Ceritasilat Novel Online

Pedang Penakluk Iblis 25


Pedang Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 25




   Hong Kin tidak membantah lebih lanjut karena ia tidak suka kalau nona ini akan menganggapnya pengecut. Dua orang muda ini melanjutkan perjalan seperti tadi dengan tenang. Suara derap kaki kuda makin lama makin jelas dan tak lama kemudian muncullah serombongan orang menunggang kuda dengan cepat, Hong Kin dan Hui Lian berdiri di pinggir jalan dan dua puluh lebih penunggang kuda itu lewat dengan cepat.

   Hong Kin sudah menarik napas lega karena kecepatan kuda itu tidak memungkinkan mata mengenal mereka dan melihat mereka lewat tanpa menoleh, besar harapannya bahwa mereka memang bukan para busu yang mengejar. Akan tetapi tiba-tiba penunggang kuda yang paling belakang berseru.

   "Ini mereka! Berhenti...!"

   Serentak mereka menahan kendali kuda dan debu mengepul tinggi. Di lain saat para penunggang kuda sudah memutar kepala kuda dan seorang yang bertubuh tinggi akan tetapi punggungnya bongkok, duduknya di atas kuda miring tak seperti layaknya orang menunggang kuda, menggerakkan kuda dan maju menghadapi Hong Kin dan Hui Lian.

   "Nona, dia itu adalah kepala busu kaisar, bernama Liok-te Mo-ong Wie It." Hong Kin berbisik kepada Hui Lian, suaanya menyatakan kekhawatiran besar. Pemuda ini tidak takut dan tidak mengkhawatirkan keselamatan diri sendiri, akan tetapi ia benar-benar khawatir akan keselamatan nona yang telah merampas hatinya itu.

   Hui Lian memandang, ingin sekali tahu bagaimana macamnya orang memakai julukan Liok-te Mo-ong (Raja Iblis Bumi) itu. Ternyata orangnya tidak sehebat nananya, bahkan melihat orangnya, menimbulkan kesan bahwa orang itu adalah seorang sarang penyakit yang sudah mendekati lubang kubur. Tubuhnya tinggi sekali, punggungnya bongkok seperti tongak patah, kepalanya yang tertutup topi seperti komandan-komandan busu lain nampak benjol-benjol, hidungnya melenceng ke kiri dan sepasang matanya juling. Hanya pakaiannya yang berharga karena memakai pakaian indah dan lebih gagah daripada pemimpin-pemimpin pasukan busu lainnya.

   Ini tidak mengherankan oleh karena dia adalah kepala busu di istana, orang yang menjadi pelindung Kaisar dan pengaruh serta kekuasaannya amat besar. Di pinggang kiri tergantung sebatang pedang yang sarungnya indah sekali, inilah pedang pemberian Kaisar dan yang lucu sekali di pinggang depan terselip sebatang suling. Diam-diam Hui Lian merasa geli dan bertanya-tanya apakah orang macam ini bisa meniup suling dan berlagu? Apalagi kalau melihat cara orang itu menunggang kuda benar-benar menggelikan. Duduknya miring dengan kedua kaki ke samping kiri seperti cara puteri-puteri harus menunringgang kuda!

   "Hm, kau inikah yang bernama Hui Lian puteri Go Ciang Le?" kata Iblis Bumi ini mengeluarkan suaranya yang tinggi kecil dan parau, buruk sekali seperti orangnya.

   Hui Lian tidak dapat menahan geli hatinya dan ia tersenyum. Memang lucu sekali orang ini. Mukanya menghadap ke lain jurusan, akan tetapi dia yang ditanyainya padahal matanya juga diarahkan ke jurusan lain. Ini disebabkan karena kejulingan mata busu ini memang agak berat sehingga kalau mukanya menoleh ke kiri, yang dipandang adalah sebelah kanam. Dan ini pula yang membuat ilmu silatnya lebih berbahaya karena lawan yang bertempur menghadapinya seringkali menjadi bingung!

   "Akulah Go Hui Lian, kau ini siapa mau apa datang-datang menyebut namaku dan nama Ayahku?"

   Orang itu masih menengok ke lain jurusan dan Hui Lian sendiri tidak tahu bahwa sebetulnya sepasang mata yang juling itu langsung menatap wajahnya. Tiba-tiba orang itu berkata.

   "Kau harus ikut dengan kami ke istana!" Dan tangan kanan diulur ke depan, lima jari tangan yang bengkok-bengkok menyambar ke arah pundak Hui Lian!

   Gadis itu kaget sekali. Tak pernah disangka-sangkanya bahwa orang aneh itu akan menyerangnya demikian cepat. Bagaimana orang dapat menyerang tanpa memandang. Orang itu masih menengok ke lain jurusan, bagaimana bisa menyerangnya begitu cepat dan tepat. Akan tetapi ia tidak mempunyai waktu untuk mengherankan hal itu. Cepat ia mengelak ke belakang. Akan tetapi, tetap saja pundaknya kena dicengkeram oleh jari-jari tangan itu.

   Hui Lian mengeluarkan seruan kaget cepat mengerahkan lweekangnya mempergunakan Ilmu Sia-kut-hoat menggerakkan pundak secara berputar hingga ia dapat membebaskan diri dari cengkeraman itu. Akan tetapi terdengar suara kain pecah karena pakaian di bagian pundaknya robek dan hancur! Hui Lian benar-benat terkejut sekali. Tadi ia telah mengelak dan menurut perhitungan, tak mungkin orang itu dapat mengulur tangan sampai dipundaknya. Jarak antara orang itu di atas kuda dan dia terlampau jauh. Betapapun panjang lengan orang itu, kiranya tidak mungkin dapat mencapai pundaknya.

   Kemudian ia teringat akan penuturan ayahnya bahwa dunia kang-ouw memang ada ilmu semacam Jiu-kut-kang, yakni ilmu melepas dan melemaskan tulang dan urat sehingga lengan tangan kalau dipergunakan dapat diulur sampai melebihi ukuran panjang yang semestinya, bahkan yang sudah ahli betul dapat memperpanjang ukuran lengannya sampaI dua kali! Kiranya manusia seperti setan ini memiliki ilmu semacam itu, pikir Hut Lian. Dengan marah ia lalu mencabut pedangnya, siap untuk melawan. Akan tetapi Hong Kin mendahuluinya. Pemuda ini melompat maju dan berdiri di depan Hui Lian sambil berkata,

   "Nanti dulu, Lo-ciangkun. Nona Go ini bukan musuh lagi, dia sudah dibebaskan oleh Wanyen Siauw-ongya dan dianggap tidak berdosa. Bahkan Siauw-ongya menitahkan kepadaku untuk mengantar Nona Go keluar dari kota raja. Mengapa sekarang Lo-ciangkun menyusul dan hendak menangkapnya?" We It kini menengok ke arah Hui Lian, akan tetapi ia bicara kepada Hong Kin dengan suara dan gaya memandang rendah,

   "Kau ini siapakah?"

   "Sudah kukatakan tadi, aku Go Hui Lian. Mengapa tanya-tanya lagi?" jawab Hui Lian dengan mendongkol. Ia sudah diserang sampai pakaiannya di bagian pundak robek, kini baru dipandang dan ditanya nama, sungguh ia merasa dipermainkan. Akan tetapi ada kejadian yang amat lucu. Wie It tetap memandang ke Hui Lian, akan tetapi mulutnya bertanya dengan nada tak sabar.

   "Aku tak tanya kepadamu! Hei kau baju hijau, siapakah kau berani menghalangi niatku?"

   Hui Lian tercengang, kemudian setelah ia memandang dengan penuh perhatian, hampir meledak suara ketawanya. Kini baru ia sadar dan tahu bahwa sebetulnya biarpun muka dan mata orang aneh itu ditujukan kepadanya, orang ini bukan sedang memandangnya, melainkan memandang kepada Hong Kin!

   "Lo-ciangkun, siauwte adalah sahabat baik dari Wanyen Siauw-ongya." Sambil berkata demikian Hong Kin mengeluarkan kancing emas yang tadi telah dijadikan barang wasiat dan pelindung.

   "Hmm, Wanyen Siauw-ongya masih terlalu muda maka amat sembrono," katanya dengan suara di hidung.

   "Bagaimanapun juga gadis ini harus kutawan dan kubawa ke istana!"

   "Lo-ciangkun, apakah kau tidak memandang kepada kancing baju Wanyen Siauw-ongya?"

   "Tidak peduli, aku melakukan tugasku." Kembali tubuhnya bergerak dan targannya diulur, akan tetapi kini Hui Lian sudah bersiap sedia sehingga ia melompat mundur sambil mengibaskan pedangnya.

   "Lo-ciangkun terpaksa aku harus melindunginya. Aku sudah menerima perintah dari Wanyen Siauw-ongya untuk melindungi Nona ini, biarpun harus berkorban nyawa, aku harus setia dan taat akan perintah itu!" Sambil berkata demikian Hong Kin sudah mencabut tongkat pendeknya dari ikat pinggang dan berdiri dengan sikap menantang.

   "Ho-ho-ho-ho, kau berani melawan kami?" tanya Wie It dengan muka menghadapi Hui Lian.

   "Siapa takut kepadamu, setan?" Hui Lian mendamprat karena lagi-lagi ia mengira bahwa Wie It bicara kepadanya.

   "Bocah lancang, aku tidak bicara padamu!" Wie It membentak sambil menoleh kepada Hong Kin.

   "Aku bicara dengan pemuda ini" Kembali ia menoleh kepada Hui Lian dan melanjutkan pertanyaannya,

   "Benar-benarkah kau berani melawan kami?" Memang amat membingungkan bagi yang belum biasa. Kalau Wie It menoleh kepada Hong Kin berarti dia bicara kepada Hui Lian dan demikian sebaliknya. Julingnya memang terlalu sekali dan suka menipu orang sehingga Hui Lian yang terkenal cerdik sampai kecele dua kali!

   "Lo-ciangkun, aku harus melindungi gadis ini sebagai pelaksanaan tugas yang diperintahkan oleh Wanyen Siauw-ongya, dan untuk melaksanakan perintah itu aku tidak bisa memandang siapa-siapa," jawab Hong Kin.

   "Ha, ha, ho, ho, kau seperti anak domba menantang harimau. Kau murid siapakah?" tanya Wie It dengan lagak sombong.

   "Cam-kauw Sin-kai adalah suhuku yang mulia," jawab Hong Kin.

   "Aha, pantas, pantas! Pantas kau begini besar hati dan tabah, tidak tahunya murid Pengemis Pembunuh Anjing itu." Memang nama julukan Cam-kauw Sin-kai berarti Pengemis Sakti Pembunuh Anjing maka Wie It berkata demikian. Kemudian kepala busu istana ini menoleh kepada perwira busu yang duduk di atas kuda di sebelah kirinya.

   "Bu Tong kauwakili aku mendorong pergi bocah ini!"

   Busu yang berada di sebelah kirinya diam saja, akan tetapi yang berada di sebelah kanannya yang menjawab,

   "Wie-taiciangkun, manusia macam ini saja mengapa mesti aku sendiri yang turun tangan? Kalau harus menangkap nona she Go itu baru pantas namanya. Untuk bocah sombong murid jembel ini kiranya cukup pembantuku yang turun tangan!" Ia lalu memberi isyarat ke belakang dan majulah seorang busu yang pendek gemuk seperti gentong arak. Busu yang bernama Bu Tong itu memang memandang rendah kepada Hong Kin karena belum mengenal pemuda ini, sedangkan ia merasa lebih patut melawan Hui Lian, pertama karena memang ia sudah mendengar akan kelihatan nona ini, ke dua karena ia merasa lebih suka kalau ditugaskan menangkap Hui Lian daripada melawan pemuda yang memegang tongkat pendek itu.

   "Sesukamulah, akan tetapi hati-hati dia murid Cam-kauw Sin-kai, gurunya lihai," kata Liok-te Mo-ong Wie It.

   Busu yang pendek gemuk itu melompat turun dari kudanya dan di lain saat ia telah "menggelundung" ke depan Hong Kin. Kedua kakinya pendek, gerakannya gesit sehingga saking gemuk dan pendeknya ia kelihatan tidak berjalan, melainkan menggelundung. Seperti tukang sulap saja, tahu-tahu ia pun sudah memegang sebatang toya yang tingginya melebihi kepalanya. Ia berdiri dengan tangan kiri di pinggang, tangan kanan memegang toya, matanya yang sipit berkedip-kedip memandang Hong Kin, mulutnya tak dapat tertutup rapat dan melongo seperti sumur.

   Hui Lian tak dapat menahan ketawanya.

   "Saudara Hong Kin, awas, lawanmu seekor katak."

   Biarpun menghadapi ketegangan, mendengar ini Hong Kin ketawa juga.

   "Nona jangan memandang ringan, dia ini biarpun kelihatan seperti seorang bayi gemuk, akan tetapi ilmu toyanya terkenal di kota raja." Kemudian Hong Kin menghadapi lawannya dan berkata.

   "Ciangkun, bukankah kau yang bernama Wong Sit dan berjuluk Kauw-ce-thian?" Julukan ini diberikan orang kepadanya karena kelihaian toyanya, karena Kauw-ce-thian Si Raja Monyet juga sakti karena toyanya yang bernama Kim kauw-pang.

   "Bet-bet-betul...! Akulah K-Ka-Kauw" ce-thian Wong Sss...Sit! He, bocah she Coa, sss... sebelum ku-ku kuhancurkan kepalamu, lebih ba-ba-ba-baik kau serah kan n-n-nona itu ke-ke-kepadaku!" Hui Lian tertawa cekikikan sambil menutupi mulutnya. Benar-benar banyak busu yang lucu di istana, seperti sekumpulan badut. Yang tinggi bongkok dan juling itu sudah aneh dan lucu, sekarang muncul busu seperti katak yang bicaranya gagap tidak karuan.

   "Saudara Hong Kin, ini Kauw-ce-thian model mana? Dia tidak patut berjuluk Raja Monyet, lebih tepat diberi julukan Siluman katak, atau kalau mau mengambil julukan tokoh di dalam cerita See-yu, dia ini lebih tepat menjadi Ti Pat Kai-nya!" Hong Kin tertawa lagi. Tak disangkanya nona ini demikian jenaka dan pandai bicara. Akan tetapi Kauw-ce-thi Wong Sit sudah merah mukanya dan marah sekali.

   "Li-li-lihat to-toya!" serunya dan cepat ia menggerakkan toyanya yang panjang melakukan serangan ke arah dada Hong Kin. Benar saja, biarpun orangnya tidak seberapa, namun setelah ia menyerang, toyanya bergerak cepat dan dari pukulan senjata itu dapat diketahui bahwa ia bertenaga besar.

   Hong Kin tidak berani berlaku lambat. Cepat ia melangkah mundur sambil menggerakkan tongkatnya untuk menangkis dan di lain saat mereka sudah bertanding ramai.

   Cam-kauw Sin-kai adalah seorang tokoh besar kang ouw dan ia amat terkebal dengan ilmu tongkatnya yang diciptakannya sendiri. Ilmu Tongkat ini disebut Cam-kauw-tung-hwat (Ilmu Tongkat Pembunuh Anjing) dan saking terkenalnya ilmu tongkat ini, maka ia amat disegani orang-orang kang-ouw. Seperti pernah dituturkan di bagian depan, Cam-kauw Sin-kai mempunyai dua orang murid, yang pertama Ah Kai pengemis gagu yang telah tewas di Pulau Kim-ke-tho ketika keluarga See-thian Tok-ong ngamuk di sana. Adapun murid kedua adalah Coa Hong Kin yang menjadi muridnya semenjak pemuda ini masih kecil. Oleh karena itu, dibandingkan dengan Ah Kai kepandaian Hong Km lebih masak dan lebih tinggi. Apalagi pemuda semenjak kecil sudah banyak merantau banyak mengalami pertempuran besar melawan penjahat-penjahat lihai sehingga makin bertambahlah kepandaiannya.

   Menghadapi Wong Sit yang juga bukan orang lemah, Hong Kin segera mengeluarkan kepandaiannya, yakni Ilmu Tongkat Cam-kauw-tung-hoat. Ke mana pun juga toya panjang di tangan Wong Sit bergerak dengan cepat dan kuatnya, selalu toya ini bertemu dengan tongkat kecil yang seakan-akan berubah menjadi puluhan batang banyaknya dan berada di mana-mana menghalangi majunya toya. Juga anehnya, biarpun amat kecil, namun setiap kali toya terbentur oleh tongkat kecil ini, bukan tongkat itu terpental, sebaliknya toya yang besar panjang itulah yang terbentur dan membalik. Dari sini saja sudah dapat diukur kepandaian dan tenaga Hong Kin jauh lebih unggul.

   Pada jurus ke dua puluh, ketika Wong Sit menusukkan toyanya ke arah perut Hong Kin, pemuda ini miringkan tubuhnya dan secepat kilat ia memegang ujung toya lawan. Karena toya itu panjang sekali, maka sukar baginya untuk membalas serangan lawan yang berada di ujung toya. Keduanya saling betot berebut toya, Hong Kin menyelipkan tongkatnya di pinggang dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan tetap memegangi ujung toya lawan. Biarpun Wong Sit mengerahkan tenaga membetot, mendorong, memutar, tetap saja ia tak dapat merampas kembali toyanya yang bagaikan berakar di tangan kanan Hong Kin.

   Setelah menyimpan tongkatnya, Hong Kin memegang toya itu dengan kedua tangan, mengerahkan tenaga, berseru.

   "Naik!" sambil menggunakan lweekangnya dan... tubuh Wong Sit di ujung sana terangkat ke atas! Di lain saat Hong Kin sudah memegang toya itu dengan tubuh Wong Sit di atas toya, persis seperti orang bermain liong. Hong Kin memutar mutar toya dan Wong Sit berteriak-teriak ketakutan.

   "Le le lepaskan... kau se-se-setan.., lepaskan! Aduh... aku bis-bis-bisa jatuh...!"

   Kembali Hong Kin mengerahkan tenaga dan tubuh yang bundar bentuknya melayang ke depan dan... menyangkut ke ranting-ranting pohon yang lebat daunnya. Di sana Si Kauw-ce-thian benar- benar menjadi monyet, akan tetapi monyet yang amat aneh karena ia berteriak-teriak minta tolong. Mana ada monyet ketakutan berada di atas pohon. Kawan-kawannya segera lari mendatangi untuk menolongnya. Adapun Hong Kin lalu melemparkan toya itu ke atas tanah.

   Bu Tong, busu perwira pembantu Wie It, marah bukan main melihat kelakuan pembantunya yang memalukan tadi. Ia melompat turun dari atas kudanya dengan gerakan yang ringan sekali. Amat mengherankan kalau melihat betapa busu yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa ini dapat bergerak sedemikian cepat dan ringan seperti seekor kucing. ! Memang Bu Tong adalah busu pilihan yang memiliki kepandaian tinggi. Dia adalah seorang panglima bangsa Kin yang sudah banyak jasanya dalam menjaga dan melindungi istana Kaisar. Bahkan ayahnya dahulu bersama dengan Liok-te Mo-ong Wie It merupakan panglima-panglima pilihan dalam balatentara Kin. Tadinya memandang rendah kepada Coa Hong Kin, akan tetapi ia kecele dan bahkan ia mendapat malu besar karena orangnya dipermainkan oleh pemuda itu. Dengan marah ia melompat dan mencabut senjatanya, sebatang golok besar yang nampaknya berat. Akan tetapi sebelum ia bergerak, Liok-te Mo-ong Wie It juga melompat turun dan atas kudanya dan berkata,

   "Bu Tong, kau boleh tahan dia, akan tetapi jangan bunuh dia. Tidak enak kau kita membunuh orangnya Pangeran Wanyen. Jaga saja supaya dia tidak rewel, kalau perlu boleh lukai dia asal tidak sampai mampus. Biar aku sendiri menangkap Nona kepala batu ini!" Setelah berkata demikian Wie It lalu mencabut keluar suling yang tadi terselip di ikat pinggangnya, lalu menghampiri Hui Lian sambil berkata.

   "Nona Go Hui Lian, kau masih begini muda sudah keras kepala dan jangan kau mengira bahwa di dunia ini tak ada orang lain yang dapat mengalahkanmu. Lebih baik sekarang kau menurut dan menyerah saja kubawa ke istana, agar aku tidak usah menurunkan tangan keras kepadamu."

   Hui Lian dapat menduga bahwa orang yang aneh sekali ini tentulah mimiliki kepandaian tinggi, maka ia pun lalu menggerakkan pedang melintang di depan dada sambil berkata,

   "Lo-ciangkun, Saudara Coa ini telah melakukan tugasnya sebagai orang yang dipercaya oleh Pangeran Wanyen. Kalau dia yang menerima tugas demikian taat dan setia, apakah aku yang ditolongnya mau mengecewakan hatinya? Tidak, dia adalah seorang gagah perkasa, akan tetapi aku pun bukan seorang pengecut yang takut mati. Kalau kau hendak menangkapku, kau harus mengalahkan pedangku lebih dulu!"

   "Bocah sombong, kau belum mengenal kelihaianku. Robohlah!" Terdengar suara bersiut ketika suling itu digerakan menotok ke arah pundak Hui Lian. Akan tetapi biarpun seorang ahli silat tinggi dan tokoh besar seperti Liok-te Mo-ong Wie It kecele sekali kalau mengira akan dapat merobohkan Hui Lian dalam jurus pertama. Dengan gerakan lincah Hui Lian dapat menggerakkan pedangnya menangkis sambil menurunkan pundaknya. Suling di tangan Wie It terpukul membal, akan tetapi Hui Lian terkejut sekali karena merasa telapak tangannya tergetar oleh benturan itu. Ia maklum bahwa tenaga lweekang orang aneh ini benar-benar hebat dan ia kalah setingkat. Akan tetapi, dengan pedang di tangan. Hui Lian merupakan naga bersayap, sebentar saja ia sudah mainkan ilmu pedangnya yang ia warisi dari ayahnya dan Liok-te Mo-ong Wie-It terpaksa menelan kembali kesombongannya. Kini ia tidak berani memandang rendah lagi karena beberapa kali ia harus berlompatan ke sana ke mari kalau ia tidak mau tubuhnya terbabat atau tertusuk pedang.

   "Kau lihai...!" serunya dan kini tangan kanannya memegang pedang, sedangkan tangan kirinya memegang sulingnya. Untuk menghadapi ilmu pedang seperti dimainkan oleh gadis ini, ia tidak sanggup kalau harus menggunakan suling saja.

   Adapun pertempuran antara Hong Kin dan Bu Tong juga amat ramai. Ternyata tingkat kepandaian mereka tidak terpaut banyak. Para busu sudah turun semua dari kuda dan kini mereka menonton pertempuran dua rombongan ini dengan tertarik. Jarang sekali mereka menyaksikan pertandingan ilmu silat tinggi yang demikian serunya. Bahkan baru kali ini nereka menyaksikan Liok te Mo-ong Wie-It bertempur menghadapi lawan tangguh. Biasanya Wie It kalau maju, sekali dua kali gebrakan saja pasti lawan sudah roboh binasa atau tertawan.

   Liok-te Mo-ong Wie It terkenal sebagai seorang yang malas sekali kerjanya siang malam hanya tidur dan makan saja, atau kalau tidak tidur tentu mengeram di dalam kamarnya. Sebagai kepala busu, ia jarang bekerja dan cukup mewakilkan semua urusan kepada Bu Tong yang menjadi pembantu utamanya. Hanya sekali-sekali kalau ada urusan besar, baru dia muncul dan turun tangan sendiri. Kali ini, karena Go Hui Lian dianggap seorang yang lihai, dan pula karena gadis ini telah dibebaskan oleh Pangeran Wanyen, kaisar yang mendengar akan hal ini lalu menyuruh dia sendiri keluar istana untuk melakukan pengejaran dan penangkapan.

   Oleh karena itu, alangkah heran dan kagumnya para busu ketika melihat betapa kepala busu itu sama sekali tidak mudah menangkap gadis itu. Ilmu pedang yang dimainkan oleh Hui Lian terlalu tangguh. Tadipun kalau tidak dikeroyok kalau hanya maju seorang lawan seorang kiranya Hui Lian tidak akan menemukan tandangan. Sekarang baru ia bertemu tanding dan ia harus mengakui bahwa Ilmu silat dari Raja Iblis Bumi ini benar-benar hebat. Betapapun juga ia tadi takut dan tidak mau mengalah, terus melakukan perlawanan hebat, kadang-kadang membalas dengan serangan yang tak kalah lihainya.

   Sebaliknya, Bu Tong ternyata kalah cepat oleh Hong Kin. Ujung tongkat pemuda itu sudah melukai pundaknya. Baiknya Bu Tong adalah seorang ahli dalam hal ilmu kebal sehingga tongkat itu tidak melukai jalan darah, hanya merobek kulit sedikit dan mengakibatkan keluarnya darah. Akan tetapi hal itu sudah membuat Bu Tong sibuk dan khawatir.

   "Kawan-kawan, hayo bantu agar pekerjaan kita lekas selesai." serunya keras. Mendengar perintah ini, semua busu mengeluarkan senjata masing-masing dan menyerbulah mereka. Ada yang menyerang Hong Kin dan ada pula yang mengroyok Hui Lian.

   Hui Liaan mengeluh. Gadis ini sudah lelah sekali dan dalam menghadapi Wie-It saja ia sudah kewalahan. Apalagi sekarang dikeroyok oleh enam orang busu dan yang kepandaiannya juga rata-rata tinggi tak dapat disamakan dengan pengeroyoknya siang dan sore tadi.

   "Nona Go lari..," Hong Kin tiba-tiba berteriak keras sambil memutar tongkatnya sedemikian hebat sehingga dua batang golok lawan terkait dan terlempar. Hui Lian maklum bahwa jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri hanyalah mencoba untuk lari di dalam malam yang remang-remang itu. Ia pun lalu memutar pedangnya mainkan bagian ilmu pedang ayahnya yang paling istimewa, yakni yang disebut Tai-hung lo-hai (Angin Taufan Mengacau Lautan). Gerakannya demikian cepat dan kuat sehingga seorang busu terluka lengannya dan yang lain terpaksa melompat mundur sambil memutar senjata melindungi diri. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hui Lian untuk melompat jauh bersama dengan Hot Kin yang juga sudah melakukan lompatan tinggi dan jauh.

   "Tangkap! Tangkap!" Para busu berteriak-teriak riuh rendah sambil mengejar.

   "Jangan melepas am-gi (senjata gelap), tangkap hidup-hidup!" kata Liok-te ong Wie It memperingatkan kawan-kawannya. Hal ini menguntungkan Hong Kin dan Hui Lian, karena kalau para busu yang rata-rata ahli panah tangan itu mempergunakan panah, tentu dua orang muda itu tak dapat menyelamatkan diri dan nyawa mereka terancam senjata gelap.

   Selagi mereka main kejar-kejaran, tiba-tiba terdengar suara ketawa yang luar biasa sekali. Suara ketawa seperti itu tak mungkin keluar dari mulut seorang manusia, lebih patut kalau keluar dari mulut iblis yang mengerikan. Suara itu menyeramkan sekali, apalagi terdengar di waktu malam tanpa kelihatan orangnya, benar-benar membuat para busu tertegun. Bahkan Hui Lian sendiri yang terhitung tabah dan tidak pernah mengenal takut, mendengar suara ketawa ini meremang bulu tengkuknya.

   "Apa itu?" tanyanya kepada Hong Kin.

   "Entah, belum pernah aku mendengar yang seperti itu...." jawab Hong Kin yang juga kaget setengah mati. Akan tetapi keduanya berlari terus dari kejaran para busu. Dan tiba-tiba entah dari mana munculnya, tahu-tahu di depan mereka berdiri seorang berkepala gundul, orang yang menyeramkan sekali. Bentuk tubuhnya tinggi besar sekali sehingga saking besarnya sampai kelihatan pendek. Kepalanya gundul kelimis seperti kepala seorang hwesio yang baru dicukur. Kepalanya bundar, demikian tubuhnya dan hampir semua anggauta mukanya bundar bentuknya, kulitma agak kehitaman. 0rang ini berdiri menghadang sambil berolak pinggang.

   Munculnya yang tiba-tiba amat mengejutkan hati Hui Lian dan Hong Kin yang sudah lelah sekali itu. Maka kedua orang muda ini pun otomatis menyangka buruk dan keduanya berbareng menyerang orang gundul itu dengan senjata mereka.

   Akan tetapi dengan sekali bergerak saja, serangan Hui Lian dan Hong Kin mengenai angin dan tiba-tiba orang menggerakkan kedua tangan menampar, Hui Lian dan Hong Kin mengelak cepat. Hui Lian lebih cepat dari Hong Kin hingga ia hanya merasa sambaran yang amat luar biasa di dekat kupingnya, akan tetapi Hong Kin kurang cepat dan pundaknya kena ditampar. Tamparan ini tidak amat keras, namun akibatnya hebat. Hong Kin merasa pundaknya seperti terbakar dan ia tidak kuat menahan lagi, terhuyung-huyung lalu roboh tertelungkup di atas tanah, tongkatnya terlempar.

   Hui Lian terkejut bukan main. Cepat ia menubruk dengan pedangnya, diputar lalu menikam ulu hati orang gundul itu. Lawannya mengeluarkan suara aneh seakan-akan kagum melihat pedangnya yang hebat, kemudian bersilat dengan gerakan-gerakan aneh pula. Akan tetapi pedang di tangan Hui Lian tak pernah dapat menyentuh tubuhnya. Setelah bertempur lima jurus, Hui Lian harus akui bahwa berhadapan dengan seorang yang pandai sekali. Setiap kali orang itu mengedutkan lengan bajunya, hampir saja pedangnya terlepas dari pegangan. Ia maklum bahwa dalam hal lweekang dan ginkang, ia kalah jauh oleh orang gundul ini.

   Hanya ilmu pedangnya yang berdasarkan Pak-kek Sin-ciang sajalah yang masih dapat melindunginya. Ternyata kembali ilmu pedang warisan dari ayahnya ini niemperlihatkan keunggulannya. Beberapa kali orang gundul itu mengeluarkan seruan-seruan aneh, seakan akan mengenal ilmu pedang ini dan menjadi gentar. Tiba-tiba tangan kirinya memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya dan di lain saat ketika ia mengelak ke kiri dari tusukan pedang Hui Lian, ia membentak keras sambil menyemburkan sesuatu dari mulutnya, dibarengi dengan pukulan bertubi-tubi dengan dua tangannya! Inilah serangan yang luar biasa hebatnya.

   Hui Lian melihat benda hitam menyambar, cepat menundukkan mukanya sehingga benda cair itu lewat di atas kepalanya. Akan tetapi tiba-tiba kepalanya menjadi pening karena benda yang lewat di atas kepalanya itu mengeluarkan bau yang amis dan menusuk hidung, sedangkan pada saat itu, kedua tangan lawannya secara bertubi-tubi telah datang menyerang! Gadis perkasa ini memaksa diri menghadapi serangan pukulan. Melihat berkelebatnya tangan kanan ke arah dadanya, ia cepat menggerakkan pedang untuk membabat, akan tetapi tiba-tiba tangan itu ditarik kembali dan tangan kiri orang itu secara cepat menotok lehernya. Hui Lian masih berusaha menghindari totokan, namun, kepalanya sudah pening sekali, pandang matanya sudah berkunang-kunang dan elakannya gagal. Ia roboh dalam keadan lemas dan pedangnya terlempar ke atas tanah"

   Kembali orang gundul itu tertawa bergelak dan menghampiri tubuh Hong Kin yang masih tertelungkup. Sekali mencongkel dengan kakinya, tubuh pemuda itu terlempar ke atas lalu disambar dengan tangan kiri dan dikempitnya. Kemudian ia menghampiri Hui Lian. Berbeda dengan apa yang dilakukan terhadap Hong Kin, ia kini menggunakan tangan mengangkat gadis itu dan dikempit degan tangan kanan.

   Pada saat itu, para busu yang sejak tadi sudah mengejar sampai di situ dan menonton pertempuran aneh, lalu melangkah maju. Liok-te Mo-ong Wie It menghadapi orang gundul itu, menjura sambil berkata.

   "Saudara yang gagah perkasa telah berjasa besar. Aku Liok-te Mo-ong Wie It atas nama Kaisar dan semua pasukan busu dari istana mengucapkan banyak terima kasih atas bantuanmu yang amat berharga."

   Orang gundul itu mengeluarkan suara yang aneh lalu bersiul keras. Dari arah belakangnya, jauh sekali terdengar siul yang sama menjawab, kemudian tiba-tiba melayang tubuh yang ringan sekali bagaikan terbang dan tahu-tahu di sebelahnya telah berdiri seorang wanita yang memegang sebatang ranting di tangan kanannya.

   Liok-te Mo-ong dan kawan-kawannya terkejut bukan main. Ilmu meringankan tubuh seperti ini belum pernah mereka saksikan. Ketika siulan jawaban tadi berbunyi, terdengar masih amat jauh, akan tetapi sebelum gema siulan lenyap. orangnya sudah berada di situ!

   Sementara itu, kakek gundul itu masih tertawa-tawa, kemudian ia menjawab.

   "Siapa bantu siapa? Aku tidak mengenal segala macam Liok to Mo-ong atau Thian-sang Mo-ong, tidak peduli segala macam busu yang tiada gunanya!" Ucapan ini benar-benar memandang rendah. Liok-te Mo-ong berarti Raja lblis Bumi sedangkan Thian-sang Mo-ong diartikan Raja Iblis Langit! Mendengar kata-kata ini, Liok-te Mo-ong Wie It memberi tanda kepada kawan-kawannya untuk bersiap sedia karena orang itu agaknya tidak mengambil sikap berkawan.

   "Kahan ini orang-orang tak tahu malu, mengandalkan banyak kawan mengejar-ngejar dua orang muda, ada maksud apakah? Mengapa mereka kalian kejar-kejar?" tanya pula orang gundul tadi. Liok-te Mo-ong Wie It menduga, bahwa orang gundul ini tentulah seorang luar biasa di dunia kang-ouw yang selalu menyembunyikan diri sehingga dia sendiri pun tidak mengenalnya. Maka dengan menahan sabar ia menjawab,

   "Sahabat yang baik, kami adalah busu dari istana, sedangkan gadis itu adalah puteri seorang pemberontak yang harus ditawan dibawa menghadap Kaisar untuk menerima hukuman. Pemuda itu adalah pengawalnya. Kami sejak tadi mengejar-ngejarnya dan kebetulan kau muncul dan merobohkan mereka. Karenanya kami patut menyatakan terima kasih kami dan harap kau sudi memberikan mereka kepada kami untuk dibawa ke istana."

   "Ha, ha, ha, hi, hi, hi, enak saja kalian bicara" Wanita yang baru datang itu berkata sambil mentertawakan Wie-It.

   "Suamiku yang menangkap kalian yang datang minta, benar-benar tak tahu malu. Suamiku yang menangkap mereka, maka dia yang berhak menentukan apa yang akan dilakukan terhadap dua orang ini."

   "Benar, Ibu. Berikan saja mereka kepadaku, Ayah. Si Siauw -liong (Naga Kecil) kelihatan lapar sekali, biar mereka diberikan kepada Siauw-liong untuk menjadi mangsanya!" Tiba-tiba terdengar kata-kata ini dari dalam gelap dan seperti juga dengan munculnya isteri orang aneh itu, kini puteranya pun muncul secara tiba-tiba dan luar biasa.

   Para busu meIthat seorang pemuda yang bertubuh tegap dari dalam gelap. Sebetulnya pemuda ini tampan juga wajahnya, akan tetapi karena berkepala gundul dan sikapnya ketolol-tololan, maka ia seperti seorang anak kecil yang tubuhnya besar. Yang mengerikan orang, kedua tangan pemuda gundul ini mempermainkan seekor ular yang liar, ular bersisik loreng yang lidahnya merah dan matanya bersinar-sinar. Pada kepala ular itu kelihatan semacam tanduk dan dari mulutnya mengepul uap biru. Benar-benar seekor ular yang berbahaya sekali dan sekali pandang saja orang akan mengerti bahwa ular ini berbisa. Mungkin karena daging menonjol di kepala itulah yang membuat binatang ini dinamakan Siauw-liong (Naga Kecil) oleh pemiliknya.

   Setelah muncul tiga orang aneh ini, kita semua dapat mengenalnya siapa mereka. Tak lain mereka adalah keluarga See-thian Tok-ong yang lihai! Yang muncul pertama dan menawan Hui Lian dan Hong Kin adalah See-thian Tok-ong sendiri, kemudian muncul isterinya, Kwan-Nio dan pemuda itu
(Lanjut ke Jilid 25)
Pedang Penakluk Iblis/Sin Kiam Hok Mo (Seri ke 02 - Serial Pendekar Budiman)
Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 25
adalah Ban-beng Sin-tong Kwan Kok Sun yang semenjak dahulu terus gundul saja.

   Mendengar omongan puteranya, See-thian Tok-ong melemparkan tubuh Hui-Lian kepada Kwan Kok Sun. Pemuda mengangkat tangan kiri dan dengan mudah ia menyambar lengan Hui Lian. Ia harus memegang ular itu jauh-jauh dengan tangan kanannya, karena ular itu begitu melihat Hui Lian terus meronta-ronta seperti seekor anjing kelaparan daging.

   "Sst, Siauw-liong jangan makan dia. Aduh......... cantiknya............ aduh......... manisnya.. Siauw-liong, yang ini bukan untukmu, Sayang kalau jadi mangsamu. Ayah, Ibu aku sudah dapat!"

   "Hm, sudah dapat apa?" bentak ibunya.

   "Sudah dapat! Dia inilah orangnya calon isteriku. Ayah, aku minta kawin. Dengan Si Jelita ini." Kata-kata pemuda ani terdengar kacau tidak karuan. Memang, semenjak kecilnya, Kwan Kok Sun sudah kelihatan aneh sekali, akan tetapi makim besar, bicaranya dan kelakuannya makin ngacau dan ada tanda-tanda bahwa otaknya tidak normal.

   "Kok Sun, baru kemarin kau bilang minta kawin dengan puteri Kaisar!" tegur See-thian Tok-ong.

   "Tidak, Ayah, dia inilah yang kucari-cari, yang kuimpi-impikan setiap malam. Puteri kaisar? Ah, aku tidak mau. Masih mending kalau dia seperti ibunya, tentu cantik jelita. Bagaimana kalau dia seperti ayahnya, seperti kaisar yang gendut dan kepala besar? Huh, aku tidak sudi!" Kata-kata yang memaki kaisar "gendut" dan kepala besar ini bukan semata-mata makian, karena pada masa itu, makian ini berarti lain, yakna gendut adalah sindiran bagi orang yang selalu mengeduk keuntungan dengan jalan korupsi sedangkan kepala besar untuk menyindirkan orang-orang yang berlaku sewenang-wenang mengandalkan kedudukan dan pangkatnya.

   "Baiklah, kau boleh mengawini gadis itu. Akan tetapi nanti dulu, kata harus ketahui dengan jelas bahwa dia seorang gadis baik-baik, bukan gadis sembarangan. Tadi sudah kulihat ilmu pedangnya dan aku agak ragu-ragu." See-thian "Tok-ong menghadapi Liok-te Mo-ong Wie-It dan kawan-kawannya yang mendengar semua percakapannya itu dengan mata bengong.

   "Eh, mata juling, sebetulnya siapakah gadis ini dan siapa pula pemuda ini?"

   Wie It mendongkol sekali. Ingin mengerahkan kawan-kawannya untuk mengeroyok, akan tetapi dia bukan seorang goblok. Ia dapat menduga bahwa tiga orang ayah, ibu, anak ini bukan orang-orang yang mudah dilawan. Terpaksa ia menelan kegemasannya memberi keterangan dengan harapan si Gundul yang seperti iblis itu dapat berubah sikap.

   "Harap kau jangan main-main." katanya dengan suara sungguh-sungguh.

   "Nona itu bukan orang sembarangan, adalah puteri dari Hwa I Enghiong Ciang Le yang kelihaiannya sudah terkenal di kolong langit! Adapun pemuda adalah murid Cam-kauw Sin-kai dia orang kepercayaan dari Pangeran Wan-yen. Harap kau sudi memberikan mereka kepada kami untuk dihadapkan di istana.

   Mendengar ini Kwan Kok Sun berseru.

   "A-ha, benar dia! Pantas sekali lihat aku tertarik. Benar, Ayah, dia benar bocah manis yang dulu menolong Kong Ji keparat! Dia benar puteri Go Ciang Le, lihat saja bentuk bibirnya ini." See-thian Tok-ong dan Kwan Ji Nio menghampiri puteranya dan mereka bertiga melihat-lihat Hui Lian yang masih pingsan.

   Seperti pernah dituturkan di bagian depan, ketika masih kecil, ketika ia baru berusia sepuluh tahun, pernah Hui Lian bertemu dengan keluarga aneh ini, di puncak Gunung Luliang-san. Ketika itu, See-thian Tok-ong dan anak isterinya sedang hendak membunuh Liok Kong Ji dan kebetulan sekali Hui Lian yang masih kecil datang menolong nyawa Kong Ji.

   Tadi ketika menghadapi See-thian Tok-ong, Hui Lian sudah tidak ingat lagi siapa adanya kakek gundul aneh itu. Kalau sekiranya See-thian Tok-ong muncul bertiga, mungkin sekali Hui Lian akan teringat. Kini Kwan Kok Sun yang otaknya sudah makin tidak beres itu melihat Hui Lian, ia merasa suka dan jatuh cinta.

   "Benar dia, Ayah. Benar dia kekasihku, lbu. Aku harus kawin dengan dia, dengan puteri Go Ciang Le. Ha, ha, ha. Kemudian ketika ularnya hendak menyerbu Hui Lian, ia membetot binatang itu sambil memaki.

   "Hush, Siauw-liong" Jangan kau kurang ajar. Dia itu calon isteriku, kau tahu? Kalau kau berani menjilat sedikit saja kuhancurkan kepalamu!"

   "Jangan marah, Kok Sun, dia itu sedang lapar," kata ibunya, yang amat manjakan putera tunggalnya itu, dan yang tidak begitu senang mellhat puteranya tergila-gila kepada Hui Lian. Seperti juga puteranya, Kwan Ji Nio otaknya tidak beres, dan ibu ini selalu merasa iri hati dan cemburu apabila puteranya menyatakan suka kepada seorang wanita.

   "Dia lapar dan perlu dibert makan paru-paru yang segar," katanya lagi.

   "Paru-paru gadis remaja seperti ini amat sehat, dapat menguatkan dan menambah keras bisa dalam mulut Siauw-liong."

   Kwan Kok Sun membelalakkan matanya.

   "Tidak!" bentaknya keras.

   "Tidak boleh kekasihku diganggu, tidak boleh calon isteriku dibinasakan. Ayah, ke sinikan manusia tiada guna itu. Dia harus menjadi mangsa Siauw-liong!"

   See-thian Tok-ong tertawa bergelak, lalu melemparkan tubuh Hong Kin ke depan Kwan Kok Sun. Kok Sun melepaskan ularnya yang merayap turun dari lengan ke atas tanah, lalu merayap ke arah tubuh Hong Kin sambil menjulurkan lidah keluar masuk. Pada saat itu Hong Kin siuman dari pingsannya. Ia membuka mata dan sekejap saja ingatlah ia akan semua yang terjadi, bahwa dia telah dirobohkan oleh para busu yang mengeroyok. Biarpun heran sekali melihat adanya See-thian Tok-ong suami isteri dan anak yang ia sama sekali tidak kenal, akan tetapi ia tidak mempedulikan karena perhatiannya terpusatkan kepada seekor ular panjang dan mengerikan yang merayap mendekatinya, jaraknya hanya tiga kaki lagi.

   Sekali pandang maklumlah pemuda ini, bahwa ia berada dalam ancaman bahaya maut, dan bahwa ular itu adalah seekor binatang berbisa dan sekali gigitannya berarti maut menjangkau nyawa. Cepat ia melompat bangun, akan tetapi tubuhnya masih lemah dan ketika pemuda gundul yang berada di dekat ular itu menggerakkan tangan, Hong Kin roboh lagi. Jalan darah thian-hu-hiat di tubuhnya telah kena ditotok secara lihai sekali dan biarpun Hong Kin masih sadar dan dapat mengetahui segala apa yang terjadi, namun ia tak dapat menggerakkan seluruh tubuhnya yang seakan-akan sudah lumpuh sama sekali.

   "Ha, ha, ha, kau menangislah, berteriak-tertaklah minta tolong. Ha ha-ha. Aku senang sekali kalau kau menjerit- jerit, juga Siauw-liong senang sekali. Hayo kau menjerit-jerit. tidak takutkah kau? Ular ini akan merobek bibirmu memasuki mulut terus merayap melalui kerongkonganmu, masuk ke dalam paru-paru dan makan habis paru-parumu sepotong demi sepotong. Ha, ha, ha, menangislah," Kwan Kok Sun berjingkrak-jingkrak setelah meletakkan tubuh Hui Lian di atas tanah. Keterangan dan kegembiraan hatinya melihat Siauw-liong hendak makan mangsanya membuat ia lupa sebentar kepada Hui Lian.

   Dapat dibayangkan betapa ngeri rasa hati Hong Kin. Akan tetapi pemuda ini memiliki ketabahan besar, tidak gentar menghadapi maut. Ia memandang kepada ular itu, berkejap matanya pun tidak, jangan kata menangis. Ia menghadapi maut dengan mata terbuka.

   "Kau tidak takut?" Ular menyambar ke arah muka Hong Kin yang sama sekali tidak berkedip. Tetapi Kok Sun memegang ekor ular dan menahannya.

   "Kau gagah sekali... kau tabah sekali..." Pemuda gundul itu ragu-ragu. Memang ada suatu hal yang amat dikagumi oleh Kwan Kok Sun, yakni keberanian dan ketabahan yang luar biasa. Kini melihat ketabahan hati Hong Kin yang tidak berkedip menghadapi maut ia tertarik dan merasa agak sayang, maka ia menahan ularnya yang sudah hendak melakukan "operasinya".

   Pedang Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Pada saat itu Hui Lian siuman. Gadis itu melihat betapa di situ telah banyak orang dan ia melihat kakek gundul yang merobohkannya tadi berdiri menyeringai, di sampingnya seorang nenek yang wajahnya cantik tapi kejam, kemudian ia melihat Hong Kin menggeletak lemas di atas tanah dan seekor ular merayap mendekatinya, akhirnya ia melihat Kok Sun dan pucatlah mukanya. Ia kini tahu bahwa yang menjatuhkan tadi bukan lain adalah See-thian Tok-ong!

   "Iblis keji..!" Hui Lian menjerit dan tubuhnya melompat dengan gerakan kilat, menubruk ke depan untuk memukul Kok Sun karena ia tahu apa artinya ular Kok Sun, dan Hong Kin yang menggeletak. Tentu pemuda gundul yang berotak miring itu mempraktekkan kekejamannya seperti dulu lagi, yakni memberi makan kepada ularnya dengan korban seseorang manusia.

   Kwan Kok Sun tidak mengira bahwa dirinya akan diserang, maka pukulan tangan Hui Lian tepat mengenai dadanya. Akan tetapi, gadis itu telah habis tenaganya, dan Kok Sun sekarang bukan Kok Sun dahulu lagi. Kepandaiannya sudah meningkat tinggi, maka pukulan itu hanya membuatnya mundur selangkah saja. Pada saat itu, kelihatan sinar hitam berkelebat dan Hui Lian memekik ngeri terus roboh pingsan! Ular yang bernama Siauw-liong itu ternyata telah menyerang dan kini giginya menggigit leher Hui Lian yang berkulit putih halus.

   Melihat ini, Kok Sun menjadi pucat.

   "Jahanam besar, kau... kau... berani... Kau berani menggigit calon isteriku? Keparat jahanam, mampus kau!" Tangannya bergerak dan di lain saat ular itu telah direnggutnya terlepas dari leher Hui Lian, lalu... digigitnya leher ular itu oleh Kok Sun sampai putus! Masih belum puas dengan ini, Kok Sun membanting hancur kepala ular, mencabik-cabik tubuh ular dengan sepasang tangannya yang kuat sehingga tubuh ular itu menjadi berkeping-keping. Kemudian Kok Sun menubruk Hui Lian sambil menangis teredu-sedu.

   "Hui Lian, kekasihku... calon isteriku sayang ". jangan mati kau... jangan kau tega meninggalkan aku, bawalah aku bersamamu...." dan menangislah ia melolong-lolong seperti anak kecil.

   Muka Hui Lian sudah berubah menghitam dan kalau tidak segera tertolong, Pasti nyawanya akan melayang. See-thian Tok-ong maklum akan hal ini, akan tetapi ia tidak peduli. Sebaliknya Kwan Ji Nio bingung sekali melihat anaknya demikian. Nyonya ini melihat Kok Sun menangis melolong-lolong, tak dapat menahan mengucurnya air matanya. Beberapa kali ditariknya lengan Kok Sun untuk melepaskan Hui Lian dan dihiburnya.

   "Sudahlah, Nak. Dia mati biar mati, masih banyak gadis yang lebih dari padanya. Nanti Ibu carikan puteri Kaisar...."

   "Tidak sudi, puteri Kaisar seperti ayahnya, gendut, kepala besar dan jenggotan! Aku mau kawin dengan Hui Lian kalau dia mati aku juga mau muti!" Kwan Ji Nio menjadi makin bingung ia menoleh kepada suaminya dan melihat See-thian Tok-ong tersenyum-senyum saja seperti orang gendeng, ia lalu lompat dan menampar pipi suaminya. See-thian Tok-ong terkejut dan seakan-akan baru sadar dari alam mimpi.

   "Ada apa?" tanyanya gagap.

   "Hayo katakan apakah gadis ini masih dapat ditolong?" isterinya menuntut.

   See thian Tok-ong mengerutkan kening.

   "Begitu matahari keluar, dia akan mati." Tangis Kok Sun menjadi-jadi, bahkan kini ia menggulingkan tubuh di atas tanah dan bergulingan ke kanan kiri, memukul-mukul kepala dan tanah.

   "Apakah ia masih bisa ditolong? Hayo katakan lekas!" kata Kwan Ji Nio dengan keras.

   "Bisa asal ada yang menyedot racun di leher itu," kata See-thian Tok-ong. Mendadak Kwan Kok Sun melompat bangun, menubruk Hui Lian dan tanpa ragu-ragu lagi mulutnya mengecup leher yang terluka, terus disedotnya kuat-kuat!

   Melihat kenekatan puteranya, kini baru See-thian Tok-ong ada perhatian. Perbuatan puteranya ini berbahaya sekali, akan tetapi juga sekaligus menyatakan bahwa kali ini puteranya betul-betul "cinta" kepada gadis ini. Biasanya setiap ia minta dikawinkan dan menyatakan suka kepada seorang gadis, kalau gadis itu sudah diculik orang tuanya, ia lalu menyatakan bosan dan tidak suka. Kali ini begitu bertemu. Kok Sun sudah berani membahayakan nyawanya untuk menolong gadis itu, agaknya kali ini anaknya bukan main-main lagi!

   "Tiga belas kali! Jangan lebih tiga belas kali sedotan," katanya sambil mendekati Hui Lian dan Kok Sun.

   "Dan semburkan keluar darah berbisa itu." Dengan lweekangnya yang sudah tinggi, Kok Sun dapat menyedot tiga belas kali tanpa melepaskan mulutnya dari leher, akan tetapi setelah akhirnya ia melepaskan leher itu dari kecupannya, ia lalu ".. menelan darah itu dan seketika itu mukanya menjadi kehitaman!

   "Kok Sun...!" Kwan Ji Nio menjerit.

   Sementara itu, melihat semua peristiwa ini, Liok-te Mo-ong Wie It habis sabarnya. Ia seakan-akan disuruh melihat sekumpulan orang gila bermain sandiwara. Dengan gemas ia memberi isyarat kepada anak buahnya dan mereka bergerak maju untuk merampas Hui Lian dan Hong Kin lalu melarikan diri.

   Akan tetapi tiba-tiba lima orang menjerit dan terpental jauh termasuk Wie It sendiri! Biarpun tadinya ribut bertiga tak karuan, akan tetapi ketika Wie It dan kawan-kawannya bergerak See-thian Tok-ong mengebutkan kedua lengan bajunya, yang kanan menyambar muka Wie It terus ke dadanya sehingga Wie It terdorong dadanya sampai terjengkang tiga kaki lebih, yang kiri menghantam pundak seorang busu sampai patah tulang pundaknya! Juga Kwan Ji Nio menggerakkan rambutnya dua kali dan robohlah dua orang busu lain. Kwan Kok Sun yang mukanya sudah kehitaman dan kepalanya sudah mulai pening, melihat para busu menyerbu, lalu tiba-tiba membuka mulut dan menyemburkan ludahnya yang pada saat itu juga berbisa, tepat mengenai hidung seorang busu sehingga busu itu berkaok-kaok kesakitan sambil membetot-betot hidungnya yang tiba-tiba rasa gatal-gatal dan sakit sekali. Tak lama kemudian hidung itu menjadi hitam dan copot, dan orangnya jatuh pingsan.

   Wie It terkejut setengah mati. Biarpun sudah menyangka bahwa tiga orang ini lihai sekali, akan tetapi .tidak pernah ia mimpi akan selihai itu. Maka ia berdiri bengong dan tidak berani sembarangan bergerak. Adapun See-thian Tok-ong, Kwan Ji Nio, dan Kwan Kok Sun, seakan-akan sudah lupa lagi akan para busu itu dan mengurus persoalannya sendiri. Kwan Ji Nio membanting-banting kakinya.

   "Kok Sun mengapa kau menelan racun itu? Mengapa kau mengambil keputusan mati?" ia menangis. Kok Sun tiba-tiba ketawa, suara ketawanya seperti ringkik kuda.

   "Ayah adalah Raja Racun dart Barat, mengapa aku takut minum racun? Ha, ha, ha, Ayah. Mari kita antar calon isteriku ini ke istana bersama pemuda yang mempunyai keberanian besar ini."

   "Ke istana? Kok Sun, aku dapat menyembuhkan dia di sini, juga aku dapat menyembuhkan kau. Mengapa harus ke istana"" tanya ayahnya.

   "Orang seperti Hui Lian harus dijadikan puteri istana dulu, baru kawin dengan aku. Kita membawa mereka ke kota raja, menghadap kaisar dan bukankah Ayah pernah bilang hendak mencari kedudukan di istana? Mengapa tidak sekalian sekarang kita ke sana dan datang datang membawa jasa dengan menangkap dua orang ini? Kalau Ayah yang minta, tentu Kaisar suka mengampuni Hui Lian dan mengangkatnya menjadi puteri, kemudian kawin dengan aku."

   "Hm... tapi...." See- thian Tok-ong ragu-ragu. Memang dia bercita-cita tinggi, bahkan kalau mungkin dia mau merebut kedudukan kaisar. Akan tetapi bukan dengan cara ini.

   "Ayah, kalau begitu biar aku mati bersama Hui Lian di sini. Dia jangan Ayah obati, juga aku tidak sudi menelan obat Ayah!" Kwan Kok Sun mengambek.

   "Kau mau bilang apa lagi"" Kwan Ji Nio membentak suaminya.

   "Hayo kita berangkat ke kota raja." See-thian Tok-ong mengangkat pundaknya, lalu berpaling kepada Wie It dan berkata.

   "Kau masih mau membawa dua orang ini ke istana? Hayo antarkan kami."

   "Baiklah Locianpwe, kami senang sekali," jawab Wie It. Lenyap sekarang kegarangan dan kesombongannya setelah ia tahu siapa adanya kakek ini. Nama besar See-thian Tok-ong cukup membuat ia gemetar dan tahulah ia bahwa ia kini berhadapan dengan orang yang patut menjadi gurunya. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia menyebut locianpwe!

   See-thian Tok-ong tidak segera berangkat. Ia lebih dahulu mengobati Hui Lian dan Kwan Kok Sun. Setelah mata-hari menyinari bumi, barulah See-thian Tok-ong mengajak semua orang berangkat. Berkat obat yang luar biasa dari See-thian Tok-ong, Kwan Kok Sun dan Hui Lian sembuh sama sekali.

   Hui Lian dan Hong Kin maklum bahwa menghadapi See-thian Tok-ong sekeluarganya mereka berdua tidak berdaya melawan.

   "Biarlah kita menurut saja, Nona. Se sampainya di sana, aku percaya Wanyen Siauw-ongya takkan membiarkan kita di ancam bahaya," kata Hong Kin menghibur.

   Hui Lian mengangguk dan gadis ini berkata kepada Kok Sun yang selalu berada dekat dengan dia.

   "Kwan Kok Sun, aku mau dibawa ke istana sebagai tawanan. Akan tetapi ingat, jangan sekali kali kau bersikap kurang ajar dan menggangguku. Kalau laranganku ini dilanggar, jangan harap aku akan menyerah dengan damai sebaliknya aku akan mengamuk dan melawan sampai titik darah penghabisan."

   Kok Sun tersenyum girang.

   "Nona manis, siapa berani mengganggumu? Yang mengganggumu akan mampus lebih dulu di tanganku. Kau calon isteriku, bagai-mana aku mau mengganggumu? Asal kau tidak lari dari aku, kau akan bebas. Melihat mukamu yang manis saja aku sudah puas, aku sudah kenyang. Ah, kekasih hati pujaan kalbu...."

   Hui Lian membuang muka dan tidak mau melayani lagi sampai Kok Sun akhirnya capai dan berhenti mengaco-belo sendiri. Rombongan yang aneh ini berjalan kaki menuju ke kota raja. Hui Lian dan Hong Kin dikurung di tengah-tengah dan di dalam hati Hui Lian timbul sesuatu yang hangat terhadap Hong Kin, pemuda yang ternyata membelanya mati-matian itu.

   "Saudara Hong Kin, karena aku seorang, kau jadi ikut menderita dan terancam," kata Hui Lian perlahan, dan mengerling lembut ke arah pemuda baju hijau itu.

   Hong Kin tersenyum.

   "Nona, andaikan aku mati demi membelamu, aku akan mati dengan puas dan bangga!"

   Hui Lian membelalakkan mata dan menatap wajah pemuda itu. Hong Kin juga memandang kepadanya dan sinar mata pemuda ini penuh pernyataan yang kalau diucapkan akan berbunyi.

   "Apakah kau masih belum mengerti akan isi hatiku yang penuh cinta kasih kepadamu?"

   Hui Lian tiba-tiba menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali dan aneh, pada saat seperti itu, wajah Wa Sin Hong terbayang di depan bulu matanya. Pemuda ini demikian baik, demikian jujur, setia dan mencintanya. Aka tetapi dia tidak "ada hati" kepada Coa Hong Kin, sayang. Sayang dan kasihan pemuda ini. Sebaliknya, orang yang selalu menjadi kenangan, yang sekaligus merampas hati dan cinta kasihnya, adalah Wan Sin Hong, pemuda yang menjadi penjahat besar! Teringat betapa Sin Hong membawa lari Soan Li dan betapa pemuda itu mengecewakan hatinya, tak terasa lagi dua butir air mata menitik turun di pipi Hui Lian.

   Tiba-tiba terdengar suara "Plok! Plok!" dan Hong Kin terhuyung-huyung. Ternyata ia telah digaplok dua kali oleh Kwan Kok Sun yang tadinya seperti berjalan sambil mimpi karena pandangan matanya ditujukan ke atas ujung kedua kakinya.

   "Bedebah, berani kau mengganggu isteriku sampai dia menangis? Dua butir air mata untuk dua gaplokan masih terlalu murah. Awas, kalau ada air mata keluar lagi, setiap butir harus kaubayar dengan satu gebukan. Kaulihat sajalah!"

   Hui Lian terkejut sekali dan cepat ia mengeringkan matanya dengan ujung lengan baru. Hong Kin sudah bangun lagi, menyusut bibirnya yang berdarah ujungnya, akan tetapi bibir ini tersenyum ketika ia memandang kepada Hui Lian. Nona ini merasa terharu, Juga marah sekali, akan tetapi ia maklum bahwa menghadapi Kok Sun yang gila itu, lebih baik bersabar. Ia tidak takut menghadapi Kok Su dan belum tentu ia kalah. Akan tetapi di situ ada See-thian Tok-ong, ada Kwan Ji Nio, bahkan masih ada Liok-te Mo-ong Wie It dan lain-lain busu. Pihak lawan terlalu berat dan melawan berarti membuang tenaga sia-sia belaka.

   "Jangan pukul dia, dia kawan baikku. Aku takkan menangis dan kalau aku menangis juga, bukan karena dia yang menggangguku," katanya kepada Kok Sun.

   "Habis siapa yang mengganggumu?". tanya Kok Sun ketolol-tololan.

   "Kalau aku menangis, paling-paling engkaulah yang mengganggu," Jawab Hui Lian mendongkol.

   "Aku?" Kok Sun memandang dengan mata melirik ke kanan kiri, kemudian kepalanya yang gundul mengangguk ketika ia berkata.

   "Hm, kalau aku yang mengganggumu sampai kau menangis, aku akan memukul kepalaku sendiri. Sekali gebuk untuk sebutir air mata!"

   Hampir Hui Lian tak dapat menahan gelak tawanya saking geli mendengar kata-kata ini. Kalau pemuda gundul yang otaknya tidak beres ini tidak jahat, kiranya akan menimbulkan kasihan. Akan tetapi sekarang sifatnya yang amat jahat itu membuat ketololannya makin menggemaskan, juga amat lucu. Kalau saja di situ tidak ada See-thian Tok-ong dam Kwan Ji Nio yang tentu akan turun tangan, ingin Hui Lian menangis meraung-raung dan memeras semua air matanya biar Si Gila Gundul itu memukuli kepalanya sendiri sampai benjut dan pecah-pecah!

   Diam-diam Hui Lian merasa cemas mengingat akan nasib sendiri. Apakah yang akan dialaminya selanjutnya? Betapapun juga, kalau ia melirik ke arah Hong Kin dan melihat pemuda itu tenang-tenang saja berjalan di sebelahnya, hatinya menjadi agak lega dan tenang. Ia percaya akan kepintaran pemuda ini, percaya pula akan kebaikan hati Pangeran Wanyen, yang air mukanya seperti Wan Sin Hong itu. Teringat sampai di sini, kembali wajah Sin Hong terbayang-bayang, membuat Hui Lian melamun dan berjalan sambil menundukkan mukanya yang kemerahan.

   Biarpun Kwan Kok Sun seorang pemuda yang sejak kecilnya biasa ugal-ugalan dan hati pikirannya terbungkus hawa kejahatan, namun ia merasa keder juga ketika memasuki istana dan dihadapkan kepada kaisar. Pribadi Kaisar amat kuatnya dan wibawanya besar. Semua itu bukan saja disebabkan oleh karena memang Kaisar yang biasa disembah itu mempunyai pengaruh diri yang kuat, juga dibantu oleh keadaan di dalam istana yang demikian besar, demikian indah, dan demikian mewah. Siapapun juga yang memasuki ruangan itu dan menghadap kepada Kaisar, melihat semua orang berlutut menghormat Kaisar, pasti akan tunduk dan merasa dirinya kecil. Demikian pula Kok Sun yang segera ikut-ikut menjatuhkan diri berlutut di depan kaisar dan tidak berani membuka mulut secara sembrono atau ugal-ugalan.

   Adapun Kwan Ji Nio, sebelum menikah dengan See-thian Tok-ong, adalah seorang keturunan Han. Oleh karena itu di dalam sudut hatinya, ada perasaan bangga terhadap negara dan terutama terhadap Kaisar. Wanita ini tidak mengikuti perkembangan politik, tidak tahu akan artinya dinasti yang jatuh bangun ia hanya tahu bahwa kaisar di istana kota raja adalah kaisar di Tiongkok, adalah seorang mulia seperti yang biasa disebut orang sebagai Cin-beng Thian-cu (Putera atau Pilihan Tuhan) dan karenanya harus disembah-sembah oleh rakyat! Inilah sebabnya maka ia pun berlutut dengan penuh penghormatan di depan kaisar bersama yang lain-lain.

   

Memburu Iblis Eps 29 Memburu Iblis Eps 33 Memburu Iblis Eps 34

Cari Blog Ini