlah kalau ia tertimpa bencana. Salahnya sendiri. Mencari perkara. Mencampuri urusan orang lain! Kwee Seng mengeraskan hatinya dan mulai membuat api unggun untuk mengusir nyamuk yang memang banyak terdapat di hutan itu. Akan tetapi hatinya tetap merasa tidak enak. Terjadi perang di dalam hatinya antara membiarkan atau pergi menyusul Lu Sian.
Dengan pengerahan gin-kang dan ilmu lari secepatnya, sebentar saja Lu Sian telah tiba diluar tembok benteng. Tembok benteng itu cukup tinggi, pintu gerbangnya berada di tengah, terjaga kuat oleh belasan orang prajurit. Pintu belakang juga terjaga, malah tertutup rapat, sedangkan diatas tembok itu, pada setiap ujungnya terdapat bangunan kecil dimana tampak pula penjaga yang bersenjata lengkap. Beberapa menit sekali, penjaga-penjaga meronda disekeliling tembok. Pendeknya, benteng itu terjaga rapat sekali. Untuk melompat tembok, terlampau tinggi dan andaikata dapat juga, pasti akan tampak oleh para penjaga diempat penjuru. Akan tetapi, Lu Sian adalah seorang gadis yang banyak akal, berani dan lihai.
Ia memilih bagian yang agak sepi, menanti sampai peronda lewat, kemudian cepat sekali ia menggunakan pedangnya membongkar tembok! Pedangnya bukanlah pedang biasa, melainkan pedang pusaka, pedang buatan daerah Go-bi, terbuat daripada logam baja biru dan oleh ayahnya diberi nama Toa-hong-kiam (Pedang Angin Badai), karena Pat-jiu Sin-ong memberikan pedang itu kepada puterinya ketika menurunkan Ilmu Pedang Toa-hong Kiam-sut. Pedang baja biru ini dapat dipergunakan untuk memotong besi dan baja. Apalagi tembok yang terbuat daripada bata itu, dengan mudah saja dapat ditembusi Toa-hong-kiam. Belum lima menit, Lu Sian telah berhasil membuat lubang yang cukup dimasuki tubuhnya.
Dilain saat tubuhnya berkelebat menyelinap masuk dan bagaikan seekor kucing ia sudah berloncatan cepat menghilang di antara kegelapan malam, mendekam di tempat gelap sambil memperhatikan keadaan didalam benteng. Benteng itu cukup luas, kiranya cukup untuk menampung ribuan orang bala tentara. Di dalamnya selain terdapat lapangan luas untuk berlatih para perajurit, juga terdapat bangunan-bangunan kecil berjajar yang agaknya menjadi tempat bermalam para perajurit. Ada pula bangunan terbuka yang dipakai sebagai dapur, lalu kandang-kandang kuda dan gudang-gudang perlengkapan.
Ditengah sendiri terdapat empat buah bangunan besar yang bentuknya kembar. Tak salah lagi, disinilah tempat para perwiranya. Maka tanpa ragu-ragu Lu Sian lalu berindap-indap menghampiri empat bangunan ini karena memang kedatangannya ini terdorong oleh rasa hatinya ingin mengintai dan menyelidiki keadaan Jenderal Muda Kam Si Ek! Disudut lubuk hatinya memang ia tak pernah melupakan Kam Si Ek, pemuda gagah perkasa dan ganteng yang pernah menggetarkan hatinya diatas panggung adu ilmu. Sayangnya pemuda itu tidak mau melayaninya mengadu kepandaian. Namun sikapnya yang gagah dan keras, wajahnya yang membayangkan kejantanan, telah menggerakkan hati Lu Sian sehingga ketika dalam perjalanan ini ia mendengar disebutnya nama Kam Si Ek, sekaligus bangkit hasrat hatinya untuk menemuinya dan mempelajari keadaannya, kalau perlu mencoba kepandaiannya!
Melihat bendera tanda pangkat jenderal didepan sebuah di antara empat gedung, hati Lu Sian berdebar. Ia menyelinap ke belakang gedung ini, kemudian menggerakkan tubuhnya melayang naik ke atas genteng sebelah belakang, dan dengan hati-hati ia merayap diatas genteng menuju ke bagian tengah. Ketika ia melihat sinar api penerangan yang besar dan mendengar suara orang, ia membuka genteng dan mengintai ke bawah. Betapa girang hatinya ketika ia melihat orang yang dicari-carinya, yaitu Kam Si Ek sendiri, berada di dalam sebuah ruangan besar di bawahnya! Biarpun seorang jenderal, Kam Si Ek ternyata berpakaian biasa, mungkin karena tidak sedang dinas. Pakaiannya serba biru dan rambutnya digelung keatas, diikat sutera kuning. Tubuhnya yang tegap itu kelihatan gagah dan penuh tenaga. Ia duduk menghadapi meja besar yang penuh hidangan. Yang membuat hati Lu Sian kaget dan tak senang adalah ketika ia melihat tiga orang gadis cantik yang pernah dilihatnya.
Kini tiga orang gadis itu mengenakan pakaian yang lebih mewah lagi, biarpun warna pakaiannya tetap sama, yaitu yang pertama serba merah, yang kedua serba kuning dan yang ketiga serba hijau. Rambut mereka digelung rapi dan dihias emas permata mahal. Muka mereka dilapisi bedak, bibir dan pipi ditambah warna merah dan bau minyak wangi mereka sampai tercium oleh Lu Sian yang mendekam di atas genteng! Pada saat itu, dengan sikap gagah dan suara tegas Kam Si Ek berkata.
"Tidak bisa! Siauwte (aku) bukanlah seorang penghianat! Sejak dahulu, nenek moyangku adalah orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan, yang rela mengorbankan nyawa untuk negara dan bangsa, yang menduduki kedudukan tinggi di dalam ketentaraan tanpa pamrih untuk pribadinya, melainkan semata untuk berbakti kepada negara dan bangsa! Kedatangan Sam-wi Lihiap (Pendekar Wanita Bertiga) saya terima dengan penuh kehormatan, akan tetapi kalau Sam-wi mengajak siauwte sekongkol dengan Cu Bun, terpaksa saya menolak keras!"
Dengan suara manis sekali Si Pakaian Merah yang tertua di antara mereka bertiga, berkata halus,
"Kami bertiga Enci Adik sudah cukup mengenal kegagahan dan kesetiaan keluarga Kam. Kami mana berani membujuk Goan-swe (Jenderal) untuk bersekongkol dengan penghianat atau pemberontak? Akan tetapi, bukankah bekas Gubernur Cu Bun kini telah menjadi raja dari kerajaan Liang yang sudah berdiri belasan tahun lamanya? kini terjadi perebutan kekuasaan, dan raja tidak dapat membiarkan mereka yang memisahkan diri, tidak mau tunduk kepada kekuasaan kerajaan baru, yaitu Kerajaan Liang yang menggantikan Kerajaan Tang. Karena itu, kami mengajak kepada Goan-swe untuk berjuang bersama, menghalau para pemberontak, terutama sekali bangsa buas dari luar yang hendak menggunakan kesempatan ini untuk mengganas."
"Maaf, siaute terpaksa membantah, memang benar bahwa Gubernur Cu Bun berhasil menumbangkan Kerajaan Tang belasan tahun lalu. Akan tetapi, berhasil atau tidaknya sebuah kerajaan baru tergantung daripada dukungan rakyat. Dan untuk mendapat dukungan rakyat, terutama sekali rakyat harus diberi kehidupan yang tentram, penghasilan yang wajar dan sumber hidup yang layak. Akan tetapi apakah buktinya? Rakyat menjadi korban selalu. Dimana-mana timbul kejahatan, perebutan kekuasaan, kehidupan rakyat tidak aman, masih ditekan pajak, diperas oleh lintah-lintah darat yang berupa raja-raja kecil di dusun-dusun, masih diganggu oleh para tentara kerajaan yang buas melebihi perampok. Buktinya? Sam-wi dapat melihat betapa banyaknya penduduk dusun mengungsi, bingung mencari tempat aman sehingga di dalam benteng ini saja kami terpaksa menampung seratus orang lebih pengungsi. Bukankah ini sudah membuktikan bahwa Kerajaan Liang tidak didukung rakyat? Dan selama pemerintahan tidak mendapat dukungan rakyat, saya yakin takkan berhasil dan lekas runtuhlah pemerintahan itu."
Muka jenderal muda itu menjadi merah, bicaranya penuh semangat dan wajahnya yang tampan gagah itu mengeluarkan wibawa seperti seekor harimau yang menakutkan. Kam-goanswe yang perkasa,kata Nona kedua yang berpakaian kuning.
"Bolehkah saya bertanya, Goanswe ini sebetulnya mengabdi kepada siapakah? Dahulu keluarga Goanswe mengabdi kepada Kaisar Tang yang terakhir. Setelah kaisar jatuh, Goanswe mengabdi kepada siapa? Kalau Goanswe tidak mengakui kekuasaan Raja Liang, apakah Goanswe mengabdi kepada gubernur Li?"
Kam Si Ek kini berdiri dari bangkunya. Tubuhnya yang tinggi tegap itu seakan-akan makin besar. Ia mengepal tinjunya dan berkata.
"Aku hanya mengabdi kepada tanah air dan bangsa! Siapa saja yang mengganggu rakyatku, akan kulawan! Bangsa apa saja yang berani memasuki tanah airku akan kuhancurkan! Aku tidak mengabdi kepada Raja Liang, dan terhadap Gubernur Li Ko Yung yang menjadi teman seperjuanganku dahulu, dia tetap teman baik asal saja dia tidak menyeleweng daripada jalan benar."
Nona paling muda yang berbaju hijau mengedipkan matanya kepada kedua orang encinya, lalu bangkit berdiri menghampiri Kam Si Ek. Ia menuangkan arak dan menjura kepada jenderal muda itu sambil berkata, suaranya halus merdu penuh rayuan.
"Maaf, maafKam-goanswe. Harap maafkan kedua enciku yang seakan-akan lupa bahwa saat ini bukanlah saat untuk bicara tentang urusan negara yang berat-berat. Kasihan sekali suasana menjadi begini panas, sebaliknya masakan menjadi dingin. Kam-goanswe, mari kita lanjutkan makan minum sambil membicarakan hal-hal yang menyenangkan. Sudilah kau menerima secawan arak dariku sebagai cawan minta maaf!"
Ia melangkah maju, Tergopoh-gopoh Kam Si Ek balas menjura dan ia pun tersenyum.
"Lihiap benar, maaf. Aku sampai lupa diri."
Ia menerima cawan itu dan sekali tenggak habislah isinya. Si Baju Hijau tersenyum manis dan menuangkan arak lagi.
"Untuk kedua kalinya kuharap kau suka menerima secawan sebagai tanda persahabatan"
Dengan sikap yang amat mesra ia menyerahkan cawan dan dalam kesempatan ini jari-jarinya yang halus menyentuh tangan Kam Si Ek.
Pemuda itu kelihatan bingung dan kikuk, alisnya yang berbentuk golok dan hitam itu bergerak-gerak, agaknya ia ragu-ragu bagaimana harus menghadapi wanita yang tiba-tiba berubah sikap ini.
"Cukup.. cukup"
Katanya dan merenggut cawan arak itu agar tidak terlalu lama tangannya terpegang jari-jari halus mungil.
"Ah, Kam-goanswe, masa tidak mau menerima penghormatanku?"
Si Baju Hijau berkata manja dan berdiri makin mendekat sehingga sebagian tubuhnya merapat, dadanya sengaja menyentuh lengan kiri Kam Si Ek. Hampir saja pemuda ini meloncat pergi, akan tetapi sebagai tuan rumah ia masih mempertahankan diri, hanya mengisar kaki menjauhi lalu berkata,
"Baiklah, kehormatan yang diberikan Lihiap kuterima!"
Ia minum lagi arak dari cawannya. Akan tetapi alangkah terkejut dan kikuknya ketika ia melihat nona muda cantik berpakaian hijau ini tidak kembali ke bangkunya di seberang, melainkan menyeret sebuah bangku dan duduk disampingnya! Ini dilakukan sambil tersenyum-senyum, matanya mengerling tajam penuh arti.
"Daripada berdebat yang bukan-bukan, yang sebetulnya tidak ada artinya sama sekali, bukankah lebih baik kita berteman? Kam-goanswe, kami sudah lama mendengar nama besarmu, sudah lama mengagumi Jenderal Muda Kam Si Ek yang gagah perkasa dan menjadi idaman setiap orang wanita di propinsi Shan-si! Kami bertiga enci adik tidak mempunyai niat buruk terhadap jenderal, melainkan hendak membantu usahamu, hendak menyerahkan jiwa raga mengabdi kepadamu, Kam-goanswe!"
Sambil berkata demikian, dengan lagak genit si baju hijau ini menggeser bangkunya sampai mepet dengan bangku Kam Si Ek. Si Baju Merah dan kuning segera tertawa-tawa dan mengitari meja, menarik bangku dan mengisi cawan arak.
"Betul sekali kata adikku yang bungsu. Kam-goanswe, kami menyerahkan jiwa raga asal kau suka kami temani!"
Kata yang tertua sambil menyerahkan secawan arak dan tangan kirinya memegang pundak pemuda tampan itu.
"Percayalah, kami bertiga sanggup mengangkatmu menjadi yang dipertuan di daerah ini."
Kata si baju kuning yang memeluk leher Kam Si Ek dari belakang! Dirayu dan dikeroyok tiga orang gadis-gadis cantik yang berbau harum ini, sejenak Kam Si Ek tertegun saking kaget dan herannya. Kemudian ia serentak bangkit dari bangkunya, melangkah mundur tiga tindak, mukanya merah sekali dan ia berkata, suaranya keren.
"sam-wi ini apa maksudnya bersikap seperti ini?"
"Maksud kami sudah jelas, masa Goanswe tidak tahu? Sudah lama kami kagum dan sekarang begitu berjumpa kami jatuh cinta, apakah kau tidak menghargai perasaan suci kami ini? kata Si Baju Merah tanpa malu-malu lagi.
Suling Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kam-goanswe, ribuan orang pemuda tergila-gila kepada kami dan semua kami tolak, sekarang melihatmu, kami bertiga sekaligus jatuh hati. Bukankah ini jodoh yang baik sekali?"
Kata Si Baju Kuning.
"Dengan kepandaian kami bertiga digabung kepandaianmu, apa sukarnya merampas kedudukan raja di waktu orang pandai sedang memperebutkan kekuasaan ini? Goanswe mempunyai tentara yang cukup banyak dan kuat."
Kata Si Baju Hijau.
"Gila!"
Kam-goanswe berseru marah.
"Pergilah kalian! Pergi dan jangan ganggu aku lagi. Pergi!"
Kam Si Ek marah bukan main, akan tetapi kemarahan ini agaknya belum menyamai kemarahan Liu Lu Sian yang mengintai di atas genteng. Gadis ini marah sekali kepada tiga orang perempuan yang dianggap tak tahu malu itu. Juga disamping kemarahannya ia pun kagum kepada Kam Si Ek! Sungguh jantan! Sungguh gagah dan keras hati, tidak tunduk oleh gadis-gadis cantik yang tergila-gila kepadanya.
"Dinggg!"
Tampak kilatan tiga batang pedang yang dicabut berbareng oleh tiga orang gadis jelita itu.
"Pilihan kami hanya dua. Kau menerima kerja sama dengan kami atau kau serahkan kepalamu untuk kami hadiahkan kepada Raja Muda Kerajaan Liang!"
"Bagus!"
Kam Si Ek melangkah mundur dua tindak dan mencabut goloknya yang berkilauan saking tajamnya. Telunjuk tangan kirinya menuding dan ia berkata bengis.
"Kalian tiga orang wanita muda tak tahu malu. Kalian datang mengaku sebagai See-liong-sam-ci-moi (Tiga Enci Adik Naga Barat), berlagak pendekar wanita yang bermaksud membantu karena melihat kesengsaraan rakyat dalam jaman perang perebutan kekuasaan. Aku menerima kalian dengan baik dan hormat. Kiranya kalian mengandung maksud hati yang kotor dan hina. Kalau aku memberi tanda, alangkah mudahnya anak buahku yang ribuan orang banyaknya datang menangkap kalian untuk dijatuhi hukuman mati. Akan tetapi aku Kam Si Ek seorang laki-laki sejati, tidak mengandalkan jumlah orang banyak. Majulah, dan sudah sepatutnya golokku mengakhiri riwayat kalian yang tersesat ke dalam jurang kenistaan!"
"Manusia sombong!"
Si Baju Merah meloncat dan bagaikan kilat menyambar pedangnya menusuk, berikut tubuhnya yang melayang kedepan, benar-benar seperti seekor naga menyambar. Hebat serangan ini, akan tetapi Kam Si Ek yang sudah siap dengan goloknya, menangkis keras.
"Tranggg!!"
Wanita baju merah itu terpental ke samping, akan tetapi dengan gerakan indah ia membuat loncatan salto dua kali. Adapun kedua orang adiknya juga sudah menerjang maju dengan loncatan-loncatan tinggi dan menyerang dengan pedang selagi tubuh mereka masih di udara. Kam Si Ek terkejut sekali. Tiga orang wanita ini benar-benar patut dijuluki Naga Barat, karena gerakan mereka benar-benar lincah dan cepat laksana naga menyambar. Ia cepat mengelak sambil memutar golok sehingga berhasil menangkis tusukan pedang dari kanan kiri. Akan tetapi tiga orang enci adik itu sudah mendesaknya dengan serangan pedang bertubi-tubi. Kam Si Ek cepat memutar goloknya dan mainkan ilmu silat keturunan keluarga Kam.
Pertahanannya kuat sekali, namun didesak oleh tiga batang pedang yang bekerja sama baik sekali, ia hanya mampu menangkis sambil berloncatan ke sana ke mari, sebentar saja terdesak hebat. Namun, sebagai seorang jantan Kam Si Ek berpegang kepada kata-katanya. Ia tidak mau berteriak minta bantuan para penjaga yang berada di luar gedung itu dan tetap mempertahankan diri dengan goloknya. Sewaktu pedang Si Baju Merah menusuk tenggorokan dan ia menangkis dengan golok, pedang Si Baju Kuning sudah membabat penggangnya. Cepat ia bergerak dengan jurus Burung Walet Membalikkan Tubuh, membuat gerakan memutar untuk mengelak sambil memutar goloknya melindungi tubuh belakang. Ia berhasil mengelak dan sekaligus menangkis babatan pedang Si Baju Hijau tepat pada waktunya.
Akan tetapi kembali pedang Si Baju Merah sudah menerjang datang, disusul dua buah pedang yang lain! Karena ketiga orang gadis lihai itu kini menghujankan serangan di tiga bagian, yaitu bawah tengah dan atas, maka sibuk jugalah Kam Si Ek. Dengan ilmu golok emasnya yang diputar merupakan benteng melindungi tubuhnya, ia hanya dapat melindungi bagian atas dan tengah saja, sehingga menghadapi penyerangan pedang dibagian bawah, ia harus meloncat-loncat yang membuat gerakan pemutaran goloknya terganggu. Setelah lewat tiga puluh jurus, pemuda ini mulai berputar-putar dan terdesak ke sana ke mari, semua jalan keluar telah dihadang oleh tiga orang gadis yang tertawa-tawa mengejek.
"Jenderal sombong, daripada mati diujung pedang, bukankah lebih baik kau memeluk tiga orang gadis jelita? Ah, alangkah goblok engkau! Mana bisa engkau melawan See-liong-sam-ci-moi? Kami benar-benar mencintaimu, Kam-goanswe!"
"Lebih baik aku mati!"
Teriak Kam Si Ek ganas dan melihat kesempatan selagi Si Baju Merah bicara, golok emasnya menyambar dengan pembalasan serangan dahsyat. Namun tiga batang pedang sudah menangkisnya dan kembali ia terkepung tiga gulungan sinar berkilau yang mematikan semua jalan ke luar itu. Liu Lu Sian yang menonton dari atas genteng, segera mengetahui bahwa biarpun Kam Si Ek memiliki tenaga yang cukup kuat, namun di bidang ilmu silat agaknya belum dapat diandalkan benar, jauh di bawah tingkat tiga orang gadis itu. Kemarahannya memuncak dan kekagumannya terhadap Kam Si Ek juga memuncak. Ia segera mengambil jarum-jarum rahasianya dan tiga kali tangannya bergerak disertai pengerahan sin-kang yang sepenuhnya.
Senjata rahasia jarum ini adalah ajaran ayahnya, penggunaannya amat sukar karena jarum-jarum itu kecil dan ringan sekali, harus disambitkan dengan sin-kang tertentu baru dapat meluncurcepat melebihi anak panah. Dan sekali jarum-jarum ini meluncur, sama sekali tidak mendatangkan suara, kalaupun ada, suara itu halus sekali sukar ditangkap telinga. Hebat sekali kesudahannya. Terdengar jerit melengking dan tiga orang gadis iti seperti disambar petir. Si Baju Merah melepaskan pedangnya dan berputar-putar seperti mabok, disusul Si Baju Kuning yang melemparkan pedang dan mencekik lehernya sendiri, kemudian Si Baju Hijau terjungkal dan melingkar-lingkar diatas lantai. Tiga orang gadis itu berkelojotan diatas lantai dan beberapa menit kemudian tak bergerak lagi. Si Baju Merah kemasukan jarum tepat diubun-ubunnya, Si Baju Kuning terkena lehernya dan Si Baju Hijau terserang dadanya. Jarum-jarum itu mengandung racun kelabang yang gigitannya menewaskan seketika, maka bukan main hebatnya.
Kam Si Ek berdiri dengan golok melintang didepan dada, matanya terbelalak lebar. Pada saat itu berkelebat bayangan memasuki pintu dan muncullah seorang wanita berpakaian serba putih, wajahnya cantik dan terang, usianya sebaya dengan Kam Si Ek. Wanita ini memegang sebatang pedang dan tangan kirinya menjambak rambut dua orang laki-laki berpakaian tentara lalu ia mendorong dua orang itu sehingga terguling diatas lantai, terus berlutut disitu dengan tubuh menggigil.
"Eh, Sute siapa mereka ini... ah, bukankah ini See-liong-sam-ci-moi yang menjadi tamu kita? Dan.. ah, mereka sudah tewas dan... kau memegang golok! Apa yang terjadi, Sute?"
Kam Si Ek menggunakan tangan kirinya menggosok mata lalu menyusut peluh di dahinya, menggeleng-geleng kepala.
"Bukan aku yang membunuh mereka, Suci. Tapi mereka patut tewas, mereka mempunyai niat busuk terhadap aku. Akan tetapi ....agaknya ada orang pandai membantu dan membunuh mereka.."
Wanita itu membanting-banting kakinya.
"Celaka! Mereka adalah tamu-tamu kita, mana patut tewas disini? Kalau ada orang yang membunuh mereka secara bersembunyi, belum tentu berniat baik. Kita harus cari dia untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya!"
Wanita baju putih itu meloncat keluar lagi.
"Nanti dulu, Suci. Dua orang ini... ada apakah?"
"Hemm, sialan benar. Dia dan lima orang lain melakukan pemerasan kepada beberapa orang pengungsi, malah mengganggu wanita. Yang lima kulukai, yang dua ini pemimpinnya, kubawa kesini untuk kau adili."
"Jahanam!"
Kam Si Ek menggerakkan kakinya menendang dan dua orang yang sial itu terlempar, kepala mereka membentur tembok, pecah dan tewas seketika. Beginilah watak Kam Si Ek yang benci akan penyelewengan-penyelewengan. Akan tetapi kakak seperguruannya, wanita baju putih itu sudah meloncat pergi keluar untuk mencari pembunuh See-liong-sam-ci-moi.
Kam Si Ek juga cepat lari keluar setelah menyambar gendewa dan anak panahnya. Dalam ilmu silat boleh jadi dia kurang pandai, akan tetapi ilmu panahnya terkenal di seluruh Shansi, di samping ilmunya mengatur siasat perang dan ilmu menunggang kuda. Ketika Kam Si Ek tiba di luar gedung, ia melihat para penjaga sudah ribut-ribut memandang keatas. Ketika ia berdongak, ia melihat bahwa sucinya telah bertanding pedang dengan hebatnya melawan seorang gadis yang gerakannya lincah sekali. Bulan malam itu menerangi jagat, akan tetapi dari bawah ia tidak dapat melihat siapa adanya gadis yang bertanding melawan enci seperguruannya itu.
"Goblok!"
Terdengar wanita itu memaki, suaranya nyaring dan merdu, melengking menembus kesunyian malam.
"Beginikah kalian membalas pertolongan orang?"
"Kau harus menyerah, tak boleh sembarangan membunuh orang ditempat kami,"
Jawab sucinya dengan suaranya yang tegas.
Pada saat itu, entah mengapa, tiba-tiba sucinya kehilangan keseimbangan tubuhnya, terhuyung diatas genteng dan sesosok bayangan yang bergerak seperti terbang telah menyambar tubuh wanita itu. Lu Sian kaget melihat lawannya wanita baju putih itu tiba-tiba menghentikan penyarangannya dan terhuyung, kemudian ia lebih kaget lagi ketika tubuhnya tiba-tiba menjadi lemas dan tahu-tahu ia telah disambar orang dan dipanggul pergi! Ketika melihat bahwa yang memanggulnya adalah Kwee Seng, ia meronta-ronta, namun tidak berhasil melepaskan diri. Ingin ia menusukkan pedangnya pada punggung pemuda ini, namun totokan tadi membuat tubuhnya terlalu lemas. Kam Si Ek sudah sejak tadi merasa berhutang budi kepada wanita yang ternyata telah menolongnya kalau tidak segera tertolong, rasanya ia takkan mampu menangkan See-liong-sam-ci-moi.
Tadinya ia sudah hendak meloncat naik mencegah sucinya menyerang wanita itu, sekarang melihat seorang laki-laki muda berpakaian pelajar memondong wanita itu, ia menyangka bahwa tentulah pemuda itu, seorang jahat. Cepat ia memberi aba-aba untuk menyerang pemuda itu dengan anak panah, sedangkan ia sendiri pun lalu mementang gendawanya. Akan tetapi pemuda itu hanya menengok sambil tersenyum. Wajah yang tampan itu tersinar bukan dan hatinya Kam Si Ek tercengang. Pemuda itu tampan bukan main dan senyumnya manis sekali! Tentu sebangsa jai-hwa-cat (penjahat cabul) yang hendak melarikan gadis dengan maksud kotor dan rendah!
"Lihat panah!"
Bentaknya dan sekali gendawanya menjepret, lima batang anak panah menyambar ke arah tubuh belakang Kwee Seng!
"Bagus!"
Kwee Seng yang masih menengok itu tersenyum lebar dan memuji, karena kepandaian melepas panah itu benar-benar hebat. Lima anak panah itu menuju kelima bagian jalan darah dipunggung dan kakinya, dan dengan kecepatan yang luar biasa!
Cepat tangan kirinya mencabut kipasnya dan ia harus mengerahkan lwee-kangnya untuk mengebut dan meruntuhkan anak-anak panah itu. Akan tetapi kini para perajurit panah sudah pula ikut melepaskan anak panah, sedangkan Kam Si Ek dengan kecepatan luar biasa sudah pula menghujankan anak panahnya. Terpaksa Kwee Seng kembali mengebut sambil mengerahkan sin-kang-nya, kemudian sekali berkelebat tubuhnya sudah meloncat jauh, kemudian berlari cepat setelah tubuhnya melayang turun dan sekali ia menggerakkan kakinya, ia telah meloncat ke atas tembok benteng. Hujan anak panah lagi dari kanak kiri, namun pelepasan anak panah oleh para perajurit itu tentu saja tidak begitu dihiraukan oleh Kwee Seng. Sekali kipasnya mengebut, angin kebutannya sudah membuat semua anak panah menyeleweng arahnya atau runtuh ke bawah. Kemudian ia meloncat keluar tembok dan lenyap!
"Suci...! Dimana kau...?"
Kam Si Ek berseru, akan tetapi ia tidak melihat kakak seperguruannya itu. Namun ia mempunyai banyak pekerjaan, maka ia tidak mencarinya lagi, melainkan cepat mengatur anak buahnya untuk melakukan penjagaan yang lebih kuat dan memerintah orang-orang untuk mengurus lima buah mayat yang menggeletak dilantai ruangan gedung. Malam itu juga ia mengadili lima orang lain yang dilukai encinya dan menggunakan kesempatan ini untuk mengancam para tentara dengan hukuman berat apabila ada yang berani melakukan penyelewengan. Kemudian ia masuk kedalam kamarnya dan duduk termenung. Ia maklum bahwa tidak semua anggota bala tentaranya setia kepadanya, karena sesungguhnya, ia tidak mampu memberi belanja yang cukup kepada mereka. Banyak diantara mereka yang diam-diam ingin mengabdi kepada Raja Liang atau kepada Gubernur Li yang juga sudah mengangkat diri sendiri sebagai raja muda di Shan-si.
"Tidak,"
Bantah suara hatinya.
"sebelum muncul pemimpin yang betul-betul akan membuat rakyat Shan-si khususnya hidup aman tentran dan makmur, aku tidak akan mengabdi kepada siapapun juga!"
Sementara itu, Lu Sian terus meronta-ronta, kedua kakinya digerak-gerakkan dan akhirnya Kwee Seng menurunkannya didalam hutan tempat mereka tadi beristirahat sambil membebaskan totokannya. Dengan pedang didepan dada Lu Sian meloncat maju dan membentak.
"Kwee Seng, kali ini kau terlalu! Mengapa kau mengganggu urusanku? Apakah kau hendak pamer kepandaianmu?"
"Eh, Sian-moi..., aku hanya hendak mencegah kau menimbulkan keributan ditempat orang, aku... aku hanya bermaksud menolongmu..."
"Siapa butuh pertolongan mu? Siapa sudi? Kwee Seng, agaknya disamping kelemahan hatimu, kau juga memiliki kesombongan memandang rendah orang lain. Apa yang kulakukan, kau peduli apakah?"
"Sian-moi, mengapa kau berkata demikian? Bagaimana aku dapat tidak mempedulikan apa yang kau lakukan? Sian-moi... kau sudah tahu akan perasaan hatiku, tak perlu kusembunyikan lagi. Aku cinta padamu! Nah, sekarang terlepaslah sudah ganjalan hatiku. Aku mencintaimu, tentu saja aku tak dapat membiarkanmu terancam bahaya atau melakukan hal-hal yang tidak semestinya. Kam Si Ek seorang patriot sejati, seorang gagah perkasa, tak boleh diganggu..."
"Cukup! Biar seribu kali kau mencintaku, kau belum berhak untuk mengurusi persoalanku. Aku bukan apa-apamu, tahu? Kau boleh mencintaku sampai mampus, akan tetapi aku tidak mencintaimu! Dengar baik-baik, Kwee Seng, aku tidak cinta kepadamu! Kau memang tampan, kau memang gagah perkasa, memiliki kesaktian tinggi melebihi aku, akan tetapi kau lemah! Kau bukan laki-laki sejati, hatimu lemah, mudah jatuh. Kau kira aku cinta kepadamu? Ihh! Aku suka ikut bersamamu karena mengharapkan kepandaianmu yang kau janjikan kepadaku di depan ayah. Nah kau dengar sekarang? Setelah kau ketahui pendirianku, apakah kau kini hendak menarik janjimu lagi seperti layaknya seorang pengecut?"
Bukan main hebatnya serangan ini bagi Kwee Seng, seakan-akan ribuan batang jarum berbisa menusuk-nusuk jantungnya. Wajahnya sebentar pucat sebentar merah, tubuhnya gemetar, bibirnya menggigil, matanya sayu dan dua butir air mata membasahi pipinya. Kemudian ia menggertak gigi mengeraskan perasaan, menguatkan hatinya, mengepal tangan dan berkata sambil menengadahkan muka ke langit.
"Bagus sekali! Memang kau patut menjadi puteri Pat-jiu- Sin-ong! Aku yang bodoh. Ha-ha-ha, aku yang tolol. Orang macamku mana berharga menjatuhkan hati padamu? Tidak, Liu Lu Sian, aku tidak menarik janjiku! Kapan saja kau minta, akan kuturunkan ilmuku yang kupakai mengalahkan kau dipanggung Beng-kauw ketika itu. Memang aku cinta kepadamu, dan kau tidak mencintaiku sama sekali. Ha-ha-ha, biarlah, biar dirasakan oleh hati yang rakus ini, oleh pikiran yang pendek dan tak tahu diri ini, Si Cebol merindukan bulan, ha-ha-ha!"
Senang bukan main hati Liu Lu Sian.
Memang beginilah watak gadis puteri Beng-kauwcu ini. Mungkin karena semenjak kecil terlalu dimanja, atau memang memiliki watak aneh keturunan ayahnya yang terkenal sebagai tokoh aneh di dunia kang-ouw, gadis ini suka sekali melihat laki-laki, sebanyak-banyaknya, jatuh hati kepadanya. Suka Ia menggoda, menonjolkan kejelitaannya agar mereka makin dalam terperosok, kemudian akan ia kecewakan mereka, akan ia permainkan mereka dan melihat mereka menderita, ia akan mentertawakannya!
"Untung engkau masih belum terlalu rendah untuk menarik kembali janjimu. Kwee Seng, aku menuntut janjimu itu pada besok malam, tepat tengah malam, disini juga. Aku akan menjumpaimu disini dan..."
"Tidak, Liu Lu Sian. Tempat ini kurang sepi, mungkin ada orang lewat dan akan melihat kita. Kau lihat bukit disana itu. Tampaknya sukar didatangi, terjal dan liar. Jangan kira mudah menerima ilmu. Aku hanya mau menurunkan ilmuku kepadamu di puncak bukit itu. Besok malam tengah malam tepat, aku menantimu disana!"
Lu Sian menengok kearah timur. Matahari mulai muncul dan tampaklah bayangan sebuah bukit yang tak berapa jauh dari tempat itu. Bukit yang bentuknya aneh, puncaknya mencuat tinggi bentuknya seperti kepala naga atau kepala mahluk aneh.
"Baik, besok malam aku akan berada di puncak itu!"
Setelah berkata demikian, Lu Sian meloncat keatas kudanya dan melarikan kuda itu pergi meninggalkan Kwee Seng. Pemuda itu berdiri tegak seperti patung, mendengarkan derap kaki kuda yang makin lama makin jauh, lalu ia meramkan matanya, serasa perih hatinya, serasa jantungnya dirobek dan serasa semangatnya terbang melayang mengikuti suara derap kaki kuda yang membawa lari Lu Sian, gadis yang selama ini memenuhi hatinya. Tiba-tiba ia tertawa dan menampar kepalanya sendiri.
"Ha-ha-ha, tolol! Gila perempuan!!"
Kwee Seng lalu mengambil guci araknya dan minum dari guci araknya dan minum dari guci itu tanpa takaran lagi. Arak menggelok memasuki kerongkongannya. Tiba-tiba ia berhenti minum dan menengok memandang kearah gerombolan pohon kembang kecil yang belum kebagian sinar matahari pagi, masih gelap. Biarpun perasaannya terganggu batinnya terpukul hebat, namun telinga pemuda ini masih amat tajam, perasaannya masih amat peka terhadap bahaya. Ia mendengar gerakan orang disitu, maka tegurnya,
"Siapakah mengintai disitu?"
Sesosok bayangan putih berkelebat keluar dari belakang pohon-pohon dan seorang gadis berdiri dihadapan Kwee Seng dengan muka merah dan sinar mata membayangkan rasa malu. Gadis ini cepat menjura dengan hormat sambil berkata.
"Harap Taihiap sudi memaafkan. Sesungguhnya bukan maksud saya untuk mengintai, akan tetapi keadaan tadi membuat saya tidak berani untuk keluar memperkenalkan diri."
Kwee Seng cepat membalas penghormatan gadis yang memakai pakaian serba putih ini. Gadis bermata jernih, bermuka terang dan bersikap gagah, yang belum pernah ia kenal. Akan tetapi ia segera teringat bahwa gadis inilah agaknya Si Bayangan Putih yang bertempur melawan Lu Sian diatas genteng benteng tadi.
"Hemm, kalau sudah lama Nona mengintai, agaknya tak perlu lagi memperkenalkan diri, tentu Nona sudah mengetahui segalanya!"
Kata Kwee Seng dengan hati mengkal karena adegan Lu Sian yang amat memalukan, yang merendahkan dirinya.
"Sekali lagi maaf, Taihiap. Sesungguhnya saya melihat dan mendengar semua dan sekarang tahulah saya bahwa gadis lihai yang secara aneh mendatangi benteng adik seperguruanku itu bukan lain adalah Nona Liu Lu Sian puteri Beng-kauwcu yang amat terkenal. Sungguh merupakan hal yang tidak pernah kami duga, dan andaikata dia datang memperkenalkan diri secara wajar, sudah pasti kami akan menyambutnya dengan segala kehormatan. Akan tetapi, nasi sudah menjadi bubur dan saya merasa bersalah terhadap Kwee-taihiap yang amat saya kagumi karena kesaktiannya. Oleh karena itu, saya persilahkan Kwee-taihiap sudi singgah di benteng kami untuk mempererat persahabatan dan untuk menambahkan pengetahuan kami yang dangkal."
Diam-diam Kwee Seng kagum. Biarpun hanya seorang wanita, seorang gadis muda, namun nona ini benar-benar jauh bedanya dengan wanita-wanita yang ia temui. Nona ini membayangkan otak tajam, pandangan luas, sopan-santun dan hati-hati, seperti sikap orang yang sudah banyak pengalaman. Ia lalu teringat bahwa ia belum menanyakan nama, dan sebagai seorang yang begitu luas pandangannya seperti nona ini, tentu saja tak mungkin akan memperkenalkan nama kalau tidak ditanya.
"Terima kasih, Nona baik sekali. Setelah nona mengetahui namaku, agaknya boleh juga aku mengenal nama nona yang terhormat?"
"Saya yang bodoh bernama Lai Kui Lan, membantu perjuangan Kam-sute (Adik Seperguruan Kam). Saya murid tunggal dari mendiang ayah Kam-sute, akan tetapi saya yang bodoh tak dapat mewarisi sepersepuluhnya dari ilmu silat keluarga Kam."
Kembali jawaban yang mengagumkan hati Kwee Seng. Ah, kalau saja Liu Lu Sian mempunyai watak dan sikap seperti nona baju putih ini, pikirnya.
"Sekali lagi terima kasih atas undangan Nona Liu yang manis budi. Akan tetapi, sebetulnya saya tidak ingin mengganggu ketenteraman Nona dan Kam-goanswe. Tadi pun saya hanya bermaksud mencegah terjadinya hal-hal yang mendatangkan kekacauan, maka maafkan kalau tadi saya melakukan kesalahan turun tangan terhadap Nona, karena maksud saya hanya menghentikan pertandingan."
Kui Lan menundukkan mukanya dan pipinya merah sekali. Akan tetapi ia menjawab dengan sikap sederhana merendah,
"Ilmu kepandaian Kwee-taihiap telah membuka mata saya. Saya ulangi lagi, atas nama Kam-sute juga, kami persilakan Kwee-taihiap untuk singgah dan menerima penghormatan kami."
"Tidak bisa, Nona Lai. Terima kasih. Saya harus pergi sekarang juga."
Setelah berkata demikian, Kwee Seng mengangkat kedua tangan memberi hormat, lalu melompat keatas kudanya dan meninggalkan guci araknya yang sudah kosong. Hatinya yang penuh rasa nelangsa itu agaknya membuat ia tidak pedulian, sehingga guci arak kosong tidak pula dibawanya. Setelah pemuda itu pergi, Lai Kui Lan berdiri termenung ditempat itu. Berkali-kali ia menarik napas panjang, kemudian pandang matanya bertemu dengan guci arak. Ia melangkah maju, membungkuk dan mengambil guci arak itu.
Tanpa ia sadar, ia menekankan guci arak kosong itu pada dadanya, dan ia meramkan matanya seakan-akan guci arak yang tadi ia lihat diminum oleh Kwee Seng itu mewakili diri pemuda sakti yang telah membuat jantungnya menggetar-getar itu. Kalau Lu Sian memandang rendah dan menghina Kwee Seng, sebaliknya Lai Kui Lan ini sekaligus jatuh cinta saking kagumnya melihat Kwee Seng dalam segebrakan merobohkan dia! Memang aneh-aneh di dunia ini, apa lagi kalau menyangkut asmara yang mengamuk dihati orang-orang muda. Lai Kui Lan yang berwatak gagah dan polos ini sekali jumpa jatuh dan mencintai Kwee Seng, akan tetapi yang dicintanya tidak tahu akan hal ini karena Kwee Seng kegilaan Liu Lu Sian. Sebaliknya Lu Sian tidak mau membalas cinta kasih Kwee Seng dan gadis liar ini kagum kepada Kam Si Ek!
Ketika Lai Kui Lan sadar kembali akan keadaan dirinya, mukanya menjadi makin merah dan beberapa butir air mata terlontar keluar dari pelupuk matanya. Teringat akan keadaan Kwee Seng ia bergidik. Kasihan sekali pendekar itu. Jatuh cinta kepada puteri Beng-kauwcu. Ia sudah mendengar akan Liu Lu Sian puteri Beng-kauwcu, gadis jelita dan perkasa yang sudah menjatuhkan hati entah berapa banyak pemuda. Ia mendengar pula tentang para muda yang menjadi korban di Beng-kauw. Dan kini agaknya pendekar sakti Kwee Seng menjadi korban pula. Kemudian ia teingat akan sutenya, Kam Si Ek. Ada persamaan antara Liu Lu Sian dan Kan Si Ek. Sutenya itu pun menjadi rebutan para gadis, membuat banyak gadis tergila-gila, akan tetapi sutenya tetap tidak mau menerima cinta seorang diantara mereka. Banyak pula yang menjadi korban asmara, diantaranya tiga orang enci adik See-liong-sam-ci-moi-itu! Teringat pula akan janji Kwee Seng untuk menurunkan ilmu pada besok tengah malam di puncak bukit sebelah timur, ia merasa ngeri.
Bukit itu terkenal dengan nama Liong-kui-san (Bukit Siluman Naga), biarpun bukan sebuah di antara gunung-gunung besar, namun didaerah itu amat terkenal sebagai bukit yang sukar didatangi orang, serem dan dikabarkan banyak setannya. Kam Si Ek sendiri melarang anak buahnya naik gunung itu, karena memang keadaannya amat berbahaya dan harus diakui bahwa ada sesuatu yang membuat puncak bukit itu kelihatan aneh. Banyak jurang-jurang yang tak terukur dalamnya, dan disana mengalir pula sungai yang deras airnya, sungai yang sumbernya dari dalam gunung dan yang kemudian menggabung dengan sungai Wu-kiang. Sungai ini pun oleh penduduk diberi nama Liong-hiat-kiang (Sungai Darah Naga), karena pada saat tertentu sinar matahari membuat sungai itu kelihatan kemerahan seperti darah! Kemudian Lai Kui Lan mengeluh dan berjalan dengan langkah gontai sambil mendekap guci arak. Semangatnya seolah-olah melayang pergi mengikuti bayangan Kwee Seng Si Pendekar Muda yang sakti dan tampan!
Kwee Seng yang merana hatinya oleh pengakuan Liu Lu Sian yang tidak membalas cinta kasihnya, membalapkan kudanya menjauhi letak benteng Jendral Kam Si Ek. Karena teringat akan janjinya kepada Liu Lu Sian, ia lalu membelokkan kudanya kearah timur dan hatinya lega ketika memasuki sebuah dusun tak jauh dari kaki gunung, sebuah dusun yang cukup ramai, bahkan disitu terdapat sebuah rumah penginapan sederhana yang membuka pula sebuah restoran. Untung baginya, rumah penginapan itu dalam keadaan kosong tidak ada tamu sehingga keadaan sunyi dan ia tidak benyak menunggu. Kwee Seng menjual kudanya dengan perantaraan pengurus hotel, kemudian ia minum mabok-mabokan sambil bernyanyi-nyanyi untuk mengusir pergi kerinduan dan kesedihan hatinya. Sebentar saja para pelayan hotel memberinya nama Sastrawan Pemabok! Dalam maboknya Kwee Seng menyanyikan sajak-sajak romantis ciptaan penyair terkenal Li Tai Po.
Tangan Geledek Eps 32 Tangan Geledek Eps 2 Tangan Geledek Eps 9