Ceritasilat Novel Online

Tangan Geledek 11


Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo Bagian 11




   "Apa katanya?" ia mendesak muridnya.

   "Dia hanya bertanya bukankah teecu ini Lee Goat dan ketika teecu jawab bukan, dia terheran dan menyatakan bahwa wajah teecu serupa benar dengan wajah Lee Goat!"

   Sin Hong mengangguk-angguk. Kini iapun menengok ke kanan kiri, memandang tajam untuk melihat apakah Tiang Bu masih berada di sekitar tempat itu. Akan temtapi Tiang Bu sudah pergi. karena anak inipun melihat datangnya banyak sekali orang orang aneh yang naik ke puncak, maka diam-diam iapun mendahului pulang ke puncak untuk memberi tahu gurunya.

   "Ke mana dia pergi? Mengapa tadi aku tidak melihat dia?"

   "Entahlah, tadi dia terus pergi lagi, suhu. Siapakah dia, suhu........" tanya Lee Goat.

   "Kau tidak tahu. Dia itulah kakakmu sendiri yang pergi dari rumah ketika kau masih berusia dua tahun."

   Lee Goat membelalak....... matanya yang lebar.

   "Kakak Tiang Bu yang diculik orang? Akan tetapi......... kenapa dia......... dia begitu buruk dan pakaiannya penuh tambalan seperti penggembala kerbau?"

   "Dia itu kakakmu. Hemm, jangan kau melihat pakaian. Bukankah tongkatnya sekali gerak saja sudah membikin terlepas pedangmu?"

   Lee Goat membungkam. Dalam hatinya memang ada rasa bangga akan kepandaian kakaknya yang lebih tinggi darinya, akan tetapi ia merasa kecewa karena kakaknya itu menurut anggapannya berwajah jelek, tidak tampan gagah seperti kakak Bi Li tadi. Juga, mengapa kakaknya tidak membantunya dan memberi hajaran kepada Bi Li? Akan tetapi terus saja ia tidak berani membicarakan hal ini di depan suhunya dan tanpa banyak cakap ia mengikuti gurunya naik ke puncak. Apa lagi sekarang perjaIanan amat sukar, melalui batu-batu karang yang tajam dan runcing, harus mempergunakan ginkang dan perhatian sepenuhnya. Di bagian yang paling berbahaya, Sin Hong memegang tangan muridnya. Jauh di depan ia melihat Ang-jiu Mo-li juga manggandeng kedua muridnya di kanan kiri untuk melalui tebing yang curam dan berbahaya.

   Sementara itu, Tiang Bu berlari cepat naik ke puncak dan dengan wajah agak berubah ia memasuki pondok, ia melihat kedua orang kakek sakti itu sedang duduk berhadapan menghadapi papan catur. Melihat kedua orang gurunya yang sudah amat tua dan akhir-akhir ini kelihatan lemah dan sering kali mengeluh karena tubuh sudah mulai digerogoti usia tua. Tiang Bu menjadi makin gelisah. Tiong Sin hwesio sudah berusia hampir sembilan puluh tahun dan Tiong Jin Hwesio hanya lebih muda sepuluh tahun. Sering kali Tiong Sin Hwesio mengeluh bahwa tulang tulangnya sudah terlalu lapuk, tubuhnya sudah terlalu tua sehingga "tidak enak" lagi dijadikan tempat tinggil jiwanya! Dan sekarang (Lanjut ke Jilid 11)
Tangan Geledek/Pek Lui Eng (Seri ke 03 -Serial Pendekar Budiman)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 11
dua orang hwesio tua ini masih enak-enak bermain catur, padahal dari bawah gunung naik banyak orang yang kelihatannya aneh-aneh dan gagah-gagah!

   Kalau mereka itu naik dengan maksud jahat, bukankah kedua orang suhunya akan celaka? Selama lima tahun di Omei-san, Tiang Bu belum pernah manyaksikan kelihaian kedua orang gurunya. Biarpun ia telah menerima banyak pelajaran ilmu yang tinggi tinggi, namun kedua orang kakek itu tak pernah mendemontrasikan kepandaian mereka, apalagi Tiong Sin Hwesio yang kerjanya hanya bersamadhi dan main catur belaka.

   Tiong Jin Hwesio masih mendingan karena di waktu melatih ginkang dan lweekang atau ilmu silat yang sulit-sulit, masih terlihat kelihaiannya. Oleh karena inilah maka tidak mengherankan apabila Tiang Bu mengkhawatirkan keselamatan dua orang kakek itu.

   "Tiang Bu, kau sudah pulang. Apakah pekerjaamu mengisi tempat air sudah selesai?" Tiong Jin Hwesio bertanya tanpa menoleh dari papan catur yang dihadapinya.

   "Belum suhu. Akan tetapi......."

   "Kalau begitu keluarlah dan selesaikan dulu pekerjaanmu baru nanti bicara!" Tiong Jin Hwesto memotong kata-katanya. Suara keren dan berpengaruh sehingga Tiang Bu tidak berani berlaku lambat.

   "Baik, suhu......" Ia bangkit dari lantai di mina ia tadi berlutut lalu berjalan perlahan menuju ke pintu.

   "Tiang Bu.....!" Panggilan halus dari Tiong Sin Hwesio membuatnya menghentikan tindakan kakinya. Ia membalik dan menjatuhkan diri berlutut di ambang pintu, menanti kelanjutan bicara suhunya.

   "Melihat apa-apa, bersikaplah tenang. Hanya ketenangan yang mempertajam kewaspadaan. Jangan mencampuri urusan orang lain dan jangan bertindak sembrono. Dua orang gurumu masih hidup dan masih berada di sini, mengapa kau gelisah? Bekerjalah dan tunggu saja perintah kami!"

   "Baik, suhu dan terima kasih atas nasehat suhu," kata Tiang Bu. Kini kedua kakinya terasa ringan seperti hatinya. Kata-kata Tiong Sin Hwesio seperti memberi semingat kepadanya oleh karena kata-kata itu seakan akan hendak membayangkan bahwa dua orang suhunya itu sudah tahu akan naiknya banyak orang ke puncak dan tentu sudah siap-siaga. Dengan hati lega Tiang Bu membawa pikulan dan tempat air, lalu berlari-lari turun dari puncak menuju ke lereng di mana terdapat pancuran air.

   Akan tetapi baru saja ia memenuhi dua kaleng tempat air itu dengan air gunung yang jernih dan sejuk, tiba-tiba terdengar orang tertawa dan berkata.

   "Bagus kau datang menghantarkan diri!"

   Ketika Tiang Bu membalikkan tubuh, ia melihat Thai Gu Cinjin sudah berdiri di hadapannya dan di samping Thai Gu Cinjin berdiri pula seorang laki-laki gundul setengah tua yang matanya berputar liar. Melihat laki-laki gundul ini, Tiang Bu menjadi makin terkejut karena ia mengenal laki-laki ini sebagai pembunuh gurunya, Ba Hok Lokai! Itulah laki-laki gundul berpakaian compang-camping yang senjatanya istimewa, yaitu dua ekor ular merah.

   Karena maklum bahwa dua orang yang berdiri di hadapannya itu tentu tidak mengandung maksud baik. Tiang Bu lalu membalikkan tubuhnya dan melarikan diri. Akan tetapi, ia merasa ada sambaran ongin dari belakang. Cepat bocah ini menjatuhkan diri ke kiri dan tongkat panjang dari Thai Gu Cinjin yang tadi menyambarnya itu lewat cepat di atas kepalanya.

   "Tiang Bu, jangan lari! Kalau kau lari berarti kau akan mampus. Kami tidak akan mengganggu, hanya minta bantuanmu mengantar kita ke puncak, ke tempat dua orang kakek itu menyimpan kitab-kitabnyal" kata Thai Cu Cinjin.

   Tiang Bu yang sudah melompat bangun tentu saja tidak memperdulikan kata-kata ini dan sekali lagi ia melompat hendak melarikan diri. Tiba tiba terdengar desir angin dan tahu-tahu Thai Gu Cinjin dan orang gundul itu sudah melompat dan berada di depannya, menghadang dengan wajah mengandung ancaman.

   "Jiwi mau apakah! Aku tidak mau berurusan dengan jiwi, biarkan aku lewat!" kata Tiang Bu sedikitpun tidak takut.

   "Tiang Bu, sudah lama aku tahu bahwa kau sekarang menjadi murid di Omei-san. Aku hanya minta kau mengantar kami ke tempat simpanan kitab."

   Orang gundul itu tertawa bergelak dan terdengar suaranya yang menyeramkan.

   "Anak baik, aku masih mau mengambilrnu sebagai murid. Kau cocok dengan aku. Akan tetapi lebih dulu kau harus mengantar kami naik ke atas puncak!"

   "Tidak, aku tidak sudi mengantar maling-maling kitab!" Jawab Tiang Bu yang segera hcndak lari lagi. Akan tetapi orang itu menubruknya dengan gerakan cepat lalu mengirim totokan ke arah pundaknya. Sudah jelas maksud si gundul itu hendak menangkapnya. Akan tetapi ia sama sekali tidak tahu bahwa biarpun bocah di depannya ini baru berusia tiga belas tahun, sesungguhnya telah memiliki kepandaian yang amat tinggi.

   Melihat datangnya serangan Tiang Bu menjadi marah. Ia selalu ingat akan nasehat dua orang suhunya bahwa apabila tidak diserang jangan sekali-kali ia mendahului menyerang orang. Apabila ia membela diri, kalau terpuksa sekali juga tidak beleh ia melukai atau merobohkan orang. Kini menghadapi tubrukan orang gundul itu yang cukup berbahaya, ia miringkan tubuh, mengerahkan tenaga dan secepat kilat tangannyabergerak menangkis terus menangkap tangan orang dan melemparkan tubuh orang gundul itu dengan meminjam tenaga tubrukan lawan! Gerakan Tiang Bu ini cepat, otomatis dan tidak terduga sama sekali. Kalau orang lain yang tadi menyerangnya tentu kini akan terlernpar. Akan tetapi yang menyerangnya adalah Kwan Kok Sun yang berjuluk Tee-tok (Racun Bumi), seorang kang-ouw yang sudah terkenal (baca Sin-kiam Hok-mo).

   Biarpun amat terkejut karena bocah itu tidak saja dapat menangkis tubrukannya bahkan dapat pula membalas dengan hebat namun Kwan Kok Sun si orang gundul yang lihai itu masih dapat menguasai dirinya. Begitu lengan kanannya ditangkap, tangan kirinya lalu mengirim pukulan ke arah kepala Tiang Bu dan kali ini ia mengirim pukulan yang dahsyat yang bukan main-main lagi, melainkan pukulan maut yang dapat mematikan. Inilah pukulan Hek-tok-ciang (Pukulan Racun Hitam) yang luar biasa dahsyat dan berbahaya!

   Tiong Bu sudah mewarisi kepandaian luar biasa dari kedua orang suhunya yang sakti. Panca-inderanya tajam dan perasa sekali, terutama matanya amat awas. Pukulan Hek-tok-ciang yang amat berbahaya dan dilakukan dari jarak dekat ini sudah lebih dulu dirasainya, maka secepat kilat ia menangkis dengan hawa pukulan dari atas ke bawah, menggunakan dua tangan mendorong ke bawah menggunakan tenaga khikang sedangkan kedua kakinya menotol tanah sehingga tubuhnya mencelat ke atas melalui kepala Kwan Kok Sun!

   "Lihai sekali..........!" Kwan Kok Sun sampai berseru kagum dan juga kaget melihat cara bocah itu menyelamatkan diri. Akan tetapi Thai Gu Cinjin sudah siap sedia. Ia tidak mau melepaskan Tiang Bu begitu saja karena memang ia amat membutuhkan bocah itu, Thai Gu Cinjin selain lihai ilmu silatnya juga ia terkenal amat cerdik.

   "Tiang Bu jangan lari!" Tongkatnya diputar menghadang di depan Tiang Bu yang menjadi bingung juga. Kalau dua orang itu mcnyerangnya dengan sungguh-sungguh yaitu denganmaksud membunuh, kiranya akan sukar baginya untuk membebaskan diri. Biarpun ia sudahlima tahun belajar ilmu silat tinggi di Omei-san, namun kalau dibanding-kan dengan tingkat kepandaian Thai Gu Cinjin masih tak mungkin dapat menang.

   "Thai Gu Cinjin, kalau kau memaksa aku membantumu mencuri kitab lebih baik aku mengadu nyawa denganmu," katanya gagah sedikitpun tidak merasa gentar biarpun tahu ia berada dalam bahaya maut.

   Thai Gu Cinjin menahan tongkatnya dan berkata manis.

   "Tiang Bu. kepandaianmu sudah hebat sekarang! Kau bawalah aku menghadap Tiong Jin Hwesio.Untuk menghadap sendiri pasti ia tidak mau mencrimaku. Maka kau bisa membawa kami menghadap orang tua itu, cukuplah."

   Memang Thai Gu Cinjin cerdik. Ia pikir tidak ada gunanya membunuh anak ini karena kalau sampai terjadi demikian tentu dua orang kakek Omei-san akan menjadi marah sekali dan ini amat berbahaya. Sebaliknya kalau anak ini mau mengantarkannya, ia akan dapat naik ke puncak dengan mudah, juga ia takkan dicurigai dan banyak kesempatan baginya untuk melakukan niatnya, yaitu mencuri kitab-kitab pelajaran di Omie-tan. Karena biarpun ia pernah naik ke puncak ini untuk bermain catur dengan kedua kakek itu, namun sekarang ia mengambil jalan lain dan ia belum mengenal jalan ini.

   Salahnya Thai Gu Cinjin tidak memperhitungkan bahwa di dunia ini bukan dia seorang saja yang mempunyai akal. Juga Tiang Bu orang bocah yang cerdik dan mudah menangkap maksud hati orang yang dtsembunyikan di balik senyum dan kepalsuan. Ia maklum bahwa kepandaiannya masih belum cukup untuk dapat dipergunakan mengimbangi kelihaian dua orang ini.

   "Baiklah, Thai Gu Cinjin. Kalau hanya membawa kau menghadap saja, aku tidak melakukan sesuatu yang salah. Akupun tidak takut kau berlaku curang dan membunuhku karena selain aku dapat menjaga diri, andai kata aku mati di tanganmu, aku takkan penasaran. Kedua orang suhuku pasti akan menghukummu dan membalaskan penasaran."

   Setelah melepas ancaman ini. Tiang Bu lalu mendahuiui dua orang itu naik ke puncak sambil memikul dua kaleng airnya. Thai Gu Cinjin dan Kwan Kok Sun mengikutinya dari belakang. Tiang Bu bersikap acuh tak acuh, padahal ia maklum bahwa nyawanya berada di dalam tangan dua orang di belakangnya itu.

   Sementara itu, Sin Hong yang menggandeng muridnya meloncati batu karang dan jurang menuju ke puncak, akhirnya dapat melewati daerah batu karang yang sukar itu dan tiba di daerah datar yang ditumbuhi rumput semak hijau.

   "Suhu, banyak sekali orang di sana!" kata Lee Goat, akan tetapi Sin Hong menarik muridnya ke bawah dan mengajaknya bersembunyi di balik rumput yang tinggi.

   Di sebelah sana memang terdapat beberapa belas orang yang berjalan perlahan naik ke puncak. Dari balik rumput hijau Sin Hong mengintai dan ia melihat Kong Ji berjalan dengan beberapa orang yang telah dilihatnya, yailu orang-orang Mongol dan tokoh-tokoh utara seperti Pak-kak Sam-kui, Bu-tek Sin-ciang Bouw Gin dan masih banyak lagi orang-orang yang kelihatan memiliki kepandaian tinggi. Diam-diam Sin Hong menghitung dan memperhatikan calon lawannya seorang demi seorang. Termasuk Kong It, mereka semua ada empat belas orang. Akan tetapi di mana Li Hwa? Ia tidak melihat adanya Li Hwa di dalam rombongan itu dan hatinya amat tidak enak. Kong Ji memiliki banyak tipu muslihat, maka ia harus berhati-hati.

   Setelah rombongan Kong Ji ini lewat, keadaan menjadi sunyi. Akan tetapi Sin Hong masih belum keluar dari tempat sembunyinya karena telinganya dapat menangkap gerakan orang yang naik dari bawah puncak. Tak lama kemudian, benar saja ia melihat rombongan ke dua yang juga terdiri dari banyak orang, bahkan ada dua puluh orang. Mereka ini adalah rombongan orang -orang dari dunia kang-ouw di daerah selatan, karena antara mereka terdapat Le Thong Hosiang, Hengtuangsan Lojin dan kedua orang hwesio Koalikungsan yang selalu membawa bawa tombak, yaitu Nam Kong Hosiang dan Nam Siang Hosiang. Di antara mereka itu tardapat orang-orang yang berpakaian seperti pangemis, seperti siucai (sasterawan), tosu, hwesio, dan lain-lain.

   Setelah rombongan ke dua ini lewat, baru saja Sin Hong hendak berdiri. Tiba-tiba terdengar suara ketawa cekikikan, membuat dia kaget setengah mati dan cepat ia berjongkok kembali di balik rumput tinggi. Siapakah orangnya yang kedatangannya sampai tak terdengar olehnya? Tentu orang yang lihai luar biasa pikirnya. Akan tetapi biarpun suara ketawanya sudah terdengar, orangnya masih juga belum kelihatan.

   Kemudian muncul titik-titik hitam di udara. Titik-titik ini melayang tinggi, lalu menukik ke bawah dan tak lama kemudian terdengar suara memukul-mukul. Ternyata bahwa tiga buah titik hitam itu setelah dekat adalah tiga ekor kelelawar yang amat besar dan warnanya hitam berbintik-bintik kuning. Ketika tiga ekor kelelawar ini lewat di atas kepala, Sin Hong mencium bau amis dan ia menjadi terkejut sekali.

   "Kelelawar berbisa dari Lam-hai (Laut Selatan)." katanya di dalam hati. Sebagai seorang ahli waris pengobatan dari Raja Tabib Kwa Siucai, Sin Hong mengenal kelelawar ini yang gigitannya sama bahayanya dengan gigitan ular yang paling berbisa!

   Tak lama kemudian, kembali terdengar suara ketawa cekikikan dan muncullah orangnya. Pundak Lee Goat di bawah telapak tangan Sin Hong menggigil tanda bahwa bocah ini merasa ngeri dan ketakutan. Memang, manusia yang sekarang berjalan lewat, berbongkok-bongkok dibantu oleh tongkat panjang, hampir tidak menyerupai manusia dan lebih pantas disebut iblis atau siluman!

   Orang ini adalah seorang nenek tua yang wajahnya menyeramkan. Rambutnya berwarna putih kelabu, kasar dan tebal, lengket menjadi satu tak pernah tercium sisir, panjang riap-riapan menutupi pundak dan sebagian mukanya. Pakaiannya hitam, hanya semacam selendang kuning melambai di pundak dan pinggangnya. Tangan yang memegang tongkat itu dihiasi jari.jari yang kukunya seperti kuku setan, runcing melengkung mengerikan. Kedua kakinya yang besar itu telanjang, jari-jari kakinya merenggang dan melebar seperti kaki bebek. Akan tetapi yang paling mengerikan adalah mukanya. Matanya kccil, nampak kejam karena kerut-merut pada dahi pinggir dan bawah matanya. Htdungnya pesek dan dari samping tidak kelihatan sedangkan mulutnya bisa membikin orang mengkirik. Mulut ini terisi gigi yang jarang-jarang meruncing seperti gigi ular.

   Sambil berjalan tersaruk-saruk nenek ini mengeluarkan suara cekikikan, tertawa seorang diri. Tiba-tiba ia mengacungkan tongkatnya ke atas dan dari mulutnya keluar suara mendesis atau lebih tepat siulan yang amat tinggi, demikian tingginya sehingga yang terdengar suara desis yang menyakitkan anak telinga. Inilah suara yang dikeluarkan dengan khikang tinggi. Lebih tinggi dan lebih hebat dari pada pekik Hui-eng Niocu yang terkenal. Dan kemudian ternyata bahwa suara ini adalah suara panggilan, karena seekor diantara tiga ekor kelelawar itu lalu menukik ke bawah dan hinggap di ujung tongkat nenek itu, lalu menggantung dengan kepala di bawah mengeluarkan suara mencicit seperti suara tikus.

   "Anak nakal, biar kawan-kawanmu terbang dulu, kau harus mengawani aku di sini. Kau tahu aku kesepian, hi hi hihi.......!"

   Setelah nenek menyeramkan itu lewat dan lenyap dari pandangan mata, baru Sin Hong berani berdiri dan mengusap-usap kepala Lee Goat yang nampak pucat sekali. Tiba-tiba Sin Hong tertawa melihat bahwa tak jauh dari situ, di sebelah kanannya terdapat seorang kakek yang juga bersembunyi dan mengintai seperti dia tadi. Agaknya orang itu lebih dulu berada di situ, karena ia tidak melihat kedatangannya.

   Kebetulan kakek itu menengok dan terkejutlah Sin Hong ketika mengenal bahwa kakek itu bukan lain adalah hwesio gemuk bulat seperti bal yang pernah ia lihat dahulu di sebuah kelenteng dekat kota raja. Di sebelah selatan kota raja terdapat sebuah Kelenteng Kwan-te-bio dan di situ yang menjadi ketua adalah Hoan Ki Hosiang. Ia kenal baik dengan hwesio tua ini. Kemudian datarg seorang hwesio baru yang pekerjaannya menjadi tukang dapur. Hwesio itu bernama Hwa Thian Hwesio, biarpun hanya tukang dapur akan tetapi memiliki ilmu pedang tinggi.

   Ketika Sin Hong mengunjungi kuil itu, dahulu ia melihat hwesio tukang dapur ini memindah-mindahkan patung yang beratnya seribu kati dengan mudahnya, maka tahulah ia bahwa Hwa Thian Hwesio memiliki kepandaian lihay. Dan sekarang tahu-tahu hwesio gemuk bundar itu berada di situ bertiarap di antara rumput tinggi, presis seekor babi gemuk! Hwesso berusia lima puluh tahun ini memiliki wajah yang lucu dan orangnya selalu gembira.

   "Eh, eh, kiranya Wan-sicu ada di sini pula! Pinceng sampai kaget setengah mati, kukira nenek siluman tadi muncul di sini. Hi...!" Ia menggerak-gerakkan kedua pundak bergidik kengerian.

   Sin Hong tersenyum lebar.Tidak ada orang yang takkan tersenyum apabila bertemu dan bicara dengan hwcsio gemuk ini karena segala gerak-geriknya serba lucu. Kepalanya bulat matanya, hidungnya, bibirnya serba tebal dan bentuknya bundar, demikian perutnya. Benar-benar menyerupai patung Ji-lai-hud yang banyak terdapat di kelenteng. Seperti patung pula, hwcsio ini mulutnya selalu terbuka dengan senyum gembira, seakan-akan ia melihat dunia ini seperti panggung di mana orang-orangnya menjadi pelawak-pelawak menggelikan.

   "Hwa Thian Suhu, angin apa yang meniupmu sampai ke sini?" tanya Sin Hong, terbawa gembira oleh kelucuan hwesio itu. Hwa Thian Hweio merengut akan tetapi mulutnya tidak seperti orang bersungut-sungut, tetap saja seperti orang tersenyum gembira,

   "Kalau pinceng terbawa angin, tentulah angin busuk yang meniup pinceng sampai di sini!" Ia menggunakan ujung bajunya untuk mengipasi dadanya yang telanjang. Inilah kebebatannya. Di dekat puncak 0mie-san yang begitu sejuk dan dingin, tetap ia berkeringat.

   "Kalau saja bukan Wanyen Siauw ongya yang memerintah, biar kaisar sekalipun menyuruh pinceng, pinceng takkan sudi datang di sini bertemu dengan segala macam siluman yang mengerikan. Hiii." Kembali ia bergidik dan Lee Goat tak dapat menahan ketawanya melihat pundak yang gemuk itu bergerak seperti menari-nari.

   Sin Hong mendekati hwesio itu dan memegang lengannya, penuh perhatian ia bertanya.

   "Jadi kau mcnjadi utusan Pangeran Wanyen Ci Lun? Ada urusan penting apakah gerangan maka kau diutus ke sini? Atau ini rahasia yang tak boleh diketahui orang lain?" Kepala bundar tak berleher itu bergerak-gerak ke depan membuat gerakan mengangguk.

   "Memang rahasia karena tugas pinceng menyelidik. Akan tetapi baiknya pinceng mengenal siapa Wan-sicu. Terhadap Wan-sicu pinceng tak perlu merahasiakan sesuatu, bahkan pinceng banyak mengharapkan bantuan Wan-sicu."

   "Coba ceritakan!" kata Sin Hong.

   Hwa Thian Hwesio lalu menceritakan pengalaman-pengalamannya. Wanyen Ci-Lun yang amat memperhatikan perkembangan keadaan, tahu dari para penyelidiknya bahwa raja bangsa Mongol mengirim banyak orang gagah ke selatan untuk mengajak orang-orang kang-ouw di daerah itu supaya kelak suka membantu pergerakan bangsa Mangol. Juga ia mendengar tentang perubahan yang terjadi di dunia orang kang-ouw bagian utara bahwa Wan-bengcu telah dibebaskan dari pada tugas dan orang orang itu kabarnya hendak memilih bengcu baru di selatan.

   "Yang dicalonkan mereka adalah dua orang kakek sakti di 0mei-san ini," Hwa Thian Hwesio melanjutkan ceritanya.

   "Oleh karena itulah maka pinceng diutus ke selatan untuk menyelidiki hal ini, bahkan kalau mungkin pinceng harus dapat menarik bantuan mereka untuk membantu Kerajaan Kin menghadapi serbuan orang orang Mongol."

   Kemudian Imam itu melanjutkan penuturannya. Ketika ia mulai naik Bukit Omei-san, ia sudah lebih dulu menyelidiki keadaan orang-orang yang hendak naik ke puncak. Banyak sekali yang naik dan dalam panyelidikannya, hwesio yang cerdik ini mendapat kenyataan bahwa mereka itu semua datang dengan maksud hati yang berbeda-beda. Ketika ia melalui lereng sebelah timur, ia melihat seorang laki-laki tampan sedang menarik lengan seorang wanita cantik memasuki sebuah kuil tua yang berada di pinggir jurang. Melihat cara wanita ini diseret, Hwa Thian menjadi curiga. Cepat ia mengejar dan membentak ke arah kuil.

   "Sobat yang berada di dalam keluarlah dulu, pinceng mau bicara!" Tak lama kemudian dari dalam kuil itu melompat keluar laki-laki tadi, nampak gagah dengan pedang di punggung. Laki laki itu tersenyum mengejek ketika bertanya.

   "Hwesio gemuk, kau memanggil aku Tung Nam Bengcu ada keperluan apakah?"

   "Hemm, pinceng tidak kenal segala Tung Nam Bengcu. Hanya melihat kau seorang laki-laki mayeret-nyeret wanita tadi dengan maksud apakah? Siapa dia?"

   "Dia adalah tawananku dan kau tak perlu mencampuri urusanku. Ketahuilah bahwa aku adalah Thian-te Bu tek Taihiap Liok Kong Ji. Lebih baik kau hwesio gemuk pergi dari sini dan jangan menggangguku!" Hwa Thian Hwesio pernah mendengar namae Liok Kong Ji, maka biarpun ia sudah mengerti bahwa orang di depannya ini lihai sekali ia segera menyerang.

   "Kau jahanam tak tahu malu!" bentaknya sambil mengirim serangan dengan tendangan kaki kiri.

   Namun Liok Kong Ji dengan mudah saja dapat mengelak lalu membalas dengan serangan serangan hebat yang membuat Hwa Thian Hwesio sebentar saja sibuk sekali. Hwesio gemuk ini kalah jauh ilmu silatnya. Baiknya ia memiliki ilmu kelit yaag baik sekali sehingga begitu jauh Kong Ji belum dapat menjatuhkannya, biarpun hwesio itu sudah mandi peluh dan napasnya memburu. Tak dapat diragukan ligi, dalam waktu cepat tentu Koug Ji akan dapat merobohkannya.

   Dalam keadaan yang gawat itu, tiba-tiba muncul bintang penolong. Terdeagar bentakan nyaring."Liok Kong Ji manusia busuk, jangan menghina orang!"

   Mendengar bantakan ini, Kong Ji mecelat ke belakang dan mcncabut peclangnya.

   "Ang-jiu Mo-li......!" serunya kaget. Adapun Thian Hwesio girang bukan main melihat kedatangan wanita sakti ini. Baiknya Ang-jiu Mo-li sudah mengenalnya dan hwesio itupun mengenal guru dan putera-putera majikannya. Bahkan Wan Sun dan Wan Bi Li juga muncul dan tertawa-tawa melihat betapa Hwa Thian Hwesio mandi keringat dan napasnya megap-megap.

   "Toanio, tolong kauhukum jahanam kurang ajar itu......!" akhirnya hwesio gemuk ini dapat mengeluarkan suara sambil mewek-mewek.

   "Dia menculik wanita, disembunyikan di dalam kuil itu!"

   Ang-jiu Mo li memandang kepada Kong Ji dengan senyum menghina.

   "Memang itulah kepandaian tunggal dari Liok Kong Ji. Cih, tak tahu malu!"

   "Ang-jiu Mo-li, jangan kau percaya omongan badut terlalu banyak makan ini. Wanita itu adalah tawananku, dia adalah Hui eng Niocu Siok Li Hwa, isteri dari Wan Sin Hong. Aku menawannya karena aku ada urusan dengan Wan Sin Hong. Siapa bilang aku hendak mengganggunya?"

   Mendengar bahwa wanita itu isteri Wan Sin Hong, Hwa Thian Hwesio menjadi makin marah. Juga Ang-jiu Mo-li kaget karena tidak mengira bahwa Wan Sin Hong ternyata menikah dengan Siok Li Hwa yang pernah dilihatnya sekali. Yang paling kaget adalah Wan Sun. Pemuda cilik itu mendengar bahwa isteri Wan Sin Hong diculik dan disernbunyikan dalam kuil, segera melompat memasuki kuil dengan niat menolongnya. Wan Bi Li melompat pula menyusul kakaknya.

   Akan tetapi, di lain saat terdengar dua orang bocah itu menjerit dan tubuh mereka bergulingan keluar pintu kuil! Ang-jin Mo-li terkejut sekali, namun hatinya lega kembali ketika melihat bahwa kedua orang muridnya itu bergulingan keluar karena menggunakan Ilmu Kelit Trenggiling Turun Gunung untuk menghindarkan diri dari serangan gelap yang berbahaya.

   Benar saja, setelah tiba di luar pintu, kedua anak itu lalu melompat dan cepat lari menghampiri guru mereka. Wajah mereka nampak pucat din nyata sekali mereka itu merasa ngeri dan takut. Hal ini mengherankan hati Ang-jiu Mo-li karena tidak biasanya murid-muridnya, apa lagi Bi Li, berhati penakut.

   "Ada apakah?" tegurnya, alisnya berkerut tak senang melihat dua orang muridnya memperlihatkan sikap ketakutan.

   "Suthai.... di dalam ada......... ada siluman menakutkan sekali!" kata Wan Sun, agak malu-malu akan tetapi masih ketakutan.

   "Siluman? Biar pinceng menangkapnya, untuk menjaga Kelenteng Kwan-te-bio!" seru Hwa Thian Hwesio dengan sikap gagah. Ia berjalan memasuki kuil dengan langkah tegap, kedua kaki agak dibongkokkan, kedua tangan terkepal dan perut serta dadanya melengkung seperti katak marah.

   Terdengar suara hiruk-pikuk di sebelah dalam kuil tua itu, suara bak-bik-buk orang bertempur, kemudian disusul pekik Hwa Thian Hwesio seperti babi disembelih dan orang-orang di luar kuil melihat tubuhnya yang bulat seperti bola itu menggelinding keluar!

   Setelah melompat berdiri, ia meraba-raba gundulnya sambil bertanya kepada Wan Sun.

   "Kongcu, tolong kaulihat kepalaku ini bonyok tidak?"

   Wan Sun din Bi Li tertawa geli melihat tingkah laku hwesio ini dan Wan Sun memeriksa kepala yang bulat itu. Ternyata tidak ada yang luka.

   "Tidak ada yang bonyok, Iosuhu," katanya.

   "Juga tidak pecab-pecah? Sukurlah...... Omitohud......! Toanio, yang di dalam bukan siluman, melainkan manusia betina setengah siluman. Toat-beng Kui-bo dari Lam-hai (Laut Selatan)!"

   Baik Kong Ji maupun Ang jiu Mo-li yang selama ini hanya merantau di daerah utara dan selatan tidak sampai di pantai Laut Selatan, tidak mengenal nama ini. Berbeda dengan Hwa Thian Hwesio yang memang berasal dari kota kecil di dekat pantai selatan. Oleh karena tidak mengenal nama mendengar laporan ini, Kong Ji dan Ang.jiu Mo-li berkelebat memasuki kuil itu. Akan tetapi mereka berseru kaget dan melompat mundur lagi karena tiba-tiba di ambang pintu kuit itu muncul seorang nenek yang amat menakutkan. Toat-bong Kui-bo (Biang Iblis Pencabut Nyawa). Nenek ini tertawa cekikikan dan di bawah lengan kirinya terkempit tubuh Li Hwa yang tak berdaya karena nyonya ini masih berada dalam keadaan tertotok.

   Melihat manusia luar biasa yang mengerikan ini, Ang-jiu Mo-li sendiri yang sudah dijuluki Mo-li (Iblis Betina), masih menjadi kaget setengah mati. Juga Kong Ji yang mempunyai watak seperti iblis, melihat nenek ini berdiri bulu tengkuknya. Hampir berbareng, seperti sudah janji lebih dulu, dari tangan Ang jiu Mo-li menyambar sinar putih dan dari tangan Kong Ji mcnyambar sinar hitam yang kesemuanya menuju ke arah jalan darah di tubuh nenek itu. Tiga buah Pat-kwa-ci (Biji Segi Delapan) yang lihai dari Ang-jiu Mo-li dan lima batang Hek-tok.ciam (Jarum Racun Hitam) dari Kong Ji menyerang cepat.

   Akan tetapi, sekali nenek itu menggerakkan tangan kanan yang memegang tongkat panjang, ujung lengan bajunya melambai. Dari lambaian ini keluar angin yang menyapu delapan buah senjata rahasia itu runtuh semua. Ang-jiu Mo-li dan Liok Kong Ji terkejut. Mereka bersiap untuk menggempur nenek itu. Akan tetapi Toat-beng kui-bo tertawa cekikikan dan berkata.

   "Manusia-manusia tak kenal malu. Di rumah orang jangan membikin rusuh. Ataukah kalian berani menghina dua kakek tua bangka dari Omei-san?"

   Mendengar bentakan ini, dua orang itu tertegun. Tentu saja mereka tidak berani menghina dua orang kakek sakti di Omei san. Toatbeng Kui-bo sambil tertawa-tawa lalu berjalan terbongkok-bongkok pergi dari situ.

   "Lepaskan dia......... Kong Ji barseru sambil rnencabut Cheng-liong-kiam, pedang rampasan dari Li Hwa. Melihat pedang itu, Toat-beng Kui-bo menyeringai dan tiba-tiba tubuhnya melayang cepat menyambar ke arah Kong Ji. Tangannya terayun dan dengan gerakan hebat menghantam kepala Kong Ji. Baru kali ini Kong Ji menghadapi serangan yang demikian berbahayanya. Cepat ia mengelak, akan tetapi tahu-tahu pedangnya terpukul tongkat dan terlepas dari pegangan. Pedang itu mencelat ke atas dan tubuh nenek itu bagaikan seekor burung hantu yang besar, melayang pula ke atas dan di lain saat pedang itu telah berada di tangannya!

   "Hi-hi-hi. Cheng-liong kiam, Kenapa berada di tangan bocah ini?" katanya dengan suara ketawa meringkik seperti kuda.

   "Itu pedangku, dirampas olehnya," kata Li Hwa perlahan. Nyonya ini tertotok dan tubuhnya lumpuh, namun masih dapat membuka suara.

   Mendengar ini, Toat-beng Kui-bo melanjutkan perjalanannya, sama sekali tidak memperdulikan Kong Ji yang berdiri melongo. Kong Ji menjadi marah dan penasaran sekali. Sambil mengeluarkan seruan keras ia hendak mengejar. Tak mungkin ia dikalahkan begitu saja. Juga Ang jio Mo-li yang kini melihat bahwa wanita yang dibawa Toat-beng Kui-bo itu adalah wanita yang dulu ia lihat bersama Wan Sin Hong lalu mendahului Kong Ji dan melompat melakukan pukulan dengan tangan merahnya, menampar muka yang seperti iblis itul

   Menghadapi pukulan ini, Toat-beng Kui bo kaget dan tidak berani memandang rendah. Ia rnelompat mundur dan tiba-tiba dari mulutnya keluar suara mendesis dan dari atas menyambar turun lima ekor kelelawar raksasa! Binatang-binatang aneh ini menyambar-nyambar di atas kepala Ang-jiu Mo-li dan Liok Kong Ji yang hendak menyerang Toat-beng Kui bo, seakan-akan hendak melindungi nenek itu.

   "Kelelawar berbisa.....!" Hwa Thian Hwesio yang mengenal kelelawar yang hidup di dalam gua-gua di pantai laut selatan itu cepat menyeret Wan Sun dan Wan Bi Li dan membawa mereka lari memasuki kuil untuk bersembunyi. Setelah Ang-jiu Mo-li memanggilnya dari luar baru hwesio gundul gemuk ini berani mengajak mereka keluar. Ternyata kelelawar-kelelawar itu sudah lenyap bersama Toat beng Kui bo. Juga Liok Kong Ji tidak kelihatan lagi.

   "Ke mana siluman itu? Mana pula Liok Kong Ji?" tanya Thian Hwesio sambil celingukan.

   "Mareka sudah pergi," jawab Ang-jiu Mo-li singkat.

   Demikianlah penuturan Hwe Thian Hwesio kepada Wan Sin Hong. Sebagai penutup penuturannya, Hwa Thian Hwesio berkata.

   "Nah, Ang-jiu Mo-li dan dua orang muridnya melanjutkan perjalanan ke puncak dan pinceng mengambil jalan lain. Di sini pinceng melihat orang-orang itu naik, maka pinceng bersembunyi di dalam rumput-rurnput. Tak tahunya bertemu dengan sicu di sini." Ia lalu tersenyum lebar.

   Sin Hong tertarik sekali oleh penuturan ini. Terutama sekali tentang Li Hwa. Isterinya itu telah bebas dari tangan Kong Ji dan kini berada di tangan Toat-beng Kui-bo. Akan tetapi mengapa tadi ia tidak melihat Li Hwa bersama nenek itu? Di mana adanya Li Hwa? Juga penuturan bahwa dua orang bocah yang menjadi murid Ang-jiu Mo-li itu ternyata putera-puteri Wanyen Ci Lun dan Gak Soan Li membuatnya tercengang. Akan tetapi karena tahu bahwa Ang-jiu Mo-li memiliki kepandaian tinggi, diam.diam ia merasa bersyukur bahwa anak-anak Wanyen Ci Lun mendapatkan guru yang pandai.

   Biarpun ia sudah tidak ada urusan dengan Liok Kong Ji dan berarti tidak ads urusan dengan Omei-san, akan tetapi oleh karena isterinya kini berada di tangan Toat-beng Kui-bo yang naik ke puncak, terpaksa Sin Hong melanjutkan perjalanan ke puncak Omei-san untuk mengejar Toat-beng Kui-bo dan menuntut dikembalikannya isterinya. Sambil menyambar tubuh Lee Goat yang dipondongnya. Sin Hong berlari cepat sekali sehingga sebentar saja Hwa Thian Hwesio tertinggal jauh.

   Sementara itu, di lain bagian dari Gunung Omei-san di dekat puncak, seorang pemuda tanggung diserang hebat oleh dua ekor burung Pek.thouw-tiauw, semacam burung rajawali yang besar sekali dengan kepala putih. Dua ekor burung raksasa itu sambil mengeluarkan suara cecowetan menyambar-nyambar ke arah pemuda tanggung itu. Pemuda itu bukan lain adalah Tiang Bu. Menghadapi serbuan dua ekor burung yang berbahaya ini, Tiang Bu menyambar sebatang ranting pohon. Dengan senjata istimewa ini ia melindungi diri sedapat mungkin. Burung raksasa itu beratnya sedikitnya ada lima ratus kati, maka sambarannya dapat dibayangkan betapa hebatnya. Mungkin ada seribu kati.

   Dua burung sehebat ini hendak menjadikan bocah itu sebagai mangsanya. Biarpun amat kewalahan menghadapi serbuan dua ekor binatang raksasa ini, namun Tiang Bu tak pernah minta tolong. Ia mainkan ranting kayu itu dengan gerakan cepat, sambil mengatur langkah dan mengelak setiap kali burung raksasa itu menyambar dengan paruh besar dan cakar mengerikan di depan. Beberapa kali Tiang Bu sudah dapat menusuk tubuh binatang-binatang itu dengan rantingnya akan tetapi seakan-akan tidak terasa oleh Pek-thouw-tiauw itu.

   Bagaimana Tiang Bu bisa berada dalam keadaan demikian berbahaya? Bukankah tadi ia berjalan diikuti oleh Thai Gu Cinjin dan Kwa Kok Sun, dua orang yang amat berbahaya dan mengancam keselamatannya?

   Memang demikian. Tadinya Tiang Bu memikul pikulan airnya, berlari naik ke puncak diikuti oleh Thai Gu Cinjin dan Teetok Kwan Kok Sun. makin lama Tiang Bu makin mempercepat larinya dan ia sengaja membawa dua orang itu melalui jalan yang paling sukar, yaitu di daerah yang yang paling liar di mana ia biasa berlatih Ilmu Lari Liap-In-sut dengan gurunya. Setelah tiba di daerah ini, ia lalu mengerahkan tenaga dan kepandaiannya, berlompatan dengan lincah sekali. Lebih dulu ia melempar pikulannya agar tidak menghalangi getakan-gerakannya.

   "Hai, tungau.........!" seru Thai Gu Cinjin, kaget melihat betapa bocah itu tiba-tiba demikian gesit gerakannya. Ia mengerahkan tenaga untuk mengejar.

   Juga Tee-tok Kwan Kok Sun segera tertinggal oleh Tiang Bu. Dalam hal ilmu silat, sangat boleh jadi Tiang Bu belum dapat mengimbangi mereka, akan tetapi Ilmu Lari dan Lompat Liap in-sut adalah ilmu ginkang yang sangat tinggi. Maka begitu Tiang Bu tiba di daerah ini dan mempergunakan ilmunya, dua orang pengejarnya itu tertinggal jauh.

   "Tiang Bu, berhenti! Kalau tIdak, kuhancurkan kepalamu!" Thai Gu Cinjin memaki-maki dan menyumpah-nyumpah, akan tetapi Tiang Bu bukan anak bodoh dan berlari terus dengan cepatnya.

   Tiba-tiba Tiang Bu mendengar suara angin dari belakang. Cepat ia mengelak dan beberapa butir batu kecil yang disambitkan oleh Thai Gu Cinjin lewat di dekat tubuhnya. Kembali terdengar suara senjata rahasia dan secepat mungkin Tiang Bu mengelak ke kiri. Beberapa sinar hitam lewat cepat sekali. Inilah senjata rahasia jarum-jarum berbisa yang berwarna hitam. yang dilepas oleh Tee-tok Kwan Kok Sun. Jarum-jarum berbisa ini disebut Hek-tok-ciam (Jarum Racun Hitam) yang dulu merupakan kepandaian istimewa dari mendiang ayahnya. See-thian Tok-ong. Juga Liok Kong Ji mewarisi kepandaian ini dari See-thian Tok-ong. Senjata-senjata ini berbahaya sekali, sedikit saja mengenai kulit, racunnya akan bekerja, ikut bersama darah dan meracuni seluruh tubuh!

   Didesak oleh senjata rahasia-rahasia yang dilepaskan bertubi-tubi dari belakang oleh orang-orang yang memiliki tenaga besar ini Thing Bu menjadi sibuk juga. Untuk berhenti dan melawan, ia maklum takkan dapat menang. Lebih baik berlari terus sambil mengelak dari setiap serangan amgi (senjata gelap atau senjata rahasia), pikirnya. Maka dipercepat larinya. Ia tidak dapat cepat-cepat terbebas dari kejaran dua orang itu karena baik kedua pengejarnya, terutama sekali Thai Gu Cinjin, memiliki kepandaian tinggi dan dapat berlari cepat pula.

   Pada saat itulah tiba-tiba dari angkasa raya terdengar pekik nyaring dan dua ekor burung rajawali kepala putih itu menyambac turun, langsung menyerang Thai Gu Cinjin dan Tee-tok Kwan Kok Sun. Thai Gu Cinjin mengayun tongkatnya dan Kwan Kok Sun mengirim pukulan. Terdengar suara berdebuk dan dua ekor burung itu terpental ke udara. Akan tetapi tubuh mereka kuat sekali karena mereka tidak tewas, melainkan terkejut dan beterbangan di atas sambil cecowetan.

   
Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Siapa berani memukul Pek thouw-tiauw kami?" terdengar suara halus dan tiba-tiba muncul seorang laki-kaki gagah bersama seorang wanita cantik. Usia mereka kurang lebih empat puluh tahun dan sikap mereka gagah sekali. Inilah jago dari Pantai Timur, Pekthouw-tiauw-ong Lie Kong dan isterinya yang bernama Souw Cui Eng, Lie Kong selamanya merantau ke luar lautan bersama isterinya, menjelajah pulau-pulau terdekat dengan Tiongkok dan karena itu, ia sama sekali tidak dikenal oleh orang-orang dari lain daerah. Thai Gu Cinjin dan Kwan Kok Sun yang datang jauh dari barat juga tidak mengenalnya. Maka Thai Gu Cinjin membentak marah!

   "Jadi kau yang punya burung liar itu? Bagus! Burung liarmu datang-datang menyerang orang dan kau bilang kami memukulnya? Benar-benar kurang ajar sekali!"

   Lie Kong tersenyum dan berkata tenang.

   "Burung-burung kami sudah terlatih baik, tak mungkin mau menyerang orang yang tak berdosa. Kalian tentu melakukan sesuatu yang tidak benar kalau sampai diserang oleh burung-burung kami."

   Melihat sikap yang tegas dan tenang dari Lie Kong, juga melihat sikap wanita di sebelahnya yang nampak gagah. Thai Gu Cinjin menahan kemarahan hatinya.

   "Enak saja kau menuduh orang. Kami sedang mengejar seorang bocah setan. yang menipu kami dan tahu-tahu dua ekor burungmu telah menyerang kami."

   "Nah, itulah! Kalian mengejar seorang bocah. tentu saja burung kami menganggap kalian berlaku keterlaluan dan ingin membela bocah itu. Salah kalian sendiri!" kata Li Kong mentertawai.

   Kesabaran orang ada batasnya. Tee-tok Kwan Kok Sun tidak biasa dihina orang, maka melihat sikap pemilik burung itu darahnya sudah meluap. Dengan geraman menyeramkan ia lalu menubruk maju dan mengerjakan kedua tangan mengirim pukulan Hek-tok-ciang sambil berseru,

   "Burungnya jahat, pemiliknya gila. Minggirlah!"

   Pukulan Hek-tok ciang atau pukulan Racun Hitam bukan main hebatnya. Jarang ada orang dapat menahan pukulan ini. Juga tidak berani menangkis karena pertemuan tangan saja dapat melekat. Orang lain tentu akan mengelak kalau menghadapi pukulan maut ini.

   Akan tetapi, Lie Kong yang berkepandaian tinggi dan sudah banyak mengalami hal-hal aneh di luar lautan, bersikap tenang sekali. Dari warna tangan yang berubah hitam itu maklumlah ia bahwa lawannya mempergunakan tangan "berisi"" yaitu tangan yang sudah dilatih lebih dulu untuk mclakukan pukulan istimewa yang berbisa.

   Dengan gerakan lambat ia mengulur tangan dan menyentil dengan kuku jarinya, tepat ke arah jalan darah di dekat pergelangan tangan. Akibatnya, bukan Lie Kong yang mengelak, bahkan Kwan Kok Sun yang menahan pukulannya karena kalau dilanjutkan, mungkin ia akan tertotok! Racun Bumi ini merubah scrangan, akan tetapi tiba-tiba terdengar desir angin dari kiri dan isteri Lie Kong sudah menyambutnya dengan sebuah tendangan kilat.

   "Manusia tak tahu malu, mampuslah!"

   Kwan Kok Sun lagi-lagi harus melompat dan mengelak karena dari hawa tendangan saja maklumlah ia bahwa ia tidak akan dapat menahan tendangan sang amat kuat ini. Tak lama kemudian bertempurlah Kwan Kok Sun melawan Souw Cui Eng yang ternyata lihai sekali. Juga wanita ini sikapnya gagah, karena melihat Kwan Kok Sun tidak mengeluarkan senjata iapun tidak mau mencabut pedangnya melainkan menggunakan kaki tangannya untuk menghadapi Racun Bumi itu.

   "Tiauw ko ( Burung Rajawali )! Kaujaga anak itu jangan boleh lari!" kata Lie Kong kepada dua ekor burungnya sambil menghadang Thai Gu Cinjin.

   Hwesio Lama ini sudah mengayun tongkatnya, akan tetapi Lie Kong menggerakkan tangan dan......... tongkat itu ditangkis begitusaja dengan lengannya, akan tetapi cukup membuat tongkat itu terpental dan tangan Thai Gu Cinjin gemetar! Dari tangkisan ini saja sudah dapat dilihat bahwa kepandaian Lie Kong benar-benar hebat sehingga Thai Gu Cinjin menjadi jerih dan mengeluh di dalam hati. Beberapa kali ia bertemu dengan orang-orang pandai, yang memiliki kepandaian lebih tinggi dari padanya. Padabal kalau berada di Tibet, jarang ada orang yang dapat mengimbangi kepandaiannya!

   "Kalian ini pendeta-pendeta tak tahu aturan. Di tempat orang lain berani berlagak, apakah tidak menaruh hormat kepada tuan rumah?" Lie Kong membentak karena dia sendiri di tempat ini merasa sungkan untuk bertempur dengan orang lain. Teguran ini membuat Thai Gu Cinjin makin gentar. Tentu saja ia tidak berani memandang rendah kepada tuan rumah yang ia ketahui adalah dua orang yang sakti. Maka mendengar ani, ia lalu berseru kepada Kwan Kok Sun.

   "Tee-tok, mari kita pergi!"

   Juga Tee-tok Kwan Kok Sun merasa penasaran sekali karena dilawan oleh seorang wanita yang bertangan kosong saja ia tidak mampu mengalahkannya. Apalagi kalau wanita ini mencabut pedang atau lebih-lebih lagi laki-laki itu! Baiknya ia tadi belum mengeluarkan senjatanya yang luar biasa, yaitu ular-ular hidup. Kalau ia sudah mengeluarkan senjata dan mereka sudah bertempur mati-matian, agoknya sukar untuk menghentikan pertempuran. Kini mendengar seruan kawannya, ia melompat mundur sambil berkata,

   "Toanio benar-benar lihai sekali!" Sambil berkata demikian, sebelum mundur ia mengadu lengannya dengan lengan lawan sambil mengerahkan tenaga Hek-tok-ciang dengan maksud melakukan pukulan gelap. Orang lain kalau terkena pukulan ini pasti akan kemasukan racun hitam melalui hawa pukulan yang tetap akan merupakan racun berbahaya sekali. Akan tetapi ketika lengan tangannya yang kasar itu beradu dengan lengan tangan lawan, ia merasai kulit lengan yang halus empuk dan panas bukan main, rasa panas yang menjalar terus ke kulit lengannya sendiri sehingga serasa kulit lengannya terbakar! Ketika ia melompat mundur dan melihat ke arah lengannya ternyata di dekat pergelangan lengan terdapat tanda bintik merah dua buah, tanda bahwa ia telah terkena pukulan rahasia orang! Celaka, bukan lawan yang menderita, bahkan dia yang terluka!

   Souw Cui Eng tersenyum.

   "Sobat beracun kau lihai sekali. Hadiahmu pukulan beracun tadi baiknya sudah kulihat Lebih dulu dan dapat membalas budimu." Setelah berkata demikian, nyonya itu tersenyum manis berpaling kepada suaminya,

   Dengan mendongkol sekali Kwan Kok Sun mengikuti Thai Gu Cinjin melanjutkan perjalanan ke puncak. Dia tidak usah khawatir akan luka di tangannya karena sebagai ahli racun tentu saja ia pandai mengobati luka-luka karena pukulan atau karena racun.

   Sementara itu, seperti telah dituturkan bagian depan, Tiang Bu sibuk sekali menjaga diri dari serbuan dua ekor Pek thouw yang menyerbunya. Sambil berlari dia berloncatan ke sana ke mari, Tiang Bu berada jauh dari tempat pertempuran tadi. Dan dua ekor burung itu dalam usaha mereka mentaati perintah majikan, yaitu untuk menjaga jangan sampai Tiang Bu lari, lalu menyerang dengan maksud menangkap bocah itu. Akan tetapi sungguh tak terduga, bocah yang diserangnya ternyata bukanlah makanan empuk dan bukan saja melawan serta selalu menghindarkan diri bahkan juga dapat membalas serangan mereka dengan sebatang ranting. Hal ini memarahkan dua ekor binatang itu yang serta menyerang dengan sungguh-sungguh, membuat Tiang Bu sibuk bukan main.

   Tiba-tiba dari bawah melayang dua sinar hitam yang panjang dan bentuknya seperti ular. Dua "ular" ini menyambar ke arah sepasang Pek thouw-tiauw secara luar biasa cepatnya dan......... di lain saat dua ekor burung yang ganas itu jauh ke bawah, meronta-ronta sambil cecowetan. Ternyata bahwa dua buah sinar yang seperti ular itu adalah dua helai tambang yang dilontarkan orang secara isrimewa dan secara aneh pula telah dapat menelikung dua ekor burung itu di udara. Dua ekor Pek-thouw-tiauw itu roboh dalam keadaan tertelikung bagian leher, sayap dan kakinya sehingga seperti ayam yang hendak direbus!

   Pek-thouw-tiauw ong (Raja Burung Rajawali Putih) Lie Kong dan isterinya yang sudah ditinggal lari oleh Thai Gu Cinjin dan Kwen Kok Sun, kaget bukan main melihat dua ekor burung mereka roboh di atas tanah, meronta-ronta sambil berteriak kesakitan dan kebingungan. Mereka tak percaya bahwa bocah itu yang merobohkan dua ekor burung itu. Akan tetapi ketika mereka berlari-lari menghampiri, tiba-tiba mereka melihat bayangan orang berkelebat cepat mendahului mereka menyambar tubuh Tiang Bu dan di lain saat bocah itu sudah lenyap! Suami isteri yang berkepandaian tinggi ini hanya melihat bentuk bayangan orang yang tinggi kurus, akan tetapi tidak dapat mengenal orangnya saking cepatnya gerakan itu.

   "Bukan main......!" Lie Kong menggeleng-geleng kepala ketika melihat dua ekor burungnya telah terikat tambang.

   "Salama hidupku belum pernah aku menyaksikan kehebatan seperti ini. Siapa lagi yang dapat melakukan semua itu kalau bukan manusia dewa itu?" Ia lalu melepaskan ikatan yang membuat dua ekor binatang peliharaannya yang istimewa itu tak berdaya, dibantu oleh isterinya.

   Adapun Tiang Bu begitu melihat dua ekor burung itu roboh dan merasai angin mendesir sudah tahu bahwa gurunya yang ke dua, Tiong Jin Hwesio yang datang menolongnya. Benar saja, tak lama kemudian ia melihat bayangan gurunya ini berkelebat dan di lain saat lengannya sudah ditarik dan ia dibawa lari seperti terbang cepatnya.

   "Pertemuan yang menarik sekali. kau harus menyaksikan untuk menambah pengalaman!" Hanya demikian kata-kata Tiong Jin Hwesio, dan tak lama kemudian gurunya ini sudah tiba di tanah lapang yang terbuka, letaknya di sebelah kiri tempat tinggal mereka. Lapangan terbuka ini memang sengaja dibuat oleh dua orang kakek itu untuk tempat berlatih pernapasan dan menjemur diri menampung kekuatan dari sinar matahari. Di sini pula Tiang Bu biasanya berlatih ilmu silat. Ketika Tiang Bu tiba di situ, ia melihat gurunya yang pertama, Tiong Sin Hwesio, sudah duduk bersila di tempat yang biasa. Kakek ini mengangguk melihat muridnya datang, lalu katanya perlahan,

   "Apapun yang kaulihat nanti, jangan mengeluarkan suara dan jangan bergerak."

   "Baik, suhu." kata Tiang Bu memberi hormat lalu ia mengambil tempat duduknya sendiri, yaitu di belakang dua orang gurunya yang duduk berdampingan di atas batu hitam. Tiang Bu duduk di atas batu hitam pula. tepat di belakang Tiong Sin Hwcsio. Iapun bersila seperti orang bersamadhi. Akan tetapi dalam keadaan setegang itu, mana ia mampu bersamadhi mengumpulkan panca indera? Ia bahkan diam-diarn melirik ke kanan kiri, memperhatikan tempat itu dengan penuh perhatian.

   Keadaan sunyi saja. Suara yang terdengar hanya suara daun pohon kembang yang tumbuh dia belakang tempat mereka duduk. Pohon inilah pohon satu satunya yang berada di situ dan kembangnya yang herwarna putih itu memenuhi tangkai dan dahan. Baunya sedap dan sejuk, dan apabila ada angin bertiup, bunga-bunga itu rontok berhamburan dan daun-daun bunga yang kecil-kecil memenuhi tempat itu, bahkan ada yang menjatuhi kepala Tiang Bu dan dua orang gurunya, akan tetapi mereka diam saja.

   Matahari sudah naik tinggi dan sebentar lagi tengah hari akan tiba. Mulailah terdengar suara dan tak lama kemudian dari depan, kanan dan kiri mulai bermunculanlah orang-orang yang dinanti-nanti oleh dua orang guru dan seorang muridnya ini. Biarpun dua orang guru besar itu masih menundukkan muka dan sedikitpun tidak perduli, namun Tiang Bu tak dapat tinggal diam tanpa mengacuhkan mereka. Anak ini diam-diam memasang mata dan melihat teliti siapa-siapa yang datang.

   Pertama-tama, muncullah Toat beng Kui-bo yang berjalan terbongkok-bongkok dibantu oleh tongkatnya. Benar-benar mengherankan sekali bagaimana nenek bongkok yang jalannya lambat-lambat itu bisa tiba di sini paling dulu. Hampir berbareng, muncul pula Ang-jiu Mo-li yang kedua tangannya menggandeng Wan Sun dan Wan Bi Li. Kalau Toat-beng Kui-bo hanya mengangkat tongkat dan sedikit membungkuk ke arah Tiong Sin Hwesio dan Tiong Jin Hwesio sebagai penghormatan yang aneh tanpa mengeluarkan sepatah kata, adalah Ang-jiu Mo-li bersikap lain. Wanita cantik ini merangkap kedua tangan di dada, menghadap ke arah dua orang kakek itu sambil berkata perlahan.

   "Jiwi locianpwe, aku yang rendah Ang-jiu-cu (Si Tangan Merah) datang rnenghadap!"

   Tanpa mengangkat muka, dua orang kakek itu merangkap kedua tangan di depan dada dan membungkuk sedikit selaku penghormatan penganut Agama Buddha, pertama-tama ke arah Toat-beng Kui-bo, kemudian ke arah Ang-jiu Mo-li. Samua ini dilakukan tanpa mengangkat muka ! Tiang Bu melihat betapa dua orang murid Ang-jiu Mo-li memandang kepadanya dengan pandang mata terheran-heran. Akan tetapi Tiang Bu pura-pura tidak melihat kepada mereka, hanya mengerling sebentar lalu mengalihkan pandang dari sudut matanya ke arah orang-orang lain yang datang.

   Ia melihat kedatangan Wan Sin Hong dengan jantung berdebar. Juga lagi-lagi ia dibikin kagum dan terguncang melihat bocah perempuan yang datang bersama Sin Hong. Benar-benarkah bocah itu bukan adiknya, Lee-Goat? Kini ia melihat bocah perempuan itu juga memandang kepadanya dengan tajam kemudian ia melihat betapa sepasang mata bccah itu menjadi basah oleh air mata. Tak salah lagi, dia itu Lee Goat Demikian pikir Tiang Bu, akan tetapi ia tidak berani mengeluatkan suara. Kalau orang-orang lain agak terheran melihat Tiang Bu duduk bersila di belakang dua orang kakek itu, hanya Sin Hong yang tidak merasa heran.

   Ia sudah menyangka bahwa Tiang Bu tentu diambil murid oleh dua orang kakek sakti dari Omei.san. Sekarang melihat betapa betul-betul Tiang Bu menjadi murid orang-orang sakti, diam-diam ia merasa girang sekali, akan tetapi juga ia merasa gelisah kalau teringat akan Kong Ji.

   Kong Ji sudah tahu bahwa Tiang Bu adalah anaknya, bagaimana kalau nanti Tiang Bu mengetahui ayahnya yang sebenarnya? Bagai mana nanti kalau Kong Ji membuat ribut di sini? Akan tetapi ia dapat menenangkan hatinya dan dengan penuh penghormatan memberi hormat ke arah dua orang kakek itu.

   "Boaopwe Wan Sin Hong memberi hormat kepada jiwi locianpwe yang terhormat."

   Tiong Jin Hwesio mengangkat muka dan tersenyum ke arah Wan Sin Hong.

   "Wan-bengcu yang terhormat berkenan datang mengunjungi tempat kami yang buruk. Selamat datang......... selamat datang......!"

   Berturut-turut datang Liok Kong Ji dan kawan-kawannya. Selain Pak-kek Sam-kui dan Bu tek Sin-ciang Bouw Gun, masih banyak terdapat tokoh-tokoh selatan yang dikepalai oleh Lo Thong Hosiang dan tokoh-tokoh selatan lain. Juga muncul Pek-thouw. tiauw-ong Lie Kong dan isterinya, membawa sepasang burung rajawali yang besar. Jumlah semua orang yang kini berada di tempat itu tidak kurang dan empat puluh orang!

   Diam-diam Tiang Bu mendapat kenyataan bahwa Thai Gu Cinjin dan Kwan Kok Sun tidak kelihatan di situ. Hal ini membuat curiga sekali. Akan tetapi taat akan larangan suhunya, ia diam saja. Di lain pihak, Sin Hong merasa heran juga melihat hadirnya beberapa orang tokoh utara, diantaranya ia lihat Bu Kek Siansu, Pang Soan Tojin, dan Ci Lien Tojin. Akan tetapi karena ia tadi sudah mendengar penuturan Hwa Thian Hwesio, ia tidak begitu heran lagi, bahkan mengherankan mengapa Hwa Thian Hwesio yang gemuk itu belum juga muncul di situ.

   Setelah melihat para tamunya yang tak diundang datang memenuhi tempat itu Tiong Jin Hwesio mengangkat muka. Mata tuanya masih amat tajam dan sekali sapu dan pandang matanya ia sudah dapat mengetahui siapa-siapa orangnya yang datang pada saat itu. Tangannya kanan kiri meraup dua genggam rontokan daun bunga putih, lalu katanya tenang-tenang.

   "Cuwi sekalian tanpa diundang telah hadir. Pinceng tak dapat menyuguh apa-apa kecuali rontokan bunga, siapa yang tidak dapat menerimanya harap segera pergi lagi saja!"

   Setelah berkata demikian, hwesio tua ini menggerakkan kedua tangannya dan...... daun-daun bunga putih itu meluncur cepat, setiap helai menyambar ke arah seorang tamu. Hanya dua orang murid Ang-jiu Mo-li, seorang murid Wan Sin Hong, dan dua ekor burung rajawali itu saja yang terhindar dari sambaran rontokan bunga!

   Semua orang tcrkejut dan otomatis mengangkat tangan menyambut sumbaran bunga itu. Mereka rata-rata adalah jago-jago silat kenamaan yang berkepandaian tinggi. Baru mendaki gunung ini dan bisa mencapai puncak saja sudah menjadi tanda bahwa mereka itu memiliki kepandaian tinggi. Maka tanpa ragu-ragu semua orang mengangkat tangan menerima rontokan bunga putih yang kecil itu.

   

Pendekar Budiman Eps 19 Pedang Penakluk Iblis Eps 33 Pedang Penakluk Iblis Eps 25

Cari Blog Ini