Suling Emas 17
Suling Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 17
Dengan jari-jarinya yang terlatih ia dapat membalik-balik dua biji dadu sesuka hatinya, apalagi kalau hanya sebuah! Alangkah mudahnya. Tiap kali ia menutup mangkok, matanya yang seperti terpejam itu sekelebatan dapat melihat angka yang berada di permukaan biji dadu, kemudian di waktu membuka mangkok, cepat jari-jari tangannya yang memegang mangkok dan tersembunyi di belakang mangkok bekerja membalik biji-biji dadu menjadi angka-angka yang hanya dipasangi taruhan-taruhan kecil. Dengan cara demikian, selalu pemasang taruhan besar akan kalah. Sekarang, jembel gila ini bertaruh angka ganjil untuk sebuah biji dadu. Alangkah mudahnya untuk membalikkan biji dadu itu agar permukaannya yang genap berada di atas untuk memperoleh kemenangan seratus dua puluh tail. Alangkah mudahnya!
"Baik!"
Katanya.
"Semua orang disini menjadi saksi. Kau memasang angka ganjil!"
Kemudian ia menggulung kedua lengan bajunya lebih tinggi lagi, dan memutar-mutar dadu ke dalam mangkok. Gerakannya cepat sekali sehingga dadu yang berputaran di dalam mangkok itu tidak kelihatan lagi saking cepatnya, kemudian dengan gerakan tiba-tiba, ia membalikkan mangkok keatas meja dengan biji dadu dibawahnya.
"Heh-heh-heh!"
Si Bandar mengusap peluh di dahinya.
"Apakah kau tidak merobah pasanganmu? Tetap ganjil? Boleh pilih, sobat. Selagi mangkok belum dibuka kau berhak memilih. Ganjil atau genap?"
Suasana makin tegang, akan tetapi sambil tersenyum dingin Kwee Seng menaruh kedua tangannya di atas meja, di depannya, dan ia tenang-tenang menjawab.
"Aku tetap memasang angka ganjil!"
Si Bandar dengan tangan agak gemetar memegang mangkok, mulutnya berkata.
"Nah, siap untuk dibuka, semua orang menjadi saksi!"
Jari-jarinya bergerak dan mangkok diangkat, dibarengi seruan Si Bandar.
"Heeeeeiiitt!"
Semua mata memandang kepada biji dadu yang telentang, jelas memperlihatkan lima buah titik merah.
"Ganjil...!"
Semua mulut berseru.
"Aaahhhhh..."
Si Bandar menjadi pucat, berdiri terlongong keheranan memandang ke arah biji dadu, hampir tidak percaya kepada matanya sendiri. Tadi ketika menutup mangkok, jelas ia dapat mengintai bahwa dadu itu tadi berangka lima, maka ketika membuka mangkok, telunjuknya sudah menyentil dadu itu agar membalik ke angka enam atau empat. Akan tetapi mengapa dadu itu tetap telentang pada angka lima, padahal ia yakin betul bahwa sentilan jarinya tadi berhasil baik? Apakah kurang keras ia menggunakan jarinya?
"Heh-heh-heh, apakah kemenanganku hanya cukup kau bayar dengan seruan ah-ah-eh-eh? Hayo bayar seratus dua puluh tail!"
Kata Kwee Seng tertawa-tawa. Empat orang tukang pukul sudah siap dengan tangan di gagang golok, akan tetapi bandar itu tidak memberi tanda maka mereka tidak berani turun tangan. Bandar itu menggunakan ujung jubahnya untuk mengusap peluh yang memenuhi muka dan lehernya, kemudian ia tertawa ha-hah-heh-heh.
"Tentu saja dibayar, sobat. Anda mujur sekali! Akan tetapi, apakah kau termasuk botoh kendil?"
Kwee Seng memang bukan seorang penjudi, tentu saja ia tidak mengerti apa artinya istilah "botoh kendil!"
Ini. Botoh berarti penjudi, adapun kendil adalah perabot dapur untuk masak nasi. Ia mengerutkan kening, mengira istilah itu merupakan makian.
"Apa maksudmu? Apa itu botoh kendil?"
Jawaban ini membuat semua orang yang hadir makin terheran. Dari jawaban ini saja mudah diketahui bahwa jembel ini bukanlah seorang ahli judi, bagaimana mendadak ia begini berani bertaruhan besar dan malah menang?
"Botoh kendil adalah penjudi yang segera lari meninggalkan gelanggang begitu mendapat kemenangan, termasuk golongan yang licik!"
Jawab Si bandar yang juga terheran-heran. Kwee Seng tertawa, tidak jadi marah.
"wah, belum apa-apa kau sudah takut kalau-kalau aku pergi membawa kemenanganku. Bandar macam apa kau ini, tidak berani menghadapi kekalahan? Jangan kuatir, tikus, aku tidak akan lari. Hayo bayar dulu kemenanganku!"
Dengan tangan gemetar akan tetapi mulut memaksa senyum, bandar itu memerintahkan pembantunya untuk membayar jumlah taruhan itu, dimasukkan ke dalam pundi-pundi hitam. Ketika menerima pembayaran ini, Kwee Seng lalu menaruh pundi-pundi baru di sebelah pundi-pundi kuningnya sambil berkata, suaranya nyaring.
"Sekarang kupertaruhkan semua ini, dua ratus empat puluh tail!"
"Ohhhh.....!!!"
Kini orang-orang yang tadinya bermain di meja-meja kecil menjadi tertarik dan berkerumunlah mereka di sekeliliing meja besar. Seakan-akan menjadi terhenti sama sekali perjudian di dalam ruangan itu, semua penjudi menjadi penonton dan yang berjudi hanyalah Kwee Seng seorang melawan Si Bandar bermata sipit. Bandar ini pun kaget, akan tetapi kini wajahnya berseri-seri. Kiranya jembel ini benar-benar gila. Dengan begini, sekaligus ia dapat menarik kembali kekalahannya, bahkan sekalian menarik uang modal Si Jembel! Kalau tadi ia mungkin kurang tepat menyentil dadu, sekarang tidak mungkin lagi. Ia akan berlaku hati-hati dan pasti kali ini ia akan menang.
"Bagus! Kau benar-benar menjadi penjudi jempol!"
Ia memuji sambil mulai memutar-mutar biji dadu ke dalam mangkok.
"Huh, aku bukan penjudi, sama sekali tidak jempol."
Kwee Seng membantah, akan tetapi matanya mengawasi dadu yang berputar-putar dimangkok, sedangkan kedua tangannya masih ia tumpangkan diatas meja di depan dadanya. Si Bandar menggerakkan tangannya dan dengan cepat mangkok itu sudah tertelungkup lagi diatas meja menyembunyi kan dadu dibawahnya.
"Nah, sekarang ulangi taruhanmu biar disaksikan semua orang!"
Si Bandar berkata, suaranya agak gemetar karena menahan ketegangan hatinya. Ia tadi melihat jelas bawa biji dadu yang ditutupnya itu telentang dengan angka dua di atas! Jadi genap! Ia mengharapkan Si Jembel ini tidak merobah taruhannya.
"Aku mempertaruhkan dua ratus empat puluh tail untuk angka ganjil!"
Kwee Seng berkata tenang tapi cukup jelas. Muka Si Bandar berseri gembira, mulutnya menyeringai penuh kemenangan ketika ia tertawa penuh ejekan.
"Bagus, semua orang mendengar dan menyaksikan. Dia bertaruh dengan pasangan angka ganjil. Nah, siap dibuka, kali ini kau pasti kalah!"
Tangannya membuka mangkok dan tentu saja jari tangannya tidak melakukan gerakan apa-apa karena ia sudah tahu betul bahwa dadu itu berangka dua, jadi berarti genap. Begitu tangannya yang kiri membuka dadu, tangan kanan siap untuk menggaruk dua buah pundi-pundi uang penuh perak berharga itu.
"Wah, ganjil lagi...!!"
Seru semua orang dan Si Bandar menengok kaget. Kedua kakinya menggigil ketika matanya melihat betapa dadu itu kini jelas memperlihatkan titik satu! Bagaimana mungkin ini? Ia mengucek-ngucek matanya. Tadi ia jelas melihat titik dua!
"Heh-heh-heh, mengapa kau mengosok-gosok mata? Apakah matamu lamur? semua orang melihat jelas bahwa itu angka satu, berarti ganjil. Kau kalah lagi dan hayo bayar aku dua ratus empat puluh tail!"
Bandar itu bangkit berdiri, dahinya penuh peluh dingin sebesar kedele.
"Ini... ini tak mungkin... bagaimana bisa ganjil lagi...?"
Ia sudah memandang ke arah empat tukang pukul, siap untuk memerintahkan menangkap Si Jembel, menyeretnya keluar dan memukulinya, kalau perlu membunuhnya.
"Hayo bayar!"
Kwee Seng berkata.
"Apakah rumah judi ini tidak mampu bayar lagi?"
Selagi Si Bandar Judi tergagap-gagap dan empat orang tukang pukul lain sudah siap pula datang mendekat dengan wajah beringas, tiba-tiba terdengar suara tertawa-tawa. Dari sebelah dalam muncullah seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih, akan tetapi pakaiannya penuh tambal-tambalan, pakaian pengemis!
"Orang muda ini sudah menang mengapa tidak lekas-lekas dibayar?"
Kata pengemis tua itu. Heran tapi nyata! Si Bandar kelihatan takut dan cepat-cepat duduk memerintahkan pembantunya membayar dua ratus empat puluh tail perak, sedangkan para tukang pukul itu mundur dengan sikap hormat sekali! Si Kakek Pengemis itu lalu berjalan menghampiri bandar, mengambil tempat duduk di dekat bandar, berhadapan dengan Kwee Seng!
"Baiklah, Pangcu,"
Kata Si Bandar dan mendengar sebutan Pangcu (Ketua Perkumpulan) ini, diam-diam Kwee Seng melirik dan memandang kakek itu penuh perhatian. Usianya lima puluh lebih, pakaiannya tambal-tambalan akan tetapi jelas bukan pakaian butut, melainkan kain bermacam-macam yang masih baru sengaja dipotong-potong dan disambung-sambung. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat yang kini disandarkan di bangkunya sedangkan kedua tangannya ditaruh di atas meja di depan dadanya.
Diam-diam Kwee Seng menduga bahwa kakek ini tentulah seorang yang berilmu tinggi, maka ia bersikap hati-hati. Tadi ia telah menggunakan tenaga lwee-kangnya memperoleh kemenangan, yaitu dengan hawa lwee-kang disalurkan melalui tangan menekan meja membuat biji dadu itu tetap atau membalik sesuka hatinya. Dua buah pundi-pundi hitam telah dibayarkan kepadanya dan kini di depan Kwee Seng terdapat empat pundi-pundi uang yang isinya semua empat ratus delapan puluh tail! Setelah membayar, Si Bandar ragu-ragu untuk melanjutkan perjudian, karena ia takut kalau kalah. Kalau sampai kalah lagi, ia akan celaka, harus mempertanggung jawabkan kekalahannya yang aneh! Akan tetapi ketika ia melirik ke arah kakek itu, Si Kakek berkata perlahan.
"Teruskan, biar aku menyaksikan sampai di mana nasib baik orang muda ini."
Mendengar ini, Si Bandar berseri lagi wajahnya. Ucapan itu berarti bahwa Si Kakek hendak membantunya dan tentu saja dengan adanya perintah ini, tanggung jawab digeser dari pundaknya. Siapakah kakek ini? Dia ini bukan lain adalah ketua dari Ban-hwa Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Selaksa Bunga). Tadinya rumah judi itu dibuka oleh para pencoleng kota, akan tetapi kurang lebih setengah tahun yang lalu, secara tiba-tiba rumah judi itu diberi nama Ban-hwa-po-koan, karena sesungguhnya, terjadi perubahan hebat pada Ban-hwa Kai-pang.
Perkumpulan pengemis ini secara tiba-tiba berubah sepak terjangnya dan dengan kekerasan menguasai rumah judi itu pula. Karena para pimpinannya memang berilmu tinggi, tidak ada yang berani menentangnya, bahkan para penjahat menjadi sekutu mereka. Inilah sebabnya mengapa bandar dan para tukang pukul yang mengenal Koai-tung Tiang-lo (Orang Tua Tongkat Setan) Ketua ban-hwa Kai-pang, menjadi ketakutan, akan tetapi juga lega karena dengan hadirnya ketua ini, mereka menjadi besar hati. Si Bandar dengan semangat baru telah memutar-mutar dadu di dalam mangkok lagi. Lalu ia membalikkan mangkok di atas meja. Ia melihat jelas bahwa dadu itu berangka tiga, maka dengan ujung kakinya ia menyentuh kaki Koai-tung Tiang-lo tiga kali untuk memberi tahu. Kakek itu mengangguk-angguk dan tersenyum dengan ujung mulut ditekuk ke bawah, penuh ejekan.
"Nah, sekarang kau mau bertaruh berapa dan dengan pasangan ganjil atau genap?"
Keadaan menjadi tegang dan sunyi kembali, lebih tegang daripada tadi. Semua orang yang berada di situ, biarpun sebagian tidak mengenal kakek pengemis, namun dapat menduga bahwa kakek itu tentulah seorang berpengaruh dan berpihak kepada rumah judi. Benar-benar amat menarik melihat jembel muda yang rambutnya awut-awutan dan yang bernasib baik itu kini berhadapan dengan seorang pengemis tua yang serba bersih. Baru pertama kali ini terjadi hal begitu menarik di dalam rumah judi sehingga semua orang menonton dengan hati berdebar-debar, bahkan yang tadinya murung karena kalah, sejenak lupa akan kekalahannya. Sambil menarik ke arah kakek itu Kwee Seng mendorong empat pundi-pundi perak sambil berkata.
"Tidak ada perubahan, kupertaruhkan semua, empat ratus delapan puluh tail perak dengan pasangan angka ganjil!"
Si Bandar mengerling ke arah kakek, tampaknya bingung. Akan tetapi kakek itu tersenyum dan memberi tanda dengan mata supaya Si Bandar bekerja seperti biasa, yaitu menggunakan jari tangannya yang lihai itu membalikkan dadu agar membalikkan dadu agar membalik menjadi angka empat atau dua. Dengan gerakan hati-hati Si Bandar menangkap pantat mangkok, jari-jari tangannya menyelinap masuk dan pada saat itu ia merasa betapa siku tangannya di pegang oleh kakek pengemis dan terasa betapa hawa yang hangat memasuki lengannya sampai ke jari-jari tangannya. Bandar ini sedikit banyak tahu akan ilmu silat, maka ia girang sekali, maklum bahwa ketua pengemis itu membantunya dengan tenaga sin-kang.
"Siap Buka... heeeiittt! Aduuhhh....!"
Si Bandar berteriak kesakitan ketika mangkok dibuka. Jari-jari tangannya yang menyentil biji dadu seakan-akan digencet antara dua tenaga yang merupakan dua jepitan baja, tertekan oleh hawa sin-kang Si Kakek dan terhimpit dari depan oleh hawa yang tidak tampak yang entah bagaimana memasuki biji dadu. Cepat ia menarik kembali tangannya.
"Ganjil lagi...!"
"Hebat...!!"
Semua orang berseru ketika melihat biji dadu itu memperlihatkan angka tiga! Diam-diam Si Kakek menatap wajah Kwee Seng. Ia maklum bahwa jembel muda ini bukan orang sembarangan, dan maklum pula bahwa tadi ia gagal membantu karena jembel muda itu menyerang dengan dorongan berhawa sin-kang dari jari-jari tangan, mencegah Si Bandar menggulingkan biji dadu dengan jari tangan! Wajah bandar itu pucat sekali, berkedip-kedip ia memandang ke arah kakek. Ia jelas merasa gelisah dan mohon bantuan. Kakek itu hanya tersenyum dan berkata.
"Sahabat muda ini besar sekali untungnya. Dia sudah menang, tidak lekas dibayar mau tunggu kapan lagi?"
Mendengar ini, Si Bandar dan para pembantunya sibuk mengumpulkan uang, akan tetapi mana cukup untuk membayar jumlah begitu besar? Bandar itu terpaksa lari ke sebelah dalam untuk mengambil kekurangan uang dari kas besar! Jumlah yang dibayarkan ini adalah hasil beberapa hari! Orang-orang di situ makin terheran-heran melihat betapa jembel muda yang kini sudah menjadi raja uang dengan kemenangan-kemenangan besar sehingga di depannya berjajar delapan pundi-pundi yang jumlahnya hampir seribu tail perak, masih belum puas agaknya buktinya ia masih memandang ke arah mangkok dadu. Kini kakek pengemis itu yang bertanya.
"Sahabat muda masih berani melanjutkan?"
Kwee Seng tertawa, menengok ke kanan kiri.
"Mana arak? Berilah seguci arak berapa saja kubeli. Aku sudah menjadi kaya-raya, ha-ha-ha!"
Seorang tukang pukul menerima tanda kedipan mata dari kakek pengemis, cepat-cepat ia menggotong seguci besar arak dan meletakkannya di depan Kwee Seng,
"Tidak usah bayar, sahabat. Arak ini adalah suguhan kami untuk tamu yang menjadi langganan baik."
Kata Si Kakek yang kini tidak sembunyi-sembunyi lagi bersikap sebagai tuan rumah.
"Bagus! Terima kasih! Sudah diberi kemenangan besar, masih disuguhi arak lagi."
Kata Kwee Seng yang segera mengangkat guci dan menuangkannya ke mulut, minum sampai bergelogok suaranya. Setelah habis setengah guci, ia baru berhenti dan mengusap mulutnya dengan ujung lengan baju.
"Arak baik... arak baik... ha-ha, hayo teruskan permainan!"
Ketika bandar yang bermuka pucat itu dengan tangan menggigil memegang mangkok, Si Ketua Pengemis merampas mangkok dan mendorong bandar itu ke pinggir. Dorongan perlahan saja akan tetapi bandar itu hampir roboh, terhuyung-huyung sampai jauh.
"Ha-ha-ha, memang dia sialan!"
Kwee Seng menertawakan. Koai-tung Tiang-lo memegang mangkok dan memandang Kwee Seng dengan mata penuh selidik.
"Orang muda, kau hendak pasang berapa?"
"Heh-heh, semua ini kupasangkan untuk angka ganjil, ha-ha"
"Gila!"
Seru seorang di antara para penonton. Ia berkata demikian karena tidak tahan hatinya melihat betapa kemenangan sebesar itu akan diludeskan dalam sekali pasangan. Kwee Seng mendengar makian menengok dan melihat muka orang yang pucat, mata yang muram tanda kalah judi.
"Kau benar, sahabat. Memang kita semua yang sudah memasuki rumah judi adalah orang-orang gila belaka! Ha-ha-ha! Orang tua, kau mainkanlah dadu itu. Delapan pundi-pundi ini untuk angka ganjil."
"Hemm, orang muda, apakah yang kau kehendaki? Tentu bukan kemenangan uang."
Kata Si Kakek sambil mulai memutar-mutar dadu dalam mangkok. Gerakannya kaku, tidak seindah dan secepat gerakan bandar tadi. Memang Koai-tung Tiang-lo bukanlah seorang bandar judi. Namun, biar tangannya kaku dan seperti tidak bergerak, dadu di dalam mangkok itu berputar cepat sekali, jauh lebih cepat dariapada kalau diputar oleh Si Bandar tadi.
"Heh-heh, orang tua, kau benar. Delapan pundi-pundi perak ini kupertaruhkan untuk angka ganjil. Kalau aku kalah, kau boleh ambil semua perak ini tanpa banyak urusan lagi. Akan tetapi kalau aku yang menang, aku hanya minta dibayar sebuah keterangan."
Semua orang makin terheran, akan tetapi kakek itu tersenyum maklum. Memang bagi orang-orang kang-ouw, uang tidaklah berharga.
"Uangmu delapan kantung, sudah jelas harganya. Akan tetapi keterangan itu, harus disebutkan dulu agar diketahui harganya, apakah cukup dibayar dengan delapan kantung perak."
Percakapan ini benar-benar tak dapat dimengerti oleh tukang judi yang mendengarkan dengan perasaan heran. Kwee Seng mengangguk.
"Itu pantas! Keterangan itu adalah tentang diri seorang jembel muda macam aku ini yang menyebut dirinya kai-ong (raja pengemis). Aku ingin berjumpa dengannya!"
Berubah wajah kakek itu mendengar ini, matanya menyambar tajam.
"Hemm, ada urusan apakah dengan kai-ong?"
"Urusan pribadi. Bagaimana, kau terima?"
Kakek itu mengangguk.
"Boleh. Akan tetapi keterangan itu jauh lebih berharga daripada delapan pundi-pundi perak. Kalau kau kalah, keterangan tidak kau dapat, delapan pundi-pundi ini berikut tangan kirimu harus kau bayarkan kepadaku. Kalau kau menang, uangmu ini kau bawa pergi bersama keterangan tentang di mana adanya kai-ong. Akur?"
Semua orang terkejut. Bukan main taruhan itu. Berikut tangan kiri? Berarti tangan kiri jembel muda itu kalau kalah harus dibuntungi? Ah, kalau tidak gila, tentu Si Jembel menolak. Akan tetapi, Kwee Seng mengangguk dan berkata,
"Cocok!"
Wah, benar-benar jembel muda ini sudah gila. Masa sebuah keterangan tentang seorang kai-ong saja dipertaruhkan dengan hampir seribu tail perak berikut sebuah tangan dibuntungi!
Keadaan menjadi tegang bukan main, bahkan kini ditambah rasa ngeri di hati. Dadu itu berputaran makin cepat dan tiba-tiba mangkok itu ditutupkan di atas meja, menyembunyikan dadu yang akan menentukan nasib Si Jembel dan tangan kiri. Koai-tung Tiang-lo masih menindih mangkok tertutup, sedangkan tangan kanannya terletak di atas meja dengan jari-jari tangan terbuka. Namun, suasana yang amat tegang itu sama sekali tidak mempengaruhi Si Jembel muda, kini ia malah mengangkat guci dengan tangan kanan untuk dituangkan isinya ke dalam mulut, sedangkan tangan kirinya juga terletak di atas meja dan matanya terus melirik ke arah mangkok di atas meja. Melihat kesempatan selagi lawannya minum arak, Koai-tung Tiang-lo segera berseru.
"Siap buka, lihatlah!"
Tangan kirinya mengangkat mangkok dan jari-jari tangan kiri mengangkat mangkok dan jari-jari tangan kanannya menegang! Akan tetapi pada saat itu, juga jari-jari tangan kiri Kwee Seng menegang dan seperti halnya Koai-tung Tiang-lo, dari jari-jari tangan ini, menyambar keluar tenaga sin-kang (hawa sakti) ke arah biji dadu di atas meja.
Semua mata memandang dan... terdengar seruan heran karena begitu mangkok dibuka, biji dadu diatas meja itu berputaran! Hal ini tentu saja tidak mungkin Karena begitu tadi begitu mangkok ditutup, tentu biji dadu itu telah jatuh kemeja dan berhenti bergerak. Bagaimana sekarang bisa berputaran? Hanya sebentar saja dadu itu berputar, mendadak kini berhenti sehingga semua mata memandang dengan terbelalak dan melotot seperti mau terloncat keluar dari tmpatnya. Kembali terdengar seruan-seruan tertahan di sana-sini ketika mereka melihat betapa biji dadu itu terletak miring sedemikian rupa sehingga permukaannya dibagi dua antara titik-titik angka tiga dan dua! Akan tetapi dadu itu bukannya diam melainkan bergerak ke kanan kiri, sebentar mendoyomg ke angka tiga, di lain saat mendoyong ke angka dua, seakan-akan ada kekuatan tak tampak yang saling dorong, saling mengadu kekuatan untuk mendorong dadu roboh telentang memperlihatkan permukaan angka tiga atau dua.
Ketika orang-orang yang berada di situ memandang kepada dua orang pengemis tua dan muda itu, mereka makin kaget dan heran, lalu gelisah dengan sendirinya. Pengemis tua itu wajahnya merah sekali dan basah penuh peluh, tangan kanannya menggetar di atas meja dengan jari-jari terbuka dan telapak tangan menghadap ke arah dadu, napasnya agak terengah-engah. Adapun pengemis muda itu masih enak-enak saja duduk dengan tangan kiri dibuka jarinya menghadap ke depan, tangan kanan masih memegang guci arak yang diminumya dan kini perlahan-lahan diletakkannya guci arak ke atas meja. Gerakan ini menimbulkan getar pada meja dan dadu itu membalik hampir telentang dengan muka angka tiga, akan tetapi terdengar Koai-tung Tiang-lo berseru aneh dan dadu itu membalik lagi menjadi miring!
"Pangcu, apa kau masih hendak berkeras?"
Terdengar Kwee Seng berkata sambil tersenyum. Betapapun juga, Kwee Seng adalah seorang terpelajar yang masih ingat akan peraturan. Ia maklum bahwa pengemis tua yang dipanggil Pangcu (ketua) ini adalah seorang terkemuka, maka ia sengaja tidak mau membikin malu. Dengan adu tenaga sin-kang itu, tentu sudah cukup bagi pangcu itu untuk mengetahui bahwa kakek itu tidak akan menang, lalu suka mengalah tanpa menderita malu karena jarang ada yang mengerti bahwa mereka telah saling mengadu sin-kang. Akan tetapi Koai-tung Tiang-lo adalah seorang yang keras kepala. Apalagi sekarang setelah ia mengandalkan pengaruhnya kepada seorang yang ia anggap paling sakti di dunia ini, yaitu orang berjuluk Raja Pengemis, maka Ketua Ban-hwa Kai-pang ini menjadi tinggi hati. Mana ia sudi mengalah terhadap seorang jembel tak ternama yang seperti miring otaknya ini?
Tiba-tiba Koai-tung Tiang-lo berseru keras dan biji dadu itu melayang naik dari atas meja! Kakek itu sendiri bangkit berdiri, tangan kanannya kini dengan terang-terangan diangkat ke depan sedangkan tangan kirinya masih memegang dengan tangan kirinya masih memegang mangkok. Kwee Seng menghela napas. Kakek ini benar-benar keras kepala, perlu ditundukkan. Ia masih saja duduk, tapi tangan kirinya terpaksa ia angkat dan tertuju ke atas, ke arah dadu yang mengambang di udara dalam keadaan masih miring! Tentu saja semua orang menahan napas, mata terbelalak mulut ternganga memandang peristiwa aneh itu. Mereka tidak mengerti jelas apa yang terjadi dan siapa di antara mereka berdua yang bermain sulap, akan tetapi mereka dapat menduga bahwa terjadi pertandingan hebat di antara kedua orang aneh itu.
"Aaiiihhh!"
Teriakan ini keluar dari dalam dada Koai-tung Tiang-lo dan menyambarlah mangkok dari tangan kirinya menuju Kwee Seng. Namun pendekar ini sambil tersenyum mengulur tangan kanan dan sebelum mangkok itu menyentuh tangan kanannya, benda itu sudah terpental kembali kemudian terhenti di tengah-tengah, biji dadu itu seperti mengambang di udara karena "terjepit"
Di antara dua rangkum tenaga dahsyat yang saling mendorong!
"Semua yang hadir harap lihat baik-baik, angka berapakah permukaan dadu itu? Ucapan Kwee Seng ini diikuti pengerahan tenaga sin-kang. Tadi dalam menahan serangan lawan ia hanya mempergunakan sepertiga tenaganya saja, maka kini ia menambah tenaganya dan... betapapun Koai-tung Tiang-lo mempertahankan sekuat tenaga, tetap saja dadu itu kini membalik dan biarpun masih mengambang di udara, namun jelas kini memperlihatkan angka tiga pada permukaannya. Semua orang yang melihat angka tiga ini, tentu saja serentak berkata "Angka tiga...!"
"Hemm, berarti angka ganjil. Pangcu, kau kalah...."
Pada saat Kwee Seng berkata demikian itu empat orang tukang pukul sudah mencabut golok dan membacok kepala dan leher Kwee Seng dari belakang! Tentu saja Kwee Seng tahu akan hal ini, namun karena sambaran tenaga empat batang golok itu tidak arti baginya dan karena ia sedang mengerahkan sin-kang sehingga seluruh tubuhnya terlindung ia pura-pura tidak tahu dan diam saja. Empat batang golok itu meluncur kuat ke arah kepala dan leher, tiba-tiba...
"wuuuutttt!"
Senjata-senjata itu membalik seakan-akan terdorong tenaga yang amat kuat. Tanpa dapat dicegah lagi, golok-golok itu menyerang pemegangnya karena tangan itu sudah tak dapat dikuasai lagi saking hebatnya tenaga membalik. Bukan kepala Kwee Seng yang termakan mata golok melainkan kepala para penyerangnya yang terpukul punggung golok. Terdengar suara keras disusul jerit kesakitan dan suara berkerontangan golok-golok terjatuh di lantai. Biarpun tidak tajam, namun punggung golok baja cukup keras untuk membuat kepala mereka "bocor"
Dan tumbuh tanduk biru!
Pada saat berikutnya, terdengar suara keras dan mangkok itu meledak pecah, demikian pula biji dadu, lalu disusul terjengkangnya tubuh Koai-tung tiang-lo ke belakang menimpa kursinya! Kwee Seng tertawa lalu menyambar guci araknya dan menenggak habis araknya. Sementara itu, Koai-tung Tiang-lo sudah melompat bangun, mukanya sebentar merah sebentar pucat, napasnya agak terengah-engah. Cepat ia menghardik para tukang pukul yang sudah mengurung Kwee Seng dengan senjata di tangan sedangkan para pengunjung rumah judi sudah panik hendak melarikan diri, takut terbawa-bawa dalam perkelahian. Koai-tung Tiang-lo mengangkat kedua tangn menjura kepada Kwee Seng.
"Sicu (Orang Gagah) hebat, pantas berjumpa dengan kai-ong. Dilereng sebelah utara Tapie-san, dimana kai-ong kami menanti kunjunganmu."
Kwee Seng tersenyum dan menjura.
"Kau cukup jujur, Pangcu. Terima kasih."
Seenaknya Kwee Seng mengambil dan mengempit delapan kantung uang yang isinya seribu tail lebih itu termasuk uangnya sendiri, lalu berjalan ke luar. Uang sebanyak itu sudah tentu amat berat, seratus dua puluh lima kati, tapi ia dapat mengempit dan membawanya seakan-aakan amat ringan.
Suling Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapa yang kalah judi di sini, mari ikut aku keluar!"
Kata Kwee Seng sambil melangkah terus. Sebentar saja, lebih dari tiga puluh orang ikut keluar, dan tentu saja tidak semua dari mereka penderita kekalahan. Yang menang pun karena ia mengharapkan keuntungan ikut pula keluar. Sampai di luar rumah judi, Kwee Seng berhenti. Ternyata banyak orang pula berkumpul di depan rumah judi karena mereka sudah mendengar akan peristiwa aneh di rumah judi itu. Memang karena baru beberapa hari yang lalu terjadi keributan ketika puteri guru silat Sin-kauw-bu-koan bertanding dengan para tukang pukul rumah judi itu.
"Saudara-suadara sekalian telah kalah berjudi, bukan? Hentikanlah kebiasaan kalian gemar berjudi, karena percayalah, kalian tidak akan menang. Kalau kalian melanjutkan kegemaran buruk itu, pasti saudara sekalian akan menderita kesengsaraan lahir batin. Pada lahirnya, Saudara akan habis-habisan yang akibatnya tentu kekacauan rumah tangga, kehancuran pekerjaan karena tidak terurus, kemiskinan yang akan menyeret kalian kepada kemaksiatan lainnya. Kerugian batin, Saudara akan menjadi orang yang suka melakukan kecurangan, menjauhkan rasa cinta sesama, menimbulkan sifat iri dan tamak. Nah, ini uang kubagi-bagikan diantara kalian untuk menebus kekalahan kalian, akan tetapi mulai saat ini harap kalian jangan suka berjudi lagi. Pergunakan sedikit uang ini untuk modal bekerja!"
tentu saja ucapan Kwee Seng ini disambut sorak-sorai oleh mereka dan dengan adil Kwee Seng membagi-bagi semua uang kemenangannya berikut uangnya sendiri sampai habis, seorang kebagian dua puluh tail perak lebih! Setelah membagi habis delapan pundi-pundi uang itu, Kwee Seng lalu berjalan pergi keluar dari kota itu, menuju ke selatan karena ia hendak mencari raja pengemis di Gunung Tapie-san.
"Paman, perbuatanmu itu semua sia-sia belaka, tiada gunanya sama sekali!"
Ucapan ini keluar dari mulut seorang anak laki-laki yang semenjak tadi mengikuti Kwee Seng dari depan rumah judi. Kwee Seng sedang melamun, maka ia tidak memperhatikan langkah kaki seorang kanak-kanak yang mengikutinya dan sejak tadi melihat semua perbuatannya. Ia melirik dan melihat anak kecil yang berwajah terang dan tampan, berpakaian sederhana namun bersih. Ia merasa heran dan tidak dapat menangkap arti kata-kata anak laki-laki yang usianya paling banyak sepuluh tahun ini.
"Apa kau bilang?"
Tanyanya sambil melangkah terus, diikuti oleh anak itu.
"Aku bilang bahwa akan sia-sia saja perbuatan paman tadi didepan rumah judi, menghamburkan uang seperti orang melempar rabuk pada tanah kering!"
Kwee Seng melengak heran, lalu memandang lebih teliti sambil menghentikan langkahnya. Ia lalu tertawa bergelak karena mengenal anak ini sebagai anak yang pernah menaruh kasihan ketika ia ditawan oleh murid-murid guru silat Liong Keng!
"Ha-ha-ha-ha, kau bocah sinting itu muncul lagi?"
Tegurnya kepada anak laki-laki ini yang bukan lain adalah Kam Bu Song.
"Eh, bocah, kenapa kau selalu bertemu denganku dan mencampuri urusanku?"
"Entah, Paman. Perjumpaan kita bukan kusengaja akan tetapi setiap kali kita bertemu, aku selalu tertarik kepadamu. Pertama dulu, aku tertarik karena merasa kasihan melihat kau diseret-seret orang. Sekarang, aku pun kasihan kepadamu karena melihat kau melakukan perbuatan yang sia-sia belaka akibat kau tidak mengerti."
Hampir Kwee Seng tidak percaya kepada telinganya sendiri. Dia seorang yang tinggi ilmunya mengenai sastra dan silat, kini diberi "kuliah"
Oleh seorang bocah yang berusia sepuluh tahun! Akan tetapi karena kata-kata anak ini disusun rapi, ia tertarik sekali, apalagi setelah ia perhatikan, anak ini mempunyai pembawaan dan pribadi yang amat menarik. Pada saat itu, mereka sudah tiba diluar kota dan ditempat yang sunyi itu Kwee Seng lalu pergi kebawah pohon dipinggir jalan, menjatuhkan diri duduk diatas tanah. Anak itu pun mengikutinya, berdiri didepannya dengan pandang mata penuh perhatian. Kwee Seng tertawa lagi.
"Heh-heh, bocah sinting. Sekarang kau katakan, mengapa perbuatanku tadi kau katakan sia-sia belaka tidak ada gunanya? "Karena perbuatan paman tadi bertentangan dengan dua hal,"
Jawab anak itu tanpa ragu-ragu dan tanpa pikir-pikir lagi, tanda bahwa ia tahu akan apa yang diucapkannya dan tanda bahwa ia memang cerdas.
"Pertama bertentangan dengan wejangan ini."
Anak itu lalu membusungkan dada mengambil napas, berdongak dan bernyanyilah ia dengan suara keras nyaring.
Diri sendiri melakukan kejahatan
diri sendiri menimbulkan kesengsaraan.
Diri sendiri menghindarkan kejahatan
diri sendiri mendapatkan kebahagiaan.
Suci atau tidak tergantung kepribadiannya
orang lain mana mampu membersihkannya?
Kwee Seng melongo.
"Eh, apakah kau murid seorang hwesio (pendeta Buddha)? Nyanyianmu adalah kalimat suci dalam kitab Sang Buddha!"
Ia mengenal sajak itu. Memang sajak ini adalah pelajaran dalam kitab Buddha Dhammapada. Bu Song mengangguk.
"Aku membacanya dari kitab, kalau Sang Buddha yang mengajarkannya, biarlah aku menjadi murid Sang Buddha."
Jawaban ini pun aneh dan membuat Kwee Seng makin terterik.
"Anak baik, mari kau duduklah disini."
Ia tidak mau lagi menyebut anak itu "anak sinting". Setelah Bu Song ikut duduk di bawah pohon di depannya, Kwee Seng lalu bertanya.
"Anak baik, coba kau jelaskan, apa hubungannya pelajaran itu dengan perbuatanku tadi."
"Para penjudi itu berjudi tidak ada yang menyuruh, adalah mereka sendiri yang membuat mereka melakukan penjudian. Mereka mau judi atau tidak mau judi, adalah mereka sendiri yang memutuskan. Mereka celaka karena judi, atau tidak celaka karena tidak judi, juga mereka sendiri yang menimbulkan. Pokok dan sumber semua perbuatan adalah terletak didalam hatinya, ibarat baik buruknya kembang tergantung daripada pohonnya. Kalau pohonnya sakit, mana bisa kembangnya baik? Kalau hatinya kotor, mana bisa perbuatannya bersih? Perbuatan buruk mana bisa betulkan orang lain? Yang bisa membetulkan hanya dirinya sendiri, karena hati berada didalam dirinya sendiri. Inilah sebabnya maka perbuatan Paman tadi sia-sia belaka. Pembagian uang takkan menolong mereka melepaskan kemaksiatan berjudi."
Kwee Seng melongo seperti patung.
Kalau anak ini pandai membaca sajak dari kitab-kitab suci hal itu tidaklah mengherankan benar, semua anak yang diajar membaca tentu dapat disuruh menghafalkannya. Akan tetapi apa yang diucapkannya ini sama sekali bukanlah hafalan dari kitab suci manapun juga, melainkan keluar dari pendapat dan pikiran berdasarkan pelajaran filsafat kebatinan untuk menguraikan sajak tadi! Inilah hebat! Ia kagum bukan main, akan tetapi masih sangsi. Jangan-jangan hanya kebetulan saja anak ini "ngoceh"
Tanpa sengaja tapi tepat. Ia hendak menguji pula.
"Hemm, kau tadi bilang perbuatanku bertentangan dengan dua hal. Hal pertama adalah sajak tadi, kini apakah hal ke dua?"
"Segala macam nasihat dan wejangan memanglah muluk-muluk dan enak didengar, akan tetapi itu hanyalah suara yang keluar dari mulut. Segala macam ayat dan pelajaran dalam kitab-kitab suci memanglah indah dan enak dibaca, akan tetapi hal itu hanyalah tulisan diatas kertas. Apakah artinya semua itu kalau tidak ada kenyataan dalam perbuatannya? Semenjak kanak-kanak sampai tua manusia lebih suka mencoba dari orang lain daripada belajar sendiri! Oleh karana itu. PERBAIKILAH DIRIMU SENDIRI SEBELUM ENGKAU MEMPERBAIKI ORANG LAIN."
"Ah, kau murid Nabi Khong Cu!"
Kwee Seng berseru, kagum.
"Boleh juga disebut begitu karena beliau memang seorang guru besar yang patut menjadi guru. Dengan memperbaiki diri sendiri, kita membersihkan diri dari perbuatan jahat, dengan demikian orang-orang akan mencontoh. Kalau SEMUA ORANG MASING-MASING BELAJAR MEMPERBAIKI DIRI SENDIRI, maka apa perlunya segala macam nasihat dan pelajaran? Akan tetapi kalau tidak mau membersihkan diri sendiri, orang lain mana mau mencucinya bersih? Paman, itulah sebabnya kukatakan bahwa sia-sia saja Paman menasihati para penjudi itu. Alangkah akan janggalnya kalau mereka yang telah mendengar nasihat Paman itu mendapat kenyataan betapa Paman sendiri seorang maling..."
"Hahhh...? Apa kau bilang? Aku.... maling?"
Kwee Seng benar-benar kaget dan penasaran, matanya melotot dan ia memperlihatkan muka merah. Akan tetapi diam-diam ia kagum dan heran. Anak ini sama sekali tidak takut, matanya memandang bening dan wajahnya serius (sungguh-sungguh).
"Aku tahu bahwa fitnah itu jahat, Paman, karenanya tak mungkin aku berani melakukan fitnah. Akan tetapi yang menyatakan bahwa Paman seorang maling adalah Paman sendiri, dalam pertemuan kita yang pertama. Bukankah Paman sendiri yang bercerita kepadaku bahwa Paman mencuri paha panggang yang Paman makan itu?"
Sejenak Kwee Seng tertegun, mengingat-ingat, lalu ia tertawa bergelak sampai perutnya terasa kaku.
"Ha-ha-ha! Mengambil paha panggang kau anggap maling! Anak baik, aku sama sekali bukan maling!"
Bu Song menarik napas panjang.
"Syukurlah kalau begitu. Sebetulnya tidak perlu mencuri. Mencuri paha ayam maupun gajah, tetap mencuri namanya. Aku tidak akan mencuri, Paman."
Kwee Seng mengamati wajah anak itu penuh perhatian. Sepasang mata anak ini bening dan tajam, indah bentuknya dan dihias bulu mata yang panjang dan melengkung keatas. Serasa pernah ia melihat mata indah seperti ini, akan tetapi tak dapat ia mengingat dimana dan kapan. Adapun Bu Song tidak merasa bahwa jembel itu memperhatikannya, karena sebaliknya ia sendiri memperhatikan pakaian yang butut dan rambut riap-riapan itu. Kembali ia menghela napas dan berkata,
"Sayang, Paman, uang sebanyak itu dihamburkan sia-sia. Mengapa tidak paman sisakan sedikit untuk membeli pakaian? Pakaian Paman sudah begini rusak, juga kaki Paman telanjang tidak bersepatu."
Diam-diam ada rasa haru menyelinap di hati Kwee Seng. Baru kali ini semenjak perantauannya, ia mendapat perhatian orang lain, dikasihani orang lain. Hal ini menimbulkan haru dan suka di hatinya. Entah mengapa, pribadi anak ini amat menarik hatinya dan diam-diam Kwee Seng mencela dirinya sendiri. Tertarik kepada orang lain inilah yang menjadi sebab-musabab segala penderitaanya. Kalau dahulu ia tidak tertarik kepada Ang-siauw-hwa, atau kepada Liu Lu Sian! Sekarang ia tertarik oleh keadaan bocah ini, kalau ia menuruti hatinya, tentu ada saja persoalan baru muncul. Ia lalu berdongak dan berusaha mengusir perasaannya sambil bernyanyi dengan suara keras.
"Lima warna membutakan mata
lima bunyi menulikan telinga
lima lezat merusak rasa
memburu membunuh menjadikan buas
benda dihargai menjadi curang
itulah sebabnya orang bijaksana
mementingkan kebutuhan perut
tak menghiraukan panca indera!"
(Lanjut ke Jilid 17)
SULING EMAS (Seri ke 02 "
Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 17
Bu Song memandang dengan mata terbuka lebar dan kagum. Sama sekali tidak disangkanya bahwa jembel yang seperti orang gila dan suka bersikap edan-edanan dan aneh ini begitu pandai bernyanyi, suaranya nyaring merdu dan sajaknya bukan pula sembarang sajak. Kata-kata dalam sajak itu menimbulkan kesan mendalam dihatinya dan karena semenjak kecil ia dijejali kitab-kitab kuno yang sukar bentuk dan arti kalimatnya, maka sekali mendengar sajak ini Bu Song sudah dapat menangkap inti sarinya. Tak terasa lagi ia bertepuk tangan memuji.
"Bagus sekali, Paman terutama isi sajaknya!"
Kwee Seng tersenyum.
"Kau belum pernah mendengarnya? Belum pernah membacanya?"
Bu Song menggeleng kepalanya. Memang dahulu ayahnya melarang ia membaca kitab-kitab Agama To, karena menurut anggapan Kam Si Ek, pelajaran dalam agama ini hanya melemahkan semangat anak-anak. Akan tetapi Bu Song yang sudah banyak membaca kitab-kitab kuno, dapat menduganya, maka ia berkata.
"Aku belum pernah membaca sajak itu, akan tetapi agaknya itu adalah pelajaran Agama To, bukan?"
Kwee Seng girang dan merangkul pundak anak itu.
"Anak baik, memang itu adalah sajak dari kitab To-tek-kheng dari Agama To ajaran Nabi Lo Cu. Anak yang baik siapakah namamu?"
"Aku bernama Bu Song, paman."
"Bu Song? Nama yang indah dan gagah. Dan apa shemu (nama keturunan)?"
Bu Song mengerutkan kening dan menggeleng kepala.
"Aku tidak menggunakan she. Namaku cukup Bu Song saja, tanpa tambahan."
Kwee Seng memandang dengan alis bergerak-gerak.
"Mengapa begitu? Dimanakah kau tinggal?"
Bu Song memandangnya dan kini anak itu tersenyum.
"Sama dengan engkau Paman."
"Heh...? Bagaimana bisa sama dengan aku, kalau aku tidak mempunyai tempat tinggal... Ehhh! Apa kau mau bilang bahwa kau tidak mempunyai tempat tinggal?"
Bu Song mengangguk! "Dan orang tuamu? Siapakah mereka? Mengapa kau meninggalkan rumah orang tuamu?"
Ucapan Kwee Seng terdengar bengis dan ia memandang Bu Song dengan mata marah, seakan-akan hendak memaksa anak ini mengaku. Memang Kwee Seng marah karena ia dapat membayangkan betapa susahnya hati ayah bunda anak ini. Anak seperti ini tentu amat disayang oleh orang tuanya, maka kalau anak ini pergi tanpa pamit, tentu akan menyusahkan hati mereka. Tiba-tiba Bu Song berdiri, lalu mengangkat tangan menjura kepada Kwee Seng.
"Maaf, Paman, terpaksa aku tidak dapat melayani bercakap-cakap dengan Paman lebih lama. Aku pergi...!"
"Hee, nanti dulu! Mengapa kau tidak mau bicara lagi?"
Sambil menoleh dan memperlihatkan muka sedih Bu Song menjawab,
"Orang bercakap-cakap harus jujur dan tidak saling membohong. Akan tetapi aku terpaksa tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan Paman, aku tidak dapat dan tidak mau bercerita tentang diriku, tentang riwayatku, maka terpaksa aku harus meninggalkan Paman, biarpun dengan penuh kesal dan kecewa...."
"He, Bu Song, kau kembalilah. Aku tidak akan tanya-tanya lagi tentang keadaan dirimu atau orang tuamu."
Bu Song menjadi girang sekali, ia berlari kembali dan duduk didepan Kwee Seng lagi. Kwee Seng kini memandang penuh perhatian, lalu memegang kedua pundak anak itu, meraba-raba memeriksa tubuh dengan hati girang dan heran ia mendapat kenyataan bahwa anak ini mempunyai bakat yang luar biasa untuk ilmu silat. Tulang-tulangnya bersih dan kuat seperti tubuh seekor harimau muda!
"Bu Song apakah kau pernah belajar ilmu silat?"
"Silat? Tidak, tidak pernah."
Bu Song menggeleng kepalanya.
"Bagus! Anak baik, aku cocok sekali denganmu. Maukah kau menjadi muridku?"
Murid? Menjadi murid jembel yang gila-gilaan ini? Mau belajar apakah dari orang ini, pikir Bu Song dengan kening berkerut karena merasa sangsi.
"Paman, siapakah Paman ini dan hendak mengajar apakah kepadaku?"
Kwee Seng tertawa bergelak. Jari tangannya mencoret-coret tanah dan tampaklah guratan yang dalam dan indah gayanya, terdiri dari empat huruf yang berbunyi "Kim-mo Taisu", lalu ia tertawa dan berkata.
"Inilah namaku."
"Kim-mo Taisu!"
Bu Song membaca dengan pandang mata kagum.
"Alangkah indahnya huruf tulisan Paman! Aku suka menjadi murid Paman untuk belajar menulis huruf indah dan belajar kitab Agama to!"
Kwee Seng girang sekali mendapat kenyataan behwa anak ini memang pandai. Ia tadi sengaja menuliskan huruf kembang, huruf-huruf yang indah dan coretannya cepat, sukar dimengerti pelajar setengah matang. Akan tetapi anak ini sekali melihat dapat membacanya, sungguh membuktikan kepandaian sastra yang cukup baik. Ia tertawa bergelak.
"Aku hanyalah seorang mahasiswa gagal, Bu Song. Tidak, aku bukan hanya mengajar kau tulis dan baca kitab agama To, akan tetapi terutama sekali aku akan mengajarkan ilmu silat kepadamu. Kau berbakat baik sekali untuk belajar ilmu silat."
Akan tetapi alangkah herannya ketika ia melihat anak itu menggeleng kepala cepat-cepat sambil mengerutkan sepasang alisnya yang berbentuk golok.
"Tidak, Paman! Aku tidak mau belajar silat!"
"Eh, kenapa?"
"Ilmu silat adalah ilmu yang jahat, pangkal permusuhan sumber kekejaman!"
"Ha-ha-ha, omongan apa ini? Ilmu tetap ilmu, baik jahatnya, kejam tidaknya, tergantung kepada si manusia yang mempergunakan ilmu itu."
"Betul, Paman. Akan tetapi, ilmu silat merupakan pendorong yang berbahaya. Kalau pandai silat, tentu menjadi berani untuk berkelahi, kalau gemar berkelahi tentu banyak musuh. Untuk apakah gunanya ilmu silat kalau tidak untuk berkelahi, bunuh-membunuh dan menjual lagak?"
"Waduhhhh! Dari siapa kau mendengar pendapat tentang ilmu silat seperti itu? Siapa yang bilang begitu?"
"Yang bilang begitu adalah Ay... tidak Paman, itu adalah pendapatku sendiri."
Hemm, agaknya ayah anak ini seorang sastrawan yang benci akan kekerasan maka membenci pula ilmu silat, pikir Kwee Seng. Ia diam-diam merasa heran mengapa anak ini demikian berkeras merahasiakan riwayatnya, dan ia pun heran mengapa anak yang agaknya sejak kecil dididik sastra dan kehalusan, memiliki hati yang begini keras dan kuat seperti benteng baja. Anak yang pandai sekali mempergunakan pikirannya, yang sekecil itu sudah berpemandangan luas, dapat menangkap inti sari filsafat kebatinan, yang berhati tabah tak kenal takut, berani mengemukakan jalan pikirannya secara terbuka dan jujur. Kwee Seng makin tertarik dan suka sekali.
"Baiklah, Bu Song. Kau menjadi muridku dan aku tidak akan mengajarmu ilmu silat, melainkan ilmu sastra, ilmu kesehatan dan pengobatan. Mulai saat ini kau adalah muridku dan aku adalah Suhumu, kau harus ikut kemana pun aku pergi."
Girang hati Bu Song. Ia memang merasa tertarik dan suka kepada jembel yang rambutnya awut-awutan itu, apalagi setelah menyaksikan sepak terjang Kwee Seng didepan rumah judi, ia benar-benar merasa kagum dan maklum bahwa orang itu bukanlah orang sembarangan walaupun ia tidak setuju dengan sepak terjangnya. Maka ia lalu cepat menjatuhkan diri berlutut memberi hormat sebagaimana layaknya seorang mengangkat guru sambil menyebut,
"Suhu!"
Kim-mo Taisu yang masih duduk diatas tanah sambil bersila, tiba-tiba menggunakan kedua telapak tangannya menggebrak tanah didepan Bu Song dan... tubuh anak itu mencelat keatas semeter lebih tingginya. Akan tetapi, hebat memang ketabahan hati Bu Song. Ia mencelat keatas dalam keadaan masih berlutut dan biarpun hal itu merupakan hal tak tersangka-sangka dan amat mengejutkan, tidak sedikit pun seruan kaget atau takut keluar dari mulutnya yang bening dan tajam itu menatap kearah wajah suhunya penuh pertanyaan. Kim-mo Taisu tertawa girang dan menyambar tubuh muridnya itu, lalu dipeluknya.
"Anak baik, muridku yang baik....!"
Bu Song terharu, matanya terasa panas namun hatinya yang keras menentang untuk meruntuhkan air mata. Ia merasa betapa dari diri suhunya memancar kasih sayang yang amat ia butuhkan, kasih sayang orang tua yang amat ia rindukan karena sejak kecil ia telah kehilangan perasaan ini. Maka dalam saat itu, didalam hatinya timbul rasa kasih yang amat besar terhadap gurunya yang berpakaian jembel dan berambut riap-riapan ini. Bukan hanya rasa taat dan bakti seorang murid terhadap guru, melainkan juga rasa sayang seorang anak terhadap ayah!
"Bu Song, kau tunggu sebentar disini!"
Tiba-tiba Kim-mo Taisu berkata dan tanpa menanti jawaban muridnya, tubuhnya melesat lenyap dari tempat itu.
Bu Song bengong, kagum dan terheran-heran. Sewajarnyalah kalau pada saat itu timbul rasa inginnya belajar "terbang"
Seperti yang dilakukan suhunya, akan tetapi hatinya yang keras menolak keinginan ini karena pesan ayahnya dahulu ketika ia masih kecil, masih lekat dilubuk hatinya. Ia tidak tahu kemana suhunya pergi, juga tidak dapat menduga kemana. Akan tetapi karena memang sejak semula maklum bahwa gurunya itu seorang manusia dengan kelakuan edan-edanan, ia hanya menghela napas lalu duduk di bawah pohon itu, menanti. Kewajiban seorang murid untuk menanti perintah gurunya dan andaikata gurunya itu sehari semalam tidak kembali, ia akan tetap menanti ditempat itu! Untung baginya, tak usah ia menanti sampai begitu lama. Belum sejam lamanya, Kim-mo Taisu sudah berkelebat datang, membawa pundi-pundi kuning, datang-datang melempar pundi-pundi itu kedepan Bu Song sambil tertawa bergelak dan berkata.
"Ha-ha-ha, kau benar, muridku! Setan-setan judi itu memang sukar disembuhkan dari penyakit gemar judi. Mereka itu telah ramai-ramai berjudi pula dan betul saja, uang pembagian dariku mereka pergunakan sebagai modal! Benar menjemukan!"
Bu Song menahan geli hatinya. Setelah Kim-mo Taisu menjadi gurunya, tentu saja tak berani ia mentertawakannya.
"Apakah yang kemudian Suhu lakukan terhadap mereka?"
Tanyanya, sikapnya hormat, sehingga Kim-mo Taisu tercengang.
"Aku? Ha-ha-ha, kurampas dari saku mereka seratus dua puluh tail, jumlah uangku sendiri, kemudian kujungkirbalikkan meja judi, kulempar-lemparkan mereka keatas genteng."
Bu Song diam saja, akan tetapi didalam hati ia tidak setuju dengan perbuatan suhunya ini yang dianggap juga sia-sia belaka, tidak mungkin dapat mengobati penyakit para penjudi, malah hanya menimbulkan dendam dalam hati mereka terhadap suhunya. Kim-mo Taisu memandang muridnya dengan tajam sambil tersenyum, mengerti bahwa muridnya tentu saja tidak setuju, akan tetapi melihat mulut muridnya tidak mengeluarkan kata-kata sesuatu, diam-diam ia makin kagum. Bocah ini kecil-kecil sudah tahu akan arti ketaatan murid terhadap guru, dan pandai pula menyimpan perasaan. Akan tetapi ia belum menguji sampai dimana keuletan dan ketahanan hati muridnya ini.
"Bu Song, kau melihat gunung itu?"
Ia menudingkan telunjuknya kearah sebuah bukit di selatan.
"Itu adalah Gunung Tapie-san. Aku ada urusan penting kesana, harus cepat-cepat berangkat. Kau bawalah pundi-pundi uang ini dan kau susulah aku kesana. Carilah jalan menuju puncaknya. Beranikah kau?"
"Mengapa tidak berani, Suhu?"
Suling Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baik, nah, sampai jumpa di pegunungan itu. Aku pergi sekarang!"
Setelah berkata demikian, Kim-mo Taisu menyerahkan pundi-pundi uang dan sekali berkelebat ia telah lenyap. Untuk kedua kalinya Bu Song kagum karena gerakan gurunya itu sama sekali tidak kelihatan, tahu-tahu bergerak dan lenyap begitu saja, seakan-akan suhunya pandai ilmu "menghilang".
Ia memandang pundi-pundi itu kemudian mengikatkanya di punggung, lalu mulailah anak ini melangkah menuju ke selatan. Bukit itu masih jauh, hanya kelihatan menjulang tinggi, puncaknya tertutup awan. Akan tetapi ia tidak merasa jerih. Ia percaya penuh bahwa suhunya pasti menanti disana. Mengejar ilmu harus berani menderita sengsara, ini adalah ucapan ayahnya. Apapun akan ia jalani untuk mentaati perintah suhunya. Hatinya lapang, langkahnya ringan, akan tetapi perutnya lapar sekali, Anak kecil ini memandang ke sekeliling, hanya pohon-pohon belaka, tidak ada dusun, maka tersenyumlah ia. Kejanggalan yang menggelikan hatinya. Ia membawa banyak uang, malah beberapa potong uang kecil sisa hasilnya bekerja masih terdapat disaku. Akan tetapi, didalam hutan seperti ini, apa gunanya banyak uang? Di kota orang berlomba mencari uang, akan tetapi ditempat seperti ini, uang segudang pun tiada gunanya!
Dua hari sudah ia berjalan, melalui hutan-hutan belaka. Tidak ada dusun, tidak ada rumah orang dimana ia dapat mencari pengisi perut. Namun, perantauannya selama ini membuat Bu Song selain tahan lapar, juga mendapatkan pengalaman, menambah akalnya untuk mengisi perut kosong. Buah-buahan, telur-telur disarang burung, kalau perlu malah daun-daun muda dan beberapa macam ubi, dapat ia pergunakan untuk mengusir lapar. Soal minum tidaklah sukar, karena banyak terdapat sumber-sumber air atau sungai-sungai kecil. Hatinya lega karena akhirnya sampai juga ia ke kaki Gunung Tapie-san. Sementara itu, Kim-mo Taisu tentu saja sudah sampai di Gunung Tapie San lebih dulu. Bagi pendekar sakti ini, perjalanan semalam sudah cukup karena ia mempergunakan ilmu berlari cepat. Pada keesokan harinya pagi-pagi ia sudah berloncatan dari batu kebatu, melompati jurang-jurang, mendaki lereng Tapie-san sebelah utara.
Akhirnya ia berhenti didepan sebuah bangunan besar terkurung tembok tinggi, bentuknya seperti kuil kuno yang besar dan yang agaknya belum lama diperbaiki karena cat dan kapurnya masih baru. Pagar tembok bagian depan bersambung pada sebuah pintu cat merah, pintu yang tebal dan kokoh kuat, namun tertutup. Sekeliling gedung itu sunyi senyap dan memang amat mengherankan bahwa dilereng yang sunyi jauh tempat tinggal manisia ini terdapat sebuah gedung demikian megahnya, mirip sebuah istana musim panas dimana seoarang raja atau pangeran tinggal melewatkan musim panas. Tak mungkin seorang pengemis tinggal di tempat seperti ini, akan tetapi karena yang ia cari adalah raja pengemis, siapa tahu kalau-kalau inilah istananya? Tanpa ragu-ragu lagi Kim-mo Taisu menghampiri pintu dan mengetoknya.
Ketokannya keras dan suara ketokan bergema, lalu sunyi. Ia menanti sebentar, lalu mengetok lagi. Apakah gedung itu kosong? Tak mungkin kalau kosong pintu gerbangnya takkan tertutup, dan ia tadi melihat tiga ekor burung dara terbang berputaran diatas gedung. Burung dara tentu dipelihara orang. Benar dugaannya. Tak lama kemudian terdengar suara orang disusul langkah kaki kearah pintu kemusian suara tapal pintu dibukakan orang. Daun pintu terbuka perlahan, pertama-tama memperlihatkan sebuah pekarangan yang luas didepan gedung yang dilihat dari keadaan tuan depannya saja jelas membayangkan kemewahan gedung. Dari balik daun pintu yang terbuka muncul dua orang pengemis tinggi besar yang berwajah bengis! Kim-mo Taisu melangkah masuk dan sekarang tampaklah olehnya serombongan orang berpakaian pengemis berdiri berbaris dikanan kiri pekarangan itu setiap baris sembilan orang, sedangkan dari dalam gedung itu keluar tiga orang pengemis tua.
Pakaian tiga orang tua ini pun tambal-tambalan, malah tidak begitu bersih seperti barisan di pekarangan. Tampaknya tiga orang ini adalah pengemis-pengemis tulen. Akan tetapi sikap dan langkah mereka sama sekali bukanlah sikap pengemis. Begitu angkuh dan agung-agungan seperti sikap pembesar-pembesar tinggi! Kim-mo Taisu memandang penuh perhatian. Yang manakah diantara tiga orang ini yang memakai nama julukan Raja Pengemis? Akan tetapi menurut cerita yang ia dengar dari guru silat Liong, taja pengemis itu masih muda sedangkan tiga orang pengemis ini biarpun agaknya juga merupakan pimpinan pengemis, sudah berusia lima puluh lebih. Melihat betapa semua orang yang hadir ditempat ini berpakaian tambal-tambaln, Kim-mo Taisu menunduk untuk memandang pakaiannya sendiri, kemudian ia tertawa bergelak-gelak. Memang lucu. Tuan rumah dan anak buahnya semua berpakaian pengemis, sedangkan dia sendiri pun pakaiannya butut dan penuh tambalan.
"Ha-ha-ha-ha! Dunia pengemis ini! Tamunya dan yang punya rumah sama-sama berpakaian pengemis. Akan tetapi biar sama, jauh bedanya! Pakaianku memang butut dan tambal-tambalan, asli pakaian pengemis, namun aku bukan pengemis. Sebaliknya, pakaian kalian adalah buatan, sengaja ditambal-tambal seperti pakaian pengemis, akan tetapi kalian betul-betul pengemis! Ha-ha-ha, bukankah ini lucu dan memperlihatkan kepalsuan manusia?"
Kini tiga orang pengemis tua itu sudah berada didepan Kim-mo Taisu. Mendengar perkataannya, tiga orang pengemis itu saling pandang, kemudian seorang diantara mereka berkata, suaranya perlahan akan tetapi mengandung tenaga sehingga terdengar jelas,
"Apakah engkau ini orang gila yang mengacau di Sin-yang dan hendak mencari Kai-ong?"
Diam-diam Kim-mo Taisu terkejut. Bagaimana mereka ini bisa tahu akan peristiwa di Sin-Yang? Padahal ia telah melakukan perjalanan cepat sekali ke lereng gunung ini. Mungkinkah ada orang dari Sin-Yang mendahuluinya memberi kabar? Kalau memang ada tentu hebat bukan main ilmu lari cepat orang itu! Hampir sukar dipercaya. Tiba-tiba Kim-mo Taisu berdongak ke atas dan ia tertawa bergelak,
"ha-ha-ha-ha! Aku tidak bersayap, mana bisa melawan kecepatan burung?"
Ia kini dapat menduga bahwa tentulah dari Sin-yang orang mengirim surat dengan perantaraan burung dara itu ke tempat ini.
Tangan Geledek Eps 6 Bu Kek Siansu Eps 21 Tangan Geledek Eps 15