Ceritasilat Novel Online

Pedang Penakluk Iblis 24


Pedang Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 24




   Dua orang tukang pukul yang menjaga kantoran hotel itu tiba-tiba mmenjadi pucat mendengar nama Hwa I Enghiong Ciang Le disebut sebut, apalagi setelah tahu bahwa gadis ini adalah puteri dari tokoh besar pemberontak itu. Go Ciang Le adalah seorang pemberontak besas yang pernah mengacaukan istana kotaraja (Baca Pendekar Budiman).

   "Ah, baik".. baik, Go lihiap. Harap kau ikut dengan pelayan untuk diantar ke dalam kamar terbaik di hotel ini. Maafkan kami... dan harap saja Lihiap tidak marah-marah dan mengeluarkan omongan keras karena kami benar-benar tidak mengharapkan keributan di hotel ini," kata Si kumisan dengan sikap takut.

   Hui Lian tersenyum mengejek. Hatinya panas karena dengan mendengungkan nama besar ayahnya ia telah berhasil membikin orang menjadi ketakutan. Tanpa menoleh lagi ia lalu mengikuti pelayan tua yang tadi mengantarnya ke kantor hotel yang kini cepat mengantarkannya ke sebuah kamar kosong yang benar-benar bersih menyenangkan.

   Hui Lian masih terlampau muda sehingga kadang-kadang ia menurutkan nafsu hatinya dan kehilangan sifat hati-hati. Apalagi ia memang tidak tahu akan keadaan kota raja di waktu itu, maka secara sembrono saja ia memperkenalkan dari sebagai puteri dari Hwa I Enghiong. Kalau ia tahu, biarpun Hui Lian seorang dara perkasa yang tidak kenal arti takut, namun tentu ia takkan begitu sembrono untuk memancing kesulitan.

   Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, gadis ini setelah bertemu dengan Sin Hong dan amat kecewa hatinya melihat pemuda aneh yang dibencinya akan tetapi juga yang membuat hatinya selalu berdebar kalau teringat kepadanya, kecewa karena melihat Sin Hong membawa lari Gak Soan Li, lalu berlari cepat pulang ke Kim-bu-to. Ia ingin menuturkan semua pengalamannya kepada ayah bundanya, juga tentang diri Sin Hong yang aneh serta tentang sikap Soan Li yang amat janggal dan aneh pula. Karena ia melakukan perlalanan cepat sekali, tak lama kemudian ia tiba di Kim-bu-to. Akan tetapi Hui Lian kecewa lagi mendapatkan ayah bundanya tidak berada di rumah. Maka ia cepat pergi lagi menuju ke kota raja karena ia mengira bahwa ayah bundanya pergi ke tempat ini.

   Sudah seringkali ia mendengar ibunya bercerita tentang keindahan kota raja dan sering pula ibunya menyatakan rindunya kepada kota besar ini. Maka ia dapat menduga bahwa ayah bundanya tentu pergi menyusulnya dan menyusul Soan Li, akan tetapi ke manakah ia harus mencari mereka? Karena tidak mempunyai pegangan dan tidak dapat menduga pasti ke mana ayah bundanya pergi, lalu menuju ke kota raja dengan harapan barangkali ayah bundanya juga pergi ke sana.

   Tanpa disadarinya, di kota raja begitu tiba ia telah memancing kesulitan. Benar-benar ia memancing kesulitan di kantor hotel tadi, karena ketika ia menuju ke kantor diantar oleh pelayan, empat orang yang berpakaian seperti pedagang dan yang tadi mendengar dari luar kantoran saling pandang penuh ketegangan, kemudian mereka berempat ke luar dari hotel dengan cepat! Baru saja Hui Lian meletakkan buntalan pakaiannya di atas meja dan hendak bertukar pakaian, pintunya diketuk orang perlahan sekali.

   "Siapa?" tanyanya, kening berkerut.

   "Lihiap, bukalah. Penting sekali...." terdengar suara orang, kedengarannya penuh kegelisahan.

   Hui Lian menunda niatnya berganti pakaian, lalu membuka daun pintu. Begitu daun pintu terbuka, seorang laki-laki pendek kecil sehingga sepintas lalu seperti seorang anak berusia sepuluh tahun, menyelinap memasuki kamarnya. Lalu secepat kilat orang itu menutup kembali daun pintu kamar Hui Lian"

   Bukan main marahnya gadis ini dan tangannya sudah gatal-gatal hendak memukul, bibirnya sudah bergemetar hendak memaki. Akan tetapi orang itu menaruh telunjuk di depan bibirnya, dan berkata perlahan,

   "Ssstt, Lihiap, jangan salah sangka, Aku adalah mata-mata yang dikirim oleh Temu Cin!" Hui Lian melengak. Keterangan membuatnya terheran, akan tetapi tidak melenyapkan rasa kurang senangnya.

   "Biarpun kau dikirim oleh Giam-lo- ong (Raja maut), tidak patut kau memasuki kamarku secara ini!" bentaknya.

   "Sssttt, jangan keras-keras, Lihiap. Kau berada dalam bahaya maut! Aku datang karena mendengar namamu tadi nama yang dijunjung tinggi oleh Temu Cin. Kau tidak tahu keadaan di sini, dan sekali kau tadi menyebut nama Ayahmu yang mulia, celakakalah kau. Lekas kau lari dari sini dan pergi keluar dari kotaraja sebelum bahaya datang menimpa."

   Hui Lian tenang-tenang saja, bahkan memandang kepada orang kate dengan curiga dan kurang percaya. Ia memang tidak takut mendengar bahaya mengancamnya, dan lebih khawatir kalau-kalau ia akan tertipu oleh orang yang belum dikenalnya ini daripada mengkhawatirkan bahaya yang mengancam, kalau benar-benar ada bahaya.

   "Mengapa aku harus keluar dan kota raja? Lebih baik kau yang segera keluar dari kamar ini sebelum aku kehabisan kesabaran dan melemparmu keluar seperti anjing!"

   Orang itu menghela napas panjang "Lahiap, kau tidak percaya kepadaku. Kau tidak tahu bahwa kawan-kawanku banyak sekali yang dikirim oleh Temu Cin di kota raja. Aku bukan seorang bahkan ada beberapa orang yang menjadi busu. Kau percayalah kepadaku, Lihiap karena mendatangimu ini saja sudah merupakan bahaya besar bagiku, sudah merupakan pekerjaan dengan taruhan nyawa. Kalau mereka melihat aku berada di sini, tentu besok aku tidak akan berada dunia ini lagi." Melihat kesungguhan sikap orang kate itu, Hui Lian mulai menaruh perhatian.

   "Siapakah mereka yang kau anggap sebagai bahaya yang mengancam diriku?" tanyanya.

   "Para busu... mereka itu lihai dan bermata tajam... lekas kau lari Lihiap. Lekaslah, aku tidak dapat lama-lama berada di sini." Orang kate itu membuka daun pintu, akan tetapi baru dibuka sedikit saja, ia telah menutupkan kembali dan mukanya menjadi pucat.

   "Celaka...." katanya ketakutan.

   "Hayo keluar dan kamarku. Kau takut apa?" Hui Lian menegurnya. Hampir saja ia menendang laki-laki itu saking jengkelnya. Orang ini ketakutan tidak karuan dan tidak berani keluar dari kamarnya. Kalau ada orang melihat seorang laki-laki berada di kamarnya, bukankah hal itu merupakan suatu aib yang memalukan sekali? Seorang laki-laki berada di kamar seorang gadis, biarpun lelaki itu seorang kate yang tidak berharga maupun seorang pelayan misalnya asal dia seorang lelaki dewasa hal sudah jauh melebihi kepantasan!

   "Lahiap, celaka sekali. Kita sudah terkurung oleh pasukan busu dan tidak ada jalan keluar lagi!" Hui Lian kehabisan sabarnya. Ia mendorong daun pintu dan tidak melihat apa-apa, hanya dari jauh kelihatan empat orang pedagang yang tadi mendengarkan percakapan di kantor hotel. Dengan gemas ia melangkah lagi ke dalam kamarnya dan menendang orang kate itu sambil membentak,

   "Keluarlah kau!"

   Hui Lian tidak mau berlaku keji kepada orang kate yang tidak dikenalnya ini, yang disangkanya tentu orang berotak miring maka ia menendang biasa saja, hanya untuk membuat orang itu terpental keluar. Akan tetapi alangkah herannya ketika dengan kesigapan luar biasa, orang kate itu dapat mengelak dari tendangan Hui Lian dengan sangat mudahnya dan sebelum Hui Lian hilang keheranannya dan dapat menyerang lagi, si Kate itu sudah cepat melompat ke atas. Terdengar suara keras dari kayu patah dan genteng pecah, dan ternyata si Kate itu telah menerobos melalui langit-langit kamar itu, menembus ke atas rumah!

   Hui Lian berdiri terpukau. Kelihaian si Kate itu tidak terlalu mengherankan baginya, akan tetapi yang ia tidak sangka adalah Si Kate yang dikiranya orang gila itu ternyata memiliki kepandaian sedemikian tingginya. Mulailah ia percaya akan kata-kata Si Kate tadi dan kini Hui Lian membuka pintu kamarnya untuk mengintai keluar.

   Apa yang dilihatnya? Empat orang berpakaian pedagang tadi masih berdiri di sana, akan tetapi sekarang dikawani oleh belasan orang berpakaian sebagai perwira istana yang berdiri tegak bagaikan patung, mengurung kamarnya! Hati Hui Lian berdebar. Betulkah kata-kata orang kate tadi? ia menyapu belasan orang itu dengan kerling matanya dan mendapat kenyataan bahwa setiap orang membawa senjata tajam di pinggang atau punggungnya sedangkan mereka semua memandang kepadanya dengan mata tak pernah berkedip. Akan tetapi dengan matanya yang berpandangan tajam, Hui Lian melihat tangan mereka bergerak perlahan ke arah gagang senjata atau kantung senjata rahasia, siap menghadapi pertempuran!

   Melihat ini Hui Lian cepat menutupkan kembali daun pintu kamarnya. Kalau semua orang itu menyerangnya dengan senjata rahasia ia bisa celaka pikirnya. Ia memandang ke atas, ke arah langit-langit yang sudah berlubang karena diterjang oleh tubuh orang kate tadi. Pada saat itu ia mendengar suara gaduh di atas genteng, disusul suara pekik kesakitan dan dua orang roboh berdebum di atas genteng kamarnya. Hui Lian memandang ke atas penuh perhatian, tidak mengerti apakah yang telah terjadi di atas genteng itu. Kemudian ia melihat benda cair menitik turun dari atas, melalui lubang yang dibuat oleh tubuh si Kate tadi. Ketika ia memandang penuh perhatian, Hui Lian bergidik. Benda cair itu berwarna merah berbau amis... darah!

   Hui Lian berdebar hatinya, tegang. Tahulah ia kini bahwa Si Kate tadi bukan orang gila, bukan pula main-main dan benar-benar memang ada bahaya mengancam. Cepat ia menyambar buntalan pakaiannya, diikatkan di punggungnya. Ia meraba gagang pedangnya siap menghadapi segala kemungkinan. Ketika hendak berlaku nekat dan melangkah keluar dari kamar melalui pintu terdengar suara bentakan dari luar pintu.

   "Go Hui Lian, kami datang atas perintah Kaisar untuk menangkapmu. Lebih baik kau menyerah saja. Kami tidak suka mempergunakan kekerasan terhadap seorang wanita!" Hui Lian mencabut pedangnya. Tanpa membuka pintu ia menjawab, suaranya lantang, sedikit pun tidak takut.

   "Aku Go Hui Lian tidak merasa melakukan dosa di sini, mengapa hendak ditangkap?"

   "Ayahmu Go Ciang Le seorang pemberontak, sejak dahulu menjadi musuh besar istana, sedangkan kau sendiri mengadakan hubungan dengan bandit besar Temu Cin, bagaimana kau bilang tidak berdosa? Pula, mata mata orang Mongol Si Kate baru saja meninggalkan kamarmu, apakah kau masih hendak menyangkal lagi? Dia hendak lari dan kini mayatnya menggeletak tak bernyawa di atas genteng kamarmu. Maka lebih baik menyerah untuk kami tangkap agar kami tak usah mempergunakan kekerasan terhadap seorang wanita," suara lantang itu menjawab dari luar kamar. Hui Lian menjadi marah. Ia melompat ke arah pintu dan menendang daun pintu sehingga terbuka lebar- lebar. Dengan gagah ia berdiri di tengah.

   "Tikus-tikus istana, buka telingamu lebar-lebar! Ayahku seorang pendekar gagah perkasa, seorang patriot sejati Pembela rakyat, tikus-tikus macam kalian mana ada harga untuk menyebut namanya? Aku memang pernah bertemu dengan Temu Cin pemimpin bangsa Mongol akan tetapi hal ini apa hubungannya dengan istana? Kalian peduli apakah aku bertemu dengan Temu Cin atau dengan Raja Neraka sekali pun? Tentang orang kate yang tadi memasuki kamarku, aku tidak mengenalnya dan mengira dia seorang berotak miring. Dia mampus atau tidak, sama sekali aku tidak peduli. Siapa mau menangkap aku? Silakan maju untuk berkenalan dengan pedangku!"

   Mendengar suara lantang dan melihat sikap yang gagah berani dari gadis ini, para busu tercengang dan untuk beberapa lama tidak berani sembarangan bergerak. Kemudian terdengar aba-aba "tangkap saja!" dari atas genteng. Yang pertama kali bergerak adalah empat orang yang berpakalan pedagang tadi. Mereka berempat melompat maju dan berhadapan dengan Hui Lian, masing-masing memegang golok tipis.

   "Nona, bukankah menyerah lebih baik? Mungkin hakim istana akan meringankan hukumanmu, menimbang bahwa kau hanyalah puteri dan Hwa I Enghiong dan bukan kau sendiri yang memberontak," kata seorang di antara mereka yang bermuka panjang dan suaranya lunak seperti suara orang perempuan.

   Hui Lian mengeluarkan suara ejekan dan tersenyum simpul.

   "Mengapa sungkan-sungkan? Bukankah kalian ini anjing- anjing istana yang suka menangkap orang-orang tidak berdosa? Mau tangkap tangkaplah kalau kalian ada kepandaian." Gadis ini melintangkan pedangnya di depan dada, sikapnya menantang sekali. Memang ia tidak takut sama sekali, bahkan ada kegembiraan hatinya untuk nguji sampai di mana kelihaian para busu istana yang terkenal kebuasan sampai di mana-mana itu.

   "Hem, kau sombong dan tak tahu diri. Terpaksa kami turun tangan!" kata busu itu dan berbareng dengan habisnya kata-kata terakhir, bersama tiga orang kawannya ia menyerbu. Empat batang golok tipis yang berkilau saking tajamnya menyambar ke arah Hui Lian dalam gerakan mengancam karena empat orang ini masih merasa sungkan untuk membunuh seorang gadis remaja demikian cantiknya. Kalau boleh dan dapat, mereka akan lebih suka menangkap saja dan menghadapkan gadis ini di depan pengadilan, daripada membawa mayatnya.

   Akan tetapi dalam sekejap mata mereka sadar daripada mimpi enak ini. Begitu Hui Lian menggerakkan pedangnya, terdengar suara nyaring dan dua golok menjadi buntung, sedangkan yang dua lagi hampir terlepas dari pegangan karena tangan mereka tergetar hebat! Sampai memekik kaget empat orang busu berpakaian pedagang ini melompat mundur, muka mereka berubah pucat dan keringat dingin membasahi leher dan jidat. Hui Lian tersenyum dan menahan pedangnya, tidak mau membalas serangan mereka.

   "Masih ada yang hendak menangkapku?" tantangnya sambil menyapu ruangan itu dengan kerling matanya yang tajam.

   Empat orang busu yang berpakaian pedagang itu bukanlah busu tingkat tertinggi. Mereka itu tugasnya hanya menjadi mata-mata dan pengawas di hotel Thian Lok Likoan, dan biarpun kalau diukur dengan kepandaian ahli-ahli biasa saja mereka itu sudah termasuk jago-jago silat yang sukar dilawan, tetapi bagi Hui Lian mereka itu tidak ada artinya sama sekali. Para pengepung adalah busu-busu yang terdiri beberapa tingkatan.

   Sebagian besar terdiri dari busu yang tingkatnya sama dengan empat orang yang dalam segebrakan dikalahkan oleh Hui Lian. Tiga orang busu mempuyai tingkat yang jauh lebih tinggi dapada mereka ini, dan terhitung busu-busu pilihan dari Istana. Masih ada seorang lagi yang terpandai dari mereka, karena dia ini menjadi pemimpin dan sudah termasuk seorang perwira tinggi di kalangan busu istana. Komandan atau pimpinan inilah yang tadi merobohkan dan menewaskan orang kate yang melarikan diri dari kamar Hui Lian melalui genteng. Mengingat betapa dengan mudahnya ia dapat menewaskan Si Kate yang lihai dapat diduga betapa tinggi kepandaian perwira busu itu.

   Busu lain yang kepandaiannya hanya setingkat dengan kepandaian empat orang busu yang berpakaian pedagang, melihat betapa dalam segebrakan saja Hui Lian sudah dapat membuntungkan dua batang golok dan membuat empat orang pengeroyoknya melompat mundur dengan perih, hati mereka sudah gentar.

   Tiga orang busu yang tingkatnya lebih tinggi, yang terdiri dari tiga orang tua berusia sedikitnya lima puluh tahun kini melangkah maju menghadapi Hui Lian. Pada saat itu, pintu-pintu kali hotel itu bergerit dan semua penghuni kamar mengintai dengan hati kebat-kebit. Yang nyalinya besar keluar pintu dan menonton, yang kecil nyalinya menyembunyikan diri ketakutan. Bahkan ada yang buru-buru keluar meninggalkan hotel itu. Para pelayan menjadi kebingungan ke sana ke mari tak tentu tujuan. Sebetulnya, menangkap seorang dua orang tamu hotel itu oleh pasukan biasa bukanlah hal yang amat aneh. Akan tetapi, baru kali ini ada seorang gadis muda cantik hendak ditangkap, dan baru kali ini juga seorang gadis berani menghadapi sekalian busu itu dengan pedang di tangan! Sebagian besar dari mereka merasa ngeri kalau membayangkan betapa gadis semuda dan secantik itu menjadi korban kekejaman para busu, menjadi korban senjata-senjata tajam yang tak pernah mengenaI ampun dari para pengawal istana itu!

   Tiga orang busu kini sudah menghadapi Hui Lian. Seorang di antara mereka yang paling tua, berkepala botak dan memegang sebatang toya yang disebut Long-gee-pang (Toya Gigi Srigala), berkata kepada Hui Lian.

   "Benar-benar puteri Hwa I Enghiong lihai seperti ayahnya. Akan tetapi kau takakan mungkin dapat menang menghadapi kami, Nona. Andaikata kau berhasil mengalahkan aku, masih banyak lagi busu yang kepandaiannya jauh lebih tinggi dari padaku, dan jumlahnya banyak sekali. Kau tidak percaya? Lihatlah!" Busu ini bersuit keras dan terdengar jawaban dari empat penjuru, bahkan orang-orang berpakaian busu bermunculan dari setiap sudut. Jumlah mereka semua entah berapa, akan tetapi kiranya tidak kurang dari lima puluhan orang!

   "Nah, apa artinya kau melawan, nona? Lebih baik menyerah. Kami menawanmu dan membawamu menghadap ke depan Hakim Istana. Di sanalah boleh membela kalau kau dianggap tidak berdosa, kau tentu akan dibebaskan." kata pula busu bersenjatakan Long gee-pang itu.

   Hati Hui Lian tergerak. Kata-kata busu ini dianggapnya masuk di akal, memang, melihat banyaknya busu yang mengepung tempat itu, agaknya tak mungkin ia dapat menyelamatkan diri melawan dan membunuh mereka ini apa artinya kalau akhirnya ia akan tertawan juga? Ini berarti dosanya akan lebih besar. Kalau menyerah, siapa tahu kalau ia dapat dibebaskan atau setidaknya mendapat keringanan? tentu saja ia hanya mau menyerah dengan syarat, yakni tidak mau diikat dan tidak mau dilucuti senjatanya. Berarti, sewaktu-waktu kalau perlu ia akan dapat melawan dan mengamuk!

   Akan tetapi, belum juga ia menjawab kata-kata busu bersenjata Long gee pang itu, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di luar hotel dan tak lama kemudian dari luar berlari masuk seorang hwesio tinggi besar yang memanggul penggada besar pula. Suaranya parau dan nyaring ketika ia berteriak-teriak.

   "Busu-busu keparat, jangan berani mengganggu Nona Go Hui Lian!" Hui Lian girang sekali ketika mendapat kenyataan bahwa yang datang ini bukan lain adalah Tang Hwesio!

   "Tang Lo-suhu"" Hui Lian berseru girang. Lenyaplah seketika niatnya untuk menyerah ketika ia melihat hwesio tua yang bersemangat ini.

   Apalagi ketika ia melihat betapa Tang Hwesio segera terjun di tengah-tengah para busu yang mengepung dan penggadanya segera mengamuk laksana seekor harimau galak, Hui Lian lalu menggerakkan pedangnya membantu. Sebentar saja Hui Lian dan Tang Hwesio dikeroyok oleh puluhan orang busu dalam sebuah pertempuran yang luar biasa ramainya!

   Gada di tangan Tang Hwesio benar-benar mengerikan sekali. Beberapa kali terdengar suara keras dan kepala beberapa orang busu pecah berantakan tersambar oleh penggada. Mayat-mayat para pengeroyok bertumpang tindih dan membanjiri ruangan itu. Juga pedang di tangan Hui Lian amat lihai. Sedikitnya ada enam orang pengeroyok yang roboh oleh pedang ini dan biarpun akibat dari pada serangan pedang ini tidak sehebat serangan penggada, namun yang roboh tak dapat bangun pula dengan tubuh utuh.

   Akhirnya Hui Lian dan Tang Hwesio hanya dikeroyok oleh enam orang busu yang kepandaiannya tinggi. Hui Lian keroyok dua sedangkan Tang Hwesio dikeroyok empat. Yang mengeroyok Hui Lian adalah busu yang memegang Lot gee-pang dan seorang kawannya yang juga sudah berusia lima puluh dan yang memegang siang-kiam (sepasang pedang). Kepandaian dua orang busu ini benar-benar hebat. Long-gee-pang itu gerakannya lambat namun membawa tenaga yang luar biasa kuatnya tanda bahwa pemegangnya seorang ahli lwekeh yang jempolan. Adapun siang-kiam di tangan orang ke dua amat cepat dan lincah gerakannya sehingga dalam diri dua orang pengeroyoknya ini. Hui Lian mendapatkan lawan seimbang dan baginya malah menggembirakan.

   Dengan ilmu pedang berdasarkan Pak-kek Sin-kiam-hwat, bepapun lihainya kedua lawan itu, dapat juga akhirnya pada jurus-jurus ke lima puluh lebih Hui Lian mendesak mereka. Ataukah kedua lawannya yang sengaja memmperlambat gerakan? Hui Lian merasa aneh karena entah mengapa setelah lima puluh jurus terlewat, kedua lawannya itu seakan-akan menjadi lemah dan ia tidak merasai tekanan lagi. Lebih aneh lagi ketika dua orang itu bertempur sambil mundur sehingga tak lama kemudian pertempuran terpecah menjadi dua rombongan yang jauh jaraknya. Setelah tertempur seru lagi beberapa jurus, tiba-tiba terdengar pemegang toya Long-gee-pang itu berkata perlahan.

   "Lihiap, kami berdua adalah orang-orang pejuang rakyat. Kau boleh melukai dan merobohkan kami berdua, kemudian kau dapat melarikan diri melalui pintu di belakang itu lalu melompn naik ke atas genteng. Kalau nanti kau dikejar-kejar, dan tidak ada jalan keluar dari kota raja, jalan yang paling aman larilah ke dalam istana sekali. Banyak kawan di sana. Lekas!"

   Hui Lian seketika menjadi bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Ia sejak tadi memang sudah melihat datangnya banyak sekali perwira-perwira busu dan maklum bahwa kalau para busu itu kepandaiannya setingkat dengan dua orang pengeroyoknya ini, akhirnya ia akan kehabisan tenaga dan tertawan juga. Kini mendengar omongan busu pemegang Long-gee-pang ini, pertama-tama menjadi bingung, akan tetapi melihat dia orang lawannya sengaja membuka pertahanan, Hui Lian cepat menggerakkan pedangnya dua kali dan pundak dua orang lawannya terluka ringan dan mengeluarkan darah. Akan tetapi dua orang ini memekik dan senjata mereka terlepas dari tangan lalu mereka merobohkan diri seakan-akan terluka hebat.

   Hui Lian tadinya hendak lari menurut jalan yang ditujukan oleh pemegang Long-gee-pang itu, akan tetapi ketika ia melirik ke depan, ia melihat Tang Hwesio sedang terdesak hebat. Tang Hwesio dikeroyok oleh empat orang. Tiga orang pengeroyoknya biarpun berkepandaian tinggi, namun masih di bawah tingkat hwesio itu, karena tingkat dua orang ini seimbang dengan tingkat dua orang pengeroyok Hui Lian. Akan tetapi orang ke empat adalah busu komandan yang tadi melayang turun dari atas genteng dan ternyata dia ini seorang hwesio pula, hwesio yang kepala gundulnya tertutup topi busu berbulu garuda dan yang kini sudah menjadi seorang panglima! Ilmu silat dari hwesio yang sudah malih rupa ini benar-benar lihai.

   Dia memegang toya pula dan ketika ia menyerang Tang Hwesio, hwesio tua ini kaget sekali karena maklum bahwa lawan ke empat ini tak boleh dipandang ringan. Apalagi setelah lawannya itu mainkan toya, ia mengenal Ilmu Toya Tat Mo Kun-hwat yang lihai dari Siauw lim-si. Baiknya Tang Hwesio adalah seorang tokoh besar yang berilmu tinggi, kalau tidak, kiranya tak kan lama ia dapat bertahan menghadapi keroyokan empat orang lawan yang berkepandaian tinggi ini.

   Ia melawan mati-matian dan biarpun dikeroyok empat oleh lawan-lawan yang tangguh, tetap saja penggada Hwesio masih berbahaya sekali. Ada seorang busu rendahan yang mencoba untuk menyerangnya dari belakang, akan tetapi kedua orang pembokong ini roboh dengan kepala pecah! Setelah itu tidak ada lagi lain busu, yang kepandaiannya belum tinggi betul berani coba-coba untuk menyerangnya.

   Akan tetapi Tang Hwesio adalah seorang hwesio yang sudah tua, tenaganya masih besar akan tetapi daya tahan dan keuletannya tidak seperti dulu-dulu lagi. Menghadapi empat orang pengeroyok yang amat tangguh dan yang sukar sekali dirobohkan, lambat - laun tenaga dan keuletannya berkurang dan ia mulai terdesak hebat. Bahkan dalam sebuah serangan yang bertubi-tubi dari empat lawannya, ia kurang cepat karena sudah lelah sekali sehingga toya di tangan komandan busu dengan keras mengenai pundak kirinya, menyebabkan tulang pundaknya patah!

   Pada saat itulah Hui Lian berhasil merobohkan dua orang pengeroyoknya dan selagi gadis ini hendak melarikan diri, ia melihat keadaan Tang Hwesio. Seketika itu juga lenyaplah niatnya untuk lari. Sambil berseru nyaring, gadis ini melompat dan dengan tepat sekali menangkis toya yang menyambar ke arah kepala Tang Hwesio.

   "Tang Lo-suhu, jangan khawatir, aku membantu!" teriak Hui Lian sambil memutar pedangnya dengan cepat menghadap empat orang lawan itu. Ilmu pedang dari gadis ini memang ilmu pedang pilihan, empat orang lawannya tidak berani memandang ringan.

   "Nona, hati-hati, mereka itu lihai kata Tang Hwesio yang timbul kembali semangat dan kegagahannya, dan biarpun lengan kirinya lumpuh, ia masih mengamuk dengan penggada di tangan kanannya. Lakunya seperti seekor harimau terluka dan dengan pukulan yang luar biasa hebatnya ia membuat golok di tangan seorang pengeroyok terlempar dan pemegangnya sendiri terpental karena dorongan penggada!

   Akan tetapi pada saat itu, di dalam pertempuran bertambah tiga orang lagi, busu yang kepandaiannya hampir setingkat dengan komandan bertoya! Dalam segebrakan saja, tahulah Tang Hwesio dan Hui Lian bahwa keadaan mereka berbahaya sekali.

   "Nona, kau larilah! Biar pinceng yang menahan mereka!" Tang Hwesio membentak keras sambil memutar penggadanya. Hwesio tua ini setelah melihat bahwa mereka berdua takkan dapat lolos berlaku nekat dan hendak mengorbankan diri agar memberi kesempatan kepada Hui Lian melarikan diri.

   Akan tetapi Hui Lian adalah keturunan orang gagah, ia seorang gadis yang tidak saja memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi juga memiliki watak yang gagah dan berbudi baik. Mana ia sudi meninggalkan kawan dalam keadaan bahaya niengancam?

   "Kita melawan terus, Tang-losuhu. Menang atau mati!" pedangnya diputar makin cepat dan seorang pengeroyok terjungkal dengan lengan terbabat putus sebatas siku.

   "Bodoh kita takkan menang! Jangan buang nyawa sia-sia.... lekas lari dan...!" kata-katanya terhenti dan tubuh Tang Hwesio terjengkang ke belakang. Toya di tangan lawannya yang paling tangguh telah memasuki dadanya. Tang Hwesio roboh terlentang dan tewas sebagai seorang gagah.

   Melihat Tang Hwesio tewas, baru Hui Lian ingat akan petunjuk dari busu bersenjata Long-gee-pang. Setelah kawannya binasa, memang tidak ada perlu membuang nyawa cuma-cuma. Ia harus dapat melarikan diri. Melawan sama dengan membunuh diri. Cepat ia melompat ke belakang dan ginkangnya yang sempurna membuat ia dapat mendahului para pengeroyoknya. Dengan ringan sekali ia melompat-lompat melalui pintu belakang hotel. Sekali ia mengerahkan tenaga, tubuhnya sudah melayang naik ke atas genteng.

   Tiba-tiba dari samping menyambar tiga sinar hitam. Hui Lian tidak mau menangkis dengan pedangnya karena takut mengeluarkan suara berisik, hanya mengelak dengan mudah saja. Tiga batang piauw menyambar lewat di dekat kepalanya. Gadis itu berlari terus. Para busu berteriak-teriak mengejarnya.

   Petunjuk dari busu yang mengaku sebagai mata-mata pejuang rakyat agar ia melarikan diri ke Istana. bagi Hui Lian masih meragukan. Bagaimana orang disuruh melarikan diri justeru ke Istana, dimana menjadi pusatnya para busu? Bukankah itu sama halnya dengan menyuruh domba memasuki gua harimau? Hui Lian bersangsi dan takut kalau-kalau itu hanya siasat saja dari musuh. Maka ia melarikan diri ke selatan, dengan maksud lari keluar pintu selatan kotaraja.

   Akan tetapi, para busu itu rata-rata memiliki kepandaian tinggi sehingga sebentar saja ada belasan orang busu yang sudah mengejarnya dengan kecepatan yang tidak kalah jauh olehnya! Baiknya waktu itu senja hari telah lewat dan keadaan udara sudah remang-remang, sehingga menguntungkan bagi Hui Lian. Gadis ini tidak mengambil jalan diatas rumah-rumah penduduk saja, kadang-kadang ia melompat turun dan berlari cepat diatas jalan, dan dijalan yang ramai ia melompat lagi keatas genteng.

   Akan tetapi, baru berlari dia li dari hotel itu, pada sebuah tikungan, ia melihat lima orang busu mencegatnya! Mereka ini bersenjata pedang dan serentak menyerang dan mengurungnya. Hui Lian menyambut serangan mereka dan setelah merobohkan seorang diantara mereka, ia lari lagi secepatnya. Akan tetapi, lagi-lagi dari kanan-kiri berdatangan busu yang mencegatnya, sehingga larinya terhalang dan para pengejarnya sudah mendekat.

   "Celaka," pikirnya.

   "di kota raja agaknya penuh dengan pasukan pengawal kaisar." Hui Lian mengamuk lagi, saking gemasnya ia sampai lupa akan lelehan dan kembali ia berhasil merobohkan dua orang lawan. Namun, pertempuran dengan para pencegat baru ini membuat ia kehilangan
(Lanjut ke Jilid 24)
Pedang Penakluk Iblis/Sin Kiam Hok Mo (Seri ke 02 - Serial Pendekar Budiman)
Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 24
waktu dan para pengejar yang semenjak tadi mengikutinya, telah tiba di situ dan sebentar saja Hui Lian sibuk melayani keroyokan belasan orang yang berilmu tinggi.

   la masih mencoba untuk mengamuk akan tetapi tenaganya tidak mengijinkan lagi dan lawan terlampau banyak. Sebuah pukulan ruyung mengenai lengan kanannya, membuat pedangnya terlepas di lain saat ia telah kena totokan yang lihai dari belakang sehingga nona gagah ini akhirnya roboh. Di lain saat ia telah dibelenggu kedua tangannya ke belakang dan di pergelangan kaki kanannya dipasangi rantai yang kuat. Biarpun tubuhnya terasa sakit-sakit namun sebentar saja Hui Lian sudah dapat membebaskan diri dari totokan dan bangkit berdiri. Ia sama sekali tidak sudi memperlihatkan muka menderita atau takut, berdiri tegak dengan gagahnya.

   "Aku telah kalah, mau bunuh boleh bunuh" katanya lantang.

   "Kau siluman wanita benar-benar membuat kami repot," kata komandan bekas hwesio yang memegang toya.

   "Hayo ikut kami ke istana, menghadap Hakim Istana."

   Akan tetapi pada saat itu, semua busu berdiri tegak memberi hormat dan memandang ke arah sebuah kendaraan yang ditarik oleh empat ekor kuda besar. Kendaraan itu indah sekali dan setibanya di tempat itu, pengendara menghentikan kudanya. Pintu kendaraan terbuka dan dua orang pemuda melompat keluar. Hui Lian yang semenjak tadi memandang ke arah kendaraan itu, hampir saja mengeluarkan teriakan kaget ketika melihat seorang di antara dua pemuda ini. Pemuda yang turun lebih dulu adalah seorang pemuda berbaju hijau yang berajah tampan dan bersikap gagah.

   Usianya paling banyak dua puluh lima tahun, alisnya tebal dan ia memegang sebatang tongkat pendek yang gagangnya diukir kepala ular. Bajunya yang hijau terbuat daripada kain sutera tipis yang berkibar ketika ia menuruni kendaraan sehingga ia benar-benar nampak gagah menarik. Akan tetapi pemuda kedua yang turun kemudian, bahkan melampaui pemuda pertama. Pemuda yang kedua ini lebih muda, kurang lebih dua puluh tiga tahun usianya, pakaiannya indah sekali, terbuat daripada sutera biru putih, dijahit dengan benang emas, wajahnya tampan sekali dan sikapnya halus. Melihat pemuda ini, Hui Lian benar-benar terkejut karena pemuda itu dikenalnya sebagai... Wan Sin Hong! Ketika pemuda ini turun, semua busu memberi hormat. Pemuda itu mengangkat tangan dan berkatalah ia dengan suaranya yang halus.

   "Ada terjadi ribut-ribut apa lagikah ini?"

   Kemudian busu bekas hwesio maju selangkah, memberi hormat dan memberi laporan singkat.

   "Seorang pemberontak memasuki kota raja dan membunuh banyak anggauta siwi. Akhirnya di sini berkat kerja sama, hamba sekalian dapat menawannya hidup-hidup."

   "Mana dia?" tanya pemuda tampan ini.

   "Inilah orangnya, Siauw-ongya." Kemudian bekas hwesio ini mendorong Hui Lian maju.

   Pemuda itu mengerutkan kening. Hui Lian memandang tajam, sinar matanya dingin sekali karena ia mengira bahwa pemuda itu tentulah Wan Sin Hong yang entah dengan cara bagaimana kini dia menduduki pangkat tinggi di kota raja. Akan tetapi, pemuda itu memandang kepadanya seperti orang baru bertemu muka kali ini, dan jelas nampak kekaguman membayang di matanya yang bagus dan agak kebiruan. Kemudian katanya kepada komandan busu itu.

   "Kalian ini kerjanya hanya bikin ribut saja dan mencari perkara. Bagaimana seorang nona muda seperti ini kalian katakan pemberontak? Coba ceritakan, bagaimana mula-mulanya" Nada suara yang tIdak senang itu membuat Si Komandan berubah air mukanya.

   "Ampun, Siauw-ongya. Gadis ini memang betul pemberontak. Dia puteri dari Hwa I Enghiong Go Ciang Le dan dia pernah mengadakan hubungan dengan Temu Cin!" Pemuda tampan itu menengok kepada Hui Lian, nampaknya terkejut dan heran, juga tertarik. Kemudian ia bertanya kepada Hui Lian dengan suara halus.

   "Nona, betulkah kau pernah mengadakan hubungan dengan Temu Cin? Sukakh kau menerangkan hal ini kepadaku?"

   Tadinya Hui Lian bersabar dan ingin sekali melihat apa yang akan dilakukan Wan Sin Hong karena ia dapat menduga bahwa pemuda ini pasti akan menolongnya, sungguhpun ia tidak terlalu menghapkan pertolongannya. Akan tetapi ketika mendengar pertanyaan itu, darahnya meluap. Sepasang matanya melotot dan in mendamprat,

   "Wan Sin Hong, jangan kau hendak membadut di depanku! Aku sudah tertangkap oleh tikus-tikus istana hendak di bunuh. Biar dibunuh, kau perduli apakah? akupun tidak mengharapkan pertolonganmu, tahu?"

   Pemuda itu membuka lebar-lebar kedua matanya, menengok ke kanan-kiri seakan-akan mencari orang yang didamprat oleh Hui Lian. Ketika tidak melihat ada orang lain, ia menudingkan telunjuknya kepada dadanya sendiri dan bertanya kepada Hui Lian, terlalu heran untuk dapat marah.

   "Eh, nona. Kau tadi mendamprat akukah?" Sebelum Hui Lian sempat menjawab karena nona inipun terheran melihat sikap pemuda itu yang kini memperlihatkan perbedaan menyolok dengan sikap Sin Hong yang jantan dan gagah, komandan bekas Hwesio sudah membetot rantai belenggunya dan membentak,

   "Setan perempuan, jangan kau kurang ajar! Kau berhadapan dengan Pangeran Muda Wanyen, apa kau sebut-sebut Wa Sin Hong?!" Saking marahnya dan dalam usahanya agar menyenangkan hati Pangeran itu, si komandan bekas Hwesio mengangkat tangan hendak menampar uka Hui Lian akan tetapi pemuda baju hijau itu berseru,

   "Jangan pukul dia!" Komandan itu bersikap hormat kepada Pangeran Wanyen, akan tetapi sama sekali tidak mengindahkan perintah pemuda baju hijau, maka iapun membalas dengan bentakan,

   "Kau siapakah?" Selagi dua orang ini saling pandang dengan marah, Pangeran Wanyen berkata kepada komandan itu,

   "Memang tak boleh memukul seorang wanita didepanku. Lebih baik kau ceritakan bagaimana mula-mula kau menangkap dia." Komandan itu melanjutkan ceritanya.

   "Dia bermalam di Hotel Thian Lok Likoan. Beberapa orang penyidik mendengar ia mengaku bernama Go Hui Lian puteri dari pemberontak Go Ciang Le. Hamba membawa anak buah datang ke Hotel hendak menangkapnya. Kebetulan sekali didalam kamarnya hamba melihat ada seorang mata-mata Mongol yang bertubuh kate. Ketika kami datang, mata-mata itu hendak lari, akan tetapi berhasil hamba tewaskan. Gadis liar ini tidak mau menyerah, melainkan melawan dan menewaskan banyak anak buah hamba. Akhirnya datang kawannya, seorang hwesio yang kosen dan yang dapat pula kami tewaskan itu telah dia membunuh banyak kawan hamba. Gadis ini sendiri baru dapat ditangkap di sini. Mohon petunjuk selanjutnya dari Siauw-ongya."

   "Kau lepaskan dia!" Perintah yang sama sekali tak pernah disangka-sangkanya ini membuat komandan itu dan semua busu mengangkat muka terheran-heran, juga penasaran. Gadis itu akhirnya dapat ditangkap dengan susah payah setelah mengorbankan dua puluh lebih anak buah pasukan, bagaimana sekarang disuruh melepaskan lagi?

   "Tapi... ampun, Siauw-ongya... tapi" dia pemberontak berbahaya dan... dan"."

   "Cukup omong kosong ini" Dia putri Go Ciang Le, bukan berarti dia pemberontak! Apa buktinya dia memberontak? Dia baik-baik melancong ke kota raja, tanpa kesalahan apa apa kau yang terlalu pintar ini sudah mencurigainya. Kemudian kau datang dengan gentong-gentong nasi itu hendak menangkapnya. Dia seorang gadis kang-ouw yang gagah, tentu saja tidak sudi ditangkap. Kemudian kalian mengeroyoknya dan dia melawan sampai ada beberapa orang gentong nasi tewas. Salah siapakah itu? Hm, kalau saja busu-busu istana tidak begitu goblok, menangkap-nangkapi orang tidak berdosa sebaliknya tidak becus menangkap penjahat-penjahat yang sesungguhnya "..!" Pangeran Wanyen menarik napas panjang kemudian perintahnya.

   "Lepaskan dia!"

   "Akan tetapi hamba... hamba tidak bertanggung jawab kalau dia mengamuk di kota raja. Siauw-ongya," kata komandan bekas hwesio itu ragu-ragu dan takut.

   "Siapa mendengar mulut busukmu? Aku yang menyuruh lepas, aku pula yang tangung jawab! kau ini siapakah berani membantah perintahku? Hm... benar benar tidak beres. Seorang komandan kecil saja sudah mulai berani menentangku."

   Komandan itu menjadi pucat dan cepat-cepat ia menjatuhkan diri berlutut.

   "Tidak sama sekali, Siauw-ongya. Mohon ampunkan dosa hamba. Baik, hamba mentaati perintah!" Ia buru-buru berdiri dan dengan tangan-tangan gemetar melepaskan ikatan tangan dan kaki Hui Lian.

   "Sekarang pergilah, bawa anak buahmu dan rawat mereka yang luka, urus yang sudah tewas. Selanjutnya, kalau tidak sudah nyata bukti-buktinya, kalian tidak boleh sembarangan menangkap-nangkapi orang." Komandan itu memberi hormat, lalu mengundurkan diri bersama anak buahnya sambil menundukkan kepala.

   Mereka semua berkecil hati karena tadinya mengharapkan pujian dan pahala, tidak tahunya bahkan mendapat celaan dan makian! Sementara itu, Hui Lian melihat semua peristiwa ini dengan hati tidak karuan. Sudah semenjak kecil ia didongengi ayah bundanya bahwa pemerintah Kin amat jahat, bahwa pembesar-pembesar Kin amat kejam sehingga telah timbul rasa benci di dalam hatinya terhadap Pemerintah Kin, dan karenanya dahulu ia bersimpati terhadap Temu Cin yang bermaksud menumbangkan Pemerintah Kin.

   Akan tetapi sikap pangeran muda bangsa Kin pangeran yang semuanya serupa benar dengan Wan Sin Hong, hanya warna matanya yang berbeda, membuat ia ragu-ragu. Mata Sin Hong tajam dan maniknya hitam arang, sedangkan mata pangeran ini tajam akan tetapi maniknya agak kebiruan. Alangkah jauh bedanya sikap pangeran ini dengan apa yang ia dengar dari ayah bundanya tentang kekejaman orang-orang bangsa Kin! Dengan jengah, terpaksa Hui Lian melangkah malu, menjura kepada pangeran Wanyen sambil berkata,

   "Aku tidak tahu apakah aku harus berterima kasih kepadamu, Siauw-ongya, karena pertolongan dan pembelaanmu, tadi benar-benar membuat aku tidak mengerti. Akan tetapi betapapun juga, aku harus minta maaf atas kekasaranku tadi, karena aku tadinya mengira Siauw ongya adalah seorang lain...."

   "Dengan Wan Sin Hong? Benar-benarkah dia seperti aku? Orang macam apakah dia? Aku ingin sekali bertemu dengan dia!" kata Pangeran itu dan pandang matanya terhadap Hui Lian membuat gadis ini menundukkan mukanya karena jelas sekali terpancar sinar kagum dan tertarik. Hui Lian tidak mau bicara lebih banyak tentang Wan Sin Hong, dan pada saat itu, pemuda baju hijau berkata, suaranya juga halus dan sopan.

   "Go-lihiap, kau menghaturkan terima kasih atau tidak bagi Pangeran Wanyen tidak ada bedanya. Ketahuilah bahwa Pangeran Wanyen adalah satu-satunya orang di kota raja yang boleh kau percaya penuh kemuliaan hatinya yang suka menolong siapa saja yang mengalami kesusahan."

   "Aah, Coa-sicu, kau ini bisa saja!". Pangeran itu mencela, kemudian berkata kepada Hui Lian.

   "Nona, dia itu berdusta. Sesungguhnya, dialah yang menolongmu. Kalau tidak ada dia yang datang kepadaku, yang menyatakan bahwa kau ini puteri seorang pendekar besar, menyatakan pula bahwa Ibumu adalah Sumoi dari pendekar wanita Thio Ling In isteri dari Pamanku Wanyen Kan, bagaimana aku bisa tahu dan bisa menolongmu? Dan pula, dialah orangnya yang akan mengantarmu keluar dari kota raja agar kau jangan sampai diganggu orang di sini. Maka kalau mau bicara tentang terima kasih, agaknya kepada dia lah kau harus berterima kasih. Nah, selamat jalan, Nona, mudah-mudahan kita dapat bertemu kembali dalam keadaan yang lebih baik. Coa-sicu, kauantar nona Go keluar dari kota raja dan setelah ia berada dalam keadaan aman betul baru kau kembali ke istanaku memberi laporan."

   "Baik Siauw-ongya," jawab pemuda she Coa itu, nampaknya gembira sekali. Pangeran Wanyen itu naik kembali ke dalam kendaraannya dan Hui Lian mengejar dengan ucapan.

   "Terima kasih banyak atas budi kebaikan Siauw-ongya." Pangeran muda itu menengok, tersenyum, lalu masuk ke dalam kendaraan dan menutup pintu kendaraan. Kemudian ia memberi perintah kepada pengendara dan kendaraan itu bergerak maju, ditarik oleh empat ekor kuda yang besar dan kuat.

   Pemuda baju hijau itu menjura kepada Hui Lian dan berkata perlahan.

   "Go lihiap, mari kita berjalan sambil bercakap-cakap. Tidak baik di sini, terlalu diperhatikan orang."

   Hui Lian maklum karena memang semenjak tadi, orang-orang menonton dari jauh, tidak berani mendekat Pangeran Wanyen yang di kota raja mempunyai kedudukan tinggi itu. Sambil berjalan pemuda baju hijau itu berkata, sikapnya ramah tamah dan sopan.

   "Go-lihiap, kau tentu bertanya-tanya di dalam hati siapakah aku ini maka aku berusaha untuk membantumu."

   "Memang aku merasa heran sekali dan juga tidak enak hati karena tidak mengenal siapa orang yang sudah berlaku baik kepadaku."

   "Aku yang rendah bernama Coa Hong Kin. Suhuku Cam-kauw Sin kai kenal baik dengan Ayahmu."

   Pedang Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ah, jadi kau murid Cam-kauw Sin-kai? Aku pernah bertemu dengan dia ketika dahulu mengunjungi rumah Ayah." Kata Hui Lian dengan girang karena ia tahu bahwa Cam-kauw Sin-kai adalah seorang pendekar tua yang disukai oleh ayahnya. Kini bertemu dengan muridnya, berarti bertemu dengan orang segolongan.

   Coa Hong Kin mengangguk.

   "Suhu juga banyak bicara dengan aku dan mendongeng tentang Ayah Bundamu, tentang kau dan tentang Sucimu yang bernama Gak Soan Li. Sudah lama sekali aku amat kagum terhadap keluarga Ayahmu. Oleh karena itu, tadi secara tidak mengaja aku mendengar tentang keributan di hotel, tentang seorang nona bernama Go Hui Lian puteri Go Ciang Le yang dikeroyok oleh para busu. Aku tahu apa artinya itu, dan tahu bahwa para busu di sini amat kuat dan berbahaya. Oleh karena itu, aku sengaja pergi mencari dan menarik tangan Pangeran Muda Wanyen untuk menolongmu."

   "Kalau begitu betul Pangeran Wanyen," kata Hui Lian sambil tersenyum "Agaknya aku berhutang terima kasih kepadamu, Saudara Coa."

   "Ah, tak perlu sungkan, Nona. Di antara kita, apakah artinya saling bantu? Aku pun di dunia kangouw entah sudah berapa ratus kali dibantu oleh kawan-kawan segolongan." Jawaban ini menyenangkan hati Hui Lian. Dalam diri Coa Hong Kin ia mendapatkan seorang pemuda yang tidak saja tampan dan gagah, juga amat jujur dan bersikap sederhana sungguhpun pakaiannya rapi dan bersih selalu.

   

   "Amat menarik hatiku untuk mengetahui bagaimana kau bisa kenal begitu baik dengan Pangeran itu, Saudara Coa," kata Hui Lian.

   Coa Hong Kin menghela napas panjang.

   "Aku pujikan kelak dia yang akan menjadi kaisar. Jika demikian halnya agaknya hidup ini akan banyak senang karena keadilan selalu dikemukakan oleh Kaisar. Dia itu banyak persamaannya dengan Wanyen Kan yang pernah kudengar sifat dan wataknya dari Suhu. Pangeran Wanyen ini bernama Ci Lun, atau panjangnya Wanyen Ci Lun. Dengan Wanyen Kan ia adalah keponakan karena ayahnya yang sudah meninggal adalah kakak dari Wanyen Kan. Seperti juga Wanyen Kan dahulu, Pangeran Wanyen Ci Lun ini tidak bersikap sombong dan suka bergaul dengan rakyat, bahkan amat menyukai kebudayaan rakyat jelata sehingga gerak geriknya tiada ubahnya seperti seorang Han terpelajar. Hanya bedanya, kalau Wanyen Kan dahulu seorang gagah perkasa yang tinggi ilmu silatnya, adalah Wanyen Ci Lun ini tidak pernah mempelajari ilmu silat, hanya ilmu keusasteraannya amat tinggi.

   Dia amat mengagumi orang-orang gagah dan banyak membaca cerita tentang orang-orang gagah. Maka tidak heran apabila ia mendengar permintaanku dan cepat-cepat pergi menolongmu. Aku kenal dengan Pangeran Wanyen Ci Lun ketika pada suatu hari ia menyamar sebagai penduduk desa dan keluar dari kota raja, kemudian hampir menjadi korban penjahat karena dikira seorang pemuda kaya raya hendak dirampok. Kebetulan aku melihatnya dan turun tangan mengusir para penjahat itu. Semenjak itu, sudah dua tahun yang lalu, kami bersahabat dan setiap kali aku datang di kota raja, aku pasti berkunjung dan bahkan menginap di gedungnya."

   Hui Lian mengangguk-angguk, bukan hanya untuk memuji dan menyatakan kagum kepada Pangeran Wanyen Ci Lun, akan tetapi diam-diam juga lenyap keheranannya tadi ketika melihat persamaan wajah pangeran itu dengan wajah Wan Sin Hong. Ia tahu bahwa Wan Sin Hong adalah putera Thio Ling In dan Wanyen Kan atau Wan Kan, maka antara Sin Hong dan Pangeran Wanyen Ci Lun masih ada pertalian darah, yakni saudara seketurunan Wanyen. Pada hakekatnya she Wanyen. Percakapan mereka tertunda ketika lima orang berpakaian penjaga menyetop mereka dan dengan suara angkuh bertanya,

   "Kalian siapa dan hendak ke mana? Beri keterangan jelas, kalau tidak terpaksa kami tahan" kata seorang di antara mereka.

   Hong Kin dan Hui Lian maklum bahwa karena peristiwa tadi maka di seluruh kota diadakan penjagaan ketat dan pemeriksaan. Coa Hong Kin dengan tenangnya mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya, mendekati kepala penjaga dan memperlihatkan benda itu. Kepala penjaga setelah melihat benda itu lalu berdiri tegak, memberi hormat dan berkata.

   "Taijin dan Toanio dipersilakan melanjutkan perjalanan""

   Hong Kin tersenyum dan membetot tangan Hui Lian untuk segera pergi. Setelah jauh dari tempat penjagaan, baru ingatlah pemuda itu bahwa ia masih memegangi tangan Hui Lian yang halus kulitnya, maka buru-buru ia melepaskan tangan itu dan wajahnya menjadi merah. Hui Lian sendiri karena tadi melihat perbuatan Hong Kin ini amat wajar dan disangkanya untuk mengelabuhi mata para penjaga tidak keberatan tangannya di betot, maka ia pun tidak merasa apa-apa.

   "Saudara Hong Kin, benda apakah yang begitu besar pengaruhnya, sehingga para penjaga itu nampak ketakutan? Mengapa pula kau disebut taijin, pangkat apakah yang kaupegang?"

   Hong Kin mengeluarkan benda itu dan memperlihatkannya kepada Hui Lian. Ternyata itu adalah sebuah kancing baju terbuat daripada emas yang diukir merupakan seekor liong melingkari huruf "WANYEN". Pemegang kancing ini berarti seorang kepercayaan dari Pangeran Wanyen Ci Lun, maka penjaga tadi menjadi takut dan tidak berani mengganggu.

   "Karena memegang kancing ini aku disangka pembesar dan disebut taijin, benar-benar lucu sekali." Hong Kin tertawa dan Hui Lian juga ikut tertawa. Diam diam Hui Lian merasa suka kepada pemuda baju hijau yang patut dijadikan sahabat yang baik dan menyenangkan.

   Beberapa kali mereka ditahan dan dperiksa, akan tetapi selalu kancing wasiat yang dibawa oleh Hong Kin membuka semua jalan dengan lancarnya. Bahkan ketika mereka menghadapi pintu gerbang tembok kota raja yang tertutup kancing itu pun cukup berkuasa untuk membukanya. Dengan lega mereka berdua berlari keluar dari pintu gerbang kota sebelah selatan.

   "Saudara Coa, kita sekarang harus lari ke mana?" tanya Hui Lian yang tidak mengenal daerah ini.

   "Aku mempunyai kenalan baik, Nona, yakni seorang hwesio yang bernama Hoan Ki Hosiang di kelenteng Kwan te-bio tak jauh dari sini, di luar sebuah kampung. Mari kita pergi dan bermalam di sana. Besok kau baru dapat melanjutkan perjalananmu dan aku harus kembali ke istana." Kalimat terakhir ini keluar dari mulut Hong Kin dengan nada kecewa.

   Memang pemuda ini merasa amat kecewa harus sudah meninggalkan Hui Lian pada esok hari. Biarpun baru saja bertemu dan berkenalan dengan Hui Lian, namun ia amat tertarik dan diam-diam ia telah jatuh hati kepada gadis perkasa ini. Mereka berjalan terus menuju ke kelenteng yang dimaksudkan oleh Hong Kin sambil bercakap-cakap.

   "Saudara Hong Kin, sudah lamakah kau berada di kota raja?" tiba tiba Hui Lian bertanya.

   "Sudah beberapa bulan, ada apakah?"

   "Pernahkah kau mendengar tentang Ayah Bundaku di kota raja? Sebetulnya aku sedang mencari mereka dan kukira tadinya bahwa mereka pergi ke kota raja."

   "Orang-orang besar seperti Ayah Bundamu kalau tiba di kota raja siapakah yang takkan tahu? Tidak, Nona. Ayah Bundamu pasti tidak ada di kota raja. Baru kau saja yang datang semua orang sudah mengetahui, apalagi kalau yang datang Ayah Bundamu, pasti timbul kegemparan hebat." Hong Kin berhenti sebentar, kemudian dia teringat akan penuturan komandan busu di depan Pangeran Wanyen, maka ia lalu bertanya,

   "Nona, tentang orang Mongol kate yang dikatakan berada dikamarmu, bagaimanakah persoalannya? Setelah kita menjadi sahabat, kiranya tidak berhalangan kalau aku bertanya tentang ini kepadamu."

   "Tentu saja, tidak ada rahasia apa-apa, dan juga dengan orang aneh itu." Hui Lian lalu menuturkan sejujurnya tentang semua yang ia alami di hotel Thian Lok Likoan, bahkan ia menuturkan pula tentang dua orang busu yang mengaku sebagai pejuang rakyat dan yang telah menolongnya pula. Ia menuturkannya dengan kata-kata menyatakan herannya.

   "Saudara Hong Kin, baru sehari saja di kota raja aku merasa seperti berada dalam mimpi, berada dalam sebuah tempat yang penuh rahasia dan aneh sekali. Ada mata-mata Mongol, lalu ada busu yang mengaku pejuang rakyat dan membelaku, ada komandan busu gundul dan kemudian muncul orang seperti Pangeran Wanyen yang menolong orang yang dianggap pemberontak, kemudian, aku bertemu pula dengan orang seperti kau ini. Apakah sih artinya semua rahasia di kota raja?"

   Hong Kin tersenyum.

   "Memang membingungkan bagi yang tidak tahu, Nona. Keadaan di kota raja memang rusuh dan menggelisahkan. Memang pada saat ini ada tiga macam pengaruh saling bertentangan di kota raja, bahkan lebih dari tiga karena masing-masing pengaruh terpecah pula menjadi dua golongan. Pertama adalah pengaruh dari Pemerintah Kin sendiri, yakni kaisar yang didukung oleh para pangeran dan mempergunakan pasukan busu yang amat besar untuk melindungi keselamatan keluarga Kaisar. Akan tetapi pihak ini sendiri boleh dibilang terpecah dua karena ada golongan yang mempunyai cita-cita sendiri, yaitu hendak bekerja sama dengan rakyat. Kau tentu dapat menduga bahwa Pangeran Wanyen Ci Lun termasuk golongan ke dua ini. Dia tidak anti Kaisar hanya tidak setuju akan cara kerja Kaisar, tidak mau menindas rakyat bahkan hendak mengambil hati rakyat untuk diajak memperkuat negara!"

   Hui Lian mengangguk-angguk.

   "Sifat yang amat baik. Aku pernah mendengar cerita Ayah tentang Wanyen Kan, demikian sifat pangeran itu dahulu."

   Hong Kin melanjutkan penuturannya.

   "Adapun pengaruh ke dua adalah pengaruh dan bangsa Mongol yang dipimpin oleh Temu Cin, dan pada waktu ini di kota raja banyak sekali pengikutnya, menyamar sebagai pedagang dan penduduk biasa, bahkan ada yang menyamar sebagai busu, Mata-matanya, tersebar luas dan orang kate yang kaulihat itu adalah seorang di antara mata-matanya. Karena kau pernah ke utara dan bertemu dengan Temu Cin, mendapat penghargaan pemimpin Mongol itu seperi yang kauceritakan tadi. Maka tentu saja mata-mata Mongol menaruh hormat dan suka membelamu."

   "Temu Cin memang lihai sekali, dia patut menjadi pemimpin besar." Hui Lian memberi komentar.

   "Kedudukan Pemerintah Kin tentu terancam oleh munculnya pemimpin ini."

   "Memang demikianlah." Hong Kin membenarkan.

   "Kemudian pengaruh yang ketiga, yakni terdiri daripada penyelidik-penyelidik dan mata-mata para pejuang rakyat yang semenjak dahulu tiada hentinya mengadakan pemberontakan menentang kekuasaan Pemerintah Kin Dan pengaruh inilah yang terpecah- pecah, sebagian adalah yang bercita cita sendiri menggulingkan kekuasaan Pemerintah Kin, ada pula yang hendak bersekongkol dengan orang-orang Mongol dalam menentang Pemerintah Kin, ada pula yang sebaliknya, yakni mau bersekongkol dengan Pemerintah Kin untuk menentang ancaman orang-orang Mongol.Pendeknya, di kota raja terjadi pertentangan-pertentangan yang ruwet dan yang amat merugikan saja."

   "Hm, memang enak sekali bagi orang- orang jahat untuk memancing di air keruh," kata Hui Lian.

   Hong Kin memandang kagum.

   "Ternyata kau cerdik sekali dan mengerti hal yang demikian ruwetnya dengan menangkap inti sarinya. Memang demikianlah Nona. Pertentangan-pertentangan yang ruwet itu dijadikan kesempatan luas sekali oleh orang-orang bermoral bejat untuk menggaruk keuntungan sebesar-besarnya, mengadu domba sana sini dan memeras mereka yang lemah."

   Sementara itu, bulan telah muncul tinggi. Kebetulan sekali bulan purnama, maka keadaan menjadi indah menimbulkan kegembiraan, dan hawanya sejuk sekali.

   "Mari kita mempercepat perjalanan. Kelenteng Kwan-te-bio sudah dekat. Paling jauh lima li lagi," kata Hong Kin.

   "Ssst, ada suara derap banyak kuda dari belakang!" Hui Lian berkata, Hong Kin yang kalah tajam pendengarannya, menghentikan tandakan kakinya. Setelah menyatukan perhatiannya, ia pun mendengar pula derap kaki kuda itu, bahkan telinganya yang sudah berpengalaman dapat menduga bahwa yang datang itu sedikitnya ada dua puluh ekor kuda.

   "Celaka, kita dikejar juga!" katanya.

   "Lebih baik kita lari sebelum tersusul."

   Hui Lian menggelengkan kepalanya.

   "Apa gunanya? Kalau betul mereka yang mengejar, biarpun kita lari akhirnya akan tersusul juga. Bagaimana kita dapat mengadu kekuatan berlari dengan kuda pilihan? Tidak, Saudara Coa. Lebih baik kita melanjutkan perjalanan seperti tadi. Kalau sampai tersusul dan mereka menyerang, kita lawan sedapatnya. Dan lagi, belum tentu mereka itu adalah para busu yang mengejar kita."

   

Memburu Iblis Eps 27 Pendekar Budiman Eps 3 Memburu Iblis Eps 22

Cari Blog Ini