Ceritasilat Novel Online

Pedang Penakluk Iblis 17


Pedang Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 17




   "Tubuhmu kuat sekali. Nona. Dalam waktu dua minggu kau pasti akan dapat berjalan seperti biasa. Sekarang bolehkah aku mengetahui namamu dan mengapa kau sampai bertempur dengan kakek tadi?"

   "Aku Gak Soan Li dan aku bertempur dengan Giok Seng Cu karena melihat dia mengejar dan hendak membunuh seorang pengemis yang sudah kalah olehnya. Seandainya aku tidak melihat dia mendesak orang tentu akan menyerangnya juga, karena dia adalah musuh besar dari Guruku."

   "Siapakah gurumu, Nona? Kau memiliki tubuh kuat, memiliki kepandaian tinggi, tentu gurumu seorang dewa."

   Soan Li tersenyum.

   "Biarpun bukan dewa, guruku tentu akan dapat merobohkan Giok Seng Cu. Guruku adalah Hwa I Enghiong Go Ciang Le."

   Ketika itu, Sin Hong baru memberes-bereskan bungkusan obat. Mendengar nama Go Ciang Le hampir saja guci arak yang sedang dipegangnya terlepas dari pegangannya. Hatinya berdebar keras. Tak disangkanya bahwa ia telah menolong nyawa murid dari Go Ciang Le, pendekar besar yang selama ini disebut-sebut oleh Lie Bu Tek, pendekar besar yang menjadi murid Pak Kek Siansu dan yang boleh dibilang masih terhitung suhengnya juga. Dia mendengar bahwa Go Cilang Le adalah murid terpandai Pak Kek Siansu. Biarpun ia ingin sekali bertemu muka dengan suhengnya akan tetapi ada sedikit tidak senang kepada pendekar ini, yaitu mengapa selama ini pendekar itu tidak muncul tidak membantu Hoa-san-pai dan Luliang-pai yang diobrak-abrik orang jahat.

   "Kau sendiri hendak ke mana, Nona?"

   "Aku seorang perantau yang tidak mempunyai tempat tujuan tertentu. Akan tetapi karena selama dua minggu aku tak akan dapat bergerak, aku akan merasa berterima kasih sekali kalau kau mau mencarikan kendaraan atau pemikul tandu agar aku dapat dibawa ke kota terdekat untuk beristirahat di dalam rumah penginapan," kata Soan Li.

   "Aku akan usahakan itu, Nona. Akan tetapi kau tunggulah sebentar, aku akan memanggil Gihu yang menanti di luar hutan ini. Baiknya kau menanti di bawah pohon itu agar jangan terserang panas." Tanpa menanti jawaban Sin Hong lalu membungkuk dan memanggul tubuh Soan Li dipondongnya lalu diletakkan ke bawah sebatang pohon besar.

   Kembali berdebar hati Soan Li ketika ia dipondong oleh sepasang lengan yang kuat dan yang gerakannya halus dan sopan itu. Seketika itu juga jatuhlah hatinya dan ia menyerahkan hatinya bulat-bulat kepada pemuda dusun yang serhana ini. Ia merasa begitu aman dan senang sehingga hampir saja ia menyandarkan kepalanya di pundak Sin Hong. Hanya kesopanan yang mencegahnya dan sebaliknya ia hanya memandang kepada Sin Hong dengan mata penuh kasih dan hutang budi. Namun, mana Sin Hong dapat mengerti ini semua? Dalam hal hubungan dengan wanita, ia masih hijau dan tidak mengerti apa-apa.

   Setelah menurunkan tubuh Soan Li sehingga duduk bersandar pohon, Sin Hong lalu berjalan pergi, menuju ke tempat dimana Lie Bu Tek dan dia datang. Ia sudah merasa terheran-heran mengapa ayah angkatnya belum juga tiba di tempat itu. Memang betul bahwa tadi ia meninggalkan Lie Bu Tek dan berlari cepat akan tetapi Lie Bu Tek juga bukan orang lemah dan kini ilmunya berlari cepat sudah amat maju. Hati Sin Hong mulai tidak enak dan setelah ia pergi agak jauh ia lalu mempergunakan ilmu lari cepat.

   Baru saja tiba di luar hutan dari jauh ia sudah melihat pemandangan yang membuat hatinya gelisah. Ia melihat gihunya tengah bertempur hebat dengan seorang pengemis yang mempergunakan tongkatnya secara istimewa sekali.

   Baiknya gihunya telah memperdalam ilmu pedangnya selama lima tahun di dalam dasar jurang di Luliangsan sehingga biarpun hanya bertangan kiri namun Lie Bu Tek dapat mendesak lawannya yang aneh itu. Selama bertempur, pengemis itu mengeluarkan suara ah-ah uh-uh dan dari sini saja Sin Hong yang sudah mempelajari ilmu pengobatan tahu bahwa orang itu tentulah seorang yang bisu.

   Bagaimana Lie Bu Tek tahu-tahu dapat bertempur dengan orang itu? Para pembaca tentu dapat menduga bahwa orang itu adalah Ah Kai pengemis bisu yang merampas tongkat pusaka Hek-kin-kaipang dan yang baru saja terlepas dari desakan Giok Seng Cu, tertolong oleh Gak Soan Li. Memang demikinlah. Ketika Lie Bu Tek mengejar pureranya untuk segera tiba di Bi-nam-bun untuk mengunjungi Kiang Cun Eng, tiba-tiba ia melihat seorang berlari cepat dari jurusan depan, nampaknya tergesa-gesa dan mencurigakan. Setelah mereka saling mendekati, Lie Bu Tek melihat longkat yang dipegang orang itu adalah tongkat pusaka Hek-kin-kaipang yang pernah ia lihat dahulu berada di tangan Kiang Cun Eng.

   Timbul kecurigaan di hati Lie Bu Tek. Orang ini sudah membawa tongkat pusaka perkumpulan pengemis itu, padahal yang memegang tongkat hanya ketuanya. Andaikata orang ini, dipilih menjadi ketua baru, tak mungkin sekarang berlari-lari seperti orang dikejar setan. Tak salah lagi orang ini tentu telah mencuri, atau merampas tongkat pusaka itu. Apalagi ketika ia lihat bahwa orang ini tidak memakai sabuk hitam sebagai tanda dari anggauta Hek-kin-kaipang. Cepat ia melompat dan menghadang Ah-Kai.

   "Sahabat perlahan dulu! Siapakah sahabat dan mengapa berlari-lari membawa tongkat Hek-kin-kaipang? Kalau tidak dapat memberi jawaban yang tepat, terpaksa kau harus meninggalkan tongkat pusaka itu kepadaku untuk kubawa ke Bi-nam-bun."

   Ah Kai dapat mengerti ucapan orang biarpun ia sendiri tidak dapat bicara. Memang ia bukan bisu tuli, kedua telinganya masih dapat bekerja baik. Mendengar ucapan Lie Bu Tek dan melihat betapa orang ini hanya memiliki sebelah tangan ia menjadi curiga. Disangkanya bahwa Lie Bu Tek tentu seorang tokoh kangouw yang datang hendak memperebutkan kedudukan pangcu dari Hek-ki kaipang. Ketika itu ia sedang terburu-buru untuk menjauhkan diri dan Giok Seng Cu. ia maklum bahwa biarpun tadi telah ditolong oleh seorang dara perkasa, namun dara itu bukan tandingan Giok Seng Cu dan tak lama kemudian Giok Seng Cu pasti akan melanjutan pengejarannya. Ia tidak mau diganggu dan diperlambat larinya, maka tanpa banyak cakap ia mengayun tongkatnya, memukul ke arah pundak Lie Bu Tek.

   Lie Bu Tek terkejut melihat gerakan serangan itu aneh dan cepat, maka segera melompat ke samping. Tahu bahwa pengemis itu memiliki kepandaian tinggi, ia lalu mencabut pedang dengan tangan kirinya dan sebentar kemudian dua orang itu telah bertempur seru.

   Kalau Lie Bu Tek merasa terheran-heran dan kagum akan kelihaian ilmu tongkat lawannya, adalah Ah Kai menjadi penasaran dan gemas sekali. Tak disangkanya bahwa hari itu ia akan bertemu dengan demikian banyaknya orang pandai yang kepandaiannya masih lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri. Berkali-kali ia mengeluarkan suara ah-ah uh-uh untuk mencegah Lie Bu Tek mendesaknya, akan tetapi tentu saja pendekar buntung itu tidak mengerti dan bahkan mendesak cepat untuk mendapat kesempatan merampas tongkat yang disangkanya telah dibawa lari oleh pengemis ini.

   Pada saat Sin Hong tiba di tempat itu, Ah Kai dan Lie Bu Tek sudah bertempur delapan puluh jurus lebih dan Ah Kai makin lama makin terdesak karena ia merasa kalah dalam kekuatan lwe-kang menghadapi pendekar buntung itu. Ia mengirim tusukan cepat ke arah jalan darah maut di dada kira lawan dan ketika Lie Bu Tek mengelak ke belakang Ah Kai lalu melompat dan melarikan diri.

   "Pencuri tongkat, kau hendak lari kemana?" Lie Bu Tek berseru dan mengejar.

   Tiba-tiba Ah Kai membalikkan tubuhnya dan sebatang piauw meluncur ke arah dada Lie Bu Tek. Pendekar Buntung ini mengangkat tangan kiri dan menangkis dengan pedangnya, lalu melompat dan mengirim serangan lagi secepat kilat. Ah Kai mengeluarkan seruan kaget, tongkatnya bergerak laksana ular terinjak ekornya. Gerakannya berlenggak-lenggok dan sukar sekali. diikuti atau diduga ke mana arah serangannya sehingga tahu-tahu ujung tongkat pusaka itu telah meluncur mengancam leher Lie Bu Tek. Pendekar ini mengeluarkan seruan kaget dan cepat merebahkan diri ke belakang dengan keringat dingin membasahi jidat. Serangan si Bisu tadi benar-benar tak terduga dan hebat. Ketika Ah Kai yang marah itu menubruk, Lie Bu Tek menangkis dengan pedang dan mereka melanjutkan pertempuran.

   "Gi-hu, mengapa kau serang dia?" Sin Hong berseru setelah is tiba dekat pertempuran.

   "Tongkat itu adalah tongkat pusaka lek-kin-kaipang!" jawab Bu Tek. Mendengar ini, Sin Hong membentak.

   "Lepaskan tongkat!" Ia menerjang maju dengan tangan kosong.

   Ah Kai melihat lawannya mendapat bantuan menjadi makin marah. Sekali membalikkan tubuh, tongkatnya menyambar kaki Sin Hong. Pemuda ini mengangkat kaki kanannya dan diam-diam ia pun memuji gerakan pengemis itu. Tadinya tongkat itu berada di tangan kanan, akan tetapi ketika menyerang Sin Hong, tahu-tahu tongkat itu telah berpindah ke tangan kiri. Pindahnya demikian cepat hingga takkan dapat terduga atau terlihat oleh lawan. Tentu saja Sin Hong yang sudah amat tinggi ilmunya dapat melihat pergerakan itu maka ia memuji. Sekali mengangkat kaki kanan tongkat itu meluncur lewat di bawah kaki, akan tetapi Sin Hong mengeluarkan seruan keras dan kakinya yang diangkat itu dengan cepat luar biasa menyambar turun dan di lain detik tongkat itu telah diinjaknya!

   "Lepahkan tongkat!" teriaknya sekali lagi sambil mengerahkan tenaga dan Ah Kai terpaksa melepaskannya karena tidak tahan menghadapi tenaga injakan ini. Ia memandang kepada Sin Hong dengan kedua mata terbelalak lebar saking heran dan kagumnya, kemudian ia memandang kepada Lie Bu Tek dengan marah karena dianggapnya Si Buntung itulah yang menghambat larinya sehingga kini ia bahkan kehilangan tongkat pusaka. Sin Hong menjemput tongkat itu dan menyerahkan kepada Lie Bu Tek. Lie Bu Tek menerimanya dan berkata kepada Ah Kai.

   "Sekarang jelas bahwa tongkat ini nemang betul tongkat pusaka Hek-kin-kaipang. Dari manakah kau mendapatkan tongkat ini?"

   "Gihu ,dia bisu dan tidak akan dapat bicara. Biar aku yang mengajaknya bicara," katanya. Ketika masih kecil dan dibawa merantau oleh Lie Bu Tek, sebagai orang anak kecil, Sin Hong amat suka memperhatikan gerak-gerik orang-orang bisu yang dijumpainya di jalan. Tentu saja ia berbeda dengan orang-orang tua dan tidak malu-malu untuk bercakap-cakap melalui gerak jari tangan dan bersenda-gurau dengan orang bisu, maka sedikit banyak ia dapat mempergunakan bahasa tangan itu. Sekarang ia menghampiri Ah Kai dan dengan jari tangan digerakkan dan menunjuk ke arah tongkat, akhirnya ia dapat menjelaskan kepada Ah Kai tentang pertanyaan gihunya.

   Dengan gerakan jari tangan pula, Ah Kai menunjuk ke arah tongkat lalu merangkapkan kedua tangan, tanda bahwa ia menghormati tongkat itu dan bersiap ,membelanya dengan nyawa.

   "Jadi kau membela Hek-kin-kaipang?" tanya Sin Hong. Ah Kai mengangguk-angguk dengan muka bangga.

   "Di mana adanya Kiang Kaipangcu?" tanya Lie Bu Tek dan melihat mata pengemis itu memandangnya penuh curi ia menyambung cepat.

   "Ketahuilah Lie Bu Tek adalah sahabat baik Kiang-pangcu dan semua anggauta Hek- kin-kaipang adalah sahabat baikku!" Mendengar ini, tiba-tiba Ah Kai menjura dengan hormat kepada Lie Bu Tek lalu maju memeluk dan menangis terisak-isak tanpa mengeluarkan air mata!

   "Eh, lekas........ apa yang terjadi dengan Kiang-pangcu?" Karena tidak bisa menjawab dan gerakan jari tangan-tangannya demikian cepat sehingga Sin Hong sendiri tidak dapat menangkap artinya dengan jelas, Ah Kai lalu memegang ujung baju Lie Bu Tek dan menariknya, seakan-akan mengajaknya cepat-cepat ke tempat Kiang pangcu.

   "Gihu, dia mengajak kita pergi ke tempat Kiang-pangcu. Marilah!" Tiga orang itu lalu berlari-lari ke dalam hutan.

   "Gihu, harap kau berangkat dulu dengan sahabat ini. Aku hendak menolong seorang lihiap yang terluka oleh Giok Seng Cu di dalam hutan. Aku akan menyusulmu segera."

   Mendengar ini Lie Bu Tek terkejut, akan tetapi karena tidak ada waktu untuk bercakap-cakap, ia hanya mengangguk dan menunda pertanyaan yang sudah berada di ujung bibirnya. Bersama Ah Kai lalu berlari cepat menuju ke dusun Bi-nam-bun, sedangkan Sin Hong lalu menuju ke tempat di mana Soan Li menantinya. Melihat datangnya pemuda ini, wajah Soan Li berseri dan ia berkata girang.

   "Lam-ko, kau cepat sekali datang. Mana kendaraan atau tukang pemikul tandu?"

   "Di dalam hutan ini, dari mana bisa mendapatkan kendaraan atau pemikul tandu, Nona? Biarlah aku yang mengantar kau ke dusun Bi-nam-bun tak jauh dari sini dan di sana nanti akan kucarikan rumah penginapan untukmu. Jangan khawatir, aku akan menjaga dan merawatmu sampai sembuh, Gak-siocia."

   Soan Li kelihatan girang sekali dan tersenyum manis.

   "Ah, Lam-ko, kita baru saja bertemu akan tetapi kau telah melimpahkan budi bertumpuk-tumpuk. Bagaimana aku akan dapat membalasmu."

   "Jangan berbicara tentang budi, Nona. Sudah kewajibanku untuk menolong sesama manusia yang menderita. Maukah... maukah kau kupondong ke dusun Bi-nam-bun?" Soan Li menjadi jengah dan malu, tak dapat mengeluarkan suara hanya mengangguk. Melihat sikap ini, timbul sungkan dan malu dalam hati Sin Hong.

   "Kalau kau malu-malu apabila terlihat orang lebih baik kupanggul saja, Nona. Biar kau duduk di atas pundakku sehingga dengan demikian tidak banyak bedanya dengan apabila aku memanggul tandu yang kau duduki. Hanya, duduk di atas pundak seperti itu tidak mudah. Aku mendapat pikiran demikian karena aku percaya bahwa kau berbeda dengan wanita umumnya, kau memiliki kepandaian hebat maka kiranya akan mudah saja kamu duduk di atas pundakku seperti itu.

   "Bagaimana kau bisa menduga demikian? Kau tahu apakah tentang ilmu silat, Im-ko?"

   "Aku tidak tahu apa-apa. Hanya dahulu aku pernah melihat rombongan tukang silat dan melihat seorang nona seperti engkau duduk di atas pundak kawannya, bahkan berjumpalitan di atas pundak duduk dan terdiri dengan enaknya."

   Soan Li tersenyum lalu berkata.

   "Sesukamulah. Dipondong atau dipanggul, bagiku sama saja karena aku sudah tahu betul bahwa kau memiliki isi dada yang bersih dan mulia."

   Senang hati Sin Hong mendengar pujian ini. Ia lalu berjongkok, dan Soan Li mempergunakan tenaganya menekan pundak pemuda itu dan biarpun kedua kakinya lumpuh akan tetapi sekali mengayun tubuh ias telah duduk di atas pundak kanan pmuda itu! Sin Hong berdiri dan melihat Soan Li duduk dengan anteng dan enak sama sekali tidak usah dipegangi lagi, ia memang tidak merasa heran, akan tetapi mulutnya memuji.

   "Gak-siocia, ternyata kau bahkan lebih pandai dari nona tukang silat itu. Kau duduk tidak bergoyang sedikitpun juga!" Jari tangan Soan Li yang halus menyentuh pundak kiri Sin Hong.

   "Lam-ko, bisa saja kau memuji. Sebaliknya kaulah yang memiliki tenaga besar mengagumkan. Kau seperti memanggul daun kering saja."

   "Bukan aku yang amat kuat, sebaliknya kaulah yang amat ringan, Nona."

   Demikianlah, dengan perasaan hati berdebar girang, Soan Li membiarkan dirinya dipanggul oleh Sin Hong, sebaliknya Sin Hong merasa beruntung karena sudah dapat menolong seorang murid dari Hwa I Enghiong Go Ciang Le. Ia membayangkan betapa akan girangnya hati Lie Bu Tek kalau tahu bahwa ia telah menolong murid pendekar besar itu. Akan tetapi, karena ingin menyembunyikan kepandaiannya dari Soan Li, ia tidak berani mempergunakan ilmu lari cepatnya, bahkan berjalan dengan gaya seakan-akan ia merasa berat dan agak sukar. Berkali-kali Soan Li yang merasa tidak enak hati minta supaya ia beristirahat, akan tetapi Sin Hong menolaknya.

   Ketika Ah Kai tiba kembali di tempat pertempuran atau tempat pemilihan ketua baru dari Hek-kin-kaipang, ia disambut dengan serbuan dan Kim-tung Teng Gai bersama kaki tangannya! Sebagaimana
(Lanjut ke Jilid 17)
Pedang Penakluk Iblis/Sin Kiam Hok Mo (Seri ke 02 - Serial Pendekar Budiman)
Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 17
telah dituturkan di depan, setelah Giok Seng Cu mengamuk, Kim-tung Mo-kai merubah siasat dan mengekor kepada Giok Seng Cu yang memang menjadi ketuanya di waktu mereka masih bergabung dalam perkumpulan lm-yang-bu-pai. Dengan kerja sama ini, banyak anggauta Hek-kin-kaipang kena dirobohkan dan yang lainnya lalu menakluk.

   Akan tetapi ketika melihat Ah Kai datang bersama Lie Bu Tek yang banyak dikenal oleh para anggauta Hek-kin-kaipang, para pengemis yang tadinya menakluk lalu memberontak kembali. Terjadi perang hebat antara Ah Kai yang dibantu oleh Lie Bu Tek melawan Kim- tung Mo-kai yang bercita-cita membentuk perkumpulan Pek-kin-kaipang itu. Mereka rusak binasa oleh amukankan anggauta-anggauta Hek-kin-kaipang, apalagi ketika Ah Kai dan Lie Bu Tek mengamuk.

   Kim-tung Mo-kai sendiri mendapat lawan tangguh ketika ia berhadapan dengan Lie Bu Tek. Setelah pertempuran hebat, akhirnya dengan pedangnya Lie Bu Tek berhasil merobohkan orang jahat ini. Kaki tangan Kim-tung Mo-kai melarikan dan cerai-berai.

   Ke mana perginya Giok Seng Cu? Mengapa ia tidak kembali untuk membantu anak buahnya? Ternyata kakek ini tahu diri. Setelah ia bertemu dengan Sin Hong dan menyaksikan kelihatan orang muda yang aneh dan sakti itu, ia menjadi ketakutan sekali. Ia pikir bahwa urusan menjadi ketua Hek-kin-kaipang tidak akan ada gunanya kalau di dekat tempat itu muncul seorang pemuda seperti yang dijumpainya tadi. Maka dari hutan itu ia langsung melarikan diri ke tempat jauh untuk mencari kedudukan yang lebih baik atau siasat lain untuk memperkuat kedudukannya.

   Setelah orang-orang jahat yang hendak menghancurkan Hek-kin-kaipang itu dapat diusir semua, para anggauta Hek-kin-kaipang lalu mencentakan kepada Lie Bu Tek dengan sedih apa yang telah terjadi. Lie Bu Tek menggeleng- geleng kepalanya dan memandang ke arah jenazah Kiang Cun Eng. Tak tertahan pula air matanya bercucuran ketika ia melihat wanita yang pernah menolongnya, pernah pula menjadi kekasihnya, dan pernah pula menyelamatkan nyawa Wan Sin Hong itu. Ia lalu membantu semua orang untuk mengurus jenazah bekas ketua Hek-kin-kaipang ini dan juga jenazah Yap Kong Ki tidak disia-siakan.

   Di bagian lain dari dusun Bi-nam-bun, Sin Hong yang memanggul tubuh Soan Li tidak berhasil mencankan rumah penginapan. Dusun itu itu terlalu kecil sehingga satu-satunva rumah penginapan kecil yang ada, telah penuh. Terpaksa Sin Hong membawa Soan Li ke dalam sebuah kuil dan kuil tua yang hanya dijaga tiga orang hwesio tua itu dengan senang hati menerima Soan Li dan memberikan sebuah kamar untuk wanita beristirahat dan berobat. Biarpun mereka itu tidak mengenal ilmu silat, namun pengalaman tiga orang hwesio ini amat luas dan mereka menghormati pendekar gagah, maka mendengar dari Sin Ho bahwa wanita itu adalah pendekar wanita murid Hwa I Enghiong, mereka menghormati sekali dan rela untuk menolong. Setelah mendapat tempat untuk Soan Li, Sin Hong berpamitan kepada gadis itu untuk membereskan atau membantu urusan ayah angkatnya.

   "Siapa ayah angkatmu dan mengapa dia tidak datang bersamamu?" tanya Soan Li yang merasa kecewa akan di tinggalkan pergi lagi.

   "Ayah angkatku itu seorang she Lie seorang yang baik hati dan sekarang sedang pergi ke perkumpulan pengemis. Aku takkan pergi lama, Nona, setelah urusan Gihu beres, tentu aku akan datang kembali bersama dia dan memperkenalkan dia kepadamu."

   "Tapi, kau akan... kembali, bukan?" Wan Sin Hong tersenyum. Kalau saja ia lebih dewasa, tentu kata-kata ini akan dapat ia tangkap isinya. Akan tetapi ia tidak mengerti dan hanya merasa senang melihat gadis itu benar-benar membutuhkan pertolongannya dan takut ditinggalkan pergi.

   "Jangan khawatir, sebagai pengobatmu, sebelum melihat kau sembuh dan dapat berjalan kembali, aku takkan berani meninggalkan kau, Siocia." Soan Li memberi hadiah senyum manis untuk kata-kata ini dan pergilah Sin Hong dengan hati girang. Dengan mudah saja ia dapat sampai di tempat pemilihan ketua Hek-in-kaipang. Akan tetapi, kedatangannya disambut oleh warta yang amat menyedihkan hatinya. Kiang Cun Eng, wanita yang dahulu menyelamatkan nyawanya dari ancaman maut di tangan orang-orang Im-yang-bu-pai, ternyata telah tewas secara mengerikan. Tewas dalam tangan Giok Seng Cu!

   "Keparat jahanam Giok Seng Cu!" katanya perlahan di depan Lie Bu Tek.

   "Kalau aku tahu akan hal ini, pasti akan kuhancurkan kepalanya!" Sambil menangis Sin Hong bersembahyang di depan peti mati Kiang Cun Eng dan berjanji di depan peti mati itu bahwa ia pasti akan membalaskan sakit hati penolongnya itu.

   Setelah penguburan jenazah Kia Cun Eng dan Yap Kong Ki selesai, semua anggauta Hek-kin-kaipang minta tolong dan menyerahkan kebijaksanaan Lie Bu Tek untuk memilih seorang pangcu baru bagi Hek-kin-kaipang. Pendekar Buntung ini berkata.

   "Menurut pendapat siauwte yang bodoh, seorang pangcu harus berkepandaian tinggi dan bijaksana seperti mendiang Kiang-pangcu. Di antara para saudara kulihat bahwa kepandaian Saudara Ah Kai boleh diandalkan, apalagi dialah yan telah menyelamatkan tongkat pusaka Hek kin-kaipang. Oleh karena itu, kiranya tepat sekali kalau Saudara Ah Kai diangat menjadi pangcu baru."

   Para pengemis yang sudah menyaksikan kepandaian Ah Kai, setuju dengan usul ini, akan tetapi dan wajah mereka, ie Bu Tek dapat menduga bahwa mereka itu bersangsi apakah seorang ketua -ng bisu dapat bekerja baik.

   "Sudah tentu Saudara Ah Kam perlu mendapat bantuan seorang saudara yang berpengalaman dan bijaksana. Dan dalam hal ini, baik sekali kalau Tan Lokai dipilih menjadi wakilnya, sedangkan pembantu utama dari kedua pangcu ini adalah Tiat-ciang-eng Lai Sek yang terkenal jujur. Bagaimana pendapat Saudara sekalian?" Orang-orang bersorak gembira, menyatakan setuju. Memang, selain tiga orang ini, kiranya tidak ada yang lebih tepat untuk memegang pimpinan.

   "Saudara sekalman telah tahu betapa besar jasa Sian-hud-tim Yap Kong Ki, oleh karena itu kita pun jangan melupakan jasanya. Sudah menjadi tugas Hek-kin-kaipang untuk menjaga peninggalannya, yakni Pulau Kim-te-tho. Alangkah baiknya kalau mulai sekarang Hek-ki kaipang mempergunakan pulau itu sebagai markas besar."

   Kembali para anggauta Hek-kin-kaipang menerima usul ini, bahkan para pelayan dari mendiang Yap Kong Ki yang berjumlah lima puluh orang lebih, menerima baik usul ini. Mereka ini sudah berkumpul di situ dan semenjak mendengar bahwa majikan mereka tewas serentak mereka menyatakan diri menjadi anggauta Hek-kin-kaipang! Para pelayan di Pulau Kim-ke-tho ini sudah mengenaI baik akan sepak terjang Hek-kin-kaipang, maka mereka tidak ragu-ragu dan tidak merasa hina untuk menjadi anggauta perkumpulan pengemis yang sifatnya mulia ini.

   Akan tetapi, tiga orang pemimpin Hek-kin-kaipang yang baru itu dengan berkeras minta kepada Lie Bu Tek untuk sementara waktu memimpin atau menjadi penasihat mereka. Apalagi Tan Lo-kai pada waktu itu masih mendenta luka berat dan belum dapat bekerja, maka bantuan Lie Bu Tek amat dibutuhkan.

   "Harap Lie Taihiap tidak menolak," kata Tan Lo-kai yang masih rebah di pembaringan.

   "setelah terjadi keributan ini, siapa tahu kalau-kalau pihak orang jahat akan datang mengganggu lagi. Kuharap Taihiap sudi mengawani kami sampai beberapa lama dan setelah keadaan aman kembali baru Taihiap meninggalkan Hek-kin-kaipang."

   Sebelum Lie Bu Tek dapat menjawab, Sin Hong berkata.

   "Gihu, kiranya demikianlah yang terbaik. Hitung-hitung kita beristirahat di sini. Selain itu aku pun masih mempunyai urusan penting di sini yang harus kubereskan." Mendengar kata-kata anak angkatnya ini, Lie Bu Tek maklum bahwa tentu ada sesuatu yang menahan Sin Hong, maka ia lalu menyetujui. Setelah mereka berada di dalam kamar berdua, Lie Bu Tek bertanya,

   "Sin Hong, urusan apakah yang begitu penting sehingga kau perlu tinggal beberapa lama lagi di tempat ini?"

   "Aku perlu merawat seorang yang terluka berat, Gihu." Lie Bu Tek memandang anak angkatnya dengan mata mengandung keheranaa. Tidak biasanya pemuda ini merahasiakan sesuatu, akan tetapi mengapa sekarang seakan-akan segan menceritakan tentang orang yang dirawatnya itu?

   "Sin Hong, siapakah dia?"

   "Gihu akan terkejut kalau mendengarnya, dia adalah murid dan Hwa I Enghiong dan namanya Gak Soan Li."

   Lie Bu Tek benar-benar terkejut mendengar ini, akan tetapi juga wajahnya berseri girang.

   "Bagus! Kalau begitu dari dia kita akan dapat bertemu dengan Go Ciang Le!"

   Sin Hong mengerutkan keningnya.

   "Bagiku sendiri, Gihu, aku tidak begitu ingin bertemu dengan Hwa I Enghiong."

   "Kau ini bagaimana, Sin Hong? Ciang Le adalah sahabatku terbaik, lebih kekal dari saudara sendiri. Dia seorang pendekar besar yang budiman, bahkan dia masih terhitung Suhengmu, karena dia sendiri pun murid Pak Kek Siansu. Bahkan istennya adalah murid Hoa-san pai, jadi masih terhitung Sumoiku sendiri yang amat baik."

   "Justru hubungan dekat itulah yang membikin aku segan bertemu dengan mereka, Gihu. Kalau Hwa I Enghiong itu bukan sanak dekat atau tidak mempunyai hubungan dengan kita, tentu aku akan suka sekali bertemu dengan pendekar gagah itu. Akan tetapi mengapa kalau dia mempunyai hubungan demikian dekatnya dengan Gihu, selama ini dia sembunyi saja dan tidak mau tahu sama sekali tentang segala macam kejahatan yang dilakukan orang-orang atas diri Gihu? Mengapa Hoa-san-pai dan Luliang-san di basmi orang begitu saja tanpa dia turun tangan membela?"

   Lie Bu Tek menghela napas panjang.

   "Hal ini pun amat mengherankan hatiku sampai sekarang, Sin Hong. Biasanya waak Suhengmu itu tidak demikian. Akan tetapi, siapa tahu akan keadaannya? Siapa tahu kalau-kalau ia berhalangan untuk meninggalkan tempat tinggalnya?"

   "Mungkin juga, Gihu. Baiklah, harap hal ini kita sama lihat saja nanti. Akan tetapi untuk sementara ini, aku tidak ingin memperkenalkan diri kepada siapa juga. Oleh karena itu maka Gak-siocia itu tidak tahu siapa adanya aku, hanya tahu bahwa aku adalah seorang pemuda dusun bernama Gong Lam yang kebetulan mengerti ilmu pengobatan dan kebetulan pula bertemu dengan dia sehingga dapat menolongnya."

   Kemudian Sin Hong lalu menuturkan tentang pertemuannya dengan Gak Soan Li, betapa Soan Li menolong Ah Kai dari serbuan Giok Seng Cu sehingga gadis itu sendiri menjadi korban pukulan Ti san-kang dari Giok Seng Cu yang lihai.

   "Gihu, aku sudah bertemu Giok Se Cu, dan pukulannya memang lihai bukan main. Juga, ketika aku dahulu pergi Hoa-san untuk menjemput Gihu, aku telah bertemu dengan See-thian Tok-ong dan anak isterinya. Mereka bertiga itu memiliki kekejaman dan kelihaian yang lebih hebat dari Giok Seng Cu. Di samping ini masih ada orang-orang sepert Ba Mau Hoatsu yang tangguh. Oleh karena itu, kupikir ada baiknya kalau untuk sementara ini Gihu beristirahat di pulau Kim-ke-tho, selain untuk memimpin dan membangun kembali Hek-kin-kaipang agar kedudukannya kuat kembali, juga untuk menjaga diri Gihu yang sudah dikenal oleh tokoh-tokoh jahat itu. Adapun aku sendiri, setelah merawat sembuh kedua kaki Gak-siocia yang patah, akan kulakukan penyelidikan di mana adanya siluman-siluman itu. Terutama sekali aku hendak mencari Giok Seng Cu, dan Ba Mau Hoatsu. Kalau Gihu tinggal di Kim-ke-tho, mudah saja bagiku untuk sewaktu-waktu datang apabila aku rindu kepadamu."

   Lie Bu Tek tak dapat membantah. memang ia harus akui bahwa Sin Hong ini biarpun amat penurut kepadanya, namun semua usul yang dikeluarkan oleh anak ini mempunyai dasar yang kuat dan menurutkan pertimbangan masak serta pandangan luas. Ia tahu bahwa biarpun kini kepandaiannya sudah meningkat namun kalau dibandingkan dengan kepandaian musuh-musuh besar itu, masih disangsikan apakah ia akan dapat melawan mereka. Dengan demikian maka akan berarti bahwa Sin Hong bukan mendapat bantuannya, bahkan mungkin akan menghalangi pelaksanaan tugas pemuda itu, pula kalau dipikir-pikir, memang tenaganya amat dibutuhkan oleh Hek-kin-kaipang yang baru saja kehilangan ketuanya.

   Demikianlah setelah berunding dengan Lie Bu Tek, Sin Hong lalu meninggalkan Pulau Kim-ke-tho dan cepat menuju kuil di mana ia meninggalkan Gak Soan Li. Ketika Wan Sin Hong tiba di dalam kamar di mana Soan Li masih rebah di atas pembaringan baru, ia disambut oleh Soan Li dengan wajah merengut dan marah-marah.

   "Kenapa kau datang juga? Mengapa tidak tinggalkan saja aku biar mati di sini?" Soan Li berkata dengan suara marah dan aneh sekali, air matanya menitik keluar dari sepasang matanya.

   Gadis ini benar-benar di dalam hatinya merasa terheran-heran karena sepeninggal Gong Lam, ia merasa sunyi dan gelisah. Apalagi setelah sehari semalam pemuda itu tidak datang, ia merasa berduka, khawatir, kecewa dan bingung. Ia demikian bersedih sehingga ketika pendeta kelenteng itu datang memberi makanan, ia tidak mau makan. Ketika pada keesokan harinya pemuda nu muncul di pintu kamarnya, hatinya sebenarnya girang bukan main, akan tetapi juga amat mendongkol karena sehari semalam ia merasa tersiksa, tidak tidur dan tidak mau makan. Ia sendiri tidak mengerti mengapa ia berhal seperti ini. Belum pernah selama hidupnya Soan Li merasa seaneh ini. Memang pernah ia merasa berduka kalau ia teringat akan ayah bundanya.

   Tadi sebelum Gong Lam datang, memang perasaannya pada saat itu terkenang akan ayah bundanya yang sudah meninggal dunia, akan tetapi tidak sama benar. Kalau ia terkenang akan ayah bundanya, ia merasa berduka dan sunyi, akan tetapi di samping ini tidak ada ingatan atau keinginan dalam hatinya untuk menyusul mereka, bahkan ia merasa bahagia bahwa dalam keadaan yatim piatu, ada keluarga Go yang menolong dan mengangkatnya. Sebaliknya, ketika ia tadi ketakutan ditinggal pergi selamanya oleh Gong Lam, ia tidak saja merasa berduka dan sunyi, akan tetapi juga ingin kali menyusul, ingin sekali segera bertemu dan tidak akan berpisah selamanya. Ia merasa bahwa hidupnya akan kosong dan tidak menyenangkan kalau berada jauh dari pemuda dusun itu!

   Aneh, memang aneh sekali perasaan orang yang hatinya tertembus panah asmara. Tak boleh dikatakan bahwa Soan Li jatuh hati kepada Gong Lam karena ketampanan wajah, karena sudah banyak Soan Li bertemu dengan orang-orang muda yang gagah dan tampan, juga bukan karena tertarik oleh kepandaian karena menurut pengertian Soan Li, pemuda dusun ini hanya pandai mengobati tulang-tulang patah. Sudah tentu sekali ada sesuatu dalam diri pemuda ini yang menarik dan menjatuhkan hati Soan Li, gadis yang keras dan tinggi hati, yang tidak menyerahkan hatinya kepada pemuda gagah dan tampan seperti Liok Kong .!

   Kiranya tidak meleset jauh kalau diduga bahwa yang membuat gadis itu jatuh hati, adalah karena sikap dari pemuda yang mengaku bernama Gong Lam itu. Memang, sikap berpengaruh besar sekali terhadap hubungan antara manusia. Siapa yang pandai mengatur sikap sehingga sesuai dengan siapapun juga, sesuai dengan keadaan apapun juga, dia seorang yang berbahagia!

   Sin Hong ketika melihat sambutan Soan Li, menjadi tercengang. Akan tetapi ia masih terlalu muda untuk dapat menjenguk isi hati gadis itu. Ia hanya menganggap bahwa Soan Li adalah seorang gadis yang gagah perkasa, keras hati dan juga agak aneh wataknya. Maka ia lalu tersenyum dan menjura.

   "Maafkan aku, Gak-siocia. Karena urusan Gihu belum beres dan aku harus membantunya, maka baru sekarang aku datang. Apakah Siocia sudah makan? Apakah mendapat pelayanan baik dari para Suhu di sini? Dan bagaimana dengan kedua pahamu, Siocia? Banyak baikkah?"

   Mendengar pertanyaan yang penuh, perhatian serta melihat wajah pemuda itu yang nampaknya bersungguh-sungguh ingin mengetahui keadaannya, sekaligus lenyaplah kemendongkolan hati Soan Li., Wajahnya yang cantik nampak berseri dan bibirnya tersenyum manis.

   "Mana bisa aku mendapat pelayanan baik? Sejak kemarin aku belum makan dan tidur sekejap mata pun!"

   Sin Hong terkejut.

   "Eh, eh, mengapa begitu? Aku sudah pesan kepada para Suhu untuk memperhatikan keperluanmu, Siocia. Aku akan menegur mereka."

   "Sudahlah! Bukan mereka tidak memberi makan, aku sendiri yang tidak mau makan. Tidak makan sehari semalam bagiku bukan apa-apa tidak tidur satu malam saja sudah seringkali kulakukan, kau jangan ribut-ribut. Kedua pahaku tidak terasa sakit lagi, akan tetapi tak dapat digerakkan, sedikit saja bergerak, sakitnya bukan main. Eh, mana itu Ayah angkatmu? Mengapa tidak ikut datang?"

   "Gihu masih sibuk dengan urusannya, maka menyesal sekali tidak dapat datang berkunjung ke sini. ia hanya menyampaikan hormatnya kepadamu, Siocia."

   "Hm, Gihumu tentu orang baik."

   "Mengapa kau berpendapat begitu, Siocia? Kau belum pernah bertemu dengannya."

   "Kalau dia tidak baik, bagaimana bisa menjadi ayah angkatmu?" Sin Hong tersenyum. ia suka kepada nona ini yang biarpun keras hati dan bisa mengeluarkan kata-kata terus terang dan keras, namun jujur dan menyenangan.

   "Memang Gihu adalah seorang yang berhati mulia, lagi seorang jantan."

   "Lam-ko, kau pun seorang jantan. Biarpun belum kenal, kau telah menolongku, telah mengobati dan sampai sekarang masih memperhatikan keadaanku."

   Sin Hong seperti diingatkan.

   "Nona, untuk melihat apakah sambungan tulang pahamu benar letaknya, terpaksa aku harus memeriksanya sekali lagi. Amat tidak enak kau kelak ternyata bahwa sambungannya tidak betul sehingga kakimu bengkok-bengkok."

   Soan Li menjadi merah mukanya dan ia mempergunakan tangan untuk menutup mulut untuk menahan ketawanya "Mengapa mesti bilang terpaksa segala? Kenapa terpaksa? Bukankah kau ini tabibnya dan aku ini kerbaunya yang patah tulang kakinya? Mau periksa, silahkan saja periksa, kapan saja kau suka." Sambil berkata demikian, gadis ini yang tadinya sudah bangun duduk, kini membaringkan tubuhnya lagi tanpa menggerakkan kedua kakinya yang selalu dilonjorkan.

   Sin Hong menghampiri nona itu. Ia memang bersungguh-sungguh dengan kata-katanya tadi. Ia tahu bahwa dalam waktu sehari semalam ini, tulang-tulang itu mulai bertumbuh dan merekat. Kalau gadis ini melakukan banyak pergerakan sehingga tulang-tulang kakinya miring, tentu kelak paha gadis itu tidak benar letaknya dan kakinya mungkin akan menjadi bengkok. Ia perlu memeriksa lagi karena kalau terjadi demikian, sekarang masih belum terlambat untuk membetulkan letaknya.

   Dengan cekatan ia menggulung pipa celana itu ke atas. Biarpun tidak sehebat kemarin akibatnya, tetap saja kedua tangannya masih gemetar dan dadanya berdebar aneh. Namun ia tidak mau memperlihatkan perasaan aneh ini dan mempergunakan hawa batin untuk menekan perasaannya. Sepuluh jari tangannya bergerak penuh keahlian mengurut dan meraba kedua paha tanpa melihatnya. Betapapun sigap, ia takut memandang kulit paha itu, takut kalau-kalau perasaannya akan mengganggu pekerjaan ini. Dengan hati puas ia mendapat kenyataan bahwa pertumbuhan tulang paha gadis itu ternyata baik dan diam-diam ia merasa kagum sekali. Gadis ini sehari semalam tidak makan dan tidak tidur, dan sedikit pun tidak menggeser dan menggerakkan kedua kaki, benar-benar gadis ini telah mengalami penderitaan yang amat hebat. Akan tetapi, sedikit pun tidak kelihatan sengsara.

   "Bagus, pertumbuhannya baik sekali"" kata Sin Hong sambil menurunkan gulungan pipa celana. Ketika ia menbuka mata dan memandang ke arah gadis itu, ia melihat Soan Li meramkan kedua mata, menggigit bibir menahan isak tangis, akan tetapi air matanya mengucur keluar dan membasahi kedua pipinya!

   "Eh, kau kenapa Nona?" Sin Hong terkejut sekali sehingga ia menubruk maju, memegang pundak gadis itu dan mengangkatnya sehingga Soan Li kini duduk dengan kedua kaki tetap dilonjorkan.

   "Nona, kau merasa sakitkah"" Kegelisahan Sin Hong sewajarnya, karena sebagai seorang ahli pengobatan, murid Kwa Siucai, ia tahu bahwa kalau pertumbuhan tulang paha itu sampai ada yang salah, yakni kalau ada pecahan tulang yang menusuk daging dan merusak urat, berbahaya sekali keadaan Soan Li. Tadinya ia melihat gadis itu tenang-tenang saja maka ia sudah merasa lega. Kalau terjadi hal yang ia khawatirkan itu, tentu gadis itu akan, mengalami saksaan rasa nyeri yang luar biasa. Sekarang, melihat gadis itu tiba-tiba menangis dan menahan tangis dengan mengigit bibir, ia tentu saja terkejut dan mengkhawatirkan yang bukan-bukan.

   Sebaliknya, ketika merasa pundaknya dipegang oleh Sin Hong, Soan Li tak dapat menahan tangannya dan ia terisak dengan kepala disandarkan di pundak pemuda itu! Sin Hong terheran-heran. Sekarang tahulah dia bahwa gadis itu bukan menangis karena rasa nyeri melainkan menangis karena sedih.

   "Eh, kau kenapakah, Gak-siocia? Mengapa kau berduka dan menangis? Percayalah, aku... Gong Lam bertanggung jawab bahwa kedua pahamu akan sembuh dan pulih seperti sedia kala! Percayalah padaku dan jangan kau berduka." Aneh sekali! Sin Hong sampai melongo dan memandang kepada gadis itu dengan sepasang mata terbelalak bodoh. Gadis itu tiba-tiba tersenyum manis di antara air matanya.

   "Lam-ko aku bersumpah bahwa selama hidupku, takkan ada orang lain yang akan menyentuh pahaku""

   Masih saja Sin Hong tidak mengerti.

   "Tentu saja, Siocia," jawabnya terheran.

   Pedang Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "apalagi kalau yang menyentuhnya sampai mematahkan tulang-tulangnya, itu berbahaya sekali. Sekali lagi patah takkan ada obatnya!" Senyum Soan Li melebar, akan tetapi sepasang matanya yang masih basah itu nampak kecewa.

   "Sekarang aku tahu mengapa kau disebut Gong Lam (Pemuda Tolol), karena sesungguhnya kau memang tolol!"

   Muka Sin Hong menjadi merah, betapapun juga ia merasa tidak enak disebut tolol. Apa sebabnya ia dianggap tolol? Kesalahan apakah yang ia lakukan, ataukah ada kesalahan dalam ucapannya tadi? Akan tetapi, karena dia berusaha menyembunyikan keadaan dirinya, sambil tertawa bodoh ia menjawab.

   "Memang aku tolol, barang kali karena... karena terlalu sering aku berdekatan dengan kerbau."

   Soan Li yang jarang tertawa itu kini menjadi geli dan tertawa menutupi mulutnya. Benar-benar mengherankan. Kebodohan pemuda ini tidak menjemukan atau menyebalkan hatinya, sebaliknya, membuat ia gembira dan juga ia kasihan.

   "Lam ko, jangan salah mengerti. Maksudku... kecuali engkau seorang, aku takan sudi membiarkan orang lain menyentuhku... aku... ah, sudahlah. Sukar memang bicara dengan engkau yang tidak mau mengerti...." Sin Hong mengerutkan kening dan benar-benar tidak mengerti, seperti menghadapi teka-teki yang sulit. ia lebih bingung lagi ketika melihat gadis itu seakan-akan marah dengan tiba-tiba.

   "Sudahlah, Lam-ko, kalau diteruska akan naik darahku dan penyakit di pahaku takkan menjadi sembuh. Lam-ko, sekarang harap kau jangan kepalang tanggung menolongku. Bawa aku ke dalam kota, dalam sebuah rumah penginapan yang besar dan bersih."

   "Gak-siocia, bukankah di sini juga bersih? Beristirahat lebih baik di tempat yang sunyi, bukan di kota yang hawanya buruk dan suasana tidak tenang."

   "Tapi di sini tidak ada restoran besar yang menjual makanan enak."

   "Kalau kau ingin makanan enak, biar-aku carikan, Siocia."

   "Lam-ko, mengapa berkeras? Aku hendak pindah ke kota, apakah kau tidak mau mengantarku? Kalau tidak mau, biarlah dengan merayap menggunakan dua tangan aku dapat pergi sendiri""

   Melihat Soan Li bersikap marah, diam-diam Sin Hong menarik napas paniang. Nona ini benar-benar pemarah sekali, agaknya segala kehendaknya harus diturut. Dengan sikap apa boleh buat ia mengangkat kedua pundaknya.

   "Baiklah, Nona. Kurang lebih tiga puluh li disebelah barat dusun ini ada sebuah kota yang cukup besar. Aku akan mengantarkanmu ke sana. Bila kita berangkat?"

   "Sekarang juga!" jawab gadis itu tegas, akan tetapi ia merasa ketertaluan dan menyambungnya cepat-cepat.

   "tentu saja kalau kau tidak keberatan, Lam-ko."

   "Tentu tidak, Siocia. Kalau kau menghendaki sekarang, marilah." Akan tetapi, pada saat itu terdengar suara ribut-rebut di luar kamar, dan dari suara itu, Soan Li dan Sin Ho maklum bahwa tiga orang hwesio kelenteng itu sedang bertengkar mulut dengan beberapa orang.

   Kemudian terdengar hwesio-hwesio itu berteriak kesakitan dan lari cerai berai diikuti dengan tindakan kaki beberapa orang yang memasuki kelenteng dan langsung menuju ke kamar Soon Li. Sin Hong cepat menengok dan ia melihat tiga orang pengemis datang di tempat itu. Tadinya ia merasa terheran karena mengira bahwa anggauta-anggauta Hek-kin-kaipang yang datang, akan tetapi ketika ia melirik ke arah ikat pinggang mereka yang berwarna putih, tahulah ia bahwa yang datang ini adalah pengemis dari golongan lain.

   "Lam-ko, apakah yang terjadi di luar?" tanya Soan Li sambil menjulurka kepala hendak melongok keluar.

   "Entah, Siocia. Ada tiga orang pengemis aneh datang menuju ke kamar ini."

   "Agaknya para Suhu telah mereka paksa dan pukul, dan mereka masuk dengan kekerasan."

   "Hm, kau minggirlah, Lam-ko. Biar aku sendiri menghadapi mereka. Eh, tolong kau ambilkan nasi dan sayur daging di meja itu, perutku lapar sekali."

   Diam-diam Sin Hong merasa geli dan kagum. Nona ini belum tahu siapa yang datang dan belum tahu pula sampai dimana kelihatan lawan, akan tetapi ia hendak menyambut kedatangan tiga orang pengemis itu sambil makan! Akan tetapi, kemudian ia kagum kalau teringat bahwa gadis itu kedua kakinya belum dapat digerakkan sehingga sukar untuk menghadapi mereka dengan ilmu silat, maka sudah tentu mangkok terisi nasi dan sayur berikut sepasang sumpit itu sengaja diminta oleh Soan Li untuk dipergunakan sebagai senjata! Ia cepat mengambilkan mangkok nasi dan sumpit yang diterima oleh Soan Li dengan senyum.

   Pada saat Sin Hong melangkah minggir menjauhkan diri dari pintu, terdengar suara tindakan kaki yang berat. Tak lama kemudian muncullah tiga orang pengemis setengah tua di ambang pintu kamar itu. Pengemis yang tengah ternyata datang sambil memanggul sebuah patung batu besar. Patung ini adalah patung barongsai yang tadinya berada di ruang tengah dari kelenteng itu, sebuah barang kuno yang amat berat karena terbuat dan pada batu hitam. Dengan mengangkat dan memanggulnya sehingga tindakan kakinya menjadi berat, tanpa terlihat sukar sama sekali membuktikan bahwa pengemis ini memiliki tenaga yang besar.

   Ketika melihat Soan Li duduk di atas pembaringan sambil makan nasi dengan sepasang sumpit digerakkan ke mulut, pengemis itu menurunkan patung itu. Ternyata bahwa ia telah membanting patung itu ke atas lantai disertai tenaga hebat sehingga barang-barang yang berada di dalam kamar itu terpental ke atas. Bukan hanya barang-barang bahkan Sin Hong yang berdiri di dekat pembaringan, juga, ikut terlempar ke atas sehingga pemuda ini mengeluarkan seruan kaget. Akan tetapi, ketika pengemis itu tertawa bergelak, ia melirik ke arah pembaringan yang diduduki oleh Soan . Seketika itu juga suara ketawanya berhenti dan wajahnya berubah.

   Tidak saja gadis ini seakan-akan tidak merasa sesuatu, bahkan empat kaki pembaringannya telah amblas ke dalam lantai! Memang amat mengherankan. Getaran bantingan patung batu yang amat berat itu telah membuat barang-barang lain terpental ke atas, akan tetapi pembaringan yang diduduki oleh Nona itu sebaliknya telah amblas ke bawah, ini sudah membuktikan bahwa Gak Soan Li memiliki tenaga lweekang yang amat mengagumkan. Tentu saja akan lebih mengagumkan lagi kalau pengemis-pengemis tahu bahwa gadis itu telah lumpuh kedua kakinya.

   "Pengemis busuk, apa perlunya kalian datang mengganggu aku makan?" bentak Soan Li menunda makannya sambil memandang dengan sepasang mata bersinar-mar.

   "Apakah hendak mengemis makanan?"

   "Aha, Lihiap benar-benar hebat," pengemis yang tadi memanggul patung berkata dengan senyum sindir.

   "tidak salah apa yang dikatakan oleh Giok Seng Cu Locianpwe bahwa murid Hwa I Enghiong benar-benar tangguh sekali. Tidak salah pula kata-katamu tadi bahwa kami datang hendak mengemis makanan, yakni kalau saja Lihiap ada makanan enak. Ha, ha!"

   Orang-orang kang-ouw memang sering kali mempergunakan kata-kata dan kalimat atau istilah yang aneh-aneh Mengemis makanan bisa diartikan minta petunjuk dalam ilmu silat, yakni maksudnya mencoba kepandaian tinggi. Dengan kata-kata lain pengemis itu menantang Soan Li untuk mencoba kepandaian kalau saja gadis itu memiliki kepandaian tinggi! Benar-benar ucapan yang tidak saja mengandung tantangan akan tetapi juga ejekan.

   "Hem, kalau kalian benar-benar sudah lapar sekali, nah, terimalah ini dan makanlah!" Sambil berkata demikian, kedua tangan gadis itu bergerak cepat sekali dan secara bertubi-tubi.

   Gerakan ini disusul oleh berteriaknya tiga orang pengemis itu yang bergulingan jatuh kemudian merayap bangun dan lari sipat kuping tanpa berani menengok lagi! Apakah yang terjadi? Gerakan kedua tangan Soan Li tadi mengakibatkan menyambarnya butiran-butiran nasi yang cepat sekali menyambar muka tiga orang itu. Biarpun hanya nasi, akan tetapi karena dilempar oleh tangan yang mengandung tenaga sinkang tinggi, kalau mengenai kulit, nasi-nasi itu sama dengan pelor-pelor besi. Nasi-nasi ini disusul menyambarnya sayur kemudian sepasang sumpit menyambar ke arah dua orang pengemis di kanan kiri dan mangkok menyambar ke arah pengemis di tengah-tengah Akibatnya memang hebat.

   Pengemis-pengemis itu selain dihajar oleh nasi dan sayur yang mendatangkan rasa perih dan pedas di kulit muka, juga masih terkena hajaran sepasang sumpit yang mengenai jalan darah di pundak kedua pengemis, sedangkan mangkok itu dengan tepat memukul dada pengemis yang di tengah-tengah. Pengemis ini tadinya hendak mengerahkan tenaga dan menerima dengan dadanya, akan tetapi ia kecele. Dadanya serasa terkena pukulan yang ribuan kati beratnya, membuat ia terhuyung-huyung dan dengan ketakutan ia lalu melarikan diri diikuti oleh dua orang kawannya.

   "Benar-benar mereka sudah kelaparan sekali. Begitu mendapat nasi dan sayur mereka berebut dan melarikan diri," kata Sin Hong, diam-diam ia memuji kepandaian Nona Gak ini.

   Soan ia menoleh kepada Sin Hong "Lam-ko, kau tidak tahu. Mereka itu mungkin sekali anak buah dari Giok Seng Cu yang disuruh menyelidiki keadaanku. Kau tidak tahu bahwa mereka itu biarpun tidak usah dikhawatirkan karena kepandaian mereka tidak berapa hebat akan tetapi kedatangan mereka menjadi tanda bahwa Giok Seng Cu tidak pergi jauh. Kalau Giok Seng Cu yang keluar dan turun tangan sendiri, kiranya aku dan kau pada saat ini tidak dapat bercakap-cakap lagi dan barangkali sudah menjadi mayat."

   Sin Hong memperlihatkan wajah kaget dan takut.

   "Kaumaksudkan kakek yang buruk rupa itu, Gak-siocia? Aduh, habis bagaimana baiknya?" Ia memang ingin sekali mengetahui apa yang hendak dilakukan oleh gadis ini selanjutnya.

   Soan Li menarik napas panjang.

   "Bagaimana baiknya? Hm, kalau dia turun tangan, apa boleh buat, aku akan melawannya dengan sekuat tenagaku. Aku takkan menyerah sebelum mati, apa lagi... aku dekat dengan engkau, Lam-ko, aku tidak takut mati." Kini hati Sin Hong berdebar aneh. ia mulai dapat merasa akan sikap gadis ini terhadapnya, dan hal ini membuatnya malu dan tidak enak hati.

   "Kalau dekat dengan aku mengapakah? Apakah yang dapat kulakukan aku seorang lemah ini? Kalau kau sendiri tidak dapat mengalahkannya, apalagi aku?"

   "Bodoh, kau pandai mengobati. Kalau Giok Seng Cu muncul dan ada beberapa tulang-tulangku patah lagi, aku takut apakah? Kau pasti akan dapat menyembuhkannya."

   "Kalau aku dia pukul mampus, bagai mana aku dapat merawat luka-lukamu Nona""

   "Kalau kau dipukul mati, tentu aku pun mati. Mati berkawan seorang yang balk hati seperti engkau tidak mendatangkan penasaran hati, Lam-ko." Setelah berkata demikian, dengan kedua tangan menekan pembaringan, tahu-tahu tubuh Soan Li telah melayang ke arah pundak Sin Hong.

   "Awas, Lam-ko, sediakan pundak kananmu!" Sin Hong memasang pundaknya dan tahu-tahu nona itu telah duduk di atas pundaknya di sebelah kanan, tangan kiri nona itu menekan pundak kirinya seperti merangkul leher.

   "Tidak berat, Lam-ko?"

   "Tidak sama sekali. Heran benar kau seperti tidak ada lima kati badanmu Nona," kata Sin Hong. Tentu saja pemuda ini tahu bahwa Soan Li menggerakkan ginkangnya, maka sengaja ia memuji agar disangka ia tidak mengerti sama sekali akan hal itu.

   Maka berangkatlah dua orang itu meninggalkan kelenteng menuju ke barat. Sin Hong tidak berani mempergunakan ilmu berlari cepat, akan tetapi ia juga segan untuk berjalan terlalu lambat. Maka ia lalu berjalan dengan langkah tegap dan lebar.

   "Lam-ko, kau kuat sekali!" Soan Li memuji.

   "Sebagai seorang gunung, aku sudah biasa berjalan kaki dan berlari, Nona. Kadang-kadang aku harus melalui puluhan li dengan pikulan berisi hasil bumi yang beratnya hampir seratus kati. Oleh karena itu, memanggulmu bukan beban yang berat bagiku, beratmu paling banyak beberapa belas kati saja."

   "Orang gila, masa ada orang beratnya hanya belasan kati" Kalau aku mau, aku lebih berat daripada pikulanmu yang ratusan kati itu""

   Sin Hong merasa khawatir kalau-kalau nona ini benar-benar membuktikan ancamannya. Kalau Soan Li mengerahkan tenaga dan memberatkan tubuhnya, kedudukannya tentu serba sulit. Tentu saja ia takkan merasa berat dan betapapun juga, akan sanggup memanggul tubuh Soan Li, akan tetapi kalau ia lakukan hal ini, berarti ia membuka rahasianya sendiri. Kalau gadis itu memberatkan tubuh, ia terpaksa harus "tidak kuat" dan hal ini akan membuat ia dan gadis itu roboh terpelanting.

   "Jangan, Nona. Jangan main-main, kita bisa jatuh" Eh, lihat, bukankah ada orang-orang datang dan depan itu?" katanya untuk mengalihkan perhatian Soan Li.

   Gadis itu memandang ke depan dan terheran. Benar saja, dari jauh datang lima orang penunggang kuda. Bagai-mana pemuda ini bisa tahu akan kedatangan mereka itu? Kalau dia sendiri telah memiliki sepasang mata terlatih dan juga ia duduk di pundak itu sehingga ia menjadi lebih tinggi. Akan tetapi bagaimana pemuda ini bisa mengetahui dulu akan kedatangan lima orang itu

   "Eh, benar ada lima orang penunggang kuda datang dari depan. Akan tetapi bagaimana kau bisa tahu, Lam-ko?"

   Memang sebetulnya, tadi Sin Hong bukan secara kebetulan saja menyatakan bahwa ada orang datang dari depan. Memang pemuda ini telah memiliki penglihatan dan pendengaran yang lebih tajam daripada Soan Li, maka sebelum gadis itu melihat atau mendengar, ia lebih dulu telah mendengar derap kaki kuda dan melihat bayangan lima titik depan. Kini ia terkejut dan menyesal sekali. Otaknya yang cerdik diputar dan sebentar saja sambil tersenyum ia sudah menjawab senang.

   "Mudah saja, Gak-siocia. Dan jauh mereka memang tidak tampak olehku akan tetapi debu yang mengepul itu sudah kelihatan dari jauh. Debu yang mengepul di atas jalan raya, sudah pasti disebabkan oleh orang bukan oleh kerbau." Soan Li tersenyum. Mengapa ia begitu bodoh? Memang alasan ini kuat sekali Di belakang lima ekor kuda itu memang debu mengepul tinggi sehingga mudah di lihat dari jauh.

   "Kau memang pandai, Lam-ko."

   "Bukan pandai, hanya sudah biasa dengan kehidupan di tempat sunyi, Nona."

   Sementara itu, lima orang penunggang kuda itu sudah tiba dekat dan mereka itu ternyata lima orang laki-laki. Han Sin Hong berdebar ketika inelihat bahwa dua orang di:antara mereka adalah dua orang pengemis yang pundaknya terkena totokan sepasang sumpit yang dilemparkan oleh Soan Li di kelenteng tadi pagi. Hmm, agaknya akan terjadi hal-hal tidak enak, pikirnya. Apalagi kalau ia lihat tiga orang lainnya yang kelihatannya bukan orang sembarangan. Yang dua orang adalah orang-orang setengah tua dengan pakaian piauwsu (pengawal barang kiriman), dan mereka ini kelihatan sebagai ahli-ahli lweekeh karena sepasang mata kedua orang ini berkilat-kilat dan berpengaruh. Akan tetapi yang lebih niengkhatirkan hati Sin Hong adalah orang ketiga yakni seorang gundul yang seperti hwesio, akan tetapi mukanya memperlihatkan sifat jahat, sama sekali tidak patut seorang pertapa, apalagi tubuhnya tinggi besar dan nampakm ia kuat bukan main, sungguhpun usianya sudah amat tua.

   Lima orang itu menghentikan kuda mereka dan dua orang yang berpakaian seperti piauwsu itu tertawa bergelak ketika melihat Sin Hong dan Soan Li. Telunjuk mereka menuding ke arah Sin Hong dan mereka tertawa geli sampai memegang perut.

   "Eh, kalian ini kenapa tertawa? Apa sih yang lucu?" Sin Hong menegur karena ia mendongkol sekali. ia dapat menduga bahwa tentu dia yang ditertawai karena dia memanggul tubuh Gak Soan Li

   "Ayaa..!" seorang di antara dua piauwsu itu berpura-pura kaget untuk melawak.

   "Kiranya kuda berkaki dua ini masih pandai bicara segala! He, kuda kaki dua, kau setiap hari makan rumput ataukah...?"

   Baru saja ia bicara sampai di sini, piauwsu ini melompat kaget dari kudanya yang meringkik dan mengangkat kedua kaki depan, lalu meronta-ronta dan hendak minggat. Akan tetapi, sekali menepuk pundak kuda itu dengan tangannya, piauwsu tadi dapat membuat kuda itu tidak berdaya dan lemas! Kemudian piauwsu ini dengan muka berubah mencabut sebatang jarum halus dari leher kudanya dan memandang ke arah Soan Li dengan muka merah. Memang, ketika tadi ia mengganggu Sin Hong, Soan Li marah sekali dan sekali tangan kirinya bergerak, dua batang jarum menyambar ke arah depan, yang sebatang menyambar muka piauwsu yang baru bicara mengejek Sin Hong, sedangkan jarum ke dua menyambar leher kudanya.

   Piouwsu tadi memang lihai. ia dapat mendengar datangnya jarum dan dapat cepat mengelak akan tetapi kudanya menjadi korban. Baiknya ia memang berkepandaian tinggi sehingga ia dapat membikin kudanya tak berdaya sebelum kuda itu melarikan diri dan dapat mencabut jarum yang menancap di leher kudanya.

   

Pendekar Budiman Eps 2 Pendekar Pedang Pelangi Eps 13 Pendekar Budiman Eps 5

Cari Blog Ini