Tangan Geledek 7
Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo Bagian 7
Tiga orang kakek ini sampai terheran-heran melihat kemajuan yang luar biasa dari murid mereka. Mereka hanya merasa heran dan gembira, sama sekali tidak mengira bahwa kemajuan Tiang Bu itu sebagian besar berkat latihan-latihannya di waktu malam di dalam kamarnya!
Tiang Bu merasa menyesal sekali bahwa kamarnya tidak cukup luas untuk berlatih Pat-hong-hong-i, karena pukulan-pukulan dari ilmu silat ini mengandung hawa pukulan yang menderu sehingga kalau ia berlatih terlalu cepat dan terlalu mengerahkan tenaga, suara hawa pukulan itu akan terdengar oleh ketiga suhunya. Alangkah senangnya kalau ia dapat berlatih di luar, di udara terbuka, pikirnya.
Akhirnya kesempatan itu tiba. Pak-kek Sam-kui mulai melakukan tugas-tugas baru, membantu pasukan-pasukan menggempur suku-suku bangsa yang belum mau taluk di daerah perbatasan selatan dan barat.
Pengaruh bala tentara Mongol mulai berkembang dan membesar. Temu Cin mulai memperluas wilayahnya ke barat menyerbu daerah Sin-kiang dan ke selatan menalukkan suku-suku bangsa perantau, memaksa mereka menggabung dengan bala tentaranya. Bahkan ia mulai mendesak kedudukan orang-orang bermata biru di utara!
Kesempatan selagi guru-gurunya tidak ada, dipergunakan oleh Tiang Bu sebaik-baiknya. Biarpun para pelayan memper-lakukannya dengan baik dan hormat meng-ingat bahwa anak ini murid dari Pak-kek Sam-kui, namun Tiang Bu tidak be-rani berlatih silat di dekat rumah itu. la sengaja keluar dari rumah, bahkan keluar dari perkampungan dan berlatih silat dl dalam sebuah hutan yang sunyL Di dalam hutan ini ia boleh berlatih sesuka hati-nya. la bersilat Sam-hoan Sam-bu sehingga ketangkasannya yang dulu kembali setelah ia latihan beberapa kali.
Juga Ilmu Silat Pat-hong-hong-i yang dilatihnya makin maju saja. la merasa tubuhnya ringan dan kedua tangannya mengeluarkan angin pukulan kalau ia mainkan Pat-hong-hong-i. Sampai sehari penuh ia melatih di dalam hutan ini, bahkan kadang-kadang ia datang di situ pada malam hari secara diam-diam kalau para pelayan sudah tidur pulas. Kalau ia lelah, ia duduk di atas batu karang dan melamun. Di samping keg;irangannya melihat kemajuannya sendiri, kadang-kadang ia juga merasa sedih. la tidak kerasan tinggal di daerah utara yang amat dingin ini. Dan celakanya tiga orang gurunya sama sekali tidak mau mempedulikannya sehingga pakaiannya tak pernah diganti, niasih tetap compang-camping.
Bahkan baju yang dipakainya itu kini sudah tidak berlengan lagi, atau hanya berlengan setengah. Terpaksa ia potong sebatas Siku dan potongannya dipergunakan untuk menambali bagian-bagian yang sudah robek dan berlubang. akan tetapi kepada siapa ia harus mengeluh? Tiga orang gurunya memang manusia-manusia aneh. Mereka menduduki pangkat-pangkat besar, kaya raya dan hidupnya mewah, namun pakaian ketiga orang gurunya itu pun hampir tak perhah diganti!
Biarlah, pikirnya menghibur hati sen-diri. Aku mendapat makan cukup, ini saja sudah baik sekali. Kelak kalau ada kekuatan, aku harus segera minggat dari tempat ini. Dengan pikiran seperti ini Tiang Bu dapat menahan hidup di.utara sampai dua tahun lebih. la masih belum berani melarikan diri oleh karena maklum akan luasnya pengaruh bangsa Mongol dan bahwa Temu Cin mempunyai I banyak sekali kaki tangan di mana-mana. Kalau ia harus pergi, pergi ke manakah?, Pergi ke selatan tentu akan dapat dikejar oleh tiga orang gmpJnya, karena kepandaiannya sendiri masih jauh untuk dapat dipergunakan meruaga diri dalam tempat berbahaya itu.
Ketika itu Pak-kek Sam-kui melalkukan tugas penting sampai dua bulan lebih. Tiang Bu menjadi senang sekali dan waktu yang dua bulan lebih itu ia pergunakan untuk melatih Pat-hong-hong-i dan Sam-hoan Sam-bu sebaik-baiknya, sehingga boleh dibiiang siang malam ia berada di dalam hutan itu. Memang ia memiliki bakat yang baik sekali, pula otaknya memang cerdas maka ia kici telah dapat memainkan dua macam ilmu silat tinggi ini secara cukup baik.
(Lanjut ke Jilid 07)
Tangan Geledek/Pek Lui Eng (Seri ke 03 -Serial Pendekar Budiman)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 07
Dia sama sekali tidak tahu bahwa sejak ia datang, kurang lebih dua bulan kemudian, Panglima Besar Thian-te Bu-tek Taihiap Liok Kong Ji telah berangkat ke selatan, sesuai dengan siasat Temu Cin, yaitu mengumpulkan bala bantuan di selatan dan kalau mungkin menghancurkan kekuatan-kekuatan yang menentang-nya di daerah Cin. Semenjak pertemuan pertama itu, Tiang Bu sudah lupa lagi akan panglima itu. Kalau saja ia tahu bahwa orang itu bukan lain adalah ayah-nya sendiri! Akan tetapi ia tidak tahu, tak seorang pun tahu. Juga Kong Ji sendiri tidak tahu. Di dalam dunia ini kiranya hanya tiga orang yang tahu betul akan hal itu, mereka adalah Wan Sin i Hong, Go Hui Lian dan Coa Hong Kin.
Pada hari itu seperti biasa Tiang Bu pagi-pagi sudah pergi ke hutan dan di tempat biasa ia mulai berlatih Ilmu Silat Pat-hong-hong-i. Angin pukulan yang ke-luar dari kedua tangannya menderu-deru mengeluarkan suara. Benar-benar luar biasa ilmu silat ini dan lebih luar biasa lagi adalah anak itu yang dalam usia sembilan tahun sudah dapat bersilat se-perti itu baiknya. Saking asyiknya Tiang Bu berlatih ia sama sekali tidak tahu bahwa Pak-kek Sam-kui sudah berdiri tak jauh dari situ, memandang dengan mata bersinar marah sekali!
"Setan cilik! Kau telah menipu dar menghina kami! Kau harus mampus!" seru Liok-te Mo-ko Ang Bouw dengan marah sekali.
Tiang Bu menjadi pucat ketika ia menghentikan gerakan kaki tangannya dan menoleh kepada mereka. Akan tetapi ia dapat menetapkan hatinya dan me-nanti dengan tenang apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Bangsat rendah, ilmu sllat apa yang kau latih tadi?" tanya Giam-lo-ong Ci Kui dengan suara menggeledek.
Tiang Bu maklum bahwa membohong takkan ada gunanya setelah mereka itu menyaksikan dengan mata sendiri. la berlutut sambil berkata.
"Teecu berlatih Ilmu Silat Pat-hong-hong-i."
"Dari siapa kau belajar ilmu setan itu?" tanya pula Ci Kui, agak tertegur melihat muridnya bicara demikian terus terang.
"Dari...... dari sebuah kitab di bawah petunjuk mendiang Bu Hok Lokai."
Kembali tiga orang kakek itu melengak. Jadi orang jembel yang mati di pinggir jalan itu adalah Bu Hok Lokai dan menjadi guru Tiang Bu? Benar-benar mereka tidak pernah menyangkanya.
"Apalagi yang kaupelajari dari jembel itu selain ilmu tadi dan mengemis?" Ci Kui bertanya, suaranya mengandung ejekan.
"Teecu diberi pelajaran ilmu Silat Sam-hoan Sam-bu....."
Baru saja ia bicara sampai di sini, Liok-te Mo-ko Ang Bouw sudah tak dapat menahan sabar lagi.
"Bagus, coba kita lihat sampai di mana lihainya dua ilmu silat itu!" Sambil berkata demikian ia melompat maju me-nerkam Tiang Bu dengan buasnya!
Tiang Bu terkejut sekali. la maklum bahwa ia berada daiam bahaya besar karena ia sudah mengenal baik watak tiga orang gurunya ini. Cepat ia meng-gerakkan kakinya, melesat ke belakang dan di lain saat ia telah dapat mwigelak beberapa serangan Ang Bouw yang bertubi-tubi dengan mempergunakan gerakan Pat-hong-hong-i yang tadi dilatihnya.
"Setan alas! Dia dapat mengelak!" seru Sin-saikong Ang Louw yang segera maju pula menyerbu.
"Biar aku yang membunuh setan ini!"
"Tidak, aku yang harus merobohkannya," kata Ci Kui yang maju pula me-nyerang. Di lain saat Tiang Bu sudahg diserbu oleh tiga orang suhunya!
"Celaka....." anak ini mengeluh, menghadapi seorang saja ia tahu bahwa akhirnya akan terpukul binasa, apalagi ketiga-tiganya maju bersama. Namun ia tidak putus asa dan cepat mainkan Pat-hong hong-i sebaik-baiknya. Untung baginya bahwa karena memandang rendah, tiga orang kakek itu tidak mempergunakan ilmu silat lain dan menggunakan Ilmul Silat Hui-houw-tong-te untuk menyerangnya. Mungkin Pak-kek Sam-kui merasa malu kalau mengghinakan ilmu silat lain yang belum dikenal Tiang Bu. Hui-houw" tong-te sudah dipelajari oleh Tiang Bu secara baik-baik, maka sudah cukup adil kiranya kalau mereka juga menggunakan ilmu ini untuk menyerang. Sama sekali mereka lupa bahwa tiga orang kakek yang sudah kenamaan di dunia kang-ouw mengeroyok seorang bocah ber-usia sembilan-sepuluh tahun, benar-benar merupakan hal yang menggelikan dan menjemukan. Akan tetapi Pak-kek Sam-kui bukanlah orang-orang biasa, mereka berwatak jahat dan aneh dan segala niat di dalam hati mereka lakukan tanpa mempedulikan anggapan orang lain.
Melihat datangnya serangan dari tiga jurusan Tiang Bu yang cerdik lalu mengubah gerakannya dan mainkan ilmu meng-elak Sam-hoan Sam-bu. Ilmu ini lebih tepat untuk menghadapi keroyokan tiga orang, apalagi karena dengan ilmu ini perhatiannya seluruhnya dipusatkan untuk menghindarkan diri dari serangan, sama sekali tidak ada jurus menyerang.
Pak-kek Sam-kui benar-benar merasa penasaran sekali. Bocah itu gerakannya lincah melebihi burung walet, gesit me-lebih kera. Dipukul sana melesat ke sini, dicegat sini menerobos sana, benar-benar sukar ditangkap atau dipukul. Gerakan kaki yang iiga langkah berubah dan ta-ngannya yang bergerak ke sana ke mari seperti menari itu benar-benar sukar di-ikuti. Sampai dua puluh jurus Tiang Bu selalu dapat menyelamatkan diri. Akan tetapi ia mulai lelah dan langkah-langkahnya mulai dikenal oleh i Pak-kek Sam-kui. Sekali bergerak, Pak-kek Sam-kui sudah mengambil kedudukan yang mencegat dan mematikan ttiga langkah-nya, Tiang Bu terjepit dan sekali pukul ia akan mati.
"Pak-kek Sam-kui tak tahu malu! Pergi kalian!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan sebatang tongkat panjang dengan ukiran kepala naga berkelebat menyambar ke arah tiga orang itu dengan hebat sekali. Sambaran toihgkat ini benar hebat, menyambarnya ke arah kepala Pak-kek Sam-kui jadi melewati atas kepala Tiang Bu. Tongkat itu sekaligus menyerang tiga orang pengurung Tiang Bu tanpa membahayakan bocah itu sendiri.
Pak-kek Sam-kui kaget sekali dan tidak berani menangkis sambaran tongkat yang angin pukulannya panas ini. Mereka cepat nnelompat mundur dan ketika mereka memandang, ternyata yang berdiri di depan mereka adalah seorang hwesio gundul tinggi besar dengan jubah merah dan tongkat kepala naga yang panjang. Pendeta Lama baju merah dari Tibet.
"Thai Gu Cinjin.....!" Giam-lo-ong Ci Kui berseru kaget. Tak disangkanya sama sekali pendeta Lama ini bisa berkeliaran sampai di sini! "Kau datang ke Mongol ada keperluan apakah?"
Seperti diketahui, Thai Gu Cinjin ini adalah hwesio Lama dari Tibet yang telah berhasil mencuri sebuah kitab dari Gunung Omei-san. Di bagian depan telah diceritakan bahwa karena takut dirampas oleh Ang-jiu Mo-li, Thai Gu Cinjin ini menitipkan kitab curiannya kepada Tiang Bu dan kemudian setelah Ang-jiu Mo-li gagal mendapatkan kitab di tangannya, ia pun gagal mendapatkan bocah yang dititipi kitab itu! Kemudian setelah mencari sekian lama tanpa hasil, ia mendengar bahwa bocah itu adalah murid Pak-kek Sam-kui, maka bergegas ia pergi ke Mongol untuk mencari Pak-kek Sam-kui. Kebetulan sekali ia mendengarkan percakapan antara Pak-kek Sam-kui dah Tiang Bu, dan melihat betapa bocah itu terancam bahaya maut.
Kalau saja ia sudah mendapatkan kitabnya kembali, kiranya ia takkan pe-duli apakah Pak-kek Sam-kui hendak memecah dada atau kepala bocah itu" Akan tetapi ia harus mendapatkan kitab-nya lebih dulu, maka cepat ia mencegah, Pak-kek Sam-kui membunuh Tiang Bu.
"Pak-kek Sam-kui, kalau tidak ada urusan penting untuk apa pinceng jauh-jauh datang ke tempat buruk ini Seperti kalian ketahui, pinceng kehilangan kitab pelajaran ilmu silat yang dulu pin-ceng titipkan kepada Setan Cilik ini. Setelah pinceng mendapatkan kembali kitab itu, kalian mau bunuh dia boleh bunuh, pinceng tidak ada urusan lagi." Kemudian tanpa menghiraukan Pak-kek Sann-kui lagi, Thai Gu Cinjin melangkah maju menghadapi Tiang Bu dan membentak.
"Anak setan, mana kitab yang kutitipkan padamu dulu?"
Diam-diam Tiang Bu mengeluh akan nasibnya yang benar-benar buruk. Baru saja terlepas dari tangan Pak-kek Sam-kui, ternyata yang menolongnya adalah hwesio yang ia bawa lari kitabnya dan yang tentu marah sekali kepadanya. Ini sama halnya dengan terlepas dari mulut harimau jatuh di mulut naga Akan tetapi sudah kepalang. la maklum takkan " dapat hidup lebih iama lagi, maka tim-bul keberaniannya yang luar biasa.
"Losuhu, kitab itu sudah teecu bakar"."
Muka Thai Gu Cinjin yang berwarna ungu itu berubah hijau. Tongkat kepala naga di tangannya menggigil, agaknya hendak dijatuhkan ke atas kepala Tiang Bu. Kalau hal ini terjadi, tentu kepala bocah itu akan remuk seperti telur ayam dipukul dengan batu.
"Anak setan! Jangan kau membohong. Tadi pinceng lihat ilmu silatmu Pat-hong-hong-i dari kitab itu cukup baik. Dari mana kau belajar kalau tidak dari.
"kitab itu? Mana sekarang kitabnya?"
"Teecu katakan sudah teecu bakar. Tentu saja teecu belajar dari kitab itu. Setelah isinya teecu pindahkan ke dalam otak, lalu kitab itu teecu bakar."
"Jadi kau hafal semua isi kitab itu?" tanya Thai Gu Cinjin terheran.
Tiang Bu mengangguk.
"Hafal di luar kepala segala teori dan gerakannya." Sengaja Tiang Bu menyombong karena melihat lubang jarum untuk lolos. Barangkali hal ini yang akan menyambung nyawaku pikirnya.
Betul saja dugaan bocah cerdik ini. Sekali menggerakkan tangan kiri, Thai Gu Cinjin sudah menyambar tubuhnya dan dikempitnya demikian kuat sehingga Tiang Bu khawatir dadanya akan pecah.
"Pak-kek Sam-kui, bocah ini kubawa. Setelah isi kitab kuperas keluar dari kepalanya, pinceng akan mewakili kalian mencabut nyawanya."
Pak-kek Sam-kui tak beram membantah. Mereka maklum bahwa pendeta Lama ini kepandaiannya lebih tinggi daripada mereka sehingga kalau terjadi pertempuran, kiranya mereka akan kalah. Dari lagi apa sih gunanya bertempur?
Mereka tidak sudi menjadi guru-guru Tiang Bu lagi dan akan lebih baik kalau anak itu dibawa dan juga kaiau mereka yang membunuh, mereka takut kelak dibunuh oleh Thai Gu Cinjln. Betapapun juga akan pembalasan yang mungkin da-r tang dari fihak Wan Sin Hong!
"Sesukamulah, Thai Gu Cinjin. Kami tidak membutuhkan bocah ini. Sebaiknya kalau bocah ini dibunuh karena kelak ia hanya akan mendatangkan malapetaka saja." kata Ci Kui.
Thai Gu CinJin hanya tersenyum dan mengeluarkan suara ketawa menghina seakan-akan mentertawakan nasihat Ci Kui ini, kemudian dengan gerakan yang amat cepat ia berlari keluar daii hutan menpju ke selatan. Untuk kesekian kali-nya; Tiang Bu terjatuh ke dalam tangan seorang sakti lain lagi yang akan meng-ubah seluruh keadaan hidupnya selanjutnya.
Mari kita menengok keadaan Wan Sin Hong dan Siok Li Hwa yang sudah terlalu lama kita tinggalkan. Telah diceritakan betapa tulang paha dari Hui-eng Niocu Siok Li Hwa parah terkena ledakan senjata rahasia dari serdadu-serdadu Mongol, kemudian Sin Hong terpaksa sekali menolong dan merawatnya karena kalau ia tidak mau, gadis itu pun tidak mau dirawat orang lain dan rela mati terlantar di dalam hutan!
Wan Sin Hong yang dapat mengenal watak orang rriaklum bahwa gadis seperti Li Hwa ini tidak takut mati dan akan membuktikan apa yang dikatakannya. Oleh karena itu, juga karena ia memang kasihan dan suka kepada dara liar ini, ia memondong tubuh Li Hwa yang terluka, membawanya ke dalam sebuah goa yang menjadi tempat tinggal sementara karena Li Hwa tidak boleh kembali ke Hui-eng-pai kalau membawa laki-laki. la merawat paha yang pecah tulangnya itu sehingga Li Hwa yang mencinta Sin Hong dengan seluruh jiwa raganya merasa amat bahagia! Memang lucu sekali. Alangkah mudahnya bahagia datang bagi orang yang dimabuk cinta!
Setelah berbulan-bulan hidup di dekat Siok Li Hwa, Sin Hong mendapat kenyataan bahwa gadis yang nampaknya liar dan keras ini, sesungguhnya mempunyai watak yang baik sekali dan berhati emas. Selain Li Hwa amat mencintanya, juga gerak-gerik gadis itu makin meresap mencocoki seleranya, kelihatan manis, menarik dan menawan hati.
Heran dia! Mungkinkah dia mencinta Li Hwa? Atau mungkinkah cinta kasih gadis itu kepadanya yang amat mendalam mem-bawa pengaruh dan "menular" kepadanya? Sin Hong menjadi bingung kaiau perasaan cinta kasih terhadap Li Hwa merangsang di hatinya. la berpikir-pikir. Dulu aku mencinta Gak Soan Li, lalu aku merasa bah-wa yang kucinta Go Hui Lian. Sekarang..... aku mencinta Siok Li Hwa! Begini mudah berubahkah hatiku? Begini mu-rah dan palsukah cintaku? Aku tak boleh tergesa-gesa. Harus kubuktikan lebih dulu apakah perasaanku kali ini betul-betul murni. Sudah dua kali aku mecinta orang dan selalu gagal merangkai cinta kasih menjadi sebuah pernikahan yang membahagiakan. Kali ini aku tak boleh gagal lagi dan tidak boleh sembarangan mengaku cinta sebelum aku tahu pasti bahwa perasaan yang timbul ini murni!
Selagi ia melamun itu, dari dalam goa keluarlah Siok Li Hwa, jalannya masih perlahan akan tetapi tidak terasa sakit lagi.
"Sin Hong, sepagi ini kau sudah melamun. Memikirkan apa sih?" Tegur dara itu dengan suara manis.
Sin Hong terkejut mendengar suara orang yang sedang menjadi buah lamunannya itu. la berpaling dan matanya bersinar melihat Li Hwa keluar dari goa. Pakaiannya kumal, rambutnya awut-awutan dan matanya masih mengantuk Akan tetapi nampak cantik dalam pandang matanya, kecantikan aseli. Sin Hong menekan kekaguman hatinya dan membelokkan perhatian gadis itu dengan tegurannya.
"Kau sudah tidak pincang lagi, Li Hwa. Akan tetapi hati-hati, jangan terlalu cepat berjalan! Dan kau bangun terlalu siang. Makin pagi makin baik merendam pahamu di telaga. Hayo ku-antar ke sand cepat-cepat, jangan "am-pai matahari keburu keluar!"
Li Hwa nnemandang kepada. pemuda itu dengan mata bersinar dan wajahnya yang sayu berseri. la menjura dan meng-angkat kediia tangan ke dada dengan sikap menghormat sekali,!alu berkata nadanya menggoda.
"Baiklah, Tuan Perawat. Hamba akan mentaati segala perintah Tuan." Setelah berkata demikian gadis ini hendak lari ke telaga yang tak jauh dari situ letaknya.
"Bandel......!" Sin Hong mendamprat dan di lain saat gadis itu sudah dipon-dongnya dan dibawanya lari ke telaga seperti yang setiap hari ia lakukan se-belum Li Hwa kuat berjalan.
Li Hwa menyandarkan kepalanya di dada Sin Hong sambii memejamkan ma-tanya. Terasa enak dan nyaman dalam pondongan tangan yang kuat itu, seperti anak kecil dipondong ibunya, terayun-ayun dan penuh perasaan aman.
"Sin Hong, sudah seminggu lebih kau tidak memondongku. Aku sengaja keluar agak siang supaya kau khawatir aku terlambat merendam kakiku....." .
"
"Hemmmmm, kau memang bengal sekali. Jadi kau sengaja bangun siang dan memperlambat pergi merendam kaki ke telaga hanya agar aku memondongmu ke sini?"
"Habis, aku rindu akan pondonganmu sih!" jawabnya manja dan genit.
Sin Hong menurunkan Li Hwa di ping-gir telaga di atas sebuah batu yang ber-ada di pinggir telaga sehingga dengan duduk di atas batu itu Li Hwa dapat me-rendam kakinya dan dapat pula mandi seperti yang biasa ia lakukan apabila oada pagi hari merendam kaki.
"Mandilah, aku hendak pulang dulu," kata Sin Hong. Kata-kata "pulang" ini memang sudah biasa mereka katakan kalau mereka bermaksud kembali ke dalam goa besar yang seakan-akan sudah menjadi rumah tinggal mereka. Setelah berkata demikian, Sin Hong membalikkan tubuh hendak meninggalkan tempat itu agar Li Hwa dapat mandi dan merendah kaki dengan leluasa.
"Sin Hong, jangan tinggalkan aku.....!"
"Eh, eh, kau seperti anak kecil saja, Li Hwa. Bukankah sudah beberapa hari ini kau berendarn seorang diri?"
"Dulu kau selalu membantuku me-rendam kaki....." cela Li Hwa manja.
Sin Hong memandang dan tersenyum gemas.
"Dulu. tulang pahamu masih belum tersambung benar, kau tidak bisa turun seorang diri. Sudah tentu aku membantu-mu. Akan tetapi sekarang..... kau sudah kuat, tidak saja dapat merendam kaki, akan tetapi juga dapat turun mandi. Apa kau ini anak kecil yang harus kumandikan?" Tiba-tiba muka Sin Hong menjadi merah oleh kata-kata terakhir yang terlanjur ia ucapkan itu.
"Mengapa tidak.....?" Li Hwa menjawab, senyum dan pandang matanya menantang sehingga muka Sin Hong men-Jadi makin merah.
"Sudahlah Li Hwa. Jangan main-main. Lekas kau mandi dan aku menunggu di depan goa."
"Sin Hong, kalau aku terjeblos ke dalam lubang di telaga lagi, aku sekarang takkan menjerit kalau kau pergi""
Sin Hong teringat ketika beberapa hari yang lalu ia meninggalkan Li Hwa mandi seorang diri, tiba-tiba ia men-dengar gadis itu menjerit. Cepat bagai-kan terbang ia lari dari depan goa me-^ nuju ke telaga itu dan melihat gadjis itu . tenggelam dan hanya kelihatan dua ta-ngannya saja di permukaan air. Dapat dibayangkan betapa kagetnya. Tanpa ingat apa-apa lagi ia lalu melompat ke dalam air dan menolong gadis itu yang setelah ia tarik tangannya ternyata bah-wa gadis itu telah terjeblos ke dalam sebuah lubang yang dalam.
Setelah Li Hwa selamat baru ia insaf, bahwa ia berada dalam keadaan yang amat tidak pantas berdekatan dengan gadis yang baru mandi! Cepat ia me-lepaskan Li Hwa yang sudah selamat dan melompat ke pinggir, dengan muka mem-belakangi Li Hwa ia mengomeli gadis itu yang tertawa-tawa! Teringat akan ini, terpaksa Sin Hong tidak berani meninggalkan tempat itu dan ia mfrnarik napas panjang merasa kalah oleh gadis yang pintar menggoda dan keras kepala itu.
"Baiklah, aku akan menunggu di sini, akan tetapi jangan kau ke tengah. Mandi di pinggir juga cukup, mengapa mesti ke tengah di mana banyak lubangnya yang tak tersangka-sangka?"
Li Hwa tersenyum penuh kemenangan dan dia kini tanpa sungkan-sungkan lagi lalu menanggalkan pakaian dan merendam paha sekalian mandi. la bermain-main dengan air bahkan sambil tertawa-tawa beberapa kali menggunakan air untuk dipercikkan ke pinggir ke arah Sin Hong. Tiada hentinya ia menggoda pemuda itu dan mengajaknya bercakap-cakap. Akan tetapi Sin Hong selalu menjawab tanpa menoleh. Diam-diam Li Hwa makin suka nielihat sikap Sin Hong yang sopan ini, makin suka dan juga geli hatinya. Perasaan wanitanya dapat meraba betapa sangat inginnya hati pemuda itu menoleh dan melihatnya namun, ditahan-tahannya. Ini semua hanya karena Wan Sin Hong adalah seorang pemuda yang hebat, seorang pemuda yang berhati kuat, beriman teguh. Pemuda pilihan dan karenanya Li Hwa menjadi makin cinta saja.
Sebetulnya, berkat perawatan Sin Hong yang amat telaten dan penuh per-hatian, juga karena pengobatan Sin Hong yang luar biasa, tulang paha yang patah itu sudah tersambung baik dan kaki Li Hwa sudah sembuh sama sekali. Akan tetapi karena gadis itu takut kalau-kalau Sin Hong akan meninggalkannya, maka ia berlaku pura-pura masih sakit! Gadis iru amat berkhawatir kalau-kalau Sin Hong akan pergi dari sampingnya dan hal ini akan merupakan siksaan batin baginya. la tidak kuat lagi kalau harus berpisah dari dekat pemuda itu.
Setelah selesai merendam kakinya dan mandi, Li Hwa cepat mengeringkan tubuh dan mengenakan pakaian lagi. Rambutnya yang hltam panjang itu dikepang dan diperasnya.
"Mari kita pulang, Sin Hong," katanya setelah selesai.
Baru Sin Hong mau menoleh dan memandang gadis itu yang nampak segar dan cantik, biarpun kini rambutnya menjadi tidak karuan karena basah.
"Marilah, aku hendak bicara sesuatu dengan kau, Li Hwa," jawab Sin Hong.
Mereka berjalan kaki berdampingan. Telaga itu terletak di sebelah barat goa sehingga ketika mereka "pulang" mereka menyongsong terbitnya matahari. Pagi yang cerah dan indah. Musim semi telah tiba sehingga hutan itu penuh bunga dan daun. Burung-burung menyambut matahari, bunga-bunga tersenyum kepada mereka. Pagi nan indah, Li Hwa berjaian perlahan di samping Sin Hong sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Sesungguhnya gadis ini merasa amat gelisah karena kata-kata Sin Hong tadi.
la takut ditinggalkan, Akan tetapi ia menahan hatinya dan mengobati kegelisahannya dengan bernyanyl-nyanyi, Di antara anak buah Hui-eng-pai terdapat banyak wanita yang pandai bernyanyi dan Li Hwa yang mempunyal suara merdu mempelajari banyak macam nyanyian. Sln Hong berjalan dengan pikiran penuh pertanyaan dan kesangsian. Gadls di sampingnya ini memang aneh sekali.
Ia sampai merasa heran memikirkan mengapa Li Hwa demikian, mencintanya. Belum pernah seingatnya ada wanita yang mencintanya sebesar cinta Li Hwa kepadanya. Sudah beberapa kali para ketua Hui-eng-pai datang dan membujuk Ll Hwa untuk kembali seorang diri di Hui-eng-pai, menduduki kembali kedudukan ketua. Akan tetapi tetap Li Hwa menolak.
"Tempatku adalah di dekat Wan-bengcu. Kalian kembalilah. Kalau perlu, bubarkan saja Hui-eng-pai. Aku tidak mau lagi memimpln dan aku akan hidup membantu Wan-bengcu."
Adapun Li Hwa yang bernyanyi-nyanyi kecil itu juga melamun. Selama beberapa bulan ini Sin Hong hidup di dekatnya siang malam. Belum pernah satu kali pun Sin Hong memperlihatkan bahwa pemuda itu membalas clnta kasihnya dan pemuda Ini selalu bersikap penuh sopan santun. Akan tetapi, tak dapat disangkal pula bahwa Sin Hong selalu menjaganya, selalu merawatnya dan wajah yang tarnpan dan tenang Itu nampak bcrserl gembira setiap kali mendapat kenyataan bahwa kakinya berangsur sembuh. Apakah benar-benar pemuda ini tega meninggalkannya? Tidak, la akan menolak untuk ditinggalkanl Oleh karena itu dapat dibayangkan betapa dadanya berdebar gelisah ketika mendengar kata-kata Sln Hong yang menyatakan hendak bicara sesuatu dengan dia. Karena kegelisahan inilah maka Li Hwa untyk sementara lupa akan peranannya sebagai seorang gadis yang "tak pernah sembuh kakinya". Biasanya ia selalu berpura-pura kakinya masih sakit dan belum sembuh betul sehingga jalannya tak begitu cepat. Akan tetapi sekarang, saking tegangnya perasaan, ia berjalan cepat dan terus mengikuti Sin Hong yang sengaja mempercepat langkahnya.
Setelah mereka tiba di depan goa, Sin Hong berhenti dan memutar tubuh menghadapi Li Hwa sambil berkata.
"Li Hwa, kakimu sudah sembuh. Ja-lanmu sudah kuat dan cepat!" Li Hwa kaget sekali. Baru la sadar bahwa ia tadi telah berjalan cepat sekali, terlalu cepat bagi seorang yang kakinya masih sakit!
"Tidak..... tidak.....!" la tak dapat melanjutkan kata-katanya karena tahn bahwa kali ini ia tidak dapat membohong lagi. la hanya berdiri bingung dan mukanya berubah pucat, matanya terbelalak lebar seperti orang ketakutan.
Melihat keadaan gadis ini, Sin Hong menghela napas dan berkata perlahan setelah dua kali menelan ludah, sukar baginya untuk mengeluarkan suara pada saat itu.
"Li Hwa, setiap pectemuan tentu akan berakhir dengan perpisahan. Kini sudah? tiba masanya kita harus berpisah."
"Tidak..... Sin Hong, kau tidak boleh meninggalkan aku.....!" Kata-kata ini dikeluarkan dengin nada menjerit akan tetapi keluarnya perlahan sekali seperti bisikan yang serak terhalang isak. Mata yang terbelalak itu mulai membasah, bibir yang berbentuk indah dan berwarna merah itu mulai menggigil dan digigit" gigitnya menahan tangis.
"Sin Hong..... jangan tinggalkan aku!!" Dan tiba-tiba gadis ini menjatuhkan dirinya berlUtut di depan Sin Hong, menundukkan kepala. Pundaknya bergoyang-goyang dan isaknya ditahan-tahannya.
"Sin Hong...... kau boleh tinggalkan aku setelah kaubunuh dulu aku....."
Melihat ini, kembali Sin Hong merasa ada debar aneh di dalam dadanya, la cepat memegang kedua pundak gadis itu dan mengangkat bangun. Mereka berdiri berhadapan. kedua tangan Sin Hong ma-sih menyentuh pundak Li Hwa.
"Li Hwa, angkat muka dan berlakulah gagah! Tidak semestinya kau berlutut di depanku. Li Hwa, kau melarang aku pergi, apakah selama hidupku aku harus berdiam di sini di goa ini seperti..... mahluk jaman purba? Aku telah ditugas-kan sebagai seorang bengcu dan pekerja-anku banyak. Apa akan kata orang di dunia kalau Wan-bengcu menyembunyikah diri saja di sini bersamamu?"
"Sin Hong," Li Hwa berkata dengan air mata masih menetes turun di kedua pipinya.
"Kau boleh pergi dari sini, akan tetapi aku ikut! Kalau kau pergi meninggalkan aku dengan paksa..... aku..... aku akan membunuh diri!"
Sin Hong menarik napas panjang. Hal ini sudah ia duga, bahkan ia sudah mengerti bahwa dara ini pasti akan berkata demikian.
"Li Hwa, apa kau sudah pikirkan masak-masak apa artinya ucapanmu? Kau adalah seorang ketua perkumpular yang besar. Hidupmu di sini sudah senang dan mewah. Kau ikut aku? Aku ini orang apakah? Tidak karuan tempat tlnggalku, lagi pula, kau sendiri tidak tahu bahwa kini kedudukanku terancam, tokoh-tokoh selatan memusuhiku, orang-orang dari utara mengarah nyawaku, dan agaknya tokoh-tokoh di daerah Cin juga sudah muJai tak percaya kepadaku karena aku keturunan pangeran bangsa Cin. Kau mau ikut aku? Kau tahu bahaya setiap waktu mengancam diriku dan kaJau kau ikut, berarti kau pun terancam bahaya pula."
Mendengar ini, Li Hwa memandang kepada Sin Hong dengan marah. Matanya bersinar-sinar seperti mengeluarkan api.
"Sin Hong, kaukira aku ini gadis macam apakah? Kau pemberani, apa kaukira aku pun takut mati? Apalagi hanya menghadapi bahaya, biarpun harus menyerbu lautan api, kalau bersamamu aku rela dan berani! Sin Hong harus berapa kalikah aku menyatakan bahwa hidupku hanya untukmu seorang? Tanpa kau disampingku lebih baik aku mati!"
"Li Hwa...... Li Hwa.....! Tentu saja aku tahu akan cinta kasihmu kepadaku dan aku percaya sepenuhnya akan pe-rasaanmu yang murni itu. Aku merasa amat berbahagia bahwa seorang serendah aku mendapat penghormatan sebesar ini, mendapat cinta kasih seorang gadis se-pertimu. Baiklah, Li Hwa. Hal ini me-mang sudah kupertimbangkan masak-masak. Kau boleh ikut dengan aku, se-lamanya sampai kau bosan."
"Kau gila......!" Li Hwa bersorak seperti anak kecil lalu memandang ke-pada Sin Hong dengan bibir cemberut.
"Sin Hong, kau benar-benar gila kalau mengira aku akan menjadi bosan."
Sin Hong tersenyum, diam-diam ter-haru sekali melihat gadis ini.
"Li Hwa, dengarlah baik-baik. Kita sudah sama-sama dewasa, bukan orang-orang muda yang masih hijau. Kita sama tahu apa artinya dan apa bahayanya apabila kita berdua selalu berkumpul dan melakukan perjalanan bersama. Li Hwa, marilah kita duduk dan mari kita bicara sebagai se-orang laki-laki dan seorang perempuan dewasa yang penuh pengertian dan ber-pandangan luas. Aku perlu membuka isi hatiku sebelum melakukan perjalanan berdua bersamamu."
Dengan wajah berseri dan muka kemerahan karena kata-kata yang baru diucapkan oleh Sin Hong itu Li Hwa mengangguk dan rn6reka memilih tempat duduk di atas batu-batu hitam yang ba-nyak terdapat di tempat itu, di bawah lindungan bayangan pohon yang teduh.
"Li Hwa, mari kita selidiki keadaan kita masing-masing. Dan mari kita mem-buka isi hati secara jujur." Sin Hong memulai dan wajahnya yang nampak sungguh-sungguh membuat Li Hwa ber-debar dan gadis ini tidak berani main-main dan berjenaka seperti biasanya.
"Lebih dulu aku akan bicara tentang dirimu. Kau seorang gadis yang menjadi ketua Hui-eng-pai, kau telah rela meng-hadapi kekurangan dan kesengsaraan ka-rena kau mencinta kepada seorang se-perti aku dan sudah sewajarnyalaH kalau kau menjadi seorang isteri yang berbudi dan membahagiakan hati suamimu.
Li Hwa yang biasanya paling berani bicara terus terang seperti ini dan yang biasanya dia menjadi pihak penyerang dalam percakapan seperti ini, sekarang mendengar kata-kata Sin Hong mukanya menjadi merah sekali sampai ke telinganya dan ia hanya menundukkan muka seperti seorang gadis dusun yang malu-malu!
"Untuk dirimu tidak ada yang perlu ditinjau lagi. Kau sudah jelas seorang gadis yang berhati murni dan cinta kasni-mu tulus ikhlas dan suci. Sekarang marilah kauperhatikan diriku." Suara Sin Hong yang bersungguh-sungguh itu menarik perhatian Li Hwa sepenuhnya sehingga gadls ini mengangkat mukanya dan menatap wajah pria yang menjadi pilihan hatinya ini.
"Dahulu aku pemah merasa jatuh cinta. Akan tetapi oleh karena aku masih hijau sekali, aku sendiri tidak tahu pasti siapakah yang kucintai itu."
"Kau mencinta Go Hui Lian." Li Hwa memotong, suaranya tenang saja tanpa rasa cemburu.
Sin Hong menggelengkan kepalanya.
"Belum tentu, Li Hwa. Pertama-tama bertemu dengan Gak Soan Li hatiku tertarik, kemudian bertemu Go Hui Lian aku pun merasa tertarik. Kalau mau dikata bahwa aku mata keranjang, buktinya melihat lain-lain wanita aku tidak tertarik. Karena itu aku merasa bahwa hatiku tidak tetap terhadap wanita dan bahwa cinta kasihku kepada dua orang yang kusebutkan itu mungkin sekali palsu. Aku merasa menyesal sekali mengapa hatiku mudah berubah dan merasa betapa cinta kasihku terlalu murah. Oleh karena inilah, maka menghadapi kau yang sepenuh jiwa mencintaku, aku menjadi bingung dan ragu-ragu. Ragu-ragu terhadap hatiku sendiri. Aku tidak mau main-main dengan cinta lagi sebelum aku yakin betul apakah benar-benar aku mencinta orang.
"Li Hwa, aku tak dapat menolak permintaanmu untuk ikut dengan aku. Bukan hanya karena aku takut kau betul-betul akan membunuh diri, bukan hanya karena aku merasa bahwa cinta kasih sebesar cinta kasihmu itu sungguh keji kalau ditolak. Akan tetapi terutama sekali, setelah aku berkumpul dengarikau selama beberapa bulan ini, aku pun..... merasa berat untuk berpisah."
Li Hwa tersenyum manis sekali, mukanya ditundukkan dan matanya mengerling ke wajah Sin Hong. Hatinya girang bukan main, hanya dia sendiri yang tahu!
Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Akan tetapi," Sin Hong buru-buru menyambung kata-katanya.
"Aku tidak berani sembrono dan sembarangan saja menyatakan bahwa aku pun cinta kepada-mu, Li. Hwa. Aku tidak mau membuat kesalahan lagi dalam hal ini. Aku tidak akan berani menyatakan cintaku sebelum aku yakin betul karena aku tidak sudi menipumu dengan cinta palsu yang keiak akan luntur! Biarlah kita melakukan per-jalanan bersama. Biarlah orang lain menganggap bagaimanapun juga. Paling perlu kita menjaga diri, menjauhkan se-gala perbuatan yang tidak patut. Biar kita menguji hati kita sendiri. Kalau kelak ternyata bahwa aku betul-betul mencintamu, Li Hwa, aku takkan ragu-ragu lagi meminangmu sebagai isteriku. Kalau bukan demikian halnya hatiku terhadapmu, biarlah kelak kita menjadi saudara saj"a. Bagaimana pendapatmu?"
"Sin Hong aku menurut saja segala kehendak hatimu, asal saja aku kau bolehkan berada di sampingmu. Kau sudah bicara secara jujur, aku girang men-aengar ini, sungguhpun aku sudah tahu bahwa kau memang seorang yang amat menjaga kebersihan hati dan perbuatan dan memang kau amat jujur. Baiklah dan sekarang kaudengar pengakuanku tentane Cintaku padamu. Tentu saja aku mencintamu seperti seorang wanita mencinta pria kekasihnya dan ingin menjadi isterimu, mgin menjadi ibu daripada anak-anakmu. Akan tetapi jangan kira bahwa cintaku kepadamu hanya karena nafsu muda semata, Sin Hong. Aku tidak punya orang tua, maka aku pun mencintamu seperti seorang anak mencinta orang tuanya.
"Aku sudah ingin sekali menjadi ibu ttiaka aku pun mencintamu seperti seorang ibu mencinta puteranya. Aku tidak punya saudara maka aku pun mencintamu seperti seorang saudara kandung. Tentu saja kebahagiaan hidupku akan sempurna andaikata kau sudi mengambilku sebagai isterimu, menjadikan aku ibu dari anak-anakmu. Akan tetapi, tanpa itu pun aku dapat hidup asal aku selalu berada di sampingmu, Sin Hong. Tentu saja aku akan berterima kasih sekali kalau kau pun membalas cinta kasihku, akan tetapi andaikata tidak, aku cukup puas asal kau tidak membenciku!"
Bukan main terharunya hati Sin Hong mendengar kata-kata yang panjang lebar, kata-kata yang sesungguhnya setiap hari telah berpancaran keiuar dari kerling mata gadis itu, membayang melalui senyum-senyumnya. Sampai basah kedua mata Sin Hong ketika ia menatap wajah gadis i.tu dan tak terasa pula kedua tangannya bergerak maju, ditaruh di atas pundak gadis itu. Sampai lama mereka berpandangan.
"Setidaknya kau..... kau tentu suka kepadaku, bukan?" tanya Li Hwa, suara-nya sayu, mengibakan.
"Tentu saja, L! Hwa. Kaulah satu-satunya orang yang paling kusuka di dunia ini."
Tiba-tiba Li Hwa bangkit berdiri dan tertawa geli, menutupi mulutnya.
"Kau bohong!" Seteiah percakapan Serius itu selesai timbul kembali sifatnya yang jenaka dan suka menggoda.
"Tidak, Li Hwa, demi kehormatanku, aku tidak berbohong! Memang aku suka kepadamu."
Li Hwa mengangkat muka, menegak-kan kepaia, membusungkan dada dan melangkah maju menantang sampai dekat sekali dengan Sin Hong. Pandang matanya penuh ejekan ketika ia berkata, nada suaranya menantang.
"Betulkah kau suka kepadaku? Aku tidak percaya sebelum kaubuktikan kata-katamu""
Sewaktu-waktu kalau Li Hwa sudah inenggodanya dengan kebinalan macam ini, hampir saja pertahanan hati Sin Hong roboh. Masih teringat ia akan godaan-godaan Li Hwa ketika kakinya belum sembuh. Tentang jerit di telaga ketika gadis itu "tenggelam" padahal ia tahu hanya pura-pura saja! Menggodanya dengan segala macam kata-kata jenaka dan sikap menantang.
Kini menghadapi sikap Li Hwa seperti itu, diam-diam Sin Hong mengerahkan hawa dan menekan debar jantungnya,, kemudian kedua tangannya memegang kepala gadis itu, kedua tangan di bawah telinga kanan kiri, mengangkat muka yang manis itu lalu..... diciumnya kening Li Hwa seperti seorang ayah mencium anaknya atau seorang kakak mencium adiknya!
Namun perbuatan ini sudah membuat seluruh muka Sin Hong dan Li Hwa men-jadi merah seperti udang direbus dan kedua kaki Sin Hong menggigil seakan-akan ia terserang demam!
"Nah, itulah tandanya bahwa aku suka kepadamu, Li Hwa." Biarpun sudah me-ngerahkan tenaga, tetap saja suara Sin Hong terdengar gemetar.
Li Hwa tidak menjawab, melainkan menjatuhkan tubuhnya dengan lemas ke depan, menyandarkan kepala di dada kekasihnya lalu menangis tersedu-sedu!
Sin Hong mendekap kepala itu sambil melongo, melihat ke kanan kiri seperti monyet disumpit, tidak tahu harus berbuat bagaimana. Baru kali ini ia melihat Li Hwa menangis tersedu-sedu. Air matanya membanjir seakan-akan air mata itu sudah Jama dibendung dan kini pecah bendungannya, membanjir membasahi baju Sin Hong. Tidak kepalang Li Hwa me-nangis, suaranya sampai hampir menggerung-gerung seperti anak kecil ditinggal pergi ibunya.
"Eh, eh...... kaukenapa.....? Li Hwa, kau mengapakah.....?" Baru kali ini selama hidupnya Sin Hong mengalami hal yang membuatnya terheran-heran dan juga kebingungan. Karena Li Hwa tidak i menjawab, akhirnya Sin Hong membiar-kannya saja menangis sepuasnya sampai air mata yang keluar dari mata gadis itu menembusi bajunya dan membasahi dada dan perutnya. Akhirnya habis juga air mata yang "dikuras" oleh Li Hwa dan gadis itu menegakkan kepalanya kembali. Matanya menjadi agak kemerahan, juga seluruh mukanya kemerahan, dan dadanya masih terisak-isak. Akan tetapi ketika. Sin Hong menatapnya penuh kekhawatiran, ia menggaruk-garuk kepalanya dan mata serta mulutnya terbuka heran. Gadis yang terisnk-isak itu tersenyum! Mukanya berseri-seri gembira!
"Li Hwa.....!" seru Sin Hong setelah akhirnya ia dapat mengeluarkan kata-kata.
"Kau atau akukah yang sudah berubah menjadi gila??"
Senyum Li Hwa melebar sehingga" nampak giginya yang putih mengkilap." "Apa maksudmu, Sin Hong?"
"Kau tadi menangis seakan-akan aku telah mampus, dan sekarang kau tertawa! Apa artinya ini?"
"Aku menangis karena..... bahagia dan senang hatiku, Sin Hong." jawab gadis itu sambil menyusuti air mata yang menn-basahi mukanya. Kemudian ia melihat ke dada dan perut Sin Hong di mana baju-nya sudah basah kuyup. Meledaklah ke-tawanya dan Li Hwa menuding-nuding ke arah perut Sin Hong.
"
Sin Hong menggeleng-geleng kepala dan akhirnya ikut tertawa juga.
"Li Hwa, lain kali-kalau bersenang hati, jangan membikin kaget orang. Kalau senang hati kau menangis seperti itu, apakah kalau bersusah hati lalu tertawa-tawa?"
Li Hwa menghentikan tawanya, lalu berkata dengan wajah sungguh-sungguh.
"Sin Hong, kau marahkah? Maafkan aku kalau aku tadi membikin kaget kau. Biar-lah lain kali aku tidak akan mengulangi lagi perbuatanku tadi."
Melihat sikap Li Hwa, Sin Hong men-jadi menyesal mengapa tadi ia mencela. Ia lebih suka melihat gadis itu bersikap sewajarnya. la menyukai keadaan Li Hwa yang aseli seperti tadi, tidak dibuat-buat bersungguh-sungguh seperti sekarang ini.
"Tidak, tidak sekali-kali aku marah. Aku malah ikut gembira. Jangan kau mengubah perangai dan kebiasaanmu setiap kali aku menegurmu, Li Hwa. Kalau kau ingin menangis, menangislah seperti tadi. Aku..... tidak apa-apa hanya tadl kaget dan..... dan basah semua dada dan perutku....."
Li Hwa tertawa lagi melihat sikap Sin Hong yang kelihatan tidak karuan, agap-gugup dan lucu ini.
Akhirnya mereka berkemas. Lalu Li Hwa pergi seorang diri ke Hui-eng-pai, menjumpai tokoh-tokoh Hui-eng-pai untuk berpamit.
"Maafkan, terpaksa aku meninggalkan Hui-eng-pai oleh karena aku mempergunakan hak hidupku untuk mengejar kebahagiaan. Terserah kepada kalian untuk membubarkan Hui-eng-pai ataukah untuk melanjutkannya. Akan tetapi, kalau diteruskan, hendaknya ingat bahwa aku selalu takkan mendiamkannya saja apa-bila Hui-eng-pai dibawa ke jalan sesat. Biarpun aku bukan menjadi ketua Hui-eng-pai lagi, namun namaku akan terbawa kalau Hui-eng-pai menyeleweng, dan aku-lah yang akan menghukum dengan kedua tanganku sendiri!" Dengan kata-kata pesanan ini, Li Hwa lalu berangkat setelah mengambil barang-barangnya yang aer-harga untuk dibawa sebagai bekal. Ba-nyak anggauta Hui-eng-pai menangis ketika Li Hwa pergi meninggalkan mereka.
Akan tetapi, Li Hwa sudah melupakan mereka lagi setelah ia menuruni bukit dengan Sin Hong di sampingnya. Hatinya gembira sekaJi. Betapa tidak? Menjadi isteri Sin Hong atau pun tidak keiak, ia akan tetap selalu berada dij dekat Sin Hong dan ini berarti bahwa idam-idaman hatinya telah terpenuhi.
Selama Sin Hong berkumpul dengan Siok Li Hwa di dalam goa dan meng-obati kaki gadis itu, ia telah mencerita-kan kepada Li Hwa bahwa bocah yang diculiknya dari Kim-bun-to itu sesungguhnya bukan putera Go Hui Lian dan Coa Hong Kin. Tadinya Sin Mong tidak hendak menceritakan atau membuka rahasia ini, akan tetapi Li Hwa selalu menyatakan penyesalannya bahwa putera Hui Lian yang dicuJiknya hanya untuk memancing Sin Hong datang dan untuk membalas dendamnya karena Hui Lian telah "merebut" hati Sin Hong, kini telah Jenyap dibawa oleh Pak-kek Sam-kui. Melihat betapa Li Hwa benar-benar merasa menyesal, dan tahu pula akan sifat-sifat gadis itu, akhirnya Sin Hong membuka rahasia Tiang Bu.
"Bocah itu," katanya.
"diberi nama Coa Tiang Bu dan semenjak masih bayi dipelihara oleh Hui Lian. Dia bukan anak Hui Lian dan Hong Kin."
"Pantas saja kalau begitu! Aku sering. kali merasa heran mengapa bocah ini mukanya buruk, padahal Hui Lian cantik dan Hong Kin tidak buruk rupa," kata Li Hwa.
"Kalau begitu, dia itu anak siapa-kah? Sungguhpun rupanya tidak tampan" akan tetapi harus kuakui bahwa anak itu nnempunyai tulang dan bakat yang baik sekali. Aku tidak main-main ketika hen-dak mengambilnya sebapai murid, karena kulihat dia memang berbakat sekali."
"Memang demikian dan sayang sekall dia bukan anak dari Hui Lian dan Hong Kin. Akan tetapi kiraku bagi mereka sama saja karena diambil anak sejak kecil."
"Dia itu anak siapakah?"
Sin Hong menarik napas panjang.
"Kasihan sekali anak itu. la terlahir dari perbuatan yang sejahat-jahatnya, berayah seorang manusia siluman. Li Hwa, sebetulnya rahasia ini hanya diketahui oleh aku, Hui Lian, dan Hong Kin saja dan belum pernah diceritakan kepada orang lain."
"Hemm, kalau begitu janganlah di-ceritakan kepadaku, karena tak baik membuka rahasia orang. Bagiku sih sama saja, karena aku sudah tahu dia itu anak siapa."
"Kau tahu.....?"
"Tentu saja! Bukankah dia itu anak Liok Kong Ji dan Gak Soan Li?"
"Eeeeh..... bagaimana kau bisa tahu, Li Hwa?"
"Sin Hong, apa kaukira aku Ini orang sebodoh-bodohnya? Dahulu di puncak Ngo-heng-san sudah kudengar tentang Soan Li mempunyai anak yang tidak ada ayahnya. Kemudian kau tadi menyebut-nyebut manusia siluman, siapa lagi kalau bukan Liok Kong Ji? Mudah saja meng-hubung-hubungkan semua itu bukan?"
"Memang tepat sekali dugaanmu, Li Hwa. Tiang Bu adalah anak Liok Kong Ji dan Gak Soan Li. Akan tetapi, bocah itu semenjak kecil dipelihara oleh Hui Lian, dan dia bersama Hong Kin amat mencinta Tiang Bu. Oleh karena bocah itu hilang dari rumah mereka karena per-buatanmu, kita harus mencarinya dan membawanya kembali ke Kim-bun-to."
"Baiklah kalau kau menghendaki demikian." hanya ini jawaban Li Hwa ketika itu dengan hati mengkal karena ia belum yakin apakah kelak Sin Hong mau membawanya.
Setelah kemudian ternyata bahwa Sin Hong mau menerimanya merantau berdua. Li Hwa mengingatkan soal Tiang Bu ini.
"Sin Hong, ke manakah tujuan per-jalanan kita? Apakah kita akan langsung menoari Tiang Bu di utara? pak-kek Sam-kui adalah pembantu-pembantu setia dari Raja Mongol, maka kalau benar-benar mereka terus membawa Tiang Bu, bocah itu tentu dibawa ke utara dan se-baiknya ke sanalah klta menyusul."
Akan tetapi Sin Hong tidak menye-tujui dan menjawab.
"Tidak sekarang Li Hwa. Aku pun menduga demikian, akan tetapi memasuki daerah Mongol pada waktu sekarang bukanlah hal yang mudah. Bahaya besar mengancam kalau kita memasuki daerah Temu Cin itu. Bukan sekali-kali aku takut menghadapi bahaya, akan tetapi kalau sampai aku tewas da-lam perjalanan berbahaya itu, bukankah aku akan mati sebagai seorang bengcu yang mengecewakan? Aku hendak ke Lu-liang-san lebih dulu, hendak kukumpulkan para tokoh besar yang dulu mengangkat-ku sebagai bengcu dan kukembalikan kedudukan ini. Setelah aku terlepas dari-pada ikatan tugas sebagai bengcu, baru-lah aku akan pergi mencari Tiang Bu."
Maka berangkatlah Sin Hong dan Li Hwa menuruni Gunung Go-bi-san, me-iakukan perjalanan yang cepat ke sela-tan. Sin Hong kelihatan tenang-tenang saja akan tetapi Li Hwa nampak gem-bira, wajahnya berseri-seri dan alam yang terbentang luas di depannya ke-lihatan baru dalam pandangannya, baru dan serba indah menyenangkan. Larinya cepat sekali dan agaknya kakinya sudah tak sakit sama sekali. Diam-diam Sin Hong tersenyum di dalam hatinya kalau la teringat.betapa baru kemarin gadis ini masih berpura-pura sakit kakinya dan berjalan perlahan agak pincang!
"Gadis bengal.....!" di dalam hatinya ia mengomel, akan tetapi ia merasa senang.
"Bocah setan..... kau telah berani menipuku.....! Kurang ajar kau, sepatut-nya dipecahkan kepalamu!" Sambil berlari dengan langkah lebar Thai Gu Cinjin memaki-maki Tiang Bu yang dikempit di bawah lengan tangan kirinya sedangkan tongkat kepala naga itu dipukul-pukulkan ke kanan kiri sehingga pohon-pohon tum-bang dan batu-batu pecah. Ngeri hati Tiang Bu menyaksikan amukan kakek gundul yang tinggi besar seperti raksasa ini. Tenaga pukulan tongkat itu benar-benar dahsyat dan mengerikan.
"Berani kau membakar kitab peninggalan Hoat Hian Couwsu dan menghafal isinya. Hah, kau berani mendahuluiku? Setan alas! Kiranya dalam penjelmaan dulu rohku pernah berhutang kepada rohmu sehingga dalam penjelmaan sekarang ini kau membalasku, menagih janji." Hwesio Lama dari Tibet itu terus-terusan mengomel panjang pendek tentang hu-bungan roh-roh dan tentang hukum karma.
Tiang Bu hanya mendengarkan saja penuh perhatian dan ia mendapat kenyataan bahwa pendeta Lama ini benar-benar seorang pemuja hukum karma, yakni hukum yang menyatakan bahwa roh manusia setelah meninggal akan menjelma pula dalam tubuh lain akan tetapi hubungan-hubungan dengan roh lain di waktu hidup yang lalu akan terulang kembali. Tagih-menagih hutang, balas-membalas dendam!
"Apa yang harus kulakukan? Apa? Membunuhmu, aku kehilangan isi kitab. Membiarkan kau hidup juga tak mungkin karena kau telah menipuku!" demikian pmelan terakhir pendeta Lama itu.
"Losuhu, mengapa bingung? Dalam penjelmaan yang dulu teecu adalah muridmu, sekarang pun demikian pula."
Kaget hati Thai Gu Cinjin mendengar ini sampai-sampai ia menghentikan!ang-kahnya dan melepaskan Tiang Bu dari kempitannya. Bocah itu terguling di atas tanah, tubuhnya sakit-sakit akah tetapi ia merasa lega telah terlepas dari him-pitan lengan yang berbulu dan kuat itu.
"Apa maksud kata-katamu tadi?" ben-taknya dengan mata merah.
"Teecu merasa yakin bahwa dalam penjelmaan yang dahulu, teecu adaiah murid Losuhu. Buktinya begitu berternu dengan Suhu, tanpa disengaja Suhu telah menurunkan sebuah pelajaran ilmu silat kepada teecu dan takut kitab itu terjatuh ke dalam tangan orang lain, teecu telah menghafalkan di luar kepala semua isinya lalu membakar kitabnya. Bukanlah itu namanya jodoh? Kemudian, tak tersangka-sangka pula, Suhu telah menolong nyawa teecu dari ancaman Pak-kek San-kui! Bukankah ini bukti ke dua dari adanya jodoh? Sekarang mengapa Losuhu menjadi bingung seorang diri? Bagi teecu tidak ada bedanya, mau dibunuh atau tidak apa sih perbedaannya?"
"Eh, Setan Cilik. Bagaimana kau bilang tidak ada bedanya?"
"Kalau Losuhu membunuh teecu, tentu Losuhu akan terbunuh pula oleh teecu. Dalam penjelmaan mendatang, mungkin teecu menjadi orang yang lebih kuat untuk membalas kematian teecu di tangan Suhu. Dengan demikian, teecu berhutanglah dan pada penjelmaan berikutnya Suhu yang membunuh teecu lagi dan Suhu yang berhutang. Kalau Suhu meng-hendaki permusuhan yang tiada habisnya antara dua roh kita, sekarang Suhu mau bunuh teecu, bunuhlah!"
Thai Gu Cinjin terkenal sebagai seorang tokoh besar yang selain pandai juga senang menipu orang. Banyak sekali pnuslihatnya sehingga ia disegani dan ditakuti orang. Akan tetapi ia mempunyai satu cacad besar, cacad yang ada hu-bungannya dengan kedudukannya sebagai seorang pendeta Lama. Sebagaimana telah menjadi tradisi dan kepercayaan mutlak para Lama, ia amat percaya akan hukum tumbal lahir (re-incarnation). Oleh karena itu, kata-kata yang diucapkan Tiang Bu tadi termakan benar-benar oleh hatinya.
"Sebaliknya kalau Suhu tidak menghendaki balas-membalas selama roh kita belum musnah apa salahnya kalau Suhu mengambiil teecu sebagai murid dan pelayan?"
Thai Gu Cinjin meraba-raba kepalanya yang gundul pelontos. Keningnya berkerut. la berpikir keras.
"Hemm, kau tentu keturunan roh yang sudah maju sehingga masih kecil sudah bisa bicara seperfi itu.....! Kau betul juga, kalau kau menjadi muridku berarti kau selalu berada di samplngku dan tidak akan dapat menggunakan Pat-hong-hong-i sewenang-wenang dan sesuka-sukamu sendiri. Di samping itu kau harus taNl bahwa kitab itu bukan milikku, melainkah milik Tiong Jin Hwesio, seorang di antara dua kakek sakti di Omei-san. Kalau kau sudah tahu akan hal ini, kau pun tentu tahu bahwa kalau kakek itu tahu kitab-nya hilang ia tentu akan mencari kita."
"Dan Suhu tidak kuat menghadapi Tiong Jin Hwesio?" tanya Tiang Bu.
"Apa kau sudah gila? Tiong Sio Hwesio dan Tiong Jin Hwesio adalah orang-orang sakti di masa ini. Merekalah pewaris-pewaris dari kitab-kitab peninggalan Tat Mo Couwsu dan Hoat Hian Couwsu. Siapa bisa melebihi mereka? Barangkali hanya orang-orang yang telah mewarisi kitab-kitab lain dari Tat Mo Couw-su, seperti mendiang guruku dan guru Ang-jiu Mo-li, orang-orang seperti itulah yang bisa menandingi dewa-dewa Omei-san""
Mendengar ini, hati Tiang Bu tertarik sekali. Tetah berkali-kah ia bertemu dengan orang-orang yang berkepandaian tinggi. la sudah bertemu dengan Hui-eng Niocu yang lebih lihai, lalu Pak-kek Sam-kui yang lebih lihai lagi. Sekarang ini ia menjadi murid Thai Gu Cinjin yang malah lebih lihai daripada Pak-kek Sam-kui. Akan tetapi pendeta Lama ini merasa dirinya tidak berarti ketika ia bicara tentang dua orang hwe-sio yang ia sebut "Dewa" Omeisan! Alangkah banyaknya orang pandai di dunia ini, pikir Tiang Bu dan diam-diam ia rnerasa amat . girang bahwa ia telah menghafal sebuah kitab dari Omei-san. Memikirkan ini kegirangan hatinya karena diterima menjadi murid Thai Gu Cinjin menjadi berkurang dan ia ingin sekali bisa menjadi murid "Omei-san itu.
Akan tetapi ia tidak dapat melamun lebih lanjut oleh karena Thai Gu Cmjin sudah melepaskan buntalan itu kepadanya sambil berkata.
"Mulai sekarang, kau ikut aku. Bawalah buntalan ini."
Tiang Bu tidak berani membantah. la baru saja terlepas dari bahaya maut lagi. Pendeta Lama ini tidak jadi membunuh-nya bahkan mengambUnya sebagai murid. Akan tetapi Tiang Bu adalah seorang anak yang cerdik. la maklunn bahwa be-lum tentu pendeta ini mengampuninya. Siapa tahu kaiau Thai Gu Cinjin hanya ingin menguras isi kitab itu daripadanya, kemudian setelah dapat mempelajari Pat-hong-hong-i lalu membunuhnya. Hal ini mungkin sekali bagi seorang seperti Thai Gu Cinjin. Tidak ada penjahat yang hatinya lebih kejam daripada seorang pendeta yang jahat! Oleh karena itu, ia berlaku amat hati-hati dan waspada.
Benar saja seperti yang ia duga, Thai Gu Cinjin mulai menyuruh ia setiap hari berlatih Pat-hong-hong-i.
"Ilmu silat yang tinggi dan tidak ada Orang lain mengetahuinya itu bukan ilmu sembarangan, Tiang Bu. Maka harus kaulatih sampai sempurna betul. Biar aku yang mengawasi kalau-kalau ada yang keliru."
Tiang Bu di dalam hatinya berpikir. Bagaimana dia bisa mengetahui mana yang keliru kalau selamanya dia sendiri belum mempelajari Pat-hong-hong-i? Aku tak boleh terkena bujukannya. Dengan cerdik sekali Tiang Bu lalu mengubah-ubah gerakan Pat-hong-hong-i.
Tentu saja di depan seorang ahli silat tinggi seperti Thai Gu Cinjin ia tidak berani mengawur saja dan bersilat de-ngan tidak karuan. la ma.sih mainkan Pat-hong-hong-i, akan tetapi selain de-ngan gerakan tangan kaku tak karuan, juga ia sengaja mencampur-campur Pat-hbng-hong-i dengan Sam-hoan Sam-bu dan Hui-houw-tong-te dalam gerak kakinya.
Pendekar Budiman Eps 17 Pendekar Pedang Pelangi Eps 21 Pedang Penakluk Iblis Eps 35