Tangan Geledek 19
Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo Bagian 19
Sungguhpun berdasarkan langkah segi delapan, namun daya serangannya bermacam-macam, ada yang lembek ada yang keras dan sukar sekali diduga perubahan-perubahannya. Dalam beberapa belas jurus saja, tubuh Tiang Bu sudah terkurung oleh pedang yang sinarnya bercabang delapan, menyambar nyambar laksana kilat di musim hujan!
"Kiam-hoat (ilmu pedang) yang bagus!" Tiang Bu memuji dan pemuda ini harus mempergunakan semua kepandaiannya untuk menghindarkan diri dari ancaman sinar pedang. Baiknya ia telah mewarisi sinkang dari dua orang kakek sakti di Omei-san sehingga kadang-kadang ia dapat mempergunakan kuku jarinya untuk menyentil pedang lawan. Di lain fihak, Ceng Ceng merasa kagum dan heran bukan main. Memang ia sudah menduga bahwa pemuda ini lihai sekali.
Hal ini sudah ia buktikan ketika mereka beradu kekuatan lari. Akan tetapi melawannya dengan tangan kosong dan menghadapi pedang dengan sentilan kuku jari? Inilah hampir tak dapat dipercaya! Ia telah memainkan Ilmu Silat Pat-sian-jut-bun dari kitab yang dibawa oleh ayahnya dari Omei-san dan ayahnya sendiri ketika melihat ia mainkan ilmu pedang ini sudah mengaku bahwa ilmu pedang ini hebat sekali. Ayahnya sendiri tidak mungkin dapat menghadapinya hanya dengan sentilan kuku jari seperti yang dilakukan oleh pemuda dusun ini!
Akan tetapi, betapapun tinggi kepandaian Tiang Bu dan betapapun mudah baginya menyelamatkan diri dari ancaman pedang gadis itu, namun harus ia akui bahwa untuk mengalahkan Ceng Ceng tanpa melukai bukanlah hal yang mudah. Gadis itu nekat sekali dan sama sekali tak mau menyerah biar pun beberapa kali tangannya tergetar ketika pedang disentil oleh jari tangan Tiang Bu. Akan tetapi makin lama Ceng Ceng menjadi makin lemas dan ia sudah lelah sekali. Malam mulai menyelimuti bumi dan keadaan menjadi remang-remang. Baiknya sore-sore bulan sudah keluar dan melihat langit yang cerah, dapat dibayangkan datangnya malam yang terang dan indah, Ceng Ceng mulai marah dan memaki-maki.
"Pemuda sombong, tak tahu malu! Meminta kitab? Boleh bunuh dulu aku!"
"Gadis kepala batu! Mengapa mau mengukuhi kitab orang?" Tiang Bu membentak dan pada saat pedang gadis itu menusuk ulu hatinya, ia cepat miringkan tubuh sehingga pedang itu meleset di dekat dada, di bawah ketiak. Secepat kilat Tiang Bu menurunkan lengan. Sedangkan tangan kirinya ditotokkan ke arah pundak kanan Ceng Ceng. Totokan itu mengarah Kian-keng-kiat dan kalau mengenai sasaran tentu gadis itu akan roboh lemas. Ceng Ceng tidak sudi memberikan pundaknya ditotok, terpaksa ia melompat mundur dan melepaskan pedangnya,
Di lain saat Tiang Bu sudah mengejar dengan pedang rampasan di tangan. Pedang itu ditodonglan ke arah tenggorokan Ceng Ceng dan ia berkata keren.
"Hayo kaukembalikan kitab itu kepadaku!"
Akan tetapi Ceng Ceng malah bertolak pinggang dan mengedikkan mukanya, mambusungkan dadanya menantang.
"Tusuklah......! Tusuklah!!! Apa kau kira aku takut mati??"
"Ceng Ceng, siapa mau membunuhrpu? Aku hanya ingin minta kembali kitab dari Omei-san itu. Kalau kau sudah mempelajarinya, mengapa kau masih mengukuhi kitabnya? Untuk apa bagimu?" kata Tiang Bu sambil merunkan pedangnya.
"Habis bagimu sendiri untuk apakah? Kau sudah memiliki kepandaian kau sendiri sudah mempelajari banyak ilmu dari Omei-san. Mengapa aku mempelajari sebuah saja kau sudah iri hati? Apa kau mau kangkangi semua kepandaian di dunia ini?"
"Tidak demikian, jangan salah mengerti. aku minta kembali semua kitab yang diambil orang dari Omei-san, ini untuk mematuhi perintah suhuku. Bahayanya, kalau kitab terjatuh ke tangan orang jahat, bukankah kepandaian dari ilmu itu akan dipakai untuk kejahatan dan kareranya suhu-suhuku ikut berdosa?"
Gadis itu tersenyum mengejek, maksudnya menyakitkan hati Tiang Bu, tidak tahu bahwa senyumnya itu dalam pandangan Tiang Bu manis sekali dan sama sekali tidak menyakiti hati bahkan menyenangkan! "Bodoh! Kitab sudah kupelajari, kau ambil kembali ada gunanya apakah? Biarpun kitabnya tidak ada, tetap saja aku dapat mempergunakan ilmunya."
"Akan tetapi aku percaya kau bukan orang jahat," kata Tiang Bu.
"Kalau benar kau percaya begitu, mengapa kau tetap hendak minta kembali kitab itu. Mengapa tidak kau percayakan ke tanganku. Kau memang sombong dan murka!" Sambil berkata demikian, Ceng Ceng tiba-tiba menyerang dengan pukulan keras. Tian Bu mengangkat tangan dan menangkap pergelangan tangan gadis itu, sekali mengerahkan tenaga "menyedot" gadis itu tidak dapat meronta pula! Ia berusaha untuk memberontak melepaskan tangannya namun sia-sia. Dengan marah gadis itu menggerakkan tangannya menampar muka Tiang Bu, akan tetapi bagaikan seorang dewasa menghadapi seorang anak kecil yang rewel, Tiang Bu kemhali dapat menangkap sebelah lengan ini ke dalam tangan yang sudah memegang tangan kanan jadi kini dua lengan gadis itu menjadi satu dipegang oleh Tiang Bu.
"Kau masih belum kapok? Hayo katakan di mana kitab itu?" kata Tiang Bu.
"Di dalam saku baju dalamku! Kalau kau berani ambil. kau laki-laki ceriwis, kurang ajar dan cabul!" Ceng Ceng menantang. Pada saat itu berkelebat dua bayangan datang. Mereka ini adalah Lie Kong dan isterinya. Melihat kedatangan mereka, Tiang Bu cepat melepaskan tangan Ceng Ceng dan mukanya menjadi merah sekali. Ceng Ceng berlari menubruk ibunya sambil menangis.
"Maaf," kata Tiang Bu menjura.
"Aku tidak bermaksud menghina puterimu, Lie loenghiong. Akan
(Lanjut ke Jilid 19)
Tangan Geledek/Pek Lui Eng (Seri ke 03 -Serial Pendekar Budiman)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 19
tetapi dia bandel..."
Lie Kong tersenyum. Tadi ia sudah menyaksikan sambil bersembunyi dan melihat betapa hebat kepandaian Tiang Bu ketika menghadapi ilmu pedang anaknya. Tanpa ragu lagi pendekar ini maklum bahwa dia sendiri masih belum tentu dapat menangkan Tiang Bu. Saking kagumnya, timbul maksudnya mengambil mantu pemuda ini!
"Tiang Bu, apakah kau murid tunggal Omei-san?"
"Betul, lo enghiong."
"Kau bernama keturunan apakah?"
Tiang Bu bingung. Kalau ditanya tentang shenya, ia paling sukar menjawab dan hatinya tertusuk, teringat ia akan keadaannya masih belum pasti siapa ayah bundanya. Mengaku she Coa, ia tidak suka membohong mengaku she Liok, ia malu berayah Liok Kong Ji.
"Aku....... aku sendiri belum tahu, lo-enghiong. Namaku cukup dengan Tiang Bu saja."
Lie Kong tersenyum. Jawaban begini saja tidak mengherankan hatinya. Memang orang-orang yang berkepandaian selalu berwatak aneh, maka tidak mengherankan kalau pemuda ini juga berwatak aneh, agaknya tidak mau mengaku siapa orang tuanya.
"Tiang Bu, tentang kitab itu, kiranya apa yang diucapkan oleb Ceng Ceng tadi tidak terlalu salah. Kitab itu aman ada padanya, dialah yang bertanggung jawab bahwa ilmu itu takkan dipergunakan untuk kejahatan. Pula....... kalau kau setuju, kami akan merasa girang sekali kalau kau suka memberikan kitab itu kepadanya sebagai............ sebagai tanda mata!"
"Apa maksudmu, lo-enghiong?" tanya Tiang Bu heran.
Lie Kong memang biasa berkata terus terang, Sambil tersenyum akan tetapi matanya memandang sungguh-sungguh ia berkata.
"Aku tadi sudah bersepakat dengan isteriku bahwa kalau kau tidak keberatan, kami bermaksud menjodohkan anak tunggal kami yang bodoh itu dengan kau, Tiang Bu. Bagaimana jawabmu?"
Kalau saat itu ada kilat menyambar kepalanya, kiranya Tiang Bu takkan begitu terkejut seperti ketika mendengar "pinangan? ini. Seujung rambut dibagi tujuh ia tak pernah mengharapkan hal langka ini terjadi. Bagaimana sampai begitu "berharga tinggi" dipinang oleh seorang pendekar besar seperti Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong untuk dijodohkan dengan seorang dara jelita seperti Ceng Ceng? Bagaimana ia harus menjawab? Ceng Ceng cantik seperti bidadari, wataknya menggatalkan hati, gerak geriknya menggairahkan dan terus terang saja, hati Tiang Bu tertarik dan suka sekali. Kalau ia menolak berarti ia sudah berotak miring! Akan tetapi sebelum ia dapat menjawab, Ceng Ceng mendahuluinya dengan teriakan marah.
"Tidak.......!? Aku tidak sudi dijodohkan dengan pemuda berwajah monyet itu! Hidungnya pesek, bibirnya tebal, aku tidak suka!"
Kalau saja Tiang Bu lebih tua usianya dan sudah mendalam pengertiannya tentang hubungan laki-laki dan wanita, tentu ia akan merasa terhina sekali mendengar akan penolakan Ceng Ceng. Akan tetapi, kini mendengar bahwa Ceng Ceng menolaknya karena hiduungnya pesek dan bibirnya tebal, ia makin tertawa!
"Terima kasih, lo-enghiong. Aku tidak mau kawin, apalagi dengan seorang bocah kepala batu dan galak seperti dia itu. Aku hanya minta kembali kitab suhu. Aku yakin lo-enghiong yang ternama tidak akan sudi mengangkangi kitab orang lain." Saking jengkelnya Tiang Bu mengeluarkan sindiran ini. Merah wajah Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong mendengar ini, wajahnya yang tampan menjadi berkerut dan ia membentak puterinya.
"Ceng Ceng, bocah lancang! Hayo kau kembalikan kitab itu kepada murid 0mei-san ini!"
Ceng Ceng yang masib memeluk ibunya itu kini berkata dengan suara sedih dan takut.
"Tak mungkin, ayah. Kitab itu....... telah dirampas orang setengah bulan yang lalu?.."
Kagetlah Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong dan isterinya. akan tetapi dengan gemas Tiang Bu mencela.
"Bohong! Tadi kau bilang berada di dalam saku baju dalammu......!" Ia menghentikan kata-katanya dan mukanya menjadi merah.
Ceng Ceog melerok.
"Siapa bicara denganmu? Aku bicara dengan ayahku, dan kau tidak boleh turut campur!"
"Ceng Ceng, jangan kau main-main! Dimana kitab itu?" Ayahnya mendesak. Dengan suara mengandung kekecewaan, kedukaan, dan takut kepada ayahnya, dara itu lalu bercerita,
"Ketika itu aku sedang berlatih bagian terakhir dari Pat sian-jut-bun yang paling sukar. Karena ingin supaya gerakanku dalam bagian terakhir ini sempurna, aku keluarkan kitab itu dan membentangkannya di atas tanah. Setelah mempelajari aku lalu berlatih. Kitab itu masih terhentang di atas tanah. Kupikir keadaan di sana aman karena di tengah hutan yang sunyi. Sama sekali tak terduga, tiba-tiba muncul dua orang gedis yang cantik genit. Tadinya kukira dua orang gadis yang datang itu enci Pek Lian dan enci Ang Lian maka aku tidak begitu khawatir. Siapa kira begitu datang dan begitu aku melihat bahwa mereka itu sama sekali asing bagiku, belum aku sempat mengambil kitab Pat-siant-bun, seorang di antaranya telah menyambar dan merampas kitab.? Demikian Ceng Ceng memulai dengan penuturannya, didengarkan dengan penuh perhatian dan dengan kening berkerut oleh ayah bundanya dan Tiang Bu.
Gadis ini melanjutkan ceritanya. Melihat kitabnya dirampas orang, tentu saja ia menjadi marah bukan main, akan tetapi juga heran dan ingin tahu siapa adanya mereka itu.
"Eb, maling-maling cilik, kau berani mengambil kitabku? Hayo kembalikan!" bentaknya untuk sejenak tidak menyerang segera karena terlalu heran ada orang berani merampas kitabnya. Sebaliknya, dua orang gadis itu agaknya juga tidak memandang sebelah mata kepada Ceng Ceng, bahkan kurang memperhatikan, buktinya mereka berdua bicara sendiri tanpa memperdulikan makian Ceng Ceng.
"Adik Kim, tak salah lagi, inilah kitab Omei-san itu yang dicuri oleh keluarga dari timur." kata gadis pertama yang manis dan di dagunya terdapat tahi lalat kecil yang menambah manisnya.
"Benar, cici, dan budak parempuan ini agaknya anaknya." jawab gadis ke dua yang miliki sepasang mata yang indah dan sepenuhnya membayangkan watak genit baik dipandang dari alisnya yang panjang kecil dengan ujung menjungat ke atas, bulu matanya yang bitam panjang melengkung mendatangkan bayang-bayang pada pelupuk matanya dan kerling mata yang meruncing ke sudut.
Sementara itu Ceng Ceng sudah kehabisan kesabarannya. Cepat pedangnya bergerak menerjang gadis pertama yang tadi mengambil kitab sambil berseru.
"Maling kecil, kau mencari mampus!" Akan tetapi, sinar pedang yang kemerahan menangkis pedangnya itu dan ternyata gadis ke dua yang bermata genit itu telah menangkis dengan sebatang pedang pendek yang merah. Melihat cara lawan ini menangkis, diam-diam Ceng Ceng terkejut dan maklum babwa ia menghadapi lawan yang tidak rendah kepandaiannya. Ia mengeluarkan seruan keras dan kini ia menyerarg makin hebat, mendesak gadis berpedang merah sambil mainkan Ilmu silat yang baru ia pelajari dari kitab Omei-san itu. Gadis berpedang merah itu ternyata hebat pula ilmu pedangnya, cepat dan kuat gerakan pedang dan tenaganyapun tidak kalah oleh Ceng Ceng. Namun menghadapi desakan pureri Pek-thouw tiauw-ong ini yang marah sekali, ia terpaksa main mundur.
"Enci Lin. budak ini kepandaiannya boleh juga. Bantu aku!" teriak gadis berpedang merah. Tak lama kemudian sinar putih menyambar cepat dan Ceng Ceng terpaksa melompat mundur sambil menangkis datangnya serangan sinar putih yang ternyata lebih cepat dan kuat dari pada sinar pedang marah. Ternyata bahwa ilmu pedang gadis bertahi lalat di dagunya itu malah lebih tinggi dari pada! Namun dalam menangkis serangan ini, Ceng Ceng merasa yakin bahwa ia masih dapat mengimbangi kepandaian gadis berpedang putih ini, kalau saja ia tidak dikeroyok. Kini mereka maju bersama dan sepasang sinar marah dan putih itu menyambar-nyambar seperti kilat, membuat ia sibuk juga dan akhirnya terpaksa main mundur!
Dua orang gadis kakak beradik itu lalu tertawa dan si tahi lalat di dagu berkata.
"A Kim, budak ini manis sekali, jangan bunuh dia. Biarkan dia hidup dan kelak datang menyusul kita agar ada kegembiraan." Setelah berkata demikian. gadis itu bersama adiknya melompat dan berlari cepat.
"Demikianlah, ayah. Kitab itu mereka bawa pergi. Aku tidak berani memberitahukan ayah atau ibu, selain takut mendapat marah juga?.. malu. Tadinya anak pikir akan diam-diam menyusul mereka dan menumpas kembali, akan tetapi ayah mengajakku ke sini untuk membantu Huang-ho Sian-jin, terpaksa maksud itu tertunda."
Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong membanting-banting kakinya.
"Bocah bodoh! Selain kena dikalahkan orang, kau masih berkepala batu tidak segera memberi tahu kepadaku. Mereka itu benar-benar berani menghina kita. Apa kau tidak ada ingatan untuk bertanya siapa mereka itu pada waktu mereka pergi?"
"Ada kutanya nama mereka, ayah. Mereka mengaku bernama Liok Cui Lin dan adiknya Liok Cui Kim, bahkan sebelum pergi mereka menyatakan bahwa mereka tinggal di dalam Hutan Ui tiok-lim (Hutan Bambo Kuning) di lembah Sungai Luan-ho di luar tembok besar dekat Kota Raja Kin."
"Ui-tio-lim.......?" Pek thouw-tiauw-ong Lie Kong terkejut mendengar disebutnya tempat ini dan ia saling pandang dengan isterinya. Tempat itu sudah mereka kenal, sebuah tempat yang amat berbahaya, yang ratusan tahun yang lalu dibangun oleh seorang tokoh jahat dari utara. Tempat ini penuh rahasia dan tangan-tangan maut menjangkau dari tempat-tempat tersembunyi sehingga sudah sejak lama sekali tak seorangpun berani mendatangi tempat yang dianggap sebagai sarang iblis itu. Dan sekarang ditinggali oleh dua orang gadis yang sanggup merampas kitab dari tangan Ceng Ceng!
"Eh, mana dia.......?" Tiba-tiba Lie Kong bertanya kaget ketika menengok tidak melihat Tiang Bu di situ.
"Entah. dia tadi melangkah ke sini dan agaknya ada bayangan berkelebat di dekatku." kata Souw Cui Eng, isterinya, kemudian nyonya itu menjadi pucat.
"Katak itu telah hilang berikut tempatnya"
Lie Kong makin kagum.
"Hebat sekali!? Bocah itu, tentu dia yang mengambilnya, Ceng Ceng, apa kau tadi malihat Tiang Bu pergi?" Gadis itu memang sejak tadi memperhatikan Tiang Bu, akan tetapi iapun hanya melihat pemuda itu berkelebat dan lenyap, maka ia menggeleng kepala.
Lie Kong menarik napas panjang.
"Ceng Ceng, aku masih tetap ingin sekali menjodohkan kau dengan dia. Di dunia ini kiranya tidak mudah bagimu mencari jodoh seperti orang muda tadi. Sekarang kita bersiap-siap setelah selesai urusan di sini kita mengejar dua orang gadis Liok itu ke utara."
Tiang Bu memang telah mencuri katak dalam peti yang disimpan oleh Souw Cui Eng. Tadinya Tiang Bu merasa curiga karena nyonya ini beberapa kali meraba saku baju seakan-akan takut kalau ada barang penting lenyap dari saku itu. Ia tadinya mengira bahwa mungkin sekali kitab itu diam-diam disimpan nyonya ini. Maka mendengar penuturan Ceng Ceng bahwa kitab dari Omei san itu telah dirampas oleh dua orang anak perempuan Liok, ia menjadi kaget sekali. Karena tidak ada harapan lagi untuk mendapatkan kitab dari keluarga ini,. Tiang Bu lalu cepat pergi setelah lebih dulu ia menggunakan kepandaian dan kecepatannya untuk menyambar isi saku nyonya itu yang ternyata adalah peti kecil dengan katak ajaib yang pernah dilihatnya.
Kebetulan, pikirnya. Harta benda itu memang sudah sepatutnya kalau dipergunakan untuk menolong para korban banjir. Akan tetapi katak wasiat ini siapa tahu kalau-kalau menjadi benda simpanan Pangeran Wanyen Ci Lun, biar kuambil dan kukembalikan kepadanya. Setelah pergi dari lembah Sungai Huang-ho itu, Tiang Bu teringat akan pemuda dan dia gadis yang lihai dan yang tinggal di dalam kelenteng itu. Ia ingin tahu mereka itu siapa, terutama gadis itu benar-benar amat menarik hatinya.
Dengan mempergunakan ilmu lari cepatnya, Tiang Bu menyusul ke kuil yang pernah dilihatnya ketika ia mengejar Ceng Ceng. Ia ingin cepat bertemu dengan pemuda dan gadis yang aneh itu, ingin berkenalan, terutama sekali dengan gadisnya. Wajah gadis itu serasa tidak asing baginya, serasa pernah dilihatnya, entah di mana dan bilamana ia sudah lupa lagi.
Ketika ia tiba di dekat kelenteng tua, ia melihat banyak orang sedang hilir mudik mengangkuti barang-barang dari dalam kelenteng. Terayata yang diangkuti itu adalah barang-barang perabot rumah tangga yang indah yang tadinya menghias isi kelenteng! Apakah mereka hendak pindah? Tiang Bu benar-benar menjadi terheran-heran ketika mendapat kenyataan bahwa yang mengangkut adalah orang-orang berpakaian seperti tentara seragam. Dan mereka bekerja nampak tergesa-gesa sekali. Selagi Tiang Bu bingung tak tahu harus berbuat apa, ia mendengar suara senjata beradu di tempat jauh, arah dekat sungai. Terdengar suara lain lagi yang mendesak supaya para serdadu itu bekerja lebih cepat.
Karena tertarik, Tiang Bu cepat menyelinap di antara pepohonan dan menuju tempat pertempuran. Dan di dekat sungat ia melihat pemuda tampan dan gadis jelita itu benar-benar tengah bertempur melawan seorang pemuda tampan yang lain yang hebat sekali kepandaiannya. Pemuda itu tampan, bertubuh jangkung kurus, dahinya lebar seperti botak, mulutnya tersenyum-senyum mengejek dan mata yang bersinar-sinar aneh! Yang hebat, ia mainkan senjata yang luar biasa sekali, yaitu sebatang huncwe (pipa tembakau) yang panjangnya dua kaki, terbuat dari pada bambu badan batangnya dan tempat apinya dari tanah. Akan tetapi ia mainkan huncwe itu secara luar biasa sekaIi. Jelas kelihatan oleh Tiang bu bahwa pemuda tampan ini mainkan senjata huncwenya seperti orang mainkan pedang dan ilmu pedangnya inilah yang hebat.
"Eh, seperti Soan-hong-kiamsut (llmu Pedang Angin Puyuh)?? eh, mengapa begitu? Itu seperti Soan-lian kiamsut (Ilmu Pedang Teratai Saju)....." Tiang Bu berkata seorang diri ketika matanya mengikuti permainan pedang yang dilakukan dengan huncwe itu. Apalagi ketika tiba-tiba ia merasa sambaran huncwe itu mendatangkan hawa dingin, ia tidak ragu lagi bahwa tentu pemuda ini mengerah tenaga dalam Ilmu Pedang Teratai Salju, semacam ilmu pedang disertai lweekang tinggi yang asalnyn dari Omei-san!
"Siapa dia yang begini lihai.....?" tanya Tiang Bu dalam hati, membuat ia ragu untuk mencampuri pertempuran itu. Akan tapi kakak beradik itupun ternyata memiliki kepandaian yang tidak rengah. Hebat sekali adalah dara jelita itu, karena ia menghadapi lawannya dengan senjata yang lebih luar biasa lagi, yaitu dua ekor ular belang di kedua tangan kanan kiri.
Melihat senjata aneh di tangan dara cantik ini, Tiang Bu, melengong dan seperti dibuka matanya. Teringatlah akan peristiwa di puncak Gunung Omei-san ketika ia melihat dua orang gadis kecil bertempur, yang seorang adalah Lee Goat adiknya dan gadis kedua bukan lain adalah gadis ini. Tak salah lagi! Dan pemuda itu...... pemuda yang sekarang mempergunakan pedang dengan amat indahnya mengeroyok pemuda berhuncwe itupun bukan lain adalah pemuda yang kemudian datang melerai adiknya yang berkelahi. Akan tetapi, pendapat ini tetap saja tidak mendatangkan keyakinan di hati Tiang Bu apakah ia harus membantu mereka. Ia tidak mengenal mereka, juga tidak mengenal pemuda lihai berhuncwe itu, kalau tanpa mengetahui urusannya ia membantu sefihak, itu tidak adil sekali. Akan tetapi kalau didiamkanya saja. juga tidak betul karena ia merasa khawatir sekali akan keselamatan gadis itu.
Selagi ia ragu ragu, terdengar pemuda berhuncwe itu tertawa, suara ketawanya sungguh-sungguh berlawanan dengan wajahnya yang tampan dan sikapnya yang halus. Suara ketawanya parau, kasar dan kurang ajar. Apalagi ucapannya yang menyusul ketawanya itu.
"Ha, ha ha, menurut patut aku harus membikin mampus kalian ini, budak-budak bangsa Kin! Akan tetapi...... aduh sayang sekali kau, gadis manis. Mari ikut dengan aku mengejar kebagiaan, dan aku akan mengampuni jiwa budak yang menjadi kakakmu ini."
Kata-kata ini saja cukup bagi Tiang Bu untuk mengambil keputusan membantu gadis itu. Bukan karena ia kini tahu bahwa gadis dan kakaknya itu bangsa Kin, ia tidak mempunyai hubungan dengan bangsa Kin, akan tapi kenyataan bahwa pemuda berhuncwe itu ternyata cabul dan jahat cukup membuat ia menganggapnya bersalah.
"Setan pemadatan jangan kau menjual lagak," bentak Tiang Bu dan begitu ia menyerbu, pemuda berhuncwe itu terkejut setengah mati. Tadinya ia sudah melihat datangnya pemuda sederhana ini, akan tetapi tidak memperhatikannya dan tidak memandang sebelah mata, mengira bahwa pemuda itu bukan lain adalah seorang di antara "kuli-kuli" pemuda dan gadis itu. Kiranya sekarang begitu membentak dan menyerbu dengan tangan kosong angin dorongan tangannya menyambar hebat dan hampir saja huncwenya terlepas dari pegangan dan hampir terampas kalau saja tidak cepat-cepat melompat mundur.
Dara jelita dan pemuda itu seperti pembaca sudah dapat menduga adalah Wan Bi Li dan kakaknya, Wan Sun, melihat datangnya benturan, dapat bernapas lega. Tentu saja mereka mengenal Tiang Bu sebagai pemuda yang kemarin mengejar-ngejar Ceng Ceng, akan tetapi karena sekarang pemuda ini membantu mereka melawan si pemegang huncwe yang lihai, mereka segera bersiap untuk mangeroyok pemegang huncwe itu.
Pada saat semua barang dari dalam kuil sudah diangkut ke sebelah perahu besar yang sejak tadi berada di tepi pantai sungai dan muncullah seorang panglima gundul dari dalam perahu itu.
"Bi Li dan kongcu, mari kita berangkat!" seru panglima ini dengan suara keras. Dua orang pemuda itu biarpun ragu-ragu tak berani membantah perintah ini dan segera mereka melompat keluar dari kalangan pertempuran, membiarkan Tiang Bu seorang diri menghadapi si pemegang huncwe, terus mereka berlompatan lari ke atas perahu.
"Gadis manis tunggulah aku!" Si pemegang huncwe berseru dan tubuhnya berkelebat mengejar. Bukan main cepatnya gerakannya ini karena tahu-tahu ia sudah berada di dekat Bi Li yang melarikan diri dan begitu mulutnya ditiupkan segulung asap ungu menyambar ke arah muka Bi Li dan gadis itu terguling! Akan tetapi, Tiang Bu yang tadinya bengong dan heran mengenai panglima gundul di perahu besar itu adalah Kwan Kok Sun atau orang gundul yang dahulu membunuh suhunya, Bu Hok Lokai kini menjadi sadar melihat tergulingnya Bi Li. Ia berseru keras dan pemuda berhuncwe yang sudah membungkuk untuk menyambar tubuh Bi Li, tiba-tiba terpental dan bergulingan sampai beberapa tombak jauhnya. Ternyata ia telah kena didorong oleh Tiang Bu yang marah sekali.
Hebatnya, dorongan yang dilakukan dengan tenaga lweekang besar itu agaknya tidak melukai pemuda berhuncwe ini. Ia telah bangkit kembali dan telah melompat ke dekat Tiang Bu dengan muka bengong terheran, bahkan saking herannya melihat kelihaian Tiang Bu tadi, ia sampai tidak memperhatikan dan tidak perduli lagi melihat Bi Li dipondong oleh kakaknya dan dibawa lari ke atas perahu. Kemudian perahu dengan cepat berlayar ke tengah sungai yang sedang banjir!
"Bagus, jadi kau mempunyai sedikit kepandaian? Setan belang, kau ini siapakah berani sekali mencampuri urusanku!"
Tiang Bu tersenyum, lega melihat gadis manis itu sudah pergi dengan aman. Kini ia mendapat banyak kesempatan untuk melihat dan memperhatikan pemuda itu. Pemuda itu paling banyak berusia dua puluh satu tahun dan biarpun wajah dan gerak-geriknya serta pakaiannya menandakan bahwa dia itu seorang sopan terpelajar namun sepasang matanya membuat orang berdebar ngeri. Sepasang mata mempunyai sinar yang aneh menyambar-nyambar dan seperti bukan mata manusia. Di dalam matanya inilah letak keistimewaan dan mungkin kejahatan pemuda ini, pikir Tiang Bu, kagum melihat seorang masih begini muda sudah memiliki kepandaian tinggi. Ia amat tertarik karena tadi ia mengenal dua ilmu pedang terbayang dalam ilmu pedang yang dimainkan dengan huncwe oleh pemuda ini, dan dua ilmu pedang yang berasal dari Omei-san.
"Sobat, ilmu silatmu hebat sekali. Sayang kau berlaku kurang sopan kepada seorang gadis terhormat. Setelah gadis itu pergi, perlukah kita meneruskan permusuhan? Bukankah lebih baik kita berkenalan? Namaku Tiang Bu dan aku sama sekali tidak mempunyai permusuhan dengan kau, hanya tadi aku ingin menolong nona itu......"
Akan tetapi ia melongo ketika tiba-tiba pemuda berhuncwe itu terbahak-bahak sambil memegangi perutnya dan kadang-kadang menatap wajahnya. Tiang Bu merasa seakan-akan mukanya ada coretan arang, ia menjadi gemas sekali akan tetapi diam-diam ia meraba-raba mukanya kalau kalau muka itu kotor dan kelihatan lucu membuat orang tertawa seperti tadi.
"Ha-ha ha-ha, kau......? Kau yang bernama Tiang Bu ......!? Ha-ha ha ha. kok begini saja macamnya? Lucu...... lucu......!"
Pada saat itu, dari jauh terdengar suara wanita bertanya.
"Twako kau tertawa-tawa gembira ada apakah?"
Mendengar pertanyaan ini, pemuda Itu makin keras ketawanya dan Tiang Bu diam-diam terkejut. Suara pertanyaan Itu dikeluarkan orang dari tempat jauh dengan pengerahan ilmu Coan im-jip-bit (Mengirimi Suara dari Jauh) yang cukup lihai, tanda bahwa wanita yang bicara tadipun memiliki kepandaian tidak boleh dipandang ringan.
"Moi moi, kalian lekas datang ke sini. Ada hal yang amat menyenangkan dan menggelikan hati. Lekas!" Pemuda berhuncwe menjawab, juga dengan pengerahan Ilmu Coan lm-jip-bit ke arah barat dari mana suara datang.
Baru saja gema suara ini lenyap, dari barat berlari datang dua orang gadis berpakaian serba merah dan ketika dua orang gadis itu datang dekat, Tiang Bu mendapat kenyataan bahwa mereka ini masih muda belia, paling banyak usia mereka sembilan belas dan delapan belas tahun, keduanya cantik-cantik dan manis-manis menggairahkan. Apalagi cara mereka berpakaian amat ketat dan ringkas, mencetak bentuk tubuh mereka yang bagaikan kembang baru mekar-mekarnya sehingga muka Tiang Bu menjadi merah padam melihat lekuk-lekuk tubuh yang kencang menantang dan dicetak oleh pakaian tipis, padahal biasanya disembunyikan rapat-rapat oleh setiap orang gadis sopan. Gadis pertama yang mempunyai tahi lalat merah kecil di dagunya berusia paling banyak sembilan belas tahun, matanya galak kejam akan tetapi bibirnya yang indah bentuknya itu tersenyum manis sekali. Gadis kedua yang lebih muda sedikit amat menarik karena memiliki sepasang mata yang bening dan indah bentuknya, bergerak-gerak dengan amat genit, kerlingnya tajam menyambar-nyambar dari ujung mata.
"Apa yang menyenangkan hati twako tanya gadis bertahi lalat sambil memandang kearah Tiang Bu.
"Apakah pemuda seperti ini kau bilang menyenangkan?"
"Biarpun tidak menyenangkan, memang betul dia menggelikan," kata gadis ke dua dan kerlingnya menyambar ke arah muka Tiang Bu yang menjadi makin merah, semerah warna pakaian dua orang dara lincah ini.
"Enci Lin, kaulihat, matanya lapar betul."
Memang sepasang mata Tiang Bu menyapu mereka berdua dan nampaknya "lapar" sekali, padahal pemuda ini memperhatikan mereka karena amat tertarik melihat keadaan mereka ini seperti yang digambarkan oleh Ceng Ceng! Tahi lalat di dagu itu! Dan sikap dua orang gadis ini, tak salah lagi inilah dua orang gadis she Liok yang telah merampas kItab Omei-san dari tangan Ceng Ceng. Sebelum ia sempat menegur atau bertanya, pemuda yang memegang huncwe itu sudah berkata,
"Kalian tidak tahu, beliau ini bukan orang lain, akan tetapi inilah dia yang bernama Tiang Bu!"
Disebutnya nama ini benar-benar mendatangkan perubuhan besar pada dua orang dara manis itu. Lenyap muka yang tadinya geli mentertawakan itu, terganti oleh perasaan heran, kagum, dan bahkan..... mencari-cari muka.
"Memang namaku Tiang Bu apakah anehnya dengan itu? Kalian ini siapa?" Pemuda berhuncwe itu membusungkan dada, berdiri dengan sikap menantang di depan Tiang Bu, lalu menjawab dengau suaranya yang kasar dan serak,
"Mau tahu namaku? Aku...... Cui Kong namaku tidah kalah baiknya dengan namamu, juga aku lebih tampan. Adapun tentang kepandaian, aku tidak kalah kalau belum mencoba. Sambut ini!" Begitu kata-kata ini dikeluarkan huncwe itu meluncur cepat menusuk tenggorokan Tiang Bu, disusul oleh tangan kiri yang masuk ke perut dengan telapak miring seperti pedang membacok. Inilah serangan maut yang luar biasa lihai dan berbahayanya.
"Bagus!" seru Tiang Bu yang cepat sekali reaksinya menghadapi serangan dahsyat yang dilancarkan secara tiba-tiba ini. Ia maklum bahwa pemuda di depannya ini tidak main-main dan menyerangnya dengan mati-matian, begitu pula bahwa pemuda yang mengaku bernama Cui Kong ini memiliki kepandaian lebih tinggi dari pada kepandaian Ceng Ceng, bahkan lebih tinggi dari pada kepandaian Bi Li dan kakaknya. Cepat ia mengerahkan ginkangnya, berkelebat mengelak tusukan huncwe ke tenggorokan sedangkan tangan kiri lawan yang membacok perutnya itu ia sambut dengan tangan kanan untuk dicengkeram.
Akan tetapi Cui Kong ternyata cerdik dan gesit sekali. Rupanya pemuda tampan inipun sudah dapat menduga akan kelihaian Tiang Bu dan karenanya merasa jerih untuk mangadu tangan. Cepat ia menarik kembali tangan kirinya yang seperti seekor ular tahu-tahu telah menyusup ke dalam saku bajunya dan keluar lagi, kemudian dibarengi bentakan aneh, dari mulut pemuda itu menyambar asap ungu dan dari tangan kirinya menyambar jarum-jarum hitam, sedangkan huncwenya meluncur lagi ke arah ulu hati Tiang Bu. Sekaligus tiga macam serangan yang dapat merenggut nyawa telah mengurung Tiang Bu.
"Ganas dan keji......!" seru Tiang Bu kaget. Ia cepat melompat sambil mengumpulkan sinkangnya menggerakkan tangan berulang-ulang untuk memukul runtuh jarum-jarum hitam yang menyambar ke arahnya itu dengan hawa pukulannya, sedangkan dengan tenaga khikang yang mengagumkan, ia meniup arah asap ungu itu sehingga buyar dan terbang tetbawa angin.
"Hebat.......!" demikian dua orang gadis menonton pertempuran itu memuji kepandaian Tiang Bu. Juga Cui Kong diam-diam merasa kagum dan kaget sekali melihat cara Tiang Bu menghadapi semua serangan dengan demikian aneh dan mudah. Namun masih merasa penasaran dan dengan marah kembali menyerang dengan empat cara, yaitu dengan huncwe, dengan asap ungu, dengan jarum-jarum hitam atau dengan tangan kirinya. Setiap gerakan dalam serangan ini merupak tangan maut menjangkau ke arah nyawa Tiang Bu, karena serangan huncwe selalu ditujukan kepada bagian tubuh yang berbahaya, sedangkan asap ungu dan jarum hitam itu semuanya mengandung racun yang amat jahat, juga pukulan-pukulan tangan kiri selalu mengarah jalan darah kematian.
Menghadapi serangan-serangan lawan yang amat ganas ini, Tiang Bu marah sekali. Akan tetapi dia tidak sekeji Cui Kong dan tidak mau dia menewaskan orang tanpa sebab. Kalau Tiang Bu menghendaki, dengan ilmunya yang jauh masih berada di atas tingkat Cui Kong kiranya mudah saja ia mengeluarkan serangan maut sebagai balasan yang takkan mungkin dapat dihindari oleh lawannya. Akan tetapi Tiang Bu tidak berniat membunuh orang. Ia hanya ingin mengukur sampai di mana kepandaian pemuda ini dan ingin mengalahkannya tanpa membunuh atau melukai berat. Inilah yang sukar karena pemuda inipun bukan orang lemah dan memiliki kepandaian tinggi sekali, maka mengalahkan dia tanpa melukai berat atau membunuh, hanya mudah dibicarakan akan tetapi pelaksanaannya sukar sekali.
"Aha, kau benar lihai, dan hatimu lemah sekali. Ha-ha-ha!" berteriak-teriak Cui Kong memuji dibarengi ejekan-ejekan yang memanaskan hati.?Lihat, alangkah manisnya Cui Lin dan Cui Kim itu, alangkah bagusnya bentuk badannya. Eh, Tiang Bu, kalau kau bisa menangkan aku, akan kuberikan mereka kepadamu untuk menyenangkan hatimu!?
Tiang Bu marah sekali dan berusaha sekerasnya untuk merobohkan lawan yang lihai tangan lihai mulut ini. Seratus lima puluh jurus sudah lewat dan selama itu Tiang Bu tetap menghadapinya dengan tangan kosong. Makin lama Tiang Bu makin terkejut oleh karena ilmu silat dari pemuda di depannya itu selain lihai sekali juga banyak macamnya dan diantaranya terdapat ilmu pedang yang sifatnya tak salah lagi bersumber pada ilmu-ilmu Omei-san Di lain pihak, biarpun mulutnya mengomel namun Cui Kong diam-diam merasa panas bukan main. Belum pernah selama hidupnya menghadapi lawan sehebat ini yang melayani huncwe dan senjata-senjata rahasianya hanya dengan dua tangan kosong untuk selama seratus lima puluh jutus, sedikitpun tak pernah terdesak bahkan mendesaknya dengan hebat. Saking gemas dan penasaran, ia melompat mundur dan melakukan pelanggaran apa yang dilarang oleh ayahnya, yaitu melakukan pukulan dahsyat ajaran ayahnya. Pukulan Tin-san-kang (Pukulan Mendorong Gunung). Tubuhnya agak merendah setengah berjongkok selagi Tiang Bu mengejar maju, Cui Kong dorong dengan kedua tangan kosong ke depan mulutnya membentak,
"Roboh......!!"
Hebat tekali pukulan Tin-san-kang ini. Pukulan ini asalnya ciptaan seorang tosu kenamaan, ketua lm-yang bu pai dan bernama Giok Seng Cu. Tosu rambut panjang ini adalah murid Pak Hong Siansu. Oleh Giok Seng Cu ilmu ini diturunkan kepada Liok Kong Ji dan dari Liok Kong Ji menurun kepada Cui Kong. Dalam menggunakan ilmu ini, ternyata Cui Kong tidak kalah lihainya oleh Liok Kong Ji.
Tiang Bu merasa seperti terbawa tiupan angin keras, dan ia tidak kuasa menahan lagi. Biarpun ia sudah mengerahkan tenaga sehingga pukulan ini sama sekali tidat dapat melukainya, namun dorongan hawa pukulan dahsyat ini membuatnya terlempar ke belakang dan roboh terlentang! Saking kaget dan kagumnya ia tidak cepat-cepat berdiri dan ini dipergunakan oleh Cui Kong yang berwatak licik. Melihat betapa Tiang Bu hanya roboh saja dan pada mukanya tidak terlihat tanda kesakitan melainkan keheranan, Cui Kong masih belum puas akan kemenangannya, cepat ia melompat mendekati dan kini dari jarak dekat ia melancarkan pukulan Tin-san-kang pada perut Tiang Bu. Pukulan maut!
Kali ini Tiang Bu tidak mau mengalah lagi karena menghadapi bahaya sebesar itu, mengalah berarti mati. Dengan tubuh masih telentang di atas tanah, ia menggerakkan kedua tangannya dipukulkan ke atas, ke arah dua tangan Cui Kong yang menghantamnya.
Biarpun tidak kelihatan dua pasang tangan bertemu, namun pertemuan dua tenaga raksasa di tengah udara itu akibatnya hebat sekali. Tubuh Tiang Bu yang terlentang itu melesak ke dalam tanah sampai sejengkal lebih, sedangkan tubuh Cui Kong bagaikan tertendang dari bawah, terpental ke atas kemudian roboh lemas dan muntah-muntah darah!
"Saudaraku Tiang Bu, aku mengaku kalah?.. kau patut menjadi putera sejati dari ayah....." kata Cui Kong dan dua orang gadis itu maju dan merangkul pundak Tiang Bu.
"Koko, kau benar-benar lihai sekali?." kata Cui Lin sambil meremas remas tangan Tiang Bu.
"Koko, kau nanti harus ajarkan pukulan hebat itu kepada adikmu ini, biar upah. kuberi dulu......
" kata Cui Kin dan cepat meraih kepala Tiang Bu untuk ditarik dan diciumnya pipi pemuda itu dengan bibir dan hidungnya.
Hal ini sama sekali di luar dugaan Tiang Bu. Karuan saja ia menjadi gelagapan hampir saja ia mendorong dua orang gadis itu kalau saja tidat terjadi hal yang aneh di dalam dirinya. Entah mengapa, begitu dua orang gadis itu merangkulnya dan bersikap manja dan manis, begitu kulit lengan yang halus putih bersentuhan dengan kulit leher dan lengannya, begitu keharuman bunga-bunga yang keluar dari pakaian mereka menyentuh hidungnya, tiba-tiba saja Tiang Bu menjadi panas seluruh tubuhnya. Dadanya berdebar tidak karuan, kepalanya seperti berdenyut-denyut, pandang matanya berkunang dan pikirannya menjadi tidak karuan.
Tiba-tiba saja timbul sesuatu yang mendorongnya untuk merasa senang, merasa gembira bersentuh kulit dengan dua orang gadis ini, bahkan membuatnya ingin membalas dan menyambut tangan dan belaian mereka. Pendeknya dalam waktu singkat dan secara aneh sekali, nafsu binatang telah menguasai hati dan pikiran Tiang-Bu, sukar untuk dilawan lagi. Sementara itu, Cui Kong sudah bangun berdiri dan menghapus darah yang melumuri bibirnya, lalu menghampiri Tiang Bu sambil menjura dan berkata,
"Benar-benar siauwie takluk sekali, kepandaian Tiang Bu koko patut dikagumi dan tentu akan membanggakan hati ayah kita."
Tiang Bu agak tersadar dari pada buaian pengaruh aneh yang memabokkannya melihat kedatangan Cui Kong, akan tetapi ia menjadi terheran-heran.
"Kalian ini siapakah? Dan apa maksud kata-kata yang ganjil itu?"
"Saudara tua Tiang Bu harap maklum bahwa aku adalah
Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
putera angkat dari ayahmu Liok Kong Ji, jadi kita masih terhitung saudara, dan mereka ini, Cui Lin dan Cui Kim adalah??"
"Kami juga saudara-saudara angkat, akan tetapi seperti telah dijanjikan oleh Cui Kong toako tadi, setelah dia kalah maka kami menjadi......
" setelah berkata demikian, dengan stkap genit sekali Cui Lin menggandeng tangan kanan Tiang Bu sedangkan tangan kiri pemuda itu digandeng oleh Cui Kim! Adapun Cut Kong memandang dengan tersenyum girang, lalu katanya.
"Tiang Bu koko, mari silakan mengaso di tempat di mana kita dapat bercakap-cakap dengan senang."
"Kita bukan saudara......" bantah Tiang Bu lemah karena hatinya makin tidak karuan ketika dua tangannya digandeng dan dibelai oleh dua orang dara cantik itu.
"Aku...... aku bukan anak Liok Kong Ji?"
Akan tetapi sambil tertawa-tawa Cui Kim berkata.
"Aah, koko jangan kau main-main" dicubitnya lengan pemuda itu dan ditarik-tariknya maju. Sambil tertawa-tawa dua orang gadis itu membetot Tiang Bu yang terpaksa berjalan bersama mereka, sungguhpun mukanya masih memperlihatkan keraguan Cui Kong di sepanjang jalan terus menerus "bernyanyi? memuji kegagahan, kelihaian Tiang Bu. Bahkan kini dua orang gadis itu mulai memuji-muji ketampanan Tiang Bu, pada hal tadi mereka mencela.
Anehnya. Tiang Bu yang biasanya berwatak gagah dan bersemangat, kini seakan-akan pikirannya diselubungi sesuatu yang membuat daya pikirannya tumpul, membuat ia seperti kehilangan semangat dan seluruh tubuhnya dikuasai oleh nafsu, kotor. Tentu saja ia tidak menyangka sama sekali bahwa hal ini adalah akibat pengeruh katak ajaib yang ada di dalam saku bajunya! Katak hijau itu memang betul semacam katak yang beracun aneh, seperti yang pernah dikatakan oleh Pek-thouw tiauw-ong Lie Kong bahwa katak hijau itu adlah katak pembangkit asmara. Racun yang keluar dari tubuh katak itu menjalar kepada orang yang membawanya dan mendatangkan pengaruh yang luar biasa kuatnya sehingga orang yang membawanya akan diserang nafsu berahi yang tidak sewajarnya, membuat orang itu gelap mata dan kehilangan semangatnya.
Kalau si pembawa tidak bersentuhan kulit dengan wanita, maka pengaruh katak itu tidak terasa. Akan tetapi sekali orang bersentuhan kulit dengan seorang wanita, ia akan terpenguruh hebat sekali, apa lagi jika yang terpengaruh itu orang yang memang pada dasarnya mempunyai watak romantis. Adapun Tiang Bu, sebagai putera Liok Kong Ji yang aseli, ternyata sedikit banyak ada?darah? ayahnya mengalir di tubuhnya yang membawa watak "gila perempuan" dari ayahnya itu kepadanya. Oleh sebab inilah maka mudah sekali dibinggapi penyakit dari racun katak itu.
Bagaikan orang mabuk, Tiang Bu menurut saja digandeng dan ditarik oleh Cui Lin dan Cui Kim, seperti seekor kerbau ditarik hidungnya. Mereka menuju ke sebuah pondok kecil yang berada di sebuah hutan, belasan li dari pantai sungai tadi di mana perahu besar ng membawa Bi Li dan Wan Sun menghilang.
Seperti kelenteng tua yang ditinggali Bi Li dan Wan Sun tadi, pondok inipun dalamnya serba indah dan mewah, bahkan di sini terdapat tiga orang pelayan laki-laki. Cui Kong segera memberi perintah kepada para pelayan untuk mengeluarkan hidangan arak wangi dan Tiang Bu dijamu dengan segala kehormatan.
Dengan ramah-tamah Cui Kong menuangkan arak wangi dalam cawan besar penuh dan memberikan cawan itu kepada Tiang Bu.
"Tiang Bu koko, silakan menerima ucapan selamat bertemu dari siauwte dengan segelas arak
"Aku...... aku tidak biasa minum arak," kata Tiang Bu menolak.
Akan tetapi Cui Kim merangkul lehernya dan menerima cawan arak itu lalu menempelkannya pada bibir Tiang Bu sambil berkata "Koko, apakah kau tidak suka kepada kami. Terimalah. biar ucapan selamat itu ditambahi oleh penghormatanku." Dihadapi bujuk rayu oleh si jelita dalam keadaan dia sedang terpengaruh oleh racun katak hijau, mana Tiang Bu dapat menolaknya? Sambil tersenyum-senyum bingung ia akhirnya menerima juga minum arak itu. Akan tetapi begitu arak itu mrmasuki mulutnya, hawa sinkang di dalam tubuhnya otomatis naik den menahan arak itu sehingga tidak sampai masuk ke tenggorokan. Tiang Bu merasa sesuatu yang panas, pedas dan nenusuk-nusuk dari arak itu maka di dalam setengah sadarnya ia bercuriga. Cepat ia memutar kepala ke samping dan menyemburkan arak itu ke tanah.
"Racun......!" katanya. Sebenarnya seruan itu hanya karena kagetnya saja merasa sesuaru yang amat tidak cocok di dalam mulutnya, akan tetapi tanpa disengaja ia telah mengeluarkan seruan yang amat tepat. Kalau saja Tiang Bu memperhatikan, tentu ia melihat betapa wajah Cui Kong dan dua orang gadis itu menjadi pucat. Bahkan Cui Kong sudah menarik huncwenya, bersiap kalau-kalau Tiang Bu akan menyerang. Akan tetapi karena melihat Tiang Bu tidak menyerangnya, Cui Kong lalu menyambar cawan arak di tangan Tiang Bu yang masih ada sisa araknya.
"Kurang ajar, kau berani mencoba meracuni kakakku?" bentaknya kepada pelayan yang tadi mengeluarkan hidangan.
"Tidak...... siauwya...... bukankah siuwya menyuruh hamba......"
Kata-kata pelayan yang menjadi ketakutan itu dipotong cepat oleh Cui Kong.?Aku menyuruhmu mengeluarkan arak terbaik dan yang paling wangi, akan tetapi apa yang kau hidangkan? Arak obat luka, arak yang mengandung racun. Hayo kau minum ini!? Ia mengulurkan tangan memberikan cawan itu, akan tetapi pelayan itu dengan muka pucat dan tubuh gemetar mundur tidak mau menerimanya.
"Tidak...... tidak...... ampun siauwya?"
Akan tetapi sebuah totokan dengan ujung huncwe membuat pelayan itu berdiri kaku dengan mulut ternganga, kemudian sekali menggerakkan cawan, isi cawan itu tertuang ke dalam mulut terus memasuki perut si pelayan yang bernasib malang. Setelah itu Cui Kong menotok pula jalan darah pelayan itu membebaskannya. Akan tetapi racun sudah bekerja dan seketika itu juga pelayan itu terjungkal, berkelojotan dan...... mati.
"Akh, mengapa dia dibunuh?" Tiang Bu mencela, kaget dan ngeri.
"Dia tentu pesuruh musuh-musuhmu, twako. Dia itu pelayan yang baru saja tiga hari bekerja pada kami. Kalau tidak dibunuh, dia bisa berbahaya," jawab Cui Kong yang segera menyuruh dua orang pelayan lain untuk mcngurus mayat pelayan sial itu. Kemudian ia mengundurkan diri dan mempersilakan Tiang Bu bersenang-senang dengan dua orang gadis itu.
Tiang Bu benar-benar seperti orang lemah. Tak kuasa ia mengusir pengaruh racun katak pembangkit asmara itu dan akibatnya membawa ia seperti buta, tidak dapat ia menolak cumbu rayu kedua orang gadis yang sikapnya amat manis, mesra dan penuh cinta kasih kepadanya. Tiang Bu menjadi lupa akan segala ilmu batin yang pernah dipelajarinya, ia tidak berdaya dan menurut saja dirinya dibawa dan diseret ke jurang kehinaan oleh dua orang gadis yang biarpun pada lahirnya cantik-cantik, namun di lubuk hatinya sebetulnya adalah siluman-siluman bermuka manusia ini.
Pada keesokan harinya, seperti orang yang baru sadar dari maboknya, Tiang Bu mendapatkan dirinya terlentang di atas pembaring, di dalam kamar yang indah dan harum. Ia tak melihat Cui Lin dan Cui Kim dan tubuhnya terasa kaku dan sakit-sakit ketika ia hendak bangun. Pada saat itu, perasaannya yang sudah terlatih, juga berkat sinkangnya yang tinggi. ia tahu akan adanya senjata-senjata rahasia yang menyambar. Cepat sekali reaksinya dan di lain saat ia telah menggelundungkan tubuh ke bawah ranjang dan cepat melompat berdiri pada saat ujung huncwe di tangan Cui Kong menusuk ke arah matanya.
Tiang Bu kaget bukan main. Serangan ini luar biasa cepatnya dan pula sedang dalam keadaan limbung. pikirannya masih belum sadar benar, baiknya ilmu silat yang dilatih bertahun tahun oleh Tiang Bu adalah ilmu silat tinggi yang jarang bandingannya di dunia. Kedua kakinya secara otomatis sudah bergerak menurutkan Ilmu Kelit Sam-hoan-sam-bu. Kedua kaki ini ketika bergerak dalam I lmu Kelit Sam-hoan-sam-bu, seakan-akan dua ekor ular saja lemasnya dan tahu-tahu tubuhnya sudah melejit ke samping dan bebaslah ia dari tusukan yang mengarah matanya.
Sebelum ia dapat mengatur kembali posisinya. Cui Kong telah menerjangnya lagi dengan ilmu silatnya yang cepat dan lihai, dengan serangan-serangan bertubi-tubi yang amat ganas dan dahsyat. Kamar itu cukup lebar, tetapi karena di situ terdapat meja kursi, sukar juga bagi Tiang Bu untuk menghindar diri dari serangan-serangan yang bertubi-tubi dan amat lihai itu, sehingga dua kali ia terkena juga tusukan ujung bambu huncwe, sekali pada pahanya, dan kedua kalinya pada pundaknya. Baiknya tubuh pemuda ini sudah luar biasa kuatnya, kebal dan tidak mudah terluka sehingga tusukan-tusukan yang demikian cepat dan kerasnya itu hanya merobek pakaian dan sedikit daging di bawah kulit saja, sama sekali tidak mendatangkan luka yang membayakan.
Marahlah Tiang Bu. Tadinya ia belum membalas karena tidak tahu apa sebabnya ia diserang mati-matian oleh pemuda yang mengaku sebagai saudararya itu. Akan tetapi, luka-luka di pundak dan pahanya membuat ia maklum bahwa tanpa perlawanan, ia akan menghadapi malapetiaka. Sambil berseru keras yang merupakan bentakan dahsyat, Tiang Bu mementang kedua tangannya dan sepuluh jari tangannya didorongkan ke depan. Inilah pukulan dahsyat sekali dari Ilmu Pukulan Pek-lo (Jari-jari Geledek). Masih balk bagi Cui Kong bahwa Tiang Bu tidak bermaksud membunuhnya maka pukulan dahsyat ini ditujukan ke bawah. Cui Kong menjerit keras dan terlempar keluar kamar, kedua tulang pahanya remuk.
Tiang Bu hendak melompat keluar pula, tetapi tiba-tiba Cui Lin dan Cui Kim lari masuk dan memeluknya.
"Koko yang baik, jangan bunuh dia?" Cui Lin membujuk sedangkan Cui Kim memeluknya erat-erat. Begitu dua orang gadis itu berada di dekatnya, lemaslah seluruh tubuh Tiang Bu, lenyap kemarahannya.
"Akan tetapi...... kenapa dia...... hendak membunuhku?" tanyanya, keningnya berkarut matanya bersinar penasaran.
"Duduklah..... biar kuterangkan kepadamu..." kata Cui Lin dan bersama adiknya ia menyeret Tiang Bu untuk duduk di atas ranjang.
"Sesungguhnya, terus terang saja, dia mempunyai hati kepadaku, akan tetapi aku tidak membalas cintanya dan ...... dan cinta padamu. Ini agaknya membuat iri dan cemburu dan tanpa tanya lagi dia menyerangmu. Akan tetapi dia sudah mendapat bagiannya dan tentu kapok. Biar dia pergi dari sini, jangan kita perdulikan dia."
"Koko, kau...... kau gagah parkasa hebat......!I" Cui Kim memuji dan nampak bangga sekali.
Untuk kedua kalinya Tiang Bu roboh. Racun katak sudah menjalar memasuki darahya membuat ia lupa daratan dan tidak tahu bahwa dua orang wanita cantik ini mengatur siasat untuk mencelakakannya. Namun, Cui Kim dan Cui Lin agaknya jerih menghadapi kelihaian ilmu silat Tiang Bu, sehingga sampai sebulan lebih mereka mengajak Tiang Bu bersenang-senang di tempat itu. Segala keperluan disediakan oleh dua orang pelayan itu dan anehnya, di tempat sesunyi itu apa saja yang dikehendaki mereka akan tersedia, makanan-makanan yang mahal atau minuman-minuman yang lezat. Dalam maboknya, hal inipun tidak menarik perhatian Tiang Bu, apalagi menimbulkan kecurigaannya.
Di luar pengetahuannya, makin lama tubuh Tiang Bu makin lemas. Racun katak itu memang hebat. Kalau yang dirangsang tidak melayaninya, racun itu takkan ada gunanya dan akan mati sendiri. Sebaliknya, apabila orang yang dirangsang menuruti dorongan nafsu yang timbul dari rangsangan racun ini, racun itu akan bekerja makin hebat, mengeram dalam jalan-jalan darah dan menyerang jantung. Kalau bukan Tiang Bu. dalam waktu dua pekan saja orang yang menuruti nafsu akibat rangsangan racun ini akan kehabisan semua tenaganya dan darahnya akan keracunan sedemikian hebat yang akan merenggut nyawa. Baiknya Tiang Bu memang memiliki sinkang luar biasa, juga ia pernah mempelijari kitab Seng-thian-to dan melatih semacam yoga yang tertinggi, maka pengaruh racun itu dalam waktu sebulan lebih hanya membuat ia lemas saja dan tenaga sinkangnya banyak yang lolos ke-luar!
Empat puluh hari sudah lamanya Tiang Bu dipermainkan oleh kakak beradik Cui Lin dan Cui Kim dan masih tetap saja dua orang gadis ini jerih dan tidak berani sembarangan turun tangan terhadap Tiang Bu. Pada suatu pagi, Tiang Bu yang makin lemas tubuhnya dan masih belum bangun dari tidurnya, akan tetapi dua orang wanita itu sudah berhias dan sedang mengatur hidangan pagi di atas meja. Tiba-tiba terdengar suara.
"kok kok kok kok!" yang nyaring. Cui Lin dan Cui Kim sampai tersentak mendengar suara ini di dalam kamar. Mereka melihat Tiang Bu masih tidur dan ketika mereka mercari-cari, terlihatlah kotak hitam berukir di bawah bantal Tiang Bu. Dengan hati-hati Cui Kim mengamhil kotak ini dan kembali terdengar suara nyaring seperti tadi. Cui Kim membuka perlahan tutupnya dan?... seekor katak hijau melompat keluar, terus ia menycrbu ke atas meja dan...... makan makanan buah yang berada di situ. Agaknya katak ini paling doyan manisan atau makanan yang manis-manis maka tadi ketika mencium bau manis-manis yang baru dihidangkan pagi ini, ia memberontak dan berbunyi di dalam kotaknya. Katak aneh itu memang luar biasa biarpun tidak diberi makan sampai berbulan-bulan ia tidak apa-apa.
"Aneh sekali!" kata Cui Kim.
"Untuk apakah dia menyimpan seekor katak?"
"Hush, jangan keras keras. Kukira katak ini semacam katak ajaib yang besar kasiatnya. Biar kupegang dia," Cepat sekali tangan Cui Lin menyambar, namun sekali menggerakkan pinggul saja katak itu sudah dapat mengelak. Tiga kali Cui Lin menubruk, selalu katak itu dapat mengelak di atas meja, mengelilingi piring berisi manisan itu.
"Pancing dengan manisan." kata Cui Kim yang segera mengambil semua manisan, disukkan ke dalam kotak. Benar saja, katak segera melompat dan sekali melompat tahu-tahu ia telah berada di dalam kotak. Demikian cepat lompatannya. Cui Kim cepat menutup kotak itu dan memasukkannya ke dalam sakunya.
Suara ribut-ribut ini membuat Tiang Bu bangun dari tidurnya. Dengan lemah dan ogah-ogahan ia membuka mata lalu bangkit duduk, memutar pinggang ke kanan kiri lalu bersila untuk bersamalhi seperti yang ia lakukan tiap malam dan pagi. Begitu panca indranya terkumpul dan pernapasannya jalan dengan sempurna, mendadak ia merasa sesuatu yaig aneh sekali. Ia tidak rindu dan mencari-cari Cui Lin dan Cui Kim seperti biasa ia rasakan setiap saat kalau ia tidak tidur dan semangatnya perlahan-lahan datang kembali. Tiba-tiba saja pikirannya seperti dibuka dari selubungan tirai hitam gelap, membuat ia teringat segala kehinaan yang ia lakukan selama puluhan hari ini.
Dan ia tiba-tiba menjadi malu dan terkejut sekali. Cepat ia membuka matanya dan melihat dua orang wanita cantik itu tengah memandangnya sambil tersenyum-senyum. Senyum mereka yang biasanya mendatangkan rasa nikmat pada perasaan Tiang Bu, kini merupakan ejekan yang menikam kalbu, seperti mentertawakan kelemahan dan kedunguannya. Tak tertahan lagi Tiang Bu menutupi mukanya dengan kedua tangan untuk mengusir bayang wajah dua orang suhunya yang seakan-akan memandangnya dengan bengis. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya keras-keras untuk mengusir kata kata Tiong Sin Hwesio yang bergema di telinganya pada saat ia "sadar" itu.
"Tiang Bu muridku, syarat untuk menjadi seorang gagah adalah sama dengan syarat untuk menjadi seorang kuncu (budiman), karena seorang gagah itulah seorang budiman dan demikian sebaliknya. Kalau kau dapat mengalahkan seratus orang musuh, itu masih belum gagah. Sebaliknya kalau kau dapat mengalahkan iblis yang selalu datang dan hendak menguasai hati dan pikiran setiap orang, dapat mengalahkan iblis yang mengeram dalam dirimu sendiri, barulah kau patut mengaku sebagai murid Omei-san! Hati-hati bahwa iblis menguasai batinmu adalah kalau kau menghindari menyakiti hati, atau mencelakai lain orang yang tidak berdosa hanya untuk memuaskan nafsu dan benci, kau merugikan lain orang hanya untuk kepentingan dan keuntunganmu sendiri, kalau kau melakukan perbuatan hina dan kotor untuk memuaskan nafsu, terutama sekali kalau kau berjina??."
Pendekar Pedang Pelangi Eps 19 Pendekar Budiman Eps 13 Pedang Penakluk Iblis Eps 25