Tangan Geledek 26
Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo Bagian 26
"Apa yang diucapkan oleh Hwa Thian Hwesio yang terhormat tadi memang betul sekali," ia mulai berkata dan diam-diam Hong Kin harus mengaku bahwa tamunya ini pandai mengatur kata-kata, seorang ahli pidato agaknya.
"Telah bertahun-tahun siauwte rindu sekali akan kesempatan berkunjung ke Kim-bun-to dan menerima sedikit petunjuk dalam hal ilmu pedang, Sampai bermimpi-mimpi oleh siauwte pertemuan dengan Wan Sin Hong Tai-kiam-hiap (Pendekar Pedang Besar) dan mendapat petunjuk ilmu pedang barang dua puluh jurus sebelum siauwte mengakui keunggulannya. Selain Wan-taitiap, kiranya di dunia ini tidak ada lagi yang dapat memberi petunjuk kepada siauwte. Sekarang berkat kemurahan hati Hwa Thian Losuhu yang terhormat, siauwte mendapat kurnia dan kehormatan menginjakan kaki di Kim-bun-to, akan tetapt sayang seribu kali sayang. Wan-taihiap tidak berada di sini. Ah, memang nasib siauwte yang sial, dahulu siauwte mana berani lancang datang ke sini!? Sekarang ada perantaran. kiranya tidak berjumpa dengan orangnya.....!"
Hong Kin hanya saling pandang dengan isterinya, akan tetapi Li Hwa mendongkol bukan main. Besar kepala benar orang ini, pikirnya. Di dalam pidatonya tadi jelas ia menonjolkan kesombongannya sungguhpun diatur dengan rangkaian kata yang berliku-liku. Dengan sombong orang she Ouw ini membayangkan bahwa sebelum kalah oleh Wan Sin Hong, sedikitnya ia sanggup melawan sampai dua puluh jurus, dan lebih-lebih lagi sombongnya dengan kata-kata bahwa di dunia ini selain Wan Sin Hong tidak ada yang dapat memberi petunjuk atau dengan lain kata-kata, selain Wan Sin Hong tidak ada orang mampu menandingi ilmu pedangnya!
Dengan mata berapi Li Hwa juga bangkit berdiri, lalu berkata dengan suara nyaring "Sungguh tidak baik mengecewakan tamu yang sudah payah datang dari tempat jauh. Menilik dari ucapan saudara Ouw, tentu memiliki kiamhoat (ilmu pedang) jempolan, apa lagi julukannya Dewa Pedang. Mana suamiku mampu menandingi? Biarpun suamiku sedang pergi dan tidak dapat melayani kehendak tamu, namun aku isterinya dengan ilmu pedang pasaran sanggup mewakili suami sebagai tanda setia. Silakan!" Setelah berkata demikian tangan kanannya bergerak dan "srattt...!? pedang Cheng-liong-kiam tercabut, mengeluarkan cahaya hijau menyilaukan mata.
Boleb jadi 0uw Bong Sin agak sombong akin tetapi ia seorang jujur. Kalau tidak miliki sifat baik di samping kosombongannya mana orang seperti Hwa Thian Hwesio mau menjadi sahabatnya? Melihat sikap Li Hwa dan mendengar bahwa nyonya ini isteri Wan Sin Hong, ia cepat-cepat menjura dan berkata,
"Ah, kiranya hujin ini Wan-toanio? Maaf seribu kali maaf. siauwte bermata tak dapat mengenal! Harap toanio jangan salah duga dan tidak manjadi marah, maafkanlah kala siauwte tadi berlancang mulut. Sesungguhnya dari lubuk hati siauwte tidak ada maksud buruk, siauwte ingin sekali menerima petunjuk dari Wan-taihiap. Mana siauwte berani kurang ajar terhadap toanio? Maaf, maaf!" I a menjura berulang ulang sebingga kemarahan Li Hwa lenyap sebagian besar. Akan tetapi pedang sudah dicabut, amat tidak enak kalau harus disimpan kembali sebelum dimainkan.
"Saudara? Ouw, Kim-bun-to memang tempat orang-orang yang suka akan ilmu silat. Setelah tiba di sini dan sengaja hendak main-main ilmu pedang, apa sih susahnya memberi petunjuk kepada kami? Hitung-hitung memberi pelajaran kepada kami yang masih bodoh....."
"Ah, mana berani...... mana berani....!"
"Kalau begitu, biarlah. Hitung-hitung kita saling menukar dan menambah ilmu, bagai mana?" kata pula Li Hwa.
"Bagus sekali!" Hwa Thian Hwesio bertepuk tangan gembira "Usul Wan-hujin ini memang tepat. Di antara golongan sendiri, di antara ahli-ahli silat, mengapa banyak sungkan-sungkan? Ouw-sicu bertanding pedang dengan Wan-hujin hampir sama dengan berhadapan dengan Wan-taihiap sendiri. Mari beri kesempatan kepada piceng untuk melihat keindahan sinar pedang."
Dengan kata katanya yang mengandung kegembiraan ini Hwa Thian Hwesio sudah mengubah keadaan, dari panas menjadi dingin dan memancing suasana baik sehingga kalau toh terjadi pibu (mengadu kepandaian) akan dilakukan dengan maksud baik, tidak disertai hati meradang dan kepala panas.
"Baiklah, kalau berdasarkan menukar dan menambah ilmu tentu saja siauwte tidak keberatan. Maafkan kelancangan siauwte!? sambil berkata demikian, ia menjura kepada semua orang dengan tubuh membungkuk, ketika tubuhnya tegak kembali, kelihatan sinar merah dan sebatang pedang yang kemerah-merahan telah tercabut, melintang di depan dadanya.
Gerakannya ini sudah menunjukkan bahwa kesombongan orang she Ouw ini memang berisi. Namun Li Hwa sama sekali tidak gentar. Dengan tenang ia melangkah ke tengah ruangan yang luas, berdiri melintangkan pedang di dada sambil berkata.
"Saudara Ouw, silakan!"
Ouw Beng Sin melangkah maju menghampiri, membungkuk-bungkuk dan menjawab.
"Wan toanio, siauwte menanti. Mulailah."
"Aku pihak nyonya rumah, kau mulailah dulu." Li Hwa menjawab, sesuai dengan kesopanan ahli silat.
"Akan tetapi siauwte seorang pria, tidak patut kurang ajar. Toanio jangan banyak sungkan, harap membuka serangan." Memang LI Hwa bukan seorang yang biasa sungkan-sungkan, maka ia mulai memutar pedangnya dan berkata,
"Saudara Ouw, lihat pedang!" Tangannya menggerakkan pedang dan sinar hijau manyambar ke arah dada Ouw Beng Sin.
Ouw Beng Sin cepat menangkis sambil mengerahkan tenaga untuk mengukur sampai di mana tenaga nyonya pendekar itu. Akan tetapi ia kecele karena bagaikan seekor belut yang cepat gerakannya, pedang Cheng-liong kiam sudah ditarik mundur untuk melakukan serangan ke dua membabat leher.
Terkejutlah sekarang Ouw Beng Sin. Dia sudah banyak berhadapan dengan ahli pedang namun belum pernah bertemu ilmu pedang secepat ini. Ia berlaku hati-hati, mengelak dan menangkis sambil mencari lowongan membalas serangan. Akan tetapi, Li Hwa tidak memungkinkan adanya lowongan itu. Pedangnya terus menerjang secara berantai, tidak dapat diselingi sebuah tusukan maupun bacokan dari lawan. Demikian cepatnya gerak pedangnya sehingga yang kelihatan hanya sinar hijau dan Ouw Beng Sin merasa diserang oleh ratusan buah pedang!
"Hebat.....! Kim-hoat bagus.......!" berkali-kali Ouw Beng Sin berseru kagum. Baru sekarang ia merasa takluk betul-betul. Baru isteri Wan Sin Hong saja kiam hoatnya sudah begini luar biasa, apa lagi ilmu pedang pendekar sakti itu! Sebentar saja sinar pedangnya yang kemerahan sudah lenyap cahayanya, terbungkus oleh berkelebatnya sinar hijau, pedang di tangan Li Hwa.
Kalau ia mau, Li Hwa dapat melukai Ouw Beng Sin. Akan tetapi tentu saja Li Hwa tidak mau membikin malu seorang tamu yang dibawa datang oleh Hwa Thian Hwesio. Bukannya karena ilmu kepandaian orang she Ouw itu amat rendah. Sebetulnya ilmu pedang Ouw Beng Sin juga lihai dan pantas kalau jarang ada orang kangouw dapat menandinginya. Kalau hanya Coa Hong Kin atau Go Hui Lian saja kiranya hanya bisa mengimbangi permainan pedang Ouw Beng Sin dan tentu akan makan waktu ratusan jurus baru bisa mangalahkannya.
Kepandaian mereka setingkat. Akan tetapi harus diketahui bahwa sebelumnya Li Hwa memang sudah lebih tinggi tingkat kepandaiannya. Kemudian ditambah lagi oleh latihan dari Toat beng Kui-bo dan akhir-akhir ini mendapat petunjuk dari suaminya sendiri. Tentu saja kiam-hoatnya luar biasa sekali.
Li Hwa hanya menyerang sampai dua puluh jurus. Sengaja ia menanti sampai dua puluh jurus dan pada jurus terakhir ujung pedangnya menotol bajunya di bagian dada kiri Ouw Beng Sin, kemudian ia melompat mundur sambil berkata.
"Saudara Ouw memang memiliki kiam hoat bagus!"
Merah sekali muka Ouw Beng Sin. Gerakan Li Hwa tadi selain indah juga amat cepat sehingga "tusukannya" tidak terlihat oleh orang lain keceuali Ouw Beng Sin yang cepat melirik ke arah bajunya yang sudah bolong kecil.
"Wan-toanio benar-benar lihai sekali ihmu pedangnya." ia berkata sambil menjura berkali-kali. Hwa Thian Hwesio tertawa bergelak dan berkata nyaring.
"Bagus, pinceng telah menyaksikan kiam-hoat indah dan kali ini Ouw-sicu tidak penasaran. Ha-ha-ha!"
Tiba-tiba terdengar suara keras dan tubuh seorang penjaga melayang ke dalam ruangan itu. Muka penjaga itu pucat sekali. Agaknya menderita luka bebat. Dengan susah payah ia bangun kembali dan Hong Kin cepat menolongnya, mendudukkannya di atas bangku.
"A Liok, kau kenapakah?" tanyanya.
"Di luar..... ada penjahat...... Ting twako dibunuh....... dan....... dan....... uaaah!" Penjaga itu muntahkan darah segar dan tubuhnya menjadi lemas, kepalanya lunglai dan terbanting ke atas meja. Bagaikan orang tertidur saja ia tak bergerak.
Semua orang menjadi terkejut dan cepat memandang ke luar. Sunyi saja di luar. Akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan yang gerakannya cepat bukan main sehingga tahu-tahu kelihatan orangnya di dalam ruangan itu, tersenyum-senyum mengejek dan matanya menyapu-nyapu lima orang yang berdiri memandangnya. Dia masih muda, seorang pemuda tampan yang membawa dua senjata aneh sekali.
Tangan kanannya memegang sebuah lengan manusia yang sudah tidak ada dagingnya, tinggal kulit yang membungkus tulang dan di dekat pergelangan tangan terdapat seekor ular putih berbisa. Tangan kirinya memegang sebatang huncwe bambu. Ia memandang sambil tersenyum, kadang-kadang mengisap ujung huncwe yang sudah diisi tembakau dan menyala, akan tetapi anehnya, asap yang diisapnya tak pernah keluar dari mulutnya.
Lima orang yang berada di ruangan itu adalah ahli-ahli silat tinggi. Melihat cara pemuda tampan ini mengisap huncwa yang terus disedot ke dalam akan tetapi tidak dikeluarkan lagi, menjadi terkejut. Hanya dengan lweekang yang amat tinggi orang dapat melakukan hal ini dan secara diam-diam pemuda ini datang-datang telah mendemonstrasikan kesaktiannya.
"Kau siapakah dan apakah kau yang membunuh, dan melukai dua orang panjaga rumah kami?" tanya Coa Hong Kin yang sudah melangkah maju.
Pemuda itu bukan lain adalah Liok Cui Kong! Senyumnya melebar dan harus diakui bahwa pemuda ini berwajah tampan. Dengan sikap kurang ajar ia melirik ke arah Hui Lian dan Li Hwa, kemudian menjawab.
"Kusangka penjaga-penjaga Kim bun-to lihai, tidak tahunya hanya gentong-gentong kosong! Ada tamu agung tidak disambut, bukankah mereka itu kurang ajar dan patut dibunuh?" Mendengar ucapan ini, Hui Lian naik darah. Ia melangkah maju dan berdiri dekat suaminya, lalu menudingkan telunjuknya ke arah pemuda itu.
"Tikus busuk! Siapa namamu dan dengan maksud apa kau datang-datang mengacau? Apa kau sudah bosan hidup?" Sambil berkata demikian Hui Lian sudah mencabut pedangnya juga Hong Kin meraba gagang pedang karena maklum bahwa pemuda itu datang bukan dengan maksud baik.
"Hmmm, kalau tidak salah lihat, pernah pinceng melihat muka orang muda ini, dia bersama bangsat besar Liok Kong Ji....." Hwa Thian Hwesio menghentikan kata-katanya ketika sepasang mata pemuda itu memandang dengan tajam penuh ancaman seperti mata setan.
"Aku bernama Liok Cui Kong dan siapakah di antara kalian yang bernama Coa Hong Kin dan Go Hui Lian?"
"Kami yang bernama Coa Hong Kin dan Go Hui Lian. Kau mau apa?" Kini Hong Kin juga sudah mencabut pedang.
Cui Kong tertawa mengejek.
"Apakah Tiang Bu itu anak kalian?"
Mendengar pertanyaan ini, Hong Kin melengak. Akan tetapi Hui Lian segera menjawab.
"Betul, Tiang Bu anak kami. Kau mau apa?"
Kembali Cui Kong tertawa dan tiba-tiba menyemburkan asap putih bergumpal-gumpal ke arah muka Hong Kin dan Hui Lian.
"Bagus! Aku datang hendak membunuh kalian. Ha-ha ha!" Makin banyak asap ke luar dari mulut pemuda ini. agaknya asap dari huncwe yang tadi diisapnya dan baru sekarang ia keluarkan. Hong Kin dan Hui Lian kaget sekali, hendak mengelak namun tidak keburu,. Mata mereka terasa pedas tak dapat dibuka dan bau yang amat keras menyesakkan pernapasan mereka.
"Asap beracun, awas!" seru Hwa Thian Hwesio yang cepat mendekap hidung dan mulutnya, sedangkan tangan kirinya menggerakkan tongkat. Juga Li Hwa sudah mencabut pedang sambil mengeluarkan dua butir pil merah. Sebutir ia masukkan ke dalam mulut, yang sebutir lagi ia berikan kepada Hwa Thian Hwesio.
"Hwa Thian suhu, simpan ini di mulut dan mari kita gempur iblis cilik ini!"
Akan tetapi, Cui Kong benar benar hebat. Ia menyemburkan terus asap putih itu memenuhi ruangan dan lengan manusia dengan ularnya itu mulai ia gerakkan menyerang Hwa Thian Hwesio yang berada di mukanya.
Ouw Beng Sin berseru.
"Pemuda jahat sekali, kau mampus di tanganku orang she Ouw." Pedangnya diayun dan karena kebetulan berdiri di belakang Cui Kong ia langsung menyabetkan pedang ke arah kepala pemuda itu sekuat tenaga. Akan tetapi. tanpa menoleh Cui Kong menyabetkan tangan kering itu ke belakang untuk menangkis dan...... Ouw Beng Sin memekik nyaring lalu roboh, tewas tergigit ular putih yang amat berbisa!
Sementara itu, Hui Lian dan Hong Kin masih terhuyung huyung dan mundur sambil batuk-batuk. Baiknya ada Hwa Thian Hwesio dan Li Hwa yang sudah memutar senjata menyerang Cui Kong sehingga pemuda ini terhambat gerakannya. Kalau tidak ada pertolongan ini, tentu dengan mudah Cui Kong dapat menyerang suami isteri yang sedang repot ini.
Asap yang disemburkan oleh Cui Kong memang asap berbisa yang amat berbahaya. Mata hanya terasa pedas saja kalau terkena akan tetapi siapa yang menyedot asap ini, paru-parunya akan keracunan dan keadaannya berbahaya sekali. Cui Kong seridiri sudah mempergunakan obat penawar maka ia tidak terpengaruh oleh asap ini. Selain asapnya yang berbisa, juga huncwe di tangan pemuda itu adalah sebuah senjata yang luar biasa lihainya dipergunakan untuk menotok jalan darah.
Kepandaian Cui Kong dalam mempergunakan senjata istimewa ini amat tinggi. Ditambah lagi dengan senjata aneh berupa lengan manusia dengan ular berbisa, benar-benar Cui Kong merupakan lawan yang amat tangguh. Bahkan pengeroyokan Li Hwa dan Hwa Thian Hwesio tak dapat mendesaknya. Sebaliknya. Cui Kong tidak mau menghabiskan seluruh perhatiannya untuk dua orang lihai ini. Kedatangannya untuk membunuh ayah ibu Tiang Bu sebagai perbuatan balasan dari serbuan Tiang Bu ke Ui tiok-lim.
la tahu bahwa setelah Tiang Bu tidak mau mengaku Kong Ji sebagai ayah bahkan memusuhinya, tentu Tiang Bu amat sayang kepada ayah bunda angkatnya ini. Dan menghadapi Tiang Bu sendiri adalah berbahaya dan sukar karena Tiang Bu amat lihai, jalan satu-satunya yang paling mudah dan terbaik untuk membalas dendam hanyalah mencelakai ayah bunda angkat Tiang Bu yang berada di Kim-bun-to ini.
Oleh karena itulah, ia menangkis serangan-serangan Li Hwa dan Hwa Thian Hwesio sambil menghambur-hamburkan asap beracun, kemudian berusaha keras untuk menyerang dan mendesak
(Lanjut ke Jilid 26)
Tangan Geledek/Pek Lui Eng (Seri ke 03 -Serial Pendekar Budiman)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 26
Hong Kin dap Hui Lian yang masih belum dapat membuka mata dan masih kebigungan di pojok ruangan. Li Hwa maklum akan maksud ini, demikian pula Hwa Thian Hwesio.
Maka dua orang ini yang merasa amat khawatir akan keselamatan suami isteri terus mendesak Cui Kong sambil melindungi mereka, sungguhpun amat sukar bagi mereka usaha ini karena mata mereka sendiri terasa pedas-pedas dan sudah mengeluarkan air mata karena pengaruh asap beracun. Cui Kong mempercepat gerakan lengan manusia dan huncwenya. Kepandaiannya memang masih lebih tinggi dari pada kepandaian Li Hwa dan Hwa Thian Hwesio, maka sedikit demi sedikit ia mulai dapat mendekati Hong Kin dan Hui Lian! Keselamatan suami isteri Kim-bun-to ini benar-benar terancam bahaya maut!
Asap beracun yang keluar dari huncwe Cui Kong itu benar-benar amat berbahaya. Karena Hong Kin dan Hui Lian tadi berdiri di depannya, maka asap yang disemburkan itu tepat memasuki mata suami-isteri ini dan membuat mereka sukar membuka mata yang amat pedas rasanya.
Hwa Thian Hwesio sudah mempunyai pengalaman luas. Ia dapat menduga atau mengira-ngira bahwa tentu Tiang Bu telah membuat sakit hati Kong Ji dan Cui Kong maka sekarang pemuda ini datang hendak membalas dendam kepada ayah bunda Tiang Bu. Maka sambil menggereng kakek gundul ini mengayun tongkatnya menyerang pemuda itu agar jangan sampai mencelakai Hong Kin dan isterinya. Akan tetapi dengan enak saja Cui Kong meloncat maju, huncwenya menangkis tongkat dan lengan kering yang dipegangnya menyambar.
"Krakk!" Jari-jari tangan lengan kering itu tepat menghantam leher Hwa Thian Hwesio. Dunia menjadi gelap di depan mata hwesio semua kesadarannya masih membuat ia lekas-lekas melempar diri ke belakang. Ia bergulingan di atas lantai dan pingsan Baiknya ia tadi melempar diri ke belakang kalau tidak, tentu ular putih yang melingkar di lengan itu akan menggigitnya dan kalau hal ini terjadi, nyawanya tentu sudah melayang.
"Iblis keji, rasakan pembalasanku!" Li Hwa menjerit marah dan pedangnya yang berubah menjadi segunduk sinar hijau menyambar-nyambar bagaikan naga mengamuk. Cui Kong kewalahan juga menghadapi ilmu pedang yang lihai ini, maka terpaksa untuk sementara meninggalkan Hong Kin dan Hui Lian, mencurahkan perhatiannya menghadapi serangan Li Hwa. Setelah ia melawan dengan sepenuh tenaga, baru ia dapat membendung gelombang serangan sinar hijau itu.
Sementara itu, biarpun matanya sukar di buka lama-lama, Hui Liao dan Hong Kin dapat menangkap suara pertempuran itu dan tahu bahwa Ouw Beng Sin dan Hwa Thian Hwesio sudah roboh oleh pemuda lihai itu. Mereka menjadi nekat. Dengan mata dipaksa terbuka, Hui Lian menerjang dengan pedangnya. Hong Kin juga demikian, menyerang mati-matian membantu Li Hwa.
"Adik Hui Lian, jangan dekat?..!" seru Li Hwa.
"Biar aku menghadapi setan ini!" Nyonya ini maklum bahwa kedatangan Cui Long adalah hendak membunuh suami isteri ini dan melihat keadaan mereka, sukar untuk mengalahkan Cui Kong. Kalau saja mata suami isteri ini tidak terpengaruh asap beracun, tentu mereka bertiga dapat menandinginya, akan tetapi keadaan sekarang lain. Amat berbahaya kalau Hong Kin dan Hui Lian maju. Akan tetapi mana suami isteri yang berjiwa gagah itu mau mundur membiarkan Li Hwa seorang diri menghadapi musuh yang tangguh? LI Hwa hendak menolong mereka tampa memperdulikan keselamatan nyawa sendiri, mereka juga tidak akan mundur, tidak takut mati dalam menghadapi musuh membantu Li Hwa.
"Ha-ha.ha, ayah bunda Tiang Bu, si keparat ternyata tidak seberapa! Ha-ha!" Cui Kong mengejek sambil memutar ua senjatanya yang aneh.
Sebetulnya ilmu kepandaian Hong Kin tidak rendah. Apa lagi Hui Lian. Nyonya ini adalah adik seperguruan dari Liok Kong Ji sendiri. Ilmu pedangnya lihai bukan main. Akan tetapi, kini mereka tidak dapat bergerak leluasa karena mata terasa sukar sekali dibuka terus. Dan yang mereka hadapi adalah Liok Cui Kong, seorang pemuda gemblengan yang amat luar biasa ilmu kepandaiannya. Selain mendapat petunjuk dari Liok Kong Ji sendiri, juga pemuda ini adalah murid dari Lothian-tung Cun Gi Tosu.
Hui Lian marah bukan main. Sambil menggertak gigi ia membuka matanya yang pedas itu lebar-lebar. kemudian ia menggerakkan pedangnya dari atas ke bawah lalu membalik dengan mendadak dimiringkan dengan gerakan menyerong dan ujungnya membuat lingkaran-lingkaran.
Inilah gerakan yang disebut Hui-in-ci-tian (Awan Mengeluarkau Kilat ), sebuah gerakan tipu dalam ilmu Pedang Pak-kek Kiam-sut. Hebatnya bukan kepalang! Tidak percuma Hui Liang menjadi puteri pendekar besar Go Ciang Lee.
Cui Kong benar-benar terkejut. Baru terbuka matanya bahwa dua orang suami isteri yang secara menggelap telah ia serang dengan asap ini adalah ahli-ahli pedang yang lihai. Cepat ia meninggalkan Li Hwa, menggunakan tongkatnya menangkis sinar pedang yang menyambar-nyambar leher dan kepalanya.
"Plaak!" Tongkatnya menempel pada pedang dan tak dapat ditarik kembali karena tiba-tiba pedang nyonya itu diputar cepat sehingga tongkatnya turut berputaran.
"Mampuslah kau, bedebah!" Hui Lian membentak sambil memukul dengan tangan kirinya ke arah pusar lawannya. Pukulan ini juga bukan serangan biasa, melainkan gerakan Hai ti lap-liong (Menyelam ke Laut Mengejar Naga) dari Ilmu silat Thian-hong cianghwat peninggalan ayahnya. Keistimewaan pukulan ini yalah dilakukan dalam keadaan tak tersangka-sangka dan luar biasa cepat datangnya.
Sebelum Cui Kong sempat mengelak atau menangkis, pukulan sudah sampai di pusarnya! Pemuda itu pasti akan terjungkal mampus kalau saja tenaga lweeeang dari Hui Lian lebih besar lagi. Sayangnya, tenaga dalam nyonya itu masih kalah jauh oleh Cui Kong, pemuda ini dengan muka pucat cepat merendahkan diri sehingga pukulan itu tidak mangenai pusarnya, melainkan mengenai dada. Ia mengerahkan sinkangnya menyambut datangnya pukulan, akan tetapi berbareng mengerjakan lengan kirinya ke arah leher Hui Lian.
Dada Cui Kong terpukul dan pemuda itu terhuyung mundur dengan muka pucat, akan tetapi Hui Lian mengeluh perlahan dan roboh dengan pedang masih di tangan. Ternyata bahwa leher nyonya perkasa ini telah terpagut ular putih yang melingkar di pergelangan lengan kering itu dan dalam sekejap saja racun ular telah menjalar ke seluruh tubuhnya. Sungguh sayang nyonya yang perkasa ini terpaksa harus melepaskan napas terakhir dalam tangan Liok Cui Kong.
Hong Kin mengeluarkan seruan kaget dan marah bukan main. Ia menubruk maju dan menukan pedangnya secepat kilat. Gerakannya ini sudah bukan gerakan menurut ilmu pedang lagi yang selain mengandung sifat menyerang selalu ada sifat melindungi diri. Serangan Hong Kin kali ini sama sekali tidak mengandung unsur penjagaan diri, seratus prosen menyerang dengan nekat dan cepat sekali. Menghadapi kenekatan seorang ahli pedang seperti Hong Kin, betapapun lihai adanya Cui Kong tetap saja ia tidak keburu mengelak. Hampir saja lehernya tertembus pedang kalau saja ia tidak sempat membuang diri ke kanan sehingga hanya kulit leher dan pundaknya yang terkena pedang sampai mengeluarkan darah banyak sekali.
Marahlah Cui Kong, dengan sepenuh tenaga lengan kering itu di sabetkan kepada Li Hwa yang sudah mendesaknya lagi, sedangkan huncwenya ia pukulkan ke depan menghantam kepala Hong Kin. Hong Kin mencoba untuk menangkis pukulan ini dengan pedangnya, namun ia kalah tenaga. Benar huncwe dapat tertangkis, akan tetapi melesat dan dengan tepat mengenai pinggir kepala di atas telinga.
"Prakk!" Tanpa mengeluarkan keluhan. Tubuh Hong Kin terguling dan bergelimpangan di dekat jenazah isterinya, tak bernyawa lagi!
"Iblis terkutut! Mari kita mengadu jiwa!" seru Li Hwa marah sekali dan kedua matanya bercucuran air mata melihat nasib dua orang sahabat baiknya itu. Pedangnya mendesak dan kemarahannya membuat gerakannya lebih hebat daripada biasanya. Juga kini tangan kirinya sudah mengeluarkan Cheng-jouw-cian ( Jarum Rumput Hijau) siap untuk menyerang lawan tangguh itu dengan senjata rahasianya yang sudah amat terkenal itu.
Cui Kong tertawa bergelak. Girang sekali hatinya dapat menewaskan Coa Hong Kin dan Go Hui Lian. Himpas sudah sakit hatinya terhadap Tiang Bu yang dalam penyerbuan Ui-liok-lim telah menewaskan banyak kawan dan merusak bangunan itu semau-maunya.
"Ha-ha-ha, Tiang Bu! Aku ingin melihat mukamu kalau kau melihat ayah ibumu menggeletak tak bernyawa oleh tanganku. Ha ha ha!" Sambil tertawa-tawa Cui Kong melawan Li Hwa. Memang ilmu kepandaian pemuda ini hebat sekali, bahkan Li Hwa masih bukan tandingannya. Ular di lengan kering itu terus menerus mengancam, membuat Li Hwa tak dapat mendesaknya. Sebaliknya, nyonya yang terkenal dengan julukan Hui eng Niocu ini sekarang terpaksa mundur selalu untuk menghindarkan sepasang senjata aneh dari lawannya yang masih muda.
"Ha ha ha, nyonya manis, kepandaiannya boleh juga. Akan tetapi tuan mudamu tak boleh kaupandang rendah! Nah, terima seranganku!" Huncwe mautnya bekerja cepat sekali. Li Hwa masih menangkis dengan pedangnya dengan maksud mematahkan huncwe itu dengan Cheng-liong-kiam. Namun, huncwe di tangan Cui Kong itu terbuat dari bahan yang amat keras. Huncwe terpental, akan tetapi bukan terpental membalik, melainkan menyerong ke atas dan tahu-tahu huncwe itu telah berhasil mengetuk pundak kiri Li Hwa! Nyonya ini terhuyung sambil memegangi pundaknya.
Cui Kong tertawa terbahak-bahak sambil melompat keluar karena pada saat itu di luar rumah terdengar amat banyak orang. 0rang-orang penduduk Pulau Kim-ban-yo yang datang tertarik oleh ribut-ribut di dalam. Li Hwa menggigit bibirnya, melepaskan pedang dan tangan kanannya yang masih dapat digerakkan lalu menghujankan Cheng-jouw-ciam ke arah bayangan Cui Kong.
Namun percuma saja. Cui Kong gesit sekali gerakannya dan sebentar sudah menghilang melalui atas genteng. Hanya suara ketawanya yang bergema menyeramkan. Ketika penduduk datang menyerbu ke dalam. mereka hanya dapat menolong para korban keganasan Liok Cui Kong. putera angkat Liok Kong Ji yang telah mewarisi kekejaman ayah angkatnya.
Pada suatu pagi yang indah di kaki Pegunungan Tapie-san, matahati sudah naik tinggi dan pagi hari itu benar-benar indah. Di pinggir jalan, para petani sibuk bekerja di sawah ladang di mana batang-batang padi sudah satu kaki tingginya, hijau segar bergoyang-goyang tertiup angin seperti penari penari bergerak lincah. Para petani bekerja riang, dan digembirakan oleh harapan panen baik.
Burung-burung beterbangan, diteriaki dan disoraki, ditakut-takuti oleh para petani yang amat membenci mereka. Biarpun barang padi belum berbuah, namun para petani sudah benci melihat kedatangan burung-burung ini. Sebagian besar para petani mencabut-cabuti rumput liar yang tumbuh di sekitar padi. Sebagian pula mengatur perairan agar sawah mereka tidak kekurangan air.
Dari arah utara kelihatan seorang gadis menuntun seekor kuda tinggi besar. Gadis ini sampai turun dan kudanya dan berjalan kaki agar dapat lebih menikmati pemandangan alam indah di pagi cerah itu. Pakaian gadis ini sederhana saja, rambutnya yang hitam dibiarkan tergantung ke belakang punggung, diikat pita di tengah-tengah. Namun kesederhanaannya tidak menyembunyikan kecantikannya yang menawan hati. Gadis ini manis benar, usianya paling banyak sembilan belas tahun. Pada wajahnya yang manis dan halus itu terbayang kegagahan, terutama sekali terpancar dari pasang matanya yang tajam. Memang tidak sukar menduga bahwa dia adalah seorang gadis kangouw yang memilliki kepandaian ilmu silat. Seorang gadis muda melakukan perjalanan seorang diri, membawa seekor kuda yang kelihatan liar dan tinggi besar. sudah barang tentu gadis itu bukan sembarang wanita. Tanpa memiliki kepandaian, mana seorang gadis seperti dia berani menunggang kuda setinggi itu.
Dara manis ini bukan lain adalah Lie Ceng, puteri Pek-touw tiauw ong Lie Kong. Usianya delapan belas tahun dan semerjak Ceng Ceng dikalahkan oleh Tiang Bu dahulu ketika ia berusia lima belas tahun, gadis ini melatih diri dengan tekun sehingga ia mewarisi kepandaian ayah bundanya, juga ia kini telah dapat mewarisi isi kitab Pat-sian-jut-hun yang didapat oleh ayahnya dari Omei-san. Kepandaiannya sudah meningkat tinggi sekali, akan tetapi wataknya masih tetap seperti dulu gembira, lincah dan galak!
Seperti telah dituturkan di bagian depan, tiga tahun yang lalu pernah ia bertemu dengan Tiang Bu dan kedua orang tuanya malah sudah menetapkan untuk menjodohkan dia dengan Tiang Bu. Akan tetapi Ceng Ceng dengan tegas menolak perjodohan itu, Berkali-kali kedua orang tuanya mendesaknya, namun tetap saja Ceng Ceng tidak mau. Akhir-akhir ini, ayah bundanya mengalah dan ayahnya berkata gemas.
"Ceng Ceng, kau sekarang sudah berusia delapan belas tahun dan ayah bundamu sudah ingin sekali mempunyai anak mantu. Dalam pandangan kami selin Tiang Bu di mana lagi ada pemuda yang patut menjadi sisianmu diukur dari kepandaiannya? Apakah kau tidak kecewa kalau medapatkan pemuda yang kepandaiannya rendah? Kalau kau selalu menolak untuk menikah, habis kau. Hendak hendak menanti sampai berusia berapa?"
"Biar aku berusia sampai seratus tahun tak menikah, apa sih salahnya, ayah? Apakah pernikahan itu suatu keharusan hidup?"
"Sudah tentu, Ceng Ceng!" kata ibunya marah.
"Bagaimana kau masih bertanya lagi?"
"Ehm, begini, ibu. Kalau memang betul ini suatu keharusan, siapakah gerangan yang mengharuskan??" Memang Ceng Ceng sebagai anak tunggal semenjak kecil dimanjakan dan sudah biasa berdebat dengan ayah bundanya.
"Yang mengharuskan siapa.......?" bentak ibunya gemas.
"Kau..... kau memang anak terlalu manja?.." karena tidak bisa menjawab, nyonya Lie Kong hanya bisa menunjuk-nunjuk muka anaknya dengan telunjuknya.
"Ceng Ceng. seorang manusia harus mengalami tiga kejadian. Pertama Lahir, ke dua kawin, ke tiga mati. Orang terlahir pasti akan mati dan matinya itu baru sempurna kalau dia meninggalkan keturunan. Kalau tidak kawin, bagaimana bisa meninggalkan keturunan? Salah satu di antara sifat-sifat tidak berbakti yang paling penting adalah tidak punya keturunan. Kalau kau tidak ingin disebut anak puthauw (anak durhaka), kau harus memilih jodohmu agar ayah bundamu dapat menikmati kebahagiaan menimang cucu."
Merah wajah Ceng Ceng mendengar kata-kata ayahnya yang diucapkan dengan tenang namun sungguh-sungguh ini.
"Akan tetapi, ayah," bantahnya berkepala batu.
"kalau aku tidak suka, masa aku harus dipaksa?"
"Akan datang saatnya timbul rasa suka kalau kau sudah bertemu dengan jodohmu. Kau menolak seorang pemuda seperti Tiang Bu, yang kau cari orang macam apakah?"
Dengan kepala tunduk Ceng Ceng menjawab perlahan.
"Dia harus memiliki kepandaian labih tinggi dari pada kepandaianku, dia harus gagah perkasa, harus berbudi mulia, dan dia harus berwajah tampan......."
lbunya menggeleng-geleng kepala, akan tetapi Lie Kong tertawa.
"Semua wanita tentu saja mencari suami begitu! Akan tetapi kau lupa sedikit, Ceng Ceng anakku yang manja. Yang harus diutamakan adalah sifat jujur dan setia! Tiang Bu memiliki kejujuran, juga dia seorang yang memiliki kegagahan dan kesetiaan. Memang harus aku nyatakan bahwa dia tidak tampan. Akan tetapi jangan kau ngukur watak manusia dari tampangnya. Banyak sekali laki-laki yang kelihatan gagah, tampan dan mulia, padahal semua itu palsu belaka. Aku amat khawatir kau akan terpikat oleh macam itu. Ceng Ceng. Sekali lagi kunasehatkan, jangan kau terlalu percaya kepada wajah tampan."
Ceng Ceng diam saja, akan tetapi di dalam hatinya ia tetap berkeras bahwa dia hanya kawin dengan seorang pemuda yang tampan, ganteng dan mendatangkien rasa suka di dalam hatinys, Tidak seperti Tiang Bu yang berhidung pesek berbibir tebal!
Semenjak kecil Ceng Ceng memang suka pergi bermain-main sampai jauh. Setelah dewasa dan kepandaiannya tinggi dia sering kali pergi jauh ke kota lain sampai berhari-hari. Ayah bundanya membolehkannya saja. Pertama agar gadis itu bertambah pengalaman serta pengetahuannya, ke dua siapa tahu kalau di kota lain bertemu jodohnya.
Demikianlah, pada pagi hari itu Ceng Ceng juga sedang melakukan perantauannya. Ia mendaki Bukit Tapie-san dan kini sedang berada dalam perjalanan pulang. Tertarik oleh keindahan alam dan kesibukan para petani, gadis ini melompat turun dari kuda, lalu berjalan perlahan menuntun kudanya yang besar dan bagus itu. Ceng Ceng memang semenjak kecil suka akan keindahan. Kepada orang tuanya ia selalu minta apa-apa yang serba indah. Pakaian sederhana yang dipakainya itu hanya untuk menutupi pakaian indah dan mewah yang tersembunyi di dalamnya. Ia selalu menutupi pakaiannya yang indah apabila melakukan perjalanan, pertama tama untuk menjaga agar pakaiannya yang indah tidak menjadi kotor terkena debu, kedua kalinya agar jangan menarik perhatian orang-orang jahat. Kudanya pun kuda mahal, kuda pilihan yang amat kuat.
Ceng Ceng berdiri di pinggir sawah dan tersenyum gembira melihat dua orang anak laki-laki berusia enam tujuh tahun mengejar-ngejar burung. Memang amat nakal burung-burung kecil berdada kuning itu. Digebah dari sini turun di sana, diusir dari sane hinggap di sini. Burung yang berkelompok itu seakan-akan tahu bahwa yang mengusir mereka hanya dua orang bocah maka sengaja menggoda dan mengejek. Dipermainkan oleh burung kecil ini, dua orang bocah cilik itu marah-marah. Mereka berteriak-teriak dan menyambitkan batu.
"Awas kalian, perampok perampok kecil. Kalau terjatuh ke dalam tanganku, kau tentu akan kucabuti bulumu, kupuntir batang lehermu, kupanggang sampai kuning!" kata seorang anak.
"Setan-setan kelaparan!? memaki anak kedua.
"Kami bersusah payah bekerja, ayah dan kerbau meluku, Ibu menanam, aku membersihkan rumput, kami menunggu panen dan kalian ini setan setan selalu mengganggu. Enyah keparat!"
Bocah-bocah itu lari ke sana ke mari sambil memaki-maki.
"Kami makan tak pernah memakai daging, kalau kami dapat menangkapmu, kami makan kepalamu!"
Melihat bocah-bocah ini dan para petani yang sepagi itu sudah bekerja keras dan rajin di sawah ladang, timbul pikiran di dalam kepala Ceng Ceng betapa sukarnya orang bekerja untuk menghasilkan bahan makanan. Dia setiap hari makan nasi akan tetapi belum pernah bekerja di ladang untuk manuai padi, apa lagi meluku dan mencangkul. Alangkah senangnya orang kota, hidup mewah dan setiap hari makan nasi dari padi terbaik. Sebaliknya para petani yang setiap hari semenjak pagi buta sampai malam gelap bekerja membanting tulang memeras keringat di sawahnya, hidup serba kurang dan miskin.
Ceng Ceng membungkuk, mengambil segenggam pasir, menanti sampai kelompok burung dada kuning itu terbang lewat. tangannya digerakkan, pasir menyambar mekar jala dan....... belasan ekor burung runtuh ke atas tanah, sisanya terkejut dan terbang jauh-jauh.
Dua orang bocah itu memandang dengan mata terbelalak lebar dan mulut bengong, kemudian melihat burung-burung bergeletakan di atas tanah, mereka bersorak-sorak girang dan berlari-lari menghampiri untuk mengambil bangkai burung-burung itu.
"Hebat, timpukan yang lihai sekali??!" dengan suara halus memuji.
Ceng Ceng cepat menengok dan melihat seorang pemuda tampan lewat di atas jalan itu. Pemuda ini berpakaian seperti seorang ahli silat, akan tetapi sikap dan gerak-geriknya halus seperti seorang pelajar. Ketika Ceng Ceng menengok, pemuda itu mempercapat langkahnya dan sebentar saja sudah jauh.
Ceng Ceng tertarik. Sikap pemuda itu gagah bukan main, juga wajahnya amat tampan, agaknya seorang pendekar perantau. Di pinggangnya terselip sebatang bambu kecil, bukan pedang. Biarpun amat tertarik dan ingin tahu siapakah gerangan pemuda itu dan sampai di mana kelihaiannya, namun sebagai seorang wanita tentu saja Ceng
Ceng tidak berani menegur. Apa lagi pemuda itu sudah pergi jauh dan sebentar saja bayangannya lenyap di tikungan jalan sebelah selatan.
Gadis itu lalu melanjutkan perjalanannya, melompat ke atas kuda yang dilarikan ke selatan. Ia hendak mencari ayah bundanya yang berada di kota Kiu-kiang yang terletak di dekat Telaga Poyang. Perjalanan masih jauh, makan waktu dua hari lagi.
Malam hari itu Ceng Ceng tiba di sebuah dusun yang cukup ramai. Ia bermalam di rumah perginapan, memberikan kudanya kepada pelayan sambil memesan.
Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Beri makan dan minum secukupnya pada kudaku ini dan masukkan dalam kandang yang baik dan terlindung dari angin malam. Jaga dia baik-baik. besok kuberi hadiah."
Pelayan itu mengangguk-angguk lalu menuntun kuda besar itu ke samping hotel. Lewat tengah malam, Ceng Ceng terkejut bangun dari tidurnya ketika pintu kamarnya digedor orang.
"Siocia....... siocia....... bangunlah! Kuda itu dilarikan orang!"
Ceng Ceng mendengar suara kaki kuda berderap lewat di depan hotel. Dengan cepat ia melompat turun, menyambar pedangnya lalu menerjang pintu luar. Begitu mendadak dan cepat ia membuka pintu sehingga pelayan yang melaporkan tentang kehilangan kuda dan tadinya berdiri di luar pintu, terjengkang tunggang-langgang ketika pinta dibuka. Akan tetapi Ceng Ceng tidak memperdulikannya lagi, terus saja melompat keluar dan lari mengejar ke arah suara kuda melarikan diri ke barat. Malam itu baiknya terang bulan, dan ternyata malam sudah larut sekali dan sudah menjelang fajar.
Ceng Ceng memiliki ginkang yang tinggi warisan dari ayah bundanya. Kalau hanya kuda biasa saja yang dilarikan orang, kiranya ia masih akan sanggup menyusulnya, akan tetapi kudanya yang dieuri ini bukanlah kuda biasa, melainkan kuda pilihan dari utara yang sanggup lari seribu li sehari semalam.
"Maling kuda pengecut jahanam! Berhentilah kalau kau memang jantan!" teriak Ceng Ceng sambil mengerahkan tenaga dalamnya agar suaranya terdengar jauh. Akan tetapi pencuri kuda itu bahkan membalapkan kudanya dan hanya suara ketawanya terdengar dari jauh. Diam-diam Ceng Ceng terkejut. maklum bahwa pencuri kudanya itu bukanlah pencuri biasa. Orang yang suara ketawanya dari tempat sejauh itu dapat terdengar, tentu memiliki Iweekang tinggi.
Ia mempereepat larinya, akan tetapi percuma saja. Makin lama derap kaki kuda makin menghilang berikut bayangan kuda. Ceng Ceng membanting banting kakinya dengan gemas ketika ia berdiri di luar sebuah hutan. Ia tidak tahu kemana pencuri itu melarikan kudanya.
Dengan hati mendongkol sekali Ceng Ceng berjalan terus sampai pagi. Ia keluar dari hutan dan mengambil keputusan untuk mencari terus kudanya yang hilang sebelum pergi menyusul ayah bundanya. ia merasa penasaran sekali kalau belum mendapatkan kembali kudanya, terutama sekali kalau belum mamberi hajaran kepada pencuri kuda yang kurang ajar itu.
Tiba-tiba ia mendengar ringkikan kuda dari arah kiri. Girangnya bukan main karena ia segera mengenal suara kudanya! Biarpun sudah letih karena bangun pada tengah malam tidak tidur lagi, ia segera lari ke arah kiri dengan cepat. Dan betul saja. ia melihat kudanya sedang makan rumput di bawah pohon dilepas begitu saja! Dengan beberapa kali lompatan Ceng Ceng sudah tiba di dekat kudanya dan segera ia memegang kendalinya. Dan pada saat itu baru ia melihat bahwa tidak jauh dari situ, di atas baru-baru besar, duduk seorang pemuda tampan yang bersila dan sedang bersamadhi! Pemuda ini bukan lain adalah pemuda yang memujinya kemarin ketika ia menyambit burung-burung dengan pasir. Peniuda Itu meramkan mata, bibirnya agak tersenyum, tampan sekali, kedua tangan di depan dada dan sebatang bambu yang ternyata adalah huncwe terselip di pinggangnya.
Sampai lama Ceng Ceng berdiri memandang, kemudian ia menjadi marah. Tentu pemuda ini yang telah mencuri kudanya! Ia melepaskan kendali kudanya, melangkah maju mendekati pemuda itu sambil membentak.
"Pencuri kuda kurang ajar! Turunlah kau menerima hajaran!"
Pemuda itu membuka matanya memandang kepada Ceng Ceng dengan mata bersinar dan bibir tersenyum.
"Nona, kau memaki siapa?" tanyanya, suaranya halus, sikapnya sopan.
"Memaki kau, siapa lagi? Kau pencuri kuda hina, turunlah kalau kau mempunyai kepandaian!" Dilolosnya pedang dari pinggangnya dan gadcis ini siap untuk menyerang. Pemuda itu tersenyum tenang.
"Nona, aku Cui Kong selamanya tidak pernah mencuri kuda. Harap kau dapat memperbedakan antara pencuri kuda dan orang baik-balk."
Memang pemuda ini bukan lain adalah Liok Cui Kong. Setelah berhasil membunuh Coa Hong Kin dan Go Hui Lian, pemuda ini lalu melakukan perjalanan ke selatan menuju ke tempat tinggal ayah angkatnya yang baru, yaitu di sebuah pulau di pantai selatan, mendekati Lo thian-tung Cun Gi Tosu yang juga melarikan diri ke selatan setelah di utara ia tidak diterima baik oleh Jengis Khan.
Kebetulan sekali di tengah jalan ia melihat Ceng Ceng. Sebagai seorang pemuda mata kerarjang yang bejat moralnya, tentu saja melihat seorang dara cantik seperti Ceng Ceng. hati Cui Kong tergorcang hebat. Akan tetapi, melihat sikap dan gerak gerik Ceng Ceng, pula menyaksikan kepandaian gadis ini, timbul perasaan aneh dalam diri Cui Kong. Berbeda dengan perasaan kalau melihat gadis-gadis lain. ia amat tertarik dan timbul kasih sayang. Inilah agaknya cinta yang bersemi di dalam hatinya, oleh karena manusia bagaimana jahatpun sekali waktu akan jatuh hati kepada seorang tertentu.
Ini pula sebabnya maka Cui Kong tidak mau bermain kasar. Ia sengaja mencari kuda nona itu dan sekarang menanti di sini, siap mencari alasan baik untuk berkenalan. Ceng Ceng mengerutkan alisnya mendengar jawaban pemuda itu. Ia tidak mengenal nama Cui Kong, dan ia ragu-ragu apakah ucapan itu betul.
"Bagaimana kau bisn bilang bukan pencuri kuda kalau kudaku hilang dari rumah penginapan, dibawa orang pada tengah malam, terus kukejar di sini dan kudapatkan kuda itu berada di sini bersamamu? Bagaimana kau bisa menyangkal?"
Cui Koug mengangguk-angguk berkata, masih tersenyum memikat hati.
"Memang ada kulihat tadi seorang laki-laki membalapkan kuda lewat dekat ini. Karena curiga melihat orang pagi-pagi membalapkan kuda yang besar dan indah, aku menegurnya. Akan tetapi orang itu malah mengayun pecut menyerangku. Aku menangkap pecutnya dan membetotnya sehingga orang tidak punya guna itu roboh terjungkal. Dua kali ia menyerangku lagi akan tetapi dua kali ia terjungkal lalu melarikan diri. Kuda itu ia tinggalkan dan kuda baik ini ternyata tidak mau pergi. Nah, aku sudah memberi keterangan, apakah kau masih hendak memaki aku sebagai maling kuda?"
Ceng Ceng memang seorang gadis lincah pandai berdebat. Mendengar penuturan ini ia menjawab.
"Enak saja kau mendongeng! Apa buktinya kebenaran dongenganmu itu dan siapa bisa bilang kalau kau tidak membohong?"
"Nona, ada dua sebab kuat yang menjelaskan bahwa aku bukan pencuri kuda. Aku sudah menyaksikan kepandaianmu, kalau aku yang mencuri, perlu apa aku masih melarikan diri? Kedua, andaikata aku yang mencuri lalu lari ketakutan, perlu apa aku sekarang musti menantimu di sini? Coba kau pikir baik-baik."
Memang beralasan sekali ucapan ini, akan tetapi perut Ceng Ceng sudah menjadi panas. Kalau saja Cui Kong memberi alasan yang ke dua saja, ia sudah akan merasa puas dan percaya. Akan tetapi, alasan pertama dari pemuda itu menyatakan bahwa pemuda itu memandang rendah kepadaianya! Cui Kong bilang bahwa dia sudah menyaksikan kepandaian Ceng Ceng dan andaikata dia yang mencuri kuda, ia takkam lari. Bukankah itu berarti bahwa pemuda ini menganggap kepandaian Ceng Ceng tidak berapa?
"Bagus, tidak tahunya kau selihai itukah? Boleh, boleh kita coba-coba. Kalau kau betul sudah dapat mengalabkan pencuri kuda, tentu kepandaianmu lebih tinggi dari pada aku. Turunlah?" Setelah berkata demikian, Ceng Ceng menggunakan kakinya mendorong baru besar yang diduduki oleh Cui Kong. Hebat sekali lweekang nona ini. Batu yang beratnya ada seribu kali ini menjadi miring!
"Ayaaa, kiranya kau sekuat ini!" Seru Cui Kong, benar-benar terkejut. Tadinya ia hanya melihat gadis itu menimpukkan pasir merobohkan banyak burung sekaligus. Kepandaian ini indah, akan tetapi belum menunjukkan bahwa gadis itu seorang ahli silat tinggi. Melihat usianya yang bogitu muda, Cui Kong menganggap gadis itu tentu tidak sedemikiah hebat. Akan tetapi dorongan kaki pada batu besar tadi benar-benar mendemonstrasikan tenaga yang hebat dan kepandaian yang tinggi!
Sementara itu, Ceng Ceng juga kagum melihat tubuh yang tadinya bersila di atas batu, kini.
"melayang" turun dalam kedudukan masih bersila seakan-akan pemuda itu pandai terbang. Padahal inipun demonstrast ginkang yang hebat dari Cui Kong, yang mempergunakan ujung-ujung jari kakinya menotol batu di bawahnya sehingga tubuhnya dapat mencelat turun. Ketika tiba di tanah, kedua kakinya dilepas sehingga ia jatuh berdiri dengan ringan dan tenang.
Ceng Ceng bersiap-siap, ia mengandalkan Ilmu silatnya Pat-sian-jut-bun, sama sekali tidak mengira bahwa pemuda di depannya inipun ahli dalam ilmu silat itu! Soalnya begini. Seperti telah diceritakan dahulu, kitab Pat-sian-jut-bun yang tadinya terjatuh ke dalam tangan Pek-thouw tiauw ong Lie Kong dan diberikan Ceng Ceng, telah dirampas oleh Cui Lin dan Cui Kim dan akhirnya terjatuh ke dalam tangan Liok Kong Ji.
Akan tetapi sebelum terjatuh ke dalam tangan Liok Kong Ji, Cui Kong sudah mencuri lihat dan otaknya yang cerdas dapat menghafal isinya dan diam-diam iapun mempelajari ilmu silat ini. Oleh Liok Kong Ji kitab itu bahkan dijadikan bahan untuk mengatur barisan bambu di Ui tiok-lim, yang makin disempurnakan ilmu dari kitab ini. Demikianlah Ceng Ceng sama sekali tidak pernah menyangka bahwa ia berhadapan dengan tokoh Ui-tiok lim atau kakak angkat dari dua orang gadis yang mencuri kitabnya dan yang sekarang masih dicarinya itu.
"Nona, kau betul-betul hendak mengujiku? Boleh, boleh, akupun ingin sekali tahusampai di mana tingginya kepandaianmu. Akan tetapi harap kauingat bahwa aku betul-betul bukan pencuri kudamu dan kita bertempur hanya sebagai pibu persahabatan saja."
"Jangan banyak cingcong! Keluarkan senjatamu!" seru Ceng Ceng. Gadis ini belum tahu sampai di mana tingkat kepandaian pemuda ini. Biarpun ia tertarik akan ketampanan wajah pemuda ini dan sifat-sifainya yang gagah, namun sebelum mengukur tinggi rendah kepandaiannya, mana bisa ia menaruh penghargaan?
Cui Kong mencabut keluar huncwenya menjawab.
"Aku masih muda dan tidak doyan menghisap tembakau, akan tetapi huncwe ini sudah menjadi kawau lama yang selalu melindungiku, inilah senjataku nona. Kau majulah!"
Diam-diam Ceng Ceng menjadi agak gembira. Seorang yang mempergunakan senjata begitu aneh, tentu memiliki kepandaian tinggi dan ia ingin sekali tahu sampai bagaimana tingginya.
"Lihat pedang!" serunya dan dengan gerakan manis sekali ia menusuk ke arah tenggorokan lawannya, kemudian pedang diteruskan dengan gerakan memutar ke atas ke bawah sedangkan tangan kirinya ditekuk di depan dada. Sekaligus ujung pedang itu menyerang tiga bagian tubuh yang berbahaya. Melihat gerakan ini, Cui Kong terkejut sekali. Itulah gerakan Cui sian-sia-ciok ( Dewa Arak Mamanah Batu) sebuah gerak tipu dari Ilmu Silat Pat sian-jut-bun! Ia cepat memutar huncwenya ke depan tubuh sambil melompat mundur dan berkata.
"Nanti dulu, nona. Seranganmu begitu Iihai dan ganas, kalau sampai mengenai aku, bukankah nyawaku akan menghadap Giam-kun (Dawa Maut)?" ia berkelakar.
Ceng Ceng cemberut.
"Kalau takut pedang jangan bicara sombong!"
"Aku seorang jantan tulen tidak takut mati, nona. Hanya aku khawatir akan mati dengan mata melek karena penasaran sebelum aku tahu siapa orangnya yang akan. membunuhku. Pedang tidak bermata, nona. Sebelum ada kemungkinan dada ini tergores pedang aku harus tahu siapa gerangan nona yang gagah perksa ini? Kau sudah tahu, namaku Cui Kong. Akan tetapi siapa nona dan dari aliran manakah?"
"Namaku Lie Ceng, bukan dari aliran mana-mana. Ayahku Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong."
Cui Kong pura-pura terkejut girang, padahal di dalam hatinya ia benar-benar terkejut dan cemas. Ia merasa punya dosa terhadap Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong karena bukankah Cui Lin dan Cui Kim telah mencuri kitab gadis ini? Dengan air muka kelihatan tercengang girang ia berseru sambil merangkapkan kedua tangan memberi hormat,
"Aduh, kiranya li-hiap (pendekar wanita) adalah puteri dari Lie-locianpwe yang mulia. Maaf, maaf, aku yang bodoh tidak tahu dan berlaku kurang hormat. Memang li-hiap tentu saja tidak mengenal namaku yang terpendam ke dalam lumpur, akan tetapi sebaliknya dari bawah lumpur aku sudah melihat rajawali kepala putih terbang melayang di angkasa raya."
Mendengar pujian yang muluk ini tentu saja hati Ceng Ceng merasa senang, akan tetapi ia masih penasaran. Seranga n pertamanya tadi ternyata dengan mudah dapat ditangkis oleh Cui Kong, apakah pemuda ini betul-betul akan dapat menangkan dia.......? Kalau betul demikian..... hemmm, pemuda seperti ini lah kiranya yang patut....... menjadi jodohnya! Merah muka Ceng Ceng dengan sendirinya ketika ia berpikir sampai di situ.
"Sudahlah, tak perlu banyak peradatan ini. Hayo kita selesaikan pibu kita!"
Cui Kong merasa girang mendengar nona itu menyebut "pi-bu", bukan pertandingan sungguh-sungguh, maka ia segera bersiap dan berkata.
"Aku yang bodoh sudah siap menerima petunjuk dari li-hiap."
Ceng Ceng tidak mau berlaku sungkan lagi. Pedangnya digerakkan amat cepatnya, menyambar-nyambar bagaikan seekor burung rajawali mengamuk. Sinar putih seperti perak bergulung-gulung mengurung diri Cui Kong yang berlaku tenang tenang saja. Pemuda yang sudah tahu akan kelihaian ilmu Pak-sian-jut-bun ini, tidak mau berlaku gugup dan tidak mau mengikuti pergerakan pedang lawan. Kalan ia mengikutinya, akan celakalah dia. Inilah kehebatan ilmu pedang itu yang harus dilawan dengan tenang. Ia hanya memperhatikan sinar pedang menyambar ke arahnya untuk ditangkis dengan huncwenya. ilmu silat Cui Kong masih setingkat lebih tinggi dari pada gadis ini, juga tenaganya lebih besar. Oleh karena itu ia dapat melayani Ceng Ceng dengan baik. Andaikata ia belum mencuri baca kitab Pat-sian-jut-bun, kiranya dia takkan depat menghadapi gadis ini demikian enak, sedikitnya dia harus mengerakkan seluruh kepandaiannya untuk mengimbangi.
Sebaliknva, Ceng Ceng merasa seakan-akan menghadapi tembok baja yang amat kuat. Biarpun pemuda itu bergerak lambat dan tenang namun ke mana saja pedangnya menyerang di situ sudah ada huncwe yang menangkis. Dan setiap tangkisan huncwe membuat telapak tangan tergetar. Hati Ceng Ceog ikut tergetar pemuda itu benar-benar lihai. Kiranya tidak kalah lihai oleh Tiang Bu. Akan tetapi dia pernah dikalahkan oleh Tiang Bu dan ia merasa penasaran apakah pemuds tampan yang lihai inipun dapat mengalahkannya.
"Hayo kau balas menyerang!" bentaknya berulang-ulang melihat pemuda itu hanya menjaga diri saja.
"Mana aku berani!" jawab Cui Kong mengambil hati. Tentu saja pemuda ini tidak tahu akan suara hati gadis ini. Dia tertarik kepada Ceng Ceng dan berusaha mengambil hatinya, ia takut kalau kalau gadis itu akan merasa terhina dan marah kalau sampai ia mengalahkannya, maka ia hanya mempertahankan diri saja. Tidak tahunya gadis ini bahkan menghendaki sebaliknya.
"Bagaimana tidak berani ini pi-bu namanya! Hayo kaubalas, hendak kulihat apa kau mampu mengalahkan aku."
"Aku tidak berani melukaimu. nona. Aku tidak mau kau menjadi sakit hati dan marah," jawab Cui Kong halus sambil menangkis tusukan pedang sehingga lagi lagi terdengar bunyi "tringg" yang amat nyaring dibarengi bunga api berpijar.
"Bodoh! Kalau pedangku terlepas dari tangan aku menyerah kalah," kata pula Ceng Ceng.
Mendengar ini, Cui Kong cepat menggerakkan huncwenya, kini membalas dengan totokan-totokan berbahaya. Gerakannya cepat sekali karena ia telah mainkan ilmu pedang yang ia pelajari dari gurunya, mengambil dari kitab Omei-san yang terjatub ke dalam tangan Lo. Tnian-tung Cun Gi Tosu, yaitu kitab Soanhong-kiam-coan-si (Kitab Ilmu Pedang Angin Puyuh). Pedang ini sekarang diganti dengan huncwe dan diputar sampai mengeluarkan angin dingin. Sebetulnya, sama-sama kitab dari Omei-san kehebatan ilmu yang dimainkan oleh Cui Kong dengan Pat-sian jut-bun yang dimainkan Ceng Ceng itu mempunyai keistimewaan sendiri-sendiri. Namun karena Cui Kong memangnya menang setingkat, tentu saja permainannya juga lebih lihai dan Ceng Ceng sebentar saja merasa pening. Ia mencoba menangkis dengan pedangnya, akan tetapi pedang itu tertempel huncwe dan ikut berputaran dan terlepas dari pegangannya, berpindab ke tangan kiri Cui Kong!
Dengan sikap manis budi dan merendah Cui Kong memutar pedang itu dan memegang ujungnya. Gagangnya ia angsurkan kepada Ceng Ceng sambil berkata.
"Karena kurang hati-hati pedangmu terlepas, nona. Terimalah kembali dan maafkan aku, kiam-hoatmu benar-benar hebat sekali aku merasa kagum."
Ucapan ini dikeluarkan dengan sikap sungguh-sungguh sehingga sama sekali Ceng Ceng tidak merasa diejek. Akan tetapi, tetap saja mukanya menjadi merah sekali ketika ia nerima kembali pedangnya dan memasukannya kedalam sarung pedang.
"Dalam ilmu pedang aku telah kalah, akan tetapi aku masih hendak menecoba ilmu silat tangan kosong!" kata Ceng Ceng. Ia tahu bahwa sikapnya ini keterlaluan. Sudah jelas bahwa ia kalah lihai, tantangannya ini benar-benar bocengli (tidak pakai aturan). Akan tetapi gadis ini memang keras kepala dan pada saat itu ia memang ingin sekali tahu apakah benar-benar pemuda tampan ini lebih lihai dari padanya dalam sagala macam ilmu silat.
Cui Kong tersenyum. Gadis ini cantik jelita dan keras hati, puteri Pak-thouw-tiauw-ong pula. Hemm, aku harus dapat menundukkannya. Jarang di dunia ini bisa kudapatkan gadis sehebat ini.
"Baiklah, nona. Aku yang bodoh hanya menurut saja atas segala kehendakmu, dan tentu saja aku girang mendapat petunjuk-petunjuk dari puteri Pek-thouw-tiauw-ong yang ternama."
"Lihat pukulan!" Ceng Ceng terus saja menyerang tanpa mau membuang waktu lagi. Begitu menyerang ia mempergunakan ilmu silat ciptaan ayahnya, yaitu Pek-tiauw-kun-hwat (Ilmu Silat Rajawali Putih). Ayahnya mencipta ilmu silat ini dari gerak-gerak pek-thouw-tiauw (rajawali kepala putih) peliharaannya. Ketika dua ekor rajawali itu pertama kali dipeliharanya dan masih liar, sering kali Lie Kong sengaja mengajaknya bertempur atau ia menyuruh isterinya melayani mereka dan diam-diam ia memperhatikan gerak gerik mereka. Cara mereka mengelak, menangkis dan menyerang. Dari latihan inilah pendekar pantai timur ini akhirnya berhasil mencipta Pek-tiauw-kun-hwat yang merupakan gabungan dari gerak gerak rajawali dicampur gerak-gerak tipu ilmu silat tinggi yang sudah ia pelajari semenjak kecil.
Pendekar Budiman Eps 20 Pedang Penakluk Iblis Eps 17 Pendekar Budiman Eps 4