Ceritasilat Novel Online

Tangan Geledek 5


Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo Bagian 5




   Akan tetapi tak disangka-sangkanya Bu Hok Lokai menjadi marah sekali, me-maki-makinya dan mengancam hendak meninggalkannya, bahkan hendak turun tangan membunuhnya!

   "Tidak sudi aku mempunyai murid maling! Jangan menjadi muridku, dekat saja aku tidak sudi dengan segala maling dan pencuri. Lebih baik tidak makan dan kelaparan daripada mencuri," kata kakek ini marah-marah.

   "Selama kau berada di sampingku, sekali lagi kau melakukan pencurian aku takkan segan-segan turun tangan membunuhmu!"

   Semenjak itu, Tiang Bu merasa jera dan tidak beranl lagi untuk melakukan pencurian. la rela menderita, bahkan kadang-kadang beberapa hari tidak ma-kan! la sama sekali tidak tahu karena masih terlalu kecil, bahwa gurunya ini kadang-kadang sengaja membawa muridnya menderita, sengaja membiarkan muridnya kelaparan dan sengsara untuk menambah benih-benih ksatria, agar mu-i ridnya ini tahu dan merasa betapa sengsaranya orang yang miskin dan kelak" suka mempergunakan kepandaian untuk menolong orang yang sengsara.

   Di samping hidup yang serba kurang dan sengsara ini, dengan amat tekunnya Tiang Bu berlatih silat dibawah pimpinan Bu Hok Lokai. Atas nasihat Bu Hok Lokai, Tiang Bu menghafal isi kitab dari Omei-san itu di luar kepala, kemudian kitab itu dibakar! Tiang Bu memang memiliki kecerdikan luar biasa rnaka tidak sukar baginya untuk menghafal. Dalam waktu setengah tahun, semua:;? dasar dan teori Ilmu Silat Pat-hong-hong-i yang termuat dalam kitab itu telah" hafal olehnya.
(Lanjut ke Jilid 05)
Tangan Geledek/Pek Lui Eng (Seri ke 03 -Serial Pendekar Budiman)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 05
Setahun setengah telah lewat semenjak ia ikut dengan Bu Hok Lokai dan pada suatu hari ia dan gurunya tiba di kota raja. Girang sekali hatl Tiang Bu ketika ia melihat dinding tinggi "ang mengelilingi kota raja. Sudah lama sekali ia mendengar orang bicara tentang kota raja yang besar, indah dan ramai. la sama sekali tidak menyangka bahwa di tempat ini ia dan gurunya akan mengalami penstiwa hebat.

   "Tiang Bu, kita berhenti di sini saja. Hari sudah hampir gelap dan tidak enak memasuki kota raja di waktu pintu-pintu gerbang sudah mau ditutup, akan dicuri-gai. Besok pagi-pagi saja kita rnasuk ke kota. Lagi pula, apanya sih yang bagus dilihat di waktu malam? Kita mengaso di bawah jembatan sana itu. Dulu aku per-nah meneduh di sana."

   Tiang Bu merasa kecewa karena ia ingin sekali cepat-cepat memasuki kota kaisar. Akan tetapi ia tidak berani i-nem-bantah kehendak gurunya. Sambil rneng-gandeng tangan gurunya, ia menuruni jalan kecil menurun dl tepi jalan "raya. Jalan ini menuju ke kolong jembatan besar yang berada di situ. Ketika mereka tiba di kolong jembatan, baru Tiang Bu melihat bahwa tempat itu amat luas dan memang enak dipakai mengaso. Panas tidak kepanasan, hujan tidak kehujanan lagi pula, hawanya hangat di situ.

   Di sudut seberang terdapat seorang laki-laki yang duduk dengan muka ter-sembunyi di antara lututnya yang diangkat. Orang ini pakaiannya compang-camping dan kotor seperti seorang jem-bel yang sudah melarat betul-betul. Akan tetapi kepala yang mukanya disembunyi-kan itu gundul pslontos. Sukar menaksir berapa usia orang ini. la tidak bergerak, akan tetapi terdengar ia menggumam dengan kata-kata tak jelas.

   Dia cantik..... aduh dia cantik mu-ngil..... seperti Ibunya..... anakku..... cantik seperti Siu Lan..... ah Siu Lan.... kalau saja kau bisa melihatnya..... can-tik....." lalu orang itu mengeluarkan suara ham-hem-ham-hem tidak karuan.

   Selagi Tiang Bu memandang kepada orang gundul itu dengan penuh perhatian, tiba-tiba ia mendengar Bu Hok Lokai menarik napas panjang dan berkata.

   "Perempuan..... di mana-mana terdapat korbanmu....."

   Tiang Bu memandang suhunya dengan mata .bertanya.

   "Apa Suhu mengenal dia?" tanyanya.

   Gurunya menghempaskan diri di atas rumput yang tumbuh di situ, lalu me-narik napas panjang dan menggeleng kepaia.

   "Aku .tidak mengenalnya, akan ."ike^api aku dapat menduga bahwa dia tentu menjadi korban wanita pula, seperti aku."

   Mendengar ini, seketika perhatian Tiang Bu kepada orang itu lenyap, dan pindah kepada gurunya. la pun duduk di dekat suhunya dan bertanya.
"Kau, Suhu? Korban wanita?"

   Bu Hok Lokai mengangguk-angguk dan matanya menatap air di bawah jembatan. la termenung dan terbayanglah peristiwa lama yang kadang-kadang membikin perih hatinya, perih hati yang selalu ditahan-tahan. Sekarang, mendapat kawan se-orang murid yang disayangnya, ia men-dapat kesempatan membuka isi hatinya, melempar ke luar semua penasaran yang meluap di dalam lubuk hati.

   "Tiang Bu, sebetulnya kau masih kecil untuk mendengar penuturanku ini. Akan tetapi apa boleh buat, harus kuceritakan kepadamu karena aku tidak tahan iagi. Pula, baik sekali bagimu agar menjadi peringatan bahwa kau harus selalu ber-hati-hati dan waspada kalau kelak ber-hadapan dengan wanita, apabila wanita cantik yang rnenarik hatimu nanti. Aku sudah tua dan siapa tahu aku akan rnati sebelum menceritakan hal ini kepadamu, maka biarlah sekarang saja kuceritakan kepadamu. KauJittat keadaanku. Seorang tua bangka sudah mau mampus, tidak berada di rumah anak cucunya melainkan merantau sebatang kara, menjadi pe-ngemis dengan kaki terpincang-pincang. Ini semua gara-gara wanita cantik."

   Tiang Bu melongo. Sama sckali tidak pernah disangkanya gurunya akan bicara begini. Akan tetapi karena ia diam-diam ingin sekali mengetahui riwayat suhunya, ia diam saja, memandang penuh perhati-an dan membuka telinga baik-baik. Se-cara singkat, diselingi oleh tarikan napas dalam berkali-kali, Bu Hok Lokai r en-ceritakan riwayatnya seperti berikut.

   Dahulu Bu Hok Lokai bukan seorang pengemis. Dia adalah seorang keturunan bangsawan yang pandai ilmu silat dan ahli sastra sehingga ia terkenal sebagai seorang bun-bu-cwan-jai. Hanya sedikit sayang bahwa Lai Cin, demikian nama aselinya, mempunyai wajah yang tak dapat dibilang menarik atau tampan di waktu mudanya. Sebagai seorang bangsa-wan muda yang pandai dan beruang ia selalu menolak kehendak orang tuanya apabila hendak dijodohkan dengan alasan bahwa calon isteri itu kurang menarik, tidak memenuhi idam-idaman hatinya. Akhirnya ia merukah juga dengan seorang gadis tercantik di kotanya, dan pernikah-an itu dirayakan dengan ramai dan me-riah. la mencinta isterinya itu dengan sepenuh hati bahkan boleh dlbilang bahwa Lai Cin jatuh berlutut di bawah penga-ruh isterinya yang cantik jelita itu se-hingga banyak orang mentertawakannya diam-diam dan rnengabarkan bahwa Lai Cin mempergunakan sepatu isterinya untuk tempat ia makan dan minum!

   Ini semua kiranya takkan mengurangi kebahagiaan hidup Lai Cin kalau saja isterinya itu mempuriyai kesetiaan. Lai Cin sejak kecil mempunyai seorang sa-habat baik yang kemudian menjadi "su-hengnya (kakak seperguruannya). Suheng-nya ini bernama Lauw Tek In, seorang pemuda gagah dan ganteng, terkenal sebagai seorang pemuda perantau dan pemogoran. Seringkali Lauw Tek In datang berkunjung ke rumah Lai Cin dan ber-malam sampai beberapa pekan di rumah sutenya yang besar dan bagus itu. Semua takkan mengganggu kebahagiaan rumah tangga Lai Cin kalau saja isterinya bu-kan seorang yang lemah iman dan saha-batnya bukan orang yang berhati anjing. Pada suatu hari Lai Cin mendapatkan isterinya itu bermain gila dengan suhengnya!

   Tidak ada peristiwa hebat di dunia ini yang akan dapat menghancurkan hati Lai Cin seperti keadaan hati dan perasaannya ketika ia menyaksikan perbuatan isteri-nya yang tercinta dan sahabatnya yang boleh dikata menjadi juga saudara tuanya yang ia sayang dan hormati itu. la men-jadi mata gelap dan menyerang suheng-nya itu mati-matian. Sebagai suhengnya, tentu saja kepandaian Lauw Tek In lebih tinggi daripada kepandaian Lai Cin. Akan " tetapi, pada waktu itu Lai Cin adalah seorang patah hati yang nekad dan menyerang seperti orang gila, sebaliknya Lauw Tek In yang merasa berdosa, telah menjadi gentar dan gugup sehingga akhir pertempuran di dalam kamar itu, Lauw Tek In tewas dan sebaliknya Lai Cin terkena pukulan lihai dari suhengnya sehingga tulang kakinya rusak dan tak dapat diperbaiki lagi membuat ia terpincang-pincang selama hidup. Lai Cin yang sudah hampir gila saking marah dan terpukul batinnya itu lalu mencekik sam-pai mati isterinya sendiri.

   Dalam keadaan terluka dan tak dapat berjalan, ia terpaksa menyerah ketika ditangkap oleh yang berwajib. Akan te-tapi dalam pemeriksaan, ia sama sekali tidak mau menceritakan keadaan se-benarnya, hanya menceritakan bahwa ia bertengkar mulut dengan isterinya, ke-mudian datang suhengnya yang bermalam di situ untuk melerai. Dalam kemarahan-. nya ia malah mengeluarkan kata-kata menghina kepada suhengnya, terjadi per-tempuran sampai suhengnya tewas. Ke-mudian, menyesal karena suhengnya mati dan menganggap isterinya yang menjadi gara-gara, ia membunuh isterinya itu.

   Alasan ini sebetulnya tak dapat diterima dan orang-orang sudah dapat. menduga-duga sendiri akan peristiwa di kamar itu. Akan tetpai siapakah berani banyak membuka mulut. 3uga para pem-besar tidak berani berlaku keras, karena orang tua Lai Cin mempergunakan semua harta mereka untuk menolong putera tunggal ini, Lai Cin tidak dlhukum mati, melainkan dihukum buar"g. Di dalam penjara, lambat laun kakinya menjadi sembuh biarpun pincang, setelah sehat benar ia lalu melarikan diri dari penjara dan hidup di dunia kang-ouw sebagai seorang pendekar pincang yang berwatak aneh.

   Kemudian, melihat betapa bebas hidup para pengemis, ia pun menjadi jembel . sampai di hari tuanya. Hatinya sudah menjadi dingin terhadap kemewahan du-nia, perasaannya sudah mati terhadap kecantikan wanita. Kegembiraan hidupnya lenyap terbawa oleh isterinya yang se-benarnya amat dikasihinya itu.

   "Demikianlah, muridku. Hidupku selama ini hampa dan kaulah satu-satunya orang yang kuharapkan akan dapat hidup sempurna, kuharapkan dapat menjadi se-orang gagah dan budiman. Dan aku me-rasa khawatir kalau aku teringat akan nasibku, jangan-jangan kau pun akan "menjadi korban. Banyak sekali orang gagah yang akhirnya rusak binasa hanya oleh senyum manis dan kerling memikat. Banyak sekali contohnya, termasuk orang gundul itu. Maka kau kelak harus ber-hati-hati, Tiang Bu. Jangan kauukur hati "wanita dari senyum dan kerlingnya. Jangan seperti aku..... sampai sekarang aku tidak dapat melupakan dia..... biarpun dia telah menipuku, telah menghinaku....."

   Tiang Bu merasa kasihan meiihat kakek tua pincang ini, yang menunduk dan-kelihatan seperti orang mau me-nangis. Tentu saja Tiang Bu yang baru berusia tujuh tahun lebih itu merasa asing mendengar kata-kata gurunya seperti itu. Akan tetapi ia cukup cerdik untuk menangkap isinya, dan ia merasa kasihan kepada gurunya yang bernasib malang itu.

   "Kata-kata, bohong dan berbisa, jahat sekali." Tiba-tiha orang gundul yang tadi duduk sambil menyembunyikan muka di antara lututnya, berteriak marah sambil mengangkat muka memandang.

   "Kakek sial, tidak semu-i wanita seperti binimu yang berjalan serong. Tidak semua wanita suka berzina dan menipu suaminya. Tidak semua wanita cantik berhati palsu seperti binimu. Isteriku yang manis, istenku yang cantik Jelita flnelebihi binimu, isteri-ku Sui Lan cantik lahir batin. Dia pun mati muda, dia pur" tidak cinta kepadaku seperti binirnu yang tidak mencintamu. Akan tetapi dia tidak berjalan serong seperti binimu. Untuk mengakhiri ke-tidakcintanya kepadaku, dia bukan ber" zina dengan orang lain, melainkan ber-zina dengan maut sampai maut mereng-gut nyawanya, meninggalkan seorang bayi! Jangan bilang wanita cantik berhati palsu kakek sialan. Isteriku Sui Lan seorang bidadari, seorang dewi berhati mulia!" Setelah melontarkan kata-kata penuh kemarahan ini, orang gundul ini lalu menyembunyikan lagi mukanya di antara kedua lututnya dan melihat be-tapa tubuh dan pundaknya bergerak-gerak dapat diduga bahwa dia tentu sedang menangis.

   Tiang Bu melongo ketika melihat orang itu. Muka orang itu seperti muka kanak-kanak, tentu saja tidak bisa dikata tampan karena orangnya sudah dewasa, tiga puluh lima atau empat puluh tahun usianya akan tetapi berwajah kekanak-kanakan, kepalanya gundul dan matanya liar.

   Terdengar Bu Hok Lokai menarik napas panjang.

   "Dia lebih menderita daripada aku. Kesedihanku karena kehilangan dia dapat kuhibur dengan anggapan bahwa dia se-orang palsu dan jahat, akan tetapi orang itu, kasihan sekali..... dia selalu akan terkenang kepada isterinya yang berhati mulia. Ah, sudahlah. Tak perlu mem-bangkit-bangkitkan urusan lama yang me-nyebalkan hati,. Hayo, Tiang Bu. Kau berlatih, Pat-hong-hong-i dapat kau sem-purnakan kelak kalau Iweekangmu sudah baik. Sekarang kau harus melatih Sam-hoan Sam-bu sampai baik betul, untuk bekal penjagaan diri sebelum kau dapat menguasai Pat-hong-hong-i."

   Tiang Bu segera melakukan perifttah suhunya dengan senang. hati. la selalu merasa girang kalau berlatih, karena setiap kali berlatih, di bawah pengawasan suhunya, ia tentu mendapat kemajuan setingkat. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Ilmu Silat Pat-hong-hong-i (Delapan Penjuru Angin) adalah i!mu silat yang terdapat dalam kitab yang secara kebetulan terjatuh ke dalam ta-nean Tiang Bu dan oleh karena ilmu silat tinggi ini tidak mudah dipelajari Tiang Bu, atas nasihat gurunya, menghafal isi kitab di luar kepala sebelum melatih prakteknya. Adapun Ilmu Silat Sam-hoan Sam-bu adalah ilmu silat istimewa, ilmu penjagaan diri yang didapatkan oleh Bu Hok Lokai dari seorang sakti dari Omei-san, yakni orang sakti ke dua di Omei-san yang bernama Tiong Jin Hwesio sebagai hadiah ketika ia diajak bermain catur oleh dua orang sakti di Omei-san.

   Dengan penuh semangat Tiang Bu berlatih Ilmu Silat Sam-hoan Sam-bu, tubuhnya berpu.taran seperti orang me-nari, nampak gesit sekali dan kedua kaki kecil yang bergerak-gerak di atas tanah itu seakan-akan tidak menyentuh tanah saking cepat dan ringan gerakannya.

   Dalam bersilat ini, berbunyi perut Tiang Bu. Telah sehari semalam ia tidak makan apa-apa, pecutnya kosong dan cacing perutnya menggeliat-geliat. Cepat anak yang sudah mengikuti banyak orang pandai dan sudah melatih diri dengan dasar-dasar ilmu silat dan Iweekang ting-gi ini menggunakan tenaga perut untuk menekan bunyi di perutnya sehingga tidak terdengar terlalu keras.

   "Anak kecil kelaparan disuruh ber-latih silat. Benar-benar keterlaluan jembel tua sialan ini." Kata-kata ini membuat Tiang Bu tertegun dan otomatis ia menghentikan latihannya. Kalau gurunya yang mendengar suara yang keluar dari perutnya tadi, masih tidak mengherankan karena selain gurunya duduk tak jauh dari tempat ia berlatih, juga ia sudah tahu akan kelihaian kakek pincang ini. Akan tetapi yang bicara itu adalah orang gundul yang duduknya jauh di sudut se-belah sana jembatan!

   Ketika Tiang Bu menengok ke arah orang gundul itu tiba-tiba ia merasa bulu tengkuknya berdiri. Orang gundul itu masih duduk seperti tadi, akan tetapi tidak lagi menyembunyikan muka dan menangis, melainkan sedang makan ular! Ular yang masih hidup nampak meng-geliat-geliat, ekor ular dipegang oleh tangan kiri sedang kepala ular sudah masuk ke dalam mulut dan dikunyah-kunyah!

   Ketika Tiang Bu melirik kepada suhunya, ia melihat kakek ini pun memandang ke arah orang gundul itu dengan pandang mata aneh dan mukanya merah. Tiang Bu mengira bahwa suhunya merasa dibikin malu oleh kata-kata Si Gundul itu, rriaka ia hetidak membela gurunya dan berkata lantang.

   "Gundul Pemakan Ular! Jangan menghina guruku, siapa bilang aku lapar?"

   Orang gundul itu memandang kepadanya dengan mulut tersenyum sehingga kelihatan lidahnya yang merah karena darah ular. la menggigit putus tubuh ular itu tinggal ekornya saja, lalu berkata.

   "Bocah bernyali beruang, kau lapar dan perlu makan. Terimalah hadiahku ini!" Tangannya bergerak dan ekor ular itu melayang cepat ke arah muka Tiang Bu.

   Tidak percuma Tiang Bu berlatih Sam-hoan Sam-bu selama setahun lebih. Setiap datang serangan, tubuhnya otomatis bergerak mengelak. Demikian pula, biarpun sambitan itu cepat sekali datangnya, ia menuruti gerak otomatis ini, kakinya bergeser, tubuhnya miring dan ekor ular itu lewat tepat di pinggir telinganya.

   "Jangan menolak hadiah, Tiang Bul" kata Bu Hok Lokai yang cepat mengulurkan tangan menangkap ekor ular itu. Caranya menangkap luar biasa sekali karena begitu ia mengulur tangan, seakan-akan ekor ular itu terbang ke arah tangannya. Kakek itu memandang ekor ular di tangannya, lalu memberikan benda menjijikkan itu kepada muridnya sambil berkata.

   "Sahabat itu betul. Perutmu memang lapar dan hadiah ini berharga sekali, hayo lekas makan ini dan menyatakan terima kasih!"

   Tiang Bu menerima buntut ular itu dengan muka berubah pucat. Apakah gurunya sudah menjadi gila, menyuruh ia makan buntut ular, dan bahkan menghaturkan terima kasih? Akan tetapi, melihat wajah gurunya begitu sungguh-sungguh dan dia memang seorang anak yang taat, Tiang Bu tidak membantah. Cepat ia menjura ke arah orang gundul yang masih memandang padanya sambil mulutnya bergerak-gerak mengunyah daging di mulutnya.

   "Sahabat aneh, terima kasih atas pemberianmu," katanya lalu dengan mata dipejamkan ia memasukkan ekor ular ke mulutnya, dikunyah beberapa kali lidah dan mulutnya merasa betapa ekor ular itu seakan-akan bergerak dan rtienggeliat-geliat kesakitan ketika ia menggigitnya. Dapat dibayangkan betapa jijik dan muak rasa tenggorokan dan perutnya, namun Tiang Bu tidak ingin membikin malu suhunya di depan orang lain. la mengerahkan tenaga dalam menolak rasa hendak muntah dan menelan bulat-bulat ekor ular itu ke dalam perutnya. Aneh, begitu buntut ular itu memasuki perut, ia mendengar perutnya berbunyi berkeruyukan tak dapat dicegah lagi. la berusaha mengerahkan tenaga dalam perutnya, namun luar biasa sekali, semua tenaga di dalam perutnya telah lenyap, tubuhnya terasa ringan dan hangat enak dan nyaman!

   Orang gundul itu makin kagum memandang kepada Tiang Bu. Bocah yang dapat berlatih silat demikian tahan uji, sehingga dalam keadaan kelaparan masih demikian tekun berlatih mentaati kehendak guru, kemudian berani membesa na-ma baik gurunya di depan orang lain yang dianggap menghina gurunya, yang dapat niengelak dari sambitan dengan amat cekatan, lalu mentaati perintah guru rela berkorban perasaan dan rela makan buntut ular mentah, kemudian kalau gurunya menyuruh dia makan lalu menghaturkan terima kasih bocah itu malah menghaturkan terima kasih dulu baru makan".

   Benar-benar bocah yang sukar dicari bandingannya dan patut menjadi murid!

   Jembel tua sialan, kautinggalkan bocah itu untuk menjadi muridku kau tidak becus mengatur murid, memberi makan saja tidak mampu, apalagi mengajar silat yang baik. Mulai saat ini dia menjadi muridku!"

   Bu Hok Lokai tersenyum dan matanya berkedip-kedip memandang orang gundul itu.

   "Sahabat Gundul Pemakan Ular, kau ini siapakah yang begini lihai dapat menangkap dan rnakan ular hijau dari daerah barat?.

   "Kau mengenal ular hijau tadi? Bagus matamu awas betul. Aku siapa kau tak perlu tahu, segala macam jembel tua sialan, mana harga mengenal aku? Lebih baik kau pergi dan tinggalkan bocah ini habis perkara. Daripada timbul marahku dan kau mampus di bawah jembatan ini."

   Bukan main meendongkolnya hati Tiang Bu mendengar kata-kata orang gundul aneh yang ternyata berwatak sombong dan Jahat ini. Juga Bu Hok Lokai, seorang tua yang sudah banyak makan garam dunia dan biasanya amat penyabar, sekarang menjadi merah mukanya.

   "Sahabat Gundul Pemakan Ular, biar-pun hanya seorang jembel tua sialan, aku x Bu Hok Lokai tidak biasa lari seperti anjing dipukul menghadapi siapapun juga. Apa kaukira setelah kau memberi hadiah ular yang benar-benar berharga dan men-jadi obat istimewa untuk muridku, kau lalu boleh berbuat sekehendak hatimu terhadap kami?"

   Tiang Bu merasa puas sekali melihat sikap gurunya dan mendengar dampratan ini, maka ia pun memandang kepada orang gundul itu dengan muka rnengejek. Orang gundul itu mengeluarkan suara di hidungnya, memandang kepada Bu Hok Lokai dan berkata menggeleng-geleng kepala.

   "Sayang, membunuh orang sialan seperti engkau memang tidak ada harganya, akan tetapi kau mencari mampus sendiri."

   Kata-katanya dikeluarkan dengan lambat-lambat dan muka yang kekanak-kanakan itu tidak memperlihatkan perubahan apa-apa, namun hebat sekali gerakan kedua tangannya. Dua tangan itu ;g bertubi-tubi rnelakukan gerakan memukul ke depan dan saking cepatnya gerakan ini sampai dua buah lengan itu seakan-akan berubah menjadi delapan. Gerakan ini mendatangkan hawa pukulan hebat yang menyerang Bu Hok Lokai, disusul oleh gerakan tubuhnya yang tiba-tiba melayang ke arah kakek pincang dengan kedua tangan terys roelakukan gerakan memukul.

   "Hebat....." Bu Hok Lokai berseru kaget dan cepat bagaikan belut kakek ini menggerak-gerakkan tubuhnya meleng-gang-lenggok. Dalam saat yang amat berbahaya itu ia sudah berhasil mainkan Sam-hoan Sam-bu yang paling sukar akan tetapi ia berhasil membebaskan diri dari serentetan serangan hawa pukulan yang amat luar biasa.

   Bu Hok Lokai tidak rnau rnenibidrkan lawan terus mendesaknya. Tahu bahwa lawannya yang kejihatan masih sepcrti kanak-kanak mukanya ini ternyata me-miliki tlmu kepandaian yang hiar biasa dan jahat karena pukulan tadi saja sudah mengandung hawa maut, ia pun lalu ce-pat maju membalas dengan serangan-serangan kilat. Bu Hok Lokai memper-gunakan tongkat bututnya dengan cara istimewa. Sayang kakinya sudah pincang, kalau saja ia belum bercacat seperti dulu, kiranya orang gundul itu akan dapat ia kalahkan.

   Di lain fihak Si Gundul itu benar-benar jihai sekali dan memiliki ilmu silat yang mengerikan. Ketika pert6mpuran sudah berlangsung puluhan jurus, kedua lengan orang gundul ttu perlahan-lahan berubah menghitam seperti dibakar dan pukulan-pukulan yang ia lancarkan juga semakin hebat, kini mengandung hawa pukulan yang keluar dari sepasang iengan hitamnya.

   Bu Hok Lokai bukan main kagetnya. la pernah mendengar cerita orang ten-tang ilmu silat jahat yang disebut Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam) yang kabarnya diciptakan oleh seorang manusia iblis dari barat berjuluk See-thian Tok-ong (Raja Racun dari Barat). Inilah gerangan ilmu silat keji itu? Namun ia tidak sempat menduga-duga dan menghadapi lawan yang begini berbahayanya, Bu Hok Lokai mengubah gerakan-gerakannya. Kedua kakinya tetap mainkan lang-kah-langkah Sam-hoan Sam-bu untuk melindungi tubuh dari serangan lawan, karena dengan langkah-langkah ini ia demikian gesit sehingga sukar diserang lawan, akan tetapi kedua tangannya me-lakukan serangan-serangan balasan yang dahsyat. Hmu Sam-hoan Sam-bu sifatnya tidak menyerang, melainkan menghindar-kan diri dari serangan lawan, maka pe-megang peran utama hanya kedua kaki. Bu Hok Lokai yang sudah menguasai ilmu ini dengan sempurna, kini mencampurnya dengan ilmu serangan dari ilmu silatnya sendirl.

   Tangan kanan yang menyerang dengan tongkat, tangan kiri menyusul dengan totokan atau tonjokan, juga kadang-kadang dengan gerakan yang amat cepat, tong-kat itu telah berada di tangan kiri, me-nyerang diikuti tonjokan tangan kanan. Tanpa dapat diduga-duga oleh lawan, tongkat ini berpindah-pindah sehingga lawan gundul itu benar-benar menjadi pening dibuatnya dan telah dua kali tongkat Bu Hok Lokai mengenai sasaran, sekali di pundak dan kedua kali di dada. Akan tetapi, lawan itu ternyata lihai sekali. Totokan di pundak hanya merobek baju dan merusak kulit sedikit, sedangkan gebukan di dada hanya membuat ia ter-huyung-huyung dan batuk-batuk beberapa kali, akan tetapi belum cukup kuat untuk merobohkannya.

   Tiang Bu girang sekali melihat suhu-nya dapat melukai lawan dan ia merasa pasti bahwa suhunya akan menang. Akan tetapi sebaliknya, Bu Hok Lokai merasa khawatir sekali. Lain orang pasti akan roboh binasa atau sedikitnya terluka berat terkena dua kali serangannya tadi. Akan tetapi orang ini biarpun terluka oleh tongkatnya, luka itu agaknya tidak terlampau berat sehingga ia masih dapat terus melakukan serangan.

   Akan tetapi sebetulnya, gebukan tong-kat Bu Hok Lokai pada dada tadi sudah mendatangkan luka hebat di dalam dada Si Gundul. Hanya kansna orang ini me-mang memiJiki kekuatan yang jauh me-lebihi orang lain, dan pula karena dia seorang nekad, maka dia masih belum roboh. Begitu terkena gebukan tongkat, Si Gundul ini lalu mengeluarkan seruan ganas dan di lain saat tangan kanan dan kiri merogoh saku mengeluarkan dua ekor ular merah, seekor dli tangan kanan dan seekor di tangan kiri!

   Tiang Bu menge.tuarkan seruan ter-tahan mellhat dua ekor ular ini dan me-rasa ngeri. juga Bu Hok Lokai nampak terkejut sehingga kakek ini melompat mundur dua tombak.

   "Masih ada hubungan apa kau dengan See-thian Tok-ong?" tanyanya.

   Si Gundul aneh iitu tertawa terbahak-bahak melihat kake"k jembel pincang itu melompat mundur ketakutan. Tanpa men-jawab ia melangkah maju dan menyerang dengan ular merah di tangan kiri. Ular itu kecil saja dan panjangnya tiga kaki, berada di tangan Si Gundul ini merupa-kan senjata istimevva, pedang hidup yang gigitannya melebihii sepuluh kali tikaman pedang lihainya. Ang-coa (Ular merah) macam ini memiliki bisa yang tidak ada obat penawarnya di dunia, artinya siapa pun juga yang terkena gigitannya pasti akan menghadap Giam-lo-ong (Raja Maut).

   Bu Hok Lokai terkejut bukan main melihat permainan ilmu silat yang rnem-pergunakan ular demikian hebatnya. la maklum bahwa pertandingan ini adalah pertandingan maci hidup, maka ia puri tidak mau mengalah lagi. Cepat ia mengeluarkan suara seperti harimau mengaum dan kakek pincang ini berubah men-jadi seorang yang amat tangkas dan ganas, Tongkatnya berputaran menyambar mengeluarkan angin, penuh dengan tenaga Iweekang. la sengaja mengarah kepada dua ekor ular yang meluncur pergi datang bagaikan beterbangan itu dan akhirnya ia berhasil menangkis seekor ular di tangan kiri lawannya.

   Si Gundul memekik marah ketika darah dan otak muncrat darl kepala ular merahnya yang remuk kepalanya. Cepat bagaikan kilat ia melemparkan tubuh ular ke arah lawannya. Bu Hok Lokai mengelak ke kiri dan tongkatnya menyambar kini mengarah lambung lawannya dengan dorongan keras.

   Si Gundul yang nampaknya marah sekali, seakan-akan tidak melihat dorong-an tongkat, bahkan ia membarengi gerak-an lawan dengan melemparkan ular me-rah di tangan kanannya ke arah kakek itu!

   Akibat dari adu tenaga ini hebat se-kali. Tongkat di tangan Bu Hok Lokai berhasil "memasuki" lambung dan men-dorong sedemikian kerasnya sehingga tubuh Si Gundul itu terlempar dibarengi pekik kesakitan, terjerumus ke dalam air di bawah jembatan dan hebatnya, bagai-kan seekor ikan orang gundul itu be-renang ke seberang, mendarat dan lari terhuyung-huyung menghilang dari situ. Bu Hok Lokai tidak mengeluarkan suara apa-apa, akan tetapi tarikan mukanya seperti orang menghadapi Raja Maut di depannya. Memang, sesungguhnya kakek ini menghadapi maut karena ular merah di tangan orang gundul tadi kini telah menyantel di pundaknya. Gigi ular yang kecil runcing berbisa itu telah menancap ke dalam daging pundaknya dan seketika itu juga Bu Hok Lokai merasa betapa hawa racun ular telah terbawa oleh aliran darah ke seluruh anggauta tubuhnya!

   "Suhu.....!" Tiang Bu berseru kaget dan melangkah maju. Dengan berani anak ini hendak membetot ular yang meng-gigit pundak gurunya. Akan tetapi dengan tangannya Bu Hok Lokai memberi tanda supaya Tiang Bu jangan bergerak. Ke-mudian tangan kanannya menangkap ekor ular yang menggeliat-geliat dan me-masukkan ekor ular yang masih meng-gigit pundaknya itu ke dalam mulut, terus menggigit dan menyedot darahnya! Hebat sekali tenaga sedotan dari Ikakek ini karena sebentar saja ular itu menjadi lemas, gigitannya terlepas dari pundak dan tubuhnya terlepas jatuh di atas ta-nah lalu mati tanpa dapat menggeiiat lagi karena darahnya sudah terhisap habis-habis oleh Bu Hok Lokai! Akan tetapi bersama dengan matinya ular, tubuh kakek itu pun roboh pingsan.

   Tiang Bu menubruk dan memeluk gurunya, diguncang-guncangnya sambil memanggil-manggil.

   "Suhu.....! Suhu....."" ;

   Tak lama kemudian Bu Hok Lokai siuman kembali. Nyata ia telah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk membantu "obat" yang disedotnya dari tubuh ular tadi. Mukanya sebentar pucat. Racun yang amat kuat dan bertentangan berperang tanding di dalam tubuhnya, saling memperebutkan kedudukan dan kemenangan untuk menguasai nyawa kakek itu"

   "Tiang Bu, aku takkan tertolong lagi. Tanpa darah ular tadi, sekarang tentu aku sudah mampus. Racun ang-coa me-mang tidak ada obatnya. Paling lama sehari semalam....." dan Kakek itu roboh pingsan tak dapat siuman kembali selama satu malam di bawah jembatan itu. Tiang Bu menjadi bingung, tak dapat berbuat sesuatu memeluki tubuh gurunya. Se-malam itu Tiang Bu tidak tidur, terus menjaga gurunya. la mencetak wajah orang gundul itu di dalam ingatannya dan bersumpah di dalam hati bahwa kelak ia pasti akan dapat membalaskan sakit hati gurunya ini.

   Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Bu Hok Lokai siuman, membikin girang hati Tiang Bu. Kini kakek itu nampak lebih sehat daripada tadi malam sehingga anak itu mempunyai harapan besar bahwa gurunya kiranya akan dapat sembuh.

   "Tiang Bu, mari kita ke kota raja. Aku harus membawa kau ke sana dan memperlihatkan keadaan kota raja yang sudah ingin sekali kaulihat. Marilah, selagi masih ada kesempatan terakhir bagiku." Kakek itu bangun berdiri bersandarkan tongkatnya.

   "Suhu, kau masih belum sehat benar. Biarlah tidak melihat kota raja juga tidak apa asal Suhu sembuh kembali. Lebih baik Suhu beristirahat di sini, biar teecu mencari makanan untuk Suhu"

   "Hush, dalam saat seperti sekarang aku tidak boleh dibantah. Hayo ikut aku ke kota raja, di sana banyak makanan, perutmu juga sudah lapar!" kata Bu Hok Lokai dengan suara gembira seakan-akan nyawanya tidak terancam maut.

   Dengan terpincang-pincang, dibantu pleh muridnya, Bu Hok Lokai mengajak Tiang Bu memasuki pintu gerbang istana yang terjaga oleh tentara bertombak. panyak sekali orang keluar masuk melalui pintu gerbang ini. Bu Hok Lokai dan ynuridnya sama sekali tidak menarik per-hatian orang karena mereka ini tidak lebih hanya seorang jembel tua bersama seorang pengemis muda yang pakaiannya sudah compang-camping dan penuh tam-balan. Yang tua terpincang-pincang dan yang muda menggandeng tangannya dengan muka memperlihatkan kekhawatiran besar.

   Dengan muka yang gembira Bu Hok Lokai membawa muridnya mengelilingi kota raja, memperlihatkan bagian-bagian yang menarik, bahkan menunjukkan ge-dung-gedung besar tempat tinggal para orang berpangkat. Tiang Bu sama sekali tidak memperlihatkan muka gembira juga tidak tertarik melihat rumah-rumah besar itu bahkan merasa benci melihat betapa di luar pekarangan gedung-gedung itu banyak sekali terdapat jembel-jembel se-tengah kelaparan berkeliaran ke sana ke mari. Perbedaan keadaan yang amat menyolok.

   Keadaan Bu Hok Lokai sebetulnya sudah payah sekali. Makin lama makin payahlah kakek ini dan tadi pun hanya karena pengerahan tenaga yang luar biasa saja maka masih berjalan-,alan. Dengan pengerahan tenaga dalamnya, maka racun uiar yang bekerja di tubuh-nya makin ganas. Menjelang senja ia tak dapat menahan lagi, jalannya terhuyung-huyung dan napasnya terengah-engah.

   "Suhu.....!" Tiang Bu yang merasa betapa tangan suhunya panas seperti ter-bakar itu cepat-cepat membawa kakek itu ke pinggir jalan. Bu Hok Lokai sudah kehabisan tenaga dan kakek ini menjatuhkan diri di atas rumput.

   "Tiang Bu, saatnya sudah hampir tiba. Kau..... kau terpaksa harus hidup seorang diri..... kasihan..... yang baik-baik men-jaga diri sendiri, muridku....." Wajah kakek itu membayangkan keharuan ketika ia memandang kepada Tiang Bu.

   "Suhu..... Tiang Bu hanya dapat memegangi tangan suhunya, matanya yang lebar itu nampak sedih sekali akan tetapi ia tidak menangis. Melihat suhunya terengah-engah dan bibirnya kering sekali, ia lalu berdiri dan berkata.

   "Suhu, teecu hendak mencarikan Suhu . minum."

   "Ya..... minum..... arak, enak sekali....." Kakek itu menjulurkan lidah untuk membasahi bibirnya nampaknya ingin sekali minum. Tiang Bu menjadi ngeri hatinya melihat lidah gurunya su-dah menjadi hitam sekali. Cepat ia me-lompat pergi dan berlari-lari menuju ke rumah makan yang tadi ia lewati ber-sama gurunya. la tahu bahwa mengemis arak adalah hal yang langka dan tak mungkin ia akan bisa mendapatkan arak dengan jalan mengemis. Mencuri? la ter-ingat akan larangan-larangan suhunya. Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, tak perlu banyak ragu. la memperguna-kan kepandaian dan kecepatannya, selagi orang-orang di dalam rumah makan sibuk dengan makan minum atau memesan masakan, ia menyelinap dan dari meja seorang tamu yang sudah setengah mabuk ia berhasil menyambar secawan araki penuh. Tiang Bu berlari-lari ke tempat gurunya dan hatinya perih melihat guru-nya sudah melenggut seperti orang me-ngantuk, mukanya merah sekali, tanda bahwa racun ular ang-coa sudah me-nguasai keadaan.

   "Suhu, minumlah....." katanya sambili berjongkok dan memberikan cawan arak itu kepada gurunya. Melihat tangan kakek itu menggigil dan matanya sudah setengah tertutup, Tiang Bu lalu membawa cawan itu ke mulut gurunya. Bu Hok Lokai minum arak itu dengan iahap, nampaknya enak dan segar sekali.

   "Arak enak..... kau anak baik..... hati-hati....." Dan lemaslah seluruh tubuh Bu Hok Lokai, tubuhnya terkulai dan nyawa-nya melayang!

   "Suhu.....!" Tiang Bu melempar cawan yang masih di tangannya, kemudian ia lalu menubruk dan menneluk mayat suhu-nya sambil meiiangis. Anak ini memang hanya dapat menangis untuk oranp lain, anehnya betapapun hebat penderitaan yang ia alami, ia takkan mau menangis.

   Tangisnya menarik perhatian orang dan tak lama kemtldian jalan raya itu penuh orang yang merubung untuk melihat apa yang telah terjadi di situ. Sudah lajim bahwa orang-orang lebih banyak tertarik dan ingin tahu daripada ingin menolong. Di antara sekian banyaknya orang, tak seorang pun mau turun tangan menolong. Paling banyak mereka itu ha-nya menggeleng-gelengkan kepala menyatakan kasihan. Ini masih mending bahkan ada beberapa orang di antara mereka yang begitu melihat seorang jembel mati di pinggir jalan, lalu me-ludah dan berkata menyesal.

   "Dasar tak tahu diri! Ketika hidup menyusahkan orang, mengganggu orang makan dan mengotorkan pemandangan. Sesudah mati ,masih membuat susah orang rnembikin jijik. Mengapa kalau mau mam-pus saja memilih tempat di jalan raya dan tidak pergi saja ke kuburan dan menggali tanah sebelumnya?"

   Pada saat itu, terdengar teriakan-teriakan.

   "Minggir! Pangerah Wanyen sekeluarga dalam keretanya lewat!"

   Betul saja, dari tikungan jalan muncul sebuah kendaraan yang ditarik olehempat ekor kuda. Kendaraan ini cukup besar maka para penjaga berteriak-teriak me-nyuruh orang untuk minggir. Ketika ken-daraan itu lewat di tempat itu, dari dalam kendaraan terdengaf perintah.

   "Berhenti!"

   Tak lama kemudian, beberapa orang pengawal mengusir orang-orang yang merubung jenazah Bu Hok Lokai yang di-tangisi oleh Tiang Bu.

   "Minggir, minggir.....! Ongya hendak memeriksa kejadian ini!"

   Orang-orang yang berada di situ sfr-gera mengundurkan diri dan menontOn dari jarak jauh.

   "Untung sekali, pengemis itu." Terdengar orang berkata. Memang, semua orang di kota raja sudah mendengar akan kebaikan hati keluarga Pangeran Wanyen Ci Lun yang jauh berbeda dengan bang-sawan-bangsawan lain. Bangsawan dan hartawan atau orang berpangkat lainnya mana sudi berdekatan dengan bangsa pengemis. Jangan kata dengan kaum jembel, dengan rakyat kecil saja mereka tidak mau mempedulikan dan tidak sudi berhubungan. Akan tetapi sebaliknya Pangeran Wanyen Ci Lun dan keluarga-nya terkenal sebagai keluarga bangsawan yang berbudi mulia, yang tak pernah menolak permintaan tolong rakyat seng-sara, yang tidak sombong bahkan men-dekati rakyat jelata. Inilah sebabnya maka para penonton menganggap bahwa pengemis yang kematian kakeknya itu beruntung karena bertemu dengan ken-daraan keluarga Pangeran Wanyen Ci Lun pada saat kesengsaraan.

   Pintu kendaraan terbuka dan turunlah Seorang laki-laki bangsawan yang ber-wajah tampan peramah, berusia tiga puluh tahun lebih dan sikapnya agung. Inilah Pangeran Wanyeh Ci Lun, seorang pangeran yang tidak saja amat terkenal di kalangan rakyat, namun juga amat berpengaruh di dalam istana oleh karena ia terkenal cerdik dan merupakan pena-sehat kaisar dalam banyak persoalan.

   "Ah, kasihan sekali....." suara ini ter-dengar dari dalam kereta, suara halus seorang wanita dan tak lama kernudian dari atas kereta turun pula seorang wa-nita cantik jelita dan bersikap gagah, di belakang Pangeran Wanyen Ci Lun. Dia ini adalah isteri terkasih dari pangeran itu, bukan lain adalah Gak Soan Li, penw dekar wanita yang perkasa itu. Di bela-kanR ibunya ini turun pula Wan Sur yang berusia enam tahun lebih dan Wan Bi Li yang berusia empat-lima tahun digandeng oleh kakaknya.

   Kalau orang tua-tua lain tentu akan melarang anak-anak mereka turur dari kendaraan melihat jenazah seorang Kakek jembel, akan tetapi Wanyen Ci Lun dan Gak Soan Li tidak melarang dua orang anaknya itu turun, bahkan tidak melarang ketika Wan Bi Li mendekati jenazah Bu Hok Lokai dan bocah berumur lima tahun itu berseru.

   "Dia mati digigit ular!"

   Wanyen Ci Lun mendekati Tiang Bu dan bertanya dengan suara ramah menghibur.

   "Anak sengsara, dia apamukah?"

   "Dia adaJah..... guruku....."

   Wan Sun tertarik sekali. Anak ini wataknya agak keras dan tidak mau kalah, mendengar disebutnya guru, ia segera bertanya kepada Tiang Bu yang sudah mengeringkan air matanya karena malu melihat banyak orahg.

   "Guru apa.....? Guru silatkah, atau menulis?"

   Tiang Bu tidak mau membuka rahasianya, karena urusan persilatan mendatangkan bencana saja. Buktinya, gurunya juga tewas karena ada orang hendak mengambilnya sebagai murid. la menggeleng-gelengkan kepala tanpa menjawab. Akan tetapi Wan Sun tidak puas.
"KaJau bukan guru silat atau surat, habis ia guru apa, dan kau belajar apa?"

   "Guru..... mengemis!" jawab Tiang Bu dan Wan Sun tersentak ke belakang oleh jawaban ini. Wajahnya yang tampan seketika itu juga memperlihatkan perasaan kasihan.

   "Di mana rumahmu?" tanya Pangeran Wanyen Ci Lun kepada Tiang Bu.

   "Aku tidak punya rumah, kata guruku, tanah ini lantaiku dan langit atapku," jawab Tiang Bu, jawabannya yang kasar itu tidak membikin marah Wanyen Ci Lun, sebaliknya ia menarik napas panjang karena merasa kasihan. Anak jembel tidak terpelajar, sampai-sampai membawa diri bersopan santun saja tidak bisa.

   "Anak, jangan kau bersedih. Jenazah gurumu ini serahkan saja kepada kami untuk mengurus penguburannya dengan baik-baik. Tentang kau sendiri, kalau kau suka, kau boleh ikut dengan kami men-jadi pelayan dan bekerja di rumah kami."

   Biarpun hatinya sedang berduka dan Tiang Bu berjiwa sederhana, namun ia masih tahu akan terima kasih, dan diam-diam merasa heran dan kagum mengapa di dunia yang didiami penuh orang-orang jahat ini terdapat seorang bangsawan tinggi seperti ini. Sertamerta ia men-fatuhkan diri berlutut di depan Wanyen Ci Lun sambil berkata dan mendongakkan kepalanya menatap wajah pangeran itu.

   "Tai-ya sungguh mulia dan hamba selamanya akan ingat kepada Tai-ya sebagai seorang muliawan. Hamba ber-janji akan berusaha membalas kebaikan Tai-ya, dan andaikata hamba tak dapat memenuhi janji ini, biarlah Thian yang akan membalas budi Tai-ya. Mohon tanya siapakah nama Tai-ya agar selama hidup hamba takkan lupa?"

   Kalau Pangeran Wanyen Ci Lun bukan seorang pangeran yang sudah banyak melakukan perantauan di dunia kang-ouw dan menyaksikan keanehan-keanehan, tentu ia akan menganggap bocah itu lancang dan kurang ajar. Akan tetapi ia tahu bahwa bocah ini bukanlah bocah biasa, maka sambil tersenyum ramah ia menjawab.

   "Aku bernama Wanyen Ci Lun dan kau tak perlu mengingat tentang budi. Asal kau mau bekerja kepada kami, su-dah cukup baik dan....."

   Kata-kata Wanyen Ci Lun terhenti karena pada saat itu terdengar suara ketawa aneh sekali, suara ketawa bermacam-macam ada yang seperti ringkik kuda, ada seperti burung hantu dan ada yang seperti auman harimau. Kemudian tiba-tiba berkelebat bayangan orang orang dan tahu-tahu tiga orang kakek yang mengerikan telah berdiri di tengah-tengah tempat yang dikelilingi orang itu! Tiang Bu terkejut sekali ketika mengenal mereka, karena mereka itu bukan lain adalah Pak-kek Sam-kui. Tiga Iblis Kutub Utara!

   "Bocah gila, kiranya kau minggat sampai di sini!" seru Giam-lo-ong Ci Kui Si Jangkung Gundul dan sepasang mata-nya berputaran mengerikan.

   "Dia menipu kita!" Seru Liok-te Mo-ko Ang Bouw Si Muka Burung dengan mata dipejam-pejamkan, alisnya berkerut-kerut.

   Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Terdengar auman keras menggetarkan dan Sin-saikong Ang Louw Si Muka Singa melompat maju.

   "Bocah jahanam harus mampus saja!" la mengangkat tangan hendak memukul kepala Tiang Bu, akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

   "Siluman-siluman tak tahu sopan. Mundurlah!" Bentakan ini dibarengi de-ngan sinar pedang yang dengan amat cepatnya menyabet ke depan tubuh Ang! Louw sehingga kalau Si Muka Singa itu melanjutkan pukulannya kepada Tiang Bu, tentu lengannya akan terbabat pedang. Cepat sekali Ang Louw menarik tangan-nya dan menggerakkan jari tangannya menyentii pedang itu.

   "Cringgg...,.!" Pedang terpental akan tetapi tidak terlepas dari tangan Gak Soan Li. Namun nyonya ini kaget setengah mati karena sentilan pada pedangnya itu membuat tangannya hampir lumpuh.

   "Bagus, Toanio lihai juga..." Ang Louw memuji. Memang ia merasa kagum melihat seorang wanita bangsawan yang cantik dan masih muda ternyata memiliki kepandaian tinggi sehingga pedang iyang dipegangnya tidak terlepas oleh sentilan jarinya.

   "Kami berurusan dengan murid sendiri, apakah Toanio mau mencampuri?"

   Pangeran Wanyen Ci Lun membentak para pengawalnya yang sudah mencabut senjata dan mengurung tiga orang aneh itu. Dari sentilan tadi dan melihat wajah isterinya, pangeran ini maklum bahwa tiga orang kakek aneh yang muncul secara tiba-tiba itu tentulah bukan orang-orang biasa. la cepat menjura kepada mereka dan berkata.

   "Sam-wi Lo-enghiong harap suka me-maafkan kami dan kiranya urusan ini perlu dibuat terang agar jangan terjadi hal yang tidak diinginkan. Tentu saja isteriku tidak akan mencampuri urusan orang lain, hanya tadi isteriku melihat seorang bocah mau dipukul mati, tentu saja merasa kasihan dan bermaksud menolong. Tidak tahu siapakah Sam-wi Lo-cianpwe dan ada hubungan apa dengan bocah yang kematian gurunya ini."

   "Kematian gurunya? Hah, kami gurunya. Siapa yang mati, dan siapakah kau ini, bangsawan muda?" tanya Giam-lo-ong Ci Kui.

   "Kami tadi mendapatkan anak ini menangisi jenazah seorang kakek tua di tempat ini dan menurut pengakuannya, kakek itu adalah gurunya."

   "Guru mengemis!" Wan Sun cepat menyambung kata-kata ayahnya. Bocah ini pun cerdik. Dari sikap dan kata-kata tiga orangkakek aneh itu, Wan Sun menduga bahwa Tiang Bu tentulah telah lari dan bertukar guru, maka ia cepat-cepat menyambung kata-kata ayahnya untuk menolong Tiang Bu.

   Tiga orang kakek itu saling pandang dengan heran, lalu Ang Bouw bertanya kepada Tiang Bu yang masih berlutut.

   "He, setan cilik. Benarkah kau menjadi murid orang lain untuk belajar mengemis?"

   "Betul, Sam-suhu."

   Tiga orang kakek itu tertawa ber-gelak dan banyak penonton menjadi ketakutan, bahkan ada yang menggigil kaki mereka mendengar suara ketawa ini. Kemudian mereka memandang kepada Pangeran Wanyen Ci Lun dan bertanyalah Giam-lo-ong Ci Kui dengan nada terharu.

   "Bagaimana seorang bangsawan besar seperti kau ini mau mengurus perkara para jembel? Siapakah kau?"

   Wanyen Ci Lun tersenyum mendengar ini.

   "Aku adalah Wanyen Ci Lun....."

   "Pangeran Wanyen Ci Lun?" Tiga orang kakek itu menegaskan .dengan suara hampir berbareng.

   "Betul, apakah Sam-wi Locianpwe sudah mendengar namaku yang tidak berharga?"

   Kembali tiga orang kakek aneh itu tertawa bergelak-gelak. .

   "Mungkin namamu tidak berharga, akan tetapi, kepala Pangeran Wanyen Ci Lun berharga sekali"." kata-kata ini dikeluarkan oleh Ci Kui dan serentak mereka maju menyerang pangeran itu!

   Namun Gak Soan Li sudah waspada. Sejak tadi ia sudah siap sedia dan curiga terhadap tiga orang kakek ini maka diam-diam ia sudah memberi isarat ke-pada para pengawal. Begitu tiga orang kakek itu bergerak, Soan Li sudah me-mutar pedangnya menerjang Giam-lo-ong Ci Kui sedangkan sepuluh orang pengawal yang berkepandaian lumayan telah menyerang pula sambil memutar senjata melindungi Pangeran Wanyen Ci Lun.

   Pertempuran hebat segera terjadi di jalan raya itu. Para penonton bubar dan lari ke sana ke mari panik. Para pengawal itu ternyata sama sekali bukan tandingan Pak-kek Sam-kui yang ber-tempur sambil tertawa-tawa. Sebentar saja empat orang pengawal roboh binasa dengan kepala pecah, terkena pukulan-pukulan Liok-te Mo-ko Ang Bouw dan Sin-saikong Ang Louw. Yang lain-lain menjadi gentar juga menghadapi dua orang kakek yang lihai sekali ini.

   Sementara itu, biarpun Giam-lo-ong Ci Kui paling lihai di antara tiga orang kakek ini, namun ia menemui tandingan yang tidak begitu empuk seperti dua orang adiknya. Gak Soan Li adalah pen-dekar wanita yang ilmu pedangnya kuat dan ganas. Sungguhpun tingkat kepandai-annya masih kaiah jauh kalau dibanding-kan dengan Giam-lo-ong Ci Kui, namun kakek gundul ini tidak dapat cepat-cepat mengalahkan nyonya pangeran ini. Gak Soan Li terkurung dan terdesak hebat oleh Giam-lo-ong Ci Kui yang memper-gunakan kain selendangnya sebagai sen-jata. Nyonya ini menjadi nekad dan pedangnya menyambar-nyambar seperti naga mengamuk.

   Pangeran Wanyen Ci Lun maklum bahwa isterinya berada dalam bahaya. Ia menjadi gelisah sekali. Untuk mem-bantu isterinya, ia tahu bahwa hal itu hanya akan mengacaukan pertahanan Soan Li, karena kepandaiannya sendiri masih belum ada artinya kalau diper-gunakan untuk menghadapi seorang se-lihai kakek gundul ini. la lalu mengeluar-kan alat memanggil dan melengkinglah suitan berkali-kali dari mulut pangeran ini, sebagai tanda kepada seluruh pe-ngawal di istana bahwa ada bahaya me-ngancam. Tanda bahaya seperti ini akan mendatangkan seribu orang pengawal bersama puluhan orang panglima yang berkepandaian tinggi yang tersebar di seluruh kota raja, terutama sekali di lingkungan istana! Hanya orang-orang besar seperti Pangeran Wanyen Ci Lun yang memiliki hak membunyikan tanda bahaya ini.

   Akan tetapi terlambat. Pada saat ia meniup alat itu Giam-lo-ong Ci Kui telah berhasil melibat pedang di tangan Soan Li dengan kain selendangnya dan sekah betot saja pedang itu telah berpindah tangan. Kemudian sambil tertawa-tawa mengejek Ci Kui menggunakan pedang rampasannya untuk membabat batang leher Wanyen Ci Lun sambil berseru.

   "Wanyen Ci Lun, ke sinikan kepalamui untuk kubawa!"

   Akan tetapi Gak Soan Li sudah kena dirampas pedangnya, melihat bahaya besar mengancam jiwa suaminya, cepat meloncat bagaikan seekor kucing, menubruk kakek itu sambil membentak.

   "Jangan bunuh suamiku!"

   Giam-lo-ong Ci Kui terkejut sekali. Gerakan nyonya ini demikian cepat dar nekad sehingga tak dapat disangsikan lag bahwa pedang di tangannya tentu akan membabat putus lengan kanan nyonya yang berusaha menyelamatkan suaminya itu juga Wanyen Ci Lun menjadi pucat sekali, Jalu meramkan matanya agar jangan menyaksikan betapa isterinya terbabat oleh pedang sendiri.

   "Traaangngng..;..Pedang di tangan Giam-lo-ong Ci Kui terbentur oleh sebuah sinar terang dan aneh sekali, kakek yang tinggi kepandaiannya ini sampai terhuyung-huyung ke belakang dan pedang itu patah menjadi dua! Melihat bahwa yang membentur pedang di tangannya itu adalah sebutir pat-kwa-ci (biji segi delapan), berubah muka Ci Kui dan ia berseru kepada adik-adiknya.

   "Melihat muka Ang-jiu Mo-li, kita ampunkan Wanyen Ci Lun dan mari kita pergi""

   Ang Bouw dan Ang Louw Juga terkejut sekali apalagi mendengar seruan suheng mereka itu, cepat mereka me-lompat pergi melalui kepala banyak orang. Akan tetapi Ci Kui tidak mau pergi begitu saja, tangan kirinya menyambar dan di lain saat tubuh Tiang Bu telah dikempitnya dan dibawa lari pergi bersama dua orang sutenya.

   Tak seorang pun berani mengejar mereka yang cepat lenyap dari pandangan mata. Wanyen Ci Lun memeluk isteri-nya dengan hati penuh rasa sukur bahwa isterinya terbebas dari kematian. Juga Soan Li mengucurkan air mata melihat suaminya selamat. Wan Sun dan Wan Bi Li mendekap baju ibu mereka karena dua orang anak ini masih merasa ketakutan.

   "Sungguh beruntung ada seorang sakti menolong." bisik Soan Li kepada suaminya. la lalu menjura ke empat penjuru dan berkata dengan suara nyaring, mengerahkan khikangnya agar suaranya terdengar dari fempat jauh.

   "Locianpwe yang telah menolong nyawa keluarga Wanyen dari bahaya maut, harap sudi memperlihatkan diri agar kami dapat menghaturkan terima kasih!"

   Semua orang yang mendengar kata-kata nyonya pangeran ini menjadi terheran-heran akan tetapi mereka melongo ketika tiba-tiba terdengar suara perlahan akan tetapi jelas sekali sehingga seperti orang berbisik di dekat telinga.

   "Kalian pulanglah, pinni (aku) menanti kalian di rumah."

   Pangeran Wanyen Ci Lun terheran dan tidak mengerti, akan tetapi istennya lalu menarik tangannya dan mengajak dua orang anaknya cepat meninggalkan tempat itu dan kembali ke istana me-reka. Kereta dijalankan lagi, jenazah empat orang pengawal diurus oleh kawan-kawannya dan ramailah orang berbicara tentang peristiwa aneh tadi. Banyak yang memuji akan kegagahan nyonya pangeran.

   Di dalam kendaraannya, Wanyen Ci Lun berkata kepada isterinya.

   "Apakah yang terjadi dengan bocah yang kematian gurunya itu, dan mengapa tiga orang iblis itu membawanya?"

   Soan Li mengerutkan alisnya yang bagus bentuknya.

   "Entahlah, akan tetapi jangan kita pedulikan anak itu. Semenjak melihatnya aku sudah merasa tidak suka kepadanya."

   "Eh, mengapakah kau ada perasaan demikian? Kita baru melihat dia untuk pertama kali dan apa salahnya?"

   "Aku tidak tahu. Begitu melihatnya, aku mendapat perasaan seakan-akan bocah itu hanya mendatangkan malapetaka belaka. Dan tepat sekali perasaan itu, baru saja ia kita ajak bicara, muncul malapetaka berupa tiga orang lihai. Apalagi kalau diingat bahwa tiga orang iblis itu mengakuinya sebagai murid. Ah, anak itu tentu bukan manusia baik, dan entah siapa pula kakek jembel yang sudah menjadi mayat itu."

   Wanyen Ci Lun menarik napas panjang.

   "Memang dunia kang-ouw banyak sekali manusia aneh, dan makin lama makin banyak kita melihat orang-orang pandai luar biasa. Aku kira bahwa kakek jembel yang sudah mati itu pun orang luar biasa." Pangeran ini teringat akan ucapan puterinya ketika mereka baru turun dari kendaraan.

   "Bi Li, kau tadi bilang dia mati digigit ular. Betulkah itu?"

   "Betul Ayah," jawab Bi Li dengan kepala. tunduk dan anak ini rupanya masih kaget karena peristiwa hebat tadi.

   "Siapapun juga adanya kakek jembel itu, aku sudah menyuruh pengawal rne-rawat jenazahnya baik-baik. Yang ka-herankan adalah tiga orang iblis tadi. Mereka itu belum pernah kukenal, akan tetapi mengapa begitu mendengar namaku mereka laiu berusaha membunuhku?"

   Gak Soan Li nampak bergidik ngeri.

   "Mereka itu lihai sekali. Seorang saja di antara mereka memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada kepandaianku. Kiranya kepandaian mereka sudah se-tingkat dengan kepandaian mendiang Suhu Hwa 1 Enghiong Go Ciang Le! Aku pun tidak dapat menduga siapa adanya mereka itu. Mereka memang lihai luar biasa. Akan tetapi kalau aku mengingat akan penolong kita yang dengan satu lemparan pat-kwa-ci telah berhasil menolong nyawa kita dan mengusir tiga orang iblis itu, sukar membayangkan betapa tingginya ilmu kepandaian pe-nolong kita itu."

   Diam-diam Wanyen Ci Lun menduga bahwa orang yang menolong mereka itu bukan lain tentulah Wan Sin Hong adanya. Akan tetapi tentu saja ia tidak mau menyebut-nyebut nama orang ini di depan isterinya dan pula ia juga masih meragukan kebenaran dugaannya. Andaikata benar Wan Sin Hong yang menolong tadi, mengapa pendekar itu tidak mau terang-terangan, bahkan mengapa pula menyuruh mereka pulang dan suaranya berbeda dengan suara Wan Sin Hong.

   Begitu kereta berhenti di depan pekarangan istananya Soan Li melompat turun dan bertanya kepada para penjaga di depan apakah tadi ada tamu datang. Para penjaga menjawab tak melihat se-orang pun tamu datang di situ. Wanyen Ci Lun tahu bahwa isterinya tentu mengira penolong itu mendahului datang di situ. la merasa kasihan melihat isterinya! nampak kecewa mendengar jawaban para penjaga. Diam-diam makin tebal dugaan Wanyen Ci Lun bahwa penolong mereka tentulah, Wan Sin Hong yang tidak mau menemui secara berterang dan agaknya malam nanti baru akan muncul di kamarnya sendiri.

   Akan tetapi, alangkah kaget dan heran hatinya ketika mereka semua tiba di ruangan dalam, di situ mereka melihat seorang wanita berpakaian seperti seorang pertapa, berwarna putih semua. Mukanya cantik sekali dan kemerah-merahan, rambutnya hitam panjang terurai di punggung dan pundak sehingga biarpun rambut itu mendatangkan keindahan namun agak menyeramkan. Sebuah pedang menempel di pundak dan wanita ini berdiri dengan mata bersinar-sinar, memandang ke arah Wan Sun dan Wan Bi Li.

   

Pedang Penakluk Iblis Eps 32 Pedang Penakluk Iblis Eps 30 Pendekar Budiman Eps 3

Cari Blog Ini