Tangan Geledek 3
Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
"Niocu, harap Niocu ingat akan peraturan kita. Usir laki-iaki kurang ajar ini dan biarkan ahli-ahli kita mengobati Niocu." kata seorang di antara mereka Dia ini adalah Toanio yang tertua dan yang paling lihai kepandaiannya di antara kawan-kawannya, nama julukannya Pek-eng Toanio (Nyonya Garuda Putih).
"Aku tidak mau diobati orang lain! Sin Hong, mari antarkan aku kembali ke puncak dan kauobati aku sampai sembuh".
Sin Hong ragu-ragu dan tidak tahu harus berkata apa. Sementara itu, Pek-eng Toanio berkata lagi, suaranya kaku.
"Niocu, betul-betul sudah lupakah kau akan aturan-aturan yang diadakan oleh Nio-mo dahulu? Tidak diperbolehkan laki-laki, hidup atau mati, beruda di tempat tinggal kita! Setiap anggauta yang berani memasukkan seorang pria, hukumannya mati dan peraturan ini; berlaku baik bagi seorang pelayan sampai ketuanya sendiri Niocu, biarpun kau sendiri, tidak boleh membawa orang ini naik ke atas. Itu pelanggaran besar namanya, dan kami tidak boleh tinggal diam saja."
(Lanjut ke Jilid 03)
Tangan Geledek/Pek Lui Eng (Seri ke 03 -Serial Pendekar Budiman)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 03
Li Hwa marah.
"Pek-eng Toanio" kau mengandalkan apamu maka berani bicara seperti ini di depanku? Biarpun kau dan enam beias orang Suci yang lain, takkan mampu menahan aku seorang. Aku sekarang sedang terluka, mungkin tak berdaya. Akan tetapi tahukah kau akan kelihaian Wan-bengcu ini yang sepuluh kali lebih lihal daripada aku? Jangankan baru kalian tujuh belas Cap-jit Toanio, biarpun seluruh Hui-eng-pai ditambah beberapa kali lipat takkan mampu me-nahannya kalau dia membawaku ke atas."
"Apa boleh buat, Niocu. Biarpun sam-pai mati semua, kami tetap akan me-nentang siapapun juga menghina per-kumpulan kami dan. melanggar peraturan yang diadakan oleh Nio-nio!" jawab Pek-eng Toanio.
"Kau mau melawan?" Tiba-tiba ta-nean Li Hwa bergerak. Sinar hijau me-nyambar dan Pek-eng Toanio mengeluh roboh pingsan. la telah menjadi korban Cheng-jouw-ciann (Jarum Rumput Hijau) yang lihai dari Li Hwa! "Baru kau tahu kelihaianku," gerutunya, agak menyesal bahwa ia terpaksa harus merobohkan orang sendiri. Akan tetapi enam belas orang wanita yang lain tetap berdiri tegak, bahkan mereka berkata tegas.,
"Pek-eng Toanio betul, Niocu. Kami terpaksa menghalangi kehendak Niocu, biarpun kami harus berkorban nyawa untuk memegang teguh peraturan dari Nio-nio almarhum."
Li Hwa marah bukan main.
"Sin Hong, pondong aku dan bawa ke atas! Jangan kau pedulikan perawan-perawan tua ini, sapu saja siapa yang berani merintangi kita!" katanya kepada Sin Hong.
Akan tetapi Sin Hong tidak bergerak. la telah selesai mengobati paha Li Hwa dan telah membalutnya. Selama perteng-karan itu, ia tidak mencampuri, hanya melanjutkan pengobatannya. Sekarang setelah selesai dan mendengar kata-kata Li Hwa itu, ia tidak menurut, bahkan menarik napas panjang dan berkata.
"Tidak, Li Hwa. Kau yang keliru, mereka itu benar. Pulanglah kau dan beristirahatlah. Aku harus mencari Tiang Bu dan merampasnya kembali dari tangan Pak-kek Sam-kui."
"Aku tidak mau!" Li Hwa menjerit dan beberapa titik air mata melompat keluar dari matanya.
"Aku takkan kembali ke puncak, aku tidak sudi lagi menjadi ketua Hui-eng-pai. Aku mau ikut kau mencari Tiang Bu, karena akulah yang bertanggung jawab atas kehilangannya."
"Jangan, Li Hwa, kau masih terluka dan....."
"Kausembuhkan aku lebih dulu, atau kau boleh meninggalkan aku mampus di sini, karena kau tidak mau membawa aku, aku pun tidak sudi kernbali ke atas, aku..... biarlah kalian semua meninggal-kan aku di sini, biar mampus dimakan srigala....." Dan ketua Hui-eng-pai yang, gagah berani dan tak kenal takut itu sekarang..... menangis tersedu-sedu.
Sementara itu, Pek-eng Toanio telah siuman kembali setelah ditolong oleh kawan-kawannya. Melihat keadaan ketua mereka, ia menghela napas dan sebagai seorang yang sudah berpengalaman ia maklum bahwa ketuanya sampai berbuat begitu aneh bukan lain adalah karena gadis itu telah tergila-gila dan cinta kepada Wan Sin Hong.
"Wan-bengcu, terserah kepadamu apakah kau hendak "Membiarkan Niocu mati di sini ataukah hendak menolongnya. Kami tak berdaya, dan mati hidup Niocu berada di tanganmu." Setelah berkata demikian, tujuh belas orang rombongan pemimpin Hui-eng-pai ini lalu mengajak semua anak buah mereka kembali ke puncak.
Dengan air mata masih mengucur, Li Hwa berkata kepada Sin Hong.
"Wan Sin Hong, kaupergilah, kau-tinggalkanlah aku. Aku tahu, selama ini aku telah berlaku bodoh, bahkan sampai sekarang aku masih bodoh dan gila. Aku mencintamu sedangkan kau..... kau tidak peduli sama sekali kepadaku. Aku me-mang seorang gadis tidak berharga..... biarlah aku mati di sini, tak patut se-orang bengcu seperti kau dekat dengan seorang hina seperti aku....."
Sin Hong menarik napas panjang. Benar-benar luar biasa sekali, gadis ini. Di suatu saat bersikap keras dan galak seperti iblis wanita, di lain saat dapat berlaku lemah lembut dan mengalah, mertimbulkan kasihan.
"Li Hwa, kau memang aneh. Kalau kau mau dibawa pulang dan dirawat oleh orang-orangmu, bukankah hal ini sudah beres? Akan tetapi kau tidak mau dan kau rela mati kalau aku tidak mau mem-bawamu bersamaku. Ahh...., apakah yang harus kulakukan? Meninggalkan kau membunuh diri di sini, benar-benar aku tidak tega. Apalagi kau telah menjadi korban senjata karena membantu aku menghadapi setan-setan dari utara itu."
"Pergilah, , jangan memikirkan orang seperti aku ini....."
"Tidak mungkin. Aku tidak akan me-ninggalkan kau, Li Hwa. Biar aku mengobati lukamu sampai kau sembuh dan dapat berjalan lagi."
Wajah Li Hwa mulai berseri akan tetapi ia tetap cemberut.
"Akan tetapi aku tidak mau pergi dari sini, aku mau mati di sini."
"Aku pun akan menunggumu di sini."
"Di tempat ini siang malam? Menahan serangan angin dan hujan?"
"Mengapa tidak? Kalau kau kuat, aku pun tentu kuat menahan." jawab Sin Hong mendongkol juga menghadapi gadis yang aneh wataknya ini. Tanpa ia ketahui. Li Hwa kini tersenyum, penuh kemenangan.
"Sin Hong, kau benar-benar berhati muha. Kakakku yang baik, aku tidak nanti mau tinggal siang malam di tem-pat terbuka ini. Lihat, di sebelah utara sana, kurang lebih satu li dari sini, ter-dapat sebuah gua besar di bukit batu karang. Kita dapat sementara waktu tinggal di sana sampai kakiku sembuh. Di sana kita dapat berlindung dari angin dan hujan, juga dari serangan binatang buas di waktu malam". Ketika mengeluarkan ucapan ini suaranya ramah-tamah dan manis sekali. Sin Hong yang mendengar perubahan suara ini cepat menengok dan memandang, akan tetapi lebih cepat lagi Li Hwa sudah mengubah Jagi mukanya sehingga tidak kelihatan seri gembira yang tadi membayang di situ.
"Hm, akhirnya, ternyata kau bukan seorang yang sudah nekat kepingin mati." gerutunya sambil berdiri.
"Mari kupondong kau.ke sana."
"Kau tidak malu memondong aku?" Li Hwa pura-pura bersungut-sungut, padahal hatinya berdebar girang.
Sin Hong tidak menjawab, melainkan membungkuk dan memondong tubuh gadis itu. Ketika kedua lengannya merasa be-tapa hangat tubuh Li Hwa dalam pondongannya, ia berdebar dan mukanya merah. Untuk menghilangkan perasaan dan menghibur hatinya sendiri, ia berkata, suaranya seperti orang mendongkol.
"Mengapa mesti malu msmondongmu? Dalam keadaan terpaksa seperti ini memondongmu tidak melanggar kesopanar. Apalagi rnemondong, bahkan aku telah...telah..... mengobati pahamu....." Ingin Sln Hong menampar mulutnya sendiri, karena kata-kata ini seperti melompat saja dari mulutnya. Kata-kata ini bukan menghibur dan menghilangkan clebar hati dan merah mukanya, bahkan menambah! Apa-lagi ketika terasa olehnya betapa ping-gir dada Li Hwa yang menempel di le-ngannya berdebar-debar keras dan me-lihat sepasang pipi gadis itu menjadi merah sampai ke telinga sedangkar. ke-dua matanya dipejamkan?
"Sin Hong, kau memang seorang laki-laki berhati mulia, seorang laki-laki tahan uji dan sopan, pemalu dan canggung. Karena itulah aku cinta kepadamu," kata Li Hwa dengan sepasang mata masih terpejam. Kata-kata ini membuat Sin Hong makin bingung sehingga jalan kakinya tiak tetap.
"Hush, jangan bicara tentang cinta lebih baik kaki kananmu itu jangan bergerak-gerak nanti sambungan tulangnya tidak betu! lagi."
Akan tetapi Li Hwa seperti sengaja menggerak-gerakkan kaki kananny"i, Sin Hong memandang heran dan marah, kemudlan la melepaskan tangan kiri yang memondong, dan menotok pinggang kanan gadis Itu. Kaki kanan Li Hwa menjadi lumpuh tak dapat bergerak-gerak lagi
.
"Nah, sekarang bergeraklah kalau bisa," katanya, tersenyum puas dapat memberi "pelajaran" kepada gadis nakal Itu.
Akan tetapi Li Hwa tidak menjadi marah karena totokan yang membuat ia tidak berdaya menggerakkan kakinya itu. Sebaliknya ia berkata dengan nada menggoda.
"Kautahu Sin Hong? Setiap kali kau bermaksud meninggalkan aku scorang diri, aku akan menggerak-gerakkan kakl kananku supaya lukanya pecah dan tu-langnya putus kembali. Kalau kau menotokku terus sampai kakiku sembuh akan kupukul patah sendiri supaya jerih payahmu sia-sia."
Sin Hong mengerutkan keningnya.
"Mengapa kau seaneh ini, Li Hwa? Mengapa kau hendak melakukan hal itu"
"Habis, tujuan hidupku hanya dua ma-cam. Hidup di samplngmu atau mati, habis perkara. Selama kau mau mem" bawaku bersamamu, aku malah takut mati. Akan tetapi kalau kau mentnggai-kan aku, aku jadi takut hldup. Mengertikan kau?"
Seluruh muka Sin Hong berkerut-kerut dan ia berpikir keras. Akan tetapi tetap saja ia tidak mengerti watak gadis yang dianggapnya aneh ini. Bagi orang yang sudah tahu akan racun dan madu asmara, watak atau sikap yang diperlihatkan Li Hwa ini sama sekali tidak aneh. Akan tetapi, biarpun ia memiliki kepandaian yang sudah berada di tingkat tinggi sekali dan pengalamannya bertempur, sudah banyak sekali, namun dalam hal asmara, Sln Hong boleh dibilang masih "hijau".
Demikianlah, Sin Hong membawa Li Hwa ke gua yang ditunjuk oleh gadis itu dan tinggal di situ berdua dengan Li Hwa untuk merawat dan mengobati paha Ll Hwa yang patah tulangnya. Sikapnya selalu sopan dan ia menjaga keras agar selalu ingat dan sadar, jangan sampai terpengaruh oleh nafsu dan jangan sampai melanggar kesusilaan. la bersikap sopan sekali, ya, terlalu sopan sehingga kadang-kadang membikin mengkal hati Li Hwa!
Kita tinggalkan dulu dua oranp ini dan mari kita mengikuti pengalaman Tiang Bu, bocah yang dalam usia paling banyak lima tahun telah mengalami hal-hal yang hebat itu.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, baru saja kakinya yang patah tulangnya sembuh, ia dipaksa menjadi murid Hui-eng-pai dan bersumpah, ke-mudian mendengar cerita tentang ayfth-bundanya yang menggores dalam-dalam di hati dan plkiran anak kecil ini. Ia menjadi bingung sekali kalau memikirkan kata-kata Hui-eng Niocu Siok Li Hwa bahwa ia bukanlah putera Coa Hong Kin dan Gu Hui Lian yang selama Ini memang la anggap ayah-bundanya, melainkan putra Liok Kong Ji dan Gak Soan Li, dua nama yang sama sekali asing baginya dan baru sekali ini didengarnya dari mulut Li Hwa.
Akan tetapi karena usurusannya menggores di hatinya, dua nama ini menempel dalam ingatannya dan tidah terlupakan lagi.
Kemudian ia mengalami perebutar" atas dirlnya antara seoranig laki-lakl gagah yang tak dikenalnya Siok Li Hwa, akan tetapi di dalam hati ia memihak laki-laki itu karena maklum bahwa laki-laki itu hendak menolongnya dari tangan ketua Hui-eng-pai yang tak disukanya itu. Lebih hebat lagi muncul orang-orang aneh yang merampas dirinya dan sekarang ia dibawa lari seperti terbang cepatnya oleh tiga orang aneh itu.
Ginkang (Ilmu Meringankan Tubuh) dan ilmu berlari cepat dari tiga orang kakek aneh ini memang benar-benar luar biasa sekali. Dalam waktu pendek saja mereka telah turun dari puncak dan telah melalul dua puncak laln dan tiba di sebuah hutan. Hutan inl berada di lereng sebuah puncak lain karena Pegunungan Gobi memang mempunyai banyak puncak yang sebagian besar tidak didiami manusia.
Setelah masuk di dalam hutan lebat Inl dan merasa bahwa mereka telah lari cukup jauh, Giam-lo-ong Ci Kui yang tinggi gundul itu tiba-tiba berhenti, diturut pula oleh dua orang sutenya Agaknya bagi Si Gundul ini teringat bahwa sejak tadi ia mengempit tubuh seorang anak kecil di bawah lengan kirinya. Melihat ini, ia menyumpah-nyumpah dan sekali menggerakkan lengan kiri, anak itu terlempar ke dalam semak-semak di pinggir jalan. Tiang Bu mierangkak bangun dari semak-semak yang penuh duri itu, pengalaman dilempar ke dalam semak-semak bukan apa-apa lagi baginya.
Setelah terlalu menderlta, menjerit dan menangis penderitaan kecil tidak dirasakannya lagi dan ia merasa enggan untuk menjerit maupun menangis.
"Kutu busuk! Sejak tadi kauikut, he? Setan!" Giam-lo-ong Ci Kui memaki dan menyeringai tangan kirinya menggaruk-garuk kepala gundulnya seperti orang kehabisan akal mengapa ia sampai tidak ingat lagi bahwa sejak tadi ia mengempit seorang bocah.
"Kalau ingat tadi-tadi, kau sudah kulempar ke dalam jurang!"
"Twa-suheng, kulihat bocah ini ada nyalinya. Sayang kalau dibuang begitu saja. Hati dan otaknya akan menambah semangat," kata Sin-sai-kong Ang Louw Si Muka Singa.
"Juga dia berbakat, kalau sudah tiba waktunya memilih murid, aku mau memilih dia ini," kata Liok-te Mo-ko Ang Bouw Si Muka Burung. Giam-lo-ong Ci . Kui mengeluarkan suara menghina dari lubang hidungnya.
"Mah, mana ada bocah Han mempunyai nyali?" ia mendekati Tiang Bu, meme-gang leher anak itu dan sekali menyen-dal, tubuh Tiang Bu terlempar tinggi di udara!
Dapat dibayangkan betapa rasa kaget dan takutnya hati Tiang Bu. Akan tetapi memang betul bahwa anak ini memiliki nyali yang besar. Pula semenjak kecil sering kali ia mendengar dongeng dari Hui Lian tentang orang-orang gagah se-hingga pikirannya terbuka dan ia dapat melihat kenyataan. Melihat sikap orang-orang gagah ini, bocah ini sudah dapat menduga bahwa ia tidak akan dapat hi-dup iebih lama lagi. la pernah mendengar dari ibunya tentang sikap seorang gagah yaitu biarpun menghadapi kematian bernyali seperti harimau, bukan seperti babi. Mengingat semua ini, ketika tubuhnya dilempar ke atas dan muiai me-layang turun cepat sekali dan membuat jantungnya berhenti berdetik, ia meramkan mata dan menggigit bibir agar supaya tidak mengeluarkan jerit dan tangis.
Akan tetapi, ia tidak mati terbanting di atas tanah karena tangan Giam-lo-ong Ci Kui sekarang sudah menyarnbar-nya dan melemparkannya perlahan ke atas tanah di mana Tiang Bu jatuh terguling.
"Ha, ha, ha, apa kubilang? Dia mempunyai nyali naga." kata Ang Louw suara ketawanya seperti singa mengaum.
"Siapa tahu, barangkali dia diam saja saking takutnya. Ji-sute, coba kautangkap seekor kucing atau anjing untuk mencobanya," kata Giam-lo-ong Ci Kui yang mulai tertarik. Tiga orang aneh dari utara ini boleh dibuang manusia-manusia aneh yang seperti iblis, kejam, tak mengenal kasihan dan watak mereka buruk mengerikan. Hanya satu hal yang mereka junjung tinggi dan mereka kagumi; yaitu sifat keberanian yang luar biasa. Kalau saja Tiang Bu memperlihatkan ketakutan, tentu mereka takkan segan-segan membanting mati bocah itu, atau menurut Ang Louw, membelek dadanya memecahkan kepalanya urituk mengambil jantung otaknya sebagai "obat kuat". Akan tetapi Tiang Bu memperlihatkan sikap yang berani sekati, maka mereka mulai menjadi tertarik. Berani dan pendiam, sikap ini selain mengagumkan mereka, juga membuat mereka suka sekali.
.
Ang Bouw berkelebcrt pergi bagaikan iblis menghilang, dan tak lama kemudian dia sudah kembali memanggul seekor..... han-mau" Inilah agaknya yang dimaksudkan kucing" oleh Giam-lo-ong Ci Kui tadi. Me-nangkap seekor harimau seperti menangkap kucing saja, benar-benar dari sini sudah dapat dibayangkan betapa hebat kepandaian Ang Bouw.la memanggul harimau itu, em-pat kaki harimau dipegang dengan satu tangan dan lain tangan memutar leher. Dengan cara demikian ia memanggul harimau itu dengan enaknya tanpa si raja hutan da-pat berkutik sedikit-pun juga!
Setelah tiba di tempat itu, Liok-te Mo-ko Ang Bouw lalu menurunkan harimau itu di depan Tiang Bu yang sudah duduk di a-tas tanah dengan tenang. Harimau itu me-ngaum dan meronta marah, akan tetapi ia tidak berdaya di dalam pegangan Ang Bouw. Kini ia melihat seorang bocah di depan mulutnya, bocah yang merupakan makanan dan daging yang empuk, ia mencium-cium dengan hidungnya berkembang-kempis, se-perti seekor kucingyang lebih dulu mencium-cium makanan yang hendak dimakannya.
Dapat dibayangkan betapa takut rasa hati Tiang Bu. la merasa betapa kulit hidung yang kasar dan dingin dan basah menyentuh-nyentuh seluruh mukanya, betapa kumis harimau yang kasar "tu me" nyikat mukanya menimbulkan rasa perih. Apalagi sepasang mata harimau itu mendatangkan kengerian di dalam hatinya.
Bau harimau itu memuakkan perutnya dan suaranya menggereng-gereng membuat jantungnya meloncat-loncat keras. Akan tetapi dengan seluruh kekuatan, anak ini menggigit bibir dan menghadapi, harimau itu dengan mata terbelaiak me-mandang tabah.
"Hayo, kucing terkam dia, robek-robek dadanya, cokel keluar matanya! Bikin dia menjerit-jerit minta ampun! Ha, ha, ha!" Ci Kui berteriak-teriak menakut-nakuti Tiang Bu.
Harimau yang tadinya kebingungan itu, yang tadinya marah akan tetapi tidak berdaya, sekarang menimpakan kemarahannya kepada anak kecil yang duduk di depannya. Ia mulai menampar dengan kaki depan yang kanan. Tamparan ini mengenai pundak Tiang Bu merobek baju dan kulit pundaknya, dan membuat ia terguling-guling. Air mata meloncat, kekiaudari mata anak itu, pundak-nya berdarah dan bibirnya yang tebal itu pun berdarah saking kerasnya ia menggigit bibir yang menahan sakit dan menahan keluarnya tangis atau jeritan. Biar-pun air matanya mengucur, sedikit pun tidak ada keluhan keluar dari mulutnya.
Tiga orang kakek Pak-kek Sam-kui ini tertawa bergelak-gelak dan berteriak-teriak, agar harimau itu menyerang te-rus. Mencium bau darah yang segera dijilat-jilat dari kuku kaki depannya, harimau itu menjadi buas. la menubruk lagi, inempermainkan tubuh Tiang Bu seperti seekor kucing main-main dengan bola karet. Akan tetapi tiap kali ia mau menggigit anak itu, ia menerima pukulan atau ekornya ditarik dari belakang oleh Ci Kui Memang bukan maksud Ci Kui untuk membunuh anak ini. la hendak menguji ketabahan Tiang Bu.Sekali saja Tiang Bu menjerit takut atau menangis tentu ia akan mengajak dua orang sutenya pergi meninggalkan Tiang Bu untuk menjadi mangsa harimau. Akan tetapi melihat anak itu belum juga mengeluarkan jeritan, ia selalu menahan apabila harimau hendak menggigit.
Tubuh Tiang Bu terasa sakit semua, pakaiannya robek-robek tidak karuan dait darah memenuhi pakaian dan mukanya. Giginya tertanam dalam-dalam di. bibirnya yang mengticurkan darah kafeni gigitannya sendiri. Akhirnya saking terlampau banyak mengeluarkan darah dan seluruh tubuhnya lemas tak berdaya lagi ia menjadi pingsan. Tubuhnya sepertl sudah menjadi mayat saja, tidak bergerak lagi dalam permainan harimau.
"Dia pingsan" kata Sin-sai-kong Ang Louw.
Terdengar suara keras dar kepala harimau itu pecah berantakan terkena pukulan tangan Ang Louw yang lebihj| hebat daripada pukulan martil besi lima puluh kilo.
"Dia betul-betul bernyali besar!" kata Ci Kui kagum. la menghampiri tubuh anak yang sudah mandi darah itu, lalu merawat dan memberi obat dengan pan-dangan mata sayang.
"Anak baik, murid baik....." berkali-kali ia bicara sedangkan kedua tangannya bekerja. la membersihkan darah dengan lidahnya sendiri yang menjilat-jilat darah itu sampai bersih. Kemudian Ci Kui mengeluarkan bungkus-an, dibukanya dan ternyata isinya adalah obat-obat bubuk bermacam-macam. Di-obatinya luka-luka di tubuh Tiang Bu dengan obat dan ditotoknya jalan darah anak itu di beberapa bagian sehingga Tiang Bu menjadi siuman kembali. la merasa tubuhnya sakit-sakit semua dan lemas sekali. Setelah luka-lukanya dijilati oleh Giam-lo-ong Ci Kui, rasanya lebih sakit dan perih daripada tadi. la mengeri dan menahan rasa saklt sampai pingsan lagi. Bukan main hebatnya pen-deritaan anak ini.
Ketika Tiang Bu membuka matanya perlahan-lahan, hari telah senja dan tubuhnya terasa sejuk dan nyaman sekali. Tiba-tiba ia mendengar suara orang-orang mendengkur. la hendak bangkit akan tetapi mendapat kenyataan bahwa tubuhnya terikat, kaki tangan dan pinggangnya terikat pada sebuah cabang pohon yang besar. Ketika ia melirik ke kanan kiri, ia melihat tiga orang kakek itu tidur malang melintang di atas cabang-cabang pohon, tidur begitu saja di atas cabang pohon yang lebih kecil daripada tubuh mereka tanpa diikat dan mereka enak-enak mendengkur! Tiang Bu melirik ke bawah dan wajahnya yang sudah pucat itu menjadi makin pucat ketika melihat bahwa mere-ka berempat itu berada di atas pohon yang tinggi sekali.
Akan tetapi rasa ngerinya hilang ke-tlka ia teringat bahwa tubuhnya diikat dengan kuat pada cabang pohon hingga tak mungkin ia jatuh ke bawah. Kini ia mulai memperhatikan tiga orang kakek itu dengan heran sekali, juga geli karena cara mereka tidur dan mendengkur lucu sekali.
Si Gundul Itu tidur miring di atas cabang kecil, kepalanyirsuctah tergantung ke bawah seperti menjadi buah dari po-hon itu dan kaki kirinya menindih muka Si Muka Burung dekat sekali dengan hi-dungnya. Si Muka Burung ini tidur telen-tang dengan kedua kaki tergantung ke bawah dari kanan kiri cabang, hidungnya kembang-kempis dan dengkurnya disertai suara dari hidung seperti orang yang merasa jijik mencium bau yang tidak enak dari kaki suhengnya.
Si Muka Singa tidur terpisah telung-kup dengan muka miring, dengkurnya keras sekali sehingga ranting pohon be-rikut daun-daunnya yang berada di depan mukanya, sebentar tertiup pergi sebentar tersedot sampai menutupi mukanya.
Geli hati Tiang Bu melihat semua ini. Apalagi ketika ia melihat ranting dan daun-daun di depan muka Ang Louw itu seperti ir.enggelitik lubang hidung Si Muka Singa sehingga Si Muka Singa ber-bangkis beberapa kali dan dengan mata masih meram ia menggerakkan tubuh, miring ke kanan. Hampir saja Tiang Bu berteriak ketika melihat betapa tubuh itu miring dan seperti hampir terguling dari atas dahan. Namun, ajaib sekali, biarpun tubuh itu sudah lebih setengahnya berada di bawah dahan, tetap saja Ang Louw tidak terguling ke bawah, seakan-akan tubuhnya telah lekat pada dahan pohon itu!
"Hi, hi, hi, hi.....!" Tiang Bu tak dapat menahan gelak ketawanya. Suara bocah ini nyaring sekali biarpun ia berada dalam keadaan sakit.
Tiba-tiba tiga orang kakek itu serentak melornpat bangun dari tidurnya dan tentu saja karena merska melompat, tubuh mereka semua terguling ke bawah!
"Celaka.....!" Tiang Bu berseru lirih KTneHhat hal ini. Akan tetapi di lain saat, I bagaikan tiga ekor burung besar yang beterbangan kacau-balau terdengar suara Ikeras dan tiga orang kakek itu sudah berada di atas dahan pula; Mata mereka terbelalak dan dengan liar memandang ke kanan kiri.
"Mana siluman wanita itu?" Liok-te Mo-ko Ang Bouw bertanya sambil memandang ke kanan kiri.
"Mana dia Ang-jiu Mo-li?" Sin-saikong Ang Louw juga ikut bertanya, suaranya terdengar gentar. Ci Kui mendekati Tiang Bu dan memegang lengannya.
"Bocah, apakah kau tadi melihat se-orang wanita muda cantik berlengan merah di dekat sini?" tanyanya.
"Aku tidak melihat siapa-siapa kecuali katian bertiga." jawab Tiang Bu terheran-heran. Bukan hanya heran karena pertanyaan ini, terutama sekali heran melihat bahwa orang-orang seperti ini, masih mengenal takut.
"Tolol kau. Apa telingamu tuli?" Ci Kui rmembentak sambil melotot.
"baru saja dia tertawa di dekat sini!"
Mendengar kata-kata ini, Tiang Bu mengerti bahwa tiga orang kakek ini telah salah duga. Suara ketawanya dianggap sebagai suara ketawa seorang iblis wanita yang bernama Ang-jiu Mo-li (Iblis Wanita Bertangan Merah)! Meng-ingat ini, ia menjadi geli hati dan tak dapat ditahannya pula ia tertawa.
"Hi, hi, hi, hi..... lucu sekali....."
Tiga orang kakek ini melongo, saling pandang kemudian tertawa bergelak. Ci Kui lalu melepaskan tali yang mengikat tubuh Tiang Bu dan membantu anak itu duduk di atas cabang. Tiang Bu ber-pegang erat-erat pada ranting pohon supaya jangan terguling ke bawah.
"Anak baik, kau beinyali besar dan ketawamu seperti iblis wanita. Ha, ha, ha! Siapakah namamu?" .
Tiang Bu berpikir sebentar. Teringat ia akan ucapan-ucapan Siok Li Hwa tentang orang tuanya dan ia menjadi ragu-ragu. Benarkah Coa Hong Kin dan Go Hui Lian itu bukan ayah bnndanya? Ayahnya tampan sekali ibunya cantik jelita, juga adiknya Lee Goat yang baru berusia dua tahun sudah kelihatan cantik mungil. Akan tetapi dia? Banyak pelayan menga-takan bahwa rupanya seperti setan cilik! Akan tetapi, untuk percaya omongan Hui-eng Niocu, ia pun masih ragu-ragu karena ia benci kepada Li Hwa.
"Namaku Tiang Bu," akhirnya ia menjawab, tanpa menyebutkan shenya karena ia masih ragu-ragu tentang ayah bundanya.
"Kau anak siapa?"
"Aku..... yatim piatu, dan aku tidak tahu siapa ayah bundaku....." kata-kata ini ia ucapkan dengan sejujurnya karena memang pada saat itu ia merasa ragu-ragu dan tidak tahu siapakah sebetulnya ayah bundanya. la masih belum mau percaya omongan Siok Li Hwa. Pendeknya, untuk saat itu ia tidak tahu betul siapa gerangan ayah bundanya yang sesungguhnya.
"Kenapa kau bisa diperebutkan oleh Wan-bengcu dan Hui-eng Niocu?" tanya pula Ci Kui.
"Aku tidak tahu sebab-sebabnya. Akan tetapi Hui-eng Niocu memaksaku menjadi muridnya, lalu datang laki-laki yang tak kukenal itu merampasku dari tangan Hui-eng Niocu."
"Ah, ah, tak salah lagi. Dua orang itu sudah melihat-bakat baik dalam dirinya, Suheng. Maka mereka berebut untuk mengambil murid padanya," kata Sin-saikong Ang Louw.
"Betul begitu kiranya," Ci Kui meng-f angguk-angguk.
"Memang bocah ini berjodoh dengan kita. Kalau kita bertiga mengajarnya, kelak dia akan membikin harum nama kita."
"Tiang Bu, mulai sekarang kau men-jadi murid Pak-kek Sam-kui, hayo kau berlutut memberi hormat," kata Sin-sai-kong Ang Louw yang kegirangan sekali karena memang sejak ia melihat Tiang Bu, ia sudah ingin mengambil anak itu sebagai muridnya.
Biarpun baru berusia lima tahun, Tiang Bu memang seorang bocah yang cerdik luar biasa. la maklum bahwa ia berada di dalam cengkeraman tiga orang yang jahat dan lihai seperti iblis, dan bahwa ia tidak berdaya sama sekaH dan tidak mempunyai pilihan lain kecuali mentaati segala kehendak tiga orang itu. Juga ia maklum bahwa tiga orang ini tidak membunuhnya, bahkan mengambil-nya sebagai murid hanya berkat ketabah-an yang telah ia perlihatkan. Maka, men-dengar perintah Ang Louw, ia lalu berlutut di atas dahan itu, sama sekali tidak takut tergulmg karena ia yakin bahwa tiga orang gurunya takkan membiarkan ia jatuh terguling. Anehnya, karena SSran ini, ia memperoleh ketenangan l&kalau tadinya ia merasa sukar sekali untuk menahan dirinya agar jangan jatuh, sekarang ia merasa mudah saja berdiri atau duduk di atas dahan, bahkan la dapat berlutut dan mengangguk-anggukkan kepala kepada tiga orang kakek itu tanpa kehilangan keseimbangan tubuhnya.
Demikianlah, mulai saat itu, Tiang Bu telah menjadi murid tiga orang tokoh besar dari utara yang kepandaiannya tineei sekali dan memiliki watak aneh dan jahat seperti setan. Dengan bergihr-an mereka mulai memberi pela)aran ilmu silat kepada Tiang Bu yang ternyata benar-benar mempunyai bakat yang luar biasa dalam ilmu ini. Pelajaran ini di-berikan sambil melakukan per)alanan, yaitu menuju ke selatan, melewati Sungai Yangce, meninggalkan daerah Cin dan memasuki daerah, Sung.
Siapakah sebetulnya Pak-kek Sam-kui dan apa tujuan mereka pergi ke daerah Kerajaan Sung?
Tiga orang kakek ini sebetulnya ada-lah tiga di antara banyak sekali orang-orang pandai yang membantu Temu Cin, raja dari bangsa Mongol yang mulai bangkit dan kuat. Masih banyak orang-orang yang selihai mereka ini, bahkan ada yang lebih lihai lagi, yang masih berada di Mongol membantu Temu Cin menaklukkan semua suku bangsa di utara yang nnasih belum mau tunduk.
Adapun Pak-kek Sam-kui tadinya di-utus oleh Temu Cin untuk menemui Wan-bengcu di Lu-liang-san dan mengundang bengcu muda yang tersohor namanya itu. Tentu saja maksud Temu Cin adalah hendak menarik hati bengcu ini, karena adalah menjadi cita-citanya untuk kelak menyerbu ke selatan dan paling baik ia mendekati orang-orang gagah di selatan. Kalau sampai mereka ini mau membantu-nya, tentu kedudukannya menjadi makin kuat, Temu Cin amat cerdik dan pandai mengambil hati orang-orang gagah. Untuk membagi hadiah ia berlaku royal sekali.
Akan tetapi sebagaimana telah di-tuturkan di bagian atas, Wan-bengcu tidak mau menerima undangan itu, bahkan mereka menjadi bentrok dengan Hui-ene Niocu yang kebetulan berada di Lu-liang-san. Semua ini mereka laporkan kepada Temu Cin yang menyatakan ke-kecewaannya, kemudian tiga orang kakek . ini disuruh mengadaka.n hubungan dengan orang-orang kang-ouw di daerah selatan, yaitu di wilayah Negara Sung.
Berangkatlah Pak-kek Sam-kui. Mere-ka teringat akan hinaan yang mereka . peroleh ketika di Lu-liang-san oleh Hui-eng Niocu, maka sambil membawa pa-sukan yang kuat, mereka singgah di Go-bi-san yang dekat dengan perbatasan negaranya untuk melakukan balas dendam, kalau perlu membasmi Hui-eng-pai. Akan tetapi siapa kira di situ mere-ka bertemu pula dengan Wan-bengcu yang membantu Hui-eng Niocu sehingga tiga orang kakek ini mengalami kekalahan dan terpaksa melarikan diri sambil membawa Tiang Bu yang dianggap se-bagai penebus kekalahan mereka.
Dengan berhasil menculik murid Hui-eng Niocu atau bahkan calon murid Wan-bengcu, tiga orang kakek ini sudah me-rasa puas dan mereka tidak mempedulikan lagi nasib pasukan yang mereka tinggalkan.
Pada suatu hari, setelah mereka melakukan perjalanan melalui Propinsi Shen-si dan Se-cuan mereka melintasi Sungai Yang-ce dan tiba di sebuah dusun di Pro-pinsi Kwicu. Dusun ini terkenal sebagai tempat di mana seringkali terjadi per-tempuran-pertempuran kecil antaraprang-orang di daerah selatan. Di sebelah se-latan dusun ini terletak kota Cun-yi yang menjadi pusat perkumpulannya orang-orang gagah. Ke kota inilah yang nien-jadi tujuan Pak-kek Sam-kui. Akan te-tapi oleh karena hari sudah mulai geiap ketika mereka tiba di dusun Ui-cun itu, mereka lalu bermalam di sebuah keien-teng yang sudah rusak dan nampak kotor karena tidak terurus. Ketika mereka memasuki kelenteng yang tidak berdaun pintu lagi itu, di dalam banyak terdapat sarang laba-laba. Bau tempat itu pun tidak enak sekali, tanda bahwa selain tidak terurus, juga tempat ini kotor se-kali, berbau kencing dan kotoran tna-nusia. Baru masuk saja Tiang Bu sudah merasa muak. Akan tetapi Pak-kek Sam-kui dengan enaknya terus saja masuk dan melempar tubuh di atas lantai.
"Siauw-sute, coba kaucari makanan dan terutama minuman, aku merasa haus sekali," kata Ci Kui kepada Ang Louw. Si Muka Singa ini terkekeh-kekeh, ke-mudian tubuhnya berkelebat dan lenyap-lah ia. Hanya bayangannya saja yang berkelebat cepat keluar dari pintu.
Baru saja Sin-saikong Ang Louw ke-luar, terdengar dengkur dua orang kakek yang rebah di atas lantai! Tiang Bu du-duk bersila setelah membersihkan lantai di sudut ruangan itu, mengenangkan se-mua pengalamannya. Biarpun ia harus hidup tidak karuan, kadang-kadang dua hari tidak makan dan ada kalanya perut-nya dipenuhi makanan lezat tiada habis-habisnya sampai kekenyangan, kadang-kadang ia disuruh berlari-lari naik turun gunung akan tetapi karena tiga orang gurunya tidak sabar melihat kelambatan-nya, ia lebih sering digendong, namun tak boleh disangkal bahwa tiga orang gurunya yang buruk watak itu memper-lakukan dengan baik. Telah ribuan li ia melakukan perjalanan bersama Pak-kek Sam-kui dan telah berbulan-bulan ia mengikuti mereka. Dan dia mendapal-kan sesuatu yang amat menonjol pada diri tiga orang kakek yang kasar dan jahat itu, yaitu watak setia kawan di antara mereka bertiga."
Tak lama kemudian terdengar suara terkekeh-kekeh dari Si Muka Singa. Ke-adaan di dalam ruangan kelenteng itu sudah gelap. Hanya Tiang Bu yang masih belum tidur, anak ini duduk mengatur pernapasannya seperti yang ia pelajari dari guru-gurunya dan menahan lapar yang menggerogoti isi perutnya. Hanya ada angin menyambar ketika Ang Louw masuk ke dalam ruangan itu dan tak lama kemudian nampak api menyala dan tiga batang lilin dipasang oleh Si Muka Singa ini di atas meja sembahyang yang sudah bobrok. Selain lilin menyala ini, juga di atas meja kelihatan sepanci besar mi dan di sebelahnya terlihat hiolouw (tempat abu hio) besar sekali yang ter-isi..... arak wangi! Dan lucunya, dua orang kakek yang tadinya tidur mendeng-kur, seperti disiram air dingin, tiba-tiba melompat bangun dan berteriak-teriak.
"Arak.....! Arak.....!" Mereka tertawa dan menyerbu meja. Bergantian tiga orang kakek ini minum arak wangi itu dari hiolouw besar begitu saja tanpa cawan lagi.
"Enak..... enak..... eh, Sute, kau men-dapatkan arak dan mi ini dari mana?" kata jLiok-te Mo-ko Ang Bouw. Adapun Giam-lo-ong Ci Kui lalu memanggil Tiang Bu untuk ikut makan mi yang ternyata memang enak sekalL Untuk minum arak dengan mengangkat hiolouw itu, tentu saja Tiang Bu tidak kuat, ma-ka ia lalu minum arak menggunakan...,. tangannya yang dijadikan pengganti ca-wan! Anak berusia lima tahun ini se-karang sudah biasa minum arak keras.
Setelah tertawa bergelak, Ang Louw menjawab pertanyaan ji-suhengnya.
"Di dusun seperti ini, mana ada rung arak yang baik? Mana ada masakan mi yang selezat ini? Aku sudah putar-putar dan hanya mendapatkan warung arak yang menjual arak campur air. Ba-iknya hidungku tajam, aku mencium bau arak wangi keluar dari sebuah kelenteng." Ketika aku masuk ke dalam, kulihat lima^ orang hwesio muda menghadapi arak dar" masakan mi ini.
Aku totok mereka, aku kumpulkan W" dalam panci dan karena di sana tidak ada guci besar, aku lalu mengambii hio-louw kelenteng itu, menuang-nuangkan-semua arak dari guci kecil, dan rnern-bawa semua ini ke sini setelah menyambar tiga buah lilin."
Kembali tiga orang itu tertawa, tergelak. Sebentar saja mi yang sepanci besar banyaknya telah habis, pindah ke dalam perut empat orang ada sepuluh kati lebih dan arak sehiolouw penuh itu. Dan tak lama kemudian terdengar dengkur mereka, dan kali ini Tiang Bu juga ikut tidur pula setelah perutnya diisi. Di atas meja sembahyang yang bobrok itu hanya kelihatan sisa-sisa makanan, dan hiolouw bekas tempat arak telah ter-guling miring di atas meja, sedikit sisa arak mengalir keluar meryibasahi meja.
Matahari telah naik tinggi ketika Tiang Bu membuka matanya, kaget dan bangun mendengar suara ribur-ribut. la naelihat tiga orang suhunya telah ba-ngun, bahkan Ang Louw nampak sedang ribut mulut dengan seorang hwesio yang berwajah angker. la marah-marah dan mencaci-maki.
"Kalian ini iblis-iblis dari mana berani membikin rusuh di Ui-cun?"
Si Muka Singa Ang Louw tertawa dan bertolak pinggang.
Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Badut Gundul, kau datang-datang marah mau apa? Kau seperti raja kehilangan selir saja. Apa gundulmu terbentur pintu?" Memang Ang Louw yang mukanya seperti singa ini paling doyan berkelakar, berbeda dengan dua orang suhengnya yang bersungguh-sungguh menghadapi lain orang dan hanya tertawa bergurau dengan saudara sendiri.
Hwesio itu nampak makin marah. la membanting kaki kanannya dan..... lantai yang dihantam oleh kakinya menjadi Jebol, kakinya masuk ke dalam lubang sekaki lebih!
"Keparat, kau ini saikong siluman agaknya yang telah menghina murid-mundku. Kau merampas hidangan oranR. menurunkan tangan jahat, menotok hwesio-hwesio suci, menghina kelenteng dengan membawa pergi hiolouw yang kau isi dengan arak. Kau benar-benar dikutuk para dewata!"
Ang Louw menyeringai dan mukanya benar-benar menyerupai singa yang hen-dak menerkam mangsanya.
"Badut GunduL orang-orang macam kau dan murid-murid-mu memang patut dihajar. Mana ada hwesio-hwesio menghadapi hidangan be-rupa arak dan mi yang penuh dengan daging? Kalian ini mempunyai pekerjaan mengemis dan minta belas kasihan orane untuk mengisi perut. Sekarang kami orang-orang asing datang dengan perut kosong, sudah sepatutnya kalian yane sudah seribu kali minta makanan dari orang lain itu sekali-kali memberi se-dekah kepadaku. Tentang hiolouw, bagaimana kaubilang aku menghina? Hiolouw biasanya buat tempat abu, aku meminjamnya untuk diisi arak dan dipakai un-j tuk minum ity tandanya malah menghormat."
Hwesio itu marah sekali. Dengan menggeram ia memukul Ang Louw. Gerakannya cepat pukulannya berat. Tidak aneh, karena hwesio ini sebetulnya adalah anak murid dari Kaolikung-pai, seorang di antara para murid ketua di Kaolikung-san. Kepandaiannya sudah tinggi dan dengan murid-muridnya ia ber-tugas mengepalai kelenteng di Ui-cun sekalian memata-matai gerakan orang-orang utara yaitu orang-orang yang datang dari daerah Cin.
Kaolikung-pai termasuk partai yang anti kepada pemerintah Cin dan ter-masuk sebagai pelopor dalam tiap per-tempuran kecil-kecilan antara orang-orang dari daerah Cin dengan orang-orang dari |31daerah Sung. Ketika hwesio itu pulang ^dari bepergian dan melihat murid-murid-nya tertotok kaku seperti patung dan selain arak dan makanan, juga hiolouw
dibawa pergi orang, ia menduga bahwa ini tentu perbuatan orang-orang dari utara. Cepat ia melakukan penyelidikan dan pada keesokan harinya baru ia rnen-dapatkan tiga orang aneh dan seorang bocah tidur di dalam kelerrteng bobrok yang sudah tidak dipakai lagi itu.
Akan tetapi Ang Louw yang diserang itu tertawa-tawa mengejek.
"Eh, eh, kau mau berkelahi? Apo kau sudah bosan hidup?"
Hwesio itu yang beberapa kali serang-annya dapat dielakkan dengan mudah oleh lawannya menjadi naik darah dan serangannya makin gencar. Sebuah ton-jokannya yang dilakukan dengan sekuat tenaga mampir di pundak Ang Louw, membuat Si Muka Singa itu meringis-ringis. Memang ilmu siiat memiliki ke-istimewaan masing-masing dan biarpun kepandaian Ang Louw jauh lebih tinggi, namun menghadapi lawan yang meng-gunakan ilmu silat asing baginya, tidak aneh kalau ia sampai terkena pukulan.
Akan tetapi pukulan ini membuat Si Muka Singa marah sekali. Ia mengeluarkan auman yang keras dan menyeramkan sekal). Hwesio itu terkejut karena tiba-tiba ia merasa tubuhnya tergetar hebat oleh suara auman yang melebihi auman singa hebatnya.
Gerakan kaki tangannya menjadi lam-bat dan di lain saat Si Muka Singa me-nerkam maju dengan dahsyat, tangan kanannya menyambar dengan tenaga ra-tusan kati memukul dagu hwesio itu.
"Prakkk.....!" Demikian kerasnya pu-kulan ini sehingga kepala hwesio yang tidak berambut itu menjadi pecah beran-takan! Tubuhnya terlempar dan roboh terguling-guling di sudut, mati sebelum tubuhnya jatuh di tanah.
Melihat kehebatan pukulan ini, Tiang Bu diam-dlam merasa ngeri, akan tetapi juga kagum. Akan tetapi Giam-lo-ong Ci Kui menegur Si Muka Singa.
"Siauw-sute, kau benar-benar gegabah. Kita datang untuk menghubungi orang-orang kang-ouw, akan tetapi datang-datang kau membunuh seorang hwesio. Sungguh bukan permulaan yang baik."
"Twa-suheng, hwesio macam begini saja, apa sih artinya? Tugas kita adalah rnenghubungi tokoh-tokoh besar dan ketua-ketua partai," Sutenya membantah.
Ci Kui tidak banyak cakap lagi lalu mengajak rombongannya segera ineianjut-kan perjalanan, menuju ke kota Cun-yi di sebelah selatan dusun itu. Jalan menuju ke Cun-yi melalui pegunungan yang sunyi dan penuh dengan hutan yang lebat. Oleh karena masih asing dengan daerah ini, maka biarpun jsrak ke kota itu hanya seratus li, akan tetapi Pak~ kek Sam-kui harus bertanya-tanya kepada orang-orang dusun dan perjalanan tak dapat dilakukan cepat-cepat.
Salahnya, tiga orang kakek itu me-lakukan perjalanan terburu-buru oleh karena Ci Kui hendak menghindari segala ekor yang tidak enak dari peristiwa pem-bunuhan hwesio itu, maka pada hari per-tama itu mereka telah sesat jalan! Mere-ka tersesat ke dalam hutan yang amat besar dan liar di antara perbatasan Pro-pinsi Kwicu dan Secuan dan tanpa di-sadari mereka memasuki daerah Tai-hang-san! Telah sehari penuh mereka berjalan cepat, Tiang Bu digendong oleh Liok-te Mo-ko Ang Bouw akan tetapi sampai matahari terbenam mereka masih belum keluar dari daerah pegunungan yang pe~ nuh hutan itu. Terpaksa malarn hari itu mereka bermalam di hutan. Karena se-hari peiluh tidak pernah melihat ada dusun, tentu saja mereka masih belum dapat minta keterangan kepada penduduk dan karenanya masih belum sadar bahwa mereka mengambU Jalan yang salah.
Pada keesokan harinya, mereka me-lanjutkan perjalanan. Tak lama kemudian mereka berada di lereng gunung dan melihat puncak gunung menjulang tinggi di depan, Ci Kui berkata.
"Ah, kita telah salah jalan. Di depan ada gunung tinggi padahal menurut ke-terangan, jalan menuju ke Cun-yi tidak melewati puncak gunung yang tinggi."
"Sejak kemarin aku sudah bilang, Suheng. Kita menuju ke jurusan teng-gelamnya matahari berarti kita telah mengambil jalan ke barat. Padahal se-harusnya kita ke selatan," kata Liok-te Mo-ko sambil menurunkan Tiang Bu dari gendongan dan rnengeringkan peluh di kepalanya yang botak menggunakan ujung bajunya.
Selagi mereka termenung memandang puncak gunung yang tidak mereka kenal Itu tiba-tiba Ci Kui berseru.
"Hai, di sana ada orang bertempur. Dan ia lari melalui lereng yang menanjak naik, diikuti oleh kedua sutenya. Tiang Bu juga berlari secepatnya untuk mengikuti guru-gurunya, akan tetapi tentu saja ia tertinggal. la tidak takut di-tinggalkan dan mengejar terus. Anak kecil ini sudah terlatih dalam hal berlari limelalui jalan-jalan pegunungan yang sukar-sukar.
"Ah, yang bertempur adalah orang-orang pandai. Ini kesempatan baik bagi kita untuk menghubungi mereka dan membantu mereka," kata pula Ci Kui setelah melihat empat orang hwesio setengah tua yang berwajah keren tengah mengeroyok seorang hwesio lain yang lihai sekali llmu silatnya. Empat orang hwesio itu dilihat dari bentuk pakaiannya saja dapat diduga bahwa rnereka adalah hwesio-hwesio yang biasa menjadi penghuni kelenteng-kelenteng di Tiongkok selatan, sedangkan hwesio yang dikeroyok dan lihai sekali itu berjubah merah da-rah, bermuka hitam dan tinggi sekali hidungnya bengkok. Melihat ini, Pak-kek Sam-kui segera dapat menduga bahwa hwesio lihai yang berjubah merah dan ;memaki topi pendeta kuning itu tentulah seorang pendeta dari Tibet, pendeta Lama yang banyak merantau ke Tiongkok.
"Sute, pendeta Lama itu lihai sekali. Akan tetapi kita harus membantu empat orang hwesio itu," kata Ci Kui kepada dua orang sutenya. Dua orang sutenya Juga maklum akan maksud suheng me-reka, maka tanpa banyak cakap lagi tiga orang ini lalu melompat ke gelanggang pertempuran.
"Lama kurang ajar, jangan banyak tingkah di sini!" bentak Ci Kui sambil menyerang dengan pukulan-pukulannya yang dahsyat. Juga Ang Bouw dan Ang ouw berseru keras.
"Empat sahabat jangan khawatir, kami datang membantu!"
Pendeta Lama yang mainkan sebuah tongkat pendeta panjang itu nampak terkejut sekali, karena serbuan tiga orang ini benar-benar hebat sekali. Tadi, menghadapi sebuah toya, dua buah tom-bak dan sepasang golok yang dimainkan oleh empat orang pengeroyoknya, ia masih mendapat angin dan berada di fihak yang mendesak. Akan tetapi begitu tiga orang kakek aneh seperti iblis itu menyerbu, biarpun mereka ini hanya bertangan kosong, sebentar saja ia men-jadi terdesak hebat. Sebaliknya empat orang hwesio itu menjadi girang dan bertambah semangat mereka karena me-nerima bantuan tiga orang pandai yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.
"He, kalian ini bukankah orang-orang dari dunia utara? Mengapa mencampuri urusan kami!" Pendeta Lama itu biarpun terdesak hebat, masih sempat menegur Pak-kek Sam-kui. Tiga orang kakek ini kagum juga akan ketajaman mata pendeta yang sudah tua itu.
"Kau ini pendeta dari barat berani kurang ajar terhadapsahabat-sahabat kami dari selatan, tentu saja kami mem-bantu!" kata Ci Kui yang sengaja berkata demikian untuk menarik hati empat orang hwesio itu. la dapat menduga bahwa empat orang hwesio yang belum dikenal-nya ini tentulah tokoh-tokoh selatan yang ternama, maka dengan mengambil hati mereka, akan lebih mudah ia menghubungl tokoh-tokoh selatan.
Di lain fihak, empat orang hwesio itu khawatir kalau-kalau tiga orang kakek aneh yang membantu akan meoghentikan bantuannya, maka seorang di antara mereka berseru.
"Sam-wi Locianpwe, jangan melepas-kan penjahat berkedok Lama ini. Dia telah mencuri pusaka dari Omei-san!"
Pendeta Lama itu tertawa terbahak bahak.
"Ha, ha, ha, ada perampok-perampok berteriak maling. Sungguh lu-cu!" Setelah berkata demikian, karena tidak tahan akan desakan tujuh orang itu, ia memutar tongkat panjangnya secara istimewa sekali, cepat dan kuat-kuat hingga angin pukulannya saja membuat tujuh orang lawannya, kecuali Giam-lo-ong Ci Kui seorang, terpaksa bergerak mundur. Ini menandakan bahwa tenaga Iweekang dari pendeta Lama itu amat besar dan hanya Ci Kui yang mampu mertahan. Kesempatan ini dipergunakan oleh pendeta Lama untuk melompat pergi dan melarikan diri.
"Jangan lari!" seru Sin-saikong Ang Louw sambil menubruk maju dan ketika ia bergerak dari kedua tangannya me-nyambar sinar-sinar merah yang amat lembut. Inilah jarum-jarum rahasia dari Sin-saikong Ang Louw yang amat lihai. Akan tetapi anehnya, pendeta Lama itu tidak mengelak dan terus saja lari. Jarum-jarum itu ketika mengenai jubah yang lebar dan berkibar di belakang menutupi tubuh pendeta itu, menancap akan tetapi tidak menembus. Ternyata bahwa yang dipakai oleh pendeta Lama itu bu-kanlah jubah sembarangan, melainkan jubah sutera istimewa yang di sebelah dalamnya terdapat kain benang-benang perak yang amat kuat!
"Kejar penjahat itu!" Empat orang hwesio tadi berteriak-teriak dan lari mengejar. Pak-kek Sam-kui juga mengejar, akan tetapi mereka ini ketika me-lihat bahwa ilmu lari cepat dari empat orang hwesio itu tidak dapat melawan ilmu lari cepat si pendeta Lama, lalu mengendurkan larinya dan tidak mengejar dengan sungguh-sungguh hendak memusuhi si pendeta Lama.
Pendeta Larha itu berlari cepat melihat tujuh orang mengejarnya terus. Tiba-tiba di depannya ia melihat seorang bocah yang wajahnya amat menarik per-hatiannya. Bocah ini nampak sehat kuat, jujur dan sinar matanya tajam luar biasa.
Pakaian bocah yang sederhana dan compang-camping itu menandakan bahwa ia berhadapan dengan seorang bocah gunung. Tiba-tiba terdengar suara aneh dari sebelah kiri, di balik puncak. Suara ini melengking tinggi seperti suling, ke-mudian meogalun dan lapat-lapat ter-dengar seperti suara ketawa seorang wanita, suara ketawa yang merdu.
"Celaka....." pendeta Lama itu men-jadi pucat.
"kalau dia ikut mengejar....." Timbul pikiran yang amat baik. la melompat ke dekat bocah itu yang bukan lain adalah Tiang Bu yang sedang susah payah mengejar tiga orang suhunya. Di-keluarkannya sebuah bungkusan dari ju-bahnya, diberikan bungkusan itu kepada Tiang Bu dan pendeta itu berkata.
"Anak baik, kausimpankan ini. Ku titipkan kepadamu, kelak aku akan datang mengambilnya. Siapa namamu?"
"Namaku Tiang Bu," jawab bocah itu sambil menerima bungkusan. Pada saat itu terdengar suara lengking meninggi itu!
"Lekas, simpan dalam bajumu jangan kelihatan orang," kata pendeta Lama sambil membantu Tiang Bu memasukkan bungkusan itu ke dalam saku baju di sebelah dalam. Kemudian pendeta itu tiba-tiba menarik lengan Tiang Bu dan melemparkan anak itu ke dalam jurangl "
"Tinggal dulu di sana, jangan berteriak. Kalau ada orang melihatmu, kau akan mampus!" kata pendeta Lama itu yang cepat lari ke depan.
Akan tetapi baru belasan kali lompatan, tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu seorang wanita cantik sekali telah berdiri di depannya. Wanita ini berpakaian serba putih, wajahnya kemerahan dan rambutnya yang halus hitam panjang itu terurai di belakang punggung-nya. Sebatang pedang menempel pada punggung, sikapnya gagah sekali. Ketika ia mengangkat tangan kirinya ke atas dengan isyarat menyuruh Lama itu berhenti, nampak jelas bahwa telapak tangannya kemerahan seperti berlepotan darah. Inilah Ang-jiu Mo-li (Iblis Wanita Tangan Merah).
"Thai Gu Cinjin, berhenti dulu" wani-ta itu berseru suaranya merdu dan tinggi nyaring menusuk telinga tanda bahwa di-keluarkan dengan pengerahan tenaga khikang. Kemudian terdengar suara ketawanya yang aneh seperti lengking suling. Pendeta Lama itu nampak gelisaN mendengar suara ketawa ini.
"Ang-jiu Mo-li, kau menghentikan pinceng ada keperluan apakah?" tanya-nya, suaranya digagah-gagahkan agar tidak kelihatan bahwa dia gentar meng-hadapi wanita im. Memang sungguh lucu melihat tokoh besar seperti Thal Gu Cin-jin yang di Tibet terkenal sebagai jagoan berilmu tinggi, kelihatan gentar menghadapi seorang wanita cantik yang biarpun kelihatan muda jelita akan tetapi sudah berusia lima puluh tahun ini!
Ang-jiu Mo-li sekali lagi tertawa cekikikan, kemudian suara ketawanya ter-henti tiba-tiba dan keningnya berkerut, matanya memancarkan cahaya menakutkan.
Thai Gu Cinjin, sudah lama aku men-dengar bahwa kau adalah seorang pen-deta Lama yang paling cerdik banyak akal dan suka pura-pura. Ternyata se-karang betul, kau masih hendak berpura-pura dan bertanya apa maksudku meng-hentikanmu, seakan-akan kau tidak ber-dosa sama sekali! Akan tetapi aku tidak mau seperti kau, aku berterus terang saja. Aku sengaja menghadangmu dan lekas-lekas kauberikan kitab-kitab Omei-san itu."
Mendengar ini Thai Gu Cinjin berdongak ke atas, tertawa bergelak dan memukul-mukulkan ujung tongkatnya ke atas tanah sehinggga batu-balu menjadi remuk.
"Ha, ha, ha, ha! Kau juga, Ang-jiu Mo-li? Benar-benar lucu. Baru saja Le Thong Hosiang, Nam Kong Hosiang, Nam Siong Hosiang dan Hengtuan Lojin empat orapg hwesio goblok itu mengeroyok pinceng dan juga minta kitab dari Omei-san. Apa kaukira mudah saja mengambil kitab dari dalam gua yang dijaga oleh dua ekor naga sakti itu? Kau boleh coba-coba mengambilnya di Omei-san! Ha, ha, ha!"
"Kalau mempergunakan tongkatmu itu aku percaya, kau. takkan mampu meng-ambll kitab dari Omei-san. Akan tetapi tipu muslihatmu mungkin membuatmu berhasil. Aku mendengar berita bahwa kau sudah berhasil menipu Tiong 3in Hwesio. Nah, sekarang jangan banyak cakap, lekas kauserahkan kitab itu ke-padaku."
"Eh, kau tidak percaya kepadaku, Ang-jiu Mo-li? Pinceng bersumpah bahwa kitab itu tidak ada pada pinceng!"
"Hmmm, siapa percaya pada sumpahmu? Perlihatkanlah isi saku bajumu."
"Ang-jiu Mo-li, kau benar-benar ter-lalu! Kau tidak saja tak percaya kepada kata-kata pinceng, bahkan sampai pin-ceng bersumpah kau tidak percaya. Ka"" ingin menggeledah?"
"Betul, lekas buka jubahmu dan ja-i ngan banyak cerewet!"
"Ini penghinaan namanya!"
"Habis kau mau apa?"
"Ang-jiu Mo-li, sudah lama pinceng tidak merasai kelihaianmu. Kalau kau dapat merampas tongkat pinceng ini, baru pinceng mengaku kalah dan nne-nuruti kehendakmu memeriksa saku jubahku ini." Setelah berkata begini, pendeta Lama yang bernama Thai Gu Cinjin itu lalu memegang tongkatnya lurus ke depan dada dengan tangan kanan disodor-kan ke arah Ang-jiu Mo-li.
Wanita ini kembali tertawa aneh.
"Kalau aku tidak melihat kau sudah ;ua dan sudah bersusah payah meninggalkan Tibet untuk mencari kitab Omei-san, tentu kau takkan dapat meninggalkan tempat ini dengan nyawa dalam tubuhmu. Baiklab, kaupertahankan tongkatmu!"
Ang-jw Mo-li lalu menangkap tcngkat itu dengan tangan kirinya, mengera! ikan tenaga Iweekang disalurkan ke arah tongkat untuk membetot, Thai tiu Cinjin mempertahankan. Ang-jiu Mo-li mengubah-ubah tenaganya, kadang-kadang membetot, kadang-kadang mendorong. Akan tetapi Thai Gu Cinjin tak dapat diakali dan dapat mengimbangi serangan lawan.
Tiba-tiba Ang-jiu Mo-li mengeluarkan seru keras dan warna merah dari telapak , kedua tangannya menjalar perlahan-lahan sehingga tak lama kemudian tongkat di bagian yang terpegang oleh wanita ttu mulai mengeluarkan uap! Terus saja uap itu rnenjalar menuju ke tangan Thai Gu Cinjin yang merasa terkejut sekali. Akan tetapi mengandalkan tenaga Iweekangnya yang sudah tinggi sekali, dia tidak takut dan bersiap-siap menerima serangan hawa dari tangan merah itu. Uap terus menjalar menyusuri tong-kat, .tanda bahwa hawa itu makin lama menjalar makin jauh mendekati lawan. Akhirnya uap menyentuh tangan Thai Gu Cinjin yang memegang tongkat.
Pendeta Lama ini merasa seakan-akan ia memegang besi merah. Panasnya tak tertahankan lagi, apalagi selain hawa panas ini masih disertai hawa mendorong yang amat dahsyat. la mempertahankan, akibatnya, telapak tangannya mulai ha-ngus dan beruap, mengeluarkan bau se-perti kulit dibakar.
"Menyerah....."" katanya terengah-engah karena ia menahan napas dan me-ngerahkan seluruh tenaga.
Ang-jiu Mo-1! tertawa nyaring sekali dan menancapkan tongkat yang sudah berpindah tangan itu ke atas tanah. Tongkat amblas sampai setengahnya. Tanpa banyak cakap lagi, Thai Gu Cinjin membuka jubah luarnya dan melemparkan jubah di atas tanah. la kini hanya me-makai pakaian dalam yang ringkas dan tidak bersaku.
Pedang Penakluk Iblis Eps 35 Pendekar Budiman Eps 17 Pedang Penakluk Iblis Eps 24