Ceritasilat Novel Online

Memburu Iblis 1


Memburu Iblis Karya Sriwidjono Bagian 1



Memburu Iblis (Seri ke 03 - Darah Pendekar)

   Karya : Sriwidjono

   Jilid 01

   Kang Lam,

   Di saat-saat gunung-gunungmu berselimutkan kembang,
Di kala lembah-lembahmu bertaburkan biji-biji mutiara,
Aku tak mampu berbuat apa-apa! Rasa haru dan bangga
Membuat aku hanya bisa berdiri melelehkan airmata..
Oh, Kang Lam!
Tak terasa rambutku telah menjadi putih!

   Syair di atas selalu bergema dan didendangkan orang di daerah Kang Lam. Di mana saja orang selalu menyanyikan lagu itu sebagai ungkapan rasa kagum serta bangga mereka terhadap keindahan dan kemolekan tanah itu. Mereka sama sekali tidak peduli siapa yang menggubah dan menciptakan syair lagu itu, sebab mereka juga hanya memperolehnya dari orang-orang tua mereka pula.

   Kang Lam!

   Kang Lam memang sebuah daerah yang sangat indah mentakjubkan! Terletak di bagian selatan dari Negeri Tiongkok yang besar. Daerahnya amat luas, tanahnya subur dan airnyapun melimpah-ruah pula. Di beberapa tempat mengalir sungai-sungai kecil yang bening airnya. Penduduknya padat, namun karena tanahnya amat subur maka hasil pertaniannyapun lebih dari cukup untuk menghidupi mereka. Apalagi matahari hampir selalu bersinar di sepanjang tahun. Kang Lam diperintah oleh seorang Kepala Daerah, yang pada saat cerita ini terjadi, yaitu pada waktu Kaisar Han pertama berkuasa(Kaisar Liu Pang), dijabat oleh Cui Kok Teng, seorang bekas jendral di masa peperangan dulu.

   Dan dalam mengatur roda pemerintahan daerahnya, bekas jendral yang sangat terkenal itu berkedudukan di Kota Soh-ciu. Soh-ciu sendiri merupakan sebuah kota yang sangat besar. Selain menjadi kota dagang yang ramai, kota Soh-ciu juga merupakan kota impian bagi orang-orang berduit. Kota itu menyediakan hampir segala macam sarana untuk bergembira dan bersenang-senang. Berbagai macam hiburan dan pertunjukan yang menarik, sampai dengan tempat-tempat terlarang seperti tempat judi dan tempat pelesiran yang sangat istimewapun tersedia pula di kota itu.

   Apalagi Soh-ciu terkenal sebagai gudang wanita cantik di seluruh daratan Tiongkok, sehingga tidak mengherankan pula apabila kota itu menjadi semakin menarik saja di mata para pendatang. Namun pada permulaan tahun ke sebelas setelah Kaisar Han berkuasa, daerah yang sangat mempesonakan itu mendadak berubah menjadi resah dan menakutkan. Daerah yang semula aman dan damai itu tiba-tiba digemparkan oleh munculnya seorang penjahat berkepandaian sangat tinggi, yang selalu mengganggu ketenteraman penduduknya. Dengan kesaktiannya yang seperti iblis, penjahat itu meraja-lela tanpa lawan. Kota demi kota dalam daerah itu dirusak dan diganggunya tanpa pandang bulu. Hampir setiap hari tentu terdengar berita tentang keganasan iblis itu.

   Terutama berita tentang kebiadabannya terhadap wanita atau gadis-gadis cantik yang diculiknya! Celakanya selama itu pula tak seorangpun yang bisa mengungkapkan siapa sebenarnya iblis itu. Hal itu disebabkan oleh karena iblis itu selain berkepandaian sangat tinggi juga selalu membunuh mati semua korbannya. Bahkan orang-orang yang pernah melihat atau memergoki perbuatannyapun telah ikut dibunuhnya pula. Maka tidak mengherankan kalau hari demi hari jumlah korban kebiadaban iblis itupun semakin menumpuk pula. Dan akhirnya iblis itu berani pula memasuki kota Soh-ciu yang terjaga kuat. Seolah-olah tidak mempunyai perasaan takut terhadap para perajurit yang mondar-mandir di segala tempat, iblis itu mulai menyebar maut pula di kota itu. Akibatnya penduduk menjadi gelisah dan ketakutan.

   Semua orang tidak berani keluar terlalu jauh dari rumahnya, terutama para wanita dan gadisnya. Dan bila malam telah datang, kota itu menjadi sepi luar biasa. Semuanya merasa takut menjadi korban berikutnya dari Si Iblis Penyebar Maut itu! Tentu saja berita tentang mengganasnya Si iblis Penyebar Maut di kota itu benar-benar sangat memerahkan telinga Kepala Daerah Gui Kok Teng! Dengan kemarahan yang meluap-luap Kepala Daerah itu memimpin sendiri para perajuritnya mencari penjahat yang sangat berani itu. Tapi usahanya itu tentu saja tidak membawa hasil, sebab tak seorangpun diantara mereka yang pernah melihat wajah buruan itu. Mereka bagaikan berburu hantu yang belum pernah mereka ketahui bentuk dan rupanya. Sementara itu para pendekar persilatan di daerah itu juga tidak mau ketinggalan pula.

   Dengan bekal ilmu yang mereka miliki mereka ikut mencari iblis yang mengganggu daerah mereka itu. Namun seluruh kepandaian mereka itu ternyata juga tak mampu untuk menandingi kesaktian Si Iblis Penyebar Maut. Meskipun pada suatu saat mereka mendapat kesempatan untuk memergoki perbuatan iblis itu, tapi tak seorangpun di antara mereka yang mampu mengikuti bayangan iblis tersebut. Bahkan Kang Lam Koai-hiap (Pendekar Aneh dari Kang lam), tokoh yang paling disegani di daerah itupun tak berdaya pula menghadapi kesaktian Iblis itu. Orang tua itu terpaksa digotong pulang tanpa mendapat kesempatan sedikitpun untuk melihat wajah lawannya. Demikianlah berita tentang keganasan si Iblis Penyebar Maut itupun akhirnya tersebar ke seluruh negeri bahkan sampai menyusup pula ke dalam tembok Istana di Kotaraja.

   Malahan khabarnya Kaisar Han sendiri juga teIah mengirimkan pula utusannya untuk membuktikan kebenaran berita itu. Tetapi utusan yang sangat diharap-harapkan oleh penduduk Kang Lam itu ternyata tidak pernah sampai di kota Soh-ciu. Utusan yang membawa lima- ratus orang perajurit pilihan itu seolah-olah telah hilang lenyap di dalam perjalanannya. Sementara itu Si Iblis Penyebar Maut justru semakin bertambah brutal dan meraja-lela tindakannya. Bagaikan sesosok hantu yang tak pernah dapat dilihat oleh siapapun juga, iblis itu selalu gentayangan setiap malam mencari korbannya. Dan korban kebiadabannya sudah tidak dapat dihitung lagi, sehingga kota Soh-ciu dan sekitarnya benar-benar telah berubah menjadi neraka yang mengerikan bagi para penghuninya.

   Akibatnya hampir separuh dari penduduknya, terutama para wanitanya, terpaksa mengungsi ke tempat lain dan kota Soh ciu yang indah itu akhirnya menjadi sepi. Keadaan itu sungguh sangat memprihatinkan dan sekaligus juga membuat penasaran hati Gui Kok Teng. Tapi apalah dayanya, segala macam cara juga telah dia tempuh. Namun nyatanya ribuan orang perajuritnya itu juga tidak berdaya menangkap iblis itu. Rasanya memang lebih mudah bagi para perajuritnya itu untuk menghadapi ribuan musuh di medan laga dari pada harus melawan sesosok hantu yang tidak keruan rupa, bentuk dan tempat tinggalnya itu. Begitulah, tampaknya keadaan itu akan terus berlarut-larut, tanpa sebuah kekuatanpun yang mampu mencegah si Iblis Penyebar Maut melakukan aksinya.

   Sampai beberapa waktu kemudian, kira-kira pada pertengahan tahun ke sebelas itu pula, tiba-tiba dunia persilatan digemparkan oleh sebuah seruan atau ajakan yang ditujukan kepada para pendekar persilatan untuk bersama-sama memburu Si Iblis Penyebar Maut dan membinasakannya. Dan seruan atau ajakan tersebut disampaikan secara beranting, dari mulut ke mulut, tanpa seorangpun yang mengetahui dari mana asal-mula dari ajakan atau seruan itu. Namun yang pasti, pada saat yang telah ditentukan, kota Soh-ciu tiba-tiba dibanjiri oleh tokoh-tokoh persilatan dari segala penjuru daratan Tiongkok! Mereka itu datang untuk memburu dan membinasakan Si Iblis Penyebar Maut yang telah menggegerkan negeri mereka itu!

   Dan dari sinilah cerita ini bermula! Matahari telah jauh menukik ke arah barat. Senja telah menyelimuti kota Soh-ciu dan sekitarnya. Dan sisa-sisa sinar matahari yang kuning keemasan itu masih menjamah padang rumput di kaki bukit, sehingga hamparan rumput itu laksana beludru yang terhampar di kaki langit. Indahnya bukan main. Namun semua keindahan itu terasa dingin dan mengecutkan hati! Suasana yang sepi dan lengang, di tempat yang begitu luas, remang-remang pula, benar benar menimbulkan khayalan yang bukan bukan. Apalagi bila teringat bahwa Si Iblis Penyebar Maut itu tentu telah bersiap-siap untuk keluar dari sarangnya. Maka sungguh amat mengherankan sekali apabila di saat seperti itu ternyata masih ada juga orang yang berani lewat di sana, perempuan pula lagi!

   "Ketepak! Ketipak! Ketepak! Ketipak!" Dengan melenggut di atas punggung keledai, dua orang wanita tampak melintasi padang rumput itu ke arah Soh-cia.

   Yang seorang sudah tua, kira-kira berusia empat puluh tahun, berpakaian seperti pendeta, sementara yang lain masih muda-belia dan mengenakan pakaian model terakhir. Mereka berjalan beriringan. Perempuan tua itu berada di depan dan gadis belia itu mengikuti di belakangnya. Meskipun cerita tentang Iblis Penyebar Maut itu tidak menakutkan hati mereka, namun wajah perempuan tua itu tampak tegang dan pucat. Sungguh sangat berbeda dengan si Gadis yang acuh dan santai. Gadis itu berusia sekitar tujuh belasan tahun. Tubuhnya kecil ramping. Wajahnya sangat menarik, cerah dan penuh kedamaian. Matanya yang bening itu berbinar-binar mengawasi bintang-bintang yang mulai bermunculan di atas langit, sementara bibirnya yang merah tipis itu sesekali tampak merekah, mengagumi keindahan alam di sekitarnya.

   "Tui Lan"! Cepatlah! Jangan berma las-malas begitu! Kita sudah terlambat dua hari! Jangan-jangan para pendekar itu sudah mendahului kita..!" perempuan berpakaian pendeta itu menoleh seraya berteriak. Gadis yang dipanggil dengan nama Tui Lan itu menatap perempuan tua itu sekejab, mulutnya cemberut, lalu dengan sikap acuh matanya kembali menatap bintang-bintang di atas langit.

   "Tui Lan!"

   "Aah Subo! Kenapa Subo selalu terburu-buru saja? Lihat"! Suasana di sini demikian indahnya!" Tui Lan atau gadis cantik itu merajuk.

   "Anak bandel! Huh! Kau tahu apa maksud kita datang kemari ini, he?"

   "Ah, subo menyinggung perkara itu lagi. Apa sih sebenarnya hubungan orang itu dengan Si Iblis Penyebar Maut ini?"

   "Sungguh bodoh benar kau ini! Bukankah selama ini kita selalu mencari-cari bangsat itu? Nah, siapa tahu kalau bangsat itu juga Si Iblis Penyebar Maut ini pula? Bukankah keduanya memiliki ciri-ciri yang sama yaitu suka membunuh dan menculik wanita?" Gadis cantik itu menghentikan keledainya. Dengan wajah merengut ia menatap perempuan tua itu.

   "Setiap kali subo tentu mencurigai orang, dan setiap kali pula Subo selalu kesalahan tangan membunuhnya. Ahh" lalu apa bedanya tindakan subo ini dengan penjahat yang kita cari-cari itu?" Perempuan tua itu menghentikan keledainya pula lalu berbalik dengan cepat.

   "Apa katamu?" bentaknya keras.

   "Subo! Teecu sudah bosan berkelana kesana-kemari mencari orang yang tidak tentu tempat tinggalnya. Dan teecu juga sudah bosan melihat subo selalu kesalahan tangan membunuh orang, hanya karena subo mencurigainya sebagai penjahat yang sedang kita cari-cari itu. Subo...! Marilah kita pulang kembali ke Teluk Po-hai dan hidup tenteram seperti semula! Subo mengurus kuil, teecu mencari ikan ke laut bersama para nelayan...," Mata perempuan tua itu tiba-tiba bergetar penuh kemarahan.

   "Anak gila. Anak durhaka! Apa katamu...? Kembali ke rumah dan melupakan semua dendam kesumat itu, heh? Kurang ajar...!" Wajah Tui Lan tiba-tiba menjadi pucat.

   Gadis itu sama sekali tidak menyangka kalau kata-katanya akan menyinggung perasaan gurunya. Dan gadis itu sama sekali juga tidak mengira kalau gurunya akan menjadi marah sedemikian rupa. Apalagi sampai memaki-makinya seperti itu. Sebenarnya perempuan tua itu adalah bekas ketua kuil Im-Yang-kauw cabang Teluk Po-hai yang berkedudukan di desa Ban-cung. Tapi karena sifatnya yang keras, kejam dan suka membunuh orang, maka perempuan tua itu lalu dipecat dari kedudukannya sebagai ketua cabang. Namun perempuan tua itu masih tetap menganggap dirinya sebagai pendeta Aliran lm-Yang-kauw dan selalu berpakaian seperti pendeta pula. Oleh karena itu di dunia kang-ouw perempuan tua itu lalu digelari orang dengan nama Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai. Meskipun demikian perempuan tua itu benar-benar amat menyayangi Tui Lan, muridnya.

   "Subo, ma..maafkan teecu...!"

   Tui Lan buru-buru minta maaf dengan suara gagap. Melihat Tui Lan gemetar di atas keledainya, perempuan tua itu lalu menghela napas panjang. Matanya yang berkilat-kilat marah tadi lalu meredup kembali. Dan wajah yang telah mulai berkeriput itu kelihatan menyesal karena telah membuat kaget hati muridnya.

   "Sudahlah! Marilah kita berangkat...I" desah Si Pendeta Palsu Teluk Po-hai itu dengan suara berat. Gadis itu mengangguk, lalu menggerakkan keledainya kembali mengikuti perempuan tua itu. Beberapa saat lamanya mereka berdiam diri serta tidak berbicara satu sama lain. Sementara itu hari benar-benar telah menjadi gelap. Matahari mulai tenggelam di balik cakrawala. Tinggal suramnya sinar bintang yang kini menerangi padang rumput luas itu.

   "Tui Lan...! Kau tahu mengapa aku tadi marah kepadamu?" tiba-tiba si Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai itu menyingkap tabir kebisuan diantara mereka. Tui Lan mengangguk dan berusaha menahan sedu-sedan yang menyekak di dalam dadanya.

   "Ya! Teecu... teecu... telah membuat kecewa hati Subo. Tapi... tapi..."

   "Sudahlah! Sebenarnya kau ini sudah harus menyadari keadaan kita ini sejak dahulu. Sebab apa yang telah kita tempuh selama ini sebenarnya hanya demi kepentinganmu belaka, dan dalam perkara ini, sebenarnya aku hanya bertindak sebagai pembantu atau penolong dalam melaksanakan cita-citamu itu. Aku mengajarimu ilmu s ilat dan membawamu berkelana kemana saja, agar supaya kau bisa menemukan iblis yang membunuh ayah-ibumu dan membalaskan sakit hati mereka. Tapi... Mengapa sekarang kau tiba-tiba menjadi kendor dan mau mengurungkan niatmu itu?"

   'Maafkan teecu, subo..." Tui Lan tak bisa menjawab.

   "Dahulu kau kutemukan di tengah-tengah hutan, di dalam gendongan ibumu yang terluka parah. Sebelum mati ibumu sempat bercerita bahwa seorang penjahat yang belum pernah dikenalnya telah membunuh ayahmu, kemudian menculik ibumu yang sedang menggendong kau dan dan... menganiayanya hingga terluka parah! Ibumu lalu menyerahkan dirimu kepadaku, dan titip pesan agar kelak kau membalaskan dendam kesumat keluargamu ini."

   Diingatkan kembali pada sejarah hidupnya, Tui Lan benar-benar tak kuasa membendung air-matanya. Gadis itu menangis tersedu-sedu dan perempuan tua itu tersenyum di dalam hati. Dibiarkannya saja gadis itu mengingat dendam dan sakit-hati keluarganya. Sementara itu padang rumput yang mereka lalui semakin menipis. Kini tanahnya mulai keras bercampur padas, dengan batu batu besar bertonjolan di sana-sini. Mereka telah mencapai kaki bukit yang mengelilingi kota Soh-ciu. Bukit yang tinggi terjal dengan jurang-jurangnya yang dalam.

   "Subo...!" Tui Lan berkata diantara isaknya. '"Entah apa sebabnya selama beberapa bulan ini hati teecu selalu resah dan bingung bila memikirkan dendam-kesumat itu. Dahulu teecu memang merasa dendam kepada penjahat itu. Tapi... tapi setelah teecu menjadi dewasa dan"dan banyak membaca buku-buku keagamaan lm-Yang-kaw milik Subo, entah" entah mengapa.. perasaan dendam itu secara berangsur-angsur menjadi larut, sehingga... sehingga akhirnya lenyap dari hati teecu. Ouuuugh..maafkanlah teecu, subo.. .uh-huuuu...I" Akhirnya Tui Lan tidak bisa menahan tangisnya. Gadis itu menangis tersedu-sedu. Perempuan tua itu tersentak kaget. Senyum yang tadi sudah teralas di atas bibirnya hilang seketika. Wajah perempuan tua itu kembali keras dan kaku. Giginya terdengar gemeretak menahan geram.

   "Lalu.. apa maumu sekarang?" bentak perempuan itu dengan suara berat.

   "Subo, ma-marilah kita"kita lupakan saja dendam kesumat itu! Marilah kita membangun kembali kehidupan yang tenteram dan damai di rumah kita! Kita... kita..." "Jadi? Bagaimana dengan dendam kesumat keluargamu itu?" Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai menggeram menahan marah. Tui Lan menunduk semakin dalam dan tubuhnya semakin keras terguncang oleh sedu-sedannya. Namun dengan segala kekuatan hatinya gadis itu menjawab pertanyaan gurunya.

   "Bi-biarlah... kita kita serahkan saja semuanya i-itu kepada Thian. Karena Dia-lah yang berhak mengatur seluruh kehidupan alam-semesta ini. Ki-kita...tak perlu dan ma lah berdosa besar bila... bila berani mencampuriNya. Kewajiban kita justru men-menjaga dan melestarikan semua ciptaannya, dan... bukan merusak atau memusnahkannya!" Betapa marahnya perempuan tua itu kepada Tui Lan! Rasa-rasanya ia ingin me loncat dan menghantam remuk kepala muridnya yang tertunduk itu! Tapi niat itu segera luntur begitu menyaksikan wajah yang pucat-pasi itu seolah-olah memancarkan sinar kedamaian yang menyejukkan hati. Larut semua kemarahannya! Dan mendadak timbul kembali rasa sayangnya kepada gadis itu. Namun demikian masih ada juga perasaan kecewa yang mengganjal di hati perempuan tua itu.

   "Hatimu memang terlalu lemah. Tui Lan." Si Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai itu berdesah kecewa.

   "Dan hal itu sudah kuketahui sejak dahulu. Perasaanmu demikian halusnya sehingga menyakiti seekor semutpun kau tak tega. Tetapi aku selalu berusaha membangkitkan semangatmu, dengan mengajarimu ilmu silat dan memberimu contoh-contoh kekerasan agar supaya hatimu terusik dan bisa tumbuh menjadi seorang pendekar wanita yang gagah berani. Dan dengan demikian cita-cita ibumu dahulu bisa terlaksana, yaitu membalaskan dendam keluargamu!" Tangis yang hampir mereda itu jebol kembali. Gadis itu merasa sangat berdosa karena telah mengecewakan harapan gurunya, dan juga harapan mendiang orang tuanya.

   "Tapi" tapi entahlah, Subo benar-benar tidak tahu apa yang telah terjadi pada diri teecu. Teecu" teecu selalu tidak tahan melihat kekerasan berlangsung di depan mata teecu oooohh"!" Tui Lan merintih dan terisak-isak. Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai itu menghela napas panjang.

   "Baiklah"! Baiklah"! Kau jangan menangis lagi! Kalau engkau tak kuasa melakukannya, biarlah aku saja yang mewakilimu membalaskan dendam itu."

   "Subo"!" Tui Lan menjerit dengan air mata bercucuran.

   "Sudahlah! Kau jangan cengeng begitu. Malu aku melihatnya! Lihat"! Kita harus mendaki bukit terjal dengan keledai kita! Berhati-hatilah! Kita telah mendekati kota Soh-ciu. Siapa tahu si Iblis Penyebar Maut itu bersembunyi di bukit ini"" Pendeta Palsu dari Teluk Po-hai itu memberi peringatan lalu mengeprak keledainya menaiki jalan setapak yang membubung ke atas bukit.

   Binatang kecil itu mengerahkan seluruh kekuatannya. Dibawanya beban yang sangat berat itu ke atas bukit.Keempat buah kakinya yang pendek namun sangat kokoh itu menjejaki tanah berpadas dengan kuatnya. Peluh tampak mengucur membasahi bulu-bulunya yang panjang dan tebal. Dan keledai itu melaju terus menaiki jalan yang terjal itu. Pendeta Palsu dari Teluk Po-hai itu tersenyum di dalam hati. Itulah sebabnya dia memilih keledai dari pada kuda. Meskipun kecil dan tidak bisa berlari kencang, namun keledai lebih tahan di medan yang berat dari pada kuda. Di rawa-rawa, di atas perbukitan atau di padang pasir, keledai lebih dapat diandalkan daripada kuda. Tapi begitu menoleh ke arah Tui Lan, senyum di bibir perempuan tua itu segera hilang. Sebaliknya kerut-merut di atas dahinya menjadi semakin banyak.

   "Gila benar anak itu!" desahnya seraya memandang Tui Lan yang menuntun keledainya sambil menjinjing perbekalannya.

   Keringat tampak mengalir dari kening dan leher gadis itu. Rasa gemas dan kesal karena menyaksikan tingkah muridnya membuat perempuan tua itu memacu keledainya lebih keras lagi. Dan keledai kecil ternyata juga tidak mengecewakan tuannya. Dengan segala kekuatannya binatang kecil itu menggerakkan kakinya lebih cepat lagi sehingga beberapa saat kemudian ia te lah mencapai bukit itu. Tetapi... Tiba-tiba keledai itu meringkik ketakutan dan melangkah mundur dengan tergesa-gesa, sehingga Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai itu hampir saja terjatuh ke dalam jurang. Dengan tangkas perempuan tua itu melenting ke atas, berjumpalitan beberapa kali di udara, lalu meluncur kembali ke atas tanah. Seluruh gerakan itu dilakukan dengan sangat manis, enteng dan cepat luar-biasa. Benar-benar suatu pameran ginkang yang hebat sekali.

   "Ah...!! Ang-leng-coa (Ular Lampu Merah)!" Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai itu menjerit kaget begitu melihat dua ekor ular melintas di depan kakinya. Kedua ekor ular berbisa itu saling berkejaran. Tubuhnya yang hampir satu setengah meter panjangnya itu menjalar dan meliuk-liuk kesana-kemari. Daging kecil yang tumbuh di antara kedua matanya Itu kelihatan berpijar di dalam gelap, sehingga dari kejauhan seperti lampu yang bergerak kesana-kemari. Pantas saja mereka mengagetkan keledai Si Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai!

   "Tenanglah, manis...I" perempuan tua itu membujuk keledainya seraya mengelus-elus leher binatang itu. Namun mata perempuan tua itu segera terbelalak ketika di dalam keremangan malam itu tampak belasan lampu yang lain bergerak kesana-kemari diantara semak dan batu-batuan. Dan perempuan tua itu segera merasakan sesuatu yang tak beres dengan hadirnya ular-ular itu disana. Dan tiba-tiba saja Pendeta Palsu dari Teluk Po-hai itu teringat pula akan sebuah dongeng tentang ular-ular tersebut.

   "Ang Leng coa ini merupakan jenis ular yang langka di dunia. Mereka biasa hidup di gua-gua gelap atau di sungai-sungai dibawah tanah. Selain bisanya sangat tajam, binatang ini juga sangat kuat kulitnya, sehingga khabarnya ular ini kebal terhadap senjata tajam. Dan menurut dongeng yang pernah kudengar, ular-ular itu sering terlihat di Lembah Ang-leng-kok di Pegunungan Kun-lun-san. Maka sungguh sangat mengherankan sekali kalau binatang berbisa ini dapat sampai di tempat ini..." Perlahan-lahan Si Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai itu menuntun keledainya kembali me lalui jalan semula. Sambil berjalan mundur perempuan tua itu menoleh kembali ke bawah atau ke belakang untuk memberi peringatan kepada Tui Lan. Namun betapa kagetnya perempuan tua itu tatkala Tui Lan tidak ada di sana. Gadis itu lenyap bersama binatang tunggangannya!

   "Tui Laaaaaaaaaaan..!" dengan cemas perempuan tua itu memanggil. Tak ada jawaban. Dan perempuan tua itu semakin cemas hatinya. Ditinggalkannya keledainya, lalu berlari-lari kesana-kemari mencari murid kesayangannya itu. Tapi gadis itu benar-benar hilang lenyap tak berbekas.

   "Tui Laanaaaan...!"

   "Tui Laaaaaaaaasaan...!"

   "Subo, aku di sini!" tiba-tiba terdengar jawaban dari atas puncak. Lega benar rasanya hati perempuan tua itu! Namun kelegaan itu segera berubah menjadi kecemasan kembali tatkala dilihatnya muridnya itu berada di atas puncak.

   "Eh! Tui Lan...! Hati-hati! Di situ banyak ular berbisa!" Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai itu berseru. Tapi terlambat sudah! Belum juga gaung suara perempuan itu hilang, Tui Lan telah menjerit kesakitan! Dan bersamaan dengan itu pula, tiba-tiba terdengar suara gemuruh disertai suara ringkikan keledai yang menyayat hati, ketika binatang tunggangan gadis itu terjerumus ke dalam jurang yang dalam!

   "Tui Laaaan!" Bagaikan terbang cepatnya perempuan tua itu meluncur ke atas bukit! Perasaan cemas dan khawatir akan keselamatan muridnya, membuat perempuan tua itu mengerahkan segala kemampuannya!

   "Wuuus...!" Sekejap saja Si Pendeta Palsu itu telah berada di samping Tui Lan!

   "Keledaiku! Keledaiku"!" gadis itu menangis sambil mencengkeram seekor Ang-leng-coa yang masih menanamkan taringnya di kaki gadis itu. Tapi perempuan tua itu tak mempedulikan tangisan muridnya. Dengan cepat ia menyambar ular itu dan membantingnya ke atas batu.

   "Blug...!" Batu itu pecah berantakan dan... ular itu tidak apa-apa. Ular itu cuma menggeliat sebentar seperti sedang menghilangkan rasa gatal, lalu menggeleser pergi.

   "Subo! Jangan bunuh ular itu! Dia tidak bersalah! Teeculah yang telah menginjaknya...!" Tui Lan tiba-tiba menjerit seraya memegang lengan gurunya. Gadis itu sama sekali tidak menyadari 'keajaiban" yang baru saja terjadi di depannya. Sementara itu Si Pendeta Palsu dari Teluk Po-hai kelihatan termangu-mangu di tempatnya. Perempuan tua itu memandang kepergian ular itu seolah-olah tak percaya. Kekuatan tangannya yang mampu memecahkan kepala gajah itu ternyata tak mampu meremukkan seekor ular kecil. Namun rasa heran itu segera tertutup oleh rasa cemas terhadap nasib Tui Lan yang digigit oleh Ang-leng-coa itu tadi.

   "Tui Lan...! Lihat kakimu. Oh Thian...!" teriaknya gugup seraya menyingsingkan celana gadis itu. Darah merah nampak merembes keluar dari dua buah luka kecil di kaki gadis itu. Tapi gadis itu sendiri seperti tak mempedulikannya. Gadis itu masih saja meratapi keledainya yang terjatuh ke dalam jurang. Sebaliknya Si pendeta Palsu Dari Teluk Po hai itulah yang justru kelabakan melihat luka tersebut. Bolak-balik tangannya merogoh ke dalam saku jubahnya, namun obat luka yang dicarinya tak kunjung ketemu.

   "Ini... eh... anu! Wah.! Semua obat itu ada di dalam buntalan pakaian...!" serunya kesal seraya menengok ke bawah tebing di mana keledainya tadi ia tinggalkan.

   "Tui Lan! Tunggu disini! Jangan bergerak! Aku akan mengambil obat itu! Mengerti?" Tanpa menunggu jawaban lagi perempuan tua itu me lesat ke bawah, menuruni lereng untuk mencari keledainya. Tapi meski telah berputar kesana-kemari perempuan tua itu tidak menemukan juga binatang itu. Tampaknya binatang itu telah pergi ketika ditinggalkan tadi. Keringat dingin membasahi jubah perempuan tua itu.

   "Keledai celaka...! Ohh... di mana dia?" perempuan tua itu mengumpat-umpat. Lalu dengan suara yang semakin gugup dan cemas perempuan itu berteriak ke atas.

   "Tui Lan...? Kau tidak apa-apa, bukan?" Tiada jawaban. Dan perempuan tua itu menjadi pucat.

   "Tui Laann...??" panggilnya cemas. Lalu dengan tergesa-gesa perempuan tua itu "terbang" kembali ke puncak bukit. Sementara itu tanpa mempedulikan gigitan ular di kakinya, Tui Lan merayap turun ke dalam jurang untuk menengok keledainya. Dengan ginkang dan lweekangnya yang cukup tinggi gadis itu menuruni tebing terjal yang sangat dalam itu. Berkali-kali kakinya hampir terpeleset ketika menginjak batu berlumut yang licin.

   "Tuiii Laaannn"!" di atas bukit gurunya memanggil-manggil namanya. Tapi Tui Lan tidak mengacuhkan panggilan itu. Gadis itu lebih memikirkan keledainya yang mengalami kecelakaan itu daripada yang lain. Sementara itu malam semakin gelap, dan bulan yang cuma sesisir itu ternyata tak mampu melemparkan sinarnya yang suram ke dalam jurang, apalagi ke dasarnya.

   Oleh karena itu seperti orang buta Tui Lan merayap perlahan, dari batu ke batu, dengan hanya mengandalkan perasaannya saja. Sesekali gadis itu berhenti sejenak untuk melihat-lihat atau mendengarkan keadaan di sekitarnya. Demikianlah beberapa waktu kemudian gadis itu telah menginjakkan kakinya di dasar jurang. Begitu dalamnya jurang itu sehingga teriakan Si Pendeta Palsu dari Teluk po-hai itu tidak terdengar sampai ke bawah. Setelah menenangkan hati dan menata perasaannya, Tui Lan meraba kesana-kemari mencari keledainya. Dan usahanya itu tidak terlalu sukar dilaksanakan, karena dasar jurang itu berbentuk seperti sungai kering. Sempit dan memanjang, melingkari bukit, dengan dinding-dinding tebingnya yang tinggi mencakar langit.

   Keledai itu terkapar mati dengan tulang berpatahan. Dan Tui Lan segera bersimpuh meratapinya. Keledai itu tidak hanya sebagai binatang tunggangan bagi Tui Lan, tetapi juga sebagai sahabat yang telah mengalami suka-duka bersama. Begitu dalam rasa kasih-sayangnya sehingga Tui Lan tidak pernah berlaku kasar terhadap keledai itu. Seperti tadi, untuk menaikinya ke atas bukit saja gadis itu tidak sampai hati. Gadis itu malah mengambil semua beban, kemudian menuntun keledai itu perlahan-lahan ke atas. Dan gadis itu tidak mengikuti jalan terjal yang diambil gurunya, tapi mengambil jalan melingkar yang lebih landai dan lebih mudah. Namun takdir tampaknya telah memisahkan mereka. Tui Lan lalu mengeluarkan sebatang lilin dan menyalakannya. Bau busuk tiba-tiba menyentuh hidungnya!

   "Ah! Cepat benar membusuknya?" Gadis itu bergumam kaget seraya memandangi bangkai keledainya. Tapi dengan cepat pula bau itu menghilang. Tui Lan lalu mendekatkan hidungnya.

   "Ehh"!?!" serunya pula ketika hidungnya mendadak mencium bau wangi yang sangat keras. Otomatis Tui Lan meloncat mundur. Perasaannya segera menjadi curiga dan berdebar-debar. Ada sesuatu yang aneh dirasakannya. Maka lilin itu lalu diangkatnya tinggi-tinggi. Ditatapnya kepekatan malam yang melingkupi tempat itu, dan.., tiba-tiba saja jantungnya seperti berhenti berdenyut, sehingga lilin itu hampir saja terjatuh dari tangannya!

   "Han... hantu...!?"' gadis itu menjerit. Setombak jauhnya dari bangkai keledai itu, Tui Lan melihat seorang laki-laki tua berbaring di atas batu besar. Lelaki itu mempunyai kulit yang amat pucat seperti mayat, sementara kulit mukanya tampak kaku seperti topeng dari kayu.

   Tubuhnya tidak begitu tinggi dan sangat kurus kering, sehingga sepintas lalu benar-benar seperti mayat atau hantu! Tapi semua itu belumlah seberapa. Yang lebih mengerikan lagi adalah matanya yang mencorong buas seperti mata harimau di dalam kegelapan! Dan mata itu menatap Tui Lan tanpa berkedip, seakan-akan orang itu merasa heran melihat kedatangan Tui Lan! Maka sudah sepantasnyalah kalau Tui Lan menjadi ketakutan dan menyangkanya sebagai hantu. Gadis itu baru sadar kalau dirinya sedang berhadapan dengan manusia biasa setelah beberapa saat lamanya "Hantu" itu tetap saja di tempatnya, dan tidak mau hilang dari pandangannya. Tapi gadis itu cepat menyadari pula bahwa orang yang ada di depannya tersebut tentu bukan orang sembarangan.

   "Kau.. kau.. siapa." tanyanya gemetar. Orang tua itu menghela napas berat, kemudian terbatuk-batuk. Tampak benar kalau dia sedang menderita sakit keras. Namun demikian, nada suaranya masih terdengar garang ketika menjawab pertanyaan Tui Lan.

   "K-kau sendiri siapa? Kulihat tubuhmu kebal terhadap racun-racun berbahaya. Apakah kau mempunyai hubungan keluarga dengan ketujuh orang bekas muridku itu? Ataukah mungkin kau murid mereka? Huk-huk-huk.!"

   "Aku" aku... Ah, aku tidak tahu yang kau maksudkan! Siapa ketujuh orang bekas muridmu itu?" Mata itu tampak berputar-putar menakutkan.

   "Apakah kau belum mengenal tujuh orang ahli racun yang tinggal di Ban-kwi-to itu?" kakek itu menggeram. Tui Lan terkejut bukan main. Siapakah yang tidak mengenal mendiang Tujuh Iblis dari Ban-kwi-to itu? (baca : Pendekar Penyebar Maut).

   "Oh... Lo-Cianpwe" Lo-Cianpwe maksudkan mendiang Tee-tok-ci tujuh bersaudara itu? Ahh! Kalau begitu... aku... eh, Siauwte tidak mempunyai sangkut-paut dengan mereka." Tui Lan menjawab sambil mundur-mundur. Mata orang itu melotot mengerikan.

   "Mendiang...? Siapa bilang mereka sudah mati, hah? huk-huk-hukk..!" orang itu terbatuk-batuk.

   "Me-mereka... mereka memang sudah mati! Kata" kata Subo, mereka itu mati dalam kepungan pasukan kerajaan di Pantai Karang!" Tui Lan menjawab ketakutan. Perlahan-lahan orang tua itu bangun dari tidurnya, lalu duduk di atas batu. Gerakannya persis seperti mayat yang bangun dari kuburnya. Dan Tui Lan yang amat ketakutan itu buru-buru melangkah mundur pula. Tapi "Mayat" itu tiba-tiba menggerakkan tangannya dan... Entah bagaimana caranya, tiba-tiba gadis itu merasa lemas seluruh badannya! Dan sebelum tubuh gadis itu jatuh ke tanah, orang itu menggerakkan tangannya sekali lagi dan seperti sebuah permainan sulap saja tubuh Tui Lan tersedot ke dalam pangkuan orang itu! Dapat dibayangkan betapa "Ngerinya" gadis itu! Apalagi ketika orang itu mencengkeram pergelangan tangannya.

   "Aduh! Lo-Cianpwe... Lo-Cianpwe... lepaskan! Lepaskan...!" Tui Lan menjerit ketakutan dan hampir menangis. Tapi gadis itu tak kuasa berbuat apa-apa.

   "Ha-aha-ha... huk-huk! Tampaknya Giam-lo-ong (Dewa Maut) masih merasa kasihan kepadaku. Buktinya di saat kematianku tiba, beliau masih mengirimkan engkau kesini untuk menyambung umurku, hehe-heh...!" Selesai berkata orang itu menggigit urat nadi di pergelangan tangan Tui Lan, sehingga darah gadis itu mengalir keluar dengan derasnya. Kemudian orang itu menggigit pula urat-nadinya sendiri dan menempelkan kedua buah bekas gigitan itu sama lain. Sama sekali orang itu tak mempedulikan korbannya yang hampir pingsan karena perbuatannya.

   "Apa... apa yang hendak Lo-Cianpwe, Lo-Cianpwe lakukan terhadapku?"

   "Hehe... dengarlah, kelinci malang! Dua-puluh-lima tahun yang lalu Tee-tok-ci dan keenam saudara seperguruannya telah bersekongkol untuk mencelakai aku, gurunya. Mereka bermaksud untuk mengambil Im-Yang Tok-keng (Buku Racun Im Yang) dan po-tok-cu (Pusaka Mustika Racun) kepunyaanku. Tapi mereka tidak berani berhadapan denganku. Mereka menggunakan akal licik. Setiap Jeng-bin Siang-kwi (Sepasang Hantu Berwajah Seribu), dua orang murid perempuanku yang cantik itu melayani aku, diam-diam minumanku dicampur dengan sedikit Hok-hiat-tok (Racun Penumpas Darah), sehingga aku tak merasakannya. Aku hanya merasakan semakin lama mukaku semakin pucat dan tubuhku semakin hari semakin lemah. Dan akhirnya aku menjadi kaget sekali ketika setahun kemudian aku sudah tak kuasa lagi mengerahkan sinkangku (tenaga saktiku). Saat itu aku baru sadar kalau aku telah terkena Hok-hiat-tok. Namun semuanya sudah terlambat. Racun itu telah merasuk ke dalam darah dan telah mengisap lebih dari separuh jumlah darahku, sehingga aku menderita penyakit kekurangan darah. Tahu kalau siasatnya telah kuketahui, murid-murid murtad itu lalu mengeroyokku. Untunglah aku bisa meloloskan diri. Sebagai orang yang tak pernah menaruh percaya kepada orang lain, aku sudah menyiapkan sebuah jalan rahasia di bawah rumahku. Hanya celakanya, mulut jalan rahasia itu lalu ditutup dan ditimbun batu karang oleh mereka."

   Orang tua itu berhenti bercerita, tampaknya dia baru mengingat-ingat kejadian masa lalunya itu. Tapi tiba-tiba Tui Lan menjadi kaget sekali ketika dari lengan orang itu keluar daya sedot yang amat kuat, sehingga darahnya membanjir keluar melalui luka bekas gigitan di pergelangan tangannya. Darah itu mengalir masuk ke dalam tubuh orang itu me lalui lukanya pula, yang disengaja ditempelkan pada luka Tui Lan tersebut.

   "Lo-Cianpwe... apa...apa yang kau lakukan?"

   "Diam lah, anak malang! Aku harus mengambil darahmu, agar aku dapat hidup setahun lagi. Hehe.. ketahuilah" akibat Hok-hiat-tok itu aku harus mengisap darah orang lain setiap tahunnya. Hanya biasanya aku meneliti dan memeriksa lebih dahulu darah orang itu sebelum memindahkannya ke dalam tubuhku. Sebab orang yang hendak kuisap darahnya itu harus dari kalangan orang berdarah-bening sendiri, dan darahnya juga harus cocok dengan darahku pula. Tapi karena sekarang aku tidak mempunyai waktu lagi, apalagi yang ada didepanku hanya engkau saja, maka secara untung-untungan aku mengambil darahmu. Sukurlah kalau cocok. Kalau tidakpun aku juga akan sama-sama mati pula."

   "Jadi" jadi"? Lo-Cianpwe hendak membunuhku?" Tui Lan berseru putus asa. Orang itu tak mengacuhkan rintihan Tui Lan. Matanya memandang nyala liIin yang jatuh dari tangan Tui Lan dengan geram.

   "Kurang ajar! Bangsat benar murid-murid murtad itu! Belum juga aku dapat menghukum mereka, mereka sudah keburu mati! Huh...!" mulutnya mengumpat-umpat kasar.

   "Tahu begini aku... tak... adouuuuh!" Tiba-tiba orang tua itu mengaduh menyeringai kesakitan. Kedua tangannya cepat memeluk perut dan dadanya, sehingga otomatis Tui Lan terbebas dari daya sedot itu. Kemudian orang itu mencoba untuk berdiri, tapi tak berhasil. Tubuhnya terjungkal ke depan menimpa tubuh Tui Lan!

   "Brug...!" Dan secara kebetulan siku tangan yang lancip dari orang itu persis menghantam sam-ki-hiat di dada kiri Tui Lan! Maka punahlah totokan yang membuat lemas gadis itu tadi! Tui Lan segera mendorong tubuh yang menimpanya itu dan bergegas berdiri. Luka di pergelangan tangannya itu cepat-cepat dibalutnya, lalu tergesa-gesa pergi dari tempat yang mengerikan itu. Tapi baru sepuluh langkah ia berjalan...

   "Uhh!" tiba-tiba terdengar orang tua itu mengeluh. Tui Lan menoleh. Dan betapa terkejutnya gadis itu, ketika dilihatnya pakaian orang tua tersebut telah terbakar karena terjilat api lilinnya! Lupa sudah api permusuhan di dada gadis itu! Lupa pula semua perasaan takut dan ngeri yang tadi mencengkam hatinya! Yang ada di dalam hati gadis itu kini hanya perasaan ingin menolong seorang yang hendak terbakar tubuhnya itu saja! Maka tanpa menghiraukan dirinya lagi Tui Lan cepat berbalik kembali untuk memadamkan api yang telah membakar pakaian orang tua itu. Akhirnya api itu padam juga. Meskipun demikian karena api itu telah membakar hampir separuh dari pakaian orang tua itu, maka kulit di bawah pakaian tersebut sudah terlanjur melepuh dan gosong! Orang tua itu merintih menahan sakit.

   "Lo-Cianpwe, bertahanlah"! Siauwte akan berusaha mengobatimu"" Tui Lan membesarkan hati orang tua itu. Tui Lan lalu mengeluarkan obat luka yang selalu dibawanya. Tapi karena luka itu tidak begitu kelihatan di dalam gelap, maka Tui Lan lalu menyalakan empat batang lilin lagi. Kemudian dengan pertolongan sinar lilin itu Tui Lan lalu memoleskan obatnya. Sama sekali gadis itu sudah tidak ingat lagi kebuasan orang yang hendak membunuhnya itu. Sebaliknya, orang yang terluka itu kini tampak memandang Tui Lan tanpa berkedip.

   Mata yang tadi tampak liar menakutkan itu kini menatap termangu-mangu, seakan-akan tak percaya bahwa di dunia ini ternyata ada juga seorang manusia yang begitu baik, tulus dan berbudi luhur seperti gadis itu. Padahal, sejak kedatangannya tadi, gadis itu telah berkali-kali hendak dibunuhnya. Pertama, meskipun tidak ia sengaja, gadis itu telah terkena gigitan Ang-leng-coa, ular peliharaannya. Lalu yang kedua, gadis itu telah diserangnya dengan bubuk beracun Keh-hiat-tok (Racun Pemutus Urat) dan Chi-shui-tok (Racun Pengantar Tidur) yang berbau busuk dan wangi itu. Dan kemudian yang terakhir, gadis itu telah ia sedot darahnya. Meskipun yang terakhir ini juga gagal, karena dia keburu pingsan tadi. Tapi yang terang semuanya itu telah menunjukkan bahwa dia memang benar-benar bermaksud membunuh gadis itu.

   Tetapi" apa yang dikerjakan gadis itu sekarang? Ternyata semua itu tidak menimbulkan dendam di hati gadis cantik itu. Di dalam situasi yang berbalik seperti sekarang, ternyata gadis itu tidak memanfaatkannya untuk membalas dendam. Gadis itu ternyata justru merawat dan mengurusnya penuh perhatian. Padahal kalau mau gadis itu bisa meninggalkannya begitu saja. Oleh karena itu, siapakah orangnya yang tidak merasa terketuk hatinya mengalami hal seperti itu? Biarpun orang yang terkena itu seorang penjahat berhati kejam seperti orang tua itu? Mata yang selama ini selalu memancarkan watak keras,buas dan kejam itu tiba-tiba menitikkan air mata. Di saat saat terakhir hidupnya orang itu ternyata memperoleh sinar terang yang mampu membuka pintu batinnya.

   "Anak baik...! Kau tak perlu bersusah-payah mengobati aku lagi! Sudah tidak ada gunanya lagi..." orang tua itu berkata serak karena terharu.

   "Kenapa Lo-Cianpwe berkata begitu? Apakah Io-cian-pwe berputus-asa karena gagal mengambil darahku? Ahh... Lo-Cianpwe"! Jika Lo-Cianpwe memang sangat membutuhkan darahku, sebenarnya akupun rela pula memberikannya. Tapi tentu saja jangan semuanya! Yang penting kita berdua bisa selamat. Misalnya darahku ini dibagi dua, Lo-Cianpwe separuh aku separuh. Bagaimana...?" Tui Lan membuka kembali balutan lukanya. Tapi orang tua itu cepat mencegahnya.

   "Jangan"!" "Lo-Cianpwe...? Mengapa?"

   "Anak baik, ketahuilah"! Didalam darahmu memang mengalir ciri-ciri khusus perguruanku, yaitu berdarah bening, yang membuat kita semua kebal terhadap semua racun. Tapi sayang darahmu itu ternyata tidak cocok bila bercampur dengan darahku, sehingga seperti yang telah kau lihat tadi, aku menjadi pingsan karenanya. Malahan percampuran itu justru mempercepat saat kematianku. Oleh karena itu sebelum mati aku akan meninggalkan pesan kepadamu."

   "Lo-Cianpwe..."

   "Sudahlah! Jangan banyak bicara lagi! Waktuku tinggal beberapa saat saja. Dengarlah"!" orang tua itu memotong perkataan Tui Lan. Kemudain sambil mengeluarkan sebuah buku kumal dari kantong celananya, orang tua itu melanjutkan,"inilah buku Im-Yang Tok-keng itu! Untunglah dia tidak termakan api tadi. Sekarang kau terima lah buku ini! Kuwariskan dia kepadamu. Rawatlah baik-baik! Jangan sampai terlihat orang lain,karena buku ini banyak yang mengincarnya."

   "Lo-Cianpwe..."

   "Dan mustika ini juga kuwariskan kepadamu!" orang tua itu meneruskan. Kemudian orang itu menggigit benjolan daging yang tumbuh di tengah-tengah telapak tangannya, dan dikeluarkannya sebutir mutiara putih yang berlepotan darah dari dalamnya.

   "Mustika ini sengaja kutanam di dalam daging agar tidak dapat terlepas dari tanganku. Mustika ini dinamakan orang Po-tok-cu. Khasiatnya bisa menawarkan segala macam racun. Betapapun hebatnya sebuah racun, dia akan segera tawar bila tersentuh mutiara ini."

   "Kalau mustika itu bisa menawarkan racun, mengapa Lo-Cianpwe masih juga terkena Hok-hiat-tok?" sela Tui Lan. Orang tua itu menghela napas.

   "Aku belum memilikinya ketika murid-muridku itu meracuni aku. Dan ketika pusaka ini berada di tanganku, hati dan jantungku sudah terlanjur rusak oleh Hok-hiat-tok."

   "Tapi... Lo-Cianpwe tadi bilang bahwa orang-orang dari kalangan berdarah bening itu kebal terhadap racun..."

   "Ya! Tapi tidak semuanya. Kita tetap tidak akan tahan melawan racun, sejenis Hok-hiat-tok..." orang itu menerangkan seraya memberikan mustika yang dipegangnya itu kepada Tui Lan. Tui Lan menerima mutiara itu dan memasukkannya ke dalam saku.

   "Hati-hati! Jangan sampai hilang"! Dan"eh, sepeninggalku nanti kalau ada seorang kakek berambut hitam legam datang, kau beritahukan saja kalau aku sudah mati, Niscaya dia takkan mengganggumu..."

   "Kakek berambut hitam? Siapakah dia...?"

   "Bangsat itu adalah guruku!" orang yang mau mati itu menggeram penuh dendam. Tui Lan tercengang. Sungguh aneh benar orang-orang yang ia hadapi kali ini. Guru mendiang iblis-iblis Ban-kwi-to ini ternyata masih mempunyai guru. Dan seperti halnya iblis-iblis Ban-kwi-to itu pula, sang guru ini ternyata juga bermusuhan dengan gurunya. Betapa anehnya perguruan mereka! Orang tua itu meringis kecut.

   "Kau jangan heran! Guruku itu memang tidak layak untuk dihormati. Meskipun sudah tua bangka dia suka main perempuan. Sampai isteriku, isteri muridnya sendiri dilahapnya pula tanpa malu. Gila tidak itu...?"

   "Ahh...!" Tui Lan berdesah dengan pipi merah padam. Tapi tiba-tiba gadis itu tersentak kaget. Guru orang tua ini mahir menggunakan racun, berkepandaian tinggi dan senang main perempuan pula. Mungkinkah guru orang tua ini adalah si Iblis Penyebar Maut itu? Tui Lan mencengkeram lengan orang. Tapi betapa terkejutnya dia tatkala dilihatnya orang itu sudah mulai tersengal-sengal pernapasannya.

   "Lo-Cianpwe! Lo-Cianpwe, tunggu... Apakah guru Lo-Cianpwe itu bergelar Si Iblis Penyebar Maut?" teriaknya keras sambil mengguncang-guncang lengan orang tua itu. Orang tua yang sudah mau mati itu berusaha membuka matanya, namun tak berhasil. Tampaknya urat-uratnya sudah mulai kaku.

   "A-apa ka-katamu heh? Aku... a-aku t-t-t-tidak... mende...mendengarmu." Gumamnya tak jelas.

   "Apakah guru Lo-Cianpwe itu bergelar... bergelar Si Iblis Penyebar Maut...?" Tui Lan berteriak sekali lagi.

   "Aaapa...? Dia... d-dia.. Ouhhhhhh, se-se-selamat ting-tinggal...!" Orang tua itu mencoba bertahan, tapi gagal. Kepalanya tersentak kemudian terkulai di atas bahunya.

   "Lo-Cianpwe! Lo-Cianpwe! Aah..." Gadis itu menghela napas panjang. Orang tua itu telah pergi. Dan keberangkatannya tadi tampaknya telah dilakukannya dengan penuh keikhlasan dan kedamaian hati. Dan gadis itu juga merasa bangga pula, karena kedamaian itu tampaknya berasal atau bersumber dari dirinya.

   "Inilah yang tidak disadari oleh Subo atau orang-orang lain di dunia ini. Ketentraman dan kedamaian dunia itu sebetulnya terletak di dalam diri pribadi masing-masing orang. Apabila orang itu dengan tulus ikhlas dan penuh kasih sayang mau berjalan di atas rel kebenaran, niscaya hidupnya akan selalu damai, tentram dan sejahtera. Apa yang kualami ini tadi merupakan bukti yang tak dapat dibantah lagi. Betapapun buas dan kejamnya guru Tee-tok-ci ini, tapi dia tetap seorang manusia juga. Dia bukan hewan atau binatang yang tak punya budi dan pikiran. Kasih sayang dan ketulusan hati yang kuperlihatkan kepadanya ternyata masih dapat dilihat pula oleh mata batinnya," gadis itu berkata di dalam hatinya. Iseng-iseng Tui Lan membuka buku pemberian orang tua itu. Di halaman pertama tertulis huruf :

   Memburu Iblis Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   IM-YANG-TO KENG. Dan dibawahnya tertera nama penulisnya atau penyusunnya, yaitu " GIOK BIN TOK-ONG (RAJA RACUN BERWAJAH TAMPAN).

   Tui Lan lalu membuka halaman selanjutnya. Di sana tertulis segala macam hal tentang racun. Mengenai macamnya, bentuknya, rupanya, warnanya, dan lain sebagainya. Di dalam buku itu juga diterangkan cara bagaimana mengenalinya, memperolehnya, dan bagaimana cara penggunaannya, serta bagaimana cara menghindari atau mengobatinya. Di halaman terakhir diterangkan pula cara bagaimana semua racun-racun ini dipergunakan oleh seorang jago silat untuk menambah kesaktian atau kedahsyatan ilmunya.

   
Semakin banyak gadis itu membaca isi buku itu, semakin bergidik dan ngeri hatinya. Di dalam buku itu banyak disebutkan macam-macam racun yang khasiatnya benar-benar mendirikan bulu-romanya. Akhirnya gadis itu tidak tahan membacanya. Buku itu lekas-lekas ditutupnya dan dimasukkannya ke dalam sakunya. Kalau menuruti kata hatinya ingln benar rasanya Tui Lan memusnahkan buku itu. Tapi bila mengingat betapa susah-payahnya Giok-bin Tok-ong tersebut menyusunnya, hatinya menjadi tak tega. Untuk menyimpan atau menyembunyikannya di suatu tempat, Tui Lan juga tak berani. Siapa tahu buku itu diketemukan atau diambil oleh orang-orang yang tak bertanggung-jawab nanti?

   "Biarlah buku ini kusimpan di dalam saku bajuku bersama-sama dengan mutiara anti racun itu, gadis itu berkata di dalam hatinya. Tak terasa larut malam telah lewat. Embun pagi telah mulai turun membasahi jurang itu. Keempat lilin juga telah terbakar sampai di pangkalnya. Tui Lan bergegas menggantinya dengan yang baru, karena dia harus menggali tanah untuk menguburkan mayat dan bangkai keledainya. Karena tak ada pacul, Tui Lan terpaksa mempergunakan pedangnya untuk menggali tanah.

   Celakanya, tak ada tanah yang empuk di dasar jurang itu. Semuanya terdiri dari padas dan karang. Oleh karena itu mayat dan bangkai keledai itu terpaksa ditanam dalam lubang yang tak terlalu dalam. Dan pekerjaan itupun telah menyita waktu sampai fajar menyingsing. Tui Lan menyeka keringatnya, kemudian merebahkan diri di atas batu besar untuk melepaskan lelah. Usapan udara pagi yang disertai kabut dingin dari atas bukit itu akhirnya membawa gadis itu terlelap ke dalam impian. Dan mataharipun merangkak semakin tinggi ke angkasa seolah-olah ingin segera dapat menghangati tubuh si gadis yang lembut hati itu. Gadis itu baru terbangun ketika dirasakannya ada seseorang di dekatnya, dan gadis itu bangkit dengan cepat, ketika di dekat kakinya benar benar ada seorang kakek yang sedang berdiri mengawasinya.

   "Kau... kau siapa?" Tui Lan berseru tertahan. Kakek itu tersenyum, sehingga wajahnya yang masih tampak muda itu kelihatan segar dan tampan sekali. Alis dan kumisnya yang panjang berjuntai kebawah berwarna putih bersih dan diatur rapi sekali. Sementara rambut di kepalanya, biarpun tidak lebat lagi, tapi masih berwarna hitam legam dan digelung ke atas seperti anak muda. Matanya sangat tajam dan kocak, sedang punggungnya sudah sedikit bongkok karena umurnya. Namun demikian, pakaiannya sungguh amat bagus dan rapi bukan main.

   "Jangan takut, anak manis! Lohu (aku si orang tua) bukan orang jahat. Lohu tidak sengaja melihatmu tidur disini. Lohu kesini untuk menjumpai seseorang, hi-hi-hi-hi..." Kakek tampan itu tertawa terkekeh-kekeh dengan suara yang mendirikan bulu-roma.

   "Menjumpai seseorang? Si-siapa yang hendak Lo-Cianpwe jumpai?" Tui Lan memberanikan dirinya.

   "Ang-leng Kok-jin (Manusia Dari lembah Lampu Merah)! Kau melihat dia?"

   'Ang-leng Kok-jin...? Apakah yang Lo-Cianpwe maksudkan itu guru para iblis dari Ban-kwi-to itu? Orangnya sudah tua, pucat dan kurus seperti mayat...?"

   "Betul! Dan biasanya kemana-mana dia selalu diiringkan oleh ular-ularnya. Eh" jadi kau melihat dia?" kakek tampan itu mendesak.

   "Ular...?"

   "Ya! Ular Ang-leng-coa...

   "

   "Ah? Siauwte tidak melihat dia membawa ular. Tapi di atas bukit ini memang banyak ular Ang-leng-coa berkeliaran. Siauwte..."

   "Hei! Lekas katakan! Dimana orang itu?" kakek tampan itu berseru tak sabar.

   "Kalau orang tua kurus dan pucat itu yang Lo-Cianpwe maksudkan, dia sudah meninggal. Dan kini sudah kumakamkan di dekat tebing itu...!" Tui Lan mengacungkan jarinya ke arah makam yang telah dibuatnya tadi. Tapi gadis itu membelalakkan matanya serentak melihat belasan ekor Ang-leng-coa tampak berkumpul mengitari gundukan makam Ang-leng Kok-jin itu. Kakek tampan itu juga tidak kalah pula rasa terkejutnya.

   "Hei, bocah itu sudah mati? Masakan dia"? Apakah dia tidak memperoleh darah yang cocok untuk menyambung hidupnya?" serunya tak percaya. Lalu tanpa dapat diketahui bagaimana cara bergeraknya, tahu-tahu kakek itu telah berada di depan makam Ang-leng Kok-jin. Dan kedatangannya kesana segera disambut dengan kemarahan oleh pasukan Ang-leng-coa itu. Tapi dengan bengis kakek tampan itu membunuh mereka. Ular-ular yang kebal terhadap senjata tajam itu segera berkelojotan begitu terkena taburan serbuk putih dari tangan si kakek.

   "Lo-Cianpwe...!" Tui Lan menjerit melihat kekejaman kakek itu. Kakek itu seolah tak mendengar jeritan Tui Lan. Begitu melihat ular-ular itu sudah mati, kakek itu langsung saja membongkar kuburan Ang-leng Kok-jin. Kalau tadi menggunakan pedang saja Tui Lan mengalami kesukaran dalam menggalinya, kini ternyata kakek itu enak saja mempergunakan tangannya. Tapi perbuatan kakek itu tentu saja sangat mengejutkan Tui Lan!

   "Lo-Cianpwe! Mengapa Lo-Cianpwe tega membongkar makam orang?"

   "Hei! Siapakah yang membongkar makam orang? Katamu orang yang tertanam di dalam ini adalah Ang-leng Kok-jin. Lalu apa salahnya aku membongkar makam muridku sendiri?" kakek itu menyahut tanpa menghentikan pekerjaannya. Ketika Tui Lan hendak membantah lagi, ternyata kakek itu telah selesai menggali tanah itu. Dan sesaat kemudian mayat Ang-leng Kok-jin telah disongkel keluar dari liangnya. Kemudian dengan penuh kewaspadaan dan kecurigaan, kakek itu berputar-putar menyelidiki mayat muridnya itu. Sekejappun kakek itu tak berani terlalu dekat, apalagi sampai menyentuh mayat tersebut. Baru beberapa waktu kemudian kakek itu dengan sebatang ranting pendek berani menyingkap dan membalikkan tubuh mayat itu. Namun tiba-tiba...

   "Dhoooocooooooor..." Mayat itu meledak dengan dahsyatnya dan hancur bertaburan ke segala penjuru. Kakek tampan yang hanya selangkah dari mayat itu ikut terpental tinggi ke udara, kemudian jatuh berdebam kembali ke atas tanah.

   Namun anehnya, sekejap kemudian kakek itu telah bangkit pula kembali seperti tak pernah terjadi apa-apa. Padahal bagian depan bajunya tampak hancur tercabik-cabik akibat ledakan itu. Dan begitu bangun kakek itu segera berkeliling mencari sesuatu diantara sisa-sisa tubuh Ang-leng Kok-jin yang bertebaran. Sementara itu Tui Lan yang ikut pula terhempas ke tanah, meskipun dia berdiri jauh dari ledakan tersebut, masih duduk juga termangu-mangu di tempatnya. Gadis itu masih tampak bingung dan tak habis mengerti, kenapa mayat yang sudah ia kuburkan itu bisa meledak begitu dahsyatnya. Dan gadis itu juga tak habis mengerti, bagaimana pula kakek itu bisa menyelamatkan dirinya dari ledakan itu? Padahal dia yang berdiri sejauh lima tombak saja masih merasa seperti rontok seluruh isi dadanya? Tui Lan tergagap kaget ketika Kakek itu datang dan menegurnya.

   "Anak manis, kau tak apa-apa, bukan? Huh! Bangsat benar bocah itu! Sudah matipun dia masih juga memasang perangkap! Untunglah sejak dulu aku sudah mengenal sifat-sifatnya. Coba kalau tidak...! Badanku bisa tercerai-berai pula tadi! Hmmmh!"

   "Memasang perangkap? Masakan murid Lo-Cianpwe berani memasang perangkap untuk mencelakakan gurunya?" Tui Lan bertanya semakin bingung menghadapi persoalan itu.

   "Kenapa tak berani? Sejak kecilpun dia sudah berani melawan aku. Malahan semenjak kematian isterinya, dia selalu menentang aku di tempat ini. Kedatanganku kemari sebenarnya juga untuk mengadu ilmu dengannya," kakek itu memberi keterangan.

   "Mengadu ilmu...? Kalian guru dan murid... berkelahi sendiri. Lalu... lalu apa penyebabnya?" Tui Lan yang sejak kecil selalu terdidik dengan baik itu semakin pusing mendengar kata-kata kakek itu.
(Lanjut ke Jilid 02)

   Memburu Iblis (Seri ke 03 - Darah Pendekar)
Karya : Sriwidjono

   Jilid 02
"Haha-hihihi...! Tentu saja banyak penyebabnya, Anak manis. Dan salah satu diantaranya adalah masalah perempuan, hihihihi...!" kakek itu menjawab tanpa malu-malu. Matanya semakin kocak dan nakal memandang Tui Lan, seakan-akan masalah perempuan antara ia dan muridnya itu bukan suatu hal yang memalukan baginya. Justru Tui Lan yang masih ingusan itulah yang menjadi malu mendengarnya. Gadis itu menjadi merah-padam mukanya! Sementara di dalam hatinya gadis itu tak habis pikir, bagaimana di dunia ini ada seorang yang bejat moralnya seperti kakek itu padahal kalau dilihat keadaan tubuhnya, meskipun pintar bersolek, kakek itu tentu lebih dari delapan puluh tahun umurnya.Tapi gaya dan sikapnya sungguh amat genit seperti bujang sedang birahi.Oleh sebab itu terasa berkurang juga rasa hormat Tui Lan kepada kakek itu.

   

Darah Pendekar Eps 37 Darah Pendekar Eps 38 Pendekar Penyebar Maut Eps 25

Cari Blog Ini