Pendekar Budiman 20
Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo Bagian 20
"Hm, menyesal sekali aku harus merobohkannya karena ia berkepala batu." kata Pak Hong Siansu yang menjadi agak malu juga harus merobohkan murid keponakan yang dalam pertempuran tadi tidak melawan sama sekali, hanya mempertahankan diri saja. Kemudian ia memandang kepada Si Panglima dan Si Sastetawan.
"Bagaimana, apakah sekarang aku boleh menemui gurumu?"
"Tetap tidak bisa, susiok. Sebelum teecu roboh pula seperti sute, susiok tidak boleh mengganggu Siansu," jawab Luliang Siucai dengan suara tetap. Pak Hong Siansu tertegun dan diam-diam merasa kagum sekali atas kesetiaan murid-murid keponakannya terhadap suhengnya. Benar-benar mereka merupakan penjaga-penjaga yang sukar dicari bandingannya.
"Aku tidak suka merobohkan kalian, maka sekali lagi, harap kalian ini mengalah dan membiarkan aku bertemu dengan suheng. Percayalah, kedatanganku ini bukan bermaksud buruk," kata pula Pak Hong Siansu mencoba untuk membujuk mereka.
"Maaf, terpaksa teecu tidak dapat mentaati kehendak susiok karena lebih taat kepada Siansu." Memuncak kemarahan Pak Hong Siansu.
"Benar-benar kepala batu yang harus mampus!" Setelah berkata demikian, kakek sakti ini lalu menyerang Luliang Siucai! Sisterawan ini mengeluarkan sampul kitab dan alat tulisnya yang merupakan senjatanya yang ampuh. Seperti juga sutenya tadi. Si Sasterawan ini membela diri sedapat mungkin, mengelak dan menangkis semua serangan Pak Hong Siansu. Kini Pak Hong Siansu tidak ragu-ragu lagi seperti tadi karena ia yakin bahwa murid-murid keponakannya ini lebih suka mengorbankan nyawa dari pada membiarkan ia menemui Pak Hong Siansu.
Maka begitu bergebrak, ia lalu mengerahkan seluruh kepandaian dan mengeluarkan gerak-gerak tipu yang paling berbahaya. Dalam jurus ke dua puluh, tasbehnya telah berhasil memukul pundak kanan Luliang Siucai, sehingga sasterawan ini roboh dengan tulang pundak patah patah dan juga pingsan seperti Petani tadi. Bukan main marahnya Luliang Ciangkun. Dia boleh dibilang mempunyai watak yang paling kasar dan keras di antara kedua orang saudaranya, maka melihat kedua orang sutenya itu dirobohkan oleh susioknya. Luliang Ciangknn menggigit gigit bibirnya sampai berdarah! Ia melompat dan menghadang di depan susioknya itu, sepasang matanya mendelik, kumisnya berdiri, dan kedua tangannya sudah menggigil, gatal gatal untuk memukul kepala botak susioknya yang bongkok itu. Namun kesopanan masih menahannya dan ia hanya bisa berdiri dengan dada berombak.
"Ha, kau marah, Ciangkun?" Pak Hong Siansu mengejek.
"Cabut pedangmu itu dan serang aku kalau begitu. Aku sudah bosan dengan sikap kalian yang keras akan tetapi tidak mau membalas serangan!"
"Tidak patut seorang murid keponakan menyerang paman gurunya, betapapun jahat dan keji paman gurunya itu." Dalam kata-kata ini, secara menyimpang dan tidak langsung, Luliang Ciangkun memaki Pak Hong Siansu sebagai paman guru yang jahat dan keji. Maka Pak Hong Siansu menjadi mendongkol sekali.
"Jadi kau pun hendak mempertahankan pendirianmu dan tidak memperbolehkan aku, lewat?"
"Hanya melalui mayat teecu!" jawab Luliang Ciangkun singkat sambil meraba gagang pedangnya.
"Jahanam, kalau begitu mampuslah!" Pak Hong Siansu menyerang dan Si Panglima mencabut pedang sambil mengelak. Pertempuran berjalan lebih lama karena panglima ini sebagai murid tertua, memang memiliki ilmu pedang yang amat kuat daya tahannya.
Sampai tiga puluh lima jurus ia dapat mempertahankan diri, namun akhirnya iapun harus menyerah dan roboh dengan lengan kanan pecah pecah tulangnya terpukul oleh tongkat merah Pak Hong Siansu! Kini tiga tokoh Luliang san itu rebah dan setelah siuman hanya bisa mengerang menahan rasa sakit, tanpa berdaya sama sekali melihat Pak Hong Siansu dan Ba Mau Hoatsu melangkahi tubuh mereka dan naik ke puncak mencari Pak Kek Siansu. Akan tetapi, baru saja dua orang-tua ini tiba di depan bangunan yang menjadi tempat tinggal Pak Kek Siansu tiba-tiba dari dalam melayang keluar Pak Kek Siansu sendiri yang melayang sambil duduk di atas sebuah batu hitam besar berbentuk bangku bulat! Pak Hong Siansu dan terutama Ba Mau Hoatsu berdiri terlongong memandang kepada kakek tua ini.
Bukan main hebatnya ilmu yang diperlihatkan oleh Pak Kek Siansu dalam menyambut kedua orang tamunya. Kakek tua renta ini duduk bersih dan kedua tangannya memegang batu yang diduduki itu dengan telapak tangan menempel di kanan kiri bangau batu, seakan-akan ia menduduki batu terbang! Ketika batu itu tiba di depan Pak Hong Siansu, turunlah batu itu tanpa menimbulkan suara dan Pak Kek Siansu memandangnya dengan mulut tersenyum. Akan tetapi, Ba Mau Hoatsu melihat betapa kakek ini matanya menyinarkan cahaya yang tajam sekali sehingga ia merasa gentar. Sikap Pak Kek Siansu sama benar dengan Pak Hong Siansu, nampak lemah-lembut dan lemah. Hanya pada mata kakak beradik seperguruan ini yang terdapat perbedaan. Mata Pak Hong Siansu bergerak-gerak cepat dan liar, sedangkan mata, Pak Kek Siansu tenang, berpengaruh dan tajam sekali.
"Sute, ada keperluan apakah kau mendatangi tempatku ini?" suara ini perlahan dan lambat, halus akan tetapi berpengaruh, mengandung sesuatu penuh dengan tuntutan.
"Suheng. telah lama kita tak saling berjumpa. Aku rindu kepadamu dan ingin bercakap-cakap." jawab Pak Hong Siansu dengan sopan dan ramah.
"Hm, begitukah? Mengapa membawa kawan? Harap kau menyuruhnya lekas pergi lagi, jangan mengotori tempat suci ini," kata Pak Kek Siansu tanpa menengok kepada Ba Mau Hoatsu. Ba Mau Hoatsu merasa terhina dan ia marah sekali. Mukanya yang hitam menjadi lebih hitam lagi. Kalau menurutkan nafsunya, ingin ia meloncat maju dan mengetuk kepala Pak Kek Siansu yang sudah putih semua rambutnya itu, biar pecah berantaran. Akan tetapi ia tidak berani, karena maklum bahwa ilmu kepandaian kakek ini sama sekali bukan lawannya. Ia hanya menengok kepada Pak Hong Siansu yang tersenyum kepadanya dan berkata,
"Kau sudah dengar sendiri sahabatku. Harap kau suka turun gunung lebih dulu, aku akan menyusul belakangan." Bukan main mendongkolnya hati Ba Mau Hoatsu, akan tetapi ia dapat berbuat apakah? Ia seorang tamu yang tak dikehendaki, dan ia tidak dapat berbuat sesuatu untuk memuaskan hatinya yang mendongkol. Maka sambil membanting kaki ia lalu pergi tanpa pamit, berlari cepat turun dari Luliang san.
"Baik sekali kau menyuruh dia pergi, sute. Karena kau dan aku takkan turun lagi dari tempat ini," kata pula Pak Kek Siansu dengan suara masih halus seperti tadi. Pak Hong Siansu membelalakkan matanya.
"Eh, apa maksudmu, suheng?"
"Duduklah dulu, biar kita lebih enak bercakap-cakap," kata tokoh Luliang san itu sambil menuding ke arah sebuah batu halus yang berada di depannya. Pak Hong Siansu lalu duduk dan bersila di atas batu itu, hanya terpisah dua tombak dari suhengnya. Mereka saling pandang, seperti dua buah patung orang-tua yang baik sekali.
"Sayang sekali, sute, kedatanganmu ini bukan merupakan kedatangan seorang yang telah insaf dan sadar akan kekeliruan dan kesesatannya. Benar-benar bukan merupakan kedatangan yang kuharap harapkan."
"Suheng, aku takkan berpanjang ceritera karena akupun tidak suka tinggal lama lama di tempat sunyi ini. Ketahuilah kedatanganku ini untuk mengajakmu ke dunia ramai. Marilah kita membantu pemerintah Kin untuk mengamankan dunia. Orang-orang jahat timbul di mana-mana, kekacauan membuat rakyat sengsara. Sudah menjadi kewajiban kita untuk turun-tangan, suheng."
"Memang benar kata-katamu. Orang-orang jahat timbul di mana-mana, dan orang yang duduk di hadapanku adalah seorang di antara mereka, bahkan yang paling jahat. Sute, kau datang ke sini membawa Ba Mau Hoatsu dari Tibet, kemudian kau melukai tiga orang muridku. Ada kehendak apakah, lekas katakan sebelum terlambat!" Berdebar hati Pak Hong Siansu. Bukan hanya karena ternyata suhengnya telah tahu akan peristiwa yang terjadi dalam pertempurannya menghadapi tiga murid keponakannya adi, akan tetapi karena mendengar kata-kata aneh yang seakan-akan mengandung ancaman dan tanda tanda tidak baik baginya.
"Suheng, tentang murid-muridmu, mereka sengaja berlaku keras dan tidak memperbolehkan aku datang menghadapmu. Akan tetapi mereka hanya terluka dan dapat sembuh. Yang penting aku hendak memberi tahu bahwa kali ini kau harus membantu kami atau membantu pemerintah Kin. Kalau kau tidak mau, muridmu yang amat baik, Go Ciang Le itu, tentu akan tewas dalam keadaan yang amat mengecewakan, Suheng." Pak Hong Siansu berhenti sebentar untuk melihat reaksi kata-katanya ini terhadap suhengnya. Akan tetapi Pak Kek Siansu tetap tidak berobah air mukanya, maka ia menambahkan.
"Muridmu itu telah tertawan oleh pemerintah Kin, dan kalau kau tidak mau turun gunung membantu, tentu ia akan dihukum mati." Setelah hening agak lama, baru Pak Kek Siansu menjawab sambil menatap wajah sutenya.
"Sute, apakah artinya mati? Agaknya kau lupa bahwa aku dan kau pun takkan terbebas dari pada kematian. Demikianpun Ciang Le. Lebih baik dia tewas sebagai seorang pejuang rakyat dari pada mati seperti kau, seorang pengkhianat dan penjilat rendah!" Pucat wajah Pak Hong Siansu mendengar ini.
"Suheng, tidak saja Ciang Le akan dibunuh, akan tetapi juga semua pemberontak semua orang-orang kang ouw yang membantunya. Alangkah ngerinya ini! Kalau kau turun gunung, tentu para pemberontak akan suka mendengar nasihatmu, orang-orang kang ouw akan mundur teratur. Tanpa bantuan mereka, rakyat yang memberontak takkan bertenaga lagi dan pemberontakan-akan padam. Rakyat hidup aman dan damai, bukankah itu baik sekali?" Kini pandang mata Pak Kek Siansu bersungguh-sungguh, juga suaranya.
"Sute, dengan lidahmu yang semenjak dahulu amat lemas itu, takkan ada gunanya kau membujukku dengan kata-kata manis. Biarpun aku selalu terbenam di tempat ini, namun aku tahu akan keadaan rakyat diantara yang tertindas. Jangan kau mencoba untuk memutarbalikkan kenyataan. Pula tentang pembasmian yang dilakukan oleh pemerintah asing itu, hal ini tak mungkin. Tak ada satu kekuatan yang betapa besarpun di dunia ini yang akan sanggup mematahkan semangat perjuangan rakyat! Adapun kau... kau yang lupa diri, kau yang bahkan menghambat hasil perjuangan rakyat, kau takkan turun lagi, sute. kau berdiam dengan aku di sini, aman dan damai dalam arti kata seluas luasnya."
"Tidak... tidak! Aku tidak mau, suheng."
"Kau harus kataku, dan kau tahu bahwa aku sebagai suhengmu berhak untuk memberi perintah kepadamu."
"Suheng, kalau aku tidak turun gunung, tidak kembali, tentu Ba Mau Hoatsu akan melaporkan bahwa aku celaka di tanganmu, dan Ciang Le akan disiksa sampai mati!"
"Tidak ada siksaan di dunia ini yang lebih hebat dari pada siksaan batin sendiri menyesali perbuatan perbuatan yang sesat." Pak Hong Siansu menjadi bingung dan juga gelisah. Tak disangkanya sama sekali bahwa Pak Kek Siansu bukan saja tidak mau turun gunung dan sama selili tidak perduli akan nasib Ciang Le, bahkan kini suhengnya itu melarang ia turun gunung! Ia merasa seakan-akan seperti burung terjebak dalam kurungan.
Melihat kebingungannya Pak Kek Siansu berkata halus,
"Sute, mengapa bingung. Orang-orang seperti kita ini sudah tua, tinggal menanti datangnya panggilan Giam lo ong, kembali, ke alam asal. Mengapa meributkan persoalan dunia? Lupakah kau akan kenikmatan dalam suasana hening yang hanya didapat dengan jalan bersamadhi? Marilah, kau tiru aku, sute. kau boleh mencoba siulian di sini, hawanya begini indah. Cobalah, kau akan mendapat ketenteraman batin yang belum pernah kau rasai sebelumnya." Setelah berkata demikian, Pak Kek Siansu menundukkan mukanya dan sebentar saja ia telah bersamadhi, mengheningkan cipta nampaknya demikian enteng, demikian damai dan amat aman seperti telah berobah menjadi sebuah patung batu yang tak bergerak. Pak Hong Siansu makin bingung lagi. Ia maklum bahwa biarpun suhengnya seperti orang tidur, namun dalam keadaan bersiulian itu, suhengnya lebih lihai dari pada kalau sadar.
Panca indera yang dikumpulkan itu bahkan menjadi makin tajam dan ia tahu bahwa kalau diam-diam ia melarikan diri. Suhengnya tentu akan mengerti dan mencegahnya. Untuk melawannya, ia masih ragu-ragu. Kepandaian Ciang Le sudah begitu hebat, apalagi suhengnya ini. Diam-diam ia bergidik. Apa yang harus ia lakukan? Iapun berpura pura samadhi meniru suhengnya, padahal sebenarnya diam-diam ia memutar otak, mengerahkan segala akal muslihatnya untuk keluar dari kurungan yang mengerikan hatinya ini. Ia harus dapat membunuh suhengnya! Kalau ia bisa membunuh suhengnya. baru ia bisa pergi dengan aman dan pekerjaan selanjutnyapun mudah. Ciang Le telah gila dan tertahan, dan kalau Pak Kek Siansu dapat dibinasakan, ah, mudahlah untuk membereskan para pemimpin pemberontak yang lain! Akan tetapi bagaimana ia dapat membinasakan suhengnya ini?
Biarpun suhengnya tak membuka mata, ia merasa gentar dan tidak berani turun-tangan. Jarak antara tempat duduknya dan tempat duduk suhengnya ada dua tombak lebih. Suhengnya tentu telah mengetahui lebih dulu sebelum ia sempat menjatuhkan tangan maut. Tiba-tiba ia mendapatkan akal dan teringat akan sesuatu sehingga wajahnya menjadi terang dan hatinya berdebar tegang. Untuk menghadapi suhengnya yang memiliki ilmu kepanduan yang tinggi sekali ini, hanya ada satu jalan saja, jalan yang curang dan keji! Pak Hong Siansu tahu dan semua orang yang mengerti dan biasa menjalani siulian (bersamadhi atau meditasi) tahu, bahwa antara sadar dan hening dalam siulan, terdapat pintu yang seakan-akan gelap dan tak dapat ditembusi, yang membuat orang seperti tidak sadar sama sekali dan tidak terasa bilamana ia memasuki keadaan yang lain.
Menang pintu ini pendek saja, dari keadaan sadar tahu-tahu orang yang bersiulian telah memasuki keadaan hening. Demikian sebaliknya. Orang yang tadinya dalam keadaan hening dalam samadhi, cipta terkumpul dan panca indera terkumpul pula tanpa bekerja namun tidak mati, apabila ia kembali ke dalam keadaan sadar, ia melalui pintu yang pendek itu yang membuatnya tidak ingat lagi bilamana ia telah keluar dari keadaan hening itu kembali kepada keadaan biasa. Pak Hong Siansu tahu betul akan hal ini. Apabila suhengnya berada di dalam keadaan hening, biarpun seperti "mati dalam hidup" namun sukar baginya untuk turun-tangan.
Sebaliknya apabila suhengnya sudah sadar, iapun tak dapat mengalahkannya. Maka ia hendak menggunakan saat di mana semangat suhengnya melalui pintu pendek yang membuatnya kehilangan kesadarannya itu, ia akan turun-tangan. Diam-diam ia lalu merogoh saku bajunya dan menyiapkan jarum-jarum hitamnya yang lihai dan amat berbahaya. Ia bergerak hati-hati sekali dan jangan menimbulkan suara. Seandainya ia menyambitkan senjata-senjata rahasia itu sekarang, suhengnya pasti akan dapat menghindarkan diri, biarpun kelihatan sepeti tidur. Jika menanti kalau suhengnya sudah sadar lebih berbahaya lagi agaknya. Dibukanya matanya dan dipandangnya suhengnya itu dengan senyum mengejek. Mukanya berubah beringas, membayangkan nafsu keji dan jahat. Kemudian ia berkata.
"Suheng, aku mau menuruti nasihatmu tinggal di sini dengan satu syarat. Dengarlah!" Bergerak pelupuk mata Pak Kek Siansu.
Ia sedang berada dalam saat perubahan, akan kembali ke dalam keadaan sadar setelah tadi bersiulian dengan amat tenangnya. Dan saat itulah yang dinanti oleh Pak Hong Siansu, ia tahu bahwa pada detik itu, suhengnya sedang melalui pintu yang gelap itu, yang membuat suhengnya kehilangan kesadarannya dalam perjalanan kembali ke dalam keadaan biasa. Tangannya bergerak cepat dan menyambarlah belasan jarum hitam ke arah tubuh Pak Kek Siansu. Tepat seperti yang diduga dan diharapkan oleh Pak Hong Siansu. Dalam keadaan seperti itu, Pak Kek Siansu tidak tahu akan datangnya bahaya dan ketika ia membuka matanya, baru panca inderanya dapat menangkap sambaran angin. Namun terlambat karena pada saat itu, jarum-jarum tadi telah menancap di tubuhnya, melalui pakaiannya yang tipis dan kasar!
Namun, Pak Kek Siansu benar-benar seorang tokok yang luar biasa dan jarang dapat ditemukan tandingannya di masa itu. Begitu ia merasa tubuhnya seakan-akan lumpuh dan sakit sakit, ia tertawa bergelak dan tangan kanannya memukul ke depan. Angin pukulan yang hebat sekali menyambar dan Pak Hong Siansu tersentak dalam duduknya, ia merasa seakan-akan dadanya ditumbuk oleh palu godam dan terasa sakit sekali di dalam dadanya. Ia telah terkena pukulan Pak kek Sin ciang yang paling hebat, yakni gerakan yang disebut Liat sim ciang (Pukulan Membelah Hati). Hampir saja Pak Hong Siansu menjerit-jerit saking sakitnya. Jantungnya serasa diremas remas dan seluruh dadanya seperti ditusuk tusuk jarum. Ia hendak melompat, akan tetapi terdengar ucapan suhengnya tenang tenang.
"Sute, tiada gunanya. kau akan tewas di sini seperti aku pula. Kita takkan dapat turun-tangan. Lekas kau menahan napas dan menutup jalan darahmu sampai putus napasmu. Jalan itulah satu-satunya yang akan membebaskan kau dari siksa rasa sakit. Terserah kepadamu. Mati dalam keadaan tenang ataukah mati tersiksa seperti cacing dibakar! Selamat meninggalkan raga kita yang sudah tua, sute!" Dan dengan mulut tersenyum, Pak Kek Siansu sebentar kemudian telah berada dalam keadaan siulan kembali! Pak Hong Siansu tidak dapat menahan rasa sakit, maka ia cepat-cepat menurut nasihat suhengnya. Ditahannya napasnya, dikerahkan lweekangnya untuk menutup semua jalan darahnya. Benar saja, rasa sakit itu menghilang dan tak lama kemudian ia mati dalam keadaan kaku.
Inilah yang dikehendaki oleh Pak Kek siansu. Kakek ini tadi merasa amat menyesal bahwa ia telah terpaksa menurunkan tangan maut. Ia menyesal harus menjadi pembunuh dalam saat terakhir. Maka ia memberi nasihat itu bukan semata karena kasihan kepada sutenya, melainkan terutama sekali agar supaya sutenya itu mati karena perbuatan sendiri. Mati bukan karena pukulannya, melainkan karena Pak Hong Siansu menutup jalan darahnya dan menghentikan pernapasannya sendiri! Dan hampir berbareng dengan sutenya, kakek sakti ini sendiripun lalu menahan rasa sakit dengan jalan yang sama sehingga boleh dibilang dilarang saat yang bersamaan nyawa mereka meninggalkan tubuh mereka tak dapat diceritakan apalah nyawa kedua orang kakak beradik seperguruan ini melakukan perjalanan yang sama pula kembali ke alam asal!
***
Ketika Ba Mau Hoatsu berlari turun gunung dengan hati mengkal dan mendongkol sekali, tiba-tiba ia melihat dua sosok bayangan manusia berlari cepat naik dari kaki bukit. Ia cepat bersembunyi di balik pohon dan alangkah kaget dan herannya ketika ia melihat bahwa bayangan itu bukan lain adalah Ciang Le dan Bi Lan! Ia tidak berani mengganggu karena maklum akan kelihaian dua orang muda itu, maka ia membiarkan mereka lewat. Kemudian ia melanjutkan perjalanan dan pikirannya berubah sama sekali. Tadi ia sudah merasa mendongkol sekali kepada Pak Hong Siansu. Hatinya sudah mulai tawar untuk membantu pemerintah Kin. Apalagi sekarang ia melihat bahwa Ciang Le sudah bebas dan agaknya sudah sembuh dari penyakit gilanya. Ah, keadaan makin buruk, pikirnya.
Menghadapi Ciang Le saja, tidak ada orang dari pemerintah Kin yang sanggup menahan, bahkan Pak Hong Siansu sendiri belum tentu menang. Apalagi masih ada Pak Kek Siansu. Ia tidak melihat harapan baik bagi pemerintah Kin dalam mempertahankan kedudukannya. Ia mulai mengenangkan semua hasil hasil diri pada campur tangannya. Tidak ada untungnya sedikitpun juga! Bahkan ia menderita malu besar karena muridnya, yakni Pangeran Wan Yen Kan, telah menyeberang dan membantu para pemberontak! Untuk apa ia lebih lama membantu pemerintah Kin? Timbul geram dan marahnya kepada muridnya karena ia mendapat nama busuk dan malu sekali karena perbuatan muridnya itu. Aku harus bunuh bedebah itu untuk membersihkan namaku dari para tokoh kang ouw, pikirnya.
Dipercepatnya jalannya dan ia tidak kembali ke Cin-an, juga tidak menanti turunnya Pak Hong Siansu. Sementara itu, Ciang Le dan Bi Lan terus berlari naik. Hati Ciang Le amat tidak enak, karena ia tahu bahwa di mana saja Pak Hong Siansu dan Ba Mau Hoatsu berada, pasti akan timbul kekacauan. Dan benar saja, ia mengeluarkan kutukan perlahan ketika tiba di tempat penjagaan pintu masuk dan dari jauh melihat tubuh tiga orang suhengnya, yakni Luliang Ciangkun, Luliang Siucai, dan Luliang Nung jin menggeletak di atas tanah dalam keadaan terluka hebat! Ciang Le segera berlutut dan memeriksa mereka. Bukan main marahnya menyaksikan Luliang Nung jin patah patah tulang kakinya, Luliang Siucai patah tulang pundaknya dan Luliang Ciangkun patah lengan kanannya! Akan tetapi, tiga orang kakek itu hanya tersenyum dan bahkan Luliang Siucai berkata,
"Sute, kepandaian kami terlalu rendah, mana dapat menahan susiok yang lihai?" Mendengar ini, Ciang Le teringat lagi kepada Pak Hong Siansu dan Ba Mau Hoatsu. Cepat ia bertanya.
"Di mana dia?" Luliang Siucai menudingkan jari tangannya ke atas dan Ciang Le segera meninggalkan mereka dan mengejar ke atas, diikuti oleh Bi Lan.
Pemandangan yang terlihat di atas membuat Ciang Le pucat. Ia melihat Pak Hong Siansu duduk bersila di atas batu, tubuhnya kaku seperti batu. Adapun gurunya juga duduk di atas batu menghadapi susioknya itu, juga gurunya nampak kaku seperti batu. Setetah dapat menekan gelora hatinya, Ciang Le cepat menghampiri mereka dan alangkah kagetnya melihat kedua orang kakek itu telah putus napasnya! Ketika Ciane Le memeriksa tubuh suhunya, ia menggigit bibir saking marahnya. Tubuh suhunya penuh dengan jarum-jarum hitam yang keji dari susioknya. Dan melihat sepintas saja keadaan susioknya maklumlah ia bahwa susioknya telah terkena pukulan Pak kek Sin ciang dari suhunya. Dengan hati sedih Ciang Le dibantu oleh Bi Lan lalu mengurus jenazah kedua orang kakek itu dan menguburnya.
Akan tetapi sengaja ia menjauhkan kuburan gurunya dan susioknya. Biarpun di dalam hati ia benci dan marah kepada susioknya, namun setelah melihat susioknya tidak benyawa lagi, ia masih mau mengubur dan bersembahyang di depan makamnya, dan ini saja dapat dipergunakan sebagai ukuran untuk mengetahui watak yang mulia dan budiman dari Hwa i Enghiong Go Ciang Le! Kemudian, Ciang Le mengangkat ketiga orang suhengnya ke dalam pondok di atas dan mulai merawat luka mereka, dibantu dengan setia oleh Bi Lan. Dengan kepandaiannya menyambung tulang, maka tulang-tulang yang remuk itu dapat tersambung pula setelah lewat beberapa pekan. Luliang Sam lojin merasa amat berterima kasih kepada Ciang Le, terutama sekali kepada Bi Lan yang dengan telaten ikut merawat mereka, memasak, menjaga dan lain lain. Bagi Ciang Le.
Memang tidak aneh karena sebagai sute, ia sudah berkewajiban untuk melakukan pekerjaan ini, akan tetapi Bi Lan yang tiada hubungan sesuatu dengan Luliang Sam lojin, mau melakukan semua ini, benar-benar membuat tiga orang kakek itu berterima kasih. Berkali kali mereka memuji bahwa nona itu merupakan calon jodoh yang baik sekali untuk Ciang Le sehingga sepasang orang muda itu merasa berbahagia. Setelah sembuh dari luka lukanya, biarpun agak cacad, yaitu Luliang Nungjin agak terpincang jalannya, Luliang Siucai tak dapat menulis dengan baik lagi, sedangkan Luliang Ciangkun terpaksa kini mainkan pedang dengan tangan kiri, tiga orang kakek itu lain mengajak Ciang Le dan Bi Lan turun gunung membantu perjuangan rakyat Tiongkok utara!
***
Perjuangan rakyat makin menggelora dan menghebat. Kedudukan pemerintah Kin makin lemah. Banyak penduduk utara mengungsi ke selatan karena keadaan di selatan jauh lebih makmur dari pada keadaan di utara. Ling In dan suaminya, Wan Kan, hidup di Biciu dengan tenteram. Mereka merupakan suami-isteri yang memiliki rumah tangga bahagia. Telah satu setengah tahun mereka tinggal di Biciu dan Ling In telah mempunyai seorang anak laki-laki yang diberi nama Wan Sin Hong. Ibu dari Ling In sudah meninggal dunia, dan pamannya telah pindah ke lain kota. Dengan demikian, Wan Kan dan Ling In tinggal bersama putera mereka dan dibantu oleh seorang pelayan wanita yang sudah setengah tua.
Oleh karena ibu dari Ling In meninggalkan warisan berupa rumah dan sawah, maka kehidupan mereka cukup dan tidak kekurangan sesuatu. Agaknya suami-isteri ini akan menikmati hidup sampai di hari tua, kalau tidak datang malapetaka yang hebat menimpa mereka. Malapetaka ini merupakan seorang Hwesio hitam tinggi besar, bukan lain ialah Ba Mau Hoatsu, guru dari Wan Kan. Pada pagi hari itu. Wan Kan dan Ling In sedang duduk di ruang depan, bercakap-cakap gembira, Wan Sin Hong yang baru berusia setahun, merangkak rangkak ke sana ke mari dan mengeluarkan suara yang lucu dan sukar dimengerti, Thio ma, pelayan mereka, menjaga anak itu dan semua orang nampak gembira sekali oleh kelakuan Wan Sin Hong, anak yang mungil dan lucu itu. Setelah diberi makan, Wan Kan berkata kepada isterinya.
"Aku sudah rindu sekali mendengar berita dari pada kawan-kawan kita. Mengapa mereka belum juga kembali? Terutama sekali aku ingin bertemu dengan adikku Ciang Le, entah di mana sekararang ia berada."
"Kurasa bersama-sama suheng suhengku dan dengan Bi Lan. Mudah mudahan saja mereka semua selamat," jawab Ling In dan nyonya muda ini menyembunyikan perasaan yang kecewa. Sesungguhnya, ia sendiripun ingini sekali membantu perjuangan kawan-kawannya itu, mengusir penjajah Kin. Akan tetapi, biarpun ia maklum bahwa suaminya berbeda dengan penjajah Kin, dan bahwa suaminya sudah sadar benar-benar akan kelaliman pemerintahan bangsanya, namun sebagai seorang isteri bijaksana ia selalu menjaga agar jangan menyinggung perasaan suaminya. Maka ia tak pernah bicara tentang kesalahan Bangsa Kin yang memeras rakyat di Tiongkok utara.
"Mudah mudahan saja." Wan Kan membenarkan.
"Alangkah ingin hatiku menyaksikan Ciang Le dan Bi Lan kembali dan merayakan pernikahan mereka. Kedua orang itu benar-benar sudah cocok sekali, jarang ada jodoh yang sedemikian cocoknya, sama-sama memiliki kepandaian tinggi."
"Dan mudah mudahan mereka kelak sebahagia kita," kata Ling In sambil memandang suaminya.
"Begitulah pula harapanku," sambung suaminya dan balas memandang. Dalam pertemuan pandang ini tersinar rasa kasih sayang yang murni. Pada saat itu, biarpun tidak terdengar sesuatu, sepasang suami-isteri ini seakan-akan tertarik oleh tenaga gaib dan keduanya tiba-tiba menoleh dan memandang ke arah pintu. Wajah mereka tiba-tiba menjadi pucat sekali karena di ambang pintu rumah berdiri seorang Hwesio gemuk bermuka hitam yang memandang kepada mereka dengan sinar mata mengandung penuh kebencian!
"Suhu...!" seru Wan Kan dengan suara perlahan.
"Murid murtad! kau masih mengaku guru kepadaku? Bagus, dengan begitu matimu tidak penasaran!" jawab Ba Mau Hoatsu yang segema mengirim serangan dengan sepasang rodanya. Bukan main kagetnya Wan Kan karena serangan gurunya ini memang hebat sekali. Ia meloncat ke samping, mengelak dari serangan roda kiri gurunya, akan tetapi roda emas di tangan kanan Ba Mau Hoatsu sudah menyusul cepat sekali.
Wan Kan kembali mengelak dan terdengar seruan keras dari Ling In yang telah mengangkat bangku dan menyerang hwe sio tinggi besar itu. Pada waktu itu Ling In tidak memegang pedang, maka ia mencari senjata seadanya saja dan menyambar bangku yang tadi didudukinya untuk menolong suaminya. Ketika bangkunya menghantam kepala Ba Mau Hoatsu, terdergar suara keras dan bangku itu hancur berkeping keping beradu dengan roda perak dari Ba Mau Hoatsu. Pendeta Tibet ini tadinya hanya ingin menewaskan muridnya, akan tetapi ketika melihat Ling In menyerangnya, timbul geramnya dan ia meluncurkan rodanya ke arah nyonya muda itu. Ling In mencoba untuk mengelak, akan tetapi serangan itu hebat sekali datangnya dan tepat mengenai kepalanya sehingga robohlah Ling In dengan kepala pecah!
"Bangsat tua bangka! Iblis terkutuk, kau membunuh isteriku?" jerit Wan Kan yang menubruk gurunya dengan pukulan maut. Akan tetapi Ba Mau Hoatsu mengangkat kakinya dan sebuah tendangan kilat menyambar dada Wan Kan. Bekas pangeran ini terpental ke belakang dan sebelum ia dapat meloncat kembali, kepalanya sudah tertimpa oleh roda perak yang masih berbekas darah kepala isterinya. Kembali terdengar suara keras dan kepala Wan Kanpun pecah seperti keadaan isterinya. Nyawa kedua suami-isteri yang saling kasih mengasihi ini susul menyusul melayang ke alam baka! Ba Mau Hoatsu tertawa bergelak.
"Puaslah hatiku, bersih kembali nama baikku yang kalian cemarkan!" katanya, kemudian tubuhnya berkelebat dan lenyap dari tempat itu. Pendeta Tibet ini sama sekali tidak tahu bahwa muridnya itu telah mempunyai seorang putera, yang kini sedang diberi makan oleh pelayannya. Kalau saja ia mengetahui hal ini, tentu ia akan turun-tangan pula dan membunuh si kecil. Kelalaiannya ini akan ia bayar mahal kelak! (Dituturkan dalam cerita SIM KIAM HOK MO atau Pedang Sakti Penaluk Iblis yang amat menarik). Tentu saja ketika pelayan atau pengasuh Wan Sin Hong mendengar suara ribut-ribut, ia menjadi kaget dan ketakutan. Setelah suara, gaduh itu lenyap, ia berjalan keluar dan alangkah ngeri hatinya menyaksikan betapa kedua majikannya telah menggeletak di atas lantai dengan kepala pecah dan mandi darah!
"Tolong... tolooong"!" Pelayan itu berlari-lari keluar dari rumah dengan muka pucat dan memeluk Wan Sin Hong erat-erat. Orang-orang menjadi terkejut dan mendengar jeritan itu memburu ke tempat itu.
"Ada apa? Ada apa, Thio ma?" tanya mereka.
"Aduh...celaka... aduh, celaka...!" hanya demikian Thio ma dapat mengeluh sambil menudingkan jarinya ke arah rumah yang baru saja ditinggalkannya.
Sementara itu, Sin Hong menangis menjerit-jerit karena ia merasa kaget dan takut melihat orang-orang itu dan mendengar tangis Thio ma. Orang-orang mengejar masuk dan sebentar saja terdengar seruan-seruan ngeri dari mereka ini. Yang berwajib diberi laporan dan jenazah Ling In serta Wan Kan lalu diurus baik, ditangisi siang malam oleh Thio ma yang menggendong Wan Sin Hong yang juga menangis terus mencari ibunya. Paman Ling In dari dusun segera datang ketika mendengar berita ini. Seperti kita telah ketahui, paman dari Ling In ini bersama The Liok, seorang petani yang jujur. The Liok beserta isterinya lalu mengurus jenazah dan setelah jenazah itu di makamkan baik-baik The Liok lalu mengosongkan rumah Ling In, membawa perabot perabot rumah itu ke dusunnya bersama Wan Sin Hong dan Thio ma.
The Liok tidak mau tinggal di rumah dalam kota itu, ia merasa lebih aman dan damai tinggal di dusun, di mana ia telah mempunyai sawah. Dengan adanya sawah peninggalan dari Ling In. Ia tidak khawatir lagi akan nasib hidupnya, maka iapun tidak keberatan untuk memelihara Wan Sin Hong berikut Thio ma, inang pengasuh yang amat setia dan mencinta anak itu. Akan tetapi, hanya untuk tiga bulan anak kecil itu berada di rumah The Liok. Pada suatu senja, datanglah seorang pemuda tampan yang bertubuh tegap ke rumah The Liok. Petani ini telah pulang dari sawah dan sedang duduk di depan rumah bersama isterinya. Melihat kedatangan pemuda itu, The Liok menyambut dengan girang dan ramah-tamah.
"Ah, kiranya Lie hiante. Telah lama sekali kita tidak saling bertemu," kata The Liok. Pemuda ini menjura selaku penghormatan.
"Paman Liok, baik-baik sajakah sekeluarga?" tanya pemuda itu yang bukan lain adalah Lie Bu Tek.
"Keluargaku sendiri sih baik-baik saja, akan tetapi keponakanku Ling In..." The Liok menghentikan ucapannya untuk menarik napas panjang kemudian memandang kepada Lie Bu Tek dengan muka sedih.
"Aku sudah mendengar akan hal itu, paman The Liok. Memang menyedihkan sekali nasib Ling In dan Wan Kan," jawab Lie Bu Tek sambil menghela napas panjang pula.
"Betulkah hiante?" The Liok memandang dengan mata penuh perhatian bercampur curiga. Tadinya memang ada sangkaan dalam hati The Liok ini bahwa yang membunuh keponakannya adalah pemuda ini yang ia ketahui dulu yang mencinta Ling In. Hanya keterangan Thio ma saja yang membuat ia harus melenyapkan kecurigaannya terhadap Lie Bu Tek. Thio ma mengatakan bahwa ketika terjadi ribut-ribut ia mengintai sebentar dan melihat seorang Hwesio tinggi besar bermuka hitam berhadapan dengan kedua orang majikannya.
"Aku sudah mampir di Biciu sebelum datang ke sini mencarimu, paman Liok," kata Bu Tek.
"Dan tahukah kau, siapakah gerangan yang membunuh keponakanku dan suaminya?"
"Siapa lagi kalau bukan guru dari Wan Kan yang bernama Ba Mau Hoatsu?"
"Gurunya sendiri?" The Liok memandang heran karena ia tidak mengerti mengapa seorang guru dapat membunuh murid sendiri.
"Mengapa begitu, hiante?" Lie Bu Tek menarik napas panjang.
"Biarpun aku sendiri hanya menduga duga saja, akan tetapi dugaanku agaknya takkan meleset. Seperti kita ketahui, Wan Kan adalah Pangeran Wan Yen Kan yang menjadi murid dari Hwesio Tibet itu dan Ba Mau Hoatsu tentu saja mendapat kedudukan tinggi dan terpandang sekali oleh Kerajaan Kin karena menjadi guru dari Pangeran Wan Yen Kan. Akan tetapi, kemudian Wan Yen Kan berjodoh dengan sumoi, bahkan rela meninggalkan bangsanya dan melebur diri menjadi orang Han. Dengan tindakan Wan Kan ini, tentu saja nama Ba Mau Hoatsu menjadi jatuh dan ia merasa malu sekali. Oleh karena inilah kukira maka ia sengaja mencari Wan Kan dan membunuhnya, sekalian dengan sumoi." The Liok mengangguk-angguk.
"Agaknya cocok dugaanmu itu, hiante. Tadinya akupun hendak naik ke Hoa san untuk melaporkan pembunuhan ini kepada para Lo-Cianpwe sana, akan tetapi aku pernah mendengar dan Ling In bahwa semua orang telah turun gunung dan membantu perjuangan melawan pemerintah Kin, bahkan Ling In sendiri sering kali menyatakan keinginannya membantu perjuangan itu. Maka aku membatalkan niatku karena untuk apa pergi jauh jauh ke Hoa san kalau kemudian tidak dapat bertemu dengan seorangpun di sana."
"Memung betul, paman The Liok. Di puncak Hoa sansekarang tidak ada orang, semua sudah turun gunung membantu perjuangan. Bahkan datangku ke Biciu sebetulnya juga hendak minta bantuan sumoi dan juga minta kepada Wan Kan agar ia dapat memberi petunjuk petunjuk tentang keadaan pertahanan pemerintah Kin. Siapa tahu mereka telah menalami nasib demikian hebat." Tak terasa pula ketika mengucapkan kata-kata ini, Bu Tek tetingat kepada Ling In yang pernah dicintainya, bahkan yang sampai saat itu masih saja bayangan sumoinya terukir di dalam hatinya, dan basahlah matanya. Melihat ini, The Liok terharu. Orang-tua ini tahu akan perasaan Lie Bu Tek, maka ia segera menyimpangkan pembicaraan itu dan bertanya.
"Dan kau lalu mengunjungi aku di sini, apakah hanya menengok saja ataukah ada kepentingan lain, hiante?"
"Aku ingin melihat putera dari Ling In. Di mana dia dan siapakah namanya?" The Liok tersenyum lebar.
"Oh, kau maksudkan Sin Hong? Ia lucu sekali dan sehat sehat saja, kasihan anak itu..." The Liok memanggil Thio ma yang segera datang sambil menggendong Wan Sin Hong yang tertawa-tawa. Anak yang baru berusia setahun ini tentu saja tidak kenal akan arti susah dan telah melupakan ayah bundanya. Melihat anak ini, Bu Tek merasa terharu sekali.
"Paman The Liok, anak ini adalah keturunan mereka. Biarkanlah aku membawa dan mendidiknya agar ia kelak menjadi seorang bijaksana dan budiman serta gagah perkasa seperti ayah bundanya." The Liok nampak terkejut, demikian pula Thio ma segera memeluk anak itu erat-erat. Inang pengasuh ini amat mencinta kepada Sin Hong seperti kepada cucunya sendiri.
"Tidak mungkin, hiante. Sin Hong masih terlampau kecil, dan sudah menjadi hak dan kewajibanku untuk mengurusnya baik-baik! kau takkan dapat mengurusnya. Ia masih terlampau kecil dan kau seorang laki-laki sebatangkara. Tak mungkin..."
"Jadi paman hendak mendidiknya menjadi seorang petani biasa?" tanya Lie Bu Tek dengan suara keras. Tiba-tiba sikap The Liok berobah keras. Ia menentang pandang mata Bu Tek dan menjawab keras pula.
"Hiante! Apakah ucapanmu itu berarti kau memandang rendah kami kaum petani? kau kira rendahkah kedudukan seorang petani? Lie hiante, kau lupa agaknya, hasil jerih payah siapakah yang setiap hari kau makan? Cucuku Wan Sin Hong ini seribu kali lebih baik menjadi seorang petani yang jujur dan rajin dari pada menjadi seorang pandai yang hidup sebagai petualang! Pernahkah kau berpikir, Lie hiante, bahwa di dunia ini, biarpun tidak ada orang-orang pandai, namun para petani masih sanggup hidup bahagia, sedangkan orang-orang pandai kalau tidak ada petani, dapatkah ia hidup? Mereka akan terpaksa melebur diri menjadi petani kalau tidak mau mampus kelaparan, tahukah kau?"
Melihat The Liok membela kaum tani dengan mati-matian, penuh nafsu amarah ini, Lie Bu Tek tersenyum. Ia maklum bahwa tentu saja sebagai seorang petani, The Liok membela kau mnya, dan sebagai seorang gagah yang pernah mempelajari tentang pribadi, diam-diam ia meagakui kebenaran kata-kata orang sederhana dan jujur seperti The Liok itu.
"Betapapun jua, paman The Liok, aku ingin membawa anak ini hendak kuperlakukan sebagai puteraku sendiri. Biarlah aku berjanji bahwa sisa hidupku akan kuhabiskan untuk mengurus dan mendidik Sia Hong."
"Tidak bisa dan tidak boleh!" bentak The Liok marah marah. Lie Bu Tek berdiri dan menjura.
"Kalau begitu, ijinkanlah aku pegi, aku tidak ingin mengganggumu lagi, paman The Liok." Akan tetapi petani tua itu tidak menjawab, hanya menganggukkan kepalanya dengan hati lega karena tadinya ia berkhawatir kalau kalau pemuda ini memaksa. Akan tetapi, pada keesokan harinya, Sin liong telah lenyap dari kamarnya! Thio ma, menangis menjerit-jerit, The Liok memaki-maki Lie Bu Tek, akan tetapi apakah dayanya? Ia tidak tahu ke mana Lie Bu Tek membawa anak itu dan ia yang tidak memiliki kepandaian, bagaimana ia dapat mencari Lie Bu Tek yang gagah perkasa? Maka tidak ada lain jalan baginya selain berdoa kepada Thian agar anak itu mendapat perlindungannya.
***
Dengan adanya bantuan dan orang-orang agah seperti tokoh-tokoh Hoa-san-pai, tokoh-tokoh Go-bi-pai, pemuda pemuda perkasa seperti Ciang Le, Bi Lan, Hok Seng, dan masih banyak lagi yang sukar disebutkan satu demi satu, akhirnya beberapa tahun kemudian, lambat laun kekuasaan Kerajaan Kin makin menyuram dan akhirnya pemerintah Kin harus mengakui bahwa rakyat Tiongkok memang gagah perkasa dan pantang mundur menuntut perbaikan nasib. Pemberontakan terjadi di mana gugur sepuluh maju seratus, jatuh seratus maju seribu, dan roboh seribu maju selaksa! Di manakah ada kekuatan penjajah di dunia ini yang dapat membendung gelora rakyat yang membanjir dalam perjuangan demi kebebasan tanah air dan bangsa? Biarpun pemerintah Kin mempunyai balatentara yang kuat, panglima yang gagah dan berkepandaian tinggi.
Namun mereka tak kuat juga menghadapi pemberontakan rakyat yang makin lama makin membesar dan meluas itu. Dan diantara para pejuang yang gagah berani itu, Ciang Le berjuang bahu membahu dengan Bi Lan, kekasih hatinya, calon jodohnya. Mereka bersumpah takkan menikah sebelum bangsa penjajah dapat terusir keluar dan sebelum bangsanya terbebas betul-betul dari cengkeraman Bangsa Kin yang membuat rakyat sengsara. Dan di mana adanya Lie Bu Tek, pemuda yang membawa pergi Wan Sin Hong puteri dari Wan Kan dan Ling In yang meninggal dalam keadaan mengenaskan itu? Tak seorang mengetahuinya. Bahkan ketika Ciang Le dan Bi Lan hendak mengunjungi Ling In dan mendengar berita menyedihkan itu dari The Liok, sepasang pendekar inipun tidak pernah bertemu dengan Lie Bu Tek dan tidak tahu ke mana perginya pemuda itu.
Kita akhiri cerita ini dalam keadaan suramnya pemerintah Kin yang terus terdesak oleh kaum pemberontak. Kota demi kota terjatuh ke dalam tangan pejuang rakyat, dan di alam setiap perjuangan rakyat, cerita perseorangan lenyap, yang ada cerita tentang kegagah beranian setiap orang anggauta pejuang yang siap mengurbankan nyawa dan darah demi tanah air!
Bagaimana dengan nasib Lie Bu Tek dan Wan Sin Hong? Dan bila kita dapat bertemu kembali dengan pendekar pendekar perkasa seperti Ciang Le dan Bi Lan? Semua ini akan terjawab dalam cerita yang lebih hebat lagi, yang khusus dihidupkan oleh pengarang cerita ini sebagai sambungan dari cerita HWA I ENGHIONG atau PENDEKAR BUDIMAN, yaitu cerita : "PEDANG SAKTI PENAKLUK IBLIS"
TAMAT
Penerbit : CV. GEMA - Solo
Cetakan Tahun : 1978 (Pertama)
Pelukis : Sriwidjono
Sumber : Didit, http://indozone.net/literatures/chapter/13598
Final Revisi : Jansen Lim
Edit ke DOC, PDF, TXT oleh : Cersil KPH
Pendekar Pedang Pelangi Eps 1 Memburu Iblis Eps 18 Pendekar Pedang Pelangi Eps 28