Ceritasilat Novel Online

Pendekar Budiman 19


Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo Bagian 19




   ***

   Kita tinggalkan dulu Ciang Le yang tertawan oleh Pak Hong Siansu yang di tengah jalan menceritakan siasatnya kepada Ba Mau Hoatsu dan marilah kita ikuti nasib Bi Lan yang terjungkal ke dalam jurang yang amat curam itu. Tidak salah kata-kata orang bijaksana bahwa siapa yang membela kebenaran, selalu akan dilindungi oleh Thian Yang Maha Kuasa. Demikianpun dengan Bi Lan. Kalau dilihat dari atas jurang, takkan ada seorangpun dapat menduga bahwa orang yang terjatuh ke dalam jurang itu akan dapat bertahan untuk hidup lebih lama lagi.

   Kalau tidak demikian, kiranya Ciang Le takkan begitu terkejut, putus asa dan berduka sehingga ia terpengaruh oleh racun yang menyerang otak dan hatinya. Jurang mi memang curam sekali, licin dan dalamnya tak dapat diukur karena dari atas tidak kelihatan dasarnya yang tertutup oleh kabut tebal. Ketika Bi Lan merasa tubuhnya terpelanting dan jatuh dari tempat yang amat tinggi, ia mengulur kedua lengannya dan kedua tangannya, dengan jari-jari terbuka menjambret ke kanan kiri. Akhirnya usaha yang terdorong oleh rasa takut dan ngeri ini berhasil, ia dapat memegang sebatang akar pohon yang beruntai di jurang itu, yakni di samping yang menurun. Tubuhnya tersentak kaget, tertahan dari kejatuhan sehingga ia merasa betapa pangkal lengan kanannya seakan-akan lengannya itu hampir terlepas dari tubuhnya.

   Namun berkat tenaga lweekangnya yang tinggi, ia dapat menggerakkan rubuh diayun sedemikian rupa sehingga ia dapat mematahkan tenaga sentakan itu dan mencegah pegangannya terlepas. Namun ia harus cepat menggantikan angan kanan dengan tangan kiri, karena memang lengan kanannya terasa sakit sekali. Agaknya terjadi salah urat ketika tersentak tadi. Dengan menarik napas dalam dalam, ia dapat menyalurkan darahnya, ke arah lengan kanan yang salah urat itu sehingga rasa panas dan perlahan lahan lengan kanan itu tidak begitu sakit lagi. Setelah tidak terlalu menderita sakit lagi, barulah Bi Lan memperhatikan keadaan dirinya. Ia bergantungan pada akar pohon yang tidak terlalu besar, yang banyak timbul di permukaan lereng jurang itu, juga banyak pohon-pohon kecil tumbuh di situ.

   Akan tetapi, jalan naik ke atas amat tingginya dan tanah lereng jurang itu ternyata tidak keras dan juga licin karena membasah oleh kabut. Ketika ia memandang ke bawah, Bi Lan yang biasanya tabah sekal itu terpaksa menutup matanya saking ngerinya. Yang nampak hanya kabut yang perlahan lahan bergerak naik dan selebihnya hitam mengerikan. Ia tidak berani membayangkan betapa nasibnya kalau ia terus jatuh ke bawah. Tiba-tiba akar yang dipegangnya bergerak-gerak. Bi Lan cepat memandang dan alangkah terkejutnya ketika ia melihat akar itu mulai terbongkar dari tanahnya! Gadis ini cepat menggunakan tangan kanannya menangkap sebuah akar lain yang berdekatan dan baiknya ia berlaku sigap, karena kalau tidak, tentu ia akan terjerumus ke bawah. Akar yang semenjak tadi menahan tubuhnya itu tidak kuat lagi dan hampir putus.

   Bi Lan mengumpulkan segala kekuatannya. Perlahan lahan dan hati-hati ia bergantungan dan berpindahan dari akar ke akar atau pohon kecil, terus merambat ke atas. Akan tetapi, oleh karena akar akar itupun amat licin dan keadaan suram suram gelap sehingga mesti berhati-hati sekali, maka cara bergerak naik ini amat lambat dan kedua tangannya telah terasa kaku dan pedas pedas. Baru saja beberapa kali berganti pegangan, ketika tangan kirinya menyambar ke atas, dan menangkap sebuah akar yang sebesar lengannya ia merasa betapa akar ini lebih licin lagi dan tidak begitu keras, namun ternyata kuat dan ulet. Hampir saja ia melepaskan tangan kanannya untuk mencari lain pegangan yang lebih tinggi ketika tiba-tiba "Akar" yang dipegang oleh tangan kirinya itu bergerak dan terdengar suara mendesis yang tajam.

   "Ular"!" Bi Lan menjerit kengerian, bukan karena ia takut kepada binatang ini, akan tetapi karena kagetnya melihat kenyataan yang tiba-tiba ini dan pula ia merasa geli melihat tubuh ular yang licin itu menggeliat geliat di dalam pegangannya. Saking ngerinya. Gadis ini seketika melepaskan pegangannya dan akar yang dipegang oleh tangan kanannya berbunyi.

   "Krak!" dan patah! Tubuhnya bergulingan ke bawah!

   "Celakalah kali ini!" pikir Bi Lan. Betapapun juga, ia tidak putus harapan dan kedua tangannya menjambret dan memegang apa saja yang dapat disambar. Akhirnya usahanya berhasil dan ia dapat memegang sesuatu dengan tangan kanannya, dan tangan kirinya tersangkut pada ranting yang berdaun, ia girang sekali akan tetapi ia meramkan mata dengan napas terengah-engah dan tubuh sakit sakit. Siapa orangnya yang takkan berdebar jantungnya menghadapi maut yang hampir saja merenggut nyawanya ketika ia bergulingan tadi! Dengan amat hati-hati ia mengangkat tubuhnya dan mendapat kenyataan bahwa kebetulan sekali ia berada di lereng jurang yang agak legok sehingga ada sedikit tempat baginya untuk duduk dan beristirahat, yaitu di atas daun-daun dan ranting ranting kecil dari tetumbuhan yang menahannya tadi.

   Keadaan di situ lebih gelap lagi dan ketika tangan kanannya meraba-raba, ia mendapatkan bahwa benda yang tadi dipakai bergantung oleh tangan kanannya, di bagian bawahnya amat tajam. Benda itu tertancap pada akar pohon dan terus menembus ke dalam tanah. Hati Bi Lan berdebar. Sambil meraba-raba, ia mendapat kenyataan bahwa benda itu adalah sebuah pedang atau golok! Ia membetulkan duduknya sehingga aman betul, menggunakan tangan kiri berpegang kepada akar, kemudian dengan tangan kanannya ia mencabut senjata itu. Dan apa yang dilihatnya? Bukan lain adalah pedangnya sendiri!
(Lanjut ke Jilid 15 - Tamat)

   Pendekar Budiman/Hwa I Eng-hiong (Seri ke 01 -Serial Pendekar Budiman) " Jilid 15 (Tamat)
Karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo

   Jilid 15 (Tamat)
Bi Lan terkejut, terheran, dan juga girang bukan main. Bagaimana ada hal yang begini kebetulan? Pedangnya tadi terlepas dari pegangan ketika ia terjungkal ke dalam jurang dan kini pedangnya itu bahkan telah menolongnya dari bahaya maut.

   Pedang ini jatuh meluncur dan menancap pada akar itu, terus menembus ke dalam tanah, merupakan pegangan yang cukup kuat. Baiknya pedang itu menancap sampai hampir ke gagangnya, kalau tidak demikian, besar kemungkinan tubuhnya ketika jatuh tadi akan terluka oleh pedangnya sendiri! Bi Lan tertawa. Benar-benar hebat, dalam keadaan seperti itu, gadis lincah ini masih dapat tertawa. Ia tertawa geli memikirkan hal ini. Dan timbul harapannya. Thian telah mengaturnya sehingga ia bertemu dengan pedangnya sendiri di tempat yang aneh ini, tentu Yang Maha Kuasa telah mengatur pula sehingga ia akan tertolong dan keluar dari tempat ini. Dikumpulkan seluruh tenaganya dan untuk beberapa lama ia mengatur pernapasannya sehingga tubuh dan semangatnya menjadi sehat dan tenang kembali. Setelah itu, Bi Lan mulai merayap naik lagi seperti tadi.

   Akan tetapi sekarang ia tidak mau berlaku sembrono. Setiap kali hendak menarik tubuhnya ke atas, ia lebih dulu menggunakan pedangnya, ditancapkan kuat kuat ke dalam tanah yang keras. Di antara tanah yang basah dan lunak memang terdapat tanah tanah cadas sehingga dengan adanya pedang itu, ia mendapat pembantu yang boleh dipercaya. Biarpun amat lambat, namun nampaknya ada hasilnya, makin lama badannya makin mendekati tebing jurang. Namun, jangan dikira bahwa pekerjaan ini mudah. Pecah pecah kulit telapak tangan dan lutut gadis ini, peluhnya bercucuran, napasnya memburu dan tubuhnya sakit sakit semua. Apalagi bekas terguling guling tadi mendatangkan beberapa luka kecil yang menguncurkan darah. Dan bukan main tingginya tebing itu karena setelah bergulat dengan mati-matian selama setengah hari, barulah ia tiba di tebing jurang!

   Bi Lan tidak berani segera naik dan ia beristirahat dulu sambil bergantung pada gagang pedangnya dan sebuah akar. Ia hendak mengumpulkan tenaganya, karena siapa tahu kalau kalau ia harus bertanding lagi setelah tiba di atas. Gadis ini tidak sadar bahwa telah setengah hari ia bergulat merayap naik itu. Akan tetapi, semua sunyi dan tidak terdengar sedikitpun suara dari atas jurang. Dan keadaan sudah menjadi gelap karena senja telah lewat dan malam mulai mendatang. Ketika ia berdongak ke atas, bintang bintang mulai menghias langit biru. Akhirnya ia merayap lagi naik dan berhasil meloncat ke atas tebing jurang. Ketika melihat betapa sunyi tidak nampak seorangpun manusia, hatinya demikian lega sehingga ia lalu berbaring telungkup, mencium tanah dan tak tertahan lagi ia mengalirkan air mata!

   Bukan main senangnya dapat berada di permukaan bumi lagi setelah mengalami hal hal yang demikian hebatnya, ia merasa seakan-akan hidup kembali dari balik kubur! Ia tidak melihat bekas bekas pertempuran tadi, hanya ada beberapa senjata patah berserakan di situ. Tak ada sebuahpun mayat manusia, padahal tadi banyak terdapat mayat mayat dari anggauta Kwan im pai yang terbasmi oleh bala tentara Kin, juga banyak serdadu serdadu Kin yang tewas di situ. Ia tidak tahu bahwa semua jenazah serdadu Kin dibawa oleh kawan-kawan mereka dan tak lama setelah bala tentara Kin pergi, orang-orang Kwan im pai yang masih hidup, diam-diam datang dan merawat jenazah-jenazah kawan-kawan mereka yang gugur, termasuk jenazah dari ketua mereka, yakni Sin kun Liu Toanio.

   Setelah dapat menenangkan perasaannya yang penuh keharuan, Bi Lan lalu bangkit berdiri. Tenaganya pulih kembali dan ia berjalan perlahan meninggalkan tempat itu. Hatinya mulai diliputi kekhawatiran karena ia tidak tahu ke mana perginya Ciang Le, ia merasa heran dan juga gelisah. Kalau pemuda itu selamat, tidak mungkin kekasihnya itu meninggalkan tempat itu, tahu bahwa dia terjerumus di dalam jurang. Apakah Ciang Le me ngalami bencana? Ataukah... barangkali pemuda itu sudah putus asa dan mengira dia telah tewas? Ke mana perginya Ciang Le? Pertanyaan pertanyaan yang tak dapat dijawabnya ini memenuhi kepalanya sehingga ia tidak tahu bahwa ada tiga orang mengintainya. Akan tetapi, pendengaran gadis ini masih amat tajam dan ketika mereka itu bergerak sedikit saja, Bi Lan tiba-tiba melompat dan sekali lompat saja ia telah berhadapan dengan mereka yang bersembunyi di balik pohon.

   "Siapa kalian?" bentaknya sambil mengancam dengan pedang.

   "Kami anggauta Kwan im pai, lihiap. Harap jangan salah sangka kami... kami telah kehilangan kawan-kawan, bahkan ketua kami Sin kun Liu Toanio telah tewas..."

   "Mengapa kalian tidak keluar saja dan mengintaiku sambil bersembunyi?" bentak Bi Lan yang masih saja menodongkan pedang ke arah dada mereka.

   "Maaf, lihiap. Kami"kami kira lihiap sudah" tewas ketika terjerumus ke dalam jurang tadi... apakah" apakah benar-benar lihiap masih" hidup?" seorang di antara mereka memberanikan diri bertanya. Bi Lan tertawa terkekeh kekeh, sambil menutupi mulutnya dengan tangan kiri dan ia menyimpan pedangnya. Tiga orang itu saling pandang dan menjadi makin ketakutan. Memang sukar untuk dapat percaya bahwa orang yang terjungkal ke dalam jurang itu dan lenyap selama setengah hari lebih, tahu-tahu kini telah berada di atas dalam keadaan selamat dan hidup, lukapun nampaknya tidak sama sekali! Mereka lebih percaya kalau arwah gadis itu yang kini keluar dan menuntut balas, arwah penasaran

   "Kalian jangan takut, aku masih hidup, berkat Thian Yang Maha Kuasa. Coba kau ceritakan, bagaimana selanjutnya dengan pertempuran tadi setelah aku terjerumus ke dalam jurang?" Tiga orang itu segera menjatuhkan diri berlutut dan mereka nampak sedih sekali.

   "Kami benar-benar merasa berduka sekali lihiap. kau dan sahabatmu itu dengan gagah perkasa telah membantu kami, akan tetapi sebaliknya lihiap telah mengalami kecelakaan yang hampir merenggut nyawa lihiap. Dan kawan lihiap itu, pemuda yang gagah perkasa itu..."

   "Apa yang terjadi dengan dia? Lekas katakan, lekas!"

   "Dia...dia..."

   "Keparat! Lekas katakan, dia kenapa?" suara Bi Lan menggigil.

   "Dia...entah mengapa, lihiap. Ketika itu kami mengintai dan bersembunyi dan kami melihat dia...."

   "Dia kenapa?

   "Dia menangis dan tertawa seperti orang gila!" Naik sendu sedan dalam leher Bi Lan dan tak tahan lagi gadis ini menangis terisak-isak.

   "Ciang Le.... kau terpengaruh oleh racun itu...." keluhnya dengan hati tidak karuan rasanya. Tiga orang anggauta Kwan im pai itu hanya memandang dengan penuh kasihan, akan tetapi tidak dapat mengeluarkan kata-kata untuk menghibur. Akan tetapi Bi Lan segera dapat menguasai hatinya.

   "Lalu bagaimana? Ke mana perginya?"

   "Dia...dia tertawan, lihiap."

   "Apa? Tertawan? Oleh siapa?" Akan tetapi Bi Lan tak perlu bertanya lagi karena ia sudah dapat menduga dengan jitu. Siapa lagi yang mampu menawan Ciang Le kalau bukan Pak Hong Siansu? Biarpun kekasihnya itu telah diserang oleh racun yang membuat ingatan berubah, tidak ada yang akan mampu menawannya selain Pak Hong Siansu. Maka tanpa menanti jawaban, seakan-akan mendapat tenaga baru. gadis itu melompat dan lenyap dari depan tiga orang anggauta Kwan im pai yang memandang dengan bengong terlongon longong.

   "Ah, gadis yang hebat sekali," kata seorang diantara mereka, penuh kekaguman dan juga penuh iba hati. Beberapa hari kemudian, Enghiong Hwee koan nampak sunyi. Para orang gagah yang dahulu dikumpulkan oleh Sam Thai Koksu,. kini sebagian besar keluar dari tempat itu untuk membantu tentara Kin membasmi pemberontak yang timbul di mana-mana. Mereka ini sibuk sekali. Bahkan Pak Hong Siansu dan Ba Mau Hoatsu juga tidak nampak berada di situ. Juga Sam Thai Koksu yang kini tinggal dua orang lagi, yaitu Kim Liong Hoat ong dan Tiat Liong Hoat ong.

   Karena orang ke dua Gin Liong Hoat ong telah tewas di tangan Sin kun Liu Toanio, tidak kelihatan di situ dan sedang pergi ke kota untuk mengadakan perundingan dengan Kaisar tentang usaha membasmi pemberontak. Hanya Giok Seng Cu, tosu yang lihai murid Pak Hong Siansu saja yang ditinggalkan di Enghiong Hweekoan untuk membantu kepala penjaga, kalau kalau ada musuh menyerbu. Malam itu bintang memenuhi angkasa. Giok Seng Cu bercakap-cakap dengan para penjaga, dan tosu ini merasa senang karena mengira bahwa keadaan di situ pasti aman. Orang-orang kang ouw dari selatan dan utara sibuk membantu perjuangan para pemberontak, maka siapakah yang akan berani mengantarkan nyawa di tempat ini? Juga Ciang Le yang menjadi tawanan telah menjadi seorang yang tidak berguna, bisanya hanya tertawa atau menangis saja.

   Dibelenggu menurut saja, dipukuli tidak membalas, sudah kehilangan sama sekali ingatannya sehingga tidak tahu lagi bagaimana harus bersikap. Kini pemuda yang menjadi gila itu ditahan di dalam sebuah kamar yang gelap dengan pintu yang tebal dan kuat sekali. Di depan pintu tebal ini masih terjaga oleh pasukan yang terdiri dari dua puluh orang perwira bersenjata lengkap dan berkepandaian tinggi. Apa lagi yang dikhawatirkan? Giok Seng Cu minum minum dengan para kepala penjaga sambil mengobrol dengan asyiknya. Mereka tidak tahu bahwa sesosok bayangan yang gesit sekali mengintai dari atas genteng. Melihat Giok Seng Cu makan minum di ruang depan, bayangan ini dengan hati-hati sekali lalu menyingkir dari atas ruangan itu dan berkelebat cepat ke belakang. Di sini kembali ia mengintai dan melihat dua puluh orang perwira yang menjaga sebuah pintu besi yang tebal sekali.

   "Hm, di situ agaknya Ciang Le ditahan," pikir bayangan ini yang bukan lain Bi Lan adanya. Dia tidak mau secara sembrono turun-tangan, karena selain pintu amat kokoh kuat dan penjagaan juga kuat, di sana masih ada Giok Seng Cu yang kepandaiannya telah ia ketahui lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri. Apa akal? Bi Lan menjadi bingung sekali, terutama karena ia tidak dapat tahu dengan pasti apakah benar-benar Ciang Le berada di tempat itu!

   Menurut jalan pikirannya, ia harus minta bantuan dari kawan-kawannya atau dari tokoh-tokoh Hoan san pai yang ia ketahui tentu berada bersama dengan suhengnya, Gan Hok Seng. Karena kalau bertindak sendiri, amat besar bahayanya. Akan tetapi menurutkan suara hatinya, ia tidak tega meninggalkan Ciang Le begitu saja, dan hatinya ingin sekali turun-tangan dan menolong kekasihnya. Kalau ia harus pergi dulu mencari bala bantuan bagaimana nanti kalau Ciang Le tidak keburu tertolong dan dibinasakan oleh orang-orang Kin? Akhirnya suara hati ini yang menang dan ia mengambil keputusan, menolong Ciang Le atau kalau perlu mati bersama di tempat itu! Setelah mengambil keputusan demikian, sadis yang tabah ini lalu mengertak gigi dan dengan pedang di tangan ia melayang turun ke arah tempat tahanan itu sambil memutar pedangnya.

   Bukan main gegernya para penjaga ketika tahu-tahu berkelebat bayangan gadis ini dan dua orang penjaga tanpa berdaya lagi roboh terbabat pedang! Mereka segera mengeroyok sambil berteriak teriak. Akan tetapi sebentar saja, kembali dua orang telah roboh terluka oleh pedang Bi Lan yang amat lihai. Tertarik oleh suara ribut-ribut itu, muncullah Giok Seng Cu dan untuk beberapa lama tosu ini berdiri seperti patung dengan mata terbelalak lebar. Ia hampir tidak percaya kepada kedua matanya sendiri melihat Bi Lan mengamuk itu dan mengira bahwa yang datang adalah orang lain. Akan tetapi setelah ia mendapat kenyataan bahwa benar-benar gadis ini adalah Bi Lan yang dahulu terjungkal ke dalam jurang, dan melihat betapa Bi Lan kembali merobohkan seorang penjaga ia lalu berseru keras sambil menggerakkan senjata rantainya,

   "Iblis betina kau belum mampus juga?"

   Bi Lan tidak mau banyak cakap lagi lalu menyerang dengan pedangnya. Gerakannya hebat sekali karena ia marah bukan main. Dengan menggertak gigi ia memutar pedangnya dan mainkan Ilmu Silat Thian te Kiam sut yang paling lihai. Pedangnya lenyap berobah menjadi segunduk cahaya berkilau kilauan tertimpa sinar lampu penerangan, menyilaukan mata para penjaga yang ikut mengeroyok. Namun gadis ini memang bukan lawan Giok Seng Cu yang selain memiliki ilmu kelandaian dan pengalaman yang luas, juga telah menerima gemblengan dari Pak Hong Siansu yang sakti. Apa lagi masih banyak perwira yang lihai ikut mengeroyok sehingga sebentar saja keadaan Bi Lan amat terdesak. Namun gadis ini dengan nekad dan mati-matian mempertahankan diri dan beberapa orang penjaga terlempar lagi dengan tubuh luka luka.

   Giok Seng Cu penasaran, marah dan malu karena sampai lima puluh jurus dia dan kawannya belum juga mampu mengalahkan Bi Lan. Ia memutar rantai bajanya dan berseru, keras. Rantai itu bergerak menyambar dan dapat melibat ujung pedang Bi Lan. Ketika gadis itu hendak menarik pedangnya, Giok Seng Cu melangkah maju dan tangan kirinya memukul ke arah dada Bi Lan, sedangkan dari kanan kiri, beberapa batang golok dari para penjaga juga menyambar dengan serangan yang berbahaya juga. Terpaksa Bi Lan melepaskan pedangnya dan melompat mundur, akan tetapi seorang penjaga yang memegang toya berhasil menyerampang kakinya sehingga biarpun gadis itu tidak terluka, namun cukup membuatnya terjungkal! Para penjaga mengayun golok untuk membunuhnya, namun Giok Seng Cu mencegah,

   "Jangan bunuh!"'Dan tosu ini lalu menubruk dan menangkap kedua lengan Bi Lan lalu mengikatnya dengan rantainya tadi. Bi Lan tidak berdaya, hanya memandang dengan mata melotot marah.

   "Ha, ha, ha, biarlah dia menjadi tawanan kita!" kata tosu itu kepada para penjaga.

   "Suhu tentu akan girang sekali kalau kembali dan melihat iblis betina ini sudah tertangkap. Rantaiku cukup kuat dan biarpun ia tumbuh tiga pasang tangan lagi, tak dapat ia melepaskannya. Lempar ia masuk ke dalam kamar gelap biar ia merawat kawannya yang dulu. Ha. ha, ha!" Para penjaga ikut tertawa dan dengan sebuah anak kunci, pintu yang amat tebal itu dibuka. Cahaya lampu menyerbu masuk ke dalam kamar yang gelap itu, di mana nampak duduk seorang pemuda yang memandang ke arah pintu dengan tertawa-tawa. Dia ini adalah Ciang Le yang duduk dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya.

   "Nah, kau mengobrollah dengan orang gila itu!" kata seorang penjaga bertubuh tinggi besar sambil mendorong punggung Bi Lan ke dalam kamar itu sehingga gadis itu terdorong ke depan dan jatuh menimpa Ciang Le yang masih tertawa-tawa! Kemudian pintu yang tebal itu ditutup kembali dan Bi Lan tidak sempat lagi melihat wajah orang yang ditubruknya karena keadaan menjadi gelap sama sekali, sampai melihat tangannya sendiripun tak tampak!

   "Ha, ha, ha. mengapa kau ikut masuk? He, orang-orang Kin yang jahat, di manakah kalian? Jangan sembunyi seperti tikus. Ha, ha, ha!" Ketika mendengar orang yang ditubruknya tadi bicara seperti ini, Bi Lan menahan isaknya dan ia merasa betapa hatinya hancur mendengar orang itu kemudian menangis tersedu sedu!

   "'Ciang Le..." bisiknya menahan isak, dan gadis ini karena ke dua tangannya dirantai ke belakang, hanya bisa merapatkan tubuhnya kepada pemuda yang duduk menangis itu. Mendengar panggilan ini, Ciang Le berhenti menangis dan tubuhnya menegang. Akan tetap hanya untuk sebentar, seakan-akan suara panggilan ini mengingatkan ia akan sesuatu, dan ia menangis lagi.

   "Ciang Le... aku disampingmu, aku" Bi Lan..." kata pula Bi Lan yang tak dapat menahan tangisnya sehingga ia ikut tersedu sedu. Tiba-tiba Ciang Le tertawa bergelak, membuat bulu tengkuk gadis itu berdiri saking seramnya. Ini bukanlah suara ketawa Ciang Le lebih pantas suara ketawa iblis, pikirnya.

   "Lan moi, hanya kalau kau benci padaku dan meninggalkan aku, baru aku akan menjadi gila. Ha. ha, ha!" Tersayat hati Bi Lan mendengar Ciang mengoceh seorang diri, mengulang kata-katanya yang dahulu ketika berkelakar dengannya.

   "Ciang Le... koko... aku di sini, aku Bi Lan! Aku takkan meninggalkanmu selama lamanya, koko. Aku tidak benci padamu"" Bi Lan terpaksa menghentikan kata-katanya karena kembali Ciang Le memutuskan kata-katanya dengan suara ketawa yang mengiris jantung.

   "Ha, ha, ha, Lan moi, aku takkan gila! Ha, ha, ha, mendapatkan kau sebaga calon jodohku, sebagai kekasihku, mana aku bisa gila? Ha, ha, ha! Kalau kau tidak mau menjadi jodohku, baru aku akan gila, Lan moi..."

   "Tidak... tidak! kau jangan... jangan gila, koko... aku suka menjadi jodoh mu, aku... aku cinta padamu..." Bi Lan seperti telah ikut gila pula menjawab kata-kata Ciang Le sambil menahan tangisnya. Kini gadis ini merebahkan kepalanya di atas pangkuan Ciang Le dan di situ ia menangia sepuas hatinya. Lalu ia teringat. Mengapa bersedih? Mengapa berduka? ia telah berada di samping Ciang Le. Gila atau tidak, pemuda ini tetap Ciang Le calon suaminya. Ciang La pemuda yang dikasihinya. Matipun ia akan bersama pemuda ini, mengapa berduka? Maka tenanglah pikirannya dan bahkan timbul kegembiraannya.

   "Ciang Le, kau ingatlah baik-baik. Aku adalah Liang Bi Lan kekasihmu. Aku tidak mati di dalam jurang... aku""

   "Setan! Bi Lan sudah tewas, terjungkal ke dalam jurang, ah..." dan pemuda itu menangis lagi terisak-isak sehingga Bi Lan merasa air mata yang hangat membanjiri mukanya, membasahi bibirnya. Hatinya terharu sekali dan ia hanya bisa merapatkan kepalanya pada tubuh pemuda itu.

   "Koko" ah, jangan kau begitu! Aku masih hidup, lihat baik-baik, atau... rabalah dengan tanganmu, ini kepalaku, rambutku, mataku... aku Bi Lan. Ciang Le, ingatlah kembli, aku berada di sampingmu, baik mati maupun hidup!" Ucapan Bi Lan ini keras sekali, mengalahkan suara ketawa Ciang Le. Tiba-tiba hening dan sunyi. Bi Lan merasa betapa kembali tubuh pemuda itu menegang dan untuk beberapa lama tidak terdengar suara apa-apa keluar dari mulut Ciang Le. Bi Lan maklum bahwa Ciang Le terbelenggu kaki tangannya, maka diam-diam ia mengeluh. Ia sudah berusaha untuk mengerahkan tenaga membuka rantai yang mengikat kedua tangannya, namun sia sia. Rantai itu terlalu kuat baginya. Sampai lama Ciang Le diam saja, Bi Lan tidak berani menggerakkan kepalanya. Ia sendiri tidak tahu mengapa kekasihnya diam saja tak bergerak. Ia tidak berari mengganggunya, takut kalau kalau gilanya kumat lagi.

   Ia bahkan ikut diam seperti orang bersamadhi, saking lelah dan sedihnya. Bi Lan pulas dengan kepala di atas pangkuan Ciang Le! Entah berapa lama ia tertidur dengan kepala di atas pangkuan pemuda itu. Bi Lan tidak tahu lagi. Tiba-tiba ia sadar dari tidurnya karena merasa ada jari-jari tangan menggerayangi mukanya, menyentuh pelupuk matanya. bibirnya, hidungnya, telinganya, pipinya... Hampir suja Bi Lan tersentak karena kagetnya dan hampir saja ia meloncat berdiri karena kedua kakinya tidak terbelenggu seperti kaki Ciang Le. Akan tetapi ia ingat bahwa tubuh pemuda itu masih diam saja maka iapun berdiam diri sambil membuka matanya. Jari-jari tangan itu masih bergerak-gerak dengan halus dan mesra, seakan-akan hendak mempelajari garis garis pada mukanya. Hati Bi Lan mulai berdebar keras. Tak salah lagi ini adalah jari-jari tangan Ciang Le.

   Ia teringat dan hampir berseru girang kalau tidak cepat-cepat ditekannya agar jangan mengagetkan pemuda itu. Tadi Ciang Le terbelenggu, sekarang jari-jari tangan yang tadinya terikat ke belakang sudah dapat meraba-raba mukanya, tanda bahwa pemuda itu telah melepaskan diri. Dan ini hanya mempunyai satu arti, yaitu bahwa pemuda ini tentu sudah mendapatkan kembali ingatannya! Atau setidaknya sudah mulai ingat dan ragu-ragu sehingga hendak meyakinkan bahwa gadis yang kepalanya di atas pangkuannya itu benar-benar Bi Lan adanya! Dugaan ini memang tepat sekali. Seperti pernah dikatakan atau diramalkan oleh Kwa Siucai dahulu ketika menolong Ciang Le dari ancaman jarum-jarum hitam yang menancap di punggung pemuda itu, biarpun sudah sembuh namun apabila mengalami kekagetan dan kedukaan, pemuda ini akan menjadi gila.

   Akan tetapi, apabila ia mendapatkan kembali harapannya, terhibur dan mengalami kebahagiaan besar, ia akan sembuh kembali! Tadi ketika mendengar suara Bi Lan, Ciang Le sudah mulai tergugah dari kegilaannya, hanya karena suara itu masih belum meyakinkannya betul, kegilaannya masih kuat dan membuatnya mengoceh tidak karuan. Kemudian setelah Bi Lan menangis terisak-isak di atas pangkuannya, tiba-tiba seperti ada aliran hawa aneh menyelubungi seluruh tubuhnya dan membuat kepalanya terasa panas sekali. Ia mengenal betul suara gadis ini dan suara itu seakan-akan embun pagi yang membasahi bunga yang mulai melayu kekeringan sehingga bunga itu segar kembali perlahan lahan.

   Ketika Bi Lan tertidur, beberapa kali Ciang Le membungkukkan kepala dan mencium rambut gadis itu sehingga makin kuatlah ingatannya. Perang hebat antara racun yang menguasai hati dan pikirannya melawan rasa bahagia yang menghangatkan hatinya, terjadilah. Membuat ia berdiam diri seperti patung. Kemudian ia merasa seakan-akan sedang mimpi dan ketika ia menggerakkan kedua tangan hendak meraba muka gadis yang tertidur di atas pangkuannya itu, ia mendapatkan kedua tangannya terbelenggu. Kembali ia terheran-heran, karena ia masih belum ingat betul mengapa ia berada di situ dan siapa pula gadis yang tertidur dengan kepala di atas pangkuannya ini. Maka ia lalu mengerahkan lweekangnya dan dengan kepandaiannya Jui kut kang (Ilmu Melemaskan Badan), akhirnya ia dapat meloloskan tangan dari belenggu itu dan ia mulai meraba-raba muka gadis itu.

   Hatinya makin besar, kegilaannya makin menghilang, pengharapannya timbul kembali dan kebahagiaan yang besar membuat ia tak dapat berkata-kata. Bi Lan masih diam saja tak bergerak. Kalau saja ia tidak ingat bahwa Ciang Le sedang dalam keadaan seperti itu, ia bisa marah karena hidungnya dipencet pencet, rambutnya diawut awut, pipinya dicubit-cubit! Kemudian Ciang Le teringat dan merasa heran mengapa gadis yang disangkanya Bi Lan ini tidak dapat bergerak. Ketika ia memegang lengan Bi Lan tahulah ia bahwa gadis itu terbelenggu, maka ia lalu mengulurkan tangan meraba-raba belenggu yang mengikat kedua tangan Bi Lan. Rantai itu mengikat erat-erat, akan tetapi dengan pencerahan tenaga yang luar biasa. Ciang Le berhasil mematahkan sebuah mata rantai dan terlepaslah ikatan tangan Bi Lan!

   "Koko"!" Bi Lan bangkit dan duduk dengan girang, sungguhpun suaranya masih belum tahu betul apakah kekasihnya benar-benar telah sembuh.

   "Bi Lan... tidak salahkan aku? Apakah kita berada di alam baka? Ataukah aku yang bermimpi?" Mendengar ini, naik sedu sedan dari dada gadis itu ke lehernya. Serentak ia menubruk dan memeluk leher pemuda itu sambil menangis.

   "Koko, aku benar Bi Lan, aku Bi Lanmu... kita masih hidup. Aku tidak mati dalam jurang itu, koko. Aku dapat menyambar akar dan kemudian merayap naik setengah mati dalam usahaku untuk... untuk mencari kau..."

   "Aduh, Bi Lan...!" Ciang Le mendekap kepala itu kuat kuat di dadanya dan air matanya tak tertahan lagi mengucur deras.

   "Bi Lan... benar-benar engkau ini, kekasihku" Thian benar-benar Maha Adil!" Untuk beberapa lama mereka saling rangkul, penuh kebahagiaan dan rasa sukur kepada Thian. Ciang Le bersukur karena Bi Lan benar-benar tidak mati di dalam jurang, adapun Bi Lan bersukur karena pemuda itu ternyata telah sembuh kembali. Kemudian mereka teringat bahwa mereka berada di dalam sebuah kamar tahanan yang gelap sekali.

   "Koko, bagaimana kita bisa keluar?" tanya Bi Lan dengan gelisah. Demikianlah hidup, kegelisahan karena yang satu menyusul kegelisahan lain yang sukar dapat dipecahkan. Kalau tadinya ia gelisah melihat keadaan Ciang Le, kini gelisah menghadapi kenyataan bahwa masih sukarlah bagi mereka untuk dapat keluar dari situ! Akan tetapi Ciang Le telah mendapatkan kembali tenaga dan ketenangan serta kecerdikannya yang dulu. ia menepuk-nepuk bahu kekasihnya untuk menghiburnya. Kemudian dengan sekali renggut saja ia telah melepaskan belenggu kakinya. Ketika melakukan ini tangannya menyentuh mangkok dan pecahlah mangkok itu. Ia meraba-raba dan tahulah bahwa mangkok itu terisi makanan.

   "Hm, mereka masih ingat untuk memberi makan kepadaku." katanya kepada Bi Lan.

   "Ini berarti bahwa tak lama lagi mereka tentu akan membuka pintu dan memasukkan makanan. Kalau kesempatan itu terjadi, kita menyerbu keluar." Mendengar ini, timbul harapan Bi Lan, lalu duduk menanti sambil bercakap-cakap, saling menuturkan pengalaman mereka atau lebih tepat Bi Lan yang menuturkan pengalamannya karena Ciang Le lupa akan segala. Bahkan ia tahu bahwa ia ditahan dalam kamar tahanan di Enghiong Hweekoan dan bahwa di luar terjaga kuat dan ada Giok Seng Cu pula, semua ia ketahui dari penuturan Bi Lan belaka. Mendengar penuturan Bi Lan, Ciang Le terharu dan juga merasa bangga.

   "Bi Lan, kau demikian setia dan rela berkorban nyawa untuk menolongku. Demikian besarkah cintamu kepadaku?"

   "Hush" siapa yang pernah menyatakan cinta? Jangan kau mengoceh seenakmu saja!" Di dalam gelap Bi Lan cemberut, akan tetapi kemudian ia tersenyum karena cemberut atau tersenyumpun, Ciang Le takkan dapat melihatnya. Ciang Le tertawa dan keduanya lalu tertawa. Benar-benar aneh sekali dua orang muda itu. Dalam keadaan seperti itu masih bisa tertawa. Akan tetapi, agaknya hal ini akan dapat dimaklumi oleh mereka yang pernah terjerumus dalam perangkap asmara. Dalam keadaan bagaimana sengsarapun juga, asal dengan si dia di sampingnya neraka terasa sorga.

   "Koko, ketika tanganmu yang nakal tadi meraba-raba mataku... apanyakah yang membuat kau tahu bahwa aku adalah Bi Lan?" Ingin sekali Bi Lan dapat melihat wajah, Ciang Le di saat itu ketika ia menanti jawaban. Akan tetapi karena keadaan benar-benar gelap, ia tidak melihat sesuatu, hanya mendengar betapa pemuda itu agak tertahan nafasnya, tanda kebingungan untuk menjawab.

   "Mm"" akhirnya Ciang Le menjawab juga.

   "Agaknya karena... karena mulutmu itulah!"

   "Mengapa mulutku? Terlalu besar?"

   "Tidak sama sekali!"

   "Hm, kalau begitu terlalu kecil?"

   "Bukan! Bukan terlalu kecil, barangkali hmm... entahlah. Oh, agaknya matamu itulah. Ya benar, karena matamu itulah aku dapat mengenal dan yakin bahwa kau adalah Bi Lanku."

   "Mataku pula? Kenapa mataku?" Sepasang mata Bi Lan yang bening itu berusaha menembus kegelapan untuk menatap wajah Ciang Le, namun sia sia.

   "Ya benar, matamu. Karena matamu itu...ya, karena seperti matamulah! Tidak ada wanita di dunia ini yang mempunyai mata seperti matamu, mulut seperti mulutmu dan hidung seperti hidungmu!"

   "Cukup! kau mengoceh lagi! Tentu saja tidak ada yang sama."

   "Nah, itulah maksudku. Aku suka akan matamu, mulutmu, hidungmu dan seluruh dirimu, bukan semata karena tertarik akan keindahan dan kecantikannya, akan tetapi semata-mata tertarik dan suka karena... itulah, tidak ada keduanya di dunia ini." Bi Lan menjadi bingung dan pening ia mencari maksud kata-kata itu, namun yang sudah pasti, kata-kata ini membuat hatinya merasa bangga dan girang bukan main. Pada saat itu, terdengar pintu kamar bersuara. Bi Lan siap hendak bangun, akan tetapi Ciang Le memegang tangannya dan menahan gadis itu.

   "Tunggu!" bisiknya di dekat telinga Bi Lan.

   "Biarkan aku yang bergerak." Bi Lan menurut saja. Di dalam gelap mereka tidak melihat, apakah pintu itu bergerak akan tetapi tiba-tiba cahaya yang kecil memasuki kamar itu, tanda bahwa pintu terbuka dari sedikit. Tiba-tiba pintu terbuka lebar lebar dan cahaya penerangan membakar kegelapan itu membutakan mata Bi Lan yang terpaksa merapatkan matanya.

   Benar seperti dugaan Ciang Le yang amat cerdik. Cahaya penerangan yang tiba-tiba menerangi kegelapan itu memang amat menyilaukan dan menyakitkan mata, oleh karena itulah maka tadi ia menahan Bi Lan. Kini, sambil sedikit saja membuka matanya, ia menubruk maju dan sebelum sempat mengeluarkan sedikitpun suara, penjaga yang mengantar makanan itu telah ditangkap dan ditotoknya. Kemudian ia meloncat keluar sambi! memutar tubuh penjaga itu di depannya sebagai perisai. Semua ini dilakukan dengan mata tertutup dan baru dibukanya perlahan lahan setelah ia mulai biasa dengan cahaya penerangan itu. Tindakan Ciang Le tadi memang tepat sekali. Sekiranya ia tidak mencegah Bi Lan, maka gadis itu tentu akan disambut oleh cahaya penerangan dan sesampainya di luar tentu akan silau tak dapat melihat sehingga mereka akan berada dalam bahaya serangan para penjaga.

   Sebaliknya dengan perbuatan Ciang Le yang tiba-tiba meloncat keluar sambil memutar tubuh pengantar makanan para penjaga menjadi kaget sekali, namun mereka tidak berani menyerang karena takut mengenai tubuh kawan mereka sendiri. Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka melihat pemuda yang tadinya sila dan menurut saja diperbuat sesuka hati oleh mereka, kini telah terlepas dari belenggu dan mengamuk. Dinding kamar itu, demikian pula pintunya, amat tebal sehingga bukan hanya cahaya tak masuk, bahkan suara yang bagaimana keraspun tidak terdengar dari luar sehingga mereka tadi tidak mendengar sesuatu. Setelah kini berani membuka matanya dan tidak silau lagi. Ciang Le lalu melemparkan tubuh penjaga yang ditangkapnya tadi kepada kawan-kawan mereka.

   Kemudian kaki tangannya bergerak dan dengan enaknya ia merobohkan para penjaga itu semudah orang mencabut rumput saja. Terdengar suara senjata mereka terlempar ke sana ke mari berkerontangan di atas lantai disusul oleh jerit jerit kesakitan dan terlempar tubuh mereka. Keadaan menjadi ribut, apalagi ketika tiba-tiba Bi Lan meloncat keluar dan ikut membabat mereka dengan pukulan dan tendangannya yang keras! Gadis inipun perlahan lahan telah dapat membiasakan matanya dan setelah ia dapat membuka mata, ia membantu amukan pemuda itu. Waktu itu sudah menjelang pagi dan Giok Seng Cu sudah tidur. Maka agak lama barulah ia muncul dengan rantai yang lebih besar dari pada yang dipergunakan untuk membelenggu Bi Lan di tangannya. Ia merasa kaget juga melihat Ciang Le, akan tetapi tanpa banyak cakap ia lalu memutar senjata rantainya.

   "Lan moi, kau habiskan makanan lunak ini, biar aku menghadapi yang keras itu!" kata Ciang Le yang memaksudkan agar Bi Lan melanjutkan amukannya terhadap para penjaga dan ia sendiri akan menghadapi Giok Seng Cu, Bi Lan tersenyum dan mengangguk.

   Giok Seng Cu makin kaget mendengar omongan ini, karena ia tahu bahwa pemuda ini entah bagaimana tentu telah sembuh dari gilanya sehingga omongannya beres. Namun ia tiada waktu lagi untuk menyelidiki kesembuhan Ciang Le karena pemuda itu telah meloncat maju dan menyerangnya dengan pukulan yang mendatangkan angin keras. Giok Seng Cu maklum akan kelihaian pemuda yang sesungguhnya masih seperguruan dengan dia ini, maklum bahwa kepandaiannya sendiri masih kalah jauh oleh pemuda yang mengimbangi kepandaian Pak Hong Siansu. Akan tetapi melihat pemuda itu bertangan kosong sedangkan ia membawa senjata rantainya yang diandalkan, hatinya besar dan sambil berseru keras ia lalu memutar rantainya menyambut Ciang Le dengan pukulan-pukulan mematikan. Pertempuran bebat berlangsung di tempat itu.

   Memang tepat kau Ciang Le menamakan penjaga-penjaga itu makanan lunak, karena mereka benar-benar merupakan yang amat lunak bagi Bi Lan. Gadis ini karena merasa jijik juga harus menggunakan tangannya merobohkan mereka, kini merampas sebatang golok dan setelah beberapa orang penjaga roboh mandi darah, yang lain lain lalu melarikan diri dengan gentar! Bi Lan tertawa-tawa dan gadis ini lalu menarik sebuah bangku, didudukinya sambil menonton pertempuran yang berlangsung antara Ciang Le dan Giok Seng Cu. Biarpun permainan senjata rantai di tangan Giok Seng Cu amat cepat dan kuat, namun gerakan Ciang Le lebih lincah sehingga seringkali Giok Seng Tu kehilangan lawannya. Maka maklum bahwa ia akan kalah kalau tidak cepat-cepat mengeluarkan ilmu silatnya yang paling lihai, yakni dengan ilmu silat rantai yang disebut Koai ling toan bun (Naga Iblis Menjaga Pintu).

   Rantai itu berobah menjadi gulungan besar sinar putih yang merupakan dinding baja dan yang melindungi seluruh tubuhnya dari pukulan Ciang Le. Diam-diam pemuda ini kagum sekali karena memang permainan rantai itu demikian hebatnya. Lengan tangan tosu itu nampaknya tidak bergerak, akan tetapi rantai yang dipegangnya itu terputar putar mengelilingi tubuhnya seakan-akan digerakkan oleh tenaga yang tidak kelihatan. Namun, karena Giok Seng Cu juga murid dari Pak Hong Siansu yang menjadi adik seperguruan Pak Kek Siansu, tentu saja Ciang Le tahu di mana kelemahan dari permainan ini. Dengan gerakan Lo wan hian ko (Monyet Tua Persembahkan. Buah) ia bergerak cepat dan ketika tangannya menyambar, ia berhasil memegang ujung rantai lawan! Keduanya mengerahkan tenaga untuk menarik dan memperebutkan senjata itu dan...

   "Krak!" patahlah rantai itu menjadi dua potong! Karena tadi menggerakkan seluruh tenaganya, kejadian ini membuat Giok Seng Cu terjengkang kebelakang, berbeda dengan Ciang Le yang masih dapat mengatur keseimbangan tubuhnya dan selagi tosu itu terhuyung-huyung, Ciang Le menyambar dengan potongan rantai yang berada di tangannya. Giok Seng Cu menangkis, akan tetapi tenaga tangkisan ini lemah karena kedudukan tubuhnya yang sudah tidak baik lagi maka rantai di tangannya itu terlempar dan pundaknya tersambar ujung rantai sehingga patah tulangnya. Tosu itu menjerit roboh pingsan! Bi Lan melompat menghampiri seorang penjaga yang terluka. Ia mengancam dengan golok rampasannya dan membentak.

   "Hayo katakan di mana adanya pedang-pedang kami!" Penjaga itu ketakutan lalu memberi tahu bahwa pedang pedang itu disimpan dalam kamar Giok Seng Cu. Bi Lan dan Ciang Le lalu memeriksa ke dalam kamar itu dan benar saja, pedang mereka terletak di atas meja di dalam kamar maka dengan girang mereka lalu mengambil senjata masing-masing. Ketika mereka membawa pedang keluar dari kamar, mereka melihat beberapa orang penjaga hendak melarikan diri. Dengan sekali melompat, Bi Lan telah dapat mengejar dan kakinya merobohkan dua orang di antara mereka. Melihat ini yang lain lain lalu menjatuhkan diri berlutut. Mereka benar-benar telah mati kutu melihat sepak terjang dua orang pemuda ini, apalagi setelah melihat betapa Giok Seng Cu yang mereka andalkanpun sudah roboh.

   "Ampun jiwi taihiap, ampunkan kami..." ratap mereka.

   "Anjing-anjing Kin bisa minta ampun, tidak ingat betapa kaum tani minta minta ampun tanpa ada perhatian dari pemerintahmu. Kalian layak mampus!" bentak Bi Lan sambil mengancam dengan pedangnya.

   "Lihiap, ampunkan kami," kata seorang penjaga yang sudah tua.

   "Kalau lihiap mau memberi ampun kami akan membuka rahasia yang besar." Memang Bi Lan juga bukan seorang kejam. Ia bisa membunuh banyak musuh dalam pertempuran atau perang, akan tetapi ia tidak nanti tega membunuh lawan yang sudah tidak mau melawan lagi dan ketakutan. Kini mendengar ucapan penjaga tua itu ia amat tertarik, karena memang tadipun ia hanya menggertak saja. Ciang Le juga tertarik, maka ia mendahului Bi Lan,

   "Lekas ceritakan, rahasia apakah gerangan yang kau maksudkan?"

   "Rahasia mengenai diri taihiap, ketahuilah bahwa kemarin Pak Hong Siansu dan Ba Mau Hoatsu menuju ke Luliang san untuk membujuk atau memaksa guru taihiap membantu kami, dan menjadikan taihiap yang masih tertawan sebagai tanggungan." Baru saja mendengar sampai di sini, Ciang Le lalu membetot tangan Bi Lan dan melompatlah dia keluar dari Enghiong Hweekoan bersama Bi Lan. Mereka, pada waktu menjelang fajar itu, berlari-lari cepat sekali meninggalkan kota Cin-an.

   "Kita harus menyusul ke Luliang san, Lan moi. Susiok Pak Hong Siansu orangnya curang dan licik, siapa tahu kalau kalau suhu akan ia bikin celaka!"

   "Memang kita harus menyusulnya. Dia masih mempunyai perhitungan yang belum beres dengan kita!" jawab Bi Lan. Maka sepasang orang muda ini berangkatlah cepat epat menuju ke Luliang san, tempat Pak Kek Siansu.

   ***

   Pada waktu itu musim dingin telah tiba. Terutama sekali di Pegunungan Luliang san, dinginnya bukan kepalang, menusuk tulang sungsum. Puncak Luliang san sampai membeku karena dinginnya dan jarang ada orang dapat tahan nenghadapi musim dingin ini tanpa persediaan pakaian yang tebal dan hangat. Namun, apabila orang melihat tiga orang kakek yang tengah duduk bercakup cakap di puncak Bukit Luliang san, dia tentu akan terheran-heran dan menganggap bahwa tiga orang kakek itu bukan manusia, melainkan dewa dewa penjaga gunung.

   Tiga orang kakek ini duduk di atas rumput di depan bangunan yang tua di puncak gunung dan mereka ini mengenakan pakaian yang tipis belaka. Tanpa nampak Kedinginan. Mereka ini adalah murid atau pelayan pelayan dari Pak Kek Siansu, yakni yang sudah kita kenal baik, Luliang Ciangkun yang berpakaian sebagai panglima perang, Luliang Siucai sebagai sasterawan dan Lutiang Nungjin sebagai orang petani. Nampaknya mereka tengah mengobrol dengan asiknya, membicarakan soal yang mereka anggap amat pelik. Dan kalau orang mendengarkan percakapan mereka, ia akan menjadi lebih heran karena itu bukanlah percakapan penduduk gunung, melainkan percakapan orang-orang yang mengerti betul akan keadaan pemerintah dan ketatanegaraan.

   "Semua adalah kesalahan Kaisar Kao Tsung yang lemah!" terdengar Luliang Ciagkun berkata dengan suaranya yang keras sambil memukul tanah di depannya sehingga tergetar.

   "Dia begitu lemah dan pengecut, takut sekali kepada bala tentara Kin seperti anjing takut serigala. Dia hanya mengingat kepentingan diri sendiri, takut kehilangan kedudukan, kemuliaan dan kemewahan sehingga tidak bermalu untuk mengorbankan nasib rakyat demi kesenangan diri sendiri. Sungguh menjemukan!"

   "Yang lebih menyebalkan adalah pengkhianat dan bangsat besar Jin Kwi itu! Kalau panglima besar dan Pahlawan Gak Hui tidak difitnahnya, belum tentu bala tentara Kin dapat bergerak maju dan rakyat sekarang mungkin takkan mengalami penindasan seperti sekarang. Hm, kalau saja Jin Kwi belum mampus, suka aku mencari dan menghancurkan kepalanya yang penuh akal busuk!" kata Luliang Siucai yang biasanya sabar, akan tetapi siapa orangnya yang berjiwa patriotik dapat bersabar hati kalau teringat kepada Jin Kwi, perdana menteri yang busuk dan pengkhianat bangsa itu?

   "Semua memang sudah terjadi, tak perlu disesalkan lagi. Kalau diingat-ingat politik pemerintah Sung selatan yang membuat perjanjian perdamaian dengan pemerintah Kin. Itulah yang harus amat disesalkan. Bukan perjanjian melainkan penghinaan namanya! Penghinaan yang memancing datangnya pemerasan terhadap rakyat jelata. Sekarang, di Tiongkok atara rakyat diperas habis habisan oleh pemerintah Kin, dan di samping itu, pemerintah kita sendiri masih harus bermanis muka, setiap tahun memberi upeti yang besar jumlahnya. Hm, benar-benar bisa membikin orang mati karena mendongkol!" kata Luliang Nungjin.

   "Pemerintah penjajah Kin memang harus lenyap dari permukaan bumi." Luliang Ciangkun mengutuk lagi.

   "Sekarang, biarpun dimana-mana para pejuang rakyat telah bangkit memberontak, namun tidak sedikit kaum kecil dipaksa oleh keparat-keparat Kin itu untuk menjadi serdadu paksaan. Ah, kalau aku ingat itu..."

   "Yang mengherankan adalah Siansu. Mengapa Siansu masih saja menahan kita dan tidak memperbolehkan kita turun gunung untuk membantu perjuangan rakyat? Aku sudah ingin sekali menggunakan paculku untuk memancung leher penindas itu!" kata lagi Luliang Nungjin.

   "Siansu selalu berlaku tenang dan sabar." Si Sasterawan membela suhunya.

   "Bukankah sudah ada Go sute yang turun gunung? Kepandaian Go sute sudah jauh melebihi kita, dan Go sute adalah seorang pemuda yang boleh diharapkan. Sebelum menanti kedatangan Go sute, lalu secara sembrono turun gunung, memang kurang baik. Kita harus menanti dulu bagaimana hasil perjuangan Go sute. Kalau susiok Pak Hong Siansu tetap masih membantu pemerintah Kin dan berkeras tidak mau menurut nasihat Siansu, agaknya kita harus turun gunung, bahkan Siansu sendiri tentu akan turun gunung."

   Demikianlah, tiga orang tokoh Luliang san itu bercakap-cakap dan selalu dalam percakapan mereka dapat dinilai, bahwa mereda ini adalah orang-orang-tua yang berjiwa patriot, orang-orang yang tidak rela melihat rakyatnya ditindas oleh pemerintah Kin. Hanya ketaatan mereka terhadap Pak Kek Siansu saja yang mencegah mereka untuk turun gunung dan ikut berjuang membantu rakyat yang melakukan perlawanan gigih di mana-mana terhadap pemerintah Kin yang kuat.

   "Lihat, siapakah mereka yang datang itu? Melihat cara mereka berlari menanjak bukit menggunakan ilmu lari cepat Couw sang hwe, mereka tentulah orang-orang pandai." Kedua orang kakak seperguruannya cepat menengok. Benar saja, dari bawah kelihatan bayangan dua sosok tubuh manusia yang berlari naik ke arah puncak dengan cepat sekali. Setelah agak dekat, Luliang Ciangkun bangun berdiri dan berkata kepada kedua orang sutenya.

   "Hati-hati, mereka itu orang-tua dan memiliki kepandaian tinggi. Kita tidak tahu apakah mereka itu kawan-kawan atau lawan." Kedua orang sutenya juga bangun berdiri dan tiga orang tokoh Luliang san itu berdiri dengan penuh perhatian memandang dua orang yang kini sudah makin dekat itu.

   "Aah, bukankah orang yang di depan dan terbongkok bongok itu susiok Pak Hong Siansu?" tiba-tiba Luliang Ciangkun berkata kaget dan khawatir.

   "Betul," Luliang Siucai membenarkan.

   "Dia adalah Pak Hong Siansu dan orang ke dua yang tinggi besar itu tidak salah lagi tentulah Ba Mau Hoatsu dari Tibet. Hati-hati, mereka tidak mengandung maksud baik!" Tiga orang-tua ini diam-diam bersiap siap menghadapi segala kemungkinan. Dan dengan sepat dua orang kakek, yakni benar-benar Pak Hong Siansu dan Ba Mau Hoatsu, telah tiba d depan mereka. Betapapun juga, tiga orang tokoh Luliang san itu tidak melupakan kesopanan. Mereka, bertiga lalu berlutut di depan Pak Hong Siansu sambil berkata,

   "Susiok, selamat datang di Luliang san. Kemudian mereka berdiri dan menjura kepada Ba Mau Hoatsu sebagai penghormatan. Pak Hong Siansu tertawa bergelak sambil mengelus-elus kepala botaknya yang licin. Karena ketawa, bongkoknya nampak makin nyata sehingga tubuhnya seakan-akan terlipat menjadi dua.

   "Heh heh heh heh! Kalian ini murid-murid suheng benar-benar tahu aturan! Bagus sekali, memang suheng pandai mengajar murid. Eh, murid-murid keponakanku yang gagah dan baik, di manakah guru kalian itu? Lekas beri tahukan, aku ingin sekali bertemu, ada keperluan amat penting!" Luliang Sam lojin, tiga orang-tua dari Luliang san itu saling pandang dan dalam bertukar pandang sekejap ini saja mereka telah saling cocok dan dapat mengambil keputusan yakin tidak memperbolehkan siapapun juga mengganggu Pak Kek Siansu! Luliang Cianghun Si Panglima sebagai murid tertua, mewakili saudara-saudaranya, maju memberi hormat kepada Pak Hong Siansu lalu berkata,

   "Maaf. susiok. Tentang suhu teecu bertiga, memang benar berada di dalam kamar samadhinya, akan tetapi Siansu telah berpesan tidak mau diganggu oleh siapapun juga. Oleh karena itu, mana teecu bertiga berani melanggar pesannya? Teecu tidak berani mengganggu Siansu dari samadhinya?" Pak Hong Siansu mengerutkan kening lalu berkata dengan tertawa.

   "Tidak apa, tidak apa! Kalau kalian tidak berani mengganggunya, biar akulah yang akan menemui di kamarnya. Ia takkan marah melihat aku yang datang," Setelah berkata demikian. Pak Hong Siansu lalu melangkah hendak menuju ke bangunan di mana Pak Kek Siansu berada. Akan tetapi serentak tiga orang tokoh Luliang san menggerakkan tubuh dan menghadang di depan Pak Hong Siansu.

   "Eh, eh, apa kehendak kalian? Mengapa menghadang di jalan?" tegur Pak Hong Siansu dan kernyit keningnya makin mendalam, matanya mulai memancarkan sinar kemarahan.

   
Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Sekali ini maaf, susiok. Terpaksa teecu bertiga tak dapat memenuhi keinginan susiok. Bukan sekali kali kami berlaku kurang hormat, akan tetapi kalau teecu bertiga membiarkan usiok lewat dan mengganggu Siansu, pasti teecu bertiga akan mendapat teguran keras dan hal ini teecu sekalian tidak menghendakinya."

   "Bagus! Jadi kalian melarang aku masuk menemui gurumu?"

   "Bukan sekali kali kami yang melarang melainkan Siansu sendiri yang menghendaki dan kami hanya menjalankan tugas dan perintah," jawab Luliang Nungjin dengan sikap hormat akan tetapi teguh dalam pendiriannya, seperti juga dua orang saudaranya.

   "Keparat, kalian berani menentang susiok sendiri?" Kini Pak Hong Siansu mulai membentak marah.

   "Bukan menentang susiok, melainkan mentaati perintah Siansu," jawab Luliang Siucai dengan suara tetap dan tenang. Kemarahan Pak Hong Siansu memuncak dan ia membanting banting tongkat merahnya.

   "Kurang ajar sekali! Kalau aku menggunakan kekerasan memaksa masuk, bagaimana?"

   "Terpaksa teecu akan menghalangi susiok," jawab Si Petani dengan sikap gagah.

   "Kau harus mampus!" seru Pak Hong Siansu dan tasbehnya menyambar ke arah kepala Luliang Nungjin Si Petani.

   Akan tetapi, tokoh Luliang san ini bukanlah seorang lemah dan cepat ia mengelak dari serangan paman gurunya ini. Pak Hong Siansu menyerang terus kini bahkan menggerakkan tongkatnya, dan Si Petani juga mengerahkan seluruh kepandaian untuk menghadapi susioknya. Berbeda dengan Ciang Le, tiga orang-tua dari Luliang san ini adalah orang-orang-tua yang kukuh dan kuno. Mereka ini ketiga tiganya masih terikat oleh peradatan dan karenanya, mereka tunduk dan menghormat Pak Hong Siansu dengan sungguh-sungguh. Maka kini setelah Pak Hong Siansu menyerang Si Petani, dua orang suhengnya. Si Panglima dan Si Sasterawan, hanya menonton saja dengan hati gelisah. Kalau tidak diserang, mereka sama sekali tidak berani turun-tangan menyerang susiok mereka. Hal ini akan terlalu kurang ajar!

   Berbeda sekali dengan Ciang Le yang pandangannya lebih mengutamakan keadilan dan kebenaran. Bagi pemuda itu, siapapun juga, kalau salah pasti akan dihadapinya dengan berani. Luliang Nungjin amat terdesak oleh tongkat dan tasbeh dari Pak Hong Siansu yang memang benar-benar lihai sekali gerakannya. Si Petani itu terpaksa mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian, menggerakkan paculnya dan melindungi tubuhnya rapat rapat dengan senjatanya yang istimewa ini. Ada baiknya juga karena Si Petani tidak berani membalas serangan paman gurunya. Kalau kiranya ia membalas dan menyerang, tentu sebentar yaja ia akan dapat mencurahkan seluruh perhatiannya kepada penjagaan diri dan ini tentu saja memperlipat kekuatannya membuat penjagaannya benar-benar amat kuat dan sukar ditembus oleh senjata lawan! Sementara itu, Ba Mau Hoatsu juga hanya berdiri menonton saja.

   Ia masih mempunyai kesopanan untuk tidak mencampuri urusan orang lain karena Pak Hong Siansu berurusan dengan murid-murid keponakan, bagaimana ia dapat ikut membantu? Pula, ia yakin bahwa menghadapi tiga orang murid keponakan itu, Pak Hong Siansu pasti akan dapat menang. Hal ini memang mudah sekali diduga. Tingkat kepandaian Pak Hong Siansu jauh lebih tinggi dari pada tingkat murid-murid keponakannya, dan kini murid keponakannya itu diserang tanpa membalas sedikitpun. Setangguh tangguhnya penjagaan Si Petani, menghadapi tongkat merah panjang yang menyambar nyambar bagaikan seekor naga itu dan tasbeh mutiara yang berkelebatan di atas kepalanya seperti halilintar, ia menjadi kewalahan juga. Apa lagi karena Pak Hong Siansu menjadi makin penasaran dan marah sehingga ia mengeluarkan kepandaiannya dan menyerang dengan seluruh tenaga yang ada padanya.

   Pada saat tasbehnya menyambar dan ditangkis oleh pacul di tangan Luliang Nungjin, ia menggetarkan tasbeh itu yang tidak terpental kembali, sebaliknya lalu membelit pacul itu dengan eratnya! Luliang Nungjin terkejut, maklum bahwa susioknya marah sekali. Ia mengerahkan tenaga untuk menarik kembali paculnya, akan tetapi pada saat itu tongkat merah yang panjang telah bergerak menyerampang kedua kakinya. Serangan ini tak dapat dielakkan lagi dan terdengarlah suara keras, lalu tubuh Luliang Nungjin terguling. Kedua tulang kakinya telah remuk oleh pukulan itu dan roboh pingsan! Biarpun hati mereka perih dan sakit sekali, namun Luliang Ciangkun dan Luliang Siucai tidak dapat berbuat sesuatu, hanya berdiri tegak dengan sikap angkuh.

   

Memburu Iblis Eps 29 Memburu Iblis Eps 5 Memburu Iblis Eps 6

Cari Blog Ini