Ceritasilat Novel Online

Tangan Geledek 8


Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo Bagian 8




   "Heran sekali, mengapa Pat-hong-hong-i hanya ilmu silat picisan," kata Thai Gu Cinjin terheran-heran.

   "Masa Hoat Hian Couwsu meninggalkan ilmu silat macam begini?" Akan tetapi ia masih mengandung harapan lain. Pikirnya, barangkali bukan salah Ilmu Silat Pat-hong-hong-i, melainkan bocah ini yang tidak becus. Kemudian ia teringat bahwa Tiang Bu hanya menghafal di luar kepala dan tentu saja berlatih send^ri tanpa pimpinan jadinya tidak karuan. Aku harus sabar, pikirnya periahan-lahan dan sedikit demi sedikit ilmu ini tentu pindah ke-pada aku dan dapat kusaring serta aku ambil aselinya.

   Demikianlah, dengan pikiran seperti ini, sampai berbulan-bulan Tiang Bu ikut kakek itu merantau, sama sekali ia tidak tahu bahwa kakek itu nnengajaknya ke daerah selatan. Diam-diam Tiang Bu merasa girang dan juga geli karena akal bulusnya berhasil menipu Thai Gu Cinjin.

   Pada suatu sore Thai Gu Cinjin mengajak Tiang Bu beristirahat di pinggir sebuah kelompok pohon setelah mereka keluar dari padang tandus yang tanahnya mengandung pasir. Mereka telah rnelaku-kan perjalanan setengah hari lebih diterik panas. Bagi Thai Gu Cinjin hal ini bukan apa-apa. Kakek ini dapat bertahan untuk berjalan terus tiga hari tiga malam. Akan tetapi Tiang Bu yang belum tinggi kepandaiannya, telah kehabisan tenaga dan napas. la amat berterima kasih keti-ka kakek itu mengajaknya mengaso. Apa-lagi tempat itu amat teduh dan nyaman sekali kalau dibandingkan dengan daerah "yang dilaluinya setengah hari tadi. Thai Gu Cinjin sebentar saja mendengkur dan melenggut di bawah pohon, bersila seperti patung Buddha

   Tiang Bu termenung dan pikirannya melayang-layang. Sudah empat tahun lebih ia meninggalkan rumah orang tuanya di Kim-bun-to. la teringat akan semua keluarganya dan diam-diam ia menahan tangisnya. Bukan kepalang rindunya kepada ayah bundanya, terutama sekali kepada Lee Goat. Tentu sekarang sudah besar, sudah enam tujuh tahuo usianya, pandai bermain-main dan pandai bicara. Ketika ia pergi, Lee Goat baru berusia dua tahun. la tentu lupa kepadaku, pikir Tiang Bu sedih. Bilakah ia akan dapat pulang? Kalau saja aku bisa lari dari Thai Gu Cinjin ini, pikirnya. Akan tetapi lari dari kakek sakti ini tak mungkin. Biarpun kakek ini melenggut dan mendengkur, tak berani Tiang Bu meninggal-kannya. Bocah ini sudah banyak berkurn-pul dengan orang-orang pandai sehingga ia tahu bahwa mereka ini lihai sekali.

   Pula, andaikata ia dapat melarikan diri dari Thai Gu Cinjin, ia harus pergi ke mana? Jalan menuju ke Kim-bun-to ia tak tahu. Andaikata ia ketahui dari bertanya-tanya, kalau jauh sekali dan tidak membekal uang bagaimana?

   "Aku harus bersabar," pikirnya.

   "aku , harus giat belajar. Kalau sudah memiliki kepandaian apa sih
(Lanjut ke Jilid 08)
Tangan Geledek/Pek Lui Eng (Seri ke 03 -Serial Pendekar Budiman)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 08
sukarnya pulapg ke Kim-bun-to? Pula ayah dan ibu" yang kabarnya pandai sekali ilmu silat meng-apa tak pernah mengajarku? Aku suka ilmu silat dan kalau aku pulang tidak boleh belajar bagaimana?,

   Tiang Bu membolak-balik pikiranya demikian asyik ia termenung sehingga ia tidak melihat adanya dua orang yang datang ke tempat itu. Mereka ini adalah seorang laki-laki dan seorang wanita. Tadinya mereka hendak melewati saja kakek yang melenggut dan bocah jembel yang melamun di bawah pohon itu, akan tetapi ketika mereka melihat wajah Tiang Bu, tiba-tiba mereka menahan kaki dan laki-iaki itu bertanya ragu.

   "Bukankah bocah itu yang kita cari...?

   Wanita itu menoleh, memandang penuh perhatian kemudian berseru girang sekali.

   "Betul dia Tiang Bu.....!"

   Mendengar namanya disebut orang, baru Tiang Bu mengangkat kepala dan memandang. Ketika ia melihat dua orang itu dan mengenal wanita yang menyebut namanya, kagetnya bukan main. Wanita itu bukah lain adalah Hui-eng Niocu Siok Li Hwa yang ia takuti dan benci! Dan laki-laki itu adalah laki-laki gagah yang dulu pernah merampasnya dari Li Hwa di Go-bi-san. Laki-laki gagah dan tampan yang agaknya bermaksud baik menolongnya, akan tetapi yang tidak dikenalnyal sama sekali. Mengapa mereka sekarang datang bersama? Melihat Li Hwa, Tiang Bu merasa khawatir sekali. la takut kalau diculik lagi oleh wanita cantik itu. Ia pernah merasai kegalakan Li Hwia di waktu dulu, maka ia merasa lebih senarig ikut Thai Gu Cinjin daripada, ikut Li Hwa. Karena pikiran ini ia lalu menggoyang-goyang lengan pendeta Lama itu sambil berkata.

   "Suhu..... , Suhu..... bangunlah. Ada orang-orang datang.....!"

   Tentu saja Thai Gu Cinjin tadi sudah mendengar kedatangan dua orang itu akan tetapi karena tidak menyangka buruk, ia tidak peduli dan meramkan terus matanya. Kini setelah Tiang Bu menarik-riariknya, ia membuka rnata, mengangkat muka memandang. Melihat dua orang muda yang datang, pendeta Lama ini kembali menundukkan muka dan memejamkan matanya, sama sekali ia Ss tidak mau peduli. Pendeta Lama yang berilmu tinggi ini memang agak sombong. la tidak mau berurusan dengan segala orang muda tak berarti. Orang-orang muda seperti itu bisa apakah? Biar me-reka bicara dengan Tiang Bu kalau me-reka butuh, tak perlu ia melayani mereka!

   Melihat sikap gurunya ini, Tiang Bu menjadi gelisah. Apalagi sekarang dua orang itu bertindak menghampiri. Dari jauh Li Hwa sudah menegur.

   "Tiang Bu, selama ini kau ke mana sajakah? Kami mencari-carimu sampai payah!" Kedua tangan wanita itu dijulur-kan ke depan seakan-akan hendak me-nangkap. Tiang Bu makin ketakutan.

   "Suhu.....! Suhu.....! Mereka datang hendak menculik aku!" teriaknya kepada Thai Gu Cinjin sambil mengguncang-guncang lengan kakek ini.

   Thai Gu Cinjin membuka lagi matanya dan wajahnya kelihatan mendongkol ketika ia mengomeli muridnya.

   "Kau ini kenapakah ribut-ribut tidak karuan mengganggu orang mengaso? Ke mana nyalimu? Kau memalukan orang yang menjadi guru saja. Siapa sih berani menculikmu? Kalau orang tidak memiliki nyawa cadangan mana berani mengganggu!" Setelah melempar lirikan memandang rendah kepada Li Hwa dan Sin Hong, pendeta Lama ini menutupkari matanya kembali!

   "Tiang Bu, mengapa kau berada disini dengan ba....." Li Hwa menghentikan kata-katanya, karena tiba-tiba Sin Hong memegang pundaknya. Ketika ia menengok ia melihat Sin Hong mengerutkan kening dan menggeleng-gelengkan kepaia menegurnya dan mencegahnya, menge-luarkan kata-kata kasar. Memang Li Hwa tidak sesabar Sin Hong. Mendengar ucapan dan melihat sikap pendeta gundul itu, ia merasa dipadang rendah dan dipandang hina sekali, maka serta merta darahnya naik. Tadi ia tentu akan melanjutkan makiannya dengan kata-kata "bangsat tua! bangka" atau "bajul" atau badut gundul". Akan tetapi oleh cegahan Sin Hong, ia cepat membelokkan makiannya ketika disambungnya lagi.

   "dengan bajut ini?" Makian "bajut" memang tidak begitu kotor dan menghina.

   Tiang Bu mengandalkan Thian Gu Cinjin maka kekhawatirannya berkurang. Ia-menjawab dengan lantang.

   "Ini adalah Suhuku, harap Jiwi jangan ganggu teecu lagi. Teecu suka menjadi muridnya."

   Li Hwa memandang kepada Sin Hong yang juga ternyata sedang memandangnya sambil tersenyum.

   "Nah, itulah! Seperti juga nasib suka atau tidak disuka orang tergantung sepenuhnya atas sikap kita. Kau dulu kiranya tidak bersikap terlalu manis terhadap Tiang Bu maka dia sekarang begitu ketakutan melihatmu. Li Hwa, insyaflah kau sekarang akan pentingnya sikap manis budi, apalagi terhadap seorang bocah?"

   Li Hwa menggigit bibirnya yang merah sambil mengangguk-angguk. Memang selama melakukan perjalanan dengari kekasihnya ini, ia sering kali? diperlakukan seperti seorang murid dan harus mendengarkan "kuliah" dari Sin Hong bukan hanya tentang perangainya, juga tentang ilmu silat, ilmu berlari cepat dan lain-lain.

   Mendengar ucapan Sin Hong ini, tiba-tiba Thai Gu Cinjin berkata tanpa membuka matanya.

   "Orang muda seperti gentong kosong, nyaring bunyinya, hanya; angin tsinyat^ Sudah tahu nasib tergantung kepada sikap, mengapa tidak lekas-lekas pergi dan jangan mengganggu orang mengaso?"

   Sin Hong dan Li Hwa menjadi serba salah. Menurut patut memang mereka harus segera pergi dari situ.

   Tiang Bu sudah menjadi murid orang ini dan tidak suka mereka bawa dan kakek ini tidak sudi diajak bicara, mau apa lagi. Sebagai seorang gagah Sin Hong merasa malu untuk melakukan hal tidak pantas. Kalau Tiang Bu berada di tangan pak-kek Sam-kui, ia boleh menerjang dan merampas kembali anak ini. Akan tetapi bocah ini kini telah menjadi murid seorang pendeta Lama yang nampaknya tak boleh dipandahg ringan.

   "Tiang Bu, Ibumu di rumah bersedih, menanti kembalimu!" Tiba-tiba Li Hwa berkata. Memang Hui-eng Niocu amat cerdik dan banyak akal. la maklum akan kehalusan budi Sin Hong yang pasti tidak mau melakukan kekerasan terhadap pendeta Lama itu seperti yang ia hendak lakukan, maka satu-satunya jalan ialah membujuk Tiang Bu.

   "Kami datang untuk mengantarkan kau pulang ke rumah Ibumu, Tiang Bu."

   Hati Tiang Bu tergerak. Akan tetapi ia berlaku hati-hati dan tidak mudah dibujuk.

   "Kalau Niocu begitu baik hendak mengantarkan aku pulang mengapa dahulu menculikku dari rumah?" Bantahnya yang membuat Li Hwa terpukul dan terce-ngang. Akan tetapi Li Hwa seorang yang cerdik dan banyak akal. Cepat ia dapat rnenguasai kebingungannya dan tersenyum manis. Sayang Tiang Bu roasih kanak-kanak, andaikata ia sudah dewasa kira-nya segala kemarahan akan banyak ber-kurang menghadapi senyum semanis itu!

   "Anak yang baik, kau tidak tahu. Da-hulu memang ada pertikaian antara orang tuamu dan aku, pula aku ingin mengambilmu sebagai murid. Sekarang aku dan orang tuamu sudah berbaik kembali. Marilah Nak, kauikut kami pulang ke Kim-bun-to. Ibumu menanti-nanti!"

   Tiang Bu menggeleng kepala.

   "Tak mungkin Ibu berduka karena aku hilang. Buktinya dia tidak mencari aku sampai bertahun-tahun!" Dalam kata ini terkandung rasa sedih dan sakit hati. Memang kadang-kadang timbul penasaran dan sakit hati dalam dada Tiang Bu kalau ia terkenang betapa ayah bundanya yang berkepandaian tinggi seperti yang sering ia dengar dibicarakan dan dipuji-puji oleh para pelayan, sama sekali tidak pernal" menyusul dan mencarinya!

   Jawaban itu kembaii membuat Li Hwa melengak. Lalu ia mengira bahwa anak ini tidak begitu sayang atau tidak begitu disayang oleh ibunya. Mungkin Coa Hong Kin lebih menyayanginya. Cepat ia berkata.

   "Tiang Bu, selain Ibumu bersedih menanti-nantimu, juga Ayahmu amat mengharapkan kedatanganmu. Marilah ikut kami pulang!"

   Kembali Tiang Bu menggeleng kepala.

   "Kelak kalau aku sudah kuat, aku dapat pulang sendiri."

   Sin Hong yang maklum akan maksud akal yang diperguriakan oleh Li Hwa, lalu membantu dengan kata-kata yang ramah.

   "Tiang Bu, anak baik. Kami cukup mengerti betapa kau telah menderita bertahun-tahun. Ayah bundamu tiada hentinya memikirkan kau dan sudah mencari-cari tanpa hasil, juga adikmu amat mengharapkan dan merindukan pulangnya kakaknya."

   Kata-kata ini seperti pisau menancap di jantung Tiang Bu. Diingatkan akan adiknya yang katanya rindu kepadanya, tak tahan pula matanya menjadi basah dan merah. Entah bohong atau tidak, orang ini, akan tetapi tak dapat diragu-kan lagi bahwa adiknya pasti amat merindukannya, pikirnya.

   "Siapakah kau.....?" tanyanya kepada Sin Hong.

   "Aku sahabat baik ayah ibumu. Percayalah kepada kami. Kami betul-betul datang untuk mengajak kau pulang."

   "Lee Goat....." Tiang Bu menyebut nama adiknya perlahan, wajah adiknya yang mungil terbayang di depan matanya.

   "Sudah besarkah dia? Sudah pandai bicarakah? Apakah dia nanti masih mengenal aku.....?"

   Melihat bahwa disebutnya adiknya membuat bocah itu terpikat, Sln Hong lalu berkata.

   "Adikmu sudah besar. Marilah kaulihat sendiri di rumah. Dia tentu akan girang sekali kalau kau pulang."

   "Pulang.....?" Tiang Bu menoleh kepada Thai Gu Cinjin dan pada muka anak ini terbayang kekhawatiran. Sln Hong dan Li Hwa yang bermata awas dan cerdik maklum bahwa tentu Tiang Bu takut kepada pendeta itu, maka berkatalah Sin Hong cepat-cepat.

   "Ya, pulang ke Kim-bun-to, Tiang Bu. Suhumu tentu akan memberi ijin kepadamu."

   Tiba-tiba Thai Gu Cinjin menggerakkan tongkatnya dan tahu-tahu tongkatnya yang panjang sudah disodorkan ke depan, melintang di depan Sin Hong dan Li Hwa, merupakan palang menghalangi mereka maju.

   "Tidak, Tiang Bu. Kau muridku dan harus taat kepada perintahku. Kau takkan ke Kim-bun-to, melainkan ikut ke mana pun juga aku pergi. Kelak kau akan ikut dengan aku ke Tibet!" Setelah menyemprot muridnya dengan kata-kata ini ia lalu menoleh kepada Sin Hong dan Li Hwa, memutar kedua matanya dengan marah lalu berkata.

   "Orang-orang muda tak tahu gelagat! Apa kalian mau mencari penyakit atau kalian sudah bosan hidup? Tadi sudah kukatakan jangan mengganggu aku dan lekas pergi!"

   "Maafkan kami, Losuhu," kata Sin Hong sambil menjura.

   "Sesungguhnya kami datang untuk mengajak pulang anak ini yang dulu dirampas oleh Pak-kek Sam-kui dari tangan kami."

   Mendengar ini, Thai Gu Cinjin makin memandang rendah. Kalau terhadap Pak-kek Sam-kui saja mereka ini kalah, ber-arti kepandaian mereka ini kalau adapun amat tidak berarti. la tersenyum mengejek.

   "Kalian ini sudah terpukul oleh Pak-kek Sam-kui masih bandel. Apa kaukira mudah saja merebut muridku ini? Lihat tongkatku ini. Kalau kalian bisa melewati tongkatku, baru aku bicara." Setelah, berkata demikian, tongkat kepala naga itu dilonjorkan ke depan dengan tangan kanan, melintang setinggi dua kaki dari tanah.

   Sin Hong merasa mendongkol sekali. Kakek ini benar-benar sombong, pikirnya, Dapat dimengerti bahwa kalau orang seperti Sin Hong sabarnya bisa mendongkol, apalagi Li Hwa! Nona ini sudah bercahaya matanya, kemerah-merahan pipinya dan jari-jari tangannya yang bagus itu sudah menggetar dikepal-kepal.

   "Biar aku mencobanya. Masa melewati saja tak mampu?" kata Li Hwa perlahan kepada Sin Hong dengan mata penuh permintaan. Sin Hong tidak tega mencegah. la mengangguk dan berkata per-lahan.

   "Berhati-hatilah kau."

   Biarpun terang-terangan kakek gundul itu menantang mereka berdua, namun bukan watak Sin Hong dan Li Hwa untuk rnengeroyok orang begitu saja. Mereka berdua adalah orang-orang yang berke-pandaian tinggi dan sudah percaya penuh akan kepandaian sendiri, maka amat memalukan kalau mereka maju berdua sebelum tahu bagaimana kekuatan lawan.

   Hui-eng Niocu Siok Li Hwa adalah seorang ahli ilmu ginkang yang jarang ditemukan bandingannya. Gerakannya amat cepat dan tangkas, tepat sekali dengan julukannya Nona Garuda Terbang! Maka ia cepat-cepat mengajukan diri tadi karena dianggapnya betapa mudahnya melewati halangan berupa tongkat dipalangkan seperti itu! Dengan gaya yang indah ia melangkah tiga tindak ke depan bersiap-siap lalu berkata nyaring.

   "Kakek sombong, aku lewat!" Cepat bagaikan anak panah menyambar tubuhnya meluncur ke depan melompati tongkat melintang itu dengan kedua lengan dikembangkan ke kanan kiri seperti seekor burung garuda terbang. Inilah Ilmu Melompat Hui-eng-coan-in (Burung Garuda Menerjang Awan), cepat dan indah gerakan ini.

   Akan tetapi kali ini Nona Garuda Terbang bertemu dengan batu! Begitu itubuhnya melayang, pendeta Lama itu yang kembali sudah tunduk dan meram-kan mata dengan sikap memandang ren-dah sekali, telah menggerakkan tongkat ke atas dan tepat sekali tongkatnya itu, melakukan totokan ke arah iga dari tu-buh Li Hwa yang masih melayang itu.

   Terdengar teriakan kaget disusul oleh ketawa terkekeh-kekeh. Li Hwa yang melihat datangnya sodokan tongkat ini, terkejut sekali sampai menjerit. Cepat ia melakukan gerakan berjungkir balik di udara, tangan kirinya menyambar ujung tongkat dan terpaksa ia melompat kem-bali ke tempat tadi, tidak berhasil me-lewati tongkat itu dan ditertawakan oleh Thai Gu Cinjin yang masih meramkant matanya!

   Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Li Hwa. la telah dihina orang yang menggagalkan lompatannya dengan mudah sambil meramkan mata! Benar-benar ia dianggap seorang anak kecil yang bodoh! "Heh-heh-heh-heh! Masih untung ginkangmu lumayan. Kau boleh coba agi, dengan pedang di tangan pun boleh kalau masih berani." Kata-kata Thai Gu Cinjin yang kini membuka matanya dan memandang kepadanya dengan penuh ejekan membuat darah Li Hwa bergolak. Secepat kilat tangannya bergerak meraba gagang pedang dan sinar hijau berkere-depan menyilaukan mata ketika pedang itu di laln saat telah terhunus.

   "Pokiam (Pedang Pusaka) bagus! Asal saja kau bisa mempergunakannya!" Kembali kata-kata dari Thai Gu Cinjin ini merupakan ejekan yang memandang rendah.

   "Pendeta sombong, jagalah aku lewat!" teriak Li Hwa dan dengan gerakan cepat sekali ia melompat maju lagi dengan pedang diputar-putar di depannya la akan membabat putus tongkat pahjang itu apabila pendeta itu menghalanginya lagi dengan tongkatnya.

   Betul saja, Thai Gu (Sinjin dehgari gerakan sembarangan saja menyodok dengan tongkat menghalangi majunya Li Hwa. Gadis ini mengayun pedane, mengerahkan tenaga dan membacok tongkat dengan Cheng-liong-kiam. Terdengar suara keras,, bunga api berpijar dan Li Hwa terkejut bukan main. Bukan saja tongkat itu tidak putus oleh sabetan pedang, bahkan pertemuan antara dua senjata sehingga mengeluarkan bunga api ini mernbuat telapak tangannya per.ih tdari tergetar.

   Dan di lain saat ujung tongkat itu telah menyerampang kedua kakinya! Ini terang hanya gerakan untuk memper-maihkan dan menggertaknya saja. Sambil menggigit bibir saking cemas, terpaksa Li Hwa melompat ke atas menyelamat-kan kedua kaki dari sabetan tongkat. Akan tetapi tongkat itu menyusulnya cepat dan melakukan sodokan dari bawah mengarah perutnya!

   Ini keterlaluan sekali! Main-main yang sudah bukan merupakan main-main lagl melainkan penghinaan yang tidak pantas. Li Hwa tidak mau menangkis dengan pedangnya, melainkan kedua kaki yaog tadinya ditarik ke atas, tiba-tiba ia lonjorkan dan dengan tepat ia menyambut ujung tongkat itu dengan tumit kakinya, kemudian dengan. meminjam tenaga so-dokan tongkat iluu tubuhnya mumbul setinggi tiga atau empat tombak ke atas! Dengan cara ini ia hendak sekaligus melewati pendeta itu dan menang!

   "Lihai sekali!" teriak Thai Gu Cinjin melihat kehebatan ginkang dari nona itu dan Sin Hong juga diam-diam girang dan memuji kecerdikan Li Hwa yang dapat mempergunakan hinaan lawan untuk mencapai kemenangan.

   Akan tetapi baik Li Hwa maupun Sin Hong menjadi terkejut sekali ketika tiba-tiba tongkat panjang itu "terbang" dari tangan kakek itu, meluncur ke atas seperti anak panah terlepas dari busurnya! Serangan ini berbahaya sekali dan hanya seorang dengan ginkang tinggi seperti Li Hwa yang dapat menyelamatkan diri. Melihat luncuran tongkat ke depannya itu, Li Hwa maklum bahwa kalau ia melanjutkan lompatannya, ia akan termakan oleh tongkat itu. Untuk mengelak tak mungkin lagi, maka cepat ia memegang pedangnya dengan kedua tangan, diayun ke bawah memapaki datangnya tongkat dengan seluruh tenaganya. Terdengar suara keras dan kembali bunga api berpijar. Tongkat kena dihajar pedang terlempar ke bawah, akan tetapi juga tubuh Li Hwa terpental ke belakang kembali sehipgga ketika gadis ini me-lompat turun, ia. masih belum melewati kakek yang telah memegang tongkatnya lagi!

   "Li Hwa, kau mundurlah. Biar aku mencoba-coba," kata Sin Hong, maklum bahwa ia menghadapi seorang sakti yang tak boleh dipandang ringan sama sekali. Ia menjura kepada pendeta Lama itu sambil berkata.

   "Maaf, Locianpwe. Aku yang muda mohon lewat!" Setelah berkata demikian derigah larigkah tenang dan biasa saja Sin riong berjalan maju. Thai Gu Cinjih biar-pun masih memandang rendah kepada laki-laki muda ini namun karena ia dapat menduga bahwa lawan kedua ini tentu lebih lihai daripada wanita tadi, memegang tongkatnya dengan kedua tangan, disodorkan merupakan palang yang mencegah Sin Hong lewat. Kedua tangannya memegang ujung tongkat kuat-kua dan matanya memandang orang yang aatang penuh perhatian dan bersiap-siap.

   Dengan sekilas pandang, Sin Hong mengukur kedudukan kakek itu dengan penuh perhitungan, kemudian ia berkata.

   "Maaf, Locianpwe. Tongkatmu menghalangi jalan!" la membungkuk dan menangkap tongkat itu dengan kedua tangan mengerahkan tenaganya untuk menekan tongkat itu ke bawah.

   Thai Gu Cinjin kaget sekali. la melakukan penjagaan dengan tongkat untuk mencegah orang lewat dan untuk menggebuk atau mendorong orang yang hendak melompati tongkatnya. Tak disangkanya sama sekali bahwa orang muda ini menangkap tongkatnya dan menekannya ke bawah. Tentu saja untuk mengadu tenaga, ia kalah kedudukan. Orang muda itu memegang ujung sana tongkatnya dan menekan ke bawah. Kalau ia harus mempertahankan dan mengangkat tongkat itu dari ujung sini, berarti tenaganya menjadi satu lawan sepuluh! Akan tetapi Thai Gu Cinjin memang berwatak sombong.

   Ia terlalu percaya akan kepandaiannya sendiri yang dianggapnya tidak ada bandingnya. Di samping kesombongan ini, juga ia berpikir andaikata ia kalah tenaga, toh masih belum berarti bahwa pemuda itu dapat lewat. Begitu tongkatnya dilepaskan oleh lawannya dan lawan itu hendak melompat lewat, ia masih "dapat menggebuk dari belakang! Karena pikiran inilah maka Thai Gu Cinjin lalu mengerahkan seluruh teoaganya untuk mempertahankan tekanan Sin Hong.

   Akan tetapi kakek inii sama sekali tidak tahu bahwa ia berha.dApan dengan Wan Sin Hong pendekar muda, yang berilmu tinggi sehingga tujuh delapan tahun yang lalu sampai memenangkani pemilihan bengcu di Ngo-heng-san! Biarpun ia mengerahkan seluruh tenaganya, dengan amat mudah karena memang menang kedudukan sehingga dengan sepersepuluh tenaganya saja Sin Hong dapat menang-kan tenaga lawan ujung tongkat itu tentu ditekan, oleh Sin Hong sampai masuk ke dalam tanah! Sin Hong terus menekan dan ujung tongkat itu amblas dan melesat terus makin lama makin dalam.

   Thai Gu Cinjin terkejut. la tak menyangka! Memang, kekalahan adu tenaga ini tidak ia herankan oleh karena memang kedudukannya yang kalah, akan tetapi ia tidak pernah memperhitungkan bahwa pemuda itu bukan hanya menekan sekedar untuk melompati tongkat, melainkan bermaksud menekan terus sampai tongkat itu melesak ke dalam tanah sehingga mudah baginya mengendurkan tenaganya melawan. Biarpun tongkat amblas ke dalam tanah, pikirnya asal saja masih kukerahkan tenagaku, begitu dilepaskan olehnya akan dapat tercabut kembali untuk mengemplang kepalanya dari belakang!

   Di samping ilmu silatnya yang tinggi, Sin Hong juga memiliki otak yang sehat dan cerdik, maka ia sudah dapat menduga apa yang tersembunyi di balik pengerahan tenaga sia-sia dari kakek itu. la menekan terus, kemudian pada saat yang baik ia melepaskan tongkat sambil berseru.

   "Aku lewat!"

   Tongkat yang tadinya terpendam da-lam tanah itu tiba-tiba tercabut membawa gumpalan-gumpalan tanah. Sedianya tongkat itu dari bawah akan langsung menghantam tubuh Sin Hong yang me-lewatinya. Akan tetapi dengan gerakan tenang-tenang saja Sin Hong menunda langkahnya, hanya untuk beberapa detik saja karena begitu tongkat itu tercabut dan melayang kuat ke atas, ia menerobos dari bawah tongkat! Ketika Thai Gu Cinjin sadar bahwa ia kena tipu, orang muda itu sudah lolos dan sudah berdiri jauh melewatinya, tak dapat dihalanginya atau dicegah oleh tongkatnya lagi.

   Wajah Thai Gu Cinjin menjadi merah sekali. Keringat berkumpul di dahinya yang kelimis. la memandang kepada Sin Hong dengan mata bersinar-sinar mengeluarkan hawa panas.

   "Jahanam, kau telah menipuku! Kau lewat bukan mengandalkan kepandaian, melainkan mengandalkan tipu muslihat licik!" bentaknya marah.

   Sin Hong tersenyum dan menjura dari tempat ia berdiri.

   "Locianpwe, seorang tua seperti Lo-cianpwe ini apa mungkin menelan kembali ludah yang sudah dikeluarkan?"

   "Setan! Aku tadi berjanji kalau kalian dapat lewat baru aku mau bicara. Siapa menarik kembali omongan? Dengar baik-baik, aku berjanji lagi bahwa kalau kau sekarang dapat menghalangi aku lewat, aku takkan banyak omong lagi dan kau boleh membawa pergi bocah setan Tiang Bu""

   Sin Hong mengerutkan alisnya. la maklum bahwa ia menghadapi seorang yang berilmu tinggi, akan tetapi berbatin rendah. Dengan orang macam ini tak mungkin dicapai penyelesaian secara damai. Kalau ia tidak memperlihatkan kepandaiannya, kakek iru pasti akan berlagak terus. Maka ia segera siap meng-hadapi tantangan itu. Memang kata-kata tadi sama dengan tantangan, karena ia dapat menduga bahwa kakek itu pasti akan berusaha keras untuk dapat melewatinya, biarpun untuk usaha itu ia harus membunuh lawannya. Ini bukan merupakan peerjanjian atau pertaruhan biasa saja, melainkan menyangkut kehormatan maka tentu akan dipertahankan mati-matian. Namun, Sin Hong masih memancing untuk mengetahui pasti isi hati lawan.

   "Baiklah, Locianpwe. Memang aku dapat menduga bahwa akhirnya Locianpwe tentu akan mengembalikan bocah itu kepada kami. Harap Locianpwe jelaskan apakah Locianpwe hendak lewat dengan tangan kosong, ataukah dengan bantuan senjata?"

   Thai Gu Cinjin menjadi mendongkol dan merasa disindir. Tapi orang muda ini memang telah berhasil "lewat" biarpun dengan cara menipu, dengan mengandalkan tangan kosong belaka. Akan tetapi ia tidak mau berlaku bodoh seperti tadi tidak mau gagal oleh karena memandang rendah lawan. Orang rnuda yang sikapnya tenang, matanya terang, bicaranya ramah seperti ini lebih baik jangan dipandang rendah.

   "Aku sudah tua dan lemah, kemana-mana harus dibantu tongkatku ini."

   Thai Gu Cinjin mengira bahwa orang muda itu tentu menjadi gentar dan mengajukan alasan supaya ia lewat dengan tangan kosong. Kalau sampai terjadi demiklan, ia akan mendapatkan kembali mukanya dan dapat membalas orang muda itu dengan ejekan bahwa pemuda itu takut. Akan tetapi ia kecele. Sin Hong menarik napas panjang, tahu bahwa kakek ini menghendaki pertandingan silat dengan senjata. Hal ini sama sekali tidak menggelisahkan hatinya, bahkan ia merasa lega. Kalau kakek ini menggunakan tongkat yang berarti bersenjata, ia pun tidak malu-malu mempergunakan pedangnya. Dan karena tongkat itu pun senjata ampuh seperti tadi telah terbukti ketika beradu dengan Cheng liong kiam maka ia tidak malu mempergunakan Pak kek Sin kiam dan takkan disebut mencapai kemenangan karena mengandalkan senjata pusaka.

   "Baiklah, Locianpwe. Aku siap sedia. Kau cobalah untuk lewat!" katanya sambil mencabut pedangnya yang mengeluarkan cahaya lebih cemerlang daripada cahaya hijau dari Cheng liong kiam tadi. Melihat ini Thai Gu Cinjin tertegun dan kagum sekali.

   "Banyak pedang bagus!" katanya.

   "Kalau aku tak dapat lewat, kalian boleh bawa pergi Tiang Bu. Akan tetapi kalau sebaliknya, kalian harus meninggalkan pedang-pedang itu!"

   Ternyata kakek inl tldak mengenal pedang Pak kek Sin kiam yang akan dikenal oleh ratusan tokoh-tokoh kangouw lainnya. Hal ini tidak mengherankan oleh karena Thai Gu Cinjin baru sekarang turun gunung meninggalkan Tibet. Tidak seperti banyak orang sakti yang selalu mengunjungi Tibet, di waktu dahulu pemilik pedang ini, Pak kek Siansu belum pernah ke Tibet. Oleh karena inilah maka tokoh-tokoh besar Tibet ini tidak mengenal Pak kek Sin kiam, baik nama maupun rupa.

   "Kalau Locianpwe yang menang apa yang hendak kau lakukan, baik yang patut maupun yang tidak kami akan dapat berbuat apakah?" kata Sih Hong yang sudah berdiri dengan pedang melintang di tangan kanan.

   Pemuda ini tenang sekali. Dengan pedang di tangan memang Sin Hong boleh merasa tenang. Dalam hal ilmu pedang kiranya Pak-kek Kiamsut sukar dlcari bandingannya, apatagi kalau ilmu pedang ini dimainkan oleh Sin Hong yang mempelajarl dengan sempurna, ditambah dengan Pak-kek Sinkiam di tangannya pula! Andaikata ia menghadapi kakek itu dalam pertempuran tangan kosong, belum tentu ia akan setenang dan sepasti itu untuk mencapal kemenangan. Thai Gu Cinjln tentu saja merasai sindiran Sin Hong ini. Dengan marah ia mengayun tongkatnya tinggi-tinggi di atas kepala, memutar-mutarnya sehingga mengeluarkan angin dan bersuara mengaung seperti kitiran angin.

   "Awas aku lewat. Minggir.....!!" bentaknya menerjang maju. Melihat ini, diam-diam L.i Hwa meleletkan lidahnya yang merah. Kakek itu benar-benar berbahaya sekali, pikirnya. Dari gerakan tongkat dan angin yang menyambar-nyambar saja gadis ini pun tahu bahwa kakek itu berkepandaian tinggi dan bertenaga besar. Ia takkan merasa aneh kalau saja mendengar bahwa kakek ini merampas Tiang Bu dari tangan Pak kek Samkui, karena dapat diduga bahwa kepandaian kakek ini memang lebih tinggi daripada kepandaian Pak-kek Samkui.

   Sin Hong menggerakkah pedangnya menangkis. Seperti juga tadi ketika tongkat bertemu dengan Cheng liong kiam, terdengar suara keras dan terlihat sinar api berpencaran. Thai Gu Cinjin merasa tangannya kesemutan. Kagetlah ia dan cepat-cepat ia menarik kembali tongkatnya untuk diperiksa apakah tidak rusak. Ia melihat tongkat itu tidak apa-apa, hanya warna lapisannya lecet-lecet. Ia memandang kepada Sin Hong yang berdiri tenang-tenang saja. Bukan main heran hatinya. Akan tetapi keheranannya terganti kemarahan yang memuncak. Kehormatannya tersinggung. Masa ia harus kalah oleh seorang bocah seperti ini? Kini ia menggeram dan melangkah maju. Lenyap sama sekali keinginan hatinya hendak lewat saja terganti oleh nafsu merobohkan atau mengalahkan pemuda berpedang pusaka ini.

   "Robohlah!" bentaknya dan kini tongkatnya dimainkan dengan gerakan silat yang kuat dan cepat juga amat aneh gerak-geriknya. Muka Thai Gu Cinjin yang berwarna ungu itu kini berubah merah gelap. Sin Hong mengelak cepat dan membalas dengan serangan pedangnya. Ia harus bertaku awas karena menghadapi gerakan ilmu tongkat yang amat aneh. Namun, Pak kek Kiamsut memang bukan ilmu pedang sembarangan dan di dalam ilmu pedang ini terdapat segala macam gerakan untuk menghadapi macam-macam lawan.

   Sebentar saja pedangnya tenyap berubah menjadi gundukan sinar yang menyilaukan mata, yang membendung hujan pukulan tongkat dan membalas dengan kecepatan halilintar menyambar-nyambar membuat Thai Gu Cinjin terkejut bukan main. Baru sekarang Thai Gu Cinjin mendapat kenyataan dan terbuka matanya bahwa yang dapat mengalahkannya di dunia ini bukan hanya kakek-kakek sakti di Omeisan dan Angjiu Moli iblis wanita dari utara itu. Ilmu pedang orang muda ini hebat sekali, bahkan kalau ia bandingkan dengan ilmu pedang dari Angjiu Moli yang pernah ia lihat kiranya tidak kalah lihai.

   Sementara itu, Siok Li Hwa mendekati Tiang Bu yang melihat pertempuran itu dengan mulut ternganga dan mata terbelalak. Hampir ia tidak percaya akan penglihatannya sendiri menyaksikan pertempuran yang hebat bukan main itu, Thai Gu Cinjin kelihatan seperti raksasa mengamuk. Tongkatnya berubah menjadi gulungan sinar hitam yang panjang seperti seekor naga hitam, nampaknya dahsyat dan mengerikan. Di lain fihak lawannya telah lenyap, hanya bayangannya saja kadang-kadang nampak di antara gulungan sinar pedang yang berkelebatan cepat.

   Pemandangan itu mirip dengan hari hujan di mana sinar tongkat itu merupakan mendung hitam sedangkan sinar pedang merupakan sinar kilat yang menyambar-nyambar dan diantara mendung dan kilat itu bertempur seorang raksasa ganas melawan seorang dewa yang tampan! Yang amat mengherankan hati Tiang Bu, bagaimana orang muda itu dapat melawan Thai Gu Cinjin? Selama ini, orang yang dianggapnya paling lihai hanyalah Thai Gu Cinjin yang dengan mudah merampasnya dari tangan Pak-kek Samkui yang begitu jahat dan menakutkan. Akan tetapi sekarang pertempuran itu berjalan demikian seru dan siapakah di antara mereka yang lebih unggul.

   "Tiang Bu, apakah kau tidak mengenal orang yang hendak menolongmu supaya kau bisa pulang? Tidak kenalkah kau akan orang yang sekarang bertempur melawan pendeta Lama itu?" Pertanyaan dari Li Hwa yang tiba-tiba sudah berada di dekatnya ini mengejutkan hati Tiang Bu. Ia menggeleng kepalanya, akan tetapi matanya terus mengincar ke arah dua orang yang tengah bertempur.

   "Apakah Ayah Bundamu dahulu belum pernah menyebut nama Wan Sin Hong di depanmu?" tanya pula Li Hwa terheran-heran. Mendengar disebutnya nama ini, tiba-tiba Tiang Bu teringat. Pernah sambil lalu ketika Tiang Bu minta ayah ibunya mengajar ilmu silat, ibunya berkata.

   "Kelak saja kau boleh belajar ilmu silat kepada pendekar besar yang menjadi pemimpin semua ahli persilatan, yaitu Wan bengcu."

   Ketika ia mendesak dan bertanya siapa adanya Wan bengcu itu, ibunya menjawab.

   "Dia adalah sahabat baik ayah bundamu bahkan dia masih terhitung Susiokku (Paman Guruku). Namanya Wan Sin Hong dan kiranya di dunia ini tidak ada orang yang dapat menandingi ilmu silatnya."

   Demikianlah yang ia ingat tentang nama Wan Sin Hong. Jadi orang yang lihai inilah Wan Sin Hong yang oleh ayah bundanya hendak dijadikan gurunya? Tiang Bu memandang makin tertarik akan tetapi sayang matanya belum begitu awas untuk dapat mengikuti jalannya pertempuran yang cepat itu.

   Melihat ini, Li Hwa menoleh ke arah pertempuran lalu berkata dengan suara pasti.

   "Dia pasti akan menang. Pernahkah Ayah Ibumu menyebut nama Wan Sin Hong?"

   Kini Tiang Bu mengangguk dan matanya bersinar gembira. Li Hwa juga merasa senang karena sekarang anak itu agaknya percaya kepadanya dan tidak curiga seperti tadi.

   "Siapakah Kakek Gundul sombong itu? Apa betul dia gurumu?"

   "Dia bernama Thai Gu Cinjin, pendeta Lama dari Tibet," jawab Tiang Bu tanpa mengalihkan pandangan matanya dari medan pertempuran.

   "Teecu dipaksa menjadi muridnya setelah dia merampas teecu dari tangan Pak-kek Samkui. Aduuhh..... kenapa itu.....??" Tiba-tiba Tiang Bu menuding ke arah pertempuran yang mengalami perubahan. Kini ia melihat Sin Hong, nampaknya orang muda itu kelelahan atau entah mengapa. Akan tetapi jelas gerakan Sin Hong tidak seperti tadi, pedangnya mulai tidak karuan dan tiba-tiba Thai Gu Cinjin yang kini sudah mengeluarkan sebuah saputangan merah membentak.

   "Orang muda, lepaskan pedangmu dan berlututlah!" Aneh sekali! Sin Hong terhuyung-huyung berusaha menetapkan langkahnya namun tak berhasil akhirnya ia benar-benar jatuh berlutut, hanya Pak-kek Sinkiam masih di tangannya. Apakah yang terjadi?

   Setelah bertempur selama lima puluh jurus, Thai Gu Cinjin yang sombong itu harus mengakui keunggulan Wan Sin Hong. Sudah dua kali dalam lima puluh jurus itu Sin Hong membuktikan keunggulannya. Dengan ilmu pedangnya yang luar biasa itu, ia telah berhasil membabat putus ujung lengan baju dan ujung jubah lawannya. Oleh karena maklum pemuda yang dihadapinya memiliki ilmu pedang yang tinggi sekali dan kalau dilanjutkan tentu ia akan kalah, Thai Gu Cinjin lalu mempergunakan ilmu sihirnya. Kaum Lama di Tibet pada umumnya memuja roh suci, terutama sekali roh suci dari Buddha yang mereka percaya selalu jutsi (menjelma) menjadi seseorang yang mereka pilih menjadi Dalai Lama. Kalau kaum Lama ini memuja roh suci yang mereka harapkan dapat memimpin mereka ke arah jalan kebenaran, adalah kaum Lama jubah merah ini memuja atau mengadakan hubungan dengan roh-roh jahat atau roh-roh penasaran, bukan untuk memuja guna kebaikan jalan hidup, melainkan dipuja untuk dipergunakan bantuannya dalam menjalankan ilmu-ilmu hitam.

   Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tingkat ilmu silat Wan Sin Hong memang sudah amat tinggi dan kiranya tidak banyak orang-orang sakti di dunia ini yang akan dapat mengalahkannya dalam ilmu silat. Akan tetapi dia masih muda dan pengalamannya tentu saja masih belum cukup banyak. Belum pernah ia berhadapan dengan lawan yang mempergunakan ilmu sihir untuk menyerangnya. Kalau lawannya mempergunakan pukulan atau serangan dengan senjata-senjata berbisa, kiranya mengandalkan kepandaiannya yang tinggi ia akan dapat menyelamatkan diri. Akan tetapi kali ini Thai Gu Cinjin mempergunakan ilmu sihir atau hoat-lek (ilmu gaib) dengan mempengaruhi dan menguasai semangat Sin Hong melalui pandangan mata, gerak tangan penuh rahasia, dan suara perintah yang menyeramkan.

   "Orang muda, lepaskan pedangmudan berlututlah!" bentaknya dan Sin Hong terhuyung-huyung, berusaha menetapkan langkahnya namun tak berhasil dan akhirnya menyerah terhadap kekuasaan aneh yang memaksa dan menguasainya. Ia jatuh berlutut, hanya Pak-kek Sinkiam masih di tangannya, tergenggam erat-erat. Ini tepat dengan wataknya, agaknya pedang pusaka di tangan takkan dilepaskannya! Semboyan "mati hidup dengan pedang di tangan" menjadi pedoman setiap orang gagah.

   Thai Gu Cinjin tertawa bergelak melihat lawannya yang muda dan lihai itu sudah takluk di bawah pengaruh sihirnya.

   "Orang muda sombong, baru kau tahu kelihaian Thai Gu Cinjin. Kaukira aku tidak bisa melewatimu? Minggirlah!" Sambil berkata demikian tongkatnya yang panjang itu meluncur cepat ke arah ulu hati Sin Hong.

   Biarpun kedua kakinya seperti lumpuh dan tak berdaya, menghadapi serangan maut ini, otomatis tenaga dan hawa sinkang di dalam tubuh Sin Hong bekerja dan seakan-akan tanpa ia gerakkan lagi tubuhnya sudah miring membuat gerakan mengelak! Akan tetapi serangan Thai Gu Cinjin bukan seperti serangan tukang silat sembarangan saja. Kepandaian kakek ini sudah tinggi dan melihat tubuh itu mengelak, ia pun mengejar dengan tongkatnya.

   "Brukkk.....!!" Dada sebelah kanan dari pemuda itu terdorong ujung tongkat. Tubuh itu mencelat sampai empat tombak lebih, terbanting bergulingan lalu rebah tertelungkup di atas tanah tak berkutik.

   "Sin Hong.....!!" Li Hwa lupa akan segalanya. Gadis ini melompat dan mengejar Sin Hong, lalu menubruk dan memelukinya. Dipangkunya kepala Sin Hong, didekap ke dadanya dan ia memperhatikan muka kekasihnya itu. Darah segar mengalir keluar dari mulut Sin Hong, membuat bibirnya menjadi merah berlepotan darah. Mukanya pucat sekali dan matanya terpejam.

   "Sin Hong.....! Bangunlah.....! SinHong, jangan kau mati...... jangan tinggalkan aku, Sin Hong.....!!" Saking kaget dan khawatirnya kalau-kalau pemuda yang menjadi pujaannya itu mati, Li Hwa lupa akan kegagahannya dan menangis seperti anak kecil. Ia tadi menyaksikan sendiri, betapa hebatnya dorongan tongkat dari Thai Gu Cinjin dan sebagai seorang ahli silat tinggi ia dapat mengerti bahwa pukulan semacam itu agaknya tidak mungkin dapat ditahan orang, apalagi kalau yang terkena itu bagian dada.

   "Sin Hong, jangan tinggalkan aku....., bawalah aku serta....." Ia menangis dan lupa akan segala, ia mencium muka yang disangkanya sudah akan ditinggalkan nyawa itu. Ia tidak peduli betapa darah segar yang mengalir keluar dari mulut Sin Hong itu mengenai pipinya, hidungnya, bahkan bibirnya terkena darah dan terasa darah pada mulutnya!

   "Suhu, kau..... kau kejam sekali! Kau..... kau jahat"!"

   Teriakan ini dikeluarkan oleh Tiang Bu yang merasa amat terharu melihat sikap Li Hwa. Saking marahnya ia lupa diri dan melompat maju ke depan Thai Gu Cinjin, terus menyerang kakek itu dengan ilmu silat yang ia pelajari dari kitab, yaitu Pat hong hongi!

   "Plak buk plak buk.....!" Thai Gu Cin mengeluarkan seruan kaget ketika ia melompat ke belakang. Serangan bocah tadi sungguh aneh luar biasa sehingga biarpun Thai Gu Cinjin yang lihai sudah mengelak cepat, tetap saja kaki tangan bocah itu memberi hadiah dua kali tendangan dan dua kali pukulan yang datangnya susul menyusul. Baiknya bocah itu tenaganya tidak seberapa, kalau yang melakukan pukulan tadi orang yang sudah dewasa dan memiliki tenaga lweekang, tentu ia sudah roboh!

   "Murid pengkhianat, kau mau membela musuh?" bentak Thai Gu Cinjin untuk menutupi malunya dan tongkat panjangnya menyambar ke arah kepala Tiang Bu dengan hebatnya. Akan tetapi... pukulan itu mengenai tempat kosong. Bagaikan seekor monyet yang lincah Tiang Bu berhasil mengelakkan diri. Thai Gu Cinjin menjadi makin penasaran. Tongkatnya menyambar lagi, sekali, dua kali, tiga kali. Tetap saja mengenai angin belaka. Tiang Bu dengan langkah-langkah aneh selalu dapat rnengelak. Ternyata bahwa bocah ini telah mempergunakan Ilmu Kelit Sam hoan Sambu yang ia pelajari dari mendiang Bu Hok Lokai dan ternyata hasilnya luar biasa. Ahli silat biasa jarang ada yang dapat menyelamatkan diri dari pukulan tongkat satu kali saja dari Thai Gu Cinjin, apalagi sampai empat kali!

   Thai Gu Cinjin menggereng marah, tangan kirinya ikut bergerak mengeluarkan pukulan khikang. Benar saja, terkena hawa pukulan ini, tubuh Tiang Bu terhuyung-huyung seperti didorong dan ia tidak dapat lagi mainkan Samhoan Sambu dengan baik. Tongkat panjang sudah bersiutan di atas kepalanya yang agaknya sebentar lagi akan remuk seperti kepala tikus dihantam dengan batu besar.

   "Cringgg.....!" Bunga api berpijar .ketika tongkat itu tertangkis dan terpental. Thai Gu Cinjin makin marah ketika melihat bahwa yang menangkis tongkatnya itu adalah pedang di tangan Wan Sin Hong yang memegang pedangnya dengan tangan kiri.

   "Thai Gu Cinjin, kau tidak patut disebut orang gagah. Keji sekali hendak membunuh seorahg bocah kecil!" kata Sin Hong dengan suara halus dan tenang, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar bercahaya.

   Bagaimanakah Sin Hong sudah dapat bangun kembali? Pertanyaan ini memenuhi pula kepala Thai Gu Cinjin. Sin Hong telah memiliki sinkang yang amat luar biasa di dalam tubuhnya. Pukulan tadi biarpun mendatangkan luka hebat dalam dada sebelah kanan, akan tetapi tidak sampai mencabut nyawanya. Pula, kejernihan pikiran dan hati berkat latihan bertahun-tahun dalam ilmu Imkang dan Yangkang membuat la sebentar saja pingsan. Ia sadar dan siuman dalam dekapan Li Hwa yang menjadi girang bukan main melihat Sin Hong dapat bergerak lagi dan membuka matanya.

   "Lepaskan, Li Hwa. Aku tidak apa-apa....." kata Sin Hong, bukan main terharunya melihat budi kecintaan yang demikian besarnya dari gadis ini terhadap dirinya. Tidak saja ia merasa terharu, akan tetapi juga mulailah bersemi cinta kasih di dalam hatinya yang tadinya sudah membeku. Melihat wajah Li Hwa yang berlinang air mata akan tetapi sekarang bibirnya tersenyum penuh harapan, melihat betapa pipi dan bibir gadis itu terkena darah merah yang mengalir dari mulutnya sendiri, tak tertahan lagi Sin Hong mengeluarkan keluhan lirih.

   "Li Hwa..... Li Hwa....." dan dua titik air mata keluar tertahan bulu matanya.

   Aneh sekali! Pada saat itu hilanglah kekuasaan aneh yang tadi membuatnya lumpuh! Memang dada kanannya terasa sakit sekali, akan tetapi adalah akibat dari pukulan tongkat, dan merupakan luka dalam yang sewajarnya. Tidak seperti lumpuhnya kedua kaki yang tidak wajar. la tidak tahu bahwa cinta kasih yang murni dapat mengusir hawa busuk dari ilmu hitam yang tadi menguasai dirinya. Dengan cinta kasih murni yang mulai bersemi di dalam dadanya, ilmu hitam Thai Gu Cinjin menjadi buyar!

   Pada saat itu ia mengerling dan melihat Tiang Bu menyerang Thai Gu Cinjin. juga Li Hwa menoleh dan kedua orang ini terheran-heran melihat betapa pukulan-pukulan Tiang Bu bisa mengenai tubuh kakek itu, kemudian betapa pukulan-pukulan dan serangan tongkat itu tidak bisa mengenai tubuh Tiang Bu.

   Sin Hong cepat mengeluarkan tiga butir pel merah, putih dan kuning dari sakunya dan menelan tiga pel itu. Ini adalah obat mujarab sekali untuk menahan rasa sakit di dalam dada kanannya. Sebentar saja dada kanannya terasa panas dan kebal seperti mati tidak begitu terasa lagi sakitnya. Akan tetapi pundak dan lengan kanannya tak dapat digerakkan. Ia memegang pedang Pak kek Sinkiam dengan tangan kiri lalu melompat dan tepat sekali dapat menangkis tongkat Thai Gu Cinjin yang hampir saja meremukkan kepala bocah itu.

   "Kau masih belum mampus?". bentak Thai Gu Cinjin kagum dan heran. Alangkah kuatnya orang muda ini, pikirnya. Akan tetapi melihat pemuda itu memegang pedang dengan tangan kiri dan pundak serta lengan kanannya kelihatan tergantung mati, hati Thai Gu Cinjin menjadi besar. Ia tidak khawatir terhadap Li Hwa dan setelah pemuda kosen ini tak dapat lagi menggerakkan pundak dan lengan kanan, ia takut apakah? Maka mendengar teguran Sin Hong yang menyebutnya tidak patut disebut orang gagah dan berwatak keji, ia tertawa bergelak sambil menggoyang-goyangkan tongkatnya dengan lagak sombong.

   "Tikus cilik, kau sudah hampir mampus masih berani membuka mulut besar? Bocah itu aku yang bawa, dia muridku dan aku hendak membunuh dia atau tidak ada sangkut paut apakah dengan kau?"

   Li Hwa dengan suara marah sekali berkata.

   "Kau pendeta busuk! Biar soal itu kami tidak mencampuri dan kami anggap kau berhak membunuhnya, akan tetapi bagaimana kau secara tak tahu malu dan tebal muka tadi telah mengalahkan orang dengan bantuan ilmu iblis? Apa itu perbuatan orang gagah?"

   Muka Thai Gu Cinjin yang biasanya berwarna ungu itu berubah menjadi kehijauan. Ini adalah tanda bahwa ia merasa malu dan juga marah. Ia menudingkan tongkatnya yang panjang sambil membentak.

   "Bocah ini roboh karena dia bodoh dan memang kalah olehku! Kalian ini dua tikus kecil yang sudah kalah tak usah banyak cakap lagi. Tinggalkan dua batang pedang kalian dan minggat dari sini!" Sambil berkata demikian ia menggerakkan tongkatnya mengancam hendak menghancurkan kepalanya dua orang muda itu.

   "Wan-sioksiok (Paman Wan), kau sudah terluka. Biarlah aku saja mengadu nyawa dengan Kakek jahat ini!" Tiba-tiba Tiang Bu berseru dan melompat hendak menyerang Thai Gu Cinjin lagi.

   "Tiang Bu, mundur kau!" kata Sin Hong dengan suara keren, akan tetapi pandang matanya kepada bocah itu penuh kekaguman dan senang. Kemudian ia menghadapi Thai Gu Cinjin, pedang di tangan kirinya melintang di depan dada.

   "Thai Gu Cinjin, ketahuilah bahwa aku Wan Sin Hong bukan seorang yang takut menghadapi kematian. Kita bukan anak kecil, juga kita adalah orang-orang kawakan di dunia kangouw yang tahu akan peraturan-peraturan kangouw. Memang tadi aku telah kalah olehmu karenakau mempergunakan hoatsut dan aku kurang waspada sehingga kena tertipu olehmu, maka luka di dadaku sudah sewajarnya, hukuman bagi kelalaianku. Akan tetapi aku belum menerima kalah. Tanganku masih sebelah lagi dan pedangku belum pernah terlepas dari tangan. Mari kita bertempur secara jantan, mengandalkan kepandaian silat. Kalau aku kalah olehmu, tidak hanya pedang kuberikan, juga kepalaku!"

   Sejak tadi mendengar pemuda itu memperkenalkan nama sikap Thai Gu Cinjin sudah berubah. Ia memandang penuh perhatian lalu mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Jadi kau inikah bengcu baru yang muda dan bijaksana menurut kata orang? Pantas kau lihai. Akan tetapi ketahuilah bahwa daerahku di Tibet tidak termasuk wilayahmu, maka bagiku kau bukan bengcu. Kau masih berani menantangku dengan sebelah tanganmu lumpuh? Benar-benar aku harus memuji ketabahanmu. Orang she Wan, setelah sekarang aku mengerti bahwa kau adalah Wanbengcu, biarlah memandang muka orang-orang kangouw aku habiskan perkara sampai di sini saja. Kau dan Nona ini boleh pergi membawa pedang kalian!"

   Biarpun amat mendongkol melihat orang sudah melukai kekasihnya sampai hampir saja tewas itu sekarang bicara tentang perdamaian, namun Li Hwa yang merasa amat gelisah melihat keadaan Sin Hong lalu menarik tangan pemuda itu sambil membujuk untuk pergi saja.

   "Kau terluka, tak baik bertempur lagi," katanya.

   Akan tetapi Sin Hong menggeleng-geleng kepalanya sambil memandang ke arah Tiang Bu. Tak mungkin ia mau pergi meninggalkan Tiang Bu terancam bahaya maut hanya untuk menyelamatkan dirinya sendiri, Li Hwa juga seorang yang berjiwa gagah, pada saat lain kiranya ia pun akan berpendirian sama, yaitu tidak sudi menyelamatkan diri dan membiarkan orang lain dalam ancaman maut, Akan tetapi, pada saat itu seluruh perhatian Li Hwa tercurah kepada Sin Hong dan ia tidak dapat memikirkan lain kecuali keselamatan Sin Hong.

   "Tenang, Li Hwa. Aku tahu baik apa yang kulakukan. Aku kuat menghadapinya. Jangan kau gelisah," kata Sin Hong, kemudian ia berkata kepada Thai Gu Cinjin.

   "Thai Gu Cinjin, sukur kau menghendaki dihabiskannya urusan ini. Akan tetapi Tiang Bu harus ikut aku. Aku memang diminta oleh dua orang tuanya untuk mencari dan membawa pulang anak ini. Harap dapat mempertimbang-kannya."

   "Tidak mungkin! Kau baru boleh membawanya kalau dia sudah menjadi mayat"." bentak Thai Gu Cinjin.

   "Hemm, kalau begitu terpaksa kita melanjutkan pertempuran untuk melihat siapa yang berhak membawa pergi anak itu."

   Thai Gu Cinjin menjadi marah sekali.

   "Wan Sin Hong, kau terlalu sekali. Kalau tadi aku hendak menghabiskan urusan adalah karena aku mengingat akan orang-orang kangouw, bukan sekali-kali karena aku takut kepadamu! Masih lengkap kedua tanganmu saja aku tidak takut dan dapat mengalahkanmu, apalagi sekarang. Akan tetapi kau memaksaku dan menantang karena bocah ini. Benar-benar kau sudah bosan hidup.

   "Terserah apa yang kaupikir, Thai Gu Cinjin. Aku tetap mempertahankan bocah ini yang harus pulang ke rumah orang tuanya."

   "Keparat, kaukira aku takut menghadapi pembalasan orang-orangmu? Siaplah untuk mampus!" Setelah berkata demikian, Thai Gu Cinjin memutar tongkatnya dan menyerang hebat.

   "Pendeta bau! Kalau kau bukan banci kau tentu melawan Wanbengcu dengan kepandaian silat, bukan dengan ilmu iblis!" Li Hwa berteriak-teriak dengan hati gelisah.

   "Pendeta murid iblis jahat berhati keji macam dia mana becus main silat? Kalau tidak mengandalkan ilmu iblisnya jangankan oleh Wan-sioksiok, aku sendiri pun mampu menghajar kepala gundulnya sampai benjol-benjol!" Tiang Bu berseru keras-keras. Bocah yang amat cerdik ini tahu ke mana tujuan seruan Li Hwa tadi, maka ia serta merta membantu.

   Mendengar teriakan-teriakan ini muka Thai Gu Cinjin menjadi merah kehitaman. Tadi boleh jadi ia jerih menghadapi Sin Hong tanpa mempergunakan ilmu hitamnya. Akan tetapi sekarang setelah, Sin Hong terluka berat di dalam dadanya dan tidak mampu lagi menggerakkan pundak dan lengan kanan, ia takut apakah?

   "Tikus-tikus. cilik kalian lihat saja. Setelah manusia she Wan ini roboh, kalian akan kukubur hidup-hidup!"

   "Asal saja menguburnya jangan menggunakan ilmu setan!" teriak Tiang Bu.

   "Thai Gu Cinjin, kalau kau memang jantan tulen bukan banci, kau harus berani menyatakan bahwa kau tidak akan menggunakan ilmu hitam!"

   "Baik lihatlah, aku tidak menggunakan Hoatsut!" teriak Thai Gu Cinjin marah dan dengan perut panas. Hoatsut adalah ilmu sihir yang banyak dipelajari tokoh-tokoh kangouw di daerah utara dan barat. Tibet adalah sebuah di antara pusat-pusat ilmu hitam itu.

   Dengan tongkatnya yang panjang dan berat Thai Gu Cinjin mulai menghujani Sin Hong dengan serangan-serangan dahsyat. Pikirnya, seorang lawan yang sudah menderita luka dalam seperti orang muda ini, tentu dalam beberapa jurus saja akan mudah ia robohkan. Akan tetapi Sin Hong bukanlah orang biasa. Ilmu kepandaiannya sudah mencapai tingkat yang tinggi, apalagi ilmu pedangnya.

   Biarpun ia hanya bermain pedang dengan tangan kiri sedangkan lengan kanannya tak dapat ia gerakkan untuk menjadi imbangan, namun kehebatan pedangnya masih luar biasa sekali. Pedang di tangan kirinya setelah ia mainkan berubah menjadi sinar seperti kilat menyambar-nyambar dan selalu dapat menangkis serbuan tongkat lawan, bahkan dengan secara tak terduga-duga sama sekali masih dapat melakukan tekanan dan serangan balasan yang tak kalah dahsyatnya!

   Dengan gerakan dahsyat seperti gerak tipu Hai-ti-lauw-liong (Menyelam Laut Mengejar Naga), tongkat Thai Gu Cinjin digerakkan secara melengkung, menyambar ke arah pinggang Sin Hong. Angin dingin berbunyi bersiutan ketika tongkat itu mengancam pinggang Sin Hong yang akan remuk bersama tulangnya kalau terkena pukulan maut ini.

   Sin Hong terlalu tenang. Dengan gerakan Pak-hong-phu-liu (Angin Meniup Cemara) dari Ilmu Pedang Sam-hong kiamsut (Ilmu Pedang Angin Puyuh) yang dulu ia pelajari dari Luliang Samlojin, tubuhnya meniarap hampir rata dengan bumi dan pedangnya bergerak di atas tubuh melindungi diri sehingga sabetan tongkat lawannya melewat di atas kemudian disentil oleh pedangnya untuk mencegah tongkat itu bergerak ke bawah. Setelah meluputkan diri dari serangan dahsyat lawannya, Sin Hong melompat berdiri terus membalas kontan dengan gerak tipu Sian-jin Sia-ciok (Dewa Memanah Batu) dari ilmu pedangnya Pak-kek Kiamsut yang hebat. Serangannya tidak berhenti sampai di sini saja, melainkan disambung dengan serangan-serangan lain Hui-in-ci-tiam (Awan Mengeluarkan Kilat) dan Hui-po-liu-hong (Air Mancur Pelangi Melengkung).

   Menghadapi serangan bertubi-tubi dari tipuan Pak-kek Kiamsut ini, biarpun hanya dilakukan dengan tangan kiri, Thai Gu Cinjin menjadi silau matanya dan kabur pandangannya. Kepalanya pening dan ia tidak tahu lagi ke mana meluncurnya sinar pedang lawan. Tahun-tahu ia merasa lengan kanannya perih dan tongkatnya terlepas, kemudian pundak kirinya sakit sekali menyebabkan lengan kirinya lumpuh dan di lain saat ia telah terjungkal dan roboh dalam keadaan duduk! Ternyata bahwa rentetan serangan hebat itu telah membuat lengan kanan Thai Gu Cinjin terobek kulit dan dagingnya, pundak kirinya putus tulang sambungannya dan dadanya tertendang kaki Sin Hong!

   Di lain fihak, Sin Hong yang tertalu banyak mengerahkan tenaga dalam keadaan terluka hebat di dada kanannya, terhuyung-huyung dan tentu roboh kalau tidak cepat-cepat dipeluk oleh Li Hwa. Menyaksikan sepak terjang Sin Hong yang gagah perkasa, yang dalam keadaan terluka hebat dan terancam nyawanya masih tidak sudi melarikan diri meninggalkan Tiang Bu, kemudian betapa dalam keadaan terluka parah masih berhasil mengalahkan lawan berat dengan pedang di tangan kiri Li Hwa menjadi kagum bukan main dan cinta kasihnya sekaligus naik sampai tak dapat diukur lagi. Ia memeluk kekasihnya itu dengan bangga dan juga cemas karena wajah Sin Hong dan juga cemas karena wajah Sin Hong tampak pucat sekali!

   

Pendekar Budiman Eps 20 Pendekar Pedang Pelangi Eps 26 Pedang Penakluk Iblis Eps 23

Cari Blog Ini