Ceritasilat Novel Online

Tangan Geledek 2


Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo Bagian 2




   "Perempuan siluman aku harus mengejarnya dan mengadu nyawa dengan dia!" Hui Lian berteriak-teriak.

   Kembali Hong Kin menyabarkannya.

   "Isteriku, pikirlah baik-baik. Selain belum ada kepastian bahwa di Go-bi-san kita akan dapat berjumpa dengait dia, juga perjalanan ke Go-bi-san bukanlah perjalanan dekat, akan memakan waktu berbulan-bulan. Bagaimana kaHiii dapat meninggalkan Lee Goat untuk waktu selama itu? Ingat anak kita masih amat kecil, kaiau kita berdua pergi men-cari Hui-eng Niocu untuk merampas kem-bali Tiang Bu siapa yang bertanggung jawab kalau terjadi sesuatu dengan anak kita, Lee Goat?"

   Mendengar ini Hui Lian menjadi bi-ngung dan ia menangis sarnbil bersandar di dada suaminya. la suka kepada Tiang fe Bu, akan tetapi ia sayang kepada Lee Goat. Terhadap Tiang Bu ia tidak mem-punyai rasa sayang seorang ibu, hanya kasihan dan suka, pula disertai rasa tang-gung jawab atas keselamatan putera sucinya itu.

   "Habis bagaimana baiknya.....?" tanya-nya perlahan.

   "Kautunggu saja di rumah, biar aku yang pergi mencarinya. Memang tidak seharusnya didiamkan saja. Andaikata Li Hwa itu tidak bermaksud jahat dan ingin mengambil murid kepada Tiang Bu, tidak selayaknya ia menculik seperti seorang penjahat. Pula, kita bertanggung jawab atas keselamatan anak itu. Bagaimana kata orang-orang gagah di dunia kalau sampai anak itu celaka dalam tangan kita tanpa kita berusaha menolongnya? Biar aku besok berangkat pergi mencarinya."

   Hu Lian memeluk suaminya.

   "Akan tetapi..... dia amat lihai. Kukira kau atau aku bukan tandingannya. Kalau kita maju berdua kiranya baru dapat mengimbanginya."

   Hong Kin mengangguk-angguk.

   "Aku mengerti, oleh karena itu aku pun mempunyai maksud hendak singgah di Luiiang-san bertemu dehgan Wan-bengcu. Kebetulan jalan menuju ke Go-bi-san me-lalui Luliang-san. Pula" kalau aku tidak keliru sangka, agaknya Hui-eng Niocu mengharapkan supaya Wan-bengcu cam-pur tangan dalarn penculikan ini."

   "Mengapa kausangka demikian!" Hui Lian mengerutkan keningnya.

   "Lupakah kau akan ucapannya ketika ia menCulik Tiang Bu? Dia menyatakan bahwa biarpun kita akan dibela oleh Wan-bengcu, dia tidak takut. Ucapan ini agaknya sengaja ia keluarkan untuk me-nentang Wan-bengcu. Kalau tidak demikian mengapa ia membawa-bawa nama Wan-bengcu dalam urusan ini. Oleh karena itu aku hendak singgah di Luliang-san dan hendak minta nasihatnya.

   Setelah mendapat kepastian bahwa suaminya akan minta pertolongan Wan Sin Hong, hati Hui Lian menjadi tenang. Ia merasa yakin bahwa kalau Sin Hong mendengar, tentu akan membantunya dan akan merebut kembali Tiang Bu dari tangan Hu.-eng Niocu Siok Li Hwa. Tiba-tiba Hui Lian mendapat pikiran yang baik sekali.

   "Suamiku, amat tidak enak kalau begitu saja minta tolong kepada Wan-bengcu. Lebih baik kalau kita serahkan saja Tiang Bu untuk menjadi muridnya. Anak itu sudah cukup besar, pula kalau kita berkukuh tidak mau menurunkan ilmu silat kepadanya, tentu orang-orang akan bilang kita tidak suka kepada anak itu. Kalau Wan-bengcu mau menerimanya sebagai murid, kiraku ia akan menjadi orang baik-baik, dan biarlah kelak ia nienjadi seorang gagah yang berbudi mu> lia untuk menebus kejahatan orang yang menurunkannya."

   Seperti juga isterinya, Hong Kin suka kepada Tiang Bu akan tetapi tidak sayang, maka usul ini diterimanya dengan baik. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Hong Kin berangkat meninggalkan Kim-bun-to untuk memulai dengan perjalanannya yang jauh, mungkln sainpai ke Go-bi-san, atau sedikitnya sampai ke Luliang-san. Setelah menyeberang ke daratan" ia melanjutkan perjalanarmya dengan menunggang kuda.

   Pada masa cerita ini terjadi, daratan Tiongkok terbagi dua antara Pemerintah Kaisar dari Kerajaan Cin dan Kaisar dari Kera|aan Sung selatan. Sudah lima enam puluh tahun daratan Tiongkok berada dalam keadaan seperti ini. Batas dari daerah atau wilayah kekuasaan dua kerajaan ini adalah Sungai Yangce. Di sebelah utara Sungai Yangce terrnasuk wllayah Kerajaan Cin, sedangkan di sebelah selatan termasuk wilayah Kerajaan Sung Selatan atau disingkat Kerajaan Sung saja.

   Antara dua kekuasaan ini sering kali terjadi pertentangan dan pertempuran yang senglt. Akan tetapi pertentongan ini hanya terbatas pada kelompok kecil saja, tidak sampai merembet kepada kerajaan masing-masing. Apalagi setelah kedua fihak melihat adanya perkembangan pada bangsa Mongol yang selalu mengincar, maka sekali saja timbul perang di antara mereka, pasti bangsa utara yang berani mati itu akan menyerbu, menggunakan kesempatan selagi dua ekor an|lng berebut tulang dan bertengkar, diam-diam mengambil tulangnya.

   Yang payah adalah rakyat jeia.ta. Untuk bagian sebelah utara Sungai Yang-ce, yaitu di wilayah Kerajaan Cin, kesengsaraan rakyat tidak mengherankan ini oleh karena memang KeraJaan Cin dianggap sebagai kerajaan penjajah yaitu terdiri dari bangsa Yu-cin yang kemudian" mendirikan bangsa Cin. Akan tetapi ter-nyata bahwa di daerah selatan, di mana kerajaannya masih di tangan orang-orang "aseli", keadaannya pun sama saja, kalau tak boleh dikatakan lebih buruk. Korupsl merajalela, hukum rimba berlaku, siapa berkuasa dia sewenang-wenang, siapa kuat dia rnenang atas yang lemah, siapa kaya dia dapat berbuat sekehendak hatinya Tidak ada pembesar yaog tidak menerima sogokan. Pengadilan hanya namanya saja, pada hakekatnya adalah sarang sogokan dan pemerasan. Urusan putih bisa dikatakan hitam oleh hakim yang telah menerima sogokan sampai perutnya yang gendut hampir pecah. Rakyat petani miskin jangan sekali-kali menghadapi urusan pengadilan, karena benar maupun salah tetap kalah. Perkara penasaran bertumpuk-tumpuk. Tuan-tuan tanah menjadi raja-raja kecil di dusun-dusun. Kerja sama yang kotor sekali terjadi setiap hari di kota antara para hartawan dan bangsawan berpangkat.

   Bahkan, keadaan di selatan ini se-sungguhnya lebih buruk daripada keadaan di utara. Oleh karena itu, kalau di selatan orang-orang gagah sama sekali tidak sudi membantu pemerintah Kerajaan Sung, adalah sebaliknya di utara terdapat kerja sama yang baik dalam arti kata tidak pernah ada pertentangan, sungguh-pun orang-orang gagah tidak ada yang terang-terangan membantu Kerajaan Cin. Sebaliknya di selatan, sering kali orang-orang gagah membantu rakyat jelata yang tertindas, sering kali membasmi okpa-okpa yaitu orang-orang hartawan dan bangsawan yang memeras rakyat.

   Tidak adanya pertentangan di utara, sebagian besar adalah karena di fihak kerajaan ada Pangeran Wanyen Ci Lun yang bijaksana dan dapat bersikap mulia terhadap orang-orang kang-ouw. Di lain fihak, yaitu di fihak dunia kang-ouw, yang menjadi bengcu adalah Wan Sin Hong, yang sebagaimana telah dicerita-kan di bagian depan adalah seorang ke-turunan darah bangsa Cin pula. Ayah Wan Sin Hong adalah seorang pangeran bernama keturunan Wanyen pula dan nnasih terhitung paman dari Pangeran Wanyen Ci Lun (baca Pedang Penakluk Iblis).

   Cukup sekian sekedar mengetahui kcadaan Tiongkok pada masa itu dan mari kita kembali mengikuti perjalanan Coa Hong Kin yang menuju ke Luliang-san. la melakukan perjalanan cepat dan i hanya berhenti untuk makan dan tidur saja.

   Oleh karena maklum dan sukarnya perjalanan mendaki puncak Jeng-in-thia dl Luliang-san, maka setelah tiba di kaki Gunung Lullang-san pada senja hari, ia mehunda perjalanan dan bermalam di sebuah dusun. Barui pada keesokan harinya, pagi-pagi benar ia mendaki bukit dan langsung menuju ke puncak di mana Wan-bengcu tinggal. Perjalanan amat sukar dan melelahikan. Baiknya Hong Kin adalah seorang gagah yang telah me-miltki kepandaian tinggi sehingga baginya tidak terlalu sukar untuk mencapai puncak.

   Setelah ia tiba di dekat puncak 3eng-in-thia, tiba-tiba ia mendengar seruan-seruan seperti orang bersilat dan alang-kah kagetnya k"etika ia merasa sambdran-sambaran angin pukulan yang dahsyat. Puncak itu masih terpisah jauh, akan tetapi dan tempat ia berdiri biarpun ia tidak melihat orang-orang yang bertem" pur, namun ia telah merasai sambaran argin pukulan. Benar-benar hebat sekali tenaga orang-orang yang sedang bertem-pur itul la mempercepat jalannya naik ke puncak.

   Setelah tiba di Jeng-in-thia, terlihatlah olehnya dua orang kakek sedang bertempur dengan gerakan lambat-lambat sekali, akan tetapi angin pukulan me-nyambar-nyambar dari dua orang kakek ini. Hong Kin cepat mengerahkan tenaga Iweekangnya ketika angin pukulan me-nyambar hebat sekali. Namun tetap saja ia terhuyung ke belakang sampai tiga tindak terdorong oleh angin pukulan itu. Padahal dua orang kakek yang bertempur itu jauhnya ada sepuluh tombak dari tempat ia berdiri!

   "Hebat....." katanya da!am hati dan cepat-cepat Hong Kin menyelinap dan berlindung di batu karang besar sekali yang takkan roboh oleh serbuan angin taufan sekalipun. Dari tempat berlindung yang kokoh kuat itu ia mengintai.

   Dilihatnya Wan Sin Hong dengan sikap tenang, bibir tersenyum akan tetapi mata bersinar-sinar penuh ketegangan dan pe-nuh perhatian memandang ke arah dua orang kakek yang sedang bertempur, duduk bersila di atas batu rendah. Di sebelah kanannya duduk pula tiga orang tosu tua yang sikapnya tenang akan te-tapi jelas kelihatan betapa kagum dan juga tegang menonton pertempuran itu. Di sebelah kiri dari Sin Hong tampak pula tiga orang hwesio yang berdiri de-ngan "lengan tangan bersilang di depan dada dan kaki lebar, juga penuh perhatian menonton pertempuran.

   Tiga orang tosu dan tiga orang hwe-sio ini dapat tahan berada di dekat tem-pat pertempuran tanpa bergeming, ini saja sudah menandakan bahwa ilmu ke-pandaian mereka amat tinggi, jauh lebih tinggi daripada tingkat ilmu kepandaian Coa Hong Kin yang bersembunyi dan mengintai di balik batu karang. Kemudian Hong Kin mengalihkan pandangannya kepada dua orang yang asyik bertempur.

   Mereka ini adalah seorang tosu yang sudah tua sekali dan seorang hwesio yang bertubuh tinggi besar dan berpakaian kasar serta beralis tebal dan hitam. Melihat tosu yang tinggi kurus dan berjenggot panjang sekali ini, kenallah Hong Kin. Tosu itu adalah Bu Kek Siansu ketua Bu-tong-pai, dan gemuk sekali dengan jenggot pendek itu tidak salah lagi tentulah Pang Soan Tojin ketua dart Teng-san-pai. Tosu ke tiga yang kurus bongkok memegang tongkat butut ia tidak kenal. juga tiga orang hwesio yang berdiri itu ia tidak kenal.

   Kini pertempuran berjalan lebih cepat daripada tadi. Tadi mereka bertempur lambat-lambat, tidak mengandalkan kecepatan untuk mencari kemenangan, melainkan mengandalkan sepenuhnya kepada tenaga Iweekang mereka. Ternyata mereka seimbang dalam kekuatan Iweekang. Hawa pukulan masing-masing tidak dapat mempengaruhi lawan, apalagi meroboh-kan. Juga tiap kali tangan mereka ber-adu keduanya tergetar karena tenaga raksasa yang seimbang besarnya bertemu.

   Setelah pertempuran dilanjutkan dengan cepat, keduanya berputaran dan saking cepatnya rnereka bergerak sampai bayangan mereka menjadi satu dan sukar membedakan mana tosu mana hwesio!

   Coa Hong Kin memandang kagum. menghadapi pertempuran yang jarang dapat disaksikan orang, pertempuran antara cabang-cabang atas, antara tokoh-tokoh besar persilatan. Bu Kek Siansu adalah ketua Bu-tong-pai, sebuah partai persilatan besar yang sudah amat tersohor, maka tidak mengherankan apa-bila ilmu silatnya tinggl sekali. Akan tetapi hwesio yang menjadi lawannya juga lihai bukan main. Tentu saja ia tidak tahu bahwa empat orang hwesio itu adalah tokoh-tokoh dari selatan yang menjagoi dunia kang-ouw di daerah selatan.

   Sementara itu, ketika pertempuran terjadi makin hebat dan di puncak ketegangannya, Wan Sin Hong bangkit berdiri dan berseru.

   "Ji-wi Locianpwe harap merhbatasi diri dan jangan membahayakan lawan!"

   Mendengar seruan ini, Bu Kek Siansu melompat mundur dan kakek ini menjadi merah.

   "Kepandaian Le Thong Hosiang benar-benar hebat, pinto merasa taktuk!" katanya sambil menjura.

   "Mana bisa! Ketua Bu-tong-pai terlalti merendah. Kita masih seimbang, belum ada yang lebih tinggiatau rendah. Pinceng sudah lama mendengar tentang Bu-tong Kiam-sut yang sukar dicari tandingannya. Kalau toyu sudah membuka mata pinceng dengan sinar pedang, barulah pinceng akan merasa puas dan biar pinceng bawa sebagai oleh-oleh ke selatan. Ha-ha-ha!"

   Bu Kek Siansu menjadi pucat "karena menahan marah. Hwesio selatan ini benar-benar sombong sekali, pikirnya. Tanpa menjawab sesuatu, melihat Le Thong Hosiang telah mengeluarkan senjatanya, yaitu sebatang toya pendek yang kelihat-an berat, Bu Kek Siansu lalu menggerak-kan tangan kirinya dan "srat.....!" sebatang pedang tipis telah berada di tangannya. Gerakannya cepat sekali dan cara mencabut pedang ini saja sudah menunjukkan betapa tinggi kiam-sut dari ketua Bu-tong-pai ini.

   Sin Hong mengerutkan alisnya, akan tetapi ia tidak sempat mencegah karena Le Thong Hosiang sambil tertawa-tawa telah memutar toyanya melakukan serangan-serangan hebat. Ilmu toya dari hwesio ini benar-benar tangguh sekali dan beberapa jurus kemudian Sin Hong sudah mengenal ilmu toya ini sebagai Ilmu Toya Siauw-lim-pai yang sudah ba-nyak berubah.

   Bu Kek Siansu juga maklum akan kelihaian toya lawan, maka ia pun tidak mau kalah, memutar pedangnya yang berubah menjadi segulungan sinar putih yang kuat. Di lain saat dua prang kakek ini sudah lenyap dari pandangan mata, bayangan mereka terbungkus oleh sinar pedang yang putih seperti perak dan sinar toya yang agak kehitaman.

   Apalagi bagi pandangan mata Hong Kin, ,ia seakan-akan melihat dua ekor naga, putih dan hitam, tengah bermain-main di tempat itu, melayang-layang dan menyambar-nyambar!

   "Bukan main....." kembali ia memuji. Sin Hong yang melihat betapa dua orang kakek yang bertempur itu mulai "panas" sehingga sinar senjata mereka merupakan kuku maut, lalu menarik napas panjang, maju beberapa langkah, kemudian ia mengebut-ngebutkan kedua ujung lengan bajunya seakan-akan membuang kotoran dan debu yang menempel pada ujung lengan bajunya itu. Padahal sebetulnya pemuda sakti ini tengah mengerahkan tenaga sinkangnya sehingga beberapa gelintir tanah kering yang me-nempel di kedua ujung lengan baju itu melayang dengan luncuran cepat ke arah dua kakek yang sedang bertempur.

   "Ayaaa.....!" Le Thong Hosiang melompat ke belakang dan wajahnya berubah pucat. Ketika ia sedang bertempur tadi, ia melihat benda hitam kecii seperti capung menyambar mengenai tongkatnya dan ia merasa telapak tangannya tergetar dan terus hawa panas menjalar ke lengannya membuat lengan itu seperti lumpuh.

   Juga Bu Kek Siansu melompat mundur, menjura ke arah Sin Hong sambil berkata.

   "Baiknya bengcu datang melerai, kalau tidak mungkin pinto akan tewas di bawah toya Le Thong Hosiang."

   Mendengar ini, barulah Le Thong Hosiang tahu bahwa tadi adalah perbuatan bengcu muda itu, diam-diam ia kaget sekali.

   "Masih begini muda sudah lihai bukan main....." pikirnya kagum dan gentar.

   "Le Thong Hosiang, maafkan kalau aku campur tangan. Biarpun terpisah oleh Sungai Yangce dan bernaung di bawah kerajaan yang berbeda, namun pada hakekatnya, kita kedua fihak masih ter-hitung orang-orang segolongan, yakni orang-orang yang menjunjung tinggi ke-gagahan, keadilan dan bertindak di atas jalan kebenaran dan kebijaksanaan. Oleh karena itu, biarpun pada saat ini di antara kita terdapat perbedaan faham dan pendapat, namun tidak semestinya kalau perbedaan faham ini dikotori dan dibikin hebat oleh pertempuran yang hanya akan memperdalam salah mengerti, mungkin akan menimbulkan permusuhan. Oleh karena itu, aku harap kau dan kawan-kawanmu suka nnempertimbangkan hal ini baik-baik."

   Le Thong Hosiang mengempit toyanya dan berkata kepada tiga orang hwesio yang berdiri bagaikan patung.

   "Wan-bengcu telah memperlihatkan kelihaiannya dan terus terang saja, pinceng merasa kagum dan tunduk sekali. Lepas dari darah bangsawannya, memang dilihat dari kelihaian-nya ia patut menjagoi. Hayo kita pergi."

   Tiga orang itu lalu menjura ke arah Wan Sin Hong dan para tosu, setelah Sin Hong dan empat orang tosu membalas penghormatan mereka, Le Thong Hosiang dan tiga orang kawannya lalu berlari turun gunung dengan langkah lebar sekali. Ketika lewat di dekat batu karang di belakang mana Hong Kin bersembunyi, Le Thong Hosiang berkata sambil tertawa.

   "Toyaku sudah tidak ada gunanya!" Dan dipukulnya batu kar&ng itu. Ter-dengar suara keras dan permukaan batu kat-ang itu remuk sambil mengeluarkan 4 bunga api. Seluruh batu karang itu tergetar hebat. Dapat dibayangkan betapa kagetnya Hong Kin yang mengira batu karang itu akan roboh menimpanya, cepat melompat keluar. Empat orang hwe-sio itu tertawa-tawa sambil melanjutkan lari mereka.

   Hong Kin mandi keringat. Bukan. main lihainya Le Thong Hosiang tadi yang ternyata dapat melihatnya dan sengaja menggertaknya keluar dari tempat persembunyian. Karena tidak dapat bersembunyi pula, Hong Kin lalu keluar menghampiri Sin Hong, dan memberi hormat kepada Sin Hong dan para tosu itu.

   Para tosu yang sedang menghadapi Sin Hong dan nampaknya ada urusan penting hanya mengangguk saja kepada Hong Kin, sedangkan Sin Hong berkata.

   "Saudara Coa Hong Kin, duduklah dan tunggu sampai aku selesai bicara dengan parar Locianpwe ini." la menuding ke arah sebuah batu hitam di dekat se-pasang makam yang terawat baik dan mewah. Hong Kin mengangguk lalu ber-jalan cepat dan duduk di atas batu se-telah mengangguk hormat di depan se-pasang makam yang ia tahu adalah ma-kam Pak Kek Siansu dan Pak Hong Sian-su. Setelah itu ia duduk mendengarkan percakapan rnereka.

   "Wan-bengcu, pinto hendak bertanya dengan singkat saja. Tentang tuduhan kawan-kawan gundul tadi bahwa dahulu Wan Sin Hong adalah seorang penjahat besar, tak perlu dibicarakan lagi karena pinto dan kawan-kawan lain semua maklum bahwa dahulu kau difitnah oleh Liok Kong Ji yang melakukan kejahatan mem-. pergunakan namamu. Akan tetapi, ada hal yang baru yang kami dengar tadi. Betul-betulkah kau adalah keturunan dari keluarga Raja Cin dan mana ke-turunanmu Wanyen? Betulkah kau keturunan bangsa Cin yang menjajah tanah air kita di utara ini?"

   Wajah Sin Hong menjadi sebentar pucat sebentar merah. la menarik napas panjang berulang-ulang, lalu melambaikan tangan dan berkata.

   "Duduklah dulu, Totiang dan dengar-kan penjelasanku."

   Kemudian sambil bersila di atas batu, Sin Hong berkata.

   "Cuwi Locianpwe dan para Locianpwe yang dulu hadir dalam pemilihan bengcu di Ngo-heng-san, semua tahu belaka bah-wa sesungguhnya aku Wan Sin Hong tidak sekali-kali mengajukan diri dan berusaha mendapatkan kedudukan bengcu. Terus terang saja, adalah setengah terpaksa aku menerima tugas dan kedudukan bengcu, karena apa sih senangnya men-jadi bengcu? Tanggung jawab besar, se-lalu menghadapi hal-hal tak menyenang-kan untuk dipecahkan dan diselesaikan.

   Akan tetapi, sudahlah semua itu, aku sudah menerimanya dan aku akan men-jaga agar dapat menunaikan tugas dengan taruhan jiwa ragaku. Sekarang ini, Cuwi Locianpwe, setelah terkena tiupan dari orang-orang gagah di selatan yang berpikiran sempit, meributkan soal nama keturunan. Apakah isi hati manusia di-ukur dari keturunannya? Adakah manusia hendak disamakan dengan kuda yang selalu ditanya keturunan apa untuk ditentukan baik tidaknya?

   Sepanjang sejarah yang kuketahui, banyak keturunan orang biasa saja men-. jadi raja dan menjadi pembesar tinggi, juga tidak kurang banyak keturunan raja dan orang-orang besar akhirnya menjadi penjahat rendah!"

   "Wan-bengcu, pinto rasa cukup semua pembelaan yang Wan-bengcu ajukan ini karena kami semua sudah mengerti akan hal itu. Yang menjadi persoalan apakah benar kau keturunan Wanyen?" tanya Tai Wi Siansu, kakek yang sudah amat tua itu sambil memandang tajam.

   "Tai Wi Taisu, kau orang tua yang sudah jadi sahabat baik, dan penasehatku selama ini, yang kuanggap sebagai pengganti orang tua dan guru, kau juga...,.?"

   "Justeru karena itulah pinto meng-hendaki kepastian, karena ini bukan hal yang remeh saja....." Wan Sin Hong me-mandang kepada keempat orang tosu itu berganti-ganti, kemudian berkatalah ia dengan suara lantang, nadanya menantang.

   "Memang benar! Aku Wan Sin Hong adalah putera tunggal dari Wan Kan yang tadinya bernama Pangeran Wanyen Kan! Ayahku seorang pangeran besar dan Ibuku seorang anak murid Hoa-san-pai. Memang betul aku keturunan seorang pangeran bernama Wanyen. Habis, apa bedanya?"

   Keempat orang tosu ini seperti mendapat komando, bangkit berdiri dari tem-pat duduk masing-masing, menjura ke arah Wan Sin Hong, lalu pergi setelah Tai Wi Taisu berkata lirih.

   "Wan-bengcu, urusan ini harus kami bicarakan di antara ketua partai. Sampai berjumpa kembali!" Maka pergilah empat orang tosu ini turun dari puncak Jeng-in-thia, meninggalkan Wan Sin Hong yang tersenyum getir dan hatinya tertusuk. la berdiri termenung memandang ke arah perginya empat orang tosu tadi dan baru tersadar ketika mendengar suara di belakangnya.

   "Sungguh empat orang kakek yang hanya panjang usianya saja akan tetapi pikirannya sempit!" Wan Sin Hong me-nengok dan memandang kepada Coa Hong Kin.

   "Orang seperti engkau yang pernah bekerja sama dengan Pangeran Wanyen Ci Lun, baru tahu bahwa bukan hanya suku bangsa Han yang mempunyai orang-orang budiman. Akan tetapi pandangan orang-orang tua itu tentang kebangsaan amat kolot dan kukuh. Bagi mereka, se-lain bangsa Han tulen tidak ada orang baik. Ah, Saudara Coa, aku benar-benar mulai menyesal mengapa dulu kuterima kedudukan bengcu. Sekarang tentu akan datang hal-hal yang amat tidak enak."

   "Wan-bengcu, empat orang tosu tadi agaknya ketua-ketua dari partai-partai besar yang dahulu bekerja sama meng-hadapi orang-orang jahat seperti Liok Kong 3i, See-thian Tok-ong dan lain-lain. Akan tetapi empat orang hwesio itu siapakah? Dan mengapa tadi Bu Kek Siansu bertempur melawan hwesio itu?"
Sin Hong menghela napas.

   "Saudara Coa, karena kebetulan kau menyaksikan semua tni, baik kuceritakan padamu. Duduklah."

   Coa Hong Kin lalu d"iduk di atas batu dan Sin Hong bercerita. Ternyata bahwa empat orang hwesio yang lihai-lihai itu | adalah tokoh-tokoh besar dari selatan, jyaitu Le Thong Hosiang ketua Partai Taiyun-pai di Pegunungan Taiyun-san yang letaknya di pantai utara, Nam Kong Hosiang dan sutenya Nam Siong Hosiang pemimpin-pemimpin kelenteng besar di Gunung Kao-likung-san, dan yang ke empat seorang yang amat terkenal di selatan yang bernama Heng-tuan-san Lojin (Orang Tua dari Heng-tuan-san), seorang hwesio perantau yang tinggi ilmu silatnya.

   Ketika empat orang hwesio ini tiba di puncak Jeng-in-thia Wan Sin Hong se-dang duduk bercakap-cakap dengan empat orang tosu yang memang betul seperti dikenal oleh Hong Kin adalah Bu Kek Siansu ketua Bu-tong-pai, Pang Soan Tojin ketua Teng-san-pai, Tai Wi Siansu ketua Kun-lun-pai. dan yang seorang lagi adalah Cin-lien Tojin, seorang tosu perantau dari Gunung Cin-Lien-san.

   Empat orang tosu ini mengunjungi Wan-bengcu dan tengah bercakap-cakap tentang ancaman orang-orang Mongo! yang menurut Sin Hong mulai mengirim-kan orang-orang pandai ke perbatasan untuk menjadi penyelidik dan juga agak-nya ada maksud-maksud dari orang-orang Mongol itu untuk membujuk orang-orang gagah di wilayah Kerajaan Cin agar suka bekerja sama. Sin Hong dan empat orang tosu itu sedang berdebat. Menurut pen-dapat Sin Hong, sudah sepatutnya kalau para orang gagah bangkit dan melawan orang-orang Mongol itu dan membasmi atau mengusir mereka, bukan sekali-kali demi Kerajaan Cin, melainkan demi keselamatan rakyat agar jangan sampai dijajah oleh orang-orang Mongol. Akan tetapi empat orang tosu itu membaritah, menyatakan bahwa bukan menjadi ke-wajiban mereka untuk membantu raja yang bukan bangsa sendiri. Mereka ini hendak lepas tangan dan menyatakan bahwa selama mereka tidak diganggu oleh orang-orang Mongol, mereka hendak mengambil sikap sebagai penonton saja apabila timbul perang antara Negara Cin dan Negara Mongol.

   Selagi mereka berdebat, muncul empat orang hwesio dari selatan itu yang da-tang-datang memaki-maki dan mencela orang-orang kang-ouw di wilayah utara yang dikatakannya sudah lupa kebangsaan sehingga memilih bengcu seorang penjahat yang bernama Wan Sin Hong. Bukan hanya penjahat, bahkan seorang keturunan Wan-yen.

   "Sungguh tidak disangka bahwa orang-orang gagah seperti Kun-lun dan Bu-tong sampai kena dibeli oleh Kaisar Cin sehingga mau saja mempunyai bengcu se-orang anak pangeran. Hm, memalukan sekali," demikian Le Thong Hosiang mengakhiri caci makinya.

   Kata-katanya membuat Bu Kek Siansu marah, maka tak dapat dicegah lagi kedua orang kakek ini lalu mengadu ke-pandaian sampai Sin Hong turun tangan mencegah pertumpahan darah lebih lan-jut. Kelihaian Sin Hong ternyata dapat mengusir empat orang hwesio itu. Akan tetapi, kata-kata Le Thong Hosiang mengejutkan para tosu dan mereka meng-ajukan pertanyaan tentang keturunan Wanyen.
"Demikianlah, Saudara Coa. Teritu para ciangburijin (ketua) partai besar akan sependapat dan tidak setuju rnempunyai bengcu seorang Wanyen. Hal ini bagiku tidak ada artinya, biar aku tidak men-jadi bengcu tidak akan kecewa atau me-nyesal. Akan tetapi, justeru pada saat orang-orang Mongol akan bergerak, rnun-cul urusan ini dan sikap para ciang-bunjin yang tidak ambil peduli atas ge-rakan orang-orang Mongol itu benar-benar menggelisahkan hatiku. Ahh, aku membicarakan urusanku sendiri saja sampai melupakan urusanmu. Saudaraku yang baik, kau datang tentu membawa urusan penting. Ada apakah?"

   Wajah Hong Kin menjadi muram.

   "Agak sukar aku membuka mulut setelah mendengar betapa kau tertimbun urusan sulit. Kedatanganku berarti menambah beban dan kepusinganmu, Wan-bengcu."

   Melihat kemuraman wajah Hong Km, hati Sin Hong berdebar. Betapapun juga, persangkaan bahwa Hui Lian tertimpa malapetaka membuat ia gelisah dan cemas.

   "Saudara Coa, jangan kaubilang begitu. Lekas katakan; kesulitan apakah yang mengganggumu?"

   Dengan singkat Hong Kin lalu menceritakan tentang penculikan atas diri Tiang Bu yang dilakukan oleh Hui-eng Niocu Siok Li Hwa.

   "Inilah yang menyusahkan hati kami, Wan-bengcu, karena Tiang Bu bagi Kami sama dengan putera sendiri. Tadinya kaiTu mempunyai niat untuk menyerahkan anak itu kepadamu agar dapat menerima pelajaran ilmu silat dan pendidikan dari-mu. Dan bukan sekali-kali aku hendak memanaskan hatimu atau mengadu, Wan-bengcu, akan tetapi sesungguhnya Hui-eng Niocu telah meninggalkan kata-kata bahwa biarpun kau akan membela kami, dia takkan takut menghadapimu."

   Sejak tadi Sin Hong sudah tersenyum dan mendengar kata-kata terakhir ini se-nyumnya melebar dan ia mengangguk-angguk. .

   "Tak usah kau berkata begitu, aku pun telah mengerti, Saudara Coa. Aku! tahu akan maksud Hui-eng Niocu. Me-mang aku sudah menduga bahwa ia tentu akan mencari gara-gara. Jangan kau kha-watir, biarlah aku yang akan menyusul ke Go-bi-san dan memintakan anakmu itu. Akan tetapi tentang menjadikan aku sebagai gurunya..... aku belum sanggup | menerima murid, saudaraku yang baik. 1 Entah kelak. Biarlah, hal itu kita bicara-kan kelak saja. Sekarang yang terpenting, aku akan mengejarnya dan karena aku , mempunyai sebuah urusan, harap kau suka mewakili aku pergi, dengan demikian semua urusan dapat beres."

   "Tentu saja, katakanlah. Apa yang harus kulakukan?" tanya Hong Kin cepat-cepat.

   "Sepulangwu dari sini, singgahlah di kota raja flan -berikan sepucuk suratku kepada Pangeran Wanyen Ci Lun. Dapat-kah kaulakukan hal ini untukku?"
Wajah Hong Kin berseri gembira.

   "Cocok dan kebetulan sekali! Tentu saja tugas ini akan kulakukan dengan segala senang hati, Wan-bengcu, karena memang aku pun hendak singgah di kota raja, hendak mengunjungi Pangeran Wanyen Ci Lun!"

   "Bagus! Kalau begitu tunggulah 18^-bentar kubuatkan suratnya dan kita be^ rangkat menjalankan tugas masing-masing."

   Dengan cepat Sin Irtong masuk ke dalam gua, membuat surat untuk Pange-ran Wanyen Ci Lun yang menjadi saudara misannya, memberikan itu kepada Coa Hong Kin dan tak lama kemudian c"ua ,orang rnuda ini turun dari puncak, lalu berpisah mengambil jalan masing-maskig. Coa Hong Kin menuju ke timur sedang-kan Sin Hong menuju ke utara.

   Hui-eng-pai atau Perkumpulan Garuda Terbang mempunyai markas di sebuah hutan yang subur dan indah di atas salah sebuah puncak di Pegunungan Go-bi-san. Puncak ini memang bertanah subur se-hingga dari kaki bukit sampai ke atas, penuh dengan dusun-dusun yang didiami oleh para petani.

   Di puncak inilah tinggal Hui-eng Niocu Siok Li Hwa dengan seratus orang anak buahnya, semua terdirl dari wanita belaka. Ada yang .sudah tua, ada yang masih remaja, akan tetapi sebagian besar ada-lah gadis-gadis yang cantik. Biarpun tidak hidup sebagai pertapa-pertapa atau pendeta-pendeta akan tetapi keadaan mereka hampir sama dengan penghidupan para nikouw (pendeta wanita Buddha), berdisiplin dan memegang tata tertib.

   " Seorang anggauta yang berani melakukan penyelewengan, akan dihukum keras oleh Siok Li Hwa, akan tetapi ini bukan berarti bahwa semua anggauta tidak mempunyai kebebasan. Banyak sudah anggauta yang mendapatkan "jodoh" dan mereka ini tidak dilarang untuk menikah, hanya dilarang untuk kembali ke situ dan di-haruskan keluar dan ikut suaminya! Pen-deknya, yang diperbolehkan tinggal di situ hanyalah anggauta-anggauta yang masih gadis yang sudah janda, pendeknya orang-orang yang tidak terikat hidupnya oleh suami.

   Di belakang bangunan yang besar sekali dan amat indahnya seperti istana raja-raja, terdapat sebuah taman yang luas dan indah pula. Tarran ini penuh dengan bunga-bunga yang jarang terlihat di kota dan di sudut taman terdapat sebuah makam yang terawat baik. Inilah? makam dari Pat-jiu Nio-nio, pendiri Hui-eng-pai atau guru Siok Li Hwa dan se-mua anggauta Hui-eng-pai. Makam ini terawat baik dan merupakan pujaan di samping Hui-eng Niocu Siok Li Hwa sendiri yang dipuja dan disegani oleh semua anggauta. Siok Li Hwa masih se-lalu menghormat makam mendiang guru-nya karena menganggap makam ini sebagai pengganti guru dan orang tuanya. Seringkali ia kelihatan duduk termenung di depan makam, atau kadang-kadang kelihatan ia tekun bersembahyang se-akan-akan minta doa restu dari gurunya itu.

   Pada suatu hari Li Hwa pulang membawa seorang bocah laki-laki yang buruk mukanya. Semua anggauta Hui-eng-pai terheran-heran. Anggauta-anggauta yang sudah lanjut usianya dan menjadi pembantu Siok Li Hwa, memprotes. Akan tetapi mereka ini dibentak oleh Li Hwa yang berkata lantang..

   "Jangan ribut-ribut! Aku bukan mem-bawa pulang seorang pemuda! Ini adalah bocah yang masih kecil dan bersih, yang kubawa pulang untuk menjadi muridku karena aku melihat ia berbakat baik."

   "Akan tetapi, Niocu. Amat tidak pan-tas..... kalau dia sudah besar, sepuluh tahun lagi saja...... dia menjadi seorang pemuda di antara kita....." bantah seorang anggauta yang berusla lima puluh tahun.

   "Ini namanya melanggar sumpah dan larangan perkumpulan....." kata pula wanita tua ke dua.

   "Diam! Sekali lagi bilang melanggar sumpah, kutampar mulutmu! Siapa yang melanggar larangan? Bunyi larangan ialah tidak diperbolehkan memasukkan seorang laki-laki ke tempat ini. Yang kumaksud-kan bukan orang dewasa melainkan se-orang bocah. Dia akan berbuat jahat apakah? Tentu saja ada batasnya. Paling lama tujuh tahun dia berada di sini. Setelah berusia dua belas tahun, ia harus pergi. Nah, siapa berani bilang aku me-masukkan laki-laki? Apakah bocah umur lima sampai dua belas tahun bisa men-datangkan hal-hal buruk? Hayo jawab!" Tak seorang pun berani menjawab karena selain takut, juga mereka pikir tiada salahnya kalau di situ ada seorang bocah cilik, biar laki-laki sekalipun.

   Demikianlah, Tiang Bu dirawat dan diobati oleh ahli-ahli pengobatan di situ dan ternyata setelah beberapa hari ber-ada di situ, hampir semua anggauta Hui-eng-pai, tua muda, suka kepadanya. Hal ini tidak mengherankan karena sudah lajim kaum wanita suka kepada anak-anak, apalagi di situ tidak pernah ada anak kecil, dan laki-laki pula!

   Setelah kakinya yang patah sembuh sama sekali, pada suatu pagi, Li Hwa mengajak anak itu ke taman bunga, tempat yang paling disukai oleh Tiang Bu. Anak ini tak pernah mau bertanya tentang ayah bundanya, karena pernah ia satu kali bertanya dijawab dengan tamparan yang menyakitkan kedua pipinya oleh Siok Li Hwa.

   "Kau menurut saja apa yang dikatakan oleh Niocu," berkali-kali para anggauta Hui-eng-pai memberi nasihat ke-pada bocah ini sehingga Tiang Bu menjadi takut kalau berhadapan dengan Siok Li Hwa.

   Li Hwa membawa ke makam yang berada di sudut taman dan menyalakan beberapa batang hio. la memberikan hio itu kepada Tiang Bu, sebagian dipegang-nya sendiri, lalu berkata.

   "Hayo kau sembahyang di depan makam Su-couw."

   Tiang Bu menurut saja. la berdiri di depan miakam dan mengangkat-angkat hio ke atas kepala. Li Hwa minta hio itu dan menancapkannya di depan bongpai (batu nisan).

   "Hayo berlutut dan kautsru kata-kata yang kuucapkan nanti!"

   Li Hwa berlutut dan Tiang Bu berlutut di sebelahnya, hatinya berdebar penuh rasa takut. Makam itu mengenkan hatinya dan upacara yang tidak mengertinya ini menimbulkan rasa seram dan takut.

   "Sucouw Pat-jiu Nio-nio, teecu Liok Tiang Bu bersumpah....." kata Li Hwa, lalu disambungnya perintah kepada Tiang Bu.

   "Hayo tiru!"

   "Sucouw Pat-jui Nio-nio, teecu..... Tiang Bu bersumpah.." bocah itu meniru akan tetapi meninggalkan she Liok, karena biarpun masih kecil, anak ini cerdik dan sudah tahu bahwa shenya bukan Liok, melainkan Coa.

   Li Hwa marah dan menampar kepala anak itu sehingga bergulinganlah tubuh kecil itu. Baiknya Li Hwa tidak menggunakan tenaganya sehingga Tiang Bu tidak terluka. Dengan takut Tiang Bu berlutut lagi.

   "Goblok! Aku bilang LIOK Tiang Bu, dan kau pun harus meniru begitu. Kau-kira kau ini she Coa dan kau ini anak siapakah? Coa Hong Kin dan Go Hui Lian itu bukan ayah bundamu. Ayahmu bernama Liok Kong Ji dan Ibumu bernama Gak Soan Li, tahu? Hayo, semua kata-kataku harus ditiru, tidak boleh diubahl"

   Dengan sebentar-sebentar berhenti agar bocah itu mudah menglkutinya, Li Hwa ^ membuat anak itu bersumpah begini.

   "Sucouw Pat-jiu Nio-nio, teecu Liok Tiang Bu bersumpah akan menjadi murid yang taat dan rajin dari Hui-eng Niocu, Siok Li Hwa. Kelak kalau teecu sudah pandai, teecu berjanji akan membalas budi Hui-eng Niocu Siok Li Hwa, membalas sakit hatinya kepada dua orang, yaitu pertama kepada Wan Sin Hong dan ke dua kepada Go Hui Lian, karena dua orang itu telah membuat guruku Siok Li Hwa kehilangan kebahagiaannya."

   Baru saja sumpah atau janji ini selesai diucapkan, terdengar suara menegur.

   "Li Hwa, kau benar-benar terlalu sekali"" Bayangan yang gesit sekali berkelebat dan di lain saat tubuh Tiang Bu telah disannbar dan dipondong oleh orang yang baru tiba dan menegur tadi.

   "Sin Hong, manusia keji dan sombong. Kembalikan muridku!" Li Hwa mengejar dengan pedang Cheng-liong-kiam sudah berada di tangannya. Dengan marah sekali ia menyerang Sin Hong yang cepat mengelak kareria serangan itu dilakukan dengan sungguh-sungguh.

   "Li Hwa, dengarlah dulu. Jangan mengganggu orang tidak berdosa....."

   "Laki-laki kejami, kembalikan dla." Li Hwa berseru lagi dan pedangnya berkele-bat amat berbahaya, bukan saja berbahaya bagi Sin Hong, bahkan juga mengancam keselamatan Tiang Bu yang berada dalam pondongan Sin Hong.

   Melihat betapa serangan Li Hwa bu-kan main-main dan benar-benar mengancam keselamatan Tiang Bu, terpaksa Sin Hong mencabut pedang di pundaknya dengan tangan kanan dan sekali tangannya bergerak, pedangnya telah dapat menindih pedang Li Hwa! Li Hwa ber-kutetan mengerahkan segenap tenaga agar pedangnya terlepas dari tindihan pedang Sin Hong, namun sia-sia belaka, pedangnya seakan-akan sudah lekat dan menjadi satu dengan pedang Pak-kek-sin-kiam di tangan Sin Hong. Dengan mengerahkan tenaga sambil menggigit bibir saking gemasnya, Li Hwa mencoba sekali lagi untuk membetot pedangnya, supaya terlepas. Masih saja sia-sia belaka.

   Marahlah Li Hwa. la masih mem-punyai tangan kiri yang menganggur, akan tetapi ia tahu bahwa kalau ia me-nyerang Sin Hong akan percuma saja karena pemuda itu mempunyai kepandai-an yang beberapa kali lebih tinggi tingkatnya. Oleh karena itu, tiba-tiba tangan kirinya meluncur ke depan dan jari telunjuk tangan kirinya menotok ke arah jidat Tiang Bu yang digendong Sin Hong. Serangan ini cepat sekali dan tidak terduga sama sekali, sehingga Sin Hong menjadi terkejut sekali. la berseru kaget membanting tubuhnya ke belakang. Dengan sendirinya ia menarik kernbali pedangnya dan melompat dengan cara berjungkir-balik ke belakang dengan Tiang Bu masih berada dalam pondongannya.

   "Kembalikan muridku!" Li Hwa ber-seru gemas sambil mengejar ketika melihat Sin Hong berlari dan melompat keluar dari tembok yang mengelilingi taman bunga itu. Air matanya sudah mengalir saking gemasnya, karena gadis ini tahu betul bahwa tak mungkin ia akan dapat menyusul Sin Hong kalau laki-laki itu betul-betul hendak melarikan diri. Ilmu lari cepatnya kalah jauh dibanding-kan dengan Sin Hong.

   Akan tetapi ketika ia tiba di luar taman, ia melihat bahwa Sin Hong ter-nyata sedang bertempur hebat melawan tiga orang kakek aneh yang ketika ia perhatikan bukan lain adalah Pak-kek Sam-kui! Tiga orang aneh ini dengan bertangan kosong menyerang Sin Hong dan mengepungnya dari tiga jurusan dengan ilmu silat mereka yang aneh dan luar biasa akan tetapi hebat sekali. Tak jauh dari situ, hampak tiga puluh enam orang berdiri teratur seperti barisan dan mereka ini kelihatan kuat-kuat. Tiang Bu yang tadi dipondong oleh Sin Hong telah berada di pondongan seorang yang berdiri terdepan di barisan itu. Apakah yang terjadi dalam waktu singkat tadi?

   Ketika Sin Hong melompat .keluar | dari taman bunga dikejar oleh Li Hwa, begitu tiba di luar tembok, ia merasa ada angin pukulan yang dahsyat menyambarnya dari segala jurusan, ditambah pula dengan bermacam-macam sinar yang ter-nyata bukan lain adalah jarum-jarum halus yang berbisa. Sin Hong kaget bukan main karena serangan tiba-tiba ini benar-benar amat membahayakan, ter-utama sekali berbahaya bagi Tiang Bu yang berada dalam pondongannya. la maklum bahwa hawa-hawa pukulan itu dilakukan oleh orang-orang berkepandaian i tinggi. Baginya hawa pukulan ini masih tertahan karena tubuhnya memiliki sin-kang yang tinggi, akan tetapi kalau hawa pukulan itu mengenai Tiang Bu tentulah bocah ini akan tewas! Oleh karena itu sambil melesat ke samplng dan meng-gerakkan lengan kanannya untuk me-nyampok semua jarum-jarum halus itu, Sin Hong melemparkan Tiang Bu ke tempat aman dan anak itu jatuh ke atas tanah berumput yang tidak keras. Anak itu kaget dan menangis. Baru sekaiang ia dapat menangis sejak kekagetan hebat yang ia alami. Tadinya jatuh dari pohon setelah disengat lebah sarnpai kakinya patah, lalu diculik Hui-eng Niocu, ke-mudian dijadikan perebutan antara Sin Hong yang tidak dikenalnya dengan Hui-eng Niocu yang ia takuti. Sekarang ia mengalami hal yang hebat lagi.

   
Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Di lain saat tiga orang berkelebat dan menyerang Sin Hong sambil tertawa-tawa. melihat bahwa tiga orang ini bu-kan lain adalah Pak-kek Sam-kui, Sin Hong mendongkol sekali dan cepat me-layani mereka. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia melihat bagaimana sebarisan orang tiba-tiba muncul dari balik pohon-pohon dan seorang di antara-nya yang kelihatan sebagai pemimpirnya, melompat dan menyambar tubuh Tiang Bu. Saking takut dan kagetnya melihat barisan orang-orang berwajah galak ini, Tiang Bu menutup kembali mulutnya dan tidak berani menangis. Hanya matanya yang lebar itu memandang ke sana ke mari dengan liar.

   Melihat semua ini, Li Hwa menjadi marah dan dengan pedang di tangan ia melompat, bukan untuk merampas kem-bali Tiang Bu, melainkan untuk membantu Sin Hong.

   "Pak-kek Sam-kui siluman-siluman pengecut!" ia memaki dan pedangnya menyerbu cepat. Kedatangan Li Hwa ini kebetulan sekali oleh karena Sin Hong yang telah mainkan Pak-kek Sin-kiam ternyata juga terdesak oleh tiga orang aneh ini. Padahal mereka bertiga bertangan kosong saja! Ketiganya memiliki kepandaian tinggi dan aneh, berani mempergunakan kuku jari tangan untuk me-nyentil pedang pusaka

   Andaikata Li Hwa tidak datang merh-bantu, akan sukar sekali bagi Sin Hong mencapai kemenangan, atau sedikitnya ia harus mengeluarkan seluruh kepandaian dan tenaga serta memakan waktu lama. Akan tetapi setelah Li Hwa maju dengan pedang Cheng-liong-kiam di tangannya, keadaan segera berubah. Dua sinar pedang putih kuning dan hijau menyambar dan bergulung-gulung seperti dua ekor naga membuat Pak-kek Sam-kui kewalahan sekali.

   Akan tetapi dua orang muda itu ter-nyata hanya dapat melindungi diri dengan baik saja, sama sekali tidak dapat me-ngirim serangan yang membahayakan musuh. Mengapa begitu? Oleh karena Sin Hong maklum bahwa tingkat kepandaian Li Hwa masih kalah beberapa tingkat kalau dibandingkan dengan tiga orang aneh ini. Apabila dia melakukan serangari dalam keadaan seperti itu, mungkin ia akan dapat merobohkan seorang di antara tiga lawan ini, akan tetapi sebaliknya keadaan Li Hwa juga berbahaya karena tidak terlindung oleh pedangnya. Inilah yang menyebabkan Sin Hong mengurangi daya serangannya dan memperkuat daya tahan karena ia harus melindungi keselamatan Li Hwa.

   Di lain fihak, Pak-kek Sam-kui me-j rasa seperti menghadapi dua tembok baja yang kuat sekall. Tiga orang kakek yang sakti dan banyak pengalamannya ini maklum bahwa kalau pertempuran ini dilanjutkan, mereka takkan menang. Giam-lo-ong Ci Kui yang jangkung dan gundul itu tiba-tiba mengeluarkan seruan-seruan aneh yang menjadi isyarat bagi kawan-kawannya. Sin Hong sudah merasa khawatir sekali, kalau-kalau tiga puluh enam orang itu diperintahkan maju membantu.

   Akan tetapi anehnya, ketika barisan itu mulai bergerak mencabut senjata, tiga orang kakek itu bahkan melompat imundur! Giam-lo-ong Ci Kui melompat ke depan komandan barisan, menyambar tubuh Tiang Bu, kemudian bersama dua orang sutenya ia melarikan diri.
"Penjahat-penjahat keji, tinggalkan anak itu.....!" Sin Hong berseru dan besama Li Hwa ia mengejar.

   Akan tetapi, tiba-tiba barisan itu ber-gerak cepat sekali, menghadang dua orang muda yang hendak mengejar itu! Semua anggauta barisan memegang golok besar di tangan, sikap mereka garang sekali.

   "Tikus-tikus busuk, kalian sudah bosan hidup!" Li Hwa memaki dan pedang hijaunya menyambar-nyambar. Sebentar saja Li Hwa dan Sin Hong terkurung rapat oleh tiga puluh enam orang itu yang bertempur secara nekat dan mati-matian. Biarpun bagi Sin Hong dan Li Hwa kepandaian mereka ini tidak se-berapa artinya, namun kenekatan mereka membuat dua orang muda ini kewalahan dan harus berhati-hati juga. Mereka ber-dua sama sekali tidak melihat kesempat-an untuk melanjutkan pengejaran mereka terhadap Pak-kek Sam-kui.

   Hebatnya tiga puluh enam orang ini seakan-akan tidak takut mati atau me-mang tolol. Melihat kawan-kawan mereka banyak yang roboh oleh pedang dua orang yang lihai itu mereka tidak menjadi je-rih, sebaliknya bagaikan singa mencium darah, mereka makin nekad dan men-desak terus. Benar-benar seperti rom-bongao nyamuk yang tidak takut api
lilin, menyerbu terus sampai mereka roboh binasa.

   Sin Hong tidak tega untuk membunuh sekian banyak orang. Akan tetapi Li Hwa seperti berpesta, pedangnya menyambar-nyambar dan setiap kali terdengar jerit kesakitan atau golok terputus menjadi dua.

   "Kalian masih tidak mau menyerah? Sin Hong membentak, marah dan heran.

   Sebagai jawaban, beberapa orang serdadu ini melemparkan sesuatu ke arah-nya. Melihat benda bulat hitam, Sin Hong rnengira bahwa mereka mempergunakan senjata rahasia pelor besi. Melihat cara mereka melempar dan jalannya pelor yang tldak kencang, Sin Hong tertawa mengejek. Ada lima buah benda hitam yang menyambar ke arahnya. Cepat la menyampok pelor pertama dengan pedangnya.

   "Darrr.....!" Benda itu meledak mengeluarkan api!

   Sin Hong cepat menggulingkan tubuh ketika merasa hawa panas dan benda-benda kecil menyambar ke arahnya dari pecahan itu.

   Akan tetapi empat buah benda lain berturut-turut jatuh ke tanah dan meledak. Hal yang tidak disangka-sangka ini, biarpun seorang sakti seperti Siri Hong sekalipun, tak sempat menghindarkan diri lagi. Kalau ia tahu, tentu ia akan melompat jauh-jauh dari tempat itu. Biarpun ia sudah mengelak ke sana ke mari dan memutar pedangnya, tetap saja beberapa benda kecil mengenai tubuhnya. Benda-benda kecil yang panas memasuki kaki dan lengannya!

   Li Hwa mengalami nasib sama! Bah-kan lebih hebat. Sebuah benda yang menyambar kepadanya ia tendang dan benda itu meledak, isinya melukai paha kanan4 nya, membuat gadis itu roboh tak dapat bangun pula.

   Melihat ini, Sin Hong menjadi marahB sekali. Tadinya pemuda ini masih merasa enggan dan ragu-ragu untuk membunuh semua orang itu, karena ia maklum bahwa mereka ini hanyalah pasukan yang menjadi alat dan menerima komando. Akan tetapi melihat betapa mereka mempergunakan senjata rahasia yang demikian jahat ia mengeluarkan seruan keras, pedang Pak-kek-sin-kiam berkelebat, tubuh Sin Hong lenyap terbungkus gulungan sinar pedang dan terdengar pekik susul-menyusul ketika seorang demi seorang, fihak musuh roboh menjadi korban pedang.

   Yang mengagumkan, pasukan Mongol itu terus melakukan perlawanan sampai orang terakhir dan setelah orang terakhir ini roboh pula oleh pedang Sin Hong, baru pertempuran berhenti! Di sana-sini menggeletak mayat orang dan jumlah mereka tiga puluh enam orang. Kesemua-nya tewas. Sin Hong menggeleng-geleng kepala melihat ini. Benar-benar pasukan yang hebat, kalau semua barisan Mongol mempunyai semangat berperang seperti yang tiga puluh enam orang irii, tidak ada kekuasaan di dunia yang dapat me-ngalahkan mereka. Baiknya hanya ada tiga puluh enam orang yang mengeroyok dia dan Li Hwa, kalau ada ratusan kira-nya dia takkan dapat menyelamatkan diri. Baru tiga puluh enam orang saja, kaki dan lengannya terluka dan Li Hwa roboh pingsan.

   Cepat Sin Hong menolong Li Hwa. Dilihatnya celana yang menutupi kaki kanan gadis itu berlumur darah. Tahulah, dia bahwa Li Hwa terluka hebat pada kakinya. Tanpa berpikir panjang lagi, membuang segala rasa sungkan dan malu-malu, ia lalu merobek kaki celana yang kanan ini. Nampak betis dan paha yang berkulit putih halus itu ternoda darah yang mengucur dari beberapa bagian di paha gadis itu. Beberapa potongan besi telah memasuki paha itu dan lukanya hebat juga karena tuiang paha gadis itu ditembusi potongan besi!

   Tiba-tiba Sin Hong merasa tubuhnya panas sekali, kaki dan tangannya yang terluka terasa ngilu. la meramkan mata menggigit bibir menahan sakit, lalu cepat mengambil bungkusan obat di punggung-nya. la harus mengobati dirinya sendiri lebih dulu sebelum memulai dengan peng-obatan kepada Li Hwa. Dengan sebuah pisau perak, ia membelek kulit lengan dan kakinya yang kemasukan potongan besi, mengorek potongan besi panas itu keluar.

   Dapat dibayangkan betapa sakitnya pembedahan ini, dan ia menahan sakit sampai keringat sebesar kacang-kacang hijau memenuhi mukanya. Kemudian ia menempelkan bubukan obat pada luka-luka itu dan menelan tiga butir pel hijau. Baru ia merasa enak dan panas yang menyerang tubuhnya lenyap, juga rasa ngilu tidak ada lagi. Bubukan obat yang ia tempelkan pada luka-luka itu mendatangkan rasa dingin nyaman.

   Setelah menolong diri sendiri, ia mulai memeriksa paha kaki Li Hwa yang terluka parah itu. Tiba-tiba mukanya menjadi merah sekali karena ia teringat akan pengalamannya dahulu ketika ia , mengobati paha dari Gak Soan Li yang diremuk oleh pukulan Tin-san-kang dari seorang tosu jahat bernama Giok Seng Cu (baca Pedang Penakluk Iblis). Akan tetapi ia menenangkan pikirannya dan dengan sehelai saputangan yang dicelup air, ia mencuci paha yang penuh darah itu untuk dapat memeriksa dengan baik.

   Kemudian ia mulai mengerjakan pisau peraknya setelah menotok beberapa bagi-an jalan darah yang penting untuk men-cegah darah keluar lagi dari luka-luka itu dan untuk mengurangi rasa sakit apabila ia melakukan pembedahan untuk mengeluarkan potongan-potongan besBy yang memasuki paha gadis itu.

   Ketika ia mulai mengorek keluar sebuah potongan besi, Li Hwa merintih perlahan. Gadis itu telah siuman dan merasa pahanya sakit sekali. la membuka mata dan melihat Sin Hong sedang mengobati pahanya yang telah terluka parah, melihat betapa Sin Hong memegang ka-kinya yang tidak tertutup apa-apa, tiba-tiba rasa jengah dan malu melebihi rasa nyeri.

   Rintihannya terhenti, mukanya ber-ubah merah dan Li Hwa meramkan kem-bali kedua matanya! Sama sekali tidak berkutik dan gadis yang aneh ini diam-diam berterima kasih kepada musuh-mu-suhnya yang telah melukainya sehingga ia bisa dirawat secara demikian mesra oleh Sin Hong! Memang cinta kasih bisa mendatangkan pikiratn yang gila-gila dalam kepala manusia.

   Sin Hong bukan seorang bodoh apalagi seorang ahli pengobatan. Jangankan tadi Li Hwa sudah merintih dan membuka mata, andaikata Li Hwa tidak me-lakukan dua hal sebagai tanda telah siuman itu, dari denyut darah yang di-dorong oleh perasaan dan yang terasa oleh jari-jari tangannya melalui kaki Li Hwa, dia akan tahu bahwa gadis itu tidak pingsan lagi. Melihat gadis itu berpura-pura terus pingsan atau mungkin juga terlalu lemah untuk bangun, Sin Hong. lalu berkata lirih, untuk mencegah salah pengertian gadis itu.

   "Li Hwa, kau terluka. Pahamu ter-tembus pecahan-pecahan besi-besi senjata rahasia lawan, tulang pahamu patah. Untuk mencegah keracunan, aku terpaksa melakukan pembedahan sekarang juga untuk mengeluarkan besi-besi itu dan untuk menyambung tulang paha yang patah.".

   Diam-diam di dalam hatinya Li Hwa tersenyum geli dan memuji watak yang sopan dari Sin Hong.

   Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut dan puluhan orang wa-nita anak buah Hui-eng-pai datang berlari-lari sambil membawa senjata. Mereka ini terlambat keluar membantu Li Hwa, karena memang tadinya merekatidak tahu adanya pertempuran itu yang terjadi dalam waktu cepat. Selain ini, juga mereka ini biasanya selalu hanya mematuhi perintah dari Li Hwa, sedangkan pada waktu itu Li Hwa tidak kelihatan maka semua orang ketika mulai mendengar ribut-ribut pertempuran di luar pagar tembok taman, menjadi bi-ngung tidak mempunyai komando.

   Setelah mendengar suara ledakan-ledakan keras dari senjata-senjata rahasia berapi, mereka mengkhawatirkan ketua mereka yang tidak kelihatan di antara mereka. Barulah mereka menyerbu ke luar.

   Melihat ketua mereka telentang se-perti mayat di atas tanah dan seorang laki-iaki sedang duduk di dekatnya, kemudian melihat keadaan pakaian Li Hwa yang tidak karuan, yaitu kaki kanannya tidak tertutup sampai di paha, marahlah mereka ini. Mereka mengira bahwa Sin Hong tentu telah melakukan perbuatan yang tidak patut dan melukai ketua mereka. Biarpun di antara mereka, yaitu yang dulu pernah ikut dengan Li Hwa pergi ke Ngo-heng-san, mengenal Sin Hong sebagai pemuda yang terpilih men-jadi bengcu, akan tetapi melihat keadaan Li Hwa dan Sin Hong, tidak mau berpikir panjang lagi dan mereka maju menerjang.

   "Jahanam, kau berani mencelakakai Niocu" bentak mereka.

   "Eh, eh, nanti dulu.....! Aku tidak mencelakakan dia, aku bahkan mengobatinya!" Sin Hong cepat menggerakkan tangan kiri mengebutkan ujung lengan baju dan sekaligus empat buah pedang yang menyerangnya terlempar. Akan tetapi ia menjadi gugup oleh karena ia sedang membedah paha Li Hwa dan kalau ia tinggalkan untuk menghadapi amukan para wanita itu, paha itu akan rnenjadi makin parah dan sukar diobati pula.

   Para anggauta Hui-eng-pai terkejut melihat bagaimana dengan kebutan lengan baju kiri secara sembarangan saja, empat batang pedang telah dapat dipukul terlempar. oleh Sin Hong. Akan tetapi, untuk menolong ketua mereka, para wa-mta ini tidak takut dan juga kata-kata Sin Hong tadi tidak mereka percaya. Baiknya, sebelum para wanita ini me-nyerang lagi, Li Hwa membuka matanya dan membentak.

   "Mundur semua! Wan-bengcu sedang mengobati kakiku, menpapa kalian berani mengganggu? Mundur dan pergilah."

   Dengan mata terbelalak heran dan kaget, semua anggauta Hui-eng-pai mun-dur, kecuali tujuh belas orang wanita yang setengah tua dan memegang pedang. Sikap mereka heran sekali dan mereka inilah yang tidak mau mundur. Tujuh belas orang wanita setengah tua ini terkenal di kalangan mereka sebaeai Cap-jit Hui-eng Toanio (Tujuh BeLas Nyonya Besar Garuda Terbang). Sebutan Hui-eng Toanio ini saja menunjukkan bahwa tingkat mereka tidak berbeda jauh^ dengan Siok Li Hwa sendiri yang ber-juluk Hui-eng Niocu (Nona Garuda Ter-bang). Memang demikianlah adanya Cap-jit Hui-eng Toanio ini adalah murid-murid utama dari mendiang Pat-jiu Nio-nio dan ketika Pat-jiu Nio-nio masih hidup, tujuh belas orang murid kepala im menjadi pembantu-pembantunya yang boleh diandalkan. Akan tetapi, karena Li Hwa yang mewarisi kitab rahasia pe-ninggalan Pat-jiu Nio-nio dan kemudian nona ini yang menjadi ketua maka tujuh belas orang yang terhitung sucinya itu hanya menduduki tempat ke dua, men-jadi pembantu-pembantu Li Hwa.

   Kini, menghadapi hal yang menyang-kut nama baik Hui-eng-pai, biarpun se-mua anggauta takut dan mundur atas seruan Li Hwa, tujuh belas orang toanio ini menghadapi ketua mereka dengan muka sungguh-sungguh.

   

Pedang Penakluk Iblis Eps 26 Pendekar Pedang Pelangi Eps 21 Pedang Penakluk Iblis Eps 33

Cari Blog Ini