Pendekar Pedang Pelangi 19
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono Bagian 19
"Heran? kemana suara suling tadi? Mengapa tiba-tiba menghilang?" Ho Bing bergumam heran. Tak ada jawaban. Semuanya memasang mata dan telinga. Yok si Ki juga mengerahkan seluruh kemampuannya untuk memeriksa tempat itu. Tempat yang sangat sulit, karena selain gelap juga banyak batu besar berserakan. Sangat sulit mencari sosok manusia di tempat seperti itu.
"Tampaknya orang itu memang berada di luar gua..." Yok si Ki membatin. Ketika mereka bertiga bergeser ke depan, sebuah benda hitam yang sejak semula mereka sangka batu karang, mendadak bergerak dan berdiri di depan mereka! Begitu mengejutkan sehingga gadis seperti Tio Ciu In sampai terpekik saking kagetnya!
"Apakah cuwi ingin mendengarkan suara sulingku lagi...?" Benda hitam yang tiada lain adalah seorang manusia mengenakan mantel kehitaman itu tiba-tiba berkata pelan.
"K-kau... siapa?" Ho Bing buru-buru menyapa. Tapi Tio Ciu In segera mengenali orang itu. Tubuh yang tinggi kurus, dengan rambut panjang menutupi bahu, siapa lagi kalau bukan si Pendekar Buta?
"Lo-Cianpwe...?" Tio Ciu In berbisik. Orang itu tidak menjawab. Dia malah mengangkat sulingnya. Tapi sebelum suling itu ditiup, Yok si Ki sudah lebih dulu melesat ke depan orang itu.
"Tahaaaaan...!" Teriak Ketua Tai-bong-pai itu keras. Orang itu tak lain adalah si Pendekar Buta itu, menurunkan sulingnya kembali.
"Tuan siapa? Apakah Tuan ingin meniup sulingku juga?"
"Jangan bergurau! Aku Yok si Ki, Ketua Partai Tai-bong-pai angkatan ke tujuh! Siapakah kau? Rasanya aku belum pernah melihatmu di dunia persilatan..." Tak terduga Pendekar Buta itu berdesah panjang sekali. Wajahnya yang tertutup rambut itu mendongak ke atas, sehingga dari kejauhan penampilannya benar-benar seperti kembar dengan Yok si Ki. Sama-sama jangkung, kurus dan berambut panjang. Perbedaan mereka hanya pada warna rambut dan warna kain yang mereka pakai. Kalau Yok si Ki berambut hitam dan berpakaian serba putih, sebaliknya Pendekar Buta mengenakan pakaian serba gelap dan rambutnya sudah bercampur putih.
"Aku memang jarang keluar dari pertapaanku! Tentu saja Tuan tidak mengenal aku! Orang biasa menyebutku... si Buta!"
"Kau... buta?" Yok si Ki terperanjat. Pendekar Buta itu mengangguk.
"Apakah Tuan merasa kaget? Kaget menyaksikan orang bermata buta seperti aku bisa sampai di tempat ini? Ah, maaf... tuan tak usah kaget! Aku memang tinggal di sini. Gua ini... tempat tinggalku."
"Namamu si Buta? kau tinggal di sini? Hmmh, jangan main-main! Katakan saja terus terang... siapa namamu sebenarnya?"
"Maaf Aku sudah lama tidak berhubungan dengan orang lain. Aku sudah melupakan namaku. Tapi sejak aku keluar lagi, orang memanggilku si Buta dan aku menerimanya. Jadilah namaku sekarang si Buta!" Sementara itu, Tio Ciu In yang sejak tadi merasa belum diperhatikan oleh Pendekar Buta, segera melangkah ke depan.
"Lo-Cianpwe...? kau... Kau mendengar suara nyanyianku tadi, bukan?" Tio Ciu In berbisik dan mencoba mendekat. Tapi Ho Bing segera membentak.
"Mau kemana kau? Cepat... Ke sini!" Namun entah bagaimana cara bergeraknya, tiba-tiba si Pendekar Buta itu telah berada di antara Tio Ciu In dan Ho Bing! Demikian cepatnya sehingga tokoh seperti Yok si Kipun sampai kecolongan! Pada saat menangkap gerakan lawan, Ketua Tai-bong-pai itu cepat mengangkat kakinya, namun terlambat. Orang buta itu telah berdiri di dekat Tio Ciu Ih. Bahkan Ho Bing yang hanya tiga langkah jaraknya dari gadis itu tak mampu berbuat banyak.
"Gila...! Karena terlalu meremehkan orang, maka aku jadi kehilangan selangkah di belakangnya!" Yok si Ki menggeram. Pendekar Buta membawa Tio Ciu In ke samping.
"Ya, Nona Tio... burung elangku memang mendengar suaramu dan memberitahukannya kepadaku. Emm... aku tidak terlambat, bukan?"
"Tidak Lo-Cianpwe... aku tidak apa-apa."
"Syukurlah...!" Orang tua itu berdesah lega.
"Burung elang...? Oh-oh, jadi burung elang putih itu kepunyaanmu?" Ho Bing tersentak kaget.
"Awas, Yok Ciangbun! Tampaknya orang ini adalah Pendekar Buta yang dikatakan oleh pelayan rumah makan itu!" Tiba-tiba si Buta itu menoleh ke arah Ho Bing. Keningnya yang tertutup itu berkerut.
"Pelayan rumah makan? Apakah hubungannya pelayan itu dengan jiwi berdua? Ah, ya-ya... aku tahu. jiwi tentu kawan si pengacau dari luar Tembok Besar itu, bukan?" Tak terduga Pendekar Buta itu memotong ucapan Ho Bing. Tio Ciu In cepat meraih lengan penolongnya.
"Lo-Cianpwe, kau benar. Pengemis jahat ini memang orang upahan Mo Goat, gadis dari luar Tembok Besar itu. Dia mau membunuhku!"
"Sudahlah, Nona Tio. kau tak perlu khawatir. Yok si Ki adalah tokoh terkemuka di dunia persilatan. Dia seorang ke tua partai persilatan yang dihormati orang. Tentu saja dia takkan mau menghina seorang gadis muda seperti engkau. kau akan..."
"Cukup!" Yok si Ki berteriak.
"Kau tidak perlu mengejek aku! Aku memang tidak berniat mengganggunya! Aku lebih tertarik kepada kepalan tanganmu!"
"Sudahlah Yok Ciangbun... aku tidak ingin bertentangan denganmu. Aku sudah bosan berkelahi. Kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah. Kekerasan hanya akan menimbulkan rasa sakit. Sakit di badan ataupun sakit di hati. Tak ada kedamaian dan kebahagiaan yang diperoleh dari jalan kekerasan!" Bukan main berangnya hati Yok si Ki.
"Aku tidak butuh ceramahmu! Aku butuh pukulan dan tendanganmu! Nah, apakah kau takut berhadapan dengan aku?" Ternyata Pendekar Buta tidak goyah oleh tantangan lawan. Pendekar itu justru menarik lengan Tio Ciu In dan mengajaknya pergi. Tio Ciu In memandang penolongnya dengan perasaan kagum.
"Kau memang hebat, Lo-Cianpwe! Dari sikapmu aku bisa melihat bahwa sebenarnya kau tidak takut kepadanya. Namun demikian ternyata kau tidak melayani tantangannya! Kata Guruku, sikap seperti itu baru bisa dicapai orang setelah dia bisa mengalahkan dirinya sendiri." Pendekar itu tersenyum kecut, lalu mengeleng.
"Kau keliru, Nona Tio. Aku bukan manusia seperti itu. Aku memang benar-benar sudah bosan berkelahi."
"Hei! Berhenti...! Enak saja kau membawa gadisku!" Tiba-tiba Ho Bing meloncat dan berteriak lantang. Tio Ciu In dan Pendekar Buta berhenti melangkah, lalu dengan berani gadis itu menghadapi Ho Bing.
"Pengemis jahat, kau mau apa? Minta digebuk...?" Sekarang di bawah perlindungan Pendekar Buta, Tio Ciu In menjadi galak dan tidak takut lagi kepada lawan-lawannya. Ho Bing terkejut. Sesaat ada juga rasa keder melihat orang buta di belakang gadis itu. Namun menyaksikan Yok si Ki juga melesat datang dan berdiri di sebelahnya, hatinya menjadi besar kembali.
"Hohoho... Kau menjadi galak sekarang! Tapi... tidak apa-apa. Aku justru senang menghadapi gadis bersemangat! Marilah, sayang...!" Ho Bing mengembangkan lengannya dan maju ke depan. Tangan Pendekar Buta menyentuh bahu Tio Ciu In dari belakang.
"Nona, kau siap menghadapi dia...?" Dia berbisik perlahan. Tio Ciu In mengangguk.
"Aku akan mencobanya..."
"Baiklah. Tapi... Kau harus berhati-hati! Dari suara langkah kakinya, dia tentu memiliki ilmu silat tinggi. Tapi, terserah kau. Aku... akan menjaga orang yang bernama Yok si Ki itu. Tampaknya dia lebih berbahaya daripada temannya. Nah, demi keamananmu... bawalah sulingku ini! Selipkan di pinggangmu! Suaranya bisa menjadi pedoman bagiku untuk mengikuti gerakanmu." Pendekar Buta itu berbisik lagi di telinga Tio Ciu In. Tio Ciu In menerima suling itu dan menyelipkannya di balik tali pinggang. Setelah itu kakinya melangkah ke depan sambil mengayunkan tangan kiri, menyongsong kedatangan Ho Bing. Entah kapan ia mencabut senjatanya, tapi yang jelas tangan itu telah memegang sepasang pedang pendek.
"Bagus...!" Ho Bing memuji sambil mengayunkan tongkatnya untuk menangkis.
"Traaaaang!" Bunga api muncrat berhamburan menerangi gua itu. Keduanya bergetar mundur. Ho Bing tergetar selangkah ke belakang, sementara Tio Ciu In terdorong empat langkah lebih banyak. Seperti tahu saja, Pendekar Buta itu berbisik dengan ilmu Coan-im-jib-bit.
"Jangan terlalu sering mengadu tenaga! Lebih baik kau mengambil keuntungan dengan pedang pendekmu. Dia memang lebih kuat, tetapi tidak segesit gerakanmu. Pedangmu dapat meluncur lebih cepat daripada tongkat besinya. Lawanlah dari jarak dekat. Jangan terlalu jauh. Nah, apabila beruntung kau akan bisa mengalahkannya."
Tio Ciu In melirik heran. Rasanya orang tua itu seperti tidak buta saja dan bisa melihat apa yang terjadi. Nah demikian apa yang dikatakan orang juga. Demikianlah, sekejap kemudian terjadilah pertempuran seru di dalam gua itu. Tio Ciu In dengan dukungan Pendekar Buta, berusaha mendesak Ho Bing yang lebih berpengalaman. Dan sesuai petunjuk penolongnya itu, Tio Ciu In merangsak terus, tanpa memberi kesempatan pada lawannya untuk mengambil jarak. Bertempur di tempat gelap, di antara bebatuan besar yang berserakan, memang membutuhkan kemampuan tersendiri. Untunglah dalam penggemblengannya selama ini, Tio Ciu In bersama suheng dan adiknya, juga mendapatkan pelajaran tentang cara bergerak berdasarkan perasaan nalurinya.
"Traaaaang! Traaanng...!" Beberapa kali pedang Tio Ciu In membentur tongkat lawan, sehingga lengannya terasa linu. Namun dengan semangatnya yang tinggi gadis itu tetap menerjang dan bertempur terus dalam jarak dekat. Ho Bing memang menjadi kewalahan dengan gaya tempur seperti. itu. Tongkat panjangnya sama sekali tidak mendapatkan ruang gerak untuk berkembang. Dalam ruang gerak yang sempit, tongkatnya hanya bisa dipergunakan untuk menangkis dan membela diri.
Meskipun demikian gaya tempur seperti itu juga amat berat bagi Tio Ciu In. Tanpa didukung dengan tenaga dalam yang lebih kuat dan ilmu silat yang lebih tinggi daripada lawan, gaya tempur seperti itu akan segera berbalik menjadi bumerang yang akan menyulitkan diri sendiri. Sejak semula Pendekar Buta mengira bahwa Tio Ciu In telah mempelajari Ilmu Silat Kulit Domba, yang merupakan ilmu andalan Im-yang-kauw. Dengan ilmu silat pilihan itu Pendekar Buta berharap Tio Ciu In mampu menggebrak dan mengacaukan lawannya. Bahkan dengan kelebihan ilmu silatnya itu, Tio Ciu In mampu melukai lawannya lebih dulu. Namun harapan itu tidak terwujud. Tampaknya Tio Ciu In memang belum mencapai tataran yang tertinggi dalam ilmu silat Im-yang-kauw itu. Malah beberapa jurus kemudian gadis itu mulai kelihatan keteter dan terdesak mundur.
Ho Bing memang bukan tokoh sembarangan. Sebenarnya lelaki pesolek itu bukanlah pengemis sungguhan. Dia adalah orang kepercayaan Au-yang Goanswe yang ditanam di daerah itu untuk mengawasi kepentingan mereka di sana. Dan pondok di tengah-tengah rawa itu adalah markas mereka di daerah pantai timur kota Hang-ciu. Begitulah, karena sebelumnya memang sudah ada jalinan rahasia antara Au-yang Goanswe dan Mo Tan, maka tidak mengherankan kalau Mo Goat bisa berhubungan denga Ho Bing. Ketika Mo Goat yang amat asing di daerah itu, membutuhkan orang yang bisa membantu dia mencari Tio Ciu In dan kawan-kawannya, dia segera menghubungi orang-orang Au-yang Goanswe di daerah itu.
Mo Goat lalu bertemu dengan Ho Bing dan selanjutnya mengupah pengemis itu untuk melampiaskan dendamnya. Sementara itu Ho Bing sendiri sebelum menjadi orang kepercayaan Au-yang Goanswe, merupakan tokoh yang amat ditakuti di daerah Barat. Dengan tongkatnya yang berlubang-lubang seperti suling, tokoh itu malang-melintang sebagai jai-hoa-cat (penjahat pemetik bunga). Berkali-kali para pendekar dari golongan putih mencarinya, namun tak seorangpun mampu mengatasinya. Ilmu tongkatnya memang sulit dicari tandingannya. Selain kuat dan ganas, jurus-jurusnya juga penuh dengan gerakan-gerakan licik dan berbahaya. Apalagi di dalam tongkat itu juga dipasangi berbagai macam jebakan dan senjata rahasia mematikan.
"Hohoho, bidadariku...! Menyerah sajalah! kau bukan lawan yang setimpal buatku! Jangan-jangan pukulanku malah bisa merusakkan kulitmu nanti...!" Begitu merasa kemenangan telah berada di tangannya, Ho Bing mulai mengejek dan tertawa. Sebenarnyalah Tio Ciu In mulai terdesak di bawah angin. Dengan makin seringnya mengadu senjata, maka tenaga simpanan gadis itu juga semakin berkurang pula. Dan akhirnya tenaga itu benar-benar terkuras habis.
Begitulah, setelah Tio Ciu In kehabisan tenaga, maka tongkat Ho Bing mulai melebarkan sayapnya. Dalam medan tempur yang lebih luas, tongkat berbahaya itu segera menampakkan kehebatannya. Terdengar suara mengaung panjang, meliuk-liuk tinggi rendah, ketika lubang-lubang di dalam tongkat itu diterobos angin. Meskipun demikian ternyata sulit juga untuk segera menjatuhkan Tio Ciu ln. Walaupun kalah segala-galanya, tapi ilmu silat gadis itu juga bukan ilmu silat pasaran. Dengan segala keuletan dan latihannya selama ini, Tio Ciu In cukup bisa menjaga dirinya. Akhirnya habis juga kesabaran Ho Bing. Ketika Tio Ciu ln menangkis sabetan tongkatnya, Ho Bing cepat memencet salah satu lubang tongkatnya.
"Buuuuuushh...!" Dari ujung tongkat yang berada tidak jauh dari wajah Tio Ciu In itu tersebar bubuk kehijauan, yang kemudian menyelimuti kepala gadis itu.
"Huk-huk-huk... ah, h-h-huk-hukk-huuuuk!" Tio Ciu In tersedak, kemudian terbatuk-batuk.
"Nona Tio! Apa yang terjadi? kau kenapa...?" Tiba-tiba Pendekar Buta menghambur ke depan. Kesepuluh jari-jari tangannya yang terkembang itu mendorong ke tubuh Ho Bing.
"Wussh!" Hembusan angin tajam berbau amis menerjang dengan dahsyatnya, sehingga Ho Bing maupun Yok si Ki menjadi terperanjat bukan main!
"Ho Bing, menghindarlah...!" Yok si Ki menjerit. Sambil memberi peringatan Yok si Ki melesat ke depan. Sisi tangannya menahan ke arah pukulan Pendekar Buta.
"Taaaas!" Hembusan angin berbau amis itu menghantam sisi telapak tangannya dan membias ke segala penjuru.
"Aaaaah...!" Pendekar Buta mengeluh perlahan dan tubuhya bergoyang-goyang mau jatuh. Tebasan tangan Yok si Ki yang mengandung tenaga bias itu ternyata bisa membalikkan kekuatannya.
"Lo-Cianpwe...?" Tio Ciu In yang terbebas dari semburan bubuk beracun itu segera menubruk penolongnya. Pendekar Buta mengambil napas panjang untuk meluruskan kembali pernapasan dan jalan darahnya. Setelan semuanya kembali normal, dia baru mengerah kan perhatian ke sekelilingnya. Dicobanya untuk mendengarkan keadaan lawannya.
"Jangan khawatir, Nona Tio. Aku tidak apa-apa. Cuma... penyakit lamaku kelihatannya kambuh kembali. Aku juga tidak menyangka penyakit itu akan kambuh pada saat-saat begini. Tapi... sudahlah, aku bisa mengatasinya. Eh, bagaimana dengan Ketua Tai-bong-pai itu? Apakah dia juga baik-baik" Tio Ciu In melirik. Dilihatnya Yok si Ki berdiri tegak di tempatnya. Orang itu tampak garang dan seperti tidak mengalami gangguan apa-apa.
"Dia... dia berdiri tegak di depan kita. Tampaknya dia segera akan menyerangmu lagi."
"Aaah, dia memang hebat sekali! Sayang penyakitku tiba-tiba kambuh..."
"Lo-Cianpwe... sakit?" Tio Ciu In berdesah ketakutan.
"Benar. Sebenarnya aku butuh istirahat untuk memulihkannya kembali. Tapi dalam keadaan begini... yah, apa boleh buat! Oleh karena itu kalau aku tidak bisa menolongmu nanti, kau harus cepat-cepat menerobos ke dalam gua lagi! Jangan keluar dari gua sebelum mereka pergi! Di luar kau akan mudah ditangkap mereka."
"Lo-Cianpwe...?"
"Sudahlah, kau ikuti saja kata-kataku!" Sementara itu Yok si Ki melangkah mendekati Pendekar Buta. Matanya yang tajam dan dingin seperti mata burung hantu menatap lawannya. Ada rasa heran dan kurang percaya dalam sorot matanya.
"Sungguh dahsyat sekali pukulanmu! Tidak kusangka orang tak dikenal seperti engkau, memiliki tenaga dalam sehebat itu. Sekarang aku benar-benar menjadi curiga. Siapakah sebenarnya engkau ini...?" Yok si Ki memuji dengan suara menyelidik.
"Sudahlah, Yok Ciangbun. Aku benar-benar tidak ingin berkelahi denganmu. Lepaskan saja kami berdua dan biarkan kami pergi."
"Uh, enaknya...! Jangan biarkan mereka lolos, Ciangbun! Mereka telah berada di bawah kekuasaan kita. Orang buta ini tidak kuat menahan pukulan sisi tanganmu. Dan... gadis ini juga sudah terkena pengaruh bubuk laba-labaku. Sebentar lagi dia akan roboh dengan sendirinya, hehehe!" Ho Bing berseru sambil melangkah mendekati Tio Ciu In. Tapi sebagai orang yang sangat berpengalaman, Yok si Ki tidak percaya begitu saja apa yang dilihatnya. Ia melihat beberapa keanehan pada lawannya. Semula ia melihat kedahsyatan pukulan orang buta itu. Rasanya kekuatan orang itu mampu meruntuhkan sebuah bukit. Tapi anehnya, ketika arus pukulan itu membentur pukulannya, tiba-tiba saja kekuatan itu menyusut dan hilang. Ada sesuatu yang tidak dia ketahui. Mungkin jebakan, tapi kemungkinan juga bukan.
"Orang ini sangat mencurigakan. Satu-satunya Jalan untuk membongkar kedoknya cuma mengalahkannya..." Yok si Ki bergumam dalam hati.
"Bagaimana, Yok Ciangbun? Bolehkah kami berdua meninggalkan tempat ini?" Pendekar Buta bertanya perlahan. Yok si Ki memandang tajam.
"Boleh, tapi... dengan satu syarat..."
"Syarat...? Apakah syaratnya?"
"Mudah saja, yaitu... Kau kalahkan aku dulu!" Sekonyong-konyong tubuh Pendekar Buta bergoyang-goyang lagi. Tio Ciu In menjerit dan buru-buru melompat mendekati. Namun seperti halnya Pendekar Buta, gadis itu mendadak juga terhuyung-huyung.
"Nona Tio...?" Pendekar Buta menyambar pinggang Tio Ciu In dan menotok beberapa jalan darah di punggungnya untuk menahan pengaruh racun yang tampaknya mulai menyerang gadis itu. Akan tetapi Yok si Ki tidak memberi kesempatan lagi. Selagi Pendekar Buta itu sibuk menolong Tio Ciu In, tangannya segera melayang, menghantari tengkuk pendekar itu.
"Lihat pukulan" Dia memberi peringatan. Pendekar Buta terperanjat. Dengan keadaannya sekarang ia tidak mungkin berkelahi dengan siapapun juga. Jangankan melawan Yok si Ki ataupun Ho Bing, menghadapi Tio Ciu In saja ia takkan mampu. Tapi ia tak bisa menghindar lagi. Sambil mendorong tubuh Tio Ciu In, ia membalik dan terpaksa menangkis pukulan Yok si Ki. Meskipun dia tak yakin bisa mengerahkan kekuatannya kembali, tapi ia tetap mencobanya pula.
"Dieees!" Dua kekuatan yang maha dahsyat saling berlaga di udara! Dan kali ini mereka berdua sama-sama tergetar mundur! Hanya bedanya, Yok si Ki tampak biasa-biasa saja, sementara Pendekar Buta tampak mengalirkan darah segar dari sudut bibirnya.
"Yok Ciangbun...! Tampaknya kau telah berhasil mempelajari Tenaga Sakti Inti Roh atau Tenaga Sakti Inti Seribu Nyawa, ciptaan mendiang Kwa Eng Ki." Pendekar Buta berdesis dengan suara terengah-engah. Ternyata kekuatannya dapat keluar juga, walaupun baru sebagian saja. Yok si Ki terbelalak kaget. Kakinya melangkah mundur.
"Dari mana kau tahu tentang ilmu rahasia itu? kau...? Hmm, siapakah kau sebenarnya?"
"Sudah kukatakan, aku hanya seorang lelaki buta yang tak punya nama. Tak ada gunanya kau membunuh aku. Lebih baik kau biarkan aku pergi dan aku akan sangat berterima kasih kepadamu." Yok si Ki mendengus. Hatinya makin penasaran karena orang buta itu ternyata telah mengenal ilmunya, yang berarti orang itu sudah pernah mengenal atau berhadapan dengan ilmu tersebut. Padahal sepengetahuannya baru dia sendiri yang berhasil mempelajari ilmu tersebut.
"Lalu dengan siapa dia pernah berhadapan? Mendiang ketua Tai-bong-pai lama, Kwa Eng Ki? Atau... jangan-jangan dia bertemu dengan Tai-bong-pai Kui-bo, yang telah bisa memecahkan kunci rahasia ilmu itu di buku Tai-bong Pit-kip...!" Yok si Ki membatin. Begitu ingat Tai-bong Kui-bo, ketua Tai-bong-pai itu seperti tersentak dari tidurnya. Hatinya menjadi curiga. Jangan-jangan orang buta di depannya itu memang pernah bertemu dengan Tai-bong Kui-bo dan merampas bukunya.
"Kau... Kau? Apakah kau kenal dengan Tai-bong Kui-bo?" Tak terasa mulutnya terbuka. Pendekar Buta mengerutkan dahinya.
"Apa? Tai-bong Kui-bo? Siapakah dia?" Katanya tak mengerti. Yok si Ki tertegun. Ia melihat kejujuran pada wajah lawannya.
"Baiklah, kalau memang tidak tahu... ya, sudah! Sekarang kita selesaikan saja persoalan kita dengan kaki tangan." Selesai berkata Yok si Ki benar-benar menyerang Pendekar Buta. Kedua telapak tangannya mendorong ke depan dengan kekuatan penuh. Dari kedua tangannya itu tersebar bau wangi menusuk hidung. Pendekar Buta buru-buru melangkah ke samping. Meskipun lawannya belum mempergunakan Tenaga Sakti Inti Roh, tetapi Hio-yen Sinkang (Tenaga Sakti Asap Dupa) yang ia hadapi sekarang juga tidak kalah berbahaya pula. Tenaga Sakti yang menjadi tumpuan para anggauta Tai-bong-pai itu sangat terkenal di dunia persilatan. Namun pada saat yang sama, rasa sakit itu tiba-tiba kambuh lagi! Begitu sakitnya sehingga Pendekar Buta kembali terhuyung-huyung mau jatuh. Akibatnya serangan Yok si Ki tak bisa dihindari sepenuhnya!
"Sreeet...!" Angin pukulan Yok si Ki menyerempet bahu Pendekar Buta, sehingga tubuh orang tua itu terpelanting menabrak dinding! Yok si Ki tak mau memberi kesempatan lagi. Sesuai dengan wataknya yang ganas dan kejam, maka serangan berikutnya segera tertuju pada jantung lawannya.
"Wuuuuuus...!" Dan kali ini Yok si Ki benar-benar mempergunakan Tenaga Sakti Inti Roh! Pasir dan kerikil tampak bertebaran di sekelilingnya, sehingga ketua Tai-bong-pai itu seperti dikurung pusaran pasir.
"Lo-Cianpwe...!" Tio Ciu In menjerit dan mencoba menolong Pendekar Buta yang jatuh terlentang di lantai gua.
"Nona Tio, jangan mendekat..." Pendekar Buta berseru. Terlambat. Tio Ciu In yang berada di garis pukulan Yok si Ki tak mampu mengelak lagi. Disertai dengan suara jeritannya yang keras gadis itu terpental dan tubuhnya menimpa Pendekar Buta.
"Nona Tio...!?!" Pendekar Buta yang tidak bisa melihat bagaimana keadaan gadis itu berteriak ketakutan. Orang tua itu cepat meraba seluruh tubuh Tio Ciu In. Ketika kemudian tersentuh oleh jarinya darah yang mengalir dari mulut gadis itu, kemarahannya tak bisa dibendung lagi. Bergegas gadis itu diletakkan di dekatnya, lalu tiba-tiba tubuhnya melenting berdiri dan mengaum keras sekali!
"Aaaaaaarrrrrgghh...!!!" Begitu kuat dan keras getarannya sehingga gua itu bagaikan digoyang oleh gempa. Dan getaran itu semakin menjadi-jadi ketika dalam kemarahannya Pendekar Buta itu menjebol sebuah batu besar dan membantingnya kuat-kuat!
"Dhuuuuuuaaaaaar...!" Pecahan batu kerikil dan pasir berhamburan disertai suara gemuruh memekakkan telinga. Akibatnya gua itu bergetar hebat seolah mau runtuh. Bahkan getaran itu juga menyebabkan batu dan debu di atas langit-langit gua berhamburan ke bawah. Ribuan kelelawar penghuni gua itu mencicit ketakutan. Mereka mencoba menyelamatkan diri dengan terbang keluar gua. Begitu kacau dan ributnya suasana sehingga banyak yang saling bertabrakan di udara, atau jatuh menggelepar tertimpa pecahan batu. Suasana di dalam gua itu benar-benar seperti neraka. Debu dan pasir bertebaran, disertai jatuhnya bongkahan-bongkahan batu yang retak dan copot dari langit-langit gua.
"Yok Ciangbun! Cepat kita keluar sebelum gua ini benar-benar runtuh!" Ho Bing berteriak dan lebih dulu meloncat ke arah pintu gua. Yok si Ki tidak menjawab, tapi dengan tangkas tubuhnya berloncatan di antara hujan batu. Mereka sama sekali tak memikirkan nasib Pendekar Buta dan Tio Ciu In lagi. Bagi mereka yang penting adalah menyelamatkan diri mereka sendiri. Dalam situasi demikian, maka tingkat kesaktian seseorang akan tampak dengan jelas.
Ho Bing yang tangkas dan memiliki tenaga dalam cukup tinggi, tetap bisa bergerak dengan cepat dan lincah. Tubuhnya dapat meliuk-liuk, ke kanan dan ke kiri, menghindari batu-batu besar yang berjatuhan dari langit-langit gua. Tongkatnya berputar seperti gasing di atas kepalanya, bagaikan lembaran kain payung melindungi badan dari guyuran debu dan kerikil tajam. Gerakan Ho Bing benar-benar hebat. Ketika kemudian kakinya menginjak pintu gua, tubuhnya sama sekali tidak terluka. Bahkan pakaian yang dia kenakan masih tetap bersih dan rapi. Hanya sepatu dan ujung celananya saja yang tampak kotor terkena debu. Namun apa yang dilakukan Ho Bing tersebut ternyata belum sehebat apa yang dikerjakan oleh Yok si Ki. Dalam keadaan hiruk-pikuk seperti itu, ternyata gerakan yang dilakukan oleh Yok si Ki benar-benar sulit diterima akal sehat.
Seperti saat mengerahkan Tenaga Sakti Inti Roh tadi, maka sambil berloncatan tubuh Yok si Ki seperti mengeluarkan angin berputar yang membiaskan segala macam benda yang datang kepadanya. Tubuhnya seakan-akan terlindung oleh tabung kaca yang tak kelihatan oleh mata. Sebentar saja tubuh ketua Tai-bong-pai itu telah berada di luar gua, mendahului Ho Bing yang sebenarnya sudah lebih dulu menyelamatkan diri. Ho Bing benar-benar semakin keder melihat kesaktian Yok si Ki. Orang itu seperti setan saja, tahu-tahu telah berdiri di luar gua. Sementara itu hiruk-pikuk di dalam gua itu masih saja berlangsung dengan hebatnya. Bahkan debu tebal bercampur pasir juga menyembur sampai ke luar gua, sehingga lubang-lubang mulut gua itu bagaikan kepundan gunung berapi yang sedang menyemburkan asapnya. Ho Bing dan Yok si Ki terpaksa melompat ke belakang menjauhi lubang gua itu.
"Bagaimana... dengan gadis itu, Yok Ciangbun? Apakah si Buta mampu menyelamatkannya?" Di dalam ketegangannya Ho Bing masih juga memikirkan Tio Ciu In. Yok si Ki menghela napas panjang.
"Entahlah...! Rasanya sulit untuk keluar dari gua rtu kalau kita harus menggendong orang lain."
"Lalu... apa yang akan kita perbuat? Menunggu sampai reda dan mencari mereka?" Yok si Ki mengangguk.
"Kita harus tahu, bagaimana keadaan mereka. Mati atau hidup. Kalau sudah mati, kita tinggalkan saja tempat, ini. Tetapi kalau ternyata mereka masih hidup, kita harus membunuhnya lebih dulu. Aku tidak ingin menanam bibit kesulitan di kemudian hari." Akan tetapi sampai matahari hampir terbenam, reruntuhan di dalam gua itu belum juga tuntas. Sekali-sekali masih terdengar suara gemuruh jatuhnya bebatuan dari langit-langit gua. Tentu saja Yok si Ki dan Ho Bing tak ingin mengambil resiko masuk ke dalam.
"Lihat, Yok Ciangbun! Aliran sungai dari dalam gua itu tidak mengalir ke luar lagi. Tampaknya alur sungai itu telah tertimbun tanah dan bebatuan. Dan hal itu berarti terowongan-terowongannya akan penuh terisi air. Oleh karena itu kalau mereka masih hidup, mereka akan tetap sulit pula untuk menyelamatkan diri." Sekali lagi Yok si Ki menganggukkan kepalanya.
"Tampaknya memang demikian. Kalau begitu kita tinggalkan saja tempat ini!" Demikianlah, mereka berdua lalu meninggalkan pantai itu dan kembali ke kota Hang-ciu. Sama sekali mereka tak menduga kalau lawan-lawan mereka masih tetap hidup di antara reruntuhan gua itu.
Ternyata pada saat bencana itu terjadi, Pendekar Buta dengan sisa-sisa tenaganya, masih dapat menyeret tubuh Tio Ciu In ke dalam lubang terowongan yang dikenalnya. Kemudian sambil menunggu redanya bencana tersebut, Pendekar Buta mencoba mengobati luka-luka dalam yang diderita oleh gadis itu. Namun karena luka-lukanya memang terlalu parah, sementara Pendekar Buta sendiri juga dalam keadaan lemah, maka usaha tersebut kurang membawa hasil. Gadis itu tetap tergolek pingsan di tempatnya, meskipun nyawanya masih bisa diselamatkan. Ketika hari semakin gelap dan hawa malam mulai terasa mengalir dalam gua, Pendekar Buta merasakan tubuhnya mulai membaik. Sementara itu Tio Ciu In juga mulai siuman dari pingsannya. Gadis cantik itu mulai membuka matanya.
"Lo-Cianpwe...??" Jeritnya lirih tatkala melihat Pendekar Buta itu duduk di dekatnya.
"Syukurlah... Kau telah siuman kembali, Nona. Aku benar-benar khawatir melihat keadaanmu. Pukulan Ketua Tai-bong-pai tadi sungguh dahsyat sekali. Pukulannya menyebabkan jalan darahmu menjadi kacau. Bahkan beberapa dianta-ranya tertutup. Beruntung aku segera dapat memperbaiki dan membukanya kembali. Namun demikian kau tetap harus beristirahat penuh dalam beberapa hari ini. Engkau harus berlatih dan membiasakannya lagi secara hati-hati."
"Terima kasih, Lo-Cianpwe. kau telah menolong jiwaku. Aku tidak tahu bagaimana jadinya bila Lo-Cianpwe tidak ada."
"Oooohh!!" Tio Ciu In bangkit dan merangkapkan dua tangannya di depan dada. Tapi mulutnya segera menjerit kecil ketika sadar tubuhnya tidak mengenakan pakaian sama sekali. Otomatis kulit mukanya menjadi merah sekali. Meskipun tidak bisa melihat, tetapi Pendekar Buta bisa menebak apa yang terjadi. Tergopoh-gopoh ia meminta maaf.
"Maaf, Nona Tio. Aku terpaksa membuka pakaianmu. Tidak ada jalan lain untuk menolongmu, selain harus cepat-cepat membenahi jalan darah yang kacau itu. Keadaanmu tadi benar-benar sangat mengkhawatirkan. Celakanya, setelah pengobatan selesai dan keadaanmu telah menjadi baik, aku justru tidak berani mengenakan pakaianmu kembali. Aku memang orang tua yang canggung. Sekali lagi, maafkanlah aku..." Orang tua itu berkata dengan rasa sesal yang dalam.
Sebenarnya Tio Ciu In sudah hampir menangis. Namun melihat kesungguhan orang tua itu, hatinya menjadi sadar kembali. Bagaimanapun juga orang tua itu telah menolong jiwanya. Apalagi orang tua itu menolong dengan sungguh-sungguh. Tidak ada tanda-tanda buruk yang menyatakan bahwa orang tua itu berniat jelek terhadapnya. Tio Ciu In segera mengenakan pakaiannya kembali. Rambutnya yang kusut ia rapikan kembali, walaupun tanpa tali pita, karena talinya telah hilang entah ke mana. Begitu pula dengan sepasang sepatunya. Barang itu juga hilang. Kemudian sambil memasang ikat pinggangnya, dia melirik ke arah penolongnya. Tio Ciu In hanya terbelalak. Dilihatnya orang tua itu mengcengkeram perut dan dadanya. Mulutnya meringis menahan sakit, sementara tubuhnya tampak bergetar seperti orang kedinginan. Bahkan dahinya sudah penuh keringat.
"Lo-Cianpwe...??" Tio Ciu In menjerit kaget. Namun orang tua itu tak menjawab. Dia sedang sibuk melawan rasa sakit yang menyerangnya. Ketika tubuhnya kemudian bergetar dengan hebat dan bergoyang-goyang mau jatuh, Tio Ciu In menubruk. Ternyata pendekar tua itu telah pingsan. Matanya terpejam, sementara pakaiannya basah oleh keringat.
"Lo-Cianpwe...? Lo-Cianpwe...!" Tio Ciu In berteriak-teriak memanggil sambil mengguncang tubuh tua itu. Beberapa saat kemudian mata itu terbuka kembali. Tetapi selain sangat pucat, orang tua itu tampak lemah sekali.
"Maaf, Nona Tio... penyakit lamaku benar-benar kambuh lagi. Untuk beberapa hari aku tidak akan bisa berbuat apa-apa. Kaki dan tanganku lumpuh. Aku hanya dapat menggerakkan kepalaku saja."
"Lumpuh...? Lo-Cianpwe lumpuh?" Tio Ciu In berdesah tak percaya.
"Benar. Aku akan menderita lumpuh untuk beberapa hari, sampai penyakit itu pergi..." Tio Ciu In memandang wajah yang hampir tertutup oleh kumis dan jenggot panjang itu. Dia benar-benar tak mengerti, penyakit apa yang diderita orang tua itu, sehingga harus menderita sedemikian hebatnya. Tampaknya Pendekar Buta tahu apa yang dipikirkan Tio Ciu In.
"Nona Tio, aku menderita penyakit "Salah Jalan." Belasan tahun yang lalu ketika sedang berlatih menghimpun tenaga sakti, seorang musuh telah membokong aku, sehingga latihanku menjadi "salah jalan." Lebih celaka lagi, dalam situasi yang tidak menguntungkan itu, musuh-musuhku yang lain juga datang dan mengeroyok aku. Terpaksa dalam keadaan lemas dan hampir lumpuh aku menghadapi mereka. Ketika akhirnya aku bisa juga meloloskan diri, keadaanku benar-benar sudah hancur luar-dalam. Badanku penuh darah, sementara luka di bagian dalam tubuhku juga parah sekali. Boleh dikatakan keadaanku saat itu seperti mayat hidup. Hidup tidak, tapi matipun juga belum." Orang tua itu berhenti sebentar untuk mengambil napas. Kulit mukanya tampak semakin pucat.
"Akhirnya luka-luka itu memang bisa kusembuhkan. Tapi akibat dari "salah jalan" itu masih kuderita sampai sekarang. Apabila penyakit itu datang, aku sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegahnya. Badanku akan lumpuh untuk beberapa hari." Tio Ciu In menganguk-angguk. Gurunya memang pernah bercerita, bahwa dalam ilmu silat sering terjadi "salah jalan." Semakin tinggi dan rumit ilmu yang dipelajari, semakin banyak pula resiko untuk menderita "salah jalan." Bahkan kesalahan itu sering membawa kematian.
"Lalu... di mana keluarga Lo-Cianpwe? Tentunya mereka yang merawatmu jika penyakit itu datang." Orang tua itu menarik napas dalam-dalam. Dan jawabannya sungguh mengejutkan Tio Ciu In.
"Aku tidak memiliki keluarga lagi, Nona. Semuanya telah tiada. Ayahku, Ibuku, isteriku, anak-anakku, semuanya telah mati mendahului aku. Kini aku hanya sebatang kara saja di dunia ini."
"Sendirian...? Lalu... siapa yang merawatmu selama ini kalau penyakit itu datang? Bukankah kau tidak bisa apa-apa?" Orang tua itu tersenyum kecut.
"Sudah lama aku ingin mati, agar arwahku bisa segera berkumpul dengan keluargaku. Maka di saat-saat kambuh seperti ini, aku justru berharap segera bisa mati. Tapi sampai sekarang penyakit itu belum juga bisa mencabut nyawaku. Meskipun berhari-hari perutku tak diisi, tergolek di tanah dikerumuni semut dan nyamuk, aku tetap masih hidup."
"Aaaah...!" Tio Ciu In menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Bahkan penyakit ini pernah kambuh di saat aku sedang mandi di sungai bawah tanah itu. Begitu mendadak, sehingga aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan diri. Aku tergolek tak berdaya di dalam air dingin itu selama berhari-hari. Celakanya, kepalaku masih tersangkut diantara dua batu, sehingga aku masih tetap bisa bernapas."
"Aaah! Lalu, berapa hari biasanya penyakit itu menyerang?"
"Yah, tergantung keadaan. Kadang-kadang tiga hari... Lima hari, atau... sepuluh hari. Tapi biasanya cuma lima hari."
"Lima hari? Lama juga..." Tio Ciu In bergumam.
"Ah, biarkan saja. Aku juga tidak pernah memikirkannya lagi. Aku malah senang kalau bisa mati. Semuanya berakhir dan aku segera bisa bertemu dengan isteriku... anak-anakku. Mereka sudah terlalu lama menungguku."
"Lo-Cianpwe...?"
"Sudahlah, Nona. kau tak perlu berpikir apa-apa. Yang penting kini adalah mengembalikan tenagamu. Berlatihlah dengan tekun agar kesehatanmu cepat pulih kembali. Setelah itu kau bisa keluar dari gua ini." Tio Ciu In terdiam. Matanya memandang orang tua itu dengan penuh perasaan haru dan sedih. Orang tua yang memiliki ilmu silat sangat tinggi itu ternyata sangat menderita dalam hidupnya. Entah mengapa, tiba-tiba timbul perasaan kasihan di dalam hatinya.
"Lo-Cianpwe, kau juga tidak perlu khawatir. Sementara aku di sini, aku akan merawatmu. Kita sama-sama memulihkan kesehatan." Demikianlah, untuk membalas budi orang tua itu Tio Ciu In merawatnya dengan baik. Atas petunjuk orang tua itu Tio Ciu In membawa penolongnya itu ke gua tempat tinggalnya. Gua itu dapat dicapai melalui lorong-lorong kecil di dalam tanah. Karena Tio Ciu In sendiri juga masih lemah, maka perjalanan itu membutuhkan waktu yang lama. Gua itu bersih dan nyaman. Hembusan udara yang mengalir lewat aliran sungai di depan pintu gua, membuat tempat tersebut tidak panas dan pengap. Sementara di dalam ruang gua telah diatur dan ditata seperti sebuah kamar besar. Ada tempat memasak, mencuci, serta tempat untuk istirahat.
Malam itu angin laut bertiup dengan kencangnya, sehingga udara segar juga berhembus pula dengan kuatnya ke dalam gua. Tio Ciu In mengambil selimut yang ada di rak batu dan menutupkannya di atas tubuh Pendekar Buta. Tiba-tiba gadis itu menarik napas panjang. Entah mengapa, pikirannya melayang kepada Liu Wan, pemuda yang selalu berbaik hati menolongnya. Pemuda itu tentu sedang mencarinya sekarang. Mungkin pemuda itu bersama Jeng-bin Lokai dan kawanan pengemisnya sedang mengobrak-abrik pondok kecil di tengah rawa itu.
* * *
Sama sekali tidak terpikirkan oleh Tio Ciu In, bahwa pada saat itu Liu Wan justru sedang menghadapi maut. Dalam keadaan tertotok lemas pemuda itu harus menghadapi api yang berkobar hebat di sekelilingnya.
(Lanjut ke Jilid 19)
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pendekar Pedang Pelangi (Seri ke 04 " Darah Pendekar)
Karya : Sriwidjono
Jilid 19
Ketika dinding pondok itu mulai terkoyak api, maka satu persatu kayu penahan gentingpun mulai berjatuhan pula. Sementara itu di bagian bawah, tiang penyangga rumah juga sudah mulai goyah digerogoti api. Liu Wan terbatuk-batuk. Matanya hampir tak bisa dibuka lagi. Ruangan itu penuh asap tebal yang menyesakkan napas. Mendadak lantai ruangan itu berderak patah. Ternyata lidah api benar-benar telah membakar balok penyangga lantai, sehingga lantai papan di atasnya langsung rontok pula ke bawah. Otomatis semua orang yang ada di dalam ruangan itu terjeblos ke bawah.
"Byuuuuur...!" Dalam keadaan lumpuh dan terikat mereka tak mungkin dapat bergerak atau berenang menyelamatkan diri. Apalagi ketiga tokoh Aliran Im-yang-kauw itu terikat menjadi satu. Yang bisa mereka lakukan hanya berusaha untuk tetap mengambang dan menempatkan hidung mereka di atas air. Tapi untuk melakukan hal itu juga sulit bukan main. Terutama bagi orang-orang Im-yang-kauw itu. Selain guncangan air membuat mereka selalu bergerak timbul-tenggelam, mereka harus bisa saling bergantian mengambil napas di permukaan air.
Dan usaha itu semakin sulit dengan adanya kayu-kayu yang berjatuhan dari rumah. Untunglah mereka berempat merupakan jago-jago silat yang sudah terbiasa melakukan latihan bernapas di dalam air. Sehingga dengan kemampuan dan kecerdikan mereka, mereka bisa memanfaatkan setiap kesempatan yang ada. Bahkan dengan memanfaatkan alunan gelombang air, mereka dapat menghindari kayu dan api yang berjatuhan di sekitar mereka. Karena pondok itu memang terpencil dan jauh dari pemukiman penduduk, maka tak seorangpun mengetahui kebakaran tersebut. Sampai pondok itu habis roboh ke dalam air, tidak seorangpun datang melawat ke tempat itu. Akhirnya dengan memanfaatkan gelombang air, mereka berempat dapat mendarat di tepian empang.
Mula-mula yang dapat membebaskan diri dari pengaruh totokan adalah Lojin-Ong. Orang tua itu segera melepaskan diri dari ikatan dan keluar dari dalam air. Kemudian berturut-turut ia menolong Tan Sin Lun, Giam Pit Seng dan Liu Wan. Dan begitu selesai mengeluarkan mereka, orang tua itu lalu duduk bersamadi untuk memulihkan tenaga lebih dulu. Beberapa saat kemudian orang tua itu menarik napas panjang. Lalu tubuh yang bongkok itu berdiri. Wajah tua renta itu sudah berseri-seri kembali. Liu Wan memandang kagum. Orang tua itu benar-benar memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Hanya dalam waktu singkat dia bisa memunahkan totokan lawan. Padahal dengan segala kepandaiannya Liu Wan masih tetap belum bisa melepaskan diri. Bahkan usahanya itu justru membuat otot-ototnya menjadi sakit.
"Lo-Cianpwe, tolonglah aku. Bukalah totokanku ini..." Akhirnya pemuda itu memohon perlahan. Orang tua itu menoleh. Mulutnya yang ompong tak bergigi itu tersenyum lebar.
"Anak muda, ilmu silatmu tadi benar-benar hebat. kau bisa melayani Bocah Gila itu dalam beberapa saat lamanya. Aku lantas teringat kepada sahabatku, yang memiliki gerakan seperti ilmu silatmu itu. Dia bernama Hong-lui-kun Yap Kiong Lee Hemmm, kau kenal dengan dia?" Liu Wan tak segera menjawab. Selama ini ia selalu menyamar karena tak ingin dikenal orang, sehingga pertanyaan itu sulit dijawabnya. Untunglah pada saat yang bersamaan terdengar suara ramai mendatangi.
"Apakah itu...?" Liu Wan pura-pura kaget. Lojin-Ong menoleh. Dilihatnya beberapa orang penduduk berlari ke tempat itu. Karena hari sudah gelap, mereka membawa obor di tangan. Ternyata ada juga seorang penduduk yang melihat kebakaran itu. Kebetulan sore tadi ia ingin berobat ke rumah Tabib Ciok. Melihat pondok itu dimakan api, dia cepat kembali memberi tahu tetangga-tetangganya. Tapi karena kampung mereka cukup jauh, maka kedatangan mereka sudah terlambat.
Namun demikian kedatangan orang-orang itu cukup memberi pertolongan kepada Liu Wan dan kawan-kawannya. Mereka membawa Liu Wan dan rombongan orang Im-yang-kauw itu ke kampung mereka. Mereka bergantian menggotong Liu Wan, Giam Pit Seng dan Tan Sin Lun. Hanya Lojin-Ong yang bisa berjalan sendiri. Ternyata mereka tidak mengenal Liu Wan. Wajah pemuda itu sama sekali tidak mirip Tabib Ciok, karena penyamarannya telah dicopot dan dipereteli oleh Mo Hou. Apalagi alat penyamarannya yang lain, seperti bantal pengganjal punggung, gigi palsu dan lain-lainnya, juga copot di dalam empang. Orang-orang itu tinggal di dekat kuil Pek-hok-bio, yang semalam baru saja diobrak-abrik oleh kawanan pengemis dari Tiat-tung Kai-pang.
"Para pendeta kuil itu memang tidak pernah mengganggu penduduk kampung ini. Tapi kami sering bertanya-tanya di dalam hati kalau kebetulan banyak tamu asing yang datang. Logat bicara mereka seperti orang-orang dari luar Tembok Besar." Salah seorang penduduk itu bercerita.
"Benar. Dandanan merekapun lain dengan dandanan orang-orang di sini. Sikap merekapun kasar-kasar. Pernah beberapa orang diantara mereka berkelahi dengan pemuda kami. Untung para pendeta kuil itu cepat melerai." Yang lain ikut berbicara pula.
"Yaaaah, akhirnya ketahuan juga bahwa kuil itu dipergunakan oleh para perusuh dari utara." Pemilik rumah yang dipakai untuk merawat Liu Wan dan kawan-kawannya berkata pelan.
"Siapa yang mengatakan itu?" Lojin-Ong bertanya.
"Para pengemis itu." Orang-orang itu menjawab serentak. Lojin-Ong tersenyum.
"Apakah pengemis-pengemis itu tidak berbohong? Jangan-jangan mereka hanya memfitnah saja, karena permintaan derma mereka ditolak oleh para pendeta kuil itu."
"Wah, Loheng ini ada-ada saja. kau belum tahu siapa mereka. Pengemis-pengemis itu adalah anggota Tiat-tung Kai-pang, yang sangat terkenal di daerah selatan ini. Mereka bukan pengemis-pengemis biasa. Mereka memiliki kepandaian silat tinggi. Segala sepak-terjang mereka juga diatur dan diawasi oleh perkumpulannya."
"Wah, hebat sekali...!" Lojin-Ong pura-pura kagum. Beberapa orang lalu bertanya tentang kebakaran di rumah Tabib Ciok. Mereka juga menanyakan Tabib Ciok dan pembantunya. Lojin-Ong menjadi bingung juga untuk menjawab. Apalagi ketika ia melirik ke arah Liu Wan. Pemuda yang menyamar sebagai Tabib Ciok itu masih tampak lemah tak berdaya. Tentu ada sesuatu yang disembunyikan pemuda itu dan ia tak ingin mencampurinya. Selain mereka belum pernah saling mengenal, hati tuanya merasakan bahwa pemuda itu tak bermaksud jahat. Oleh karena itu ia menjawab pertanyaan orang-orang itu sesuai dengan apa yang dialaminya, tanpa menyinggung atau melibatkan Liu Wan.
"Entahlah. Semula kami hanya ingin mencari tempat aman untuk mengobati luka, karena kami baru saja bertempur dengan perampok di jalan. Eeeeh, tak tahunya para perampok itu masih tetap mengejar kami. Nah, di dalam pondok itulah kami bertempur lagi. Mereka berjumlah banyak, sehingga kami kewalahan. Kami diringkus dan diikat menjadi satu, lalu dibakar bersama-sama pondok kayu itu."
"Oh, begitu. Lalu... apakah Loheng tidak bertemu dengan Tabib Ciok, pemilik rumah itu?" Lojin-Ong menggelengkan kepalanya.
"Ketika kami datang, rumah itu kosong tidak ada penghuninya."
"Ah, kalau begitu Tabib Ciok masih hidup." Orang-orang itu tersenyum gembira. Tampaknya mereka sangat hormat dan suka kepada tabib itu. Sekali lagi Lojin-Ong melirik ke arah Liu Wan. Ketika dilihatnya pemuda itu mulai bisa menggerakkan tangan dan kakinya, dia segera menghampiri.
"Wah, tampaknya kau sudah bisa membebaskan diri dari pengaruh totokan itu. Bukan main. Orang muda zaman sekarang memang hebat-hebat." Ia berbisik di telinga Liu Wan. Liu Wan tersenyum kikuk. Orang tua itu seperti tahu segalanya. Oleh karena itu ia segera mengalihkan pembicaraan.
"Wah, Lo-Cianpwe kejam sekali. Membiarkan kami semua lemas tak berdaya." Lojin-Ong tersenyum maklum.
"Ah, tidak mudah memunahkan totokan itu. Terus terang aku tak mampu melakukannya. Dibutuhkan seorang yang memiliki tenaga dalam sempurna untuk dapat memunahkan totokan itu. Bocah kejam itu benar-benar hebat sekali. Semuda itu usianya, ternyata ilmu silatnya sudah mendekati kesempurnaan. Lohu (aku) yang telah belajar dan mendalami ilmu silat lebih dari tiga perempat abad, rasanya cuma sedikit saja di atasnya. Bahkan Ilmu Memindah Jalan Darah, yang telah kupelajari selama puluhan tahun sama sekali tidak dapat menangkal kekuatan jarinya. Yah, apa boleh buat... Kita terpaksa harus menunggu totokan itu punah sendiri."
Lojin-Ong tidak melanjutkan kata-katanya, karena orang-orang kampung itu segera mendekati Liu Wan pula. Mereka bertanya macam-macam, yang dijawab seadanya oleh pemuda itu. Demikianlah, beberapa saat kemudian Giam Pit Seng dan Tan Sin Lun juga bisa bergerak kembali. Giam Pit Seng segera mengucapkan terima kasih kepada para penolongnya. Sedangkan Liu Wan bergegas mendekati Tan Sin Lun yang pernah berkunjung ke pondoknya. Dengan berbisik Liu Wan minta agar penyamarannya tidak dibeberkan kepada penduduk itu. Setelah berbicara panjang lebar dengan orang-orang kampung itu, Liu Wan lalu memberitahukan keadaan Tio Ciu In dan Tio Siau In kepada Giam Pit Seng. Dia juga bercerita tentang kepergian Tio Ciu In ke markas Tiat-tung Kai-pang ketika mereka berpisah.
"Anak muda! Siapakah tokoh Tiat-tung Kai-pang yang berada di Hang-ciu sekarang? Kudengar Tiat-tung Hong-kai dan Tiat-tung Lokai sudah lama meninggal?" Lojin-Ong berbisik kepada Liu Wan.
"Entahlah, Lo-Cianpwe. Tapi pimpinan Tiat-tung Kai-pang yang ada di Hang-wi sekarang adalah Jeng-bin Lokai." Ternyata berita itu sangat mencemaskan hati Giam Pit Seng. Dengan suara agak gemetar ia meminta pendapat Lojin-Ong.
"Bagaimana kalau kita segera menjumpai anak itu, Lojin-Ong? Siapa tahu anak itu butuh pertolongan? Dia telah kehilangan adiknya, tentu pikirannya sangat kacau."
"Mungkin kita tak perlu ke markas Tiat-tung Kai-pang, Lo-Cianpwe. Hari sudah malam, mungkin Nona Tio sudah kembali ke penginapan. Kita tengok dulu di sana." Liu Wan memotong.
"Baiklah. Kita pergi ke penginapan dulu. Kalau belum kembali, kita pergi ke markas Tiat-tung Kai-pang. Ayoh, sekarang kita berpamitan dulu kepada para penolong kita!" Lojin-Ong mengangguk-angguk, lalu melangkah ke depan untuk meminta diri kepada tuan rumah. Demikianlah, malam itu juga mereka mencari Tio Ciu In. Tan Sin Lun yang sangat mengkhawatirkan keadaan sumoinya, tampak sangat tegang di sepanjang jalan. Dan sikap pemuda pendiam itu tak pernah lepas dari penglihatan Liu Wan.
"Tampaknya memang ada perhatian khusus dari pemuda ini untuk Tio Ciu In." Katanya di dalam hati. Sampai di penginapan mereka mendapat keterangan bahwa Tio Ciu In belum kembali. Tentu saja semuanya menjadi heran dan khawatir. Bahkan Tan Sin Lun mulai berpikir yang bukan-bukan. Jangan-jangan sumoinya mendapat kesulitan di markas Tiat-tung Kai-pang. Lalu dengan tergesa-gesa mereka menuju keluar kota, ke markas Tiat-tung Kai-pang. Namun di tempat itu mereka benar-benar memperoleh berita yang mengejutkan. Tio Ciu In hilang diculik Yok si Ki dan Ho Bing!
"Yok si Ki...? Gila...! Mengapa iblis itu sampai di Pantai Timur ini? Apa yang sedang dicarinya?" Giam Pit Seng tersentak kaget. Nama Yok si Ki memang menyeramkan dan sangat ditakuti orang di mana-mana.
"Siapakah Yok si Ki itu, Suhu?" Tan Sin Lun bertanya. Lojin-Ong kelihatan kesal pula.
"Manusia iblis itu bukan tokoh sembarangan. Dia adalah Ketua Partai Tai-bong-pai. Ilmu silatnya sangat hebat. Terkenal karena kekejamannya dan kesukaannya mempermainkan wanita. Siapapun juga harus berhati-hati bila bertemu dengan orang itu." Tan Sin Lun semakin kelabakan mendengar keterangan itu.
"Lalu... Lalu apa yang mesti kita lakukan, Suhu?" Teriaknya ketakutan. Giam Pit Seng juga tidak kalah khawatirnya. Namun demikian dia masih dapat mengendalikan dirinya. Dia segera meminta pendapat Lojin-Ong, orang yang amat dihormatinya. Sesepuh aliran Im-yang-kauw itu mengelus-elus jenggotnya. Sebelum menjawab ia bertanya lebih dulu kepada Jeng-bin Lokai.
"Lo-heng, benarkah anak itu dibawa oleh Yok si Ki?"
"Lohu tidak tahu pasti, siapa sebenarnya yang membawa Nona Tio. Seingatku si Tongkat Bocor Ho Bing tidak pernah berkawan dengan ketua Tai-bong-pai. Tapi kenyataannya mereka berdua memang berkomplot untuk menculik gadis itu. Lohu menyaksikan sendiri mereka membawa masuk Nona Tio ke dalam rumah. Ketika Lohu bersama kawan-kawan yang lain mengepung dan mengejar mereka, mereka telah hilang tidak tentu rimbanya. Kami lalu menggeledah rumah itu. Tapi kami tetap tak bisa mendapatkan mereka. Kedua orang itu benar-benar hilang..."
"Kau tidak menyelidiki rumah itu dengan teliti? Siapa tahu mereka lewat pintu rahasia?" Jeng-bin Lokai mengangguk.
"Benar. Kami memang curiga, jangan-jangan mereka lari lewat pintu rahasia. Celakanya, kami tidak pernah bisa menemukan pintu rahasia itu. Akhirnya kami memutuskan untuk mencari mereka di rawa-rawa itu. Tetapi mereka tetap tidak dapat kami temukan..." Jeng-bin Lokai memberi keterangan.
"Benar. Tidak biasanya Yok si Ki berkawan dengan orang lain. Dia selalu bertindak sendirian. Dia terlalu percaya pada kemampuannya sendiri. Tentu ada sesuatu yang membuat mereka saling membutuhkan." Lojin-Ong menduga-duga.
"Lalu... apa yang akan kita perbuat, Lojin-Ong?" Giam Pit Seng mendesak.
"Yah, sebaiknya kita melihat rumah di tengah rawa itu lagi. Siapa tahu kita bisa menemukan petunjuk di sana?"
"Benar, Lojin-Ong." Jeng-bin Lokai mengiyakan.
"Satu-satunya petunjuk yang bisa kita cari memang hanya di tempat itu. Marilah... akan kutunjukkan tempatnya."
"Wah, kami cuma mengganggu Jeng-bin Lokai saja..." Giam Pit Seng berdesah kikuk.
"Ah, saudara Giam... jangan terlalu sungkan. Sudah menjadi kewajiban kita untuk saling membantu. Apalagi musibah itu disebabkan oleh keinginan Nona Tio untuk mengunjungi markas kami." Pengemis tua itu menjawab dengan suara ikhlas. Demikianlah, mereka lalu pergi bersama-sama ke pondok Ho Bing. Hari benar-benar telah menjadi gelap ketika mereka sampai di daerah rawa-rawa itu.
"Itulah rumahnya...!" Jeng-bin Lokai menunjuk ke sebuah pondok kecil agak menjorok ke tengah rawa. Mereka meniti jembatan bambu, melangkah menuju halaman pondok. Rumah itu masih tetap terbuka pintunya. Bahkan lampunya juga belum dinyalakan, sehingga dari luar tampak gelap gulita. Tampaknya Ho Bing belum kembali, atau kemungkinan memang benar-benar sudah menghilang dari tempat itu.
"Bagaimana, Lojin-Ong? Kita langsung masuk ke dalam atau kita ketuk dulu pintunya?" Giam Pit Seng meminta pendapat pimpinannya. Lojin-Ong mengerahkan tiga bagian dari seluruh tenaga saktinya, kemudian melangkah mendekati pintu.
"Tampaknya penghuni rumah ini memang belum pulang. Tetapi kita tidak boleh lengah. Siapa tahu ada orang lain di dalam? Atau mungkin juga ada... jebakan?"
"Benar! Kalau begitu... biarlah Lohu yang masuk lebih dahulu!" Jeng-bin Lokai berkata lantang. Lalu tanpa persetujuan kawan-kawannya Jeng-bin Lokai masuk. Lojin-Ong dan Giam Pit Seng cepat mengikuti di belakangnya. Begitu pula dengan yang lain. Mereka masuk ke pondok itu dalam keadaan siap tempur. Pondok kecil itu mempunyai lima buah ruangan, yaitu ruang depan, ruang tengah, ruang samping dan ruang belakang. Mereka memeriksa ruangan tersebut satu persatu dengan teliti. Bangkai serigala masih berserakan di segala tempat, sementara bau anyir juga masih tercium di dalam pondok itu.
"Semuanya belum berubah. Keadaannya masih tetap seperti siang tadi..." Jeng-bin Lokai bergumam perlahan.
"Bagus! Kalau begitu tempat ini belum dijamah orang lain selain kita sendiri. Nah, sekarang... di manakah tempat menghilangnya Yok si Ki dan Ho Bing?" Lojin-Ong berbisik.
"Kami tidak tahu pasti. Mereka menghilang setelah masuk ke Ruang Belakang. Padahal ada tiga buah pintu di dalam ruangan itu. Kami tidak bisa menentukan, pintu mana yang dipakai oleh mereka. Tapi yang jelas semua pintu dapat mereka pergunakan untuk melarikan diri, karena semuanya menuju ke halaman belakang." Mereka berdiri di ruang belakang. Giam Pit Seng menyalakan lampu yang tergantung di dekat pintu keluar menuju dapur. Di dalam keremangan lampu minyak, suasana di dalam pondok itu sungguh menyeramkan.
"Lihat...! Tak ada tanda-tanda yang menunjukkan adanya pintu rahasia di tempat ini. Kesimpulannya... Mereka memang benar-benar lari lewat halaman belakang, menerobos semak-semak, kemudian menyeberangi rawa-rawa. Kami tidak bisa mengikuti mereka, karena mereka lebih paham dan lebih kenal tempat ini." Lojin-Ong, Giam Pit Seng dan yang lain, mencoba meneliti seluruh perabot yang ada di dalam ruangan itu. Mereka mencoba mendapatkan pintu rahasia yang mungkin digunakan oleh Yok si Ki. Namun ternyata tak seorangpun menemukannya. Pintu itu benar-benar tersembunyi. Demikianlah, mereka lalu keluar ke halaman belakang. Dalam temaramnya cahaya bulan yang tampak hanyalah rawa dan semak belukar. Begitu luasnya rawa itu sehingga batasnyapun tidak kelihatan oleh mereka. Suasananya tampak lengang, sunyi, serta mengerikan!
Memburu Iblis Eps 18 Memburu Iblis Eps 13 Memburu Iblis Eps 1