Pendekar Penyebar Maut 25
Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Bagian 25
"Jiwi sangat dihormati orang di dusun ini. Hmm, siapakah sebenarnya jiwi ini? Siapa pula Tan-Wangwe itu? Mengapa saudara sampai bentrok dengan Keh-sim Siauwhiap yang terkenal itu?" sambil berjalan Chin Yang Kun bertanya tentang mereka. Laki-laki itu tersenyum dan tidak menjawab pertanyaan tersebut secara langsung,
"Ah...mengapa terburu-buru? Sebentar lagi saudara tentu akan mengerti sendiri." Mereka melewati bandar tempat menambat perahu di pinggir dusun. Tempat itu sangat ramai dan penuh dengan sampan dan perahu. Beberapa orang pengawal atau tukang pukul yang bersenjata golok tampak menyongsong mereka. Salah seorang dari mereka segera membungkuk.
"Tan-Wangwe telah menunggu tuan berdua sejak tadi," katanya memberi Iaporan.
"Apakah rombongan Keh-sim Siauwhiap telah tiba?"
"Belum..." Beberapa waktu kemudian mereka sampai ke sebuah rumah yang besar, luas, indah dan sangat megah. Bangunan itu didirikan menghadap ke arah sungai, sehingga kesan kemegahannya sungguh amat menonjol dengan ruang pandangan yang sangat luas.
Pagar temboknya disusun dari bata merah setinggi dua meter lebih, meskipun begitu toh tetap tidak bisa menutupi bangunan gedungnya yang tinggi. Di pintu gerbang masuk mereka disongsong pula oleh para penjaga yang berseragam lengkap, lalu diantar melalui halaman depannya yang amat luas. Para penjaga itu berhenti di bawah tangga pendapa dan mempersilahkan mereka naik ke atas. Laki Iaki bersenjata huncwe itu mendahului naik tangga, diikuti oleh Pek pi Siau kwi dan Chin Yang Kun. Di atas pendapa mereka telah dinantikan oleh para jagoan pengawal yang dikumpulkan Tan-Wangwe, di antaranya Hui-chio Tu Seng, Houw-ho Lam-hui dan Ngo kui-shui! Ketika orang-orang itu melihat kedatangan Chin Yang Kun, mereka langsung berpencar dan menghunus senjata masing masing.
"Berhenti! tidak ada lawan di sini, semuanya adalah kawan! Kalian mundurlah...!" Laki-laki berhuncwe itu meloncat ke depan dan berteriak keras.
"Jai-hwa Toat beng-kwi (Hantu Cabul Pencabut Nyawa)...! Pek pi Siau-kwi! Itulah pemuda yang telah membunuh kawan-kawan kita...!" Hui-chio Tu Seng balas berteriak.
"Kalian keliru! Duduklah! Mari kita bicarakan dengan hati dingin!" orang bersenjata huncwe yang dipanggil dengan sebutan Jai-hwa Toat-beng-kwi itu menarik lengan Hui-chio Tu Seng dan kawan-kawannya ke kursi. Lalu sambil berbisik lirih Jai-hwa Toat-beng kwi menepuk bahu Hui chio agar menuruti saja segala perintahnya. Sementara itu Lam Hui menatap Chin Yang Kun dengan rasa tak keruan. Menurut Hui chio, pemuda itulah yang telah membunuh Togu dan Huang ho Heng-te dengan ilmu yang amat mengerikan. Sebuah ilmu siluman yang bisa memanjangkan dan memendekkan anggota badan! Padahal kepandaiannya masih berada di bawah ketiga orang yang telah mati itu. Oleh karena itu betapa kecut hatinya bila ia teringat akan lagaknya dulu ketika bertemu dengan pemuda itu di warung Hao Chi.
"Mari! Marilah duduk, Yang sicu...!" Jai-hwa Toat-beng kwi mempersilahkan Chin Yang Kun. Dengan wajah tenang tanpa perasaan khawatir sedikitpun Chin Yang Kun duduk di atas kursi yang disediakan untuknya.Lalu dengan tenang pula, pemuda itu menatap orang-orang yang berada di sekitarnya satu persatu. Ketika pandangannya jatuh pada Lam Hui, orang bertubuh tinggi besar yang semula sangat garang itu tiba-tiba menggigil. Rasanya mata itu mencorong menyilaukan bagi Lam Hui, seperti sorot matahari yang menimpa mukanya.
"Saudara Tu Seng, Lam Hui dan Ngo kui shui..." Jai-hwa Toat-beng-kwi berdiri dan mengawasi kawan-kawannya.
"Sekarang aku mau bertanya kepada kalian...siapa sebenarnya lawan yang sedang kita tunggu tunggu itu?" Hui chio Tu Seng, Houw-kho Lam Hui dan Ngo kui-shui saling memandang dengan bingung. Mereka benar benar tak mengerti, apa maksud Jai-hwa Toat-beng-kwi bertanya tentang hal yang telah mereka ketahui bersama itu? Bukankah semua sudah tahu bahwa mereka sedang menantikan kedatangan Keh-sim Siauwhiap?
"Ayoh, katakan! Mengapa diam saja? Katakan, siapa lawan yang kita tunggu tunggu itu!"
"Jai hwa Toat-beng-kwi, kau ini aneh benar. Bukankah kau juga sudah tahu kalau kita sedang menantikan Keh-sim Siauwhiap?" Tu Seng menjawab.
"Nah, ternyata kalian masih ingat juga. Lalu, apa yang akan kalian perbuat kalau ada rombongan lain yang bukan rombongan Keh sim Siauwhiap lewat di dusun ini? Hanya sekedar lewat saja! Apakah rombongan itu akan kalian hantam juga?"
"Huh, apa gunanya kita menghantam mereka? Cuma mencari kesulitan sendiri saja. Baru berhadapan dengan Kehsim Siauwhiap saja kita sudah kehilangan kawan, mengapa kita harus menambahnya dengan musuh-musuh yang lain?" Hui-chio Tu Seng menjawab tegas. Jai hwa Toat beng-kwi tersenyum, lalu melangkah mendekati Tu Seng. Matanya menatap jago tombak itu lekat lekat.
"Lalu...mengapa kau menyerang juga rombongan Yang sicu ini? Apakah kalian sudah yakin kalau mereka itu rombongan dari Keh-sim Siauwhiap?"
"Ini...ini...aku tak tahu...!" Tu Seng menjawab dengan gagap.
"Nah, ketahuilah sekarang. Yang sicu ini bukan orangnya Keh-sim Siauwhiap! Jadi kalian kemarin telah keliru sangka...,"
"Tapi...tapi...apa buktinya kalau dia bukan orangnya Kehsim Siauwhiap?"
"Naah, ternyata kalian masih dapat berpikir juga sekarang. Tapi mengapa kemarin kalian tak punya pikiran untuk membuktikan terlebih dahulu, siapa sebenarnya dia? Kalian langsung main labrak saja, dan akibatnya...kalian sendiri yang rugi. Ternyata yang kalian tabrak adalah gunung karang..." Jai-hwa Toat-beng kwi kembali ke kursinya. Meskipun banyak yang belum puas, tapi tak seorangpun yang berani bersuara. Mereka memendam saja perasaannya, hanya kadang-kadang saja mereka melirik ke arah Chin Yang Kun. Akhirnya tak enak juga perasaan pemuda itu kalau cuma berdiam diri saja. Perlahan-lahan ia bangkit dari tempat duduknya.
"Cuwi sekalian...! Aku tahu bahwa cuwi belum percaya kepadaku. Tapi sebenarnyalah apa yang dikatakan oleh Jai-hwa Toat-beng-kwi tadi, aku bukan anak buah Keh sim Siauwhiap. Aku memang tidak mempunyai bukti. Tapi aku dapat membuktikannya bila Keh-sim Siauwhiap berada di sini. Nah, sekarang terserah kepada cuwi semua. Percaya atau tidak. Tidak percaya pun aku juga tidak peduli. Aku siap menghadapi siapa saja!" Tak seorangpun berani berkutik, Ngo kui-shui memandang Lam Hui, Lam hui yang tinggi besar itu memandaug Hui-chio dan Jai-hwa Toat-beng-kwi. Tapi dua orang pentolan pengawal ini juga diam saja menundukkan muka,
"Nah...memang sebaiknya begitu!" tiba-tiba Pek-pi Siau-kwi memecahkan kesunyian tersebut, "Memang sebaiknya Yang-sicu berada di tempat ini dahulu untuk membuktikan bahwa dia bukan anak buah Keh-sim Siauwhiap. Nanti setelah Keh-sim Siauwhiap datang. Yang-sicu dapat pergi...dengan bebas."
"Hahaha...benar! Benar! Aku sepakat!" Jai-hwa Toat-beng-kwi bersorak.
"Hei! Hei! Ini...aku..." Chin Yang Kun berusaha untuk mencegah keputusan itu.
"Sudahlah, Yang-sicu. Duduk sajalah yang baik, kami akan menjamu Yang-sicu seperti kami menjamu tamu kehormatan kami...Hei, pelayan! Keluarkan meja jamuan selengkap-lengkapnya!" Jai-hwa Toatbeng-kwi berteriak ke dalam.
"Ah!" Chin Yang Kun berdesah kikuk. Dan seperti telah dipersiapkan sebelumnya, dari dalam lantas terlihat beberapa orang gadis keluar membawa nampan berisi segala macam makanan. Dengan cekatan mereka menata meja itu tanpa bersuara. Sekejap saja semuanya telah siap.
"Bagus! Bagus...! Ada tamu agung rupanya! Marilah...kalau begitu aku Tan Hok akan ikut menikmati jamuan ini..." dari dalam tiba-tiba muncul seorang lelaki gagah berpakaian sangat indah. Usianya sekitar empat puluh lima tahun. Rambut di atas pelipisnya telah memutih. Begitu juga yang berada di atas ubun-ubunnya. Sebatang pedang panjang tergantung pada pinggangnya.
"Tan-Wangwe...!" semuanya berdiri menyambut orang itu.
"Silahkan! Silahkan...! Jangan sungkan-sungkan! Ah, siapakah tamu kita kali ini?" Jai hwa Toat-beng-kwi menyongsong Tan-Wangwe dan membawanya ke dekat Chin Yang Kun, lalu memperkenalkannya satu sama lain.
"Yang-sicu, beliau ini adalah pemilik rumah ini. Beliau bernama Tan Hok atau Tan-Wangwe..." Chin Yang Kun membungkuk sambil merangkapkan kedua belah telapak tangannya di depan dada, tapi mulutnya tetap diam tak bersuara. Sebaliknya ketika namanya disebut oleh Jai-hwa Toat-beng kwi dan diperkenalkan kepada tamu rumah, Tan-Wangwe menyambutnya dengan sangat hormat dan gembira sekali.
"Ooh, Yang Siauwhiap rupanya...! Aku telah mendengar tentang kehebatanmu dari Huichio Tu Seng kemarin. Katanya seorang diri engkau dapat mengalahkan dan membunuh Togu dan Huang ho Heng-te. Aku benar-benar sangat kagum kepadamu. Ilmu kepandaianmu tentu tinggi sekali.."
"Dan...Tan-Wangwe paling suka berteman dengan jago silat yang berkepandaian tinggi!" Pek-pi Siau-kwi yang sedari tadi cuma diam saja, tiba-tiba menyahut.
"Benar. Aku memang sangat senang dan menghargai orang-orang yang hebat...seperti Yang Siauwhiap ini pula! Maka dari itu aku akan bergembira pula hari ini apabila dapat bersahabat dengan Yang Siauwhiap!"
"Hei, mengapa pula sampai tak bisa! Marilah kita makan dan minum untuk merayakan persahabatan kita ini...!" Jai-hwa Toat-beng-kwi segera berseru sambil menyambar cawan arak yang berada di depannya. Yang Iain-lain segera mengikutinya pula. Terpaksa Chin Yang Kun melayani kegembiraan mereka. Apalagi sejak kemarin ia memang belum makan sama sekali. Ia menerima saja setiap mereka menawari makanan dan minuman, sehingga akhirnya ia menjadi mabuk dan kekenyangan. Pemuda itu bangkit dari kursinya, lalu dengan sempoyongan ia berjalan ke dalam rumah.
"Marilah kubantu pergi ke kamarmu, Yang-sicu..." Pek-pi Siau-kwi meloncat mendekati. Tangannya meraih ke arah pinggang Chin Yang Kun! Meskipun sedang dalam keadaan mabuk ternyata pemuda itu tetap sulit sekali untuk didekati orang. Beberapa kali Pek-pi Siau kwi berusaha menyambar lengan atau pinggang Chin Yang Kun, untuk membantunya pergi ke kamar, tapi selalu tak berhasil. Biarpun sempoyongan, gerakan kaki dan tangannya masih sangat gesit dan cepat bukan main!
"Ja-jangan dekati a-aku! Aku mau...mau tidur sesebentar. Si-siapa y-yang mendekati aku akan kubunuh seperti...seperti ini! Hiaaat!"
Pemuda itu mencengkeram ke arah ubun-ubun Pek-pi Siaukwi tapi karena sempoyongan sasarannya menjadi berubah ke arah pundak. Meski pun demikian serangan tersebut juga tidak kalah berbahayanya dengan sasaran semula. Kalau kena, tak pelak lagi wanita cantik itu tentu akan menjadi cacat badan seumur hidupnya. Oleh karena itu Pek-pi Siau kwi juga tidak berani sembrono melayani serangan itu. Wanita itu mengerahkan segala kemampuannya, lalu dengan cepat memiringkan tubuhnya ke kanan sehingga cengkeraman Chin Yang Kun mengenal tempat kosong. Kemudian sebelum pemuda itu sempat menarik lengannya, Pek pi Siau kwi bergegas menabas lengan tersebut dengan sisi telapak tangannya. Tapi entah karena sedang mabuk atau karena memang sudah tak sempat lagi, Chin Yang Kun tak berusaha mengelakkan serangan tersebut.
Sebaliknya pemuda itu justru membarenginya dengan sapuan kakinya ke arah kuda-kuda lawan. Pek pi Siau kwi menyangka bahwa Chin Yang Kun memang benar-benar sudah mabuk, maka hatinya menjadi gembira bukan main. Wanita itu sudah membayangkan bahwa sekejap lagi pergelangan tangan Chin Yang Kun akan terlepas persendiannya dan selagi pemuda itu merasakan kesakitan, ia akan segera mencengkeram lengan tersebut dan kemudian membantingnya ke atas lantai! Blug! Dan semuanya akan bertepuk tangan untuknya. Tapi apa yang terjadi selanjutnya benar-benar membuat wanita itu hampir pingsan karenanya. Pada benturan pertama, bukanlah Chin Yang Kun yang terlepas persendian tulangnya, tapi Pek pi Siau-kwi sendirilah yang menjerit setinggi langit.
Serasa remuk seluruh tulang lengan wanita itu ketika membentur lengan Chin Yang Kun yang keras bagai besi baja. Dan selagi rasa sakit itu masih mencengkam tubuhnya, wanita itu menjerit pula sekali lagi ketika mendadak tubuhnya terangkat ke atas, kemudian terbanting kembali ke lantai dengan kerasnya! Serasa ada seribu bintang yang tiba-tiba datang mengerumuninya. Pusing! Selesai menyapu kaki lawan Chin Yang Kun sendiri lalu sempoyongan menabrak meja, sehingga meja yang penuh terisi makanan dan minuman itu terguling jatuh menumpahkan seluruh isinya. Seguci arak yang masih penuh terlontar dari meja itu dan pecah ketika menimpa kepala Chin Yang Kun. Isinya tumpah membasahi tubuh Chin Yang Kun dari ujung rambut sampai ke dalam sepatunya.
"Heheh...segar! Segar sekali! Mmm...mandi arak wangi memang segar sekali!" pemuda itu tertawa terkekeh-kekeh sambil menjilati arak yang mengalir di atas bibirnya.
Kaki yang belum dapat berdiri tegak itu tiba-tiba melangkah kembali ke tempat Pek-pi Siau-kwi masih terbaring kesakitan. Tangannya terkepal, siap untuk memberi pukulan terakhir. Jai-hwa Toat-beng kwi dan kawan-kawannya terlonjak kaget dari kursinya melihat bahaya yang akan menimpa sekutu mereka itu. Seperti mendapat aba-aba mereka melesat bersama-sama ke arah Pek-pi Siau kwi. Jai-hwa Toat-beng-kwi yang tak pernah lekang dari huncwenya, melemparkan senjata andalannya itu ke arah Chin Yang Kun. Begitu juga yang dilakukan oleh Hui-chio Tu Seng! Orang yang sangat terkenal karena tombak terbangnya itu melontarkan senjatanya berbareng dengan Jai-hwa Toat-beng-kwi. Dan kedua senjata tersebut melesat bagai kilat, menyongsong langkah Chin Yang Kun.
"Siuuuuuuut! Siuuuuuuut!"
"Ceeep! Ceeep!" Semuanya ternganga. Dua buah senjata yang melesat dengan dahsyat itu ternyata disambar dengan amat mudah oleh Chin Yang Kun, seakan-akan benda berbahaya itu cuma barang mainan baginya. Hanya karena kakinya memang sempoyongan sejak tadi, maka begitu berhasil menangkap senjata yang terlontar dengan kekuatan tinggi itu, Chin Yang Kun langsung terjengkang dan berguling-guling di atas Iantai. Tapi itupun hanya sekejap, karena sesaat kemudian tubuh pemuda itu telah melenting ke atas, terus menerkam ke arah orang-orang yang mendatanginya. Dan orang-orang yang mau menolong Pek-pi Siau kwi itu juga bersiap-siap menghadapi pula.
"Wuuuut! Siuuuut! Plak!"
"Blug! Blug!" Tujuh orang pengawal pilihan dari Tan-Wangwe itu berjatuhan bagaikan buah kelapa yang dipungut dari tangkainya. Mereka terkapar bergelimpangan di lantai dengan mulut mengaduh-aduh kesakitan. Sungguh menakjubkan! Seorang diri, sedang mabuk pula...tapi dalam satu gebrakan telah mampu menjatuhkan semua musuh-musuhnya.
"Nah! lni...hik hik, ini cuma peringatan sa-saja untuk k-kalian, hik! Lain kali...ja-jangan dekati aku lagi! Eh, Tan-Wangwe...ayoh antarkan aku ke kamarmu!"
"Ba-baik! Baik!" Tan Hok tersentak kaget. Wajahnya pucat, seolah-olah tak percaya pada kejadian itu. Orang orang yang dia kumpulkan untuk menghadapi Keh-sim Siauwhiap ternyata telah disikat oleh pemuda itu dalam satu gebrakan. Sungguh tak masuk di akal. Setelah mengantar Chin Yang Kun ke kamarnya, Tan Hok bergegas keluar kembali menemui para pengawalnya. Orang orang itu segera ditolongnya. Ngo-kui shui yang lweekangnya paling rendah terpaksa harus minum obat, karena pukulan Chin Yang Kun ternyata mengandung racun.
"Gila! Anak itu kepandaiannya sungguh dahsyat!" Tan Hok berkata heran.
"Aku juga merasa heran. Dulu ayahnya tak sehebat dia. Maka ketika kemarin Tuan Tan menugaskan aku untuk membawanya kemari, aku menjadi salah hitung. Tadi siang tubuhku telah dilemparkannya ke dalam sungai seperti ini tadi." Jai-hwa Toat-beng-kwi bersungut-sungut.
"Baiklah! Sekarang kita teruskan rencana kita itu. Kita harus bisa mempergunakan kelihaiannya itu untuk melawan Keh-sim Siauwhiap. Sekarang biarlah aku sendiri yang membujuknya." Tan Hok berbisik ke telinga Jai-hwa Toat-beng-kwi.
Tan Hok lalu berlari kembali ke dalam rumah. Ia melayani sendiri keperluan Chin Yang Kun. Dengan tekun hartawan itu menunggui sendiri di dekat pembaringan Chin Yang Kun. Kemudian diajaknya berbicara dan mengobrol. Oleh karena Chin Yang Kun masih dalam keadaan mabuk, maka kata-kata yang keluar dari mulutnyapun juga tak beraturan dan asal bicara saja. Apa yang terpikir langsung keluar dari mulutnya. Sama sekali pemuda itu tak memikirkan, di mana dia kini sedang berada. Di tempat kawan atau lawan, berbahaya bagi keseIamatannya atau tidak. Yang dirasakan oleh Chin Yang Kun pada saat itu cuma tubuhnya terasa enteng dan ringan sekali, seakan-akan ia mau terbang dibawa angin.
"Tan Hok, kau benar-benar kaya sekali...hik." pemuda itu memanggil nama si tuan rumah dengan enaknya, seolah-olah memanggil pelayannya saja.
"Rumahmu...hik...rumahmu bagus sekali, perabotannyapun bukan main indahnya. Semuanya terbuat dari emas...Tapi...hik...kenapa sepi sekali? Di mana keluargamu? Maksudku...isteri dan anak-anakmu? Yang kulihat sedari tadi cuma para pelayan dan...hik...para pengawalmu saja." Tiba-tiba terdengar suara Tan Hok menghela napas berat. Beberapa saat lamanya orang kaya itu tak menjawab pertanyaan Chin Yang Kun, sehingga Chin Yang Kun yang belum sadar dari mabuknya itu menjadi heran.
"Eh, kau kenapa? Mengapa diam saja? Ooh, kau sedang sedih hahaha...hik! Ayoh...dong, jawab...! Takut dengan Keh-sim Siauwhiap? Haha...jangan khawatir! Asal aku...hik-hik...masih berada di sini semuanya tanggung beres." Sekejap air muka Tan Hok tampak berseri gembira, tapi sekejap kemudian kembali sedih pula lagi. Perlahan-lahan orang tua itu bangkit berdiri, lalu melangkah ke arah gambar yang tergantung pada dinding kamar. Diambilnya gambar itu dan dibawa ke pembaringan Chin Yang Kun, dan diperlihatkan kepada pemuda tersebut.
"Keluargaku telah meninggal semua. Mertuaku, isteriku, anak-anakku dan para pelayan dari keluargaku! Inilah gambar mereka..." katanya sedih. Chin Yang Kun menerima gambar itu serta melihatnya dengan teliti. Tampak Tan Hok bersama isterinya berdiri di belakang sepasang orang tua, yang duduk di atas kursi mewah. Di samping mereka berdiri empat orang anak kecil berpakaian indah dan anggun. Gambar itu diambil di depan sebuah gedung yang sangat indah mirip istana.
"Ahh, kelihatannya tuan memang keturunan orang kaya atau keturunan bangsawan." Chin Yang Kun memberi komentar setelah puas melihat gambar itu.
"Rumah yang ada di dalam gambar ini tentulah sebuah istana atau semacamnya itu."
"Saudara Yang sungguh sangat teliti. Benar. Gedung yang ada di dalam gambar itu memang sebuah istana kecil tempat tinggal mendiang Perdana Menteri Li Su."
"Oh, kalau begitu tuan Tan ini masih kerabat dari Perdana Menteri itu? Haha, aku...hik hik...aku tahu sekarang. Keluarga tuan tentu dibunuh oleh pasukan Liu Pang, bukan?" Tan Hok menggeleng.
"Bukan...!" jawabnya tegas.
"Hei? Bukan? Ah, lalu siapa kalau bukan mereka? Keh-Sim Siauwhiap?" Chin Yang Kun yang sudah agak sembuh dari mabuknya itu merasa heran.
"Ah, panjang sekali ceritanya..." Tan Hok tertunduk lesu sambil menghela napas berulang-ulang.
"Kematian keluargaku sungguh amat sengsara sekali. Kematian mereka cuma disebabkan oleh perebutan pusaka warisan keluarga. Aku mempunyai warisan pusaka yang ternyata juga diinginkan oleh banyak orang, di antaranya adalah Keh-sim Siauwhiap. Tapi semuanya dapat kutanggulangi, selain...eh, panjang sekali ceritanya,"
"Ohh? Bolehkah aku mendengarkan ceritamu itu? Tampaknya Tuan Tan mempunyai nasib yang sama dengan nasib keluargaku." Chin Yang Kun bertanya dengan nada sedih pula. Mendadak pemuda itu juga teringat kepada ayah, ibu dan paman-pamannya yang terbunuh pula.
"Baiklah, nanti aku ceritakan kepada Yang Siauwhiap. Tapi marilah kita minum-minum dahulu, agar Yang Siauwhiap merasa lebih segar lagi!" Tan Hok berkata sambil menuangkan arak ke atas cawan,
"Lihat! Matahari sudah hampir terbenam dan sebentar lagi bulan segera akan muncul. Siapa tahu malam ini Keh-sim Siauwhiap benar-benar datang, sehingga kita tak mempunyai kesempatan lagi untuk minum bersama."
"Baik! Marilah...,!" Chin Yang Kun yang mulai tertarik dan bersimpati kepada Tan Hok itu segera menyambar cawan yang disuguhkan kepadanya. Mereka lalu makan minum lagi sepuas-puasnya, sehingga rasa pusing yang semula telah hilang dari kepala Chin Yang Kun kini kembali menggayuti kepala pemuda itu lagi.
"Nah, kau...kau berceritalah! Matahari telah ber...hik...bersembunyi sekarang. Bulan s-segera mmm...muncul, hik! Nanti tak ada kesempatan I-lagi kalau Keh-sim Siauwhiap ddd...datang." Chin Yang Kun yang telah mabuk lagi itu mengguncang-guncang lengan Tan Hok. Mulutnya yang berbau arak keras itu berkata serak dan gagap.
"Baiklah, Yang Siauwhiap...Aku akan bercerita..." Tan Hok yang ternyata tidak ikut mabuk itu berdiri perlahan. Kemudian sambil melipat lengannya di bawah punggung dia mulai berceritera. Sebelum para pemberontak sampai ke Kotaraja, Perdana Menteri Li Su telah berusaha menyelamatkan seluruh harta dan keluarganya dengan berbagai cara. Selain menyuruh belasan orang anak cucunya pergi meninggalkan Kotaraja dengan menyamar dan membawa harta sebanyak-banyaknya, Perdana Menteri Li Su juga menyelundupkan seluruh harta karun yang tak ternilai banyaknya. Harta karun itu diselundupkan melalui iring-iringan pengungsi yang terdiri dari wanita dan anak anak.
Ternyata iring-iringan pengungsi itu tak pernah mencapai tujuannya. Mereka hilang entah di mana, seperti juga anak cucu Perdana Menteri Li Su yang lain. Semuanya tidak ada yang bisa menerobos kebuasan para pemberontak yang telah menguasai hampir seluruh negeri itu. Semua anak cucu Perdana Menteri Li Su yang menyamar telah dibantai habis dan seluruh harta yang dibawanya juga habis untuk rebutan. Hanya seorang yang tidak mengalami perlakuan seperti itu, yaitu Tan Hok dan keluarga yang dibawanya. Menantu Perdana Menteri Li Su itu dapat menyelamatkan diri bersama keluarganya, dan hidup mengasingkan diri di daerah padang ilalang yang sunyi. Dengan harta yang mereka bawa itu mereka membangun sebuah rumah di tempat terpencil tersebut.
Mereka hidup bebas di tempat terasing itu selama bertahun-tahun tanpa mengalami gangguan dari siapapun. Malapetaka mengerikan yang menghabiskan seluruh keluarga itu justru karena ulah Tan Hok sendiri. Ternyata biarpun sudah mendapatkan harta kekayaan yang sangat banyak dari mertuanya, Tan Hok masih selalu teringat pada harta karun yang diselundupkan oleh mendiang mertuanya itu. Beberapa kali ia keluar dari tempat persembunyiannya, mengembara seperti seorang pendekar untuk mencari berita tentang harta karun yang hilang itu. Berbulan-bulan, bertahun tahun Tan Hok mencari, tapi tak didapatkan juga harta itu. Berkali-kali Tan Hok menyusuri daerah pantai sebelah timur, karena khabarnya iring-iringan pengungsi itu mengambil jalan menyusuri pantai timur.
Sehingga di daerah yang sering ia kunjungi itu namanya menjadi terkenal dan disegani orang. Akhirnya setelah kira-kira tiga tahun ia berkelana, Tan Hok bisa memperoleh berita tentang harta karun itu. Salah seorang prajurit yang mengawal iring-iringan itu ternyata masih hidup, biarpun tubuhnya cacat. Prajurit itu sebelum mati telah membuat sebuah peta pada sepotong emas yang ia dapatkan dari tumpukan harta karun tersebut. Peta itu ia wariskan kepada anak laki-laki yang bekerja sebagai nelayan. Nah, pada suatu hari nelayan muda itu diketemukan oleh Tan Hok di tepi pantai bersama perahu dan teman-temannya. Perahu mereka baru saja dirampok ketika berlabuh di tempat itu. Para perampok tersebut mengambil semua harta mereka, termasuk hasil jerih payah mereka di laut.
Yang paling disayangkan oleh nelayan muda itu ialah terbawanya sebagian dari benda warisan ayahnya yang berada di dalam buntalannya. Tan Hok menjadi curiga dan merasa aneh ketika mengetahui bahwa benda warisan yang dimaksudkan oleh nelayan itu adalah potongan emas. Sungguh mengherankan bila nelayan miskin seperti mereka mempunyai emas, apalagi berupa potongan yang cukup besar pula. Oleh karena itu malam harinya Tan Hok menculik nelayan muda tersebut serta memaksanya untuk bercerita tentang potongan emas yang dibawa oleh perampok itu. Karena takut nelayan itu mengatakan apa adanya, juga sisa potongan emas yang masih tertinggal di rumahnya. Akhirnya Tan Hok membeli potongan emas itu dari tangan si nelayan dan membawanya pulang.
Potongan emas yang ada gambar petanya itu ia simpan dengan baik. Sekarang tinggal mencari potongannya yang lain. Ternyata rahasia penemuannya itu tidak tersimpan dengan baik. Entah bagaimana, ternyata Keh-sim Siauwhiap yang tinggalnya di atas pulau yang tak jauh dari pantai tersebut, tahu pula tentang rahasia itu. Keh-sim Siauwhiap yang mempunyai kegemaran mencari harta lalu membagi-bagikan kepada fakir miskin itu segera mencari Tan Hok. Dan itulah awal permusuhan antara mereka. Pertama tama Keh-sim Siauwhiap mengirim orang orangnya untuk menggeledah seisi rumah Tan Hok. Biarpun mereka tak mendapatkan benda yang mereka cari, tapi orang-orang Keh-sim Siauwhiap itu mengambil apa saja yang mereka ketemukan di rumah Tan Hok.
Padahal pada saat itu Tan Hok sedang mengembara, mencari potongan emas lainnya. Baru setahun kemudian Tan Hok pulang. Hatinya marah sekali melihat rumahnya telah dirampok orang. Seorang diri Tan Hok pergi ke Pulau Meng-to untuk meminta kembali sebagian hartanya yang dirampok oleh anak buah Keh-sim Siauwhiap. Dalam perjalanannya ternyata Tan Hok juga menjumpai banyak orang-orang yang sakit hati dan ingin pergi membalas dendam kepada Keh-sim Siauwhiap. Malahan beberapa orang di antaranya adalah kenalan dan sahabat baik Tan Hok sendiri. Mereka itu adalah Thio lung beserta adik-adik seperguruannya dari Kim-liong Piauw-kok. Lalu Tiat-i Su jin dari kota Tie-an, Jai-hwa Toat beng-kwi, Pek pi Siau-kwi dan lain lain.
Bersama-sama dengan orang-orang itu serta masih banyak lagi yang belum dikenalnya, Tan Hok menemui Keh-sim Siauwhiap di Pulau Meng-to. Ternyata di tempat itu mereka disambut pula dengan meriah oleh Keh-sim Siauwhiap dan sahabat-sahabatnya. Lalu terjadilah perang tanding yang amat hebat. Keh-sim Siauwhiap mengatakan, siapapun dapat meminta kembali barangnya apabila bisa mengalahkannya. Tapi dari sekian banyak orang itu ternyata tak seorangpun yang mampu menjatuhkan Keh sim Siauwhiap. Jangankan Keh-sim Siauwhiap, sedang melawan anak buah atau sahabat-sahabatnya saja jarang yang bisa memperoleh kemenangan. Tan Hok pulang dengan tangan hampa. Hatinya terasa sakit dan penuh dendam. Tapi apa daya?
Untunglah tidak semua hartanya kena rampok, sehingga ia dapat berdiri tegak kembali seperti semula. Dia lalu berusaha memperdalam dan mempertinggi ilmu silatnya. Ilmu Pedang Jit-seng Kiam hoatnya ia tekuni siang malam, sehingga akhirnya ia mampu menguasai ilmu itu melampaui tingkat kepandaian mendiang gurunya. Sementara itu keinginan hatinya untuk mendapatkan potongan emas yang lain semakin besar pula. Malahan maksud hatinya itu dikatakannya pula kepada sahabat sahabatnya. Siapa tahu sahabat-sahabatnya tersebut dapat menolong atau tahu tempatnya. Benarlah. Pada suatu hari Jai-hwa Toat-beng kwi membawa Pek-pi Siau-kwi ke rumah Tan Hok. Penjahat cabul itu mengatakan bahwa tiga jago silat dari pantai timur, yang digelari orang dengan nama Tung-hai Sam-mo, sedang mencari Tan Hok untuk meminta potongan emas itu.
Pek pi Siau-kwi mendengar berita itu dari seorang pemilik penginapan yang pernah mereka tumpangi. Demikianlah, Tan Hok kemudian mengundang sahabat sahabatnya untuk menghadapi Tung-hai Sam-mo. Tan Hok tidak berani main-main menghadapi Tung-hai Sam-mo, karena Tung-hai Sam-mo adalah murid kesayangan Tung-hai-tiau (Rajawali Lautan Timur) maharaja bajak laut yang sangat terkenal akan kekejamannya, kesaktiannya dan banyak pengikutnya. Dahulu bersama dengan mendiang San-hekhouw (Harimau Gunung) dan Sin go Mo-kai-ci, Tung-hai tiau disebut sebagai Sam Ok (Si Tiga Jahat Dunia)! Semua sahabat-sahabat Tan Hok, seperti Jai hwa Toatbeng-kwi, Pek-pi Siau-kwi, Hui-chio dan Thio Lung sudah berkumpul di rumahnya.
Rumah yang dibangun oleh Tan Hok di tengah-tengah padang ilalang yang sunyi dan terpencil! Mereka berkumpul dan bersiap-siap untuk menghadapi Tunghai Sam-mo. Begitulah. Malam yang naas dan mengerikan bagi keluarga Tan Hok itupun terjadilah! Kejadian itu berlangsung kira-kira satu setengah tahun yang lalu. Malam maut yang menghabiskan seluruh keluarga Tan Hok! Malam itu Tan Hok bersama para sahabatnya menunggu kedatangan Tung-hai Sam mo dengan perasaan tegang. Di luar rumah udara sangat dingin sekali. Bulan yang tinggal sepotong itupun tidak mau menampakkan wajahnya sehingga malam yang sunyi dan sepi itu semakin tampak gelap dan kelam. Sekelam hati orang-orang yang telah bersiap sedia untuk mengadu nyawa di dalam rumah itu.
Tapi hingga lewat tengah malam Tung-hai Sam-mo belum juga menampakkan batang hidungnya, sehingga orang-orang yang sejak sore telah menunggu kedatangannya, menjadi gelisah sekali. Terutama adalah orang-orang yang memperoleh tugas di bagian luar rumah! Suasana yang sepi, udara malam yang kelewat dingin, nyamuk keparat yang menggigiti kulit mereka, embun malam yang membasahi rambut dan wajah mereka, serta kejemuan yang mulai mengikis dinding hati dan kesabaran mereka, itu semua membuat mereka menjadi manusia yang sangat berbahaya dan ganas! Maka dari itu ketika di dalam kegelapan malam menjelang pagi itu ada lima bayangan manusia yang datang memasuki halaman rumah tersebut, mereka langsung menggempurnya tanpa menanya lebih dahulu siapa mereka.
"Pertempuran yang terjadi saat itu adalah pertempuran yang terdahsyat yang pernah saya alami"" Tan Hok melanjutkan ceriteranya.
"Mereka hanya empat orang, karena salah seorang di antaranya cuma pelayan mereka yang telah tua dan sakit-sakitan. Tapi meskipun hanya empat orang, kepandaian mereka ternyata hebat sekali. Terutama orang yang buntung lengan kanannya. Jai-hwa Toat-beng-kwi yang melayani orang itu sampai kewalahan dibuatnya. Padahal orang buntung itu cuma memainkan goloknya dengan tangan kiri..."
"Rumah terpencil di tengah padang ilalang...Lalu lima orang tapi yang satu adalah kakek pelayan yang tua dan sakit-sakitan...Yang satu lagi buntung lengan kanannya dan membawa golok!"
Chin Yang Kun yang mendengarkan penuturan Tan Hok itu sibuk mengingat-ingat di dalam hati, sehingga cerita Tan Hok selanjutnya tak begitu ia perhatikan lagi. Tapi karena otak pemuda itu masih dipenuhi hawa arak, maka jalan pikirannya juga tidak jernih lagi. Oleh karena itu meskipun pemuda itu merasa ada sesuatu yang aneh pada ceritera itu, yaitu seolah-olah ia merasakan bahwa ayahnyalah yang sedang bertempur melawan Tan Hok dan kawan-kawannya, tapi otaknya yang beku itu seakan tak bisa memikirkan dan menyadarinya. Sementara itu dengan tak mengurangi kewaspadaannya, Tan Hok melanjutkan ceritanya.
"Belum juga pertempuran itu dapat dilihat kalah menangnya, tiba-tiba dari jauh terdengar suara siulan nyaring mendatangi rumahku. Pikir kami, mereka itu tentulah rombongan dari orang-orang yang bertempur dengan kami itu. Tapi dugaan kami tersebut ternyata keliru sama sekali. Ternyata yang datang adalah Keh-sim Siauwhiap dan anak buahnya. Begitu datang Keh-sim Siauwhiap langsung menanyakan potongan emas itu kepadaku. Ketika kujawab bahwa benda itu takkan kuberikan kepada siapa pun juga, maka Keh-sim Siauwhiap menjadi marah besar. Tanpa memilih buIu pendekar ternama itu membabat semua orang yang berada di tempat itu, yaitu para pendatang yang kami sangka Tung-hai Sam-mo, kawan-kawanku, isteri dan anak anakku! Semuanya dibantai habis oleh Keh-sim Siauwhiap dan anak buahnya. Untunglah aku, Jai-hwa Toat-beng kwi, Pek-pi Siau-kwi, Hui-chio dan Thio Lung dapat pergi meloloskan diri dari malapetaka itu..." Tan Hok berhenti sebentar dan menghela napas sedih sekali.
"Orangnya buntung lengan kanannya...memegang golok..., membawa pelayan tua sakit-sakitan...larut malam...di rumah terpencil...!" Chin Yang Kun masih saja menundukkan mukanya sambil berpikir keras. Kini sama sekali ia tak mendengarkan ceritera Tan Hok.
"Kami memang bisa menyelamatkan diri dari kebuasan Keh-sim Siauwhiap, tapi aku ternyata tak mampu menyelamatkan benda yang diperebutkan itu. Semula benda itu kutitipkan kepada salah seorang pelayanku. Tak tahunya aku lupa sama sekali ketika semuanya bingung untuk menyelamatkan diri..." Tan Hok meneruskan ceritanya.
"Ketika keesokan harinya aku kembali, kulihat pelayan itu juga sudah mati, dan...potongan emas itu juga hilang. Aku benar benar putus-asa. Tapi untunglah kawan-kawanku mau membesarkan hatiku. Dengan sisa-sisa harta yang masih ada padaku, aku mengembara sampai ke dusun Ho-ma-cun ini. Aku membuat rumah lagi dan berdagang segala macam di tempat ini. Usahaku berhasil dan aku menjadi kaya raya kembali." Tan Hok menghentikan ceritanya untuk mengambil napas. Matanya menatap Chin Yang Kun yang masih saja menunduk dengan kening berkerut itu. Tan Hok mengira pemuda itu mendengarkan ceritanya dengan sungguh-sungguh. Oleh karena itu dengan tergesa-gesa ia melanjutkan pula ceriteranya.
"Tak kusangka keparat Keh-sim Siauwhiap itu masih saja mencariku. Dikiranya aku masih menyimpan potongan emas itu. Beberapa hari yang lalu ia memerintahkan seorang anak buahnya kemari untuk meminta benda itu lagi. Kalau tak kuberikan ia akan mendatangi rumahku dalam dua tiga hari ini...Dan malam ini adalah malam yang terakhir!" Tan Hok menutup ceritanya dengan menggeram marah dan penasaran. Sementara itu keadaan Chin Yang Kun yang mabuk itu sudah menjadi semakin membaik. Sejalan dengan berkurangnya pengaruh arak yang membelenggu otaknya, bertambah pula kesadarannya sedikit demi sedikit.
"...Karena tangan kanannya buntung, ia memainkan goloknya dengan lengan kiri...Semuanya ada lima orang, tapi yang satu adalah pelayannya...sudah tua dan sakit-sakitan," pemuda itu bergumam perlahan. Matanya memandang kosong ke depan, sementara dahinya yang lebar itu selalu berkerut-kerut karena sedang berpikir keras.
"Hai!!" tiba-tiba Chin Yang Kun berteriak keras sekali, sehingga Tan Hok hampir terjatuh dari kursinya karena kaget. Dari atas pembaringannya tiba-tiba Chin Yang Kun melompat turun. Tangannya menyambar leher baju Tan Hok dengan cepat sekali, sehingga yang belakangan ini tak mampu lagi mengelakkan diri atau menangkisnya. Maka di Iain saat tubuh Tak Hok yang agak gemuk itu telah terangkat dari lantai. Ternyata ilmu silatnya benar-benar tak mampu melindunginya.
"Katakan lekas! Apakah orang yang buntung lengannya itu berkumis dan berjenggot lebat? Apakah lengan yang buntung itu masih baru balutannya? Apakah kakek pelayan itu sakit batuk? Apakah keempat orang yang bertempur dengan kalian itu bersenjatakan golok semuanya? Apakah...apakah rumah terpencil itu berada tidak jauh dari kota Tie kwan? Apakab rumah itu...eh, rumah itu bergenting merah?" bagaikan air hujan, pertanyaan itu meluncur dengan derasnya dari mulut Chin Yang Kun. Karena kaget, bingung dan takutnya, Tan Hok malah tak bisa menjawab apa-apa. Orang kaya itu cuma dapat mengangguk-angguk saja dalam cengkeraman tangan Chin Yang Kun.
"Lalu...siapakah yang membunuh mereka?" sekali lagi pemuda itu berteriak. Kali ini agaknya kesadarannya telah benar benar pulih kembali.
"Keh...Keh-sim Siauwhiap!" Tan Hok menjawab gagap.
"Kurang ajar! Keh-sim Siauwhiap! Awas pembalasanku!" Chin Yang Kun menggeram dengan gigi berkerotan. Suaranya sungguh sangat menakutkan. Lalu tubuh Tan Hok dilepaskannya begitu saja, sehingga orang itu sempoyongan mau jatuh.
"Siauwhiap...kau dapat menunggu pembunuh biadab itu di sini! Dia mengatakan bahwa dia akan mengunjungi rumah ini untuk mengambil potongan emas itu," Akhirnya Tan Hok ikut memaki pula, sekedar untuk menutupi atau mengurangi rasa kikuk yang disebabkan oleh keadaannya yang runyam tadi.
Jika dipandang sepintas lalu, keadaan Tan Hok tadi memang benar-benar tak masuk di akal. Sebagai seorang jago silat kelas satu dan mempunyai banyak pengalaman pula, tak seharusnya dia ditangkap dan dikuasai oleh Chin Yang Kun dengan demikian mudahnya. Di dalam kalangan persilatan Ilmu Pedang Jit-seng Kiam hoatnya selalu ditakuti lawan dan disegani kawan. Buktinya tokoh penjahat lihai seperti Jai-hwa Toat-beng kwi dan Pek-pi Siau kwi tunduk pula kepadanya. Tetapi apabila dipikirkan lagi lebih mendalam, hal seperti itu memang tidaklah mengherankan. Dalam dunia persilatan memang berlaku sebuah hukum, siapa lebih cerdik dan encer otaknya, serta pandai dan tangkas menilai setiap keadaan yang dia hadapi, dialah yang akan menjadi pemenangnya!
Tentu saja yang dimaksudkan adalah jago-jago silat yang mempunyai tingkat kepandaian seimbang, atau tingkat kepandaian mereka terpaut tidak begitu banyak. Dapat diibaratkan sebagai dua orang jago silat yang mempunyai guru sama, ilmu sama dan kemampuan tubuh sama! Belum tentu dengan kondisi yang semua sama seperti itu lantas tidak ada yang kalah atau menang bila mereka dipertandingkan. Niscaya jago silat yang lebih cerdik dan punya otak yang lebih encerlah yang akan memperoleh kemenangan. Sebab jago silat yang cerdik akan selalu bisa mencari keuntungan dalam setiap kesempatan, betapapun kecilnya, kemudian memanfaatkannya untuk mendapatkan kemenangan.
Hal itu dapat dibuktikan tadi oleh Yang Kun ketika mengecoh dan mengalahkan lawan-lawannya dalam tempo yang amat singkat! Pertama, ketika Chin Yang Kun melemparkan Jai-hwa Toat beng-kwi ke dalam sungai. Padahal seperti halnya Tan Hok, hantu cabul itu mempunyai kepandaian yang amat tinggi pula. Jelek-jelek dia adalah tangan kanan San-hek houw pada Sepuluhan tahun yang silam. Tapi pagi tadi hantu cabul itu sangat meremehkan kemampuan Chin Yang Kun, sehingga dia menjadi lengah. Dan kelengahan tersebut tak disia-siakan oleh pemuda yang sangat cerdik dan berbakat itu. Coba hantu cabul itu mau berhati-hati dan melawan dengan penuh kewaspadaan belum tentu Chin Yang Kun mampu menundukkannya dalam sepuluh atau lima belas jurus! Begitu juga halnya yang dialami oleh Pek-pi Siau kwi dan beberapa orang kawannya di dalam pendapa tadi.
Mereka juga lengah karena terlalu meremehkan orang yang telah sempoyongan karena mabuk. Mereka kurang memperhatikan pertahanan tubuh sendiri, sehingga mereka kecolongan setelah lebih dulu terpedaya oleh kecerdikan Chin Yang Kun. Padahal untuk melawan mereka semua bagi Chin Yang Kun benar benar sangat berat. Biarpun mungkin dapat menang, tapi kemenangan itu tentu ia dapatkan dengan memeras keringat dan mengerahkan segenap kekuatannya. Demikian pula yang terjadi pada Tan Hok tadi. Coba perasaannya belum dipesonakan oleh kehebatan-kehebatan Chin Yang Kun ketika menundukkan Pek-pi Siau-kwi dan teman-temannya di pendapa itu, mungkin ia tidak mudah terkecoh oleh serangan mendadak Chin Yang Kun tadi.
Tapi karena nyalinya belum-belum sudah gentar, ditambah pula dengan keteledorannya sendiri, maka untuk sesaat ketangkasannya seperti hilang dari tubuhnya. Dan waktu yang hanya sesaat itu telah dilihat dan dipergunakan oleh Chin Yang Kun! Akibatnya seperti orang yang kena sihir, Tan Hok dengan mudahnya diringkus oleh Chin Yang Kun. Padahal dibandingkan dengan yang lain, kepandaian Tan Hok adalah yang paling unggul. Dalam keadaan biasa mungkin tak mudah bagi Chin Yang Kun untuk mengalahkannya.Apalagi dalam keadaan dirinya mabuk seperti tadi. Tiba-tiba seorang penjaga masuk dengan tergesa-gesa. Air mukanya tampak tegang ketika memberi laporan kepada Tan Hok.
"Tuan...mereka sudah datang!"
"Siapa? Keh-sim Siauwhiap?" Tan Hok terkejut. Benar-benar terkejut dia! Penjaga itu mengangguk dengan gugup.
"Ya...ya!"
"Di mana Jai-hwa Toat beng-kwi dan yang lain-lain?"
"Semua telah berada di halaman depan menemui mereka,"
"Bagus!" Tan Hok tersenyum. Hilang semua kekhawatirannya dan kini timbul pula kembali rasa kepercayaannya pada diri sendiri. Sekejap diliriknya pemuda yang berada di dekatnya, tapi betapa kagetnya ketika Chin Yang Kun sudah tidak ada lagi di dalam kamar itu.
"He, ke mana dia...?"
"Tuan...tuan maksudkan pemuda yang bersama Tuan Tan tadi? Bu...bukankah dia telah melompat keluar jendela sejak tadi?" penjaga itu menjawab.
"Wah!" Tan Hok segera berlari keluar dan diikuti pula oleh penjaga itu. Keduanya lari menerobos halaman tengah dan kemudian meloncat menaiki tangga pendapa bagian belakang. Dan tempat itu telah terdengar suara percakapan mereka, sehingga Tan Hok segera mengerahkan ginkangnya untuk melintasi Iantai pendapa yang luas.
Tan Hok membuka pintu pendapa, lalu matanya menatap ke halaman depan. Di dalam penerangan cahaya obor dan lampu halaman, dilihatnya Jai hwa Toat-beng-kwi dan kawan-kawannya tengah berhadapan dengan tujuh orang tamu, yang terdiri dari lima orang pengemis Tiat-tung Kaipang dan dua orang gadis berpakaian serba hitam. Tapi Tan Hok tak melihat Chin Yang Kun di antara mereka, begitu pula dengan Kehsim Siauwhiap! Agaknya pendekar dari Pulau Meng-to itu belum mau menampakkan dirinya. Tan Hok bergegas turun ke halaman, menyibakkan para penjaga yang telah mengepung tempat itu. Jai hwa Toat beng kwi dan kawan-kawannya juga melangkah ke samping untuk memberi jalan, sehingga Tan Hok dapat langsung berhadapan muka dengan para tamunya.
"Haha...Pendekar Li, akhirnya keluar juga kau!" salah seorang tamunya yang tidak lain adalah Tiat tung Lokai menyapa kedatangan Tan Hok dengan tersenyum.
"Pendekar Li? Mengapa para pengemis itu memanggilnya Pendekar Li?" Chin Yang Kun yang ternyata bersembunyi di atas genting pendapa itu berkemak-kemik dengan bingung. Tadi pemuda itu bergegas meloncat keluar begitu mendengar Keh-sim Siauwhiap telah datang. Tapi sesampainya di halaman depan dia hanya melihat Tiat-tung Lokai, Tiat-tung Su-lo dan...dua orang gadis yang dulu pernah berkelahi dengan dia di tempat para pengungsi! Karena tidak ingin bentrok lagi dengan gadis-gadis tersebut, apalagi Keh-sim Siauwhiap ternyata juga belum tiba maka dia segera bersembunyi di atas genting. Dari tempat tersebut dia akan segera mengetahui kalau Keh-sim Siauwhiap datang,
"Hmm, apa maksud kalian maIam-malam datang ke rumahku? Siapakah kalian?"
"Hahaha...kau tidak usah berpura-pura dan berbelit-belit di depanku. kau tidak usah mengganti namamu dengan Tan Hok segala. Di manapun kau bersembunyi kami tentu mengetahuinya. Nah, lekaslah kau berikan benda itu...!"
"Benda apa yang kau maksudkan?"
"Kurang ajar...! Engkau masih juga mau melawan? Haha, baiklah...kelihatannyapun masih mengandalkan pengawal-pengawalmu yang banyak ini," Tiat tung Lokai menyiapkan tongkat besinya. "Su-Io! Hajar mereka!" teriak orang tua itu. Tiat tung Su-lo cepat melangkah ke depan dan Ngo kui-shui segera menghadang mereka. Lalu terjadilah pertempuran dahsyat di antara mereka, empat melawan lima! Tiat-tung Su-lo memegang tongkat besi sementara Ngo-kui-shui bersenjatakan ruyung besar bersegi delapan. Mereka bertempur dengan keras dan kasar!
"Nah, sekarang siapa yang akan melawan aku? Apakah kau sendiri, Pendekar Li?" Tiat tung Lokai menantang.
"Tidak perlu! Biarlah aku saja yang menghadapi tongkat besimu..." Hui-chio Tu Seng meloncat ke depan dan melintangkan tombaknya di depan Tiat-tung Lokai.
"Hahah...bagus! Hui-chio Tu Seng rupanya. Ayoh! Tapi berhati-hatilah menghadapi ilmu tongkatku! Aku takut kau takkan tahan menghadapinya..." Hui chio tidak menjawab ejekan itu, tapi langsung menikamkan ujung tombaknya ke dada lawan. Wuut! Tiat tung Lokai cepat menangkisnya dengan tongkat besi. Traang! Dan bunga api memercik ke udara.
Selanjutnya mereka bertempur dalam tempo yang sangat cepat dan seru! Dua orang gadis berpakaian serba hitam itu menghunus pedang dari pinggang masing-masing, lalu maju pula ke tengah arena. Keduanya telah bersiap siap untuk turun tangan. Tapi dari pihak Pendekar Li atau Tan Hok, maju pula Pek-pi siau-kwi dan Lam Hui. Kedua orang pengawal pilihan dari Pendekar Li ini juga sudah mencabut senjata masing-masing, yaitu pedang dan golok. Tanpa banyak omong lagi mereka berempat langsung juga bergebrak dengan sengit! Pendekar Li melangkah ke samping, mencari tempat yang lapang untuk mengawasi pertempuran tersebut. Jai hwa Toat beng kwi mengikuti pula di sampingnya. Sambil menonton mereka memperhatikan seluruh halaman di depan mereka. Di pojok pojok yang gelap atau di bawah atap-atap bangunan yang agak terlindung!
"Mengapa Keh-sim Siauwhiap belum juga menampakkan dirinya? Apakah yang dikatakan oleh cecunguk cecunguk itu sebelum aku datang? Apakah Keh-sim Siauwhiap memang belum datang?" Pendekar Li bertanya kepada Jai hwa Toat beng-kwi. Hantu cabul itu menggeram menahan marah.
"Katanya...bangsat itu baru akan muncul setelah dia yakin bahwa benda itu benar-benar tidak diberikan kepadanya. Hmmm...eh, di mana pemuda itu?"
"Yang Kun? Entahlah, akupun mencarinya pula. Dia sudah lebih dulu keluar ketika mendengar laporan penjaga kepadaku. Memang dialah satu-satunya andalan kita untuk menghadapi Keh-sim Siauwhiap. Bocah itu memang lihai bukan main! Arak yang kuberi obat pemabuk itu hampir-hampir tidak berpengaruh sama sekali terhadap dirinya. Hampir saja aku dibunuhnya di dalam kamar tadi."
"Aku juga heran, dulu ayah dan pamannya tidak seberapa kepandaiannya. Dengan mudah kita menaklukkan mereka. Eeh, Li Tai hiap...benarkah anak itu putera orang she Chin itu?"
Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri dia menangisi mayat ayahnya, ketika aku kembali ke rumah untuk mencari pelayan yang kutitipi potongan emas itu. Malahan kutunggu dia sampai selesai menguburkan mayat ayah dan pamannya.Maka dari itu aku lantas mengenalinya ketika kemarin aku menyelidiki sendiri ke rumah Kam Lojin..." Pendekar Li menjawab dengan yakin.
"Wah, apabila demikian anak itu sungguh sangat berbahaya bagi kita." Jai-hwa Toat-bengkwi menyahut dengan perasaan khawatir.
"Jangan takut! Rahasia itu hanya kita dan Keh-sim Siauwhiap sendiri yang mengetahuinya. Nah, kalau kedua orang itu sudah dapat kita adu satu sama lain, apa yang mesti ditakutkan lagi? Siapa saja yang akan mati di antara mereka berdua tidak menjadi masalah lagi bagi kita."
Kedua orang itu lalu berdiam diri kembali, matanya mengawasi jalannya pertempuran. Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara teriakan Hui-chio Tu Seng yang bertempur dengan Tiat-tung Lokai di tempat yang agak gelap di pojok halaman. Pendekar Li dan Jai-hwa Toat-beng-kwi bergegas menghampiri, tapi sudah terlambat! Tampak oleh mereka Hui-chio Tu Seng sudah terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap perutnya yang tertusuk oleh tombaknya sendiri. Darahnya mengucur dengan deras dari sela-sela jarinya. Sekejap orang itu menoleh ke arah Pendekar Li yang datang, tapi sesaat kemudian tubuhnya telah terjerembab ke tanah dan...mati!
"Hahaha...ayo siapa lagi yang akan melawanku? kau Pendekar Li...?"
"Lewati dulu mayatku!" Jai hwa Toat-beng-kwi menyerang dengan tangkai huncwenya.
"Traang!" Tiat-tung menangkis dengan tongkat yang dibawanya. Mereka sama-sama tergetar mundur, hanya kakek pengemis itu menjadi kaget ketika telapak tangannya terasa panas bagai terkelupas kulitnya. Gila! Ketua Tiat-tung Kai-pang bagian selatan itu mengumpat di dalam hati. Kelihatannya dia memperoleh lawan berat kali ini. Memang. Jai hwa Toat-beng-kwi tidak bisa dipersamakan dengan Hui chio Tu Seng. Hantu cabul ini selain mempunyai kepandaian yang lebih tinggi, orangnyapun lebih licik dan berbahaya.
Huncwenya yang biasa untuk mengisap tembakau itu kadang kadang tidak berisi tembakau yang nikmat untuk diisap, tapi berisi racun memabukkan yang sangat berbahaya bagi lawannya. Dan lobang pipanya yang panjang ini kadang kala tidak hanya berisi kerak tembakau saja tetapi sering kali juga berisi jarum-jarum beracun yang sangat mematikan. Maka dari itu Tiat tung Lokai juga tidak ingin terjebak oleh senjata lawan yang aneh tersebut. Dari mula bergerak pengemis tua itu selalu mengambil jarak dengan Jai-hwa Toat-beng-kwi. Selain ia lebih beruntung dengan senjatanya yang lebih panjang, iapun dapat selalu berjaga-jaga terhadap serangan mendadak hantu cabul itu. Siapa tahu hantu cabul tersebut secara tiba-tiba meniupkan asap pipanya, atau siapa tahu hantu cabul itu mendadak melepaskan jarumnya?
Oleh karena itu pertempuran mereka benar-benar alot dan hati-hati sekali. Sementara itu di kalangan lain, yaitu di dalam arena Tiat-tung Su-lo, agaknya pertempuran juga sudah akan berakhir. Ngo kui-shui yang baru saja terluka oleh pukulan Chin Yang Kun itu memang bukanlah lawan yang seimbang bagi Tiat-tung Su-lo. Biarpun jumlahnya lebih banyak tapi tingkat kepandaian mereka memang masih berada di bawah Tiat-tung Su-lo. Sudah berkali-kali terlihat beberapa orang di antara anggota Ngo kuishui terkena hantaman tongkat besi lawannya. Sedangkan di kalangan yang lain lagi, keadaannya juga sama saja. Lam Hui yang tinggi besar dan juga memegang golok raksasa itu ternyata juga tidak berdaya menandingi kegesitan gadis yang jauh lebih kecil dan kelihatan lemah itu.
Tubuhnya yang besar itu justru kelihatan sangat kaku danlamban untuk menghadapi ketrampilan dan kelincahan lawannya. Beberapa kali ia menjadi salah tingkah, sehingga akhirnya tubuh yang kokoh kuat itu malah menjadi bulan-bulanan lawan. Yang agak berimbang dan setanding adalah perkelahian antara Pek-pi Siau-kwi melawan gadis berbaju hitam lainnya. Gaya pertempuran mereka sama, yaitu sama-sama gesit, sama-sama lincah dan sama-sama menggunakan pedang. Cuma bedanya, ilmu pedang Pek-pi Siau-kwi tampak ganas dan penuh tipu muslihat, sementara ilmu pedang lawannya lebih bersifat lembut, indah tapi kokoh dan mantap! Oleh karena itu dalam waktu singkat pertempuran di antara mereka sulit diramalkan siapa yang akan menjadi pemenangnya.
"Aduuh...!" tiba-tiba Lam Hui yang sedari tadi telah jatuh di bawah angin itu berteriak kesakitan. Pedang lawannya telah menggores sepanjang lengan kanannya, sehingga golok yang dia pegang terlepas dari tangannya. Otomatis pertempuran berhenti, karena Iawannya juga tidak berusaha untuk mengejar dia. Sebaliknya gadis itu justru pergi bergabung dengan kawannya yang bertempur melawan Pek-pi Siau-kwi. Sehingga hantu cantik itu kini harus melawan dua orang sekaligus.
"Kurang ajar!" Pendekar Li mengumpat-umpat. Tapi sebelum pemilik rumah itu terjun ke dalam arena pertempuran, lagi-lagi terdengar teriakan Ngo-kui-shui yang silih berganti. Satu persatu anggota Ngo kui-shui itu berjatuhan ke tanah dibantai Tiat-tung Su-lo.
"Gila...!" sekali lagi Pendekar Li mengumpat keras sekali, "Kubunuh kalian semua!" Orang kaya itu menghunus Jit-seng-kiamnya (Pedang Tujuh Bintang). Dalam keremangan sinar obor tampak tujuh buah permata yang menempel pada batang pedang itu gemerlapan seperti bintang pagi. Lalu sambil berteriak keras pedang itu diayun ke depan sehingga mengeluarkan suara mendesing yang keras sekali. Perbawanya sungguh menakutkan. Pendekar Li meloncat ke samping Pek pi Siau-kwi. Pedangnya yang gemerlapan itu menyontek ke atas, ke arah pedang gadis berbaju hitam yang sebelah kiri, sedang tangan kirinya menyambar pergelangan tangan gadis lainnya.
Sekali gebrak Pendekar Li menyerang kedua orang lawan dari Pek-pi Siau-kwi sekaligus! Gerakannya memang cepat dan sigap, suatu pertanda kalau ilmunya sudah matang dan mantap. Ternyata kedua orang gadis berbaju hitam itu mengenal bahaya pula. Mereka segera mengelak dengan meloncat mundur, karena keduanya tahu bahwa tenaga mereka masih kalah jauh bila dibandingkan dengan tenaga dalam Pendekar Li. Benturan-benturan di antara mereka hanya akan melemahkan kekuatan mereka saja. Satu-satunya jalan bila mau berhadapan dengan Pendekar Li hanyalah dengan kegesitan mereka saja. Celakanya pihak tuan rumah dibantu oleh Pek-pi Siau-kwi yang mempunyai kelincahan setaraf dengan mereka, sehingga sedikit banyak hantu cantik itu dapat membantu Pendekar Li untuk mencegat gerakan gerakan mereka.
Benarlah, sebentar kemudian kedua gadis itu telah terdesak dengan hebat. Untunglah Tiat-tung Su-lo sudah selesai membereskan lima orang lawannya, sehingga ketika mereka melihat kesukaran yang dialami oleh kedua orang temannya tersebut, mereka segara datang menolong. Kini pertempuran menjadi lebih seru lagi. Dua orang melawan enam orang! Tapi Jit-seng-kiam-hoat dan Pendekar Li memang hebat sekali. Hampir semua unsur gerakannya yang cepat dan mantap itu mengambil dasar segi empat. Baik gerakan gerakan kakinya maupun gerakan-gerakan pedangnya. Memang ilmu pedang tersebut diciptakan oleh penciptanya berdasarkan kedudukan Bintang Tujuh yang selalu muncul di langit pada lewat tengah malam itu.
Sementara itu pertempuran antara Tiat-tung Lokai melawan Jai-hwa Toat-beng-kwi, semakin lama semakin seru. Meskipun hanya satu lawan satu, tapi pertempuran mereka tidak kalah ramainya dengan pertempuran antara Pendekar Li yang dibantu oleh Pek-pi Siau-kwi dengan Tiat tung Su-lo yang dibantu oleh dua orang gadis berbaju hitam-hitam itu. Tiat tung Lokai yang sudah tua dan banyak pengalaman itu bertempur dengan hati-hati sekali. Tongkat besinya menyambar-nyambar ke arah lawan untuk menahan agar lawannya tidak terlalu dekat dengan dirinya. Tongkat yang tidak begitu besar itu menghantam, memotong, menolak dan menyapu lawan dengan keras dan kuat! Ternyata lawannya, Jai-hwa Toat-beng-kwi, tidak kalah pula cerdiknya.
Darah Pendekar Eps 8 Darah Pendekar Eps 10 Harta Karun Kerajaan Sung Eps 3