Tangan Geledek 24
Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo Bagian 24
"Kau benar-benar orang lihai, orang muda," katanya sambil memandang ke arah Tiang Bu dengan kagum,
"Kau sudah mengaku kalah?" desak Tiang Bu.
Cong Lung mengangguk.
"Belum pernah aku bertemu dengan lawan seperti engkau akan tetapi kalau lukaku sudah sembuh, aku masih ingin minta petunjuk darimu dalam ilmu silat. Sispakah namamu?"
"Namaku Tiang Bu dan kalau kau sudah mengaku kalah, sekarang kau harus menjadi petunjuk jalan kami memasuki Ui-tok-lim."
Mendengar nama itu, Cong Lung agak terkejut.
"Kau bernama Tiang Bu? Aku pernah mendengar tentang Putera Liok-taihiap yang bernama Tiang Bu....."
"Bukan aku! Aku musuh besar Liok Kong Ji. Bawa aku ke sana."
Tiba-tiba Cong Lung bergelak, kelihatannya geli.
"Kau.......? Kau hendak memasuki Ui-tiok-lim untuk mencari Liok-taihiap? Benar-benar sukar dipercaya. Akan tetapi kalau demikian kehendakmu, marilah kuantar kalian ke Ui tiok-lim!" Ia melompat berdiri dan tiba-tiba ia meraba-raba saku bajunya, keningnya berkerut.
"Katak hijau yang kotor itu telah mampus, tak perlu Kau cari lagi," kata Tiang Bu sambil menunjuk ke arah bangkai katak yang sudah kering.
Cong Lung menarik napas panjang berulang-ulang, kelihatannya menyesal bukan main. Ia mengerling ke arah wajah Bi Li yang amat jelita itu, lalu berkata.
"Sayang.......!" Akan tetapi ia segera berjalan cepat dan berkata.
"Marilah!"
Dengan hati-hati sekali Tiang Bu mengikutinya, memberi isyarat kepada Bi Li untuk berjalan di belakangnya. Gadis itupun bersiap-siap; berjalan di belakang Tiang Bu dengan pedang di tangan kanan dan ular putih melingkar di pergelangan tangan kiri.
Cong Lung berlarl mengitari Pegunungan Batu Karang Putih, lalu memnbelok ke kiri menuju ke pegunungan yang penuh dengan batu karang dan sebatang pohonpun tidak kelihatan dari bawah. Orang yang hendak mencari Ui tiok lim"Hutan Bambu Kuning) tidak nanti akan mengambil jalan ini karena siapakah orangnya mau mencari sebuah hutan di atas pegunungan yang begitu kering penuh batu melulu? Inikah keistimewaan Ui-liok-lim yang amat sukar dicari orang. Tidak saja letaknya di tempat yang tak semestinya, yitu di atas pegunungan batu karang, akan tetapi juga amat sukar mencari jalan di antara batu karang itu. batu-batu yang berada di situ menjulang tinggi menutupi pandangan sehingga orang mudah tersesat tidak mengenal daerah ini.
Cong Lung adalah seorang di antara kaki tangan Liok Kong Ji. Liok Kong Ji satelah mengundurkan dari bala tentara Mongol dan berhasil mengumpulkan harta kekayaan besar sekali dari harta rampasan di istana Kerajaan Kin dan hadiah hadiah diri Jengis Khan, lalu hidup sebagai raja muda di Ui tiok lim. Di tengah Rimba Bambu Kuning ini mendirikan gedung besar seperti istana yang mempunyai hampir seratus buah kamar. Kini Kong Ji tinggal bersama selir-selirnya yang jumlahnya ada enam belas orang muda muda, ayu-ayu, didampingi pula oleh tiga orang "anak angkatnya" yaitu Liok Cui Kong, Cui Lin dan Cui Kim. Tadinya Cui Kim juga menjadi calon selirnya akan tetapi semenjak ia mendengar bahwa dua orang "anak" ini sudah melayani Tiang Bu, ia tidak mau menganggu mereka. Dasar manusia berwatak bejat biarpun di depan matanya ia melihat betapa Cui Lin dan Cui Kim dua orang gadis cabul itu bermain gila dengan?kakaknya? sendiri Cui Kong, namun Kong Ji sengaja menutup mata. Dapat dibayangkan betapa rusak dan bejat moral orang-orang yang tinggal di Ui-tiok-lim.
Karena maklum bahwa ia mempunyai banyak musuh, terutama sekali ia merasa jerih terhadap Wan Sin Hong, Kong Ji telah memilih lima orang jagoan yang memiliki kepandaian tinggi. Lima orang ini adalah kawan-kawannya yang ia kenal di dalam perantauannya, bahkan mereka telah pula membantu pergerakan tentara Mongol. Dengan lima orang ini Kong Ji yang cerdik mengangkat saudara dan dia diangkat menjadi saudara tua. Bukan karena usia, melainkan karena kepandaiannya, kedudukannya dan terutama sekali karena hartabendanya. Dua di antara lima orang "adik angkat" ini adalah si muka pucat Cong Lung ahli lweekeh itu dan orang tinggi basar muka Imam yang muncul bernama Cong Lung, bernama Ma It Sun.
Seperti juga Cong Lung, Ma It Sun ini adalah seorang tokoh besar di perbatasan utara yang sudah lama malang melintang sebagai seorang penyamun tunggal yang disegani karena golok besarnya. Maka ia mempunyai julukan Twa-to (Si Golok Besar). Tiga orang yang lain juga bukab orang-orang biasa, melainkan tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw yang sudah terkenal memilih kepandaian tinggi. It-ci-san Kwa Lo It Dewa Jari Tunggal adalah seorang ahli totok dari barat, berwajah gagah penuh brewok berusia lima puluh tahun. Orang ke empat tak lain adatah Lee Bok Wi, seorang kate kecil, berusia belum empat puluh tahun namun sudah membuat nama besar karena kepandaian meneopetnya yang luar biasa sehingga ia mendapat julukan Koai-jiu Sin-touw (Malaikat Copet). Yang ke lima adalah seorang hwesio murtad dari Siauw lim-si, ahlit toya bernama Hok Lun Hosiang.
Dengan adanya lima orang ini di sampingnya. Liok Kong Ji merasa aman. Dia dan anak-anak angkatnya sudah merupakan barisan yang amat kuat dan sukar terkalahkan, apa lagi para selirnya juga rata-rata memiliki kepandaian silat karena ia beri latihan, lalu para pelayan yang puluhan jumlahnya juga bukan orang-orang sembarangan. Keluarga besar berikut kaki tangannya ini selain amat kuat, juga mereka tinggal di Ui-tiok-lim, sebuah hutan rahasia yang penuh jebakan-jebakan, penuh perangkap-perangkap berbahaya juga bambu yang tumbuh di situ diatur menurut tin ( barisan ) tertentu sehingga belum pernah ada musuh dapat masuk. Sekali masuk, orang akan tersesat dan menghadapi pasangan perangkap yang aneh-aneh dan menyeramkan dan jaranglah ada orang masuk dapat keluar kembali dalam keadaan hidup!
Akan tetapi sekarang Cong Lung telah terjatuh ke dalam tangau Tiang Bu, pendekar muda yang baru muncul dan memaksanya menjadi petunjuk jalan memasuki Ui-tiok-lim. Sudah tentu saja Cong Lung dan kawan-kawanrya dapat memasuki Ui-tiok-lim melalui jalan satu-satunya, jalan rahasia yang tidak diketahui orang luar. Cong Lung berlari-lari di antara batu-batu karang yang sulit untuk dikenal karena semua hampir sama dan jalan yang dilaluinya ini benar benar sukar untuk diingat. Tiang Bu sendiri yang biasanya amat cerdik, menjadi bingung ketika untuk kesembilan kalinya Cong Lung menikung pada tikungan yang kelihatannya sama saja dengan yang tadi, seolah-oleh mereka menikung pada belokan yang itu-itu juga.
Cong Lung tentu tidak akan termasuk seorang diantara "lima besar" yang sudah mendapat kehormatan diangkat saudara oleh Liok Kong Ji kalau dia seorang bodoh. Seperti juga Liok Kong Ji dan semua kaki tangannya, Cong Lung ini juga selain lihai ilmu silatnya, lihai pula otaknya. Ia cerdik sekali. Melihat kehebatan ilmu kepandaian pemuda yang menawannya ini, ia maklum bahwa melawan takkan ada gunanya. Oleh karena itu ia sengaja mengalah dan takluk, lalu bersedia mangantar Tiang Bu dan Bi Li ke Ui tiok-lim. Akan tetapi ini hanya pancingan belaka. Hal ini diketahui oleh Tiang Bu setelah terlambat.
Ketika menikung untuk kesebelas kalinya tiba-tiba Cong Lung mendorong sebuah gunung-gunungan di sebelah kirinya. Batu karang yang berbentuk bukit kecil itu tentu beratnva laksaan kati, akan tetapi anehnya ketika didorong oleh Cong Lung lalu bergeser dan terbukalah sebuah lubang seperti sumur. Cong Lung sudah mendesak masuk dan tubuhnya terguling ke dalam sumur di balik batu karang itu. Terdengar ia menjerit ngeri!
Tentu saja Tiang Bu dan Bi Li kaget bukan main dan sempat menahan kaki tidak mengikuti jejak Cong Lung. Kalau demikian halnya tentu mereka juga akan terjerumus ke dalam sumur itu pula. Akan tetapi, ketika mereka menahan kaki dan beidiri tegak dan ngeri di depan batu karang itu tiba-tiba saja tanah yang mereka injak nyeplos ke bawah! Untuk melompat tiada kesempatan lagi karena kiri tebing gunung batu karang, di depan menghalang batu karang yang ada sumur di belakang itu.
"Celaka......!!" seru Tiang Bu yang cepat menyambar lengan tangan Bi Li sehingga mereka dapat melayang turun bersama ke bawah. Ketika kaki mereka menyentuh tanah, ternyata mereka telah terjerumus ke dalam sumur yang dalamnya ada lima tombak lebih gelapnya bukan main dan di sekeliling mereka adalah dinding batu karang yang keras dan licin belaka. Terdengat suara ketawa dari atas dan alangkah heran dan mendongkolnya hati Tiang Bu dan Bi Li ketika mendatpat kenyataan bahwa yang menertawakan mereka itu alalah Cong Lung yang tadi dikira mati tersuling ke dalam sumur. Tidak tahunya itu hanya akal belaka dari si muka pucat yang lihai.
"Ha-ha ha, Tiang Bu. Biarpun kau menghadapi kematian di dalam jurang maut itu, kau tidak penasaran karena di sampingmu ada bidadari cantik Ha-ha, puaskanlah hatimu sebelum mampus orang muda!" Kemudian keadaan sunyi sekali karena si muka pucat itusegera pergi meninggalkan tempat itu. Tiang Bu berusaha melompat ke atas, akan tetapi kedua tangannya terbentur batu karang yang telah menutup lagi lubang itu dari atas, agaknya semua itu tadi digerakkan oleh alat-alat tersembunyi yang sengaja dipasang di situ untuk menjebak musuh.
"Tidak ada jalan ke luar?" tanya Bi Li, suaranya tenang saja karena gadis ini tidak takut menghadapi bahaya. Di dalam gelap Bi Li tidak tinggal diam, iapun meraba-raba dinding mencari-cari jalan ke luar.
"Tiang Bu, di sini ada lobang besar!" serunya dari arah kiri. Tiang Bu eepat menghampiri ke arah suara gadis ini dan karena keadaan di situ amat gelap, hampir saja beradu muka dengan Bi Li.
"Hugh, kau gila. Main tubruk saja!" gadis itu menegur.
"Maaf tidak kusengaja, Bi Li. Mana lubang itu?"
"Ini rabalah. Nah, bukankah ini merupakan jalan terowongan?"
Tiang Bit meraba-raba. Memang betul, pada dinding sebelah kiri itu terdapat lubang, antara satu tombak tingginya dari dasar sumur. Telowongan batu karang yang cukup besar untuk orang merayap masuk, basah dan licin. Memang ada bahayanya tempat seperti itu dipergunakan oleh binatang buas seperti ular untuk bersembunyi, akan tetapni dari pada mati konyol di dalam sumur, lebih baik berusaha mencari jalan. keluar.
"Bi Li, mari kau ikut di belakangku. Kita memeriksa terowongan ini akan membawa kita sampai ke mana."
"Aku di depan, aku yang membawa pedang," kata Bi Li.
"Tidak, kau di belakang. Biar aku yang menghadapi bahaya lebih dulu"
"Kalau begitu, bawalah pedangku, Kalau kau tidak mau, akupun tidak mau di belakang." Bi Li berkeras. Akhirnya Tiang Bu mengalah dan menerima pedang gadis itu, lalu ia melompat ke dalam lubang terowongan diikuti oleh Bi Li. Dua orang muda ini merayap terus. Terowongan itu panjang sekali dan di dalam gelap itu rasanya ada setengah hari mereka merangkak sampai kaki tangan terasa sakit akhirnya mereka tiba di sebuah ruangan bawah tanah yang cukup besar seperti sebuah kamar tidur atau sebuah kamar tahanan. Ini lebih baik, setidaknya lebih lebar dan ada sinar masuk dari atas membuat mereka dapat saling melihat, biarpun hanya remang-remang seperti orang melihat bayangan. Kembali mereka benar-benar terkurung oleh empat dinding batu karang yang amat kuat.
"Bagaimana Tiang Bu? apakah kita harus mati konyol di tempat ini?"
Tiang Bu tak segera menjawab, hatinya tertusuk. Setelah memeriksa agak lama, iapun habis harapan. Perjalanan melalui terowongan tadi sama dengan perjalanan mencari kuburan mereka sendiri. Tidak ada jalan keluar lagi dan bicara tentang pertolongin sama dengan mimpi kosong.
"Agaknya begitulah, Bi Li. Bagi aku.... seorang rendah budi dan kotor. masih tidak apa..... akan tetapi kau.......?" Suaranya tertahan haru.
"Akupun tidak lebih baik dari pada kau. Tak perlu kita bersedih menghadapi saat terakhir. Lebih baik kita saling menceritakan riwayat masing-masing. Nah, kau mulailah Tiang Bu."
"Keadaanku sudah kuceritakan kepadamu walaupun singkat. Apa sih yang menarik dari diriku yang tak berharga ini?"
"Belum semua kauceritakan, misalnya tentang........ mengenai....... dua orang gadis kakak beradik itu. Aku ingin sekali mendengar ceritamu tentang mereka. Manis, benarkah sikap mereka terhadapmu. Tiang Bu?" Biarpun kata-kata ini diucapkan lemah-lembut, namun terasa oleh Tiang Bu betapa di dalamnya mengandung hawa marah dan tak senang. Heran!
"Bi Li, tentu kau mendapat kesan buruk sekali setelah kau mendengar percakapan antara mereka itu. Aku tidak menyalahkan kau memang sudah sepatutnya kau memandang hina kepadaku. Aku orang lemah iman dan berberwatak kotor dan cabul. Kau mau mendengar riwayatnya? Baik, dengarlah. Ketika aku bertemu dengan mereka, Cui Kong dan dua orang gadis itu, Cui Kim dan Cui Lin, di dalam pertempuran aku dapat mengalahkan mereka. Akan tetapi mereka membujuk dan mengatakan
(Lanjut ke Jilid 24)
Tangan Geledek/Pek Lui Eng (Seri ke 03 -Serial Pendekar Budiman)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 24
bahwa sebagai anak-anak dari Liok Kong Ji tidak selayaknya kita bermusuhan. Mereka membawaku ke rumah di lembah Sungai Huang-ho dan di sana mereka mulai menipuku. Dua orang grdis itu sengaja membujuk rayu. mempergunakan kecantikan mereka dan di luar tahuku, katak hijau yang kubawa dan kurampas dari tangan isteri Pek thouw-tiauw-ong itu membantu usaha keji mereka. Dan aku terjeblos, tak berdaya di dalam permainan mereka. Akhirnya setelah aku tidak berdaya lagi, mereka melemparku ke dalam jurang di mana seharusnya aku mampus sebagai hukuman atas dosa-dosaku. Akan tetapi agaknya Thian belum menghendaki orang macam aku ini mampus, agaknya aku harus bertemu dengan orang-orang agar aku menderita malu. Setelah terkurung hampir tiga tahun, aku dapat meloloskan diri dari tempat itu kembali ke dunia ramai. Nah, demikianlah cerita tentang dua orang gadis itu. Kau tentu akan makin jemu, bukan?"
Bi Li tidak menjawab, takut kalau suaranya akan tergetar. Diam-diam ia merasa terharu, kasihan dan kagum sekali kepada Tiang Bu yang dianggapnya amat jujur dan berbudi mulia. Ia dapat mengerti bahwa perbuatan Tiang Bu itu tentu karena pengaruh hawa racun dari katak hijau yang dari namanya saja katak pembangkit asmara, sudah dapat diduga bagaimana pengaruhnya terhadap seorang pria. Kesalahan Tiang Bu pantas dimaafkan.
Sebaliknya Tiang Bu mengira bahwa gadis itu tentu muak dan jemu mendengar penuturannya tadi maka diam saja. Untuk melenyapkan suasana muram ini, ia lalu bertanya dengan suara dibikin gembira.
"Bi Li, tahukah kamu di mana adanya Wan Sun kakakmu itu? Aku ingin sekali bertemu dengan dia." Sebetulnya ucapan ini kosong. karena dalam keadaan seperti itu, menghadapi maut karena tidak ada jalan keluar, bagaimana bicara tentang ingin bertemu dengan Wan Sun?
"Dia bukan kakakku," bantah Bi Li sambil duduk di pojok kamar batu itu melepaskan lelah.
"Dan aku tidak tahu ke mana perginya. Mungkin pergi bersama Wan Sin Hong taihiap yang datang menolong kami pada saat kami terdesak." Lalu gadis ini menceritakan pengalamannya pada saat kota raja diserbu bala tentara Mongol dan pada saat itu ia mendengar pengakuan Kwan Kok Sun sehingga ia pergi meninggalkan Wan Sun.
Tiang Bu menarik napas panjang.
"Memang aneh, dia bukan kakakmu padahal semenjak kecil berdekatan, akan tetapi dia adalah adik kandungku berlainan ayah, biarpun kami tak saling mengenal. Aku ingin sekali bertemu dengan adikku itu. Ingin aku berbuat sesuatu untuknya, berkorban sesuatu untuknya demi baktiku kepada ibu yang tentu amat mencintanya......."
Bi Li menjadi terharu. Mulia benar hati pemuda ini.
"Memang,....... ibu....... eh. Nyonya Wanyen amat sayang kepadanya. juga kepadaku. Dan San-ko sudah ditunangkan dengan Coa Lee Goat, puteri Coa Hong Kin..."
"Betulkah?" Tiang Bu berjingkrak seperti hendak menari kegirangan.
"Dengan Lee Goat adikku? Ha-ha-ha. Lee Goat adikku manis yang suka menangis! Ahh, alangkah baiknya...... alangkah bahagiannya kalau saja aku dapat menyaksikan pernikahan itu.......!" Tiba-tiba ia berhenti bicara karena segera teringat akan keadaannya bersama Bi Li yang agaknya sudah tidak ada harapan lagi itu.
"Kau seorang yang baik sekali, Tiang Bu......." kata Bi Li lirih terharu.
"Ah, hanya kau yang memujiku, Bi Li. Kaulah orang baik, adapun aku....... aku orang lemah......."
"Tidak, kaulah satu-satunya orang yang mendatangkan kagum dalam hatiku."
Mendengar kata-kata yang jujur ini Tiang Bu melengak.
"Bi Li..,.. kau tidak berolok-olok? Kau..... betulkah kata-katamu itu?" Bi Li mengangguk.
"Terima kasih Bi Li, terima kasih." menyentuh tangan gadis itu.
"Sekarang aku bersiap untuk mati dengan hati senang. Setidaknya ada orang yang...... suka kepadaku. Kau suka kepadaku, Bi Li? Betulkah ini?"
"Aku..... aku suka kepadamu, Tiang Bu."
"Luar biasa! Hampir tak dapat aku percaya! Bi Li, kau.. gadis perkasa yang begini cantik jelita, bekas puteri pangeran....... bisa jadikah kau suka kepada laki-laki semacam aku ini yang buruk rupa, miskin, dan hina? Bi Li, jangan kau mempermainkan aku dengan ini! Jangan........."
Suara Bi Li terdengar keras dan marah ketika ia menjawab.
"Tiang Bu. apa kau kira aku menjual hatiku begitu murah, suka kepada laki-laki hanya oleh wajah tampan dan budi bahasa halus belaka? Kau memang tidak tampan, juga tidak pandai mengambil hati akan tetapi, watakmu gagah perkasa, budimu mulia dan kau benar-benar seorang jantan sejati. Itulah yang kusuka....."
Saking girang dan herannya. Tiang Bu hanya berdiri seperti patung, mengerahkan seluruh tenaga urat-urat matanya untuk menembus kegelapan agar ia dapat menatap pandang mata gadis itu membaea isi hatinya. Akan tetapi kegelapan menghalanginya. Bi Li tetap merupakan bayangan yang duduk tersardar pada dinding batu karang.
Tiba-tiba keduanya tersentak kaget ketika mendengar seruan-seruan tertahan disusul oleh makian dan teriakan kesakitan, tepat di balik dinding sebelah kanan. Agaknya di balik dinding sebelah kanan itu terdapat "kamar tahanan" pula dan baru saja ada orang orang. wanita dilempar masuk, karena segera ada suara dua orang wanita di balik dinding itu. Alangkah heran dan kagetnya hati Tiang Bu dan Bi Li ketika mereka mengenal suara-suara itu sebagai suara Cui Lin dan Cui Kim!
"Benar-benar manusia berhati binatang Cui-Kong itu? terdengar Cui Kim memaki marah. Dahulu dia bemanis muka, membujuk bujuk kita dan menyatakan cintanya, semua itu palsu belaka.......!" terdengar gadis ini menangis.
"Memang hati laki-laki semua palsu, mana yang bisa dipercaya?" kata Cui Lin, suaranya mengandung kemarahan.
"Apa lagi Cui Kong, dia malah lebih jahat dari semua laki-laki yang pernah kita jumpai. Kurang apa kita membantu dia? Sampai-sampai kita mengorbankan diri beberapa kali kepada musuh yang terlalu berat untuk ditawan dengan kekerasan, terpaksa kita mempergunakan kecantikan untuk mengalahkan musuh. Sekarang melupakan kita, malah memusuhi kita. Benar-benar anjing biadab!"
"Agaknya ini hukuman bagi dosa-dosa kita, enci Lin. kalau aku mengingat akan Tiang Bu yang dulu kita goda, benar-benar aku masih merasa malu. Dia itulah laki-laki sejati dan kita harus mengaku bahwa tanpa bantuan katak hijau kiranya tak mungkin kita dapat menjatuhkannya. Kalau aku tahu Cui Kong akan menyia-nyiakan kita dan menyiksa seperti ini, lebih baik aku dulu turut dan membantu Tiang Bu. Dia laki-laki gagah berilmu tinggi......"
"Hush, adik Kim, bagaimana kau bisa melamun yang tidak-tidak? Cui Kong sudah menipu kita dan melempar kita ke tempat ini. Kita sudah tertotok hiat-to kita sehingga tidak berdaya keluar dari tempat ini. Kalau ayah tidak lekas-lekas mencari kita dan Cui Kong mendiamkan saja apakah kita tidak akan mati kelaparan......?" Kedua orang gadis ini lalu menangis terisak-isak.
Sementara itu, di balik dinding batu itu, Tiang Bu memegang tangan Bi Li dengan hati girang.
"Bi Li, kesempatan baik untuk lolos dari sini, bahkan untuk menyerbu masuk mencari manusia Liok Kong Ji." Tanpa menanti Bi Li menjawab, Tiang Bu mengetuk-ngetuk dinding batu itu dan berkata dengan suara nyaring.
"Cui Lin dan Cui Kim. Aku Tiang Bu berada di sini, terjebak oleh Cong Lung. Kalau kalian bisa menolongku keluar, tentu akupun dapat menolong kalian!"
Suara tangis di sebelah terhenti seketika dan agaknya dua orang gadis itu terheran dan kaget.
"Kau di situ. Tiang Bu? terdengar Cui Lin berkata, hati-hati sekali.
"Bagaimana kau bisa menolong kami yang pernah mencelakaimu?"
"Tolonglah aku keluar dari sini, tentu aku akan melupakan perbuatan kalian yang dulu dan aku akan berusaha menolongmu ke luar pula serta membebaskan hiat-totmu yang tertotok."
Beberapa lama tidak terdengar jawaban, agaknya emci dan adik itu berunding. Kemudian terdengar lagi suara Cui Lin melalui celah-celah kecil di tembok batu karang itu.
"Tiang Bu kau cari sebuah batu berbentuk tengkorak di ujung kanan bagian ini, putar hulu tengkorak itu tiga kali ke kiri, akan terbuka pintu rahasia."
Bukan main girangnya hati Tiang Bu mendengar ini. Cepat tangannya meraba-raba akhirnya ia mendapatkan batu tengkorak itu. Hatinya berdebar tegang ketika tangannya mengerahkan tenaga memutar batu tengkorak ke kiri.
"Kriiittt.......!" Perlahan-lahan terbukalah pintu rahasia yang tidak kelihatan di ujung itu. Tiang Bu dan Bi Li menerohos ke luar. Baiknya Tiang Bu selalu waspada dan sudah curiga kepada Bi Li yang sejak tadi diam saja. Begitu melihat pedang berkelebat ia menangkap pergelangan tangan Bi Li.
"Bi Li, demi Thian....... kau hendak berbuat apa?"
"Tiang Bu, dua ekor siluman seperti dia patut dibunuh! Apa kau hendak melindungi mereka ini, due ekor siluman jahat bekas...... bekas...... kekasihmu....?"
Ruangan di mana Cui Lin dan Cui Kim berada ini cukup terang sehingga mereka dapat saling melihat wajah masing-masing. Dua orang gadis itu menggeletak dalam keadaan setengah lumpuh dan tidak berdaya karena sudah tertotok hiat-to (jalan darah) mereka. Bi Li nampak marah sekali, sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi-api ketika ia memandang kepada dua orang gadis itu.
"Sabarlah, Bi Li. bukan perbuatan gagah untuk menarik kembali janji kita. Aku tadi telah berjanji akan balas menolong mereka ini yang sudah menolong kita."
"Kau yang berjanji, akan tetapi aku tidak!" Bi Li membantah.
"Akan tetapi aku sudah berjanji akan bebaskan mereka." sambil berkata demikian, Tiang Bu cepat melepaskan pegangannya, lalu dengan gerakan yang luar biasa cepatnya ia menepuk punggung Cu Lin dan Cui Kim yang segera menjadi bebas kembali.
"Tiang Bu, kau mau bertemu dengan ayah? mari kuantar," kata Cui Lin tanpa banyak cakap lagi, juga tidak mau memandang kepada Bi Li yang galak. Tiang Bu mengangguk, lalu dengan ramah menggandeng tangan Bi Li yang masih marah, karena mendengar bahwa dua orang gadis itu hendak mengantarnya ke tempat Liok Koug Ji, maka Bl Li menurut dan tidak banyak cakap. Tentu saja berhadapan dengan Kong Ji lebih penting dari pada mengurus dua orang gadis yang amat dibencinya itu.
Segera setelah empat orang ini melompat ke luar dari sumur dangkal di mana Cui Lin dun Cui Kim berada tadi, kelihatan sebuah Hutan Bambu Kuning di depan. Nampaknya seperti hutan biasa, dengan bambu kuning yang amat indah berkelompok di sana sini. Akan tetapi sesungguhnya kelompok-ketompok bambu kuning itu teratur menurut kedudukan bintang dan amat sulit dimasuki orang. Kali ini Cui Lin dan Cui Kim tidak berani berlaku curang lagi. Memang mereka ingin membalas dendam, terutama kepada Cui Kong, maka dengen sengaja mereka mengantar Tiang Bu memasuki sarang Ui-tiok-lim ini.
Di dalam gedungnya yang indah seperti Istana, Liok Kong Ji dan saudara angkatnya sedang duduk menghadapi meja perjamuan. Mereka sedang mendengarkan penututan Cong Lung tentang Tiang Bu dan seorang gadis jelita yang telah dijebaknya masuk ke dalam sumur maut.
"Siauwte tidak berani lancang membunuh karena harus menanti keputusan Liok-toako tentang puteranya itu. Harus diakui bahwa pemuda itu lihai bukan main dan agaknya tidak menaruh hormat sama sekali terhadap Liok toako." Cong Lung mengakhiri penuturannya.
Pada saat mereka sedang bercakap-cakap muncullah orang yang menjadi bahan percakapan mereka. Tiang Bu memasuki pintu ruangan yang luas itu bersama Bi Li sedangkan dua orang gadis yang mengantarnya tentu saja tidak berani masuk den sudah dari tadi pergi.
"Tiang Bu, akhirnya kau datang juga di sini!" Liok Kong Ji melompat berdiri dari bangkunya dengan wajah tersenyum girang sekali, padahal dadanya berdebar keras. Memang pandai sekali Kong Ji menyembunyikan perasaannya.
"Ayahmu telah amat mengharapkan kedatanganmu, syukur kau datang, nak! Dan ini siapakah? Calon isterimu? Bagus, Kau boleh tinggal di sini sebagai puteraku bersama isterimu yang jelita ini. Mari, mari duduklah di sini, kuperkenalkan dengan susiok-susiokmu."
Tiang Bu memandang dengan hati tidak keruan rasa. Ia berhadapan dengan orang yang sejahat-jahatnya, akan tetapi orang ini adalah ayahnya sendiri, hal ini sekarang ia tidak dapat membantah atau menyangkal pula. Inilah Liok Kong Ji, ayahnya yang dengan keji melebihi binatang telah merusak hidup ibunya. Gak Soan Li sehingga terlahirlah ia, anak yang tidak diakui ibunya sendiri!
Tiang Bu memandang penuh perhatian dan harus ia akui bahwa Liok Kong Ji tidak patut menjadi ayahnya. Liok Kong Ji yang sudah berusia empat puluh tahun lebih itu kelihatannya masih muda, pakaiannya terbuat dari pada sutera yang halus dan mahal, wajahnya tampan berseri-seri dan terawat baik, rambulnya yang masih hitam itu mengkilap oleh minyak, digelung ke atas dan diikat dengan sutera halus pula. Pedang yang indah gagangnya tergantung di punggung, kelihatan tanpan dan gagah sekali.
"Liok Kong Ji manusia iblis! Jangan kau bicara tak karuan. Siapa itu puteramu! Aku, Tiang Bu datang untuk mengambil kepalamu agar rohmu dapat menebus dosamu yang sudah bertumpuk," kata Tiang Bu, suaranya terang saja namun mengandung ancaman hebat.
Terdengar suara tertawa bergelak dan empat orang saudara angkat Kong Ji bangkit dari kursi mereka. Cong Lung dan Cui Kong yang berada di situ tidak berani sembarang berkutik karena dua orang ini sudah mengenal kelihaian Tiang Bu, akan tetapi empat orang jagoan yang lain merasa amat lucu melihat seorang pemuda sederhana tanpa memegang senjaia apa-apa berani datang di Ui tiok-lim dan mengancam hendak mengambil kepala Thian te Bu-tek Taihiap Liok Kong Ji begitu saja. Ini benar-benar keterlaluan sekali.
"Bocah ingusan jangan kau kurang ajar! Twa-ko, kalau kau memberi ijin, biar siauwte menangkap puteramu yang puthauw (tidak berbakti ) ini!" kata Koat-jiu Sin-touw Lee-Bok-Wi Si Malaikat Copet.
Kong Ji yang menjadi merah mukanya mendengar dampratan Tiang Bu tadi, menganguk sambil berkata.
"Bocah ini memang mendapat pelajaran dari orang-orang tidak benar. Perlu digembleng di sini. Kautangkaplah, akan tetapi hati-hati, Lee.sute."
Begitu mendapat perkenan Kong Ji, Lee Bok Wi melompat dan bukan main cepatnya gerakannya ketika melompat karena tahu-tahu ia sudah berada di depan Tiang Bu, terus kedua tangannya dipukulkan ke depan bertubi-tubi. Melihat gerakan orang kate yang amat cepal ini, diam-diam Tiang Bu kagum dan tahu bahwa ia berhadapan dengan orang pandai yang ahti dalam ilmu ginkang. Akan tetapi karena tujuan kedatangannya ini untuk membunuh Liok Kong Ji, ia tidak mau membuang banyak waktu. Pukulan Lee Bok Wi ia hadapi dengan pukulan pula sambil mengerahkan sin-kangnya. Akan tetapi Si Malaikat Copet ternyata cepat sekali. Dari sambaran angin pukulan Tiang Bu, dengan kaget sekali ia dapat mengetahui bahwa pemuda sederhana ini ternyata memiliki tenaga yang luar biasa, cepat ia menarik kembali tangannya dan sekali menggerakkan kaki, tubuhnya sudah berkelebat ke belakang Tiang Bu dan mengirim totokan dari belakang ke arah punggung pemuda itu. Akan tetapi bukan Tiang Bu yang roboh, melainkan dia sendiri yang mencelat dan membentur tembok. Tanpa menoleh Tiang Bu tadi sudah menggerakkan tangan ke belakang dan sekali dorong ia telah dapat membuat tubuh si kate itu terlempar.
"Dia lihai, mari beramai tangkap!" seru Cui Kong tak sabar. Pemuda ini sudah maklum akan kelihaian Tiang Bu, maka begitu tubuh Lee Bok Wi terlempar, ia menjadi khawatir dan menganjurkan supaya dilakukan pengeroyokan.
Betul, mari keroyok!" seru Cong Lung yang sudah tahu pula bahwa maju seorang demi seorang takkan ada gunanya. Demikianlah, Twa-in Ma It Sun memutar golok besarnya, It-ci-sian Kwa Lo juga melompat maju dan mengirim serangan totokannya yang lihai, Hok Lun Hosiang juga memutar toyanya. Ditambah lagi dengan Cong Lung dan Cui Kong serta Lee Bok Wi yang sudab maju lagi, sebentar saja Tiang Bu dikeroyok oleh enam orang ahli silat tinggi yang mempunyai kepandaian lihai.
"Majulah. majulah semua kalau sudah bosan hidup!" Tiang Bu membentak garang, sedikitpun tidak takut. Kaki tangannya bergerak cepat dan semua serangan lawan dapat digagalkannya. dielak atau ditangkis. Pemuda ini benar-benar mengagetkan para lawannya, karena hanya dengan sentilan jari tangan ia berani menangkis serangan senjata tajam.
Sementara itu, melihat betapa Tiang Bu dikeroyok, Bi Li menjadi marah sekali. Ia menggerakkan pedangnya dan menyerang Liok Kong Ji sambil membentak marah.
"Manusia keji Liok Kong Ji, rasakan pembalasanku!" Pedang itu menyambar ke arah leher Liok Kong Ji sedangkan ular di tangan kirinya juga ia gerakkan dalam serangan susulan.
"Hem, kau cantik sekali akan tetapi ganas!" seru Liok Kong Ji sambil tersenyum mengejek. Akan tetapi senyum ejekannya segera lenyap ketika hampir saja lehernya tergigit oleh ular kecil yang melingkar di pergelangan tangan Bi Li karena gadis ini menggerakkan tangan kirinya dengan cepat bukan main, Inilah ilmu serangan yang khusus dengan senjata ular hidup. yang ia pelajari dari ayahnya, Kwan Kok Sun.
"Keji sekali!" seru Liok Kong Ji dan pedangnya sudah tercabut pula. Dengan mainkan pedangnya secara tenang dan lambat, Kong Ji dapat mempertahankan diri dengan mudah. Memang kalau dibandingkan, ilmu kepandaian Liok Kong Ji jauh lebih tinggi dari pada kepandaian Bi Li, maka dengan mudah saja Kong Ji mempermainkanrya. Kadang-kadang pedangnya mengancam dada Bi Li, akan tetapi tidak terus ditusukkannya, melainkan sedikit colekannya membuat baju gadis itu bolong sedikit!
"Kau jelita sekali, kau cantik dan gagah. Ahh..... . kalau belum menjadi milik dia, hemm....... kau akan membikin gedungku lebih menyenangkan lagi....!" dengan kata-kata yang kotor Kong Ji memuji-muji kecantikan Bi Li, setengah mempermainkan dan setengah kagum betul-betul karena memang gadis ini memiliki kecantikan yang luar biasa. Bahkan di antara belasan orang selirnya yang cantik-cantik, di antaranya terdapat pula puteri-puteri dari istana hasil rampasan, tidak ada yang memiliki kecantikan asli seperti Bi Li. Mendengar ini dan melihat betapa ia dipermainkan, Bi Li menjadi makin marah bertempur dengan nekat.
Sementara itu, dengan kegagahannya yang luar biasa Tiang Bu mengamuk. Apa lagi melihat Bi Li bertempur dengan Kong Ji ia merasa khawatir karena ia sudah mendengar akan kepandaian Kong Ji yang tinggi dan wataknya yang kejam. Karena ingin cepat cepat membantu Bi Li, Tiang Bu segera mengeluarkan kepaundaiannya yang istimewa. Tubuhnya seakan-akan lenyap dari pandangan mata orang-orang pengeroyoknya dan dalam segebrak saja tubuh Cui Kong sudah terlempur berikut huncwenya, juga Ban-kin-liong Cong Lung bergulingan roboh tak dapat bangun pula. Cui Kong terkena tendangan kilat sehingga menderita luka di dalam perut, sedangkan Cong Lung terkena pukulan hawa lweekangnya yang membalik ketika tadi ia memukul punggung pemuda itu, didiamkan saja oleh Tiang Bu akan terapi sinkangnya bekerja sehingga tangan yang memukulnya itu terpukul sendiri oleh tenaga lweekang yang membalik, membuat Cong Lung merasa tangannya seperti dibakar dan ditusuk-tusuk dan ia bergulingan seperti cacing terkena abu panas.
It-ci-sian Kwa Lo menjadi kaget dan penasaran sekali. Ia mengerjakan jari-jari tangannya berganti-ganti untuk mengirim totokan sehingga tulang-tulangnya berkerotokan tanda bahwa setiap totokannya dilakukan dengan pengerahan tenaga dalam dan sekali saja mengenai sasaran tentu tak perlu diulang pula. Namun Tiang Bu yang sudah marah itu mengangkat tangannya, membuka telapak tangan menerima sebuah totokan jari satu dengan telunjuk kanan. Kwa Lo sudah girang sekali. Pemuda ini goblok, pikirnya, mengira bahwa totokanku seperti totokan biasa yang dapat dipunahkan dengan telapak tangan yang penuh tenaga sinkang. Dia tidak tahu bahwa aku sudah melatih jari jariku dengan bubuk baja putih, jangankan telapak tangan dari kulit daging, biarpun besi akan dapat tembus oleh jari telunjukku, demikian Kwa Lo berpikir dan melanjutkan totokannya dengan sepenuh tenaga.
"Trakk.......!!" Jari telunjuk menotok tengah tengah telapak tangan kiri Tiang Bu dan akibatnya tubuh Tiang Bu tergetar sedikit akan tetapi Dewa Jari Satu itu menjerit kesakitan sambil melompat mundur terus memegangi tangan kanannya. Jari telunjuknya sudah bongkak bengkok tidak karuan karena tulang jarinya sudah patah-patah.
Melihat ini, Twa-to Ma It Sun yang melihat gelagat buruk cepat berseru.
"Liok-twako, lekas bereskan bocah itu dan bantu kami!"
Liok Kong Ji sudah tahu bahwa dengan mudah Tiang Bu sudah merobohkan tiga orang dan tinggal tiga orang lagi yang mengeroyoknya. Ia mendapatkan akal. Cepat ia manggerakkan tangan kiri, dengan Ilmu Lokoai-sin-kiam (Iblis Tua Menyambut Pedang) ia berhasil menggunakan jari-jari tangannya menjepit pedang Bi Li dan pada saat gadis itu berkutetan hendak mencabut pedaog, pedang Kong Ji menyambar bagaikan kilat.
"Capp....!" Bi Li mengeluh, darah menyembur dan gadis itu roboh pingsan dengan lengan kiri terbabat putus oleh pedang Kong Ji! Ular putih yang masih melingkar di pergelangan tangan kiri ini misih menggeliat-geliat di tangan yang kini menggetetak di atas terpisah dari tubuh Bi Li.
"Bi Li...!" Tiang Bu memekik nyaring sekali dan berdiri bagai patung melihat ke arah gadis yang sudah buntung lengan kirinya itu. Ia tidak perdulikan lagi Iawan-lawannya, mukanya pucat matanya terbelalak.
"Bi Li...... .! Tiang Bu melompat dan menubruk gadis itu yang masih pingsan dan darah bercucuran keluar dari pangkal lengan yang buntung. Dipondongnya tubuh gadis itu, sama sekali tidak perduli akan Twa-to Ma It un yang mempergunakan saat baik itu untuk mengerakkan goloknya dari belakang menyambar kepala Tiang Bu!
Namun kepandaian Tiang Bu sudah mencapai tingkat yang sukar diukur tingkatnya, biarpun perhatiannya tercurah kepada Bi Li dan pikirannya bingung sekali melihat gadis ini buntung tangannya, namun perasaannya yang sudah otomatis dalam menghadapi serangan lawan dapat menangkap adanya golok yang menyambar dari belakang. Secara otomatis pula tubuhnya miring dan kakinya menyambar. Terdengar pekik kesakitan, golok terlepas dan tubuh Ma It Sun yang tinggi besar itu terjengkang mengukur tanah. Tiang Bu memandang kepada Kong Ji, pandang matanya beringas penuh ancaman.
"Kau....... kau....... manusia keji.......!" Cepat laksana kilat, dengan Bi Li masih dalam pondongannya. Tiang Bu menyerang ke depan, tangan kanan memondong Bi Li, tangan kiri melakukan pukulan dengan pangerahan tenaga sinking sepenuhnya ke arah dada Liok Kong Ji. Pukulan ini hebat sekali karena mengandung hawa sinkang yang sakti. Inilah pukulan berdasarkan gerakan sajak yang berkepala "Ya tertembut menembus yang terkeras di kolong langit" yaitu sebait sajak dari kitab To-tikkeng yang termuat dalam kitab pelajaran Thian-te Si-kong dan di dalam pukulan "terlembut" ini bersembunyi kekuatan maha dahsyat yang sudah dapat ia kumpulkan berdasarkan latihan dari kitab Seng thian to.
Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Seperti diketahui. Liok Kong Ji adalah se orang ahli silat yang sakti yang memiliki ilmu-ilmu sakti seperti Hek tok ciang (Tangan Racun Hitam ), Tin-san-kang (Tenaga Mandorong Gunung) dan lain-lain ilmu silat tinggi yang serba lihai. Kepandaiannya pada waktu itu sudah amat jarang tandingannya maka ia berani memakai julukan Thian-te Bu-tek. (di Dunia Tidak Ada Lawannya)! Menghadapi serangan anaknya yang sesungguhnya ini, ia cepat menggerakkan dua tangan menangkis, mengerahkan tenaga untuk melumpuhkan Tiang Bu dan menawannya.
Betapapun juga hasrat hati Kong Ji terhadap Tiang Bu hanya untuk menaklukkan pemuda itu, untuk menarik Tiang Bu sebagai anaknya yang tidak memusuhinya untuk memberi penghidupan mulia dan bahagia kepadanya. Sama sekali tidak ingin melihat Tiang Bu tewas, maka ia sengaja menangkis dengan pengerahan tenaga untuk kemudian menangkap anaknya ini.
Akan tetapi belum juga ia dapat manangkap lengan Tiang Bu, hawa pukulan pemuda ini sudah menyambar, mendobrak hawa tangan Kong Ji dan terus memukul ke arah dada. Bukan main kagetnya hati Kong It. Sungguh di luar dugaannya bahwa pukulan pemuda akan sedemikian hebatnya, pukulan yang selama dia hidup belum pernah mengalaminya. Cepat ia merendahkan tubuhnya dan dengan kedua tangan ia mendorong, melakukan pukulan Tin san kang sehebat-hebatnya karena maklum bahwa pukulan pemuda itu merupakan pukulan maut.
Dua tenaga tidak kelihatan bertemu di udara, dan....... Liok Kong Ji terlempar kebelakang sepeti rumput kering ditiup angin menubruk dinding sehingga dinding itu jebol! Untung baginya, tubuhnya sudah kebal dan setidaknya hawa pukulan Tin-san-kang tadi sudah mengurangi atau menghambat daya serangan pukulan Tiang Bu sehingga ia tidak terluka hebat, hanya muntahkan darah segar karena getaran yang amat hebat. Dengan sepasang mata terbelalak lebar saking kagum, kaget, heran, dan takut Kong Ji berdiri lagi, siap-siap menghadapi pemuda yang lihai ini.
Tiang Bu sudah mendesak maju lagi dengan muka beringas, sedangkan Hok Lun Hosiang sudah mendekati Kong Ji untuk membantu "twako" ini. Juga para jagoan yang tidak terluka berat seperti Lee Bok Wi dan Ma It Sun sudah bangkit lagi dan bersiap-siap membantu Kong Ji.
Akan tetapi Kong Ji yang maklum bahwa biarpun dikeroyok kiranya mereka takkan mampu menahan amukan pemuda yang memiliki kepandaian luar biasa ini, cepat ia berkata.
"Tiang Bu, kalau tidak lekas diobati, gadis itu akan mati kehabisan darah!"
Memang Kong Ji cerdik bukan main. Sekilas pandang saja ia sudah dapat menduga bahwa Tiang Bu mencinta gadis itu sepenuh hatinya, maka ia sengaja berkata demikian untuk menahan amukan pemuda itu. Dan kata-katanya ini memang tidak bohong. Tiang Bu kaget mendengar ini dan baru ia sadar dan melihat betapa darah terus menerus mengucur dari pangkal lengan Bi Li.
"Bi Li...........!" serunya tercampur isak. Cepat ia menekan jalan darah Bi Li di pundak dan untuk menghentikan darah yang mengucur ini perhatiannya tercurah kembali kepada Bi Li dan ia tahu, bahwa yang terpenting di antara segalanya adalah merawat Bi Li lebih dulu. Cepat is melompat pergi dari tempat itu melalui para penjaga yang sudah datang mengepung sambil berseru.
"Bangsat Liok Kong Ji, lain kali aku datang mengambil kepalamu!" Beberapa orang penjaga roboh dan kocar-kacir ketika mencoba untuk menghadang larinya.
"Biarkan dia pergi?" seru Kong Ji kepada para penjaga, maklum bahwa mereka ini sama sekali bukan tandingan Tiang Bu dan ia masih mengharapkan untuk dapat menawan pemuda perkasa itu mengandalkan alat-alat rahasia di dalam Ui-tiok-lim.
Siapakah yang dapat ke luar dari Ui-tiok-lim? Hutan Bambu Kuning ini sudah terkenal sebagai tempat yang tak mungkin dimasuki orang kalau toh orang itu dapat masuk, tak mungkin akan dapat ke luar. Lebih sulit dan berbahaya dari pada Kuil Siauw-lim-si yang termasyhur.
Tanpa mendapat rintangan lagi dari kaki tangan Liok Kong Ji, Tiang Bu berlari cepat ke luar ruangan itu dengan maksud ke luar dari istana besar dan membawa Bi Li ke tempat aman. Begitu melompat ke luar ruangan itu, lebih dulu ia mengeluarkan obat dari saku bajunya, yaitu obat tempel yang ia tempelkan pada luka atau ujung lengan yang buntung dan dibalutnya ujung itu depan robekan bajunya sendiri. Kemudian ia menotok beberapa jalan darah penting, selain untuk menghentikan darah yang mengalir ke bagian yang buntung, juga untuk mematikan rasa nyeri yang tentu akan menyiksa gadis itu apabila siuman.
Dilihatnya wajah Bi Li pucat sekali seperti mayat. Tiang Bu makin bingung. Inilah tanda bahwa gadis itu telah kehilangan banyak sekali darah maka perlu cepat-cepat diberi obat dan makanan penambah darah. I a perlu cepat-cepat pergi dari tempat ini. Segera ia memondong lagi tubuh Bi Li dan berlari ke luar. Akan tetapi, manakah jalan ke luar? Tadi ketika ia memasuki gedung ini, jalan masuk mudah saja, dari pekarangan depan melalui ruangan depan dan gang kecil panjang sampai di ruangan belakang di mana Liok Kong Ji dan kawan-kawannya berada.
Akan tetapi sekarang keadaannya lain sekali. Setelah mecari-cari, akhirnya dengan hati lega Tiang Bu mendapatkan lorong atau ruang kecil tadi yang cepat dimasukinya. Akan tetapi, setelah lari beberapa lama. ia menjadi makin bingung. Lorong keeil ini ternyata bercabang-cabang banyak sekali dan sudah lebih dari sepuluh cabang ia masuki akan tetapi selaln tiba di jalan buntu.
Celaka, pikirnya, ini tentu bukan yang tadi. Ia lari kembali akan tetapi anehnya, ia sudah tidak bisa sampai ke tempat semula. Lorong ini mati di sebuah, kamar buntu, lorong itupun demikian, benar-benar membingungkan sekali.
Setelah lebih dari tiga jam ia berputar di lorong-lorong yang tidak ada jalan keluarnya dan ruwet seperti benang ini, tiba-tiba terdengar suara orang ketawa. suara ketawa Liok Kong Ji yang tidak kelihatan orangnya.
"Ha ha-ha, Tiang Bu. Baru mengenal kelihaian ayahmu! Inilah yang disebut Gua Seribu Lorong. Menyesatkan. Kau takkan bisa ke luar dari ini. Kau menakluklah, anakku. Aku takkan mencelakaimu, aku........ aku ayahmu dan sayang kepadamu. Lihat, gadis itu sudah amat payah, banyak kehilangan darah dia akan mati lemas. Kau menaluklah dan akan menyuruh orang merawatnya sampai sembuh. Kauterimalah menjadi anakku yang terkasih dan kalau perlu, gadis itu boleh menjadi mantuku."
"Lionk Kong Ji manusia Iblis. Siapa percaya omonganmu yang berbisa? Kau sendiri baru saja membuntungkan lengannya!"
"Karena terpaksa, puteraku. Karena terpaksa, kalau tidak kulakukan siasat itu, bagaimana dapat mengundurkan kau yang begitu gagah perkasa? Oo anakku, aku bangga bukan main melihat pureraku demikian sakti.......!
Tiang Bu, sebetulnya permusuhan apakah yang ada antara anak dan ayah, antara kau dan aku? Bisa jadi banyak orang yang merasa menjadi musuhku, akan tetapi mengapa kau? Aku tak pernah mengganggumu......."
"Kau, setan! Kau telah menghina ibuku, kau telah mencelakai banyak orang baik baik!"
"Tiang Bu, kau keliru. Kapankah aku menghina ibumu??"
"Jahanam, kau masih hendak menyangkal?" Tiang Bu membentak ke arah suara yang bersembunyi di balik dinding itu.
"Kau telah mempermainkan ibuku, menghinanya ketika dia masih gadis." Liok Kong Ji yang bicara dari balik pintu rahasia itu tertawa bergelak.
"Ha ha ha, Tiang Bu, kau bicara apa ini? Ingatkah kau kalau tidak ada aku yang kau bilang menghina Soan Li, bagaimana bisa terlahir kau? Kau adalah putera Soan Li dan aku, bagaimana kau bisa bilang begitu?"
Tiang Bu merasa sepeti ditampar mukanya. Ia menjadi pucat sekali ketika ia meletakkan tubuh Bi Li di alas lantai dan ia berlari mengepal tinju ke arah suara itu.
"Memang, aku memang anak haram! Aku anak hina dina yang terlahir dari perbuatanmu yang keji terkutuk! Akulah bukti hidup tentang kejahatanmu yang tak berampun. Dan bukan orang lain aku sendiri yang akan mencabut nyawamu. Hampir ia menangis saking sakit hatinya kalau teringat akan keadaan dirinya yang berayah sedemikian jahat dan hinanya.
"Hemmm, kau terlalu terpengaruh oleh hasutan manusia macam Wan Sin Hong. Mana ada anak bijaksana melawan ayah sendiri. Kau belum insyaf Tiang Bu belum insyaf......" Setelah mengeluarkan ucapan dengan nada sedih ini, Liok Kong Ji menghilang.
Tiang Bu kembali memperhatikan Bi Li. Gadis itu mengeluh dan bergerak perlahan. Ia cepat berlutut dan menyangga leher Bi Li.
"Uuhhh. lenganku....... ah, Tiang Bu....... aduuuhhh......" Setelah membuka mata sebentar, Bi Li pingsan lagi, lemas dalam pelukan Tiang Bu. Tentu saja pemuda ini menjadi makin bingung. Ia mencoba lagi untuk mencari jalan ke luar, berlari-larian di sepanjang lorong yang panjang berputar-putar itu. Selagi ia kebingungan, tiba-tiba terdengar suara perlahan dari jauh, suara wanita.
"Dari Gu-seng (Bintang Kerbau) membelok ujung tanduk melalui Liu-seng (Bintang Pohon Cemara) ada pintu ke luar!"
Tiang Bu girang sekali. Tidak perduli itu suara siapa ia lalu berlari terus, membelok menurutkan gambar Bintang Kerbau. Pantas saja tadi ia berputaran tak dapat ke luar.
Tidak tahunya yang dimaksudkan dengan ujung tanduk kanan itu bukanlah lorong, hanya sebuah lobang yang hanya dapat dilalui dengan merangkak. Sambil memeluk tubuh Bi Li, ia memasuki lubang ini, merangkak ke depan dan tak lama kemudian betul saja ia tiba di sebuah lorong lain, dari sini ia berlari terus mengambil tikungan sesuai dengan kedudukan bintang Liu-seng. Di dalam ilmu silat memang terdapat langkah-langkah kaki menurutkan beutuk bintang yang dua puluh tujuh buah banyaknya.
Setiap bintang mempunyai bentuk-bentuk tertentu, dari dua titik sampai tujuh titik banyaknya. Ini merupakan bentuk langkah-langkah ilmu silat tinggi yang tentu saja dikenal oleh setiap orang ahli silat kelas tinggi. Tiang Bu juga sudah mempelajari titik ini, maka begitu mendengar seruan dari luar tadi. ia dapat menurut dan membuat belokan sesuai dengan gambar atau titik Gu-seng dan Liu-seng.
Alangkah girangnya ketika ia mendapatkan lorong terakhir itu membawanya ke luar ke sebuah hutan bambu kuning. Akan tetapi baru saja ia berlari belasan langkah, kaki kirinya, sudah terjeblos ke dalam lumpur yang tertutup pasir dan rumput! Baiknya Tiang Bu selalu waspada dan cepat ia dapat menahan keseimbangan tubuhnya sehingga yang terjeblos hanya kaki kirinya, sedangkan kaki kanan masih di atas tanah keras. Dengan mencabut kaki kirinya yang sudah melesak ke dalam lumpur selutut lebih dalamnya.
Ia bergidik. Kalau kaki kanannya tadi juga terjeblos, kiranya sukar baginya untuk menyelamatkan diri. Pengalaman mendebarkan ini membuat pemuda itu ragu ragu untuk berlari terus. Tempat ini benar-benar luar biasa sekali, penuh bahaya yang tak disangka-sangka. Baru keluar dari gedung saja tadi sudah sukar bukan main, sekarang masih harus keluar dari Ui tiok-lim, hutan Bambu Kuning yan agaknya bahkan lebih sukar dari pada jalan rahasia di gedung besar itu. Padahal Bi Li perlu cepat-cepat dibawa ke luar untuk diobati.
"Tiang Bu....., kau di situ............. Lekas ke sini....... turutkan jalan itu, akan tetapi jangan menginjak jalan, ambil jalan di sebelah kiri deretan bambu di atas rumput!" Kembali terdengar suara wanita yang tadi memberitahukan rahasia lorong, kini suara itu terdengar lemah dan Tiang Bu mengenal suara Cui Lin!
Tiang Bu menurut petunjuk ini. Segera ia melangkah dari jalan itu ke sebelah kiri di mana tumbuh rumput liar. Kemudian ia melangkah maju menurut sepanjang lorong yang pinggirnya ditumbuhi bambu-bambu kuning. Benar saja, di bawah rumput itu terdapat tanah keras dan sama sekali tidak dipasangi perangkap. Memang siapakah orangnya akan mengambil jalan ini kalau di sampingnya terdapat jalan yang bersih rata dan baik?
Setelah berjalan hati-hati beberapa puluh tindak, jalanan terhalang serumpun bambu kuning muda yang tumbuh di tanah yang bundar.
"Hati-hati, jangan terlalu dekat rumpun bambu muda!" kembali terdengar suara Cui Lin di depan, tak jauh lagi. Tiang Bu kaget dan cepat melompat ke kiri menjauhi. Akan tetapi karena ingin tahu ia mengambil batu dan melemparkannya ke dekat rumpun bambu dan
"........ sssshhh....... ssssttt.......!" Tujuh ekor ular berbisa yang mokrok lehernya menyambar ke sekeliling rumpun. Ular-ular ini ternyata ekornya diikat pada rumpun dan selalu bersembunyi. Hanya pada saat ada korban melewat dekat, ular-ular kelaparan ini tentu serentak menyerangnya. Tentu saja Tiang Bu tidak takut menghadapi serangan binatang-binatang ini, akan tetapi kalau dia tadi amat dekat tentu ia akan kaget dan mungkin melompat ke kanan di mana dipasangi macam-macam alat rahasia jebakan.
Tergesa-gesa Tiang Bu maju terus ke arah suara tadi.. Tak lama kemudian ia melihat pemandangan yang membuat jantungnya serasa berhenti berdetak! Ia melihal Cui Lin dan Cui Kim terbenam di lumpur maut, terhisap lumpur sampai ke Ieher. Bahkan Cui Kim sudah tak bergerak lagi, hanya matanya yang besar dan indah itu terbelalak ketakutan, tidak bersinar lagi seperti mata orang yang kehilangan ingatannya. Agaknya saking takutnya menghadapi kematian mengerikan ini, Cui Kim telah hilang ingatannya. Cui Lin dengan air mata bercucuran memandang ke arah Tiang Bu.
Pemuda ini bingung bukan main. Dua orang gadis itu berada di tengah-tengah kolam lumpur jauhnya ada empat tombak dari tempat ia berdiri. Tanpa membuang waktu lagi, Tiang Bu meletakkan tubuh Bi Li di atas rumput dengan cekatan menggunakan kekuatan tangannya mencabut dua batang bambu kuning.
"Jangan, Tiang Bu...... tak ada gunanya..........kami....... kami......."
Akan tetapi mana Tiang Bu mau mendengarkannya? Seorang berjiwa kesatriya seperti dia tentu saja tidak bisa tinggal berpeluk tangan melihat dua orang gadis terancam bahaya maut seperti itu.
Cepat ia memasang dua batang bambu itu sampai dekat mereka, lalu berjalan di atas bambu-bambu yang melintang mendekati Cui Lin dan Cui Kim. Dengan cepat ia menyambar tangan Cui Lin dan menariknya. Akan tetapi ia melepaskan kembali karena Cui Lin menjerit kesakitan.
"Jangan, Tiang Bu....... kau hanya akan menyiksaku....... ketahuilah, tadi kami berusaha menolongmu ketahuan oleh...... oleh si keji Liok Kong Ji dan Cui Kong...... kedua kaki kami dihancurkan tulang-tulangnya, kami diloloh racun....... kemudian dilempar ke sini. Tempat ini akan menjadi kuburan kami...... aduuh...... percuma saja kau menolong kami, tak mungkin lagi, mana bisa kau menolong nyawa kami?! Lihat........ aduh, adikku dia sudah....... sudah......." Cui Lin menangis dan gerakannya ini membuat tubuhnya makin melesak ke bawah. Hanya dagu yang bertahi lalat keeil itu kelihatan.
Tiang Bu terharu bukan main. Dalam keadaan hampir mati gadis ini masih berusaha menolongnya. Teringat ia akan kenang-kenangan lama, dahulu ia menganggap tahi lalat di dagu ini manis bukan main.
"Cui Lin.......
" katanya bingung.
"Apa yang harus kulakukan untuk menolong kalian. Lekas katakan!"
Cui Lin tersenyum di antara tangisan "Kau harus ke luar dari sini dengan selamat. Dengar baik-baik, dari sini kau mengambil jalan di antara rumpun-rumpun bambu itu dengan hati-hati menurutkan letak titik bintang Pin-seng (Bintang Purnama). lalu Ni-seng (Bintang Wanita), selanjutnya Bi-seng (Bintang Ekor) kemudian yang terakhir Sin-seng (Bintang Hati). Nah, dengan demikian kau akan tiba di bukit batu-bats karang di mana kau bertemu dengan aku....... aduuhh...... Tiang Bu, kalau kau mau menolong aku dan adikku....... kelak balaskan sakit hati kami kepada mereka berdua....... aaahh, pergilah......
"
"Tidak, aku harus menarikmu ke luar dari sini!" Tiang Bu berseru, marah dan penuh keharuan. Marah kepada Kong Ji dan Cui Kong, terharu melihat keadaan dua gadis yang mengenaskan ini.
"Aduuhhh, jangan! Aku akan mati karena nyeri! Kakiku sudah patah patah, rusak sakit sekali. Enak begini, hangat-hangat di dalam lumpur....... selamat jalan, Tiang Bu...... Pergilah, kalau mereka datang mengejar, sukar bagimu untuk ke luar."
Tiang Bu ragu-ragu, akan tetapi tiba-tiba terdengar keluhan Bi Li.
"Tiang Bu...... kau di mana......? Apakah aku sudah mati.......?" ternyata Bi Li siuman dan mendapatkan dirinya rebah di atas rumput, ia segera memangil-manggil Tiang Bu. Untuk bangun berdiri tidak ada tenaga lagi.
Terpaksa Tiang Bu berdiri. Sekali lagi ia memandang kepada Cui Lin den Cui Kim.
"Selamat tinggal......." katanya, suaranya tersendat di tenggorokan.
"Pergilah....... eh, nanti dulu...... Tiang Bu, coba kau ....... kau peluk kepalaku untuk penghabisan kali...... kaulah orang termulia....... bayanganmu hendak kubawa ke sana....."
Dengan isak tertahan Tiang Bu berlutut di atas batang-batang bambu, mendekap kepala yang hampir terbenam itu lalu mencium jidat Cui Lin. Juga ia mencium jidat Cui Kim yang segera menangis meraung-raung,
"Aku harus menolong kalian....... . harus......!" kata Tiang Bau setengah berteriak.
"Tiang Bu.......!" terdengar pula suara Bi Li memanggil lemah,
"Terima kasih, Tiang Bu, selamat berpisah.......
" kata Cui Lin ketika Tiang Bu menoleh ke belakang untuk melihat Bi Li. Ketika pemuda ini memandang lagi ke lumpur, ia hanya melihat hawa keluar dari dua tempat menerbitkan suara perlahan. Dua kepala gadis itu sudah tidak kelihatan lagi, ternyata Cui Lin telah menggerakkan tubuhnya sekerasnya agar kepalanya lekas terbenam dan kematian lekas menyambut nyawanya. Cui Kim yang menangis menggerung-gerung juga segera terhisap oleh lumpur karena tubuhnya bergerak-gerak. Sunyi di situ....... sunyi mengerikan.
Pedang Penakluk Iblis Eps 24 Pedang Penakluk Iblis Eps 31 Pendekar Pedang Pelangi Eps 20