Ceritasilat Novel Online

Tangan Geledek 23


Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo Bagian 23




   Pada pekan ke dua terpaksa bermalam di sebuah hutan. Belasan li di sekeliling tempat ini tidak ada pedusunan sehingga mereka terpaksa bermalam di bawah pohon. Malam itu bulan bersinar terang sekali, mendatangkan suasana romantis di dalam butan itu. Mereka memilih sebuah tempat yang bersih, dibayangi pohon-pobon yangliu yang tinggi dan berbatang ramping seperti pinggang gadis-gadis ayu. Di atas pohon, langit bersih, biru putih kekuning-kuningan penuh sinar bulan yang mendatangkan hawa dingin sejuk menyegarkan.

   Bi Li sepera menjatuhkan diri. duduk di atas rumput lunak menyandarkan tubuh pada sebatang pohon sambil menarik napas penuh nikmat melemaskan anggauta tubuh yang kaku-kaku kelelahan.

   "Aaahhh, enaknya di sini....... nyaman sekali.......!" katanya perlahan, senyumnya menambah cemerlang sinar bulan. Tiang Bu juga merebahkan tubuhnya yang lelah di dekat batang pohon yang sudah tumbang melintang tak jauh dari tempat Bi Li duduk. Mendengar ucapan gadis itu, Tiang Bu memandang dan hatinya berdebar aneh. Bukan main indahnya pemandangan itu. Seorang bidadari mandi cahaya bulan. Alangkah cantik jelitanya Bi Li ketika bersandar pada pohon dengan muka sepenuhnya disinari cahaya bulan purnama. Matanya tertutup dan bulu matanya yang lentik panjang itu menimbulkan bayang-bayang di bawah matanya, manis sekali.

   Bi Li membuka matanya.

   "Kau di mana, Tiang Bu?" tanyanya tanpa menoleh, dengan mata berkedip-kedip jarang.

   "Di sini.....!" jawab pemuda itu.

   "Lebih enak di sini, dapat tidur."

   Mendengar jawaban ini, Bi Li menengadah dan memandang. Ia melihat Tiang Bu melonjorkan kakinya ke depan, pungaung dan kepalanya disandarkan pada batang pohon melintang, seperti memakai bantal. Nampaknya memang enak sekali, tidak seperti bersandar pada batang pohon berdiri, terlalu lurus dan hanya dapat duduk, tak dapat berbaring.

   "Minggirlah, akupun ingin tidur! Jangan borong semus tempat itu!" Bi Li meloncat lincah jenaka.

   Tiang Bu mengguling-gulingkan tubuhnya sampai ia berada di ujung batang pohon lalu berbaring miring sambil tersenyum memandang kawannya yang jenaka itu. Bi Li merebahkan diri terlentang di ujung batang pohon yang lain, kurang lebih lima belas kaki jauhnya dari Tiang Bu sehingga pemuda ini dapat melihat dengan nyata. Bahkan ia dapat mencium bau harum yang selalu selalu semerbak menghambur dari tubuh gadis itu, bau harum yang ganjil sekali. Makin berdebar hati Tiang Bu melihat keindahan wajah dan tubuh gadis remaja yang kini berbaring tak jauh dari tempatnya. Teringat ia akan semua pengalamannya dengan Cui Lin dan Cui Kim dan tiba tiba ingin ia menampar mukanya sendiri.

   Bi Li seorang gadis terhormat, tak patut seorang rendah budi dan hina dina semacam dia memikirkan dan merindukannya! Cepat ia membuang muka ke lain jurusan agar jangan matanya manatapi mahluk indah di depannya itu dan agar jangan sampai hatinya tergoda. Akan tetapi makin dijauhi makin menggoda. Ke manapun juga ia melempar pandang, bayangan gadis telentang dengan, dada dan kepala terganjal batang pohon sehingga dada itu membusung padat dan leher yang putih kekuningan itu berlawanan sekali dengan batang pohon yang berwarna coklat, selalu nampak di depan mata. Seakan-akan bayangan gadis itu berpindah-pindah selalu ke depan matanya, atau seakan-akan sepasang matanya yang pindah ke belakang keplanya, tidak mau meninggalkan pemandangan yang indah itu.

   Akhirnya Tiang Bu berbaring miring lagi menghadapi Bi Li! Aku tidak berhak mengganggunya. aku tidak berharga mcncintainya. tidak patut mengenangkannya, sama sekali tidak boleh mendekatinya. Akan tetapi kalau hanya pandang mata saja apa salahnya? Aku tidak akan merugikannya dengan hanya pandang mata. Dengan pikiran ini, Tiang Bu memuaskan rindunya dengan sepasang matanya. Bi Li agaknya lelah sekali karena gadis itusudah tertidur, napasnya lambat dan halus, bibirnya agak terbuka sehingga gigi yang berderet rata dan putih itu terkena cahaya bulan bersinar-sinar seperti mutiara. Oleh karena gadis itu sudah tidur, Tiang Bu dapat leluasa memandangnya. Dengan sinar mutanya ia mencumbu rayu Bi Li dibelai-belainya rambut yang agak kusut itu, penuh kasih sayang. Heran sekali, terhadap Bi Li ia tidak mengalami rangsangan seperti ketika ia digoda oleh kakak beradik Cui Lin dan Cui Kim. Tidak timbul nafsu binatangnya, yang ada hanya kasih sayang, kasihan dan ingin melindunginya, ingin berkorban untuknya dan ingin hidup berdua yang lain-lain tidak ada artinya lagi baginya.

   "Bi Li mengapa perasaanku terhadap kamu seperti ini.......?" Tiang Bu mengeluh di dalam hatinya dan tak terasa ia merasa berduka sekali. Teringat ia akan keadaannya yang sama sekali tidak patut dijejerkan dengan gadis itu. Bi Li cantik jelita. lebih cantik daripada Ceng Ceng, lebih cantik dari pada Cui Lin dan Cui Kim, lebih cantik dari pada Lai Fei, pendeknya lebih cantik dari pada semua wanita yang pernah ia jumpai. Dan dia sendiri, ah, Tiang Bu cukup maklum dan insaf akan keburukan rupanya. Ia tahu bahwa dia tidak boleh dibilang tampan, apa lagi ganteng. Olok-olok dan ejekan yang dulu dilontarkan ke mukanya oleh Ceng Ceng, sudah cukup jelas. Hidungnya pesek, bibirnya tebal, mukanya kehitaman, gerak-geriknya canggung. Selain itu, ia seorang yatim piatu, seorang pemuda terlantar yang miskin, tidak punya apa-apa. Dia sama sekali tidak memikirkan Bi Li, apalagi mengharapkan dapat mencintai gadis itu. Bermalam di tempat seperti ini bersama saja sebetulnya dia sudah tidak berhak! Apa lagi kalau diingat akan perbuatannya yang terkutuk dengan Cui Lin dan Cui Kim.
Aduhh, dia seorang bermoral bejat. seorang rendah budi. Tak terasa pula dua titik air mata turun dari sepasang matanya. Cepat-cepat Tiang Bu menghapusnya dengan tangan. Mengapa putus asa? Aku sudah cukup menyesal akan penyelewengan itu. bahkan sudah cukup terhukum di dalam jurang, sudah cutup terhina karena perbuatan kotor itu. Aku sudah bertobat dan takkan mengulangi perbuatan keji itu. Ia akan mengerahkan seluruh tenaga batinnya untuk melawan rangsangan nafsu jahat yang agaknya sudah mengalir ke dalam darahnya. Aku harus kuat. Aku seorang jantan.

   "Tiang Bu kau melamun apa........?"

   Tiang Bu kaget sekali. Begitu jauh ia melamun sehingga tidak tahu bahwa gadis itu sudah bergerak dalam tidurnya, kini juga miring menghadapinva dan membuka mata perlahan. Pertanyaan itu biarpun diucapkaa dengnan perlahan dan lembut, tetap saja membuat Tiang Bu kaget dan hampir pemuda ini melompat. Baiknya ia dapat menekan perasaannya dan hanya bangkit lalu duduk menyandarkan punggung di batang pohon.

   "Aku....... aku hanya memtkirkan nasib kita yang buruk.....," akhirnya dapat juga ia menjawab.

   "Mengapa kau bilang buruk?" Kini suara Bi Li menyatakan bahwa ia sudah sadar betul dan sepasang matanya juga terbuka lebih lebar. Ia nampak ingin tahu sekali.

   "Betapa tidak buruk? Nasibmu sudah tak usah ditanya lagi. Dari seorang puteri bangsawan yang semenjak kecil hidup serba mewah dan mulia, sekarang kau berada di tempat sepeti ini, di udara terbuka, bertilam rumput beratap langit berkelambu hutan berlampu bulan......."

   Bi Li tertawa geli.

   "Kau seperti bersajak! Tiang Bu, di tengah malam buta kau bersajak. Benar-benar lucu!"

   Tiang Bu menarik napas panjang sehingga terdergar oleh gadis itu. Bi Li juga bangkit dan duduk seperti Tiang Bu.

   "Tiang Bu, susah benarkah hatimu? Kenapa?"

   "Aku menghela napas bukan menyusahkan nasib sendiri melainkan...... aku kasihan kepadamu kalau kukenang perubahan nasib hidupmu, Bi Li."

   "Aaah, aku yang mengalami sendiri tidak apa-apa kok kau yang susah! Lebih baik kau ceritakan mengapa kau melamun tentang nasibmu. Buruk benarkah nasibmu?"

   "Semenjak kecil ketika berada dengan keluarga Coa. aku memang merasa bahagia, akan tetapi selalu timbul keraguan dan keheranan kalau meIihat sikap para pelayan yang aneh terhadapku. Kemudian aku terculik dan semenjak itu tak pernah kembali ke Kim-bun-to, dan mengalami hal-hal yang selalu tidak menyenangkan hati. Makin tua nasibku menjadi semakin buruk jua??"

   Kembali Bi Li tertawa geli, mengangkat muka ke atas memandang bulan lalu berkata.

   "Bulan, kau dengarlah keluh-kesah kakek ini! Sudah tua nasibnya buruk. Bulan, tak dapatkah kau monolong kakek ini?"

   Kebetulan segumpal awan putih lewat di bawah bulan, untuk sajenak menutupi ratu malam itu.

   "Tiang Bu, kau lihat. Kesusahan hatimu membuat bulan sendiri ikut merasa sedih dan bermuram muka."

   Tiang Bu menghadapi kejenakaan gadis ini dan hatinya terbuka, ia menjadi ikut gembira.

   "Bi Li, kukatakan tadi bahwa nasibku sejak dulu sampai sekarang sialan, akan tetapi hanya berhenti sampai sekarang., Mulai aku berjumpa dengan kau sinar terang mengusir semua kegelapan dan......."

   "Apa maksudmu!?" Bi Li tersentak dari duduk tegak, sepasang matanya memandang penuh selidik dan tajam sekali.

   Tiang Bu sadar bahwa ia mengeluarkan ucapan yang janggal dan patut menimbulkan curiga.

   "Aku tidak bermaksud buruk, Bi Li. Kumaksudkan bahwa semenjak bertemu dengan kau, aku mendapat seorang kawan baru yang kiranya akan dapat bekerja sama dengan aku membasmi orang-orang jahat. Bukankah hal ini menggirangkan hati benar dan mengusir semua kesunyian? Aku... aku tidak bermaksud kurang ajar. Bi Li,... jangan kau marah.....?

   Sikap terang yang diperlihatkan Bi Li menjadi kendur kembali dan gadis itu kembali merebahkan diri seperti tadi sebelum terjaga berbaring terlentang berbantal batang pohon ia mengeluarkan seekor ularnya yang berkulit putih lalu main-main dengan ular ini yang melingkar-lingkar diantara jari-jari tangannya.

   "Siapa marah? Hanya kau yang canggung dan bodoh, ucapanmu kadang kadang membingungkan orang."

   "Memang aku bodoh, Bi Li. Bodoh dan dungu." kata Tiang Bu perlahan, hatinya gondok. Kalau ia masih kecil, tentu ia akan menangis.

   "Pemuda yang merasa seperti kakek-kakek padahal masih hijau, orang berilmu tinggi tapi lemah, yang mau pura-pura jadi orang baik memang kau bodoh! Pek Coa (Ular Putih) ini lebih pintar dari padamu.......!"

   Tiang Bu makin mendongkol, akan tetapi tidak membantah atau menjawab, takut kalau-kalau jawabannya akan lebih menonjolkan kecanggungan dan kebodohannya. Padahal ia sendiri tidak tahu dalam hal apakah ia disebut bodoh, sedangkan dalam persoalan apapun juga ia merasa tidak kalah pintar oleh dara ini. Ia hanya mengerling tanpa menoleh, berbuat seolah-olah tidak mengindahkan dan tidak memperdulikan Bi Li, pada hal matanya sampai terasa hampir juling karena selalu
(Lanjut ke Jilid 23)
Tangan Geledek/Pek Lui Eng (Seri ke 03 -Serial Pendekar Budiman)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 23
mengerling ke kanan! Dari sudut matanya ia melihat gadis itu makin lama makin lemas dan napasnya makin lembut tak lama kamudian Bi Li kembali tidur pulas. Ular putih itu merayap-rayap di antara jari-jari tangan Bi Li dan diam-diam Tiang Bu menyumpahi ular itu.

   "Bedebah kau! Masa macammu lebih pintar dari pada aku? Ular setan, ular siluman! Dan kau boleh sesuka hatimu merayap-rayap membelai-belai dia, disayang dan dicintai!"

   Dengan hati gemas dan kepala penuh cemburu dan iri hati ia melihat betapa ular putih merayap-rayap terus di antara dada Bi Li, kepalanya yang berlidah merah itu dijulur-julurkan, merayap melalui leher yang berkulit putih kekuningan itu, beberapa kali terpeleset di atas rambut hitam halus yang jatuh di pundak. Beberapa kali Tiang Bu menelan ludah memaki-maki ular itu dengan mata penuh kebencian. Tangannya sudah gatal-gatal untuk meraih ular itu dan membantingnya hancur di atas batu untuk melampiaskan rasa marah, cemburu dan iri hatinya. Kemudian gangguan ular itu sampai pada puncaknya ketika ular itu merayap melalui dagu Bi Li dan Iidahnya menjilat-jilat pipi dan bibir gadis itu.

   "Jahanam jangan menghina dia.....!" bentaknya dan sekali tangannya bergerak sebuah batu kecil menyambar dan di lain saat ular itu Sudah menggeletak di dekat tubuh Bi Li dengan kepala remuk dilanggar batu tadi, mati tak berkutik lagi!

   Bi Li tersentak kaget. Ketika matanya yang tajam itu melihat Pek Coa sudah menggeletak dengan kepala hancur di dekat, ia melompat bangun dan sudah mencabut pedangnya.

   "Siapa berani membunuh Pek coa?" bentaknya marah.

   Melihat sikap Bi Li ini, baru Tiang Bu sadar akan perbuatannya tadi dan merasa menyesal. Iapun bangkit berditi dan berkata dengan suara lemah.

   "Maaf, Bi Li. Akulah yang membunuhnya."

   Pedang itu dengan perlahan memasuki kembali sarangnya. Untuk sebentar mata Bi Li terbelalak heran, kemudian membayangkan kekhawatiran ketIka ia melangkah menghampiri Tiang Bu untuk menatap wajah pemuda itu lebih dekat.

   "Kau......? Kau membunuh Pek Coa......?? Aneh sekali, Tiang Bu, kau kenapakah dan mengapa Pek Coa yang kau tahu menjadi kesayanganku itu kau bunuh?"

   "Aku....... aku tidak sengaja??"

   "Tadinya akupun tidak ada niat itu, akan tetapi...... melihat dia menjalar ke atas dada-mu, merayap ke leher dan dagumu...... melihat dia secara kurang ajar sekali menjilat..... pipimu...... bibirmu....."

   "Lalu timbul bencimu?" Heran sekali hati Tiang Bu. Bagaimana gadis itu tahu belaka akan perasaannya?

   "Ya.... eh, aku takut kalau kalau........ kau digigitnya, dia ular berbisa dan kau sedang tidur pulas....... aku lalu....... lalu lupa diri dan...... membunuhnya.! Bi Li, maafkan aku. Kelak aku akan mencarikan ular putih berapa hanyak kau suka untuk menjadi penggantinya."

   Kalau saja ia tidak bicara sambil menundukkan muka, tentu Tiang Bu akan melihat perobahan luar biasa pada wajah gadis itu. Seluruh muka Bi Li menjadi merah sekali dan gadis ini membuang muka, lalu duduk di tempatnya yang tadi. Sekali cokel ia telah membuang bangkai ular putih itu.

   "Dia toh hanya seekor binatang ular...." katanya perlahan.

   "Tiang Bu, kau memang laki-laki bodoh. Jangan ganggu, aku ingin tidur, besok harus melanjutkan perjalanan jauh....." Gadis itu membaringkan tubuhnya, miring membelakangi Tiang Bu dan tak lama kemudian ia sudah pulas lagi. Tinggal Tiang Bu yang gulak-gulik tak dapat pulas, hatirqa tidak karuan rasanya, merasa berdosa terhadap Bi Li. Ularnya kubunuh dan dia tidak marah! Bagaimana dia tahu bahwa aku menjadi benci melihat ular itu menciummya? Heran, sampai berapa jauh dia mengetahui isi hatiku?

   Menjelang pagi, ketika Tiang Bu baru layap-layap tertidur, ia mendengar suara orang. Seperti kebiasaan. seorang ahli silat tinggi, Tiang Bu segera sadar dan menengok. Dilihatnya Bi Li tersenyum-senyum dalam tidurnya dan mengigau dengan suara yang belum pernah ia dengar keluar dari mulut gadis itu, demikian merdu bagikan lagu indah memasuki telinganya.

   "Tiang Bu.... kau..... baik sekali.."

   Dengan wajah berseri Tiang Bu pulas lagi, hatinya girang bukan main, Alangkah lucu dan bodohnya manusia kalau lagi diamuk asmara!

   Beberapa pekan kemudian tibalah Tiang Bui dan Bi Li di daerah lembah Sungai Luan ho yang menikung. Daerah ini terdapat banyak pegunungan dan kaya akan hutan. Tanahnya subur sekali akan tetapi sayangnya, di sana-sani terdapat rawa yang amat berhahaya. Bahkan ada bagian lain yang disebut rawa-rawa maut, karena di sini terdapat rawa yang tertutup rumput-rumput hijau tebal. Padahal di bawah rumput tebal ini bukanlah tanah keras, melainkan lumpur yang amat dalam dan yang mempunyai hawa menyedot. Sekali orang terpeleset ke dalamnya, kalau tidak mendapat pertolongan orang lain. akan sukarlah ia menolong diri sendiri, karena begitu kedua kaki terperosok ke dalam lumpur yang sembunyi di bawah rumput, kaki itu akan terhisap dan sukar dibetot keluar lagi. Makin lama makin dalam sampai akhirnya seluruh tubuh dihisap masuk.

   Kebetulan sekali ketika Tiang Bu dan Bi Li tiba di daerah ini, mereka menjadi saksi akan kengerian ini. Mula-mula mereka mendengar suara binatang menguak keras berkali-kali. Mereka merasa tertarik dan berlari cepat ke arah suara itu. Mula-mula mereka tidak tahu mengapa kijang besar itu meronta-ronta di tengah padang rumput hijau itu sambil menguak-nguak ketakutan. Seakan-akan binatang itu patah kakinya dan tidak bisa lari lagi, atau seakan-akan kedua kakinya terikat sesuatu.

   "Jangan-jangan ia dimangsa ular!" kata Tiang Bu.

   Bi Li mengerutkan kening, hidungnya yang mancung kecil itu berkembang-kempis.

   "Tidak ada ular di sini. Akan tetapi kasihan sekali kijang itu, agaknya ketakutan. Coba kulihat dekat!" Sebelum Tiang Bu sempat mencegah karena pemuda ini sudah merasa curiga melihat padang rumput yang nampaknya mtin sunyi dan menyeramkan itu. Bi Li sudah melompat dan berlari mendekati tempat binatang itu yang meronta-ronta dan memekik-mekik ketakutan. Tiba-tiba Bi Li menjerit dan kedua kakinya amblas ke dalam lumpur yang tertutup rumput hijau. Baiknya gadis ini telah memiliki kepandaian tinggi sehingga tubuhnya tak sampai roboh. Ia mengerahkan ginkangnya untuk menahan keseimbangan badan, tetapi ketika ia mencoba untuk mencabut kedua kakinya, makin dalam ia terjerumus! Baru sekarang Bi Li mengerti apa yang menyebabkan binatang itu meronta-ronta dan memekik-mekik ketakutan. Ia merasa seperti ada sesuatu yang hidup, yang amat kuat menghisap kedua kakinya, terasa dingin-dingin dan betapapun kuat ia bertahan. tubuhnya makin tersedot ke bawah. Tiba-tiba ia menjadi pucat dan baru kali ini selama hidupnya Bi Li ketakutan dan...... menjerit! "Tiang Bu?? tolong.......!"

   Tiang Bu sudah tiba di situ. Pemuda yang cerdik ini sebentar saja dapat menduga apa yang telah terjadi. Dengan hati-hati ia melangkahkan kakinya menjaga jangan sampai terjerumus pula. Kalau demikian halnya mereka takkan tertolong lagi.

   "Tenang, Bi Li. Kau tertangkap oleh apa yang dinamai lumpur maut atau rawa maut. Jangan banyak bergerak, tunggu aku membetotmu keluar. Diam jangan bergerak, Bi Li......."

   Benar saja, setelah Bi Li berhenti bergerak sedotan yang terasa pada kedua kakinya berhenti pula, akan tetapi lumpur itu sudah menghisapnya sampai ia amblas sebatas paha! Ia mandi keringat dingin saking ngeri dan takutnya, dan kini dengan penuh harapan ia melihat betapa Tiang Bu menghampirinya dengan kedua kaki diraba-rabakan ke depan, sambil tangannya mencabuti rumput untuk memilih tanah keras. Akan tetapi, tanah yang tadinya kelihatan keras, begitu diinjaknya lalu Iongsor dan di bawahnya tanah keras itu hanya tipis saja, dan di bawahnya adalah lumpur belaka.

   Celaka, pikir Tiang Bu dengan jantung terhenti berdenyut. Kalau begini, tak mungkin Bi Li dapat tertolong. Begitu ia menarik tubuh gadis itu, tentu tanah yang diinjaknya amblas pula dan mereka berdua akan terjerumus dimakan lautan lumpur!

   "Tiang Bu, mengapa kau berhenti.... Apakah??. apakah aku tak dapat ditolong lagi??.!" Sebagai jawaban, terdengar kijang itu menguak penuh kengerian. Terpaksa Bi Li menengok ke belakang, ke arah kijang yang hanya terpisah lima enam meter dari padanya dan melihat keadaan itu, Bi Li menjerit.

   "Tiang Bu......!"

   Pemuda itupun menengok dan menjadi pucat. Kijang itu kini telah terhisap sampai melewati lehernya, yang kelihatan hanya sapasang mata yang terbelalak ketakutan lebar, hidung yang mendengus-dengus mengeluarkan uap putih dan mulut yang menguak-nguak panjang dan nyaring. Binatang itu tidak merasa sakit hanya takut....... takut luar biasa melihat maut berjoget di depan mukanya. Dan Bi Li yang merasa ngeri lupa diri dan bergerak membuat ia amblas lagi sampai sebatas pinggang.

   "Tiang Bu....... demi Thian....... tolonglah aku...... aku tidak mau mati begini, tidak mau!? teriak Bi li ketakutan dan sepasang matanya melebar seperti mata kijang itu. Nguak terdengar terus, makin lama makin lemah dan yang terakhir suara itu terdengar aneh seperti parau kemudian berhenti tiba-tiba seperti tercekik. Mulut atau moncong kijang itu tidak kelihatan lagi, hanya rumput di mana tadi ia berada bergcrak-gerak, seperti ada ular besar lewat di bawahnya.

   "Bi Li. Kau tunggu sebentar. Kau tenanglah jangan bergerak. Ingat ini. jangan bergerak kalau kau ingin tertolong. Demi Thian, aku akan menolongmu, biarpun aku harus berkorban nyawa. Akan tetapi kau tenanglah, pergunakan lweekang untuk mematikan semua pergerakan tubuh. Hanya kalau kau diam seperti barang mati lumpur itu takkan dapat menyedotmu. Aku akan mencari bambu untuk menolongmu. Tenang.....!"

   Tiang Bu melompat dan berlari ke arah hutan kecil di mana ia melihat batang batang bambu berkelompok dengan daun daunnya yang indah. Setelah tiba di tempat itu, pemuda yang tidak mcmbekal senjata tajam ini lalu menggunakan kedua tangan, mencabuti bambu yang amat kuat itu sampai terlcpas akarnya. Tak lama kemudian ia sudah menyeret tiga batang bambu yang sudah ia patah-patahkan cabang-cabangnya.

   Dengan bambu ini dipasang melintang, dapat menghampiri Bi Li yang betul saja tidak bergerak sama sekali sehingga ia terbenam hanya sampai di pinggang, tidak lebih. Akan tetapi matanya berlinang air mata, mukanya pucat dan bibirnya gemetar. Berdiri di atas tiga batang bambu itu, Tiang Bu dapat berjalan dengan mudahnya, karena bambu-bambu yang panjang itu tidak tenggelam, seperti sebuah perahu rakit.

   Alangkah girang hati Tiang Bu dan juga Bi Li ketika mereka dapat bertemu tangan. Tiang Bu membetot, mengerahkan tenaganya dan....... terangkatlah Bi Li dari dalam lumpur maut yang hampir saja menjadikan gadis ini mangsanya. Saking girangnya Tiang Bu lupa diri dan memeluk gadis itu, tidak perduli pakaiannya sendiri menjadi kotor terkena lumpur yang menyelimuti tubuh dari pakaian Bi Li sebatas pinggang kebawah, Juga Bi Li yang baru saja terlepas dari cengkeraman maut, yang amat mengerikan dan menakutkan, saking terharunya tidak merasa lagi akan pelukan pemuda itu, bahkan ia menyandarkan kepalanya di atas dada Tiang Bu sambil terisak-isak.

   Bi Li bukan seorang gadis penakut, jauh dari pada itu. Sebaliknya, dia memiliki kepandaian tinggi dan nyalinya besar sekali. Menghadapi kematian dalam pertempuran kiranya akan dilakukan dengan senyum di bibir. Akan tetapi ancaman maut yang baru saja dialaminya tadi terlalu mengerikan. Dihisap oleh lumpur perlahan-lahan, sama sekali tidak berdaya seakan-akan maut merenggut nyawa sekerat demi sekerat, ditambah lagi pandangan mengerikan dari kijang yang di hisap sampai lenyap perlahan-lahan tadi, benar-benar luar biasa sekali. Orang yang paling tabah juga akan merasa ngeri. Jauh bedanya dengan menghadapi lawan, biarpun lawan itu kuat bagaimanapun juga, kita dapat melawan dapat berdaya upaya mempertahankan diri.

   Sementara itu, biarpun tadinya ia memeluk tubuh Bi Li karena terharu dan girang dalam usahanya yang berhasil menolong gadis itu terlepas dari cengkeraman maut, setelan pikirannya tenang kembali dan merasa betapa kepala dengan rambut yang hitam halus dan harum itu terletak di dadanya, ketika melihat kulit leher putih kekuningan yang hangat itu demikian dekat dengan mukanya. Tiang Bu teringat akan pengalaman membunuh Pek Coa malam itu. Tiba-tiba dadanva tergetar, berdebar-debar tidak karuan, kedua lengan yang memeluk juga menggigil dan tubuhnya menjadi panas dingin.

   Bi Li agaknya juga tersadar atau terjalar oleh rangsang yang mulai menguasai Tiang Bu, karena ia tersentak kaget dan tiba-tiba merenggutkan tubuhnya dari pelukan Tiang Bu. Pemuda itu sendiri menundukkan mukanya, kedua pipinya merah sekali dan wajahnva nampak sedih, keningnya berkerut. Tiba-tiba tangan kanannya diangkat dan "plakl plak!!" ditamparnya pipinya sendiri dengan kerasnya sampai bibirnya sebelah kanan pecah dan berdarah.

   "Tiang Bu, kau kenapakah?!" Bi Li bertanya, terheran-heran dan lupa akan perasaan malu dan jengah yang tadi membuat ia merenggutkan tubuhnya dan menjauhi pemuda itu.

   "Aku seorang jahat.... aku telah menggunakan kesempatan selagi kau terharu untuk...... untuk memelukmu. Sebenarnya tidak boleh....... aku memang amat jahat. Bi Li.......!"

   Bi Li melangkah maju, sepasang matanya kini bersinar dan wajahnya barseri. Dipegangnya kedua tangan Tiang Bu dan ia berkata.

   "Tidak, Tiang Bu. Kau seorang yang baik sekali, amat baik aku berterima kasih kepadamu. Kalau saja kau tidak cepat mendapatkan akal dengan bambu-bambu itu, aahh......? Bi Li melepaskan kedua tangan Tiang Bu dan menengok memandang ke arah rawa lumpur itu dan bergidik.

   Sikap dan kata-kata gadis ini mengusir kesedihan Tiang Bu yang tadi merasa betapa kembali ia dikuasai oleh rangsang yang jahat dan berbahaya, yang timbul dari dalam tubuhnya. Rangsang yang amat kuat dan kalau kurang waspada, akan dapat manguasai seluruh hati dan pikirannya. akan melumpuhkan pertimbangannya dan melenyapkan sifat kegagahannya seperti dulu dengan Cui Lin dan Cui Kim. Karena itulah ia bersedih. Akan tetapi kata-kala Bi Li menghiburnya, dan pula bukankah tadi iapun belum dikuasai benar-benar dan masih ingat, buktinya ia masih dapat merasa bersedih dan marah kepada diri sendiri.

   "Bi Li, kita harus mencari air untuk mencuci lumpur-lumpur ini. Lihat. pakaianmu sudah tidak karuan macamnya, kotor semua."

   Bi Li memandang.

   "Apa kau juga bersih? Lihat saja, lumpur sudah mengotori muka dan rambutmu," Gadis ini tertawa geli, agaknya baru sekarang ia melihat betapa pipi dan kepala pemuda itu penuh lumpur hitam.

   Dengan gembira kembali dua orang muda ini berlari-lari menjauhi rawa itu dan mncari air. Untuk ini mudah saja. karena Sungai Luan-ho mangalir dekat saja dan mereka segera turun ke dalam sungai. Bi Li berganti pakaian kering dari buntalan yang tadi digendongnya. Akan tetapi Tiang Bu yang tidak mempunyai bekal pakaian, terpaksa, hanya mencuci bagian yang terkena lumpur dan masih terus memakainya. Tentu saja mereka mencuci pakaian di tempat terpisah yang tidak kelihatan dari tempat masing-masing.

   Tak lama kemudian mereka sudah melanjutkan perjalanan, menjelajah daerah pegunungan itu, mencari-cari di mana Hutan Bambu Kuning. Biarpun Tiang Bu sudah menyelidiki dan mendengar bahwa tempat tanggal Liok Kong Ji berada di sekitar tempat ini, namun ia sendiri belum pernah mendatangi tempat ini dan belum tahu di mana sebetulnya letak Hutan Bambu Kuning yang menjadi sarang Liok Kong Ji. Mereka berputaran sampai beberapa hari di tempat ini, naik turun gunung. masuk keluar hutan hutan besar. namun belum juga mereka melihat Hutan Bambu Kuning.

   Bi Li sudah mulai hilang sabar ketika pada hari ke tujuh, pada pagi hari selagi dua orang muda ini berada di sebuah daerah berbatu karang, tiba-tiba mereka mendengar suara orang. Suara ini adalah suara laki laki dan wanita yang agaknya bertengkar, karena suara mereka keras dan terdengar marab-marah. Bi Li dan Tiang Bu menuju ke tempat itu, dan dari balik pohon-pobon dan batu karang mereka mengintai.

   Bi Li melihat seorang pemuda tampan berhadapan dengan dua orang gadis cantik. Melihat pemuda itu, teringatlah Bi Li bahwa itulah pemuda yang dulu ikut menyerbu ke kota raja, pemuda yang tadinya datang bersama tosu kaki buntung sebagai utusan Kaisar Mongol, pemuda lihai yang pernah ia keroyok dengan Wan Sun dahulu di tepi Sungai Hoan ho, pemuda kurang ajar dan ceriwis, Liok Cui Kong. Akan tetapi dua orang gadis cantik itu belum pernah dilihatnya. Tidak demikian dengan Tiang Bu. Begitu melihat dua orang gadis itu, wajahnya berubah sebentar pucat sebentar merah, matanya menyinarkan cahaya aneh, seperti marah dan malu. Ini tidak mengherankan oleh karena dua orang gadis itu bukan lain adalah Cui Lin den Cui Kim!

   Dua orang kakak beradik ini masih secantik dulu, tahi lalat kecil di dagu Cui Lin masih amat manis menarik hati, sepasang mata yang genit dan berbentuk indah itu masih membuat Cui Kim seorang gadis cantik yang jarang ada keduanya. Akan tetapi kecantikan mereka sekarang menjadi racun bagi mata Tiang Bu, bagaikan duri menusuk hatinya, membangkitkan marah dan sakit hatinya. Akan tetapi ia tidak mau rahasianya diketahui Bi Li dan ia dapat mengendalikan perasaannya dan tinggal diam, mengintai di samping Bi Li. Ular-ular yang berada di dalam saku baju Bi Li mulai keluar, tanda bahwa gadis itu bersiap-siap manghadapi pertempuran. Dua orang muda ini masih tidak mau bergerak lebih dulu, hanya mendengarkan pertengkaran antara Cui Kong dan dua orang gadis itu.

   "Kalian masih kukuh tidak mau memberikan katak itu kepadaku?" Cui Kong berkata marah.

   "Kalian ini orang-orang perempuan sungguh tak tahu malu. Untuk apa kalian menyimpan katak itu? Binatang ajaib itu hanya untuk laki-laki, tidak ada artinya kalian membawanya. Lekas berikan kepadaku!"

   "Kong ko, bukan kami yang tidak tahu malu, sebaliknya engkau yang keterlaluan," bantah Cui Lin berani.

   "Binatang ajaib katak pembangkit asmara ini kami dapatkan dari Tiang Bu dan kami simpan sebagai kenang-kenangan. Kami yang berhak memilikinya, setidaknya menjadi hadiah kami sebagai balas jasa kami ketika kita merobohkan Tiang Bu. Mengapa kau mau memaksa kami minta katak ini? Aku tahu kau hendak main gila, kau akan menjadi makin binal dan mata keranjang. Sudah cukup kau menyakiti hati kami!"

   "Setan! Kau bilang apa? Cui Lin, kau dan adikmu ini menjadi berbeda benar sikap kalian setelah menjadi kekasih-kekasih Tiang Bu. Agaknya kalian sudah jatuh cinta benar-benar kepadanya, he? Cinta kepada monyet busuk itu, bukan? Ha-ha ha, sungguh menggelikan!"

   "Cui Kong, kau bicara apa!?" Cui Kim membentak marah sampai lupa menyebut Cui Kong dengan kakak.

   "Jangan terlalu menghina kami!"

   "Cui Kim, di mana kesopananmu?! Aku adalah kakakmu, lupakah kau? Atau kau sudah tidak mau mengaku aku sebagai kakakmu lagi?" bentak Cui Kong marah.

   "Kakak macam apa kau ini?!" Cui Kim berkata dengan nada mengejek.

   "Mana di dunia ini ada kakak yang memperlakukan kami seperti yang kau lakukan? Kami! menurut saja karena kami memang bukan adik-adik kandungmu, kita masing-masing adalah orang lain, dan kami melayani segala kehendakmu membantu dalam segala hal yang kau lakukan. Attie tetapi mana terima kasihmu? Sekarang malah hendak merampas barang yang menjadi hak milik kami. Cuh, tak tahu malu!"

   "Bedebah!" Cui Kong memukul dada Cui Kim. Gadis ini mengelak cepat, akan tetapi sebuah tendangan mengenai perutnya, membuat ia terlempar dan roboh. Sambil meringis kesakitan Cui Kim duduk dan menekan perutnya yang tertendang.

   "Cui Kong, kau terlalu sekali!" seru Cui Lin marah.

   "Untuk kepentinganmu kami sering kali berkorban. Untuk kemenanganmu dan membalasmu kami sampai rela menjadi kekasih Tiang Bu. Sampai sebulan lebih, rela menerima hinaan dari padanya. Sekarang kau bertindak sewenang-wenang melukai adikku. Kau dan kami sama-sama anak angkat dari ayah, ada apakah kau bersikap sebagai atasan kami?"

   Cui Kong tertawa mengejek.

   "Hak tingkat kepandaian, bodoh! Pula, jangan kira ayah akan terlalu membela kalian kalau kalian tidak menurut perintahku. Ayah masih belum tahu bahwa anak-anak angkatnya yang manis-manis, calon-calon penghiburnya yang dirawat sejak kecil sampai menjadi gadis-gadis jelita, ternyata telah menjadi kekasih Tiang Bu. Ha ha ha......!"

   Pada saat itu, sebelum dua orang yang sudah siap bertempur ini saling serang, terdengar seruan orang dan dari balik gunung batu karang muncul dua orang, satu dari kanan kedua dari kiri.

   "Hayaa, kami mencari kalian di mana??!" teriak seorang di antara mereka. Melihat kedatangan dua orang ini, otomatis Cui Kong dan Cui Lin merubah sikap menjadi biasa tidak seperti orang mau bertempur. Bahkan Cui Kim sudah berdiri lagi menahan sakit.

   Sementara itu, mendengar percakapan itu, muka Bi Li juga berubah merah sekali. Ia merasa muak mendengar isi percakapan yang kotor itu, dan beberapa kali ia mengerling ke arah Tiang Bu, bibirnya yang manis ditarik sedemikian rupa untuk mengejek pemuda itu.

   "Aha, kiranya kau mempunyai banyak kekasih! Sekali bertemu saja sudah ada dua orang. Mengapa kau tidak lekas keluar menemui dua orang kekasihmu itu?" katanya perlahan.

   "Ssstt!, diamlah, Bi Li." kata Tiang sambil menyentuh tangin gadis itu, akan tetapi Bi Li menarik tangannya sambil berkata ketus.

   "Jangan pegang tanganku!"

   Tiang Bu kaget dan khawatir. Belum pernah gadis itu bersikap segalak ini, dan agaknya seperti orang marah-marah. Heran! Akan tetapi ia tidak berkata-kata lagi, sebaliknya memperhatikan ke depan seperti Bi Li yang juga sudah memandang ke depan penuh perhatian.

   Yang baru datang adalah seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam, kelihatannya kuat sekali, usianya setara empat puluh tahun. Orang ke dua sebaliknya adalah seorang yang kecil pendek, mukanya kuning pucat seperti berpenyakitan. Akan tetapi baik Bi Li maupun Tiang Bu maklum bahwa orang berpenyakitan ini adalah seorang ahli lweekeh yang tak boleh dipandang ringan.

   "Liok-kongcu, kau membuat beberapa orang kawan sibuk mencarimu ke sana ke mari. Tidak tahunya sedang bersenang-senang dengan jiwi siocia ini di sini," kata si muka hitam.

   "Jiwi-siokhu (kedua paman) menyusul ke sini ada keperluan apakah gerangan?" tanya Cui Kong, menyembunyikan kemendongkolannya.

   "Kami disuruh menyusulmu karena ayahmu yang mulia bendak membicarakan urusan penting denganmu. Agaknya Ui-tiok-lim akan kedatangan tamu tamu penting."

   Mendengar bahwa ia dipanggil ayahnya, Cui Kong tidak berani membantah. Setelah melempar karling penuh ancaman kepada Cui Lin, ia lalu menyatakan baik dan berlari cepat meninggalkan tempat itu, berlari ke balik Pegunungan Batu Karang Putih. Si muka hitam juga lari di belakang Cui Kong. Akan tetapi orang yang kurus kering dan pucat itu tersenyum-senyum di depan Cui Lin lalu berkata.

   "Nona tadi agaknya ribut mulut dengan Liok kongcu. Di antara saudara ribut-ribut ada urusan apakah. Aku adalah saudara angkat Liok-taihiap, aku akan merasa girang sekali kalau dapat mendamaikan urusan kalian."

   Mendengar ini, dua orang gadis itu diam-diam memuji akan kelihaian si muka pucat ini. Juga Tiang Bu diam-diam kaget karena hal itu saja membuktikan bahwa si muka pucat ini benar-benar lihai.

   "Ah, Cong-susiok agaknya main-main. Di antara saudara serdiri, mana kami bertengkar! Hanya sedikit ribut mulut urusan kecil," kata Cui Lin.

   Si muka pucat she Cong itu tertawa bergelak, suaranya tinggi kecil mengiris telinga rasanya.

   
Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ha ha,ha-ha, nona. Aku terhitung pamanmu sendiri. mengapa hendak membohong? Kulihat adikmu ini menderita luka dalam akibat tendangan, apakah ketika menendang Liok-kongcu juga main-main? Lebih baik lekas minum obat ini, agar luka itu tidak menjalar makin hebat" Setelah berkata demikian, ia melemparkan sebutir pel merah kepada Cui Kim yang menerimanya lalu menelannya.

   "Teriima kasih, Cong-sustok. Kau baik sekali. Memang saudaraku Cui Kong itu keterlaluan." kata Cui Kim.

   "Coba saja pikir, kami merampas sebuah benda dari musuh kami dan benda itu sudah menjadi hak milik kami. Masa Kong-ko datang-datang hendak merampasnya dari kami? Mana ada aturan demikian?"

   "Memang tidak ada aturan seperti itu, apalagi kalau benda itu sebuah pusaka seperti katak pembangkit asmara." kata si pucat yang bernama Cong Lung itu.

   "Bagaimana kau bisa tahu, Cong-susiok?" Cui Lin bertanya kaget, juga Cui Kim memandang dengan heran.

   "Tentusaja aku tahu. Juga aku tahu bahwa katak di tanganmu itu tidak ada gunanya bagimu, sebaliknya katak yang berada di tanganku juga tidak ada gunanya bagiku. Kaiau kita bertukar katak, barulah ada gunanya."

   "..... Apa maksudmu, Cong-susiok?" tanya Cui Lie.

   "Kalian mendapatkan katak betina yang tidak ada gunanya bagi orang-orang wanita. sebaliknya aku mendapatkan katak jantan yang sama sekali tidak ada artinya dan tidak lebih baik dan pada katak mampus bagi orang laki-laki. Sebaliknya kalau kita bertukar katak, barulah dua benda ajaib itu akau banyak gunanya bagi kita." Ia tertawa menyeringai.

   "Bagaimana kami bisa mempercayai omonganmu, Cong-susiok."

   "Bukankah katakmu itu berwarna hijau? Katakku berwarna merah dan kalau kalian mau buktinya, mari kita keluarkan katak masing-masing." Sambil berkata demikian, Cong Lung mengeluarkan sebuah kotak yang sama dengan katak yang dibawa oleh Cui Lin. Ia membuka sedikit kotak itu dan terdengarlah bunyi nyaring tinggi.

   "Kok! Kok I Kok!"

   Pada saat itu, Cui Lin mengeluarkan seruan kaget karena kotak di dalam saku bajunya bergerak. Cepat ia mengeluarkan kotak itu dan membuka sedikit tutupnya.

   "Kok-kok-kok!" terdengar suara keras dan besar dari dalam kotak itu dan tutup kotak bergerak-gerak karena binatang itu meronta-ronta.

   "Nan, mereka sudah saling mengenal suara. Bagaimana maukah kau bertukar, nona? Aku bersumpan bahwa aku tidak menipumu."

   Cui Lin yang memang tidak mendapat untung apa-apa dari katak hijau yang ia rampas dari Tiang Bu, segera menukarkan kotak berisi binatang aneh itu. Dan belum lama begitu ia memegangi kotak berisi katak jantan, tiba-tiba mukanya berubah merah dan tak lama kemudian ia tertawa cekikikan sambil memeluk adiknya dan membisikkan sesuatu di telinga adiknya. Juga Cui Kin tertawa cekikikan. Agaknya dua orang gadis bermoral bejat ini sudah mulai merasai pengaruh dari katak ajaib itu yang membuat mereka terkekeh sambil berpelukan mereka hendak lari pergi dari situ, akan tetapi Con Lun berkata.

   "Nanti dulu, nona-nona manis. Ceritakan dari mana mendapatkan katak ini?"

   "Dari dalam saku orang bernama Tiang Bu musuh kami. Karena dia membawa katak itulah kami dapat merobohkan dia, dan kami merampas kataknya setelah itu tak berdaya lagi," jawab Cui Kim yang tertawa-tawa genit dengan mata liar dan pipi kemerahan. Kemudian dia dan kakaknya berlari-larian pergi, kelihatannya girang sekali.

   "Perempuan cabul jangan lari......!" Tiba-tiba Bi Li melompat keluar dengan marah. Sekarang tahulah Bi Li bahwa Tiang Bu roboh di bawah kekuasaan dua orang wanita itu karena pangaruh katak ajaib. Hal ini menimbulkan kemarahan yang luar biasa padanya, maka tanpa menanti isyarat dari Tiang Bu lagi ia sudah melompat ke luar dan beberapa kali lompatan sudah berhadapan dengan Cui Lin dan Cui Kim yang berhenti dan membalikkan tubuh dengan heran. Dua orang gadis ini terheran-heran melihat Tiang Bu yang mereka sangka sudah tewas. Cui Kong tidak pernah bercerita tertang Tiang Bu kepada siapapun juga, karena pemuda itu tentu saja malu bahwa dirinya dibikin seperti bola mati oleh Tiang Bu. Akan tetapi, ketika melihat Bi Li menyerang dengan ular di tangan kiri dan pedang di tangan kanan, Cui Lin dan Cui Kim kaget. Cepat merekapun mencabut pedang dan sebentar saja mereka bertempur ramai.

   Melihat Bi Li sudah turun tangan, Tiang Bu terpaksa melompat ke luar pula. Ia memang ingin menawan seorang di antara mereka untuk menjadi penunjuk jalan. Ia tidak mengkhawatirkan Bi Li yang kiranya cukup tangguh untuk menghadapi pengeroyoknya dua orang gadis cabul itu maka ia segera menghampiri Cong Lun dengan tenang.

   Sementara Cong Lun yang melihat munculnya seorang gadis cantik jelita bersenjata ular dan nampak gagah sekali kini sudah bertempur dikeroyok oleh Cui Lin dan Cui Kim, maklum bahwa inilah agaknya dua di antara tamu-tamu penting" yang dikatakan oleh Liok Kong Ji yaitu musuh-musuh yang datang menyerbu Ui-tiok lim yang harus dilawan. Maka melihat munculnya seorang pemuda tangan kosong bersikap tenang, tanpa banyak cakap lagi ia lalu memapaki dengan tangan kanan diulur untuk menangkap Tiang Bu. Justeru pada saat itu, Tiang Bu juga mengulur tangan untuk menangkapnya. Dua tangan bertemu, dua tangan yang dibentangkan sehingga telapak tangan kanan mereka saling bertumbukan.

   "Plakk??" Tiang Bu merasa betapa ada semacam tenaga menyedot yang luar biasa sekali keluar dari telapak tangan lawan dan menjalar ke dalam tangannya sendiri membuat tangannya terasa pegal-pegal dan kaku. Ia kagum bukan main, tidak mengira bahwa lawannya memiliki tenaga kweekang setinggi itu, maka tadi ia tidak mengerahkan seluruh tenaga karena ia memang tidak berniat membunuh orang.

   Baiknya pemuda ini sudah melatih diri secara hebat sekali di dalam gua yang ia sebut sendiri Gua Siluman di dalam jurang di daerah lembah Sungai Huang-ho itu. Ia telah mempelajari semua isi kitab Seng thian-to yang luar biasa sekali, ilmu keturunan yang hanya menjadi rahasia, diturunkan oleh Tat Mo Couwsu sendiri dan hanya dua orang kakek Omei-san yang pernah melihat dan mempelajarinya. Bedanya kalau kakek 0mei-san itu terlalu banyak mempelujari ilmu silat dari kitab kitab itu, adalah Tiang Bu dapat mempelajari Song-thian-to secara khusus karena karena terkurung dalam jurang, maka kalau dibandingkan dengan dua orang gurunya itu. Tiang Bu lebih sempurna ilmunya yang ia pelajari dari kitab Song-thiau-to. Hasilnya, ia memiliki sinkang yang luar biaya sekali, bahkan lebih hebat dari pada ketika ia mewarisi sin-kang dari dua orang gurunya, kemudian tenaga atau hawa sakti dalam tubuhnya itu lenyap ketika ia tergoda oleh Cui Lin dan Cui Kim.

   Begiitu merasa ada tenaga menyedot luar biasa dari telapak tangan lawannya, Tiang Bu mengerahkan sedikit tenaga membetot dan dengan mudah saja ia dapat menarik kembali tangannya. Cong Lung yang mendapat julukan Ban-kin liong (Naga Bertenaga Selaksa Kati) di daerah utara mengeluarkan seruan kaget. Ia sudah terkenal akan tenaganya yang hebat luar biasa sehingga diumpamakan seekor naga yang bertenaga selaksa kati. Setiap pukulannya akan menghancurkan batu karang, tiap kali tangannya menggunakan tenaga menyedot, tak seorangpun di dunia ini dapat melepaskan diri dengan mudah. Akan tetapi bocah ini, yang kelihatannya sederhana dan masih hijau, setelah kena ditempel telapak tangannya, sekali betot sudah terlepas! Apakah dia sudah kehilangan tenaganya ataukah bocah ini yang menggunakan ilmu sihir? Dengan malu dan penasaran sekali Cong Lung menyerang lagi, kini mengerahkan seluruh Iweekangnya memberondong dada Tiang Bu dengan pukulan tangan kanan kiri.

   Untuk menebus malu tadi Si Naga Bertenaga Selaksa Kati ini rupa-rupanya hendak membunuh Tiung Bu dalam sekali serangan. Akan tetapi, justeru inilah kesalahannya, kalau ia mempergunakan ilmu serangan biasa, dengan ilmu silatnya yang tinggi kiranya mereka berdua masih akan dapat bertempur ramai untuk beberapa babak lamanya. Celakanya, dia mengandalkan lweekangnya, tidak tahu bahwa dalam hal ilmu ini menghadapi Tiang Bu ia sama dengan berjumpa gurunya! Serangannya yang hebat dan dilakukan dengan maksud membunuh ini memukul dirinya sendiri. Tiang Bu menghadapi pukulan dahsyat ini dengan tenang, hanya melakukan gerakan mendorong dengan tangan kirinya ke depan untuk menghadapi gelombang serangan dahsyat itu.

   Ketika dua tenaga raksasa ini bertemu tubuh Tiang Bu hanya bergerak sedikit ke belakang, akan tetapi yang hebat adalah Cong Lung. Ia menjerit kesakitan, tubuhnya terjengkang ke belakang dan jatuh telentang tak bergerak lagi, pingsan. Dari mulutnya keluar darah segar. Masih untung baginya bahwa Tiang Bu tadi tidak mengerahkan tenaga untuk menyerangnya, hanya melakukan pertahanan saja sehingga tenaga serangannya membalik dan memukulnya sendiri. Kalau tenaga yang membalik ini ditambah oleh tenaga serangan Tiang Bu sedikit saja, Cong Lung tidak hanya akan roboh pingsan, akan tetapi tentu akan mati seketika itu juga.

   Sementara Cui Lin dan Cui Kim yang sedang mengeroyok Bi Li merasa kewalahan juga. Gadis yang baru datang ini lihai bukan main ilmu pedangnya, terutama sekali ular di tangan kirinya itu merupakan senjata yang amat berbahaya dan sukar dilawan. Tadinya dua orang gadis ini masih besar hati karena di situ ada Cong Lung, akan tetapi ketika melihat bahwa Cong Lung roboh pingsan, mereka kaget bukan main dan cepat melompat ke belakang terus melarikan diri.

   "Siluman-siluman betina hendak lari kemana?" Bi Li membentak sambil mengejar dua orang lawannya yang melarikan diri ke arah batu karang putih ke mana tadi Cui Kong, juga pergi. Sambil mengejar, B Li menggerakkan tangan dan beberapa buah senjata rahasia pat-kwa-ci menyambar ke arah dua oran gadis yang melarikan diri itu. Senjata rahasi yang dipergunakan oleh Bi Li ini adalah senjata rahasia Ang-jiu Mo-li, hebatnya buka main. Biarpun Cui Lin dan Cui Kim sudah memiliki kepandaian tinggi juga, namun mereika terpaksa membalikkan tubuh dan menggunakan pedang menyampok semua senjata rahasia ini, tidak berani mereka berlaku semberono. Sementara mereka membalik ini Bi Li sudah dekat lagi dan langsung menyerang. Akan tetapi Cui Lin dan Cui Kim tidak mau melayaninya, setelah sekali menangkis, mereka kembali lari, Bi Li hendak melepas senjata rahasia lagi akan tetapi dua orang lawannya sudah melompat ke belakang batu karang dan terus lari sehingga untuk sesaat gunung batu karang menjadi penghalang baginya.

   "Bi Li, jangan kejar...........!" seru Tiang Bu, tahu bahwa Bi Li bukanlah seorang gadis yang mudah tunduk menurut, ia melompat mencegat. Dapat dibayangkan betapa mendongkol hati Bi Li ketika tahu tangannya dipegang dan ditarik dari belakang oleh Tiang Bu.

   "Kau..... kau begitu sayang kepada mereka sehingga tidak ingin melihat aku membunuh mereka? Kau membela kekasih-kekasihmu itu......?" bentaknya marah sambit membanting-banting kaki karena ia tidak berdaya melepaskan pegangan tangan Tiang Bu.

   "Bi Li, kau selalu salah mengerti. Dua orang wanita itu amat curang dan licin kau harus ingat bahwa agaknya kita sudah sampai di daerah Ui-tiok-lim, siapa tahu mereka itu sengaja memancingmu untuk mangejar kemudian menjebakmu! Pula, aku sudah berhasil menangkap seorang yang bisa menjadi penunjuk jalan ke Ui tiok-lim."

   Mendengar ini, dan melihat bahwa dua orang gadis tadi sudah lenyap dari situ, Bi Li mengalah. Akan tetapi pandang matanya kepada Tiang Bu masih membayangkan ke-tidak senangan hatinya. Tiang Bu merasa hal ini ia tahu pula bahwa tentu gadis ini memandang rendah kepadanya setelah mendengar percakapan antara Cui Lin, Cui Kim dan Cong Lung tadi.

   Bi Li menghampiri Cong Lung yang masih pingsan. Ia metihat saku baju orang itu dan teringatlah ia akan katak ajaib yang berada di dalam peti. Tanpa banyak cakap lalu mengambil peti kecil itu dari dalam saku baju Cong Lung.

   "Bi Li, jangan..... sentuh binatang itu!" Tiang Bu berseru dan mengulur tangan hendak merampasnya.

   Bi Li mengelak dan mengejek, matanya bersinar marah.

   "Manusia rendah kau hendak merampasnya dan mengulangi perbuatan rendah seperti dulu dengan dua orang pelacur tadi?"

   Tiang Bu tersentak kaget. Sungguh diluar dugaannya gadis ini akan begitu marah. Benar-benar sukar dimengerti watak wanita.

   "Tidak, Bi Li. Aku....... aku hendak membunuh binatang berbahaya itu!"

   "Bukan kau, akan tetapi aku yang akan membunuhnya. Binatang menyebalkan, menjijikkan!" Dengan gemas ia membuka peti kecil itu dan...... katak hijau itu melompat ke luar cepat bukan main dan di lain saat ular di lengan Bi Li sudah putus lehernya tergigit oleh kaiak itu! Anehnya, tiga ekor ular lain yang tadinya bersembunyi di saku baju Bi Li, kini meruyap ke luar semua, nampak ketakukan dan hendak melarikan diri. Akan tetapi, cepat seperti bersuyap, katak itu sudah melayang lagi dan dalam sekejap mata saja, dua ekor ular lain sudah putus lehernya dan mati. Tinggal seekor lagi ular kecil bersisik putih yang dengan ketakutan mencoba bersembunyi di balik lipatan baju Bi Li. Katak hijau itu mengejar terus dengan buasnya. Melihat ketiga ekor ularnya mati digigit katak yang dibencinya ini, Bi Li menjadi makin marah.

   "Katak siluman mampuslah!" Tangannya mencengkeram ke arah katak, akan tetapi katak itu bukan main cepat gerakannya karena sudah dapat mengelak lagi melompat ke bawah dan cepat menyambar ke belakang tubuh Bi Li untuk mengejar ular bersembunyi di balik punggung. Dengan mulut terpentang lebar katak itu menyerang dari luar baju, tercium olehnya agaknya bau ular yang bersembunyi di balik pungung. Sebelum Bi Li dapat mengelak, katak itu ternyata sudah menempel di punggungnya, menggigit kulit daging punggungnya dan tidak dapat terlepas lagi. Bi Li menjerit dan roboh terguling, pingsan.

   Ternyata bahwa ketika katak itu menyambar ke arah ular yang bersembunyi di balik bajunya, katak ini mencium bau harum luar biasa yang sumbernya berada di punggung Bi Li, maka mengira kalau ular tadi berada di situ, ia lalu menggigit sekuat tenaga. Akan tetapi, begitu menggigit, katak itu bertemu dengan racun yang dulu dipasang oleh Tee-tok Kwan Kok Sun di bawah kulit punggung anaknya ini dan gigitan itu tak dapat terlepas lagi karena katak ajaib ini telah tewas.

   Di lain fihak, racun yang keluar dari mulut katak sudah menjalar ke tubuh Bi Li, bertemu dengan racun penarik ular, terjadi perang hebat menimbulkan hawa panas membakar tubuh gadis itu sehingga Bi Li roboh pingsan. Tiang Bu kaget dan cepat memeluk tubuh gadis itu sehingga tidak terbanting. Ia lebih kaget lagi merasa betapa tubuh itu panas membakar. Pertama-tama ia melihat katak itu yang ternyata sudah mati akan tetapi masih lengket pada punggung Bi Li. Dan ular itu sudah bersembunyi di tempat aman, di dalam lipatan baju. Tiang Bu menjadi bingung.

   Biarpun sudah pernah mempelajari ilmu pengobatan dari Wan Sin Hong tentang luka-luka dan akibat racun, namun belum pernah ia mendengar tentang racun katak hijau, katak pembangkit asmara! Malah baru sekarang ia tahu bahwa "gilanya" dia dulu ketika ia tergoda oleh Cui Lin dan Cui Kim juga karena hawa beracun dari katak hijau ini. Berita yang ia dengar dari percakapan tadi tentang khasiat katak hijau terhadap pria, membuat ia terhibur sedikit. Setidaknya ia mempunyai alasan kini mengapa ia dahulu sampai melakukan perbuatan rendah itu. Kiranya ia berada di bawah pengaruh katak pembangkit asmara.

   Tiang Bu tidak berani sembarangan mempergunakan obat-obatnya untuk menolong Bi Li sebelum ia tahu betul obat apa yang harus diberikannya. Ia menarik bangkai katak itu, tanpa ragu-ragu lagi merobek baju Bi Li bagian punggung setelah miringkan tubuh gadis itu. Tampak kulit punggung yang putih halus dan bekas gigitan katak itu meninggalkan bekas kehijauan. Anehnya, ia melihat bintik merah di punggung itu. bintik yang agaknya sudah lama ada dan yang mengeluarkan bau harum keras sekali. Kini bintik merah itu dilingkari bekas gigitan katak yang berwarna hijau. Tiang Bu mengambil pedang Bi Li yang terlempar di atas tanah menggunakan ujung pedang untuk melukai sedikit pada punggung Bi Li dan melihat darah yang keluar dari luka.

   Darah yang keracunan selalu mendatangkan warna yang akan dapat memastikan obatnya. Keluarlah darah merah segar dari luka itu, darah merah biasa seperti darah orang sehat. Aneh sekali, pikir Tiang Bu. Saking penasaran ia menusuk lagi di dekat luka gigitan katak itu. Kembali mengalir darah merah segar, sama sekali tidak ada tanda-tanda racun. Tiang Bu menjadi makin bingung. Hanya dengan melihat warna darah orang yang tergigit binatang berbisa, ia akan dapat menentukan obat yang mana harus ia pakai. Akan tetapi darah Bi Li ternyata darah sehat yang sama sekali tidak memperlihatkau tanda keracunan.

   Tiang Bu mengeluarkan buku catatannya tentang pengobatan ketika ia belajar dari Wan Sin Hong. ia membaca dan membalik-balik lembaran catatannya itu namun sia-sia belaka. Dia masih terlalu hijau dalam hal ini. Kalau Wan Sin Hong berada di situ pendekar ini akan tahu sebabnya dan akan tertawa, karena sesungguhnya, racun dari katak hijau itu lenyap kekuatannya oleh racun merah yang berada di tubuh Bi Li, racun merah yang dahulu dimasukkan ke punggungnya oleh Tee-tok Kwan Kok Sun.

   Racun merah inilah yang mengeluarkan bau harum dan yang menarik semua ular-ular berbisa yang segera menjadi jinak kalau berdekatan dengan Bi Li. Kini dua macam racun itu saling serang dan kedua-duanya menjadi habis kekuatannya. Perlahan-lahan dan racun yang bertawanan itu menjadi musnah lenyap di dalam darah yang segar, yang mempunyai daya sendiri untuk melebur dua macam racun yang sudah tidak ada gunanya itu. Racun katak lenyap juga racun merah yang menimbulkan bau harum itu musnah. Bau harum dari tubuh Bi Li makin lama makin menghilang dan ia menjadi seorang menusia biasa lagi.

   Karena kehabisan akal dan tidak tahu harus mempergunakan obat apa, Tiang Bu hanya bisa mengambil obat tempel untuk mengobati luka-luka bekas gigitan katak dan bekas tusukan ujung pedang, ditempelkau di punggung gadis itu. Kemudian ia membereskan lagi baju di bagian punggung yang trrbuka dan mengangkat Bi Li ke tempat bersih, di atas rumput yang tumbuh di bawah pobon. Baru saja ia menurunkan Bi Li di atas rumput, gadis itu siuman, mengeluh perlahan, disambung seruan yang menyenangkan hati Tiang Bu.

   "Aduh nyamannya............!" Ketika pemuda itu meraba jidat Bi Li, ternyata hawa panas tadi sudah hilang dan keadaan Bi Li sudah normal kembali. Gadis itu bangkit duduk dan teringatkah dia akan katak hijau yang menyerangnya tadi.

   "Mana binatang itu?" katanya gemas.

   "Dia sudah mati setelah menggigit punggungmu. syukur kau tidak apa-apa," kata Tiang Bu yang menceritakan dengan singkat kejadian tadi. Bi Li menyesal bukan main kehilangan tiga ekor ularnya. Kini ia hanya tinggal mempunyai seekor ular kecil bersisik putih itu, akan tetapi ular ini cukup berbahaya. Ia sendiri masih belum insyaf bahwa sekarang pengaruhnya terhadap ular telah lenyap, bau harum yang aneh itu telah meninggalkan tubuhnya. Ular kecil putih yang tinggal satu satunya itu masih jinak kepadanya karena sudah lama ia pelihara. Terdengar keluhan orang dan Cong Lung bergerak lalu duduk sambil meringis kesakitan.

   

Pedang Penakluk Iblis Eps 26 Pedang Penakluk Iblis Eps 7 Pendekar Budiman Eps 19

Cari Blog Ini