Memburu Iblis 10
Memburu Iblis Karya Sriwidjono Bagian 10
Hanya tampaknya lorong gua yang mereka lalui sekarang telah mencapai ke dataran yang rendah sebab mereka sekarang banyak menemukan tetesan tetesan air atau pancuran air yang mengalir dari dinding-dinding gua itu. Sementara itu perut Tui Lan benar benar sudah kelihatan membesar sekarang. Dengan kandungan yang lebih kurang berumur lima bulan itu bentuk tubuhnya sudah tampak sangat ucu. Namun demikian, seperti layaknya seorang wanita yang sedang hamil untuk pertama kalinya, wajahnya menjadi kelihatan bersinar cemerlang dan berseri-seri. Rupa yang sudah sangat ayu itu bertambah semakin cantik jelita pula, sehingga Liu Yang Kun menjadi semakin jatuh cinta dan terpesona melihatnya.
"Koko, sudah lama benar rasanya kita berjalan. Tapi... mengapa kita belum mencapai pantai Laut Timur juga? Sampai dimanakah sebenarnya kita ini sekarang?" Tui Lan yang sudah mulai jemu dan bosan itu mengeluh.
"Aku sendiri juga merasa heran pula, moi-moi. Menurut perhitunganku, seharusnya kita telah mendekati pantai laut Timur. Kita telah berjalan lebih dari dua bulan, mungkin sudah tiga bulan malah. Rasa-rasanya kita telah menempuh lebih dari seribu lima ratus lie jauhnya. Dan jarak itu rasanya sudah cukup untuk mencapai Laut Timur bila kita berangkat dari daerah Kang Lam apalagi dari kota Soh-ciu. Namun ternyata kita belum membaui amisnya air laut atau asinnya air laut di dalam air sungai itu. Hmm, heran sekali.. Apakah lorong gua kita ini telah membelok ke arah utara atau selatan?"
(Lanjut ke Jilid 10)
Memburu Iblis (Seri ke 03 - Darah Pendekar)
Karya : Sriwidjono
Jilid 10
"Mungkin benar dugaanmu itu, koko. Mungkin aliran sungai ini memang berbelok sedikit demi sedikit, entah ke utara atau ke selatan, sehingga kita tidak merasakannya. Namun yang terang perjalanan kita akan menjadi bertambah panjang karenanya. Oooh, padahal perutku semakin tak mau diajak berjalan lama-lama."
"Ahh... tenangkanlah hatimu, isteriku... Kita tidak boleh berputus asa karenanya. Ingat nasib anak kita! Dia tidak boleh lahir sebelum engkau keluar dari dalam tanah ini. Kita berpacu dengan waktu. Kita berdua harus sudah mencapai Laut Timur sebelum kandunganmu berumur delapan bulan. Ayoh! Tumbuhkanlah lagi semangatmu! Bayangkan, apa jadinya kelak bila anak itu lahir di tempat seperti ini? Mungkin dia akan menjadi buta selamanya, karena ia tak pernah melihat terangnya sinar matahari. Dan kau juga harus memikirkannya pula, bagaimana repotnya kau merawatnya nanti. Moi-moi, turutlah kata-kataku. Kita harus berusaha hingga titik darah kita yang penghabisan. Lebih baik kita mati bersama anak kita dari pada kita hidup cuma mewariskan penderitaan kepadanya. Bagaimana moi-moi...?"
"Maafkanlah aku, koko..." Tui Lan menangis dan menjatuhkan dirinya ke dalam pelukan suaminya.
"Sudahlah! Marilah kita mencari tempat yang baik untuk beristirahat berapa hari lamanya. Tampaknya kau sudah merasa jenuh berjalan terus-menerus." Tapi keduanya menjadi kaget dan tertegun ketika beberapa waktu kemudian menyaksikan... lorong gua yang mereka lalui itu menjadi buntu dan tak ada terusannya lagi. Lorong gua itu menjadi luas dan lebar sekali, sementara air sungai tersebut menjadi terhenti di tengah-tengahnya, membentuk telaga kecil yang cukup dalam.
"Koko...??" Tui Lan menjerit lirih.
"Gua ini buntu! Tak ada jalan keluar! Oooohh...!" Liu Yang Kun cepat merangkul isterinya. Namun demikian matanya tampak nyalang mengawasi dinding-dinding gua yang luas di hadapannya.
"Tidak mungkin! Tidak mungkin...! Tentu ada lobang keluar! Tidak mungkin telaga kecil ini bisa menampung tumpahan air sungai tanpa meluap. Tentu ada saluran tersembunyi yang mengalirkan air telaga ini keluar. Marilah kita cari saluran itu...!"
"Koko. lihat...!" tiba-tiba Tui Lan berteriak seraya mengacungkan jarinya ke tengah-tengah telaga itu. Liu Yang Kun mengerahkan sinkang untuk memperlipat-gandakan ketajaman matanya, kemudian mengikuti arah jari telunjuk isterinya. Dan di dalam keremangan obor yang berkelap-kelip itu me lihat sebuah pusaran air yang sangat mendebarkan ditengah-tengah telaga itu. Tak terasa Liu Yang Kun mengeluarkan keringat dingin juga. Pusaran itu berputar dengan cepat dan ganas seperti gasing, sehingga bagian tengahnya kelihatan melesak ke dalam bagaikan lorong air yang berputar-putar masuk ke dasar telaga. Baru menyaksikan saja kepala rasanya sudah ikut berputar menjadi pusing karenanya. Apalagi kalau terjun dan ikut berputar bersamanya.
"Ooooh...!" Liu Yang Kun mengeluh seperti orang kehilangan semangat.
"Koko! Itulah saluran keluarnya...!" Suara Tui Lan juga mencerminkan rasa ngeri yang amat sangat. Air muka pun kelihatan pucat tak berdarah sementara matanya yang biasanya sangat indah mempesonakan itu juga tampak kusam dan ketakutan. Ternyata Liu Yang Kun dapat merasakan pula kecemasan isterinya itu. Maka sambil menenangkan hatinya sendiri pemuda itu juga berusaha menghibur hati isterinya pula.
"Baiklah! Kita beristirahat dulu beberapa hari di sini. Kita menenangkan perasaan dahulu sambil memikirkan jalan keluar yang sebaik-baiknya. Marilah, isteriku...!" katanya lembut.
"Te-terima kasih, koko..." Tui Lan menjawab lirih. Kemudian Liu Yang Kun menuntun Tui Lan ke tempat yang agak tinggi dan jauh dari pinggiran telaga itu.
Terlalu dekat dengan pusaran air tersebut membuat hati mereka menjadi kecut dan ngeri, seolah-olah lobang pusaran itu selalu mengeluarkan daya-sedot yang sangat kuat untuk menarik tubuh mereka ke dalamnya. Hari itu Tui Lan benar-benar tak bisa memicingkan matanya. Calon ibu muda itu selalu membayangkan pusaran air yang menganga seperti mulut raksasa itu. Oleh karena itu ketika akhirnya dia bisa memejamkan matanya, maka mimpi yang datangpun juga sangat menakutkan dan mengerikan pula. Di dalam mimpinya itu Tui Lan melihat ular raksasa yang telah dibunuh suaminya itu hidup kembali. Ular itu datang menyerang dia dan suaminya. Entah mengapa, ternyata suaminya kalah melawan ular tersebut. Suaminya kemudian dimangsa dan ditelan oleh ular raksasa itu.
Tui Lan bermaksud membela kematian suaminya, namun ternyata kalah juga. Tui Lan lalu melarikan diri. Dia berlari menyusuri lorong gua itu kembali. Tapi belum juga sepuluh langkah berlari, tiba-tiba dari arah depan muncul seorang lelaki tinggi jangkung berpakaian hitam-hitam, datang menghalanginya. Di dalam kegelapan wajah orang itu tidak begitu jelas dilihatnya. Mau kemanapun ia akan pergi, orang itu selalu bergerak menghadangnya. Di dalam ketakutan dan kebingungannya ia berteriak sekeras-kerasnya, agar orang itu menyingkir dari depannya. Tapi orang itu tidak mau pergi juga. Dia malahan ganti membentak Tui Lan.
"Aku adalah Si Iblis Penyebar Maut. Sudah berhari-hari aku tidak melihat wanita! Hehehe... akan kuperkosa kau!!" Bukan main kaget dan takutnya Tui Lan! Dari belakang dikejar ular raksasa, di depan ada Si Iblis Penyebar Maut mencegatnya! Semuanya hendak menyerang dan membunuhnya!
"Pergi...! Pergiii!" pekiknya. Di dalam kecemasan dan ketakutannya Tui Lan menyerang orang itu dengan ngawur dan membabi buta. Namun dengan mudah orang itu menangkap kedua lengannya. Tui Lan meronta dan menjerit-jerit. Tapi cengkeraman orang itu tetap tak terlepaskan juga. Maka di dalam keputus-asaannya Tui Lan berusaha menggigit muka orang itu. Namun tiba-tiba matanya terbelalak! Wajah yang kini amat dekat dengan mukanya itu ternyata adalah wajah... suaminya sendiri! Wajah Liu Yang Kun yang tampan!
"Kokoooooo...? Kau?" pekiknya keras sekali. Tapi tiba-tiba terdengar suara halus dan lembut di telinganya. Suara yang sangat dikenalnya. Suara Liu Yang Kun, suaminya. Sehingga secara mendadak pula dia tersadar dari mimpinya.
"Moi-moi...,! Kau kenapa? Bermimpi...?" Tui Lan membuka matanya. Dilihatnya Liu Yang Kun tersenyum di sampingnya. Meskipun demikian ia agak tertegun juga, karena wajah Si Iblis Penyebar Maut itu kembali berkelebat di kelopak matanya.
"Ah...!" desahnya, namun cepat ditahannya.
"Hei, kau kenapa?" Liu Yang Kun yang melihat sinar aneh di mata isterinya itu bertanya kaget. Tapi Tui Lan cepat menyadari keadaannya.
"Oh, koko... aku takut!" jeritnya lirih seraya menubruk dada Liu Yang Kun.
"Takut? Apa yang kau takutkan? Hmm... kau telah bermimpi tadi." Tui Lan mengangguk-angguk di dada Liu Yang Kun.
"Yaa...! Dan mimpiku sangat menakutkan sekali!" katanya terengah-engah.
"Tapi kau sekarang sudah sadar bahwa itu hanya... mimpi, bukan? Buat apa dipikirkan lagi?"
"Tapi... tapi... aku tak bisa melupakannya, koko! Mimpi itu seperti benar-benar terjadi." Tui Lan menyahut sambil menangis malah. Liu Yang Kun terpaksa tersenyum mendengar ucapan isterinya. Hmm, ada-ada saja, pikirnya. Masakan mimpi bisa benar-benar terjadi? Ah, paling-paling cuma karena pengaruh kehamilannya saja sehingga isterinya itu punya pikiran yang aneh-aneh. Namun demikian ia juga tak ingin melukai hati isterinya. Maka dengan suara lembut dia berusaha menghiburnya.
"Kalau kau tak bisa melupakannya, sekarang coba ceritakan kepadaku mimpimu itu. Mungkin aku dapat meringankan beban pikiranmu..." Tui Lan mendongak dan menatap mata suaminya. Seolah-olah ia ingin meyakinkan dirinya bahwa Liu Yang Kun benar-benar mau mendengarkan ceritanya bukan hanya sekedar ingin menghiburnya saja. Melihat mata suaminya itu memancarkan kesungguhan hati, maka iapun segera menceritakan mimpinya.
Selesai bercerita wanita muda itu memandang suaminya lagi. Matanya bergetar, seakan-akan menuntut keterangan yang jujur tentang mimpinya itu. Apa sebenarnya yang terjadi di balik mimpinya itu? Dia yakin bahwa itu bukan hanya sekedar mimpi. Tentu ada sesuatu yang telah menyentuh alam di bawah sadarnya, yang akhirnya tercetus ke dalam mimpi. Sebaliknya, Liu Yang Kun segera terdiam mendengar "mimpi' isterinya itu. Ia sudah menduga sejak dahulu bahwa suatu saat tentu akan menerima tuntutan seperti itu. Untunglah sejak semula ia telah berterus-terang serta jujur kepada Tui Lan tentang dirinya. Sehingga apa yang hendak ia katakan kepada isterinya itu tentu telah diduga oleh isterinya sendiri. Sekarang secara tidak sadar isterinya itu hanya menuntut pengakuan yang jujur darinya.
"Moi-moi, aku bisa menerangkan arti mimpimu itu. Begini...!" katanya perlahan.
"Tentang ular raksasa yang hidup kembali, kemudian menyerang kita serta memakan aku itu, kukira hanya akibat dari rasa takutmu yang berIebih-lebihan terhadap ular itu dahulu, dan rasa takut itu lalu kauhubungkan dengan pusaran air yang menganga seperti mulut ular itu, yang kemudian malah menelan tubuhku pula. Sedangkan tokoh si Iblis Penyebar Maut yang menghadang jalanmu, yang kemudian ternyata wajahnya mirip aku itu, kukira hanya cetusan dari perasaan hatimu sendiri, yang selama ini selalu kaupendam di dalam hati. Karena kau selalu menyimpan dan menekannya, maka 'pendapat hatimu' itu lalu muncul dalam bentuk mimpi tadi..." Liu Yang Kun mengambil napas sebentar, lalu sambungnya lagi.
"Aku tahu, setelah mendengar cerita tentang sepak terjangku yang jahat dan keji itu, kau tentu sudah mempunyai dugaan atau pemikiran, siapa sebenarnya aku ini. Di dalam hatimu tentu sudah ada bayangan siapa wajah Si Iblis Penyebar Maut yang mengerikan itu. Namun karena kekurangyakinanmu sendiri terhadap dugaan itu, apalagi begitu melihat kau lantas merasa suka dan kasihan, maka dugaan itu lalu kau kubur dalam-dalam di dalam lubuk hatimu sendiri. Padahal setiap saat dugaan itu masih saja menggodamu. Maka akibatnya semua lantas muncul di dalam mimpimu. bukankah begitu... moi-moi?"
"Koko... aku... aku... oh!" Tui Lan menjadi pucat seperti gadis yang terbuka rahasianya.
"Isteriku...! Aku tahu sejak semula kau telah mempunyai dugaan bahwa aku adalah Si Iblis Penyebar Maut itu. Tapi aku juga tahu bahwa kau tidak sampai hati untuk mengatakan kepadaku""
"Koko, aku tidak berani... Ini..."
"Aku tahu kau tidak berani menuduhku. Kau terlalu cinta kepadaku. Di dalam hati kau justru berusaha membantahnya. Bukankah demikian, moi-moi?" Tui Lan tertunduk lemah.
"Jadi... jadi" kau memang benar Si Iblis Penyebar Maut itu?" Liu Yang Kun menarik napas panjang. Matanya menatap isterinya tajam-tajam.
"Benar!" Ucapannya tegas.
"Sejak semula aku memang hendak mengatakannya kepadamu. Tapi aku tak berani. Aku takut kehilangan kau. Selain itu aku juga sudah menyangka bahwa kau telah mengetahuinya."
"Ooooooh!" Tui Lan tiba-tiba berdesah, dan tiba-tiba pula matanya menatap ke arah suaminya.
"Ada apa, moi-moi?"
"Koko! Kata guruku, kedua orang tuaku mati dibunuh orang di sebuah hutan kecil di luar Gurun Gobi sana. Ayahku disembelih dan ibuku diperkosa sebelum dihabisi nyawanya. Cobalah ingat-ingat, koko! Pernahkah kau membunuh seorang bangsawan yang sedang bepergian dengan keluarganya di tempat itu?" Liu Yang Kun mengerutkan dahinnya. Tapi dengan tegas pemuda itu menjawab.
"Moi-moi...! Aku tak tahu, mengapa kau menuduhku demikian. Aku juga tak tahu pula, apa alasanmu mencurigai aku. Meskipun demikian aku akan menjawabnya juga. Moi-moi, dengarlah! Aku memang telah banyak membunuh orang dan berbuat jahat di mana-mana. Tapi satu hal yang kuingat betul, yaitu... aku belum pernah keluar dari daerah Tionggoan, apalagi menyeberangi Gobi! Selama hidupku aku belum pernah menginjak gurun yang ganas itu! Nah, kau puas?" Tiba-tiba wajah Tui Lan menjadi berseri-seri.
"Oh, koko... terima kasih. Aku sangat berbahagia sekali!" serunya gembira, lalu berlari ke pelukan Liu Yang Kun.
"Hei! Hei! Nanti dulu! Apakah engkau sudah lupa bahwa aku adalah Si Iblis Penyebar Maut?" Liu Yang Kun pura-pura berteriak memperingatkan. Tapi Tui Lan justru merangkul semakin kencang malah.
"Huh! Aku tak perduli! Biar jahat, baik atau jelek, yang penting aku cinta kepadamu! Habis perkara!" teriaknya lantang. Diam-diam Liu Yang Kun sangat berbahagia pula melihat kegembiraan isterinya. Tidak tampak lagi bayangan ketakutan ataupun kengerian di wajah isterinya. Calon ibu muda itu kelihatan kembali seperti semula.
"Sungguh kasihan sekali dia. Aku harus berusaha sekuat tenaga untuk mengeluarkannya dari neraka di bawah tanah ini. Aku tak boleh mengecewakan harapannya," pemuda itu berjanji di dalam hatinya. Maka keesokan harinya Liu Yang Kun pergi ke pinggir telaga itu kembali. Ditelitinya dan dipelajarinya sungguh-sungguh keadaan pusaran air tersebut. Beberapa kali ia memotong tali pintalannya dan me lemparkannya ke tengah-tengah pusaran itu. Dan ia lalu menyaksikan benda tersebut hilang lenyap ditelan pusaran air itu. Tersedot entah kemana.
"Tentu ada lobang besar di dasar telaga ini, di mana air telaga tersedot keluar dari tempat ini. Yang menjadi persoalanku sekarang adalah, apakah lobang itu dapat kulalui bersama Tui Lan nanti? Dan yang kedua ialah, berapa panjang lobang air itu mengalir ke permukaan tanah kembali? Kalau saluran air itu terus memanjang sampai di Laut Timur sana... hmm, terang aku dan Tui Lan akan kehabisan napas di tengah jalan," pikirnya di dalam hati. Pemuda itu lalu melangkah mengelilingi air telaga itu.
"Sayang aku tak bisa menyelam lebih dahulu untuk menyelidikinya. Pusaran ini sangat kuat. Sekali terjun kedalamnya, tubuhku tentu tersedot ke dalam lobang tanpa bisa berkutik lagi. Jangankan untuk kembali, berenang untuk menyelamatkan diripun kiranya sudah amat sulit sekali. Satu-satunya kemungkinan hanyalah pasrah kepada Thian dan membiarkan diri diseret arus air." pemuda itu meneruskan lamunannya. Malamnya Tui Lan bermimpi lagi. Seperti juga kemarin, ular raksasa itu hidup pula kembali. Lagi-lagi suaminya dimakan dan ditelannya, sehingga ia menjadi sendirian pula di dalam gua itu.
"Koko, aku takut... Mimpi itu seperti memberi isyarat kepadaku bahwa kau akan pergi meninggalkan aku. Oooh...!" Setelah sadar kembali Tui Lan menangis di dada suaminya.
"Moi-moi...! Tak ada kekuatan yang bisa memisahkan kita selain kematian. Mengapa kau masih tidak percaya juga?" Liu Yang Kun menenangkan hati Tui Lan.
"Bukan itu, koko... Tentang kasih sayang kita, aku telah percaya. Namun rasanya ada sesuatu kekuatan lain... yang hendak memisahkan kita."
"Sudahlah! Itu hanya bayanganmu saja! Kita tidak mungkin berpisah lagi. Kita hanya mempunyai dua pilihan saja, yaitu... mati bersama atau hidup bersama! Kemungkinan yang lain tidak ada!"
"Koko...?"
"Maka setelah kupikirkan masak-masak, tiada jalan lain bagi kita untuk keluar dari tempat ini selain... mati bersama di pusaran air itu!" Liu Yang Kun berkata tegas.
"Koko...?" Tui Lan berdesah sambil membelalakkan matanya. Takut dan ngeri. Namun Liu Yang Kun tetap pada pendiriannya.
"Bagaimana pendapatmu? Kita tetap bersatu atau...?" desaknya. Wanita itu semakin terpaku di tempatnya. Perlahan-lahan mata itu mengucurkan air.
"Koko, impian itu...," katanya mulai menangis.
"Jangan kau pikirkan impian itu. Pikirkanlah nasib anak kita kelak. Nah, bagaimana keputusanmu?"
"Kokooo...!" Tui Lan mengeluh dan memeluk suam inya semakin erat lagi. Dan tangisnya tak bisa dibendung pula. Dia menangis sedih seakan-akan memang hendak berpisah dengan suaminya itu. Sesungguhnyalah bahwa hatinya merasa sangat takut melihat pusaran air tersebut, apalagi kalau ia harus terjun pula ke dalamnya, namun demikian ia juga akan merasa lebih takut lagi bila harus berpisah dengan suaminya. Maka ketika suaminya itu terus saja mendesaknya, ia terpaksa memilih untuk ikut terjun saja dari pada harus tinggal sendirian di tempat itu.
"Bagus! Kau bersiaplah sekarang! Kita berangkat..." Liu Yang Kun berkata sambil tersenyum, lalu bangkit untuk menyiapkan segala sesuatunya, termasuk tali dan kantong udara itu.
"Sekarang...?" Tui Lan tersentak memandang suaminya. Kulit mukanya pucat tak berdarah.
"Mengapa? Menunda-nunda waktu tak baik buatmu. Selain perutmu sudah semakin besar, kejemuan dan penderitaan akan semakin meruntuhkan semangat jiwamu. oleh karena itu kita harus lekas-lekas pergi dari neraka ini. Hidup atau mati!" Liu Yang Kun berkata tegas.
Tui Lan tak menjawab. Bagaikan manusia yang tak memiliki semangat wanita itu bersiap-siap menuruti perintah suaminya. Karena tak ada barang yang harus ia persiapkan, maka ia hanya bersiap diri menyiagakan tubuh untuk menghadapi keganasan pusaran itu. Ia mengerahkan tenaga sakti Pat-hong-sinkang sepenuhnya, seolah-olah hendak bertarung mati-matian melawan musuhnya. Meskipun demikian ketika ia tak berada di tepi telaga bersama suaminya, tak urung matanya kembali berkaca-kaca. Bayangan impiannya itu seolah-olah berkelebat lagi di depan matanya. Untunglah Liu Yang Kun segera tanggap akan keadaannya, sehingga lelaki dicintainya itu segera merangkul membesarkan hatinya kembali.
"Kuatkanlah hatimu, isteriku. Ingatlah semua kata-kata yang pernah kuberikan kepadamu. Marilah...,!" Liu Yang Kun mengikatkan tali ke badan isterinya, kemudian ke badannya sendiri pula.
Setelah itu ia mempersiapkan kantong udara sebagai cadangan untuk bernapas di dalam air nanti. Sebelum terjun ke dalam air Tui Lan memeluk suaminya kembali. Diciumnya lelaki itu seakan-akan ia takkan pernah bertemu kembali. Sebaliknya Liu Yang Kun juga merangkulnya dengan erat. Lelaki itu berbisik di telinganya agar ia kuat melawan cobaan itu demi anak mereka. Dengan cepat arus air telaga itu menyeret mereka ke tengah. Mereka berpelukan erat. Dan sekejap kemudian tubuh mereka telah ikut berputar di dalam arus air yang melingkar-lingkar itu. Semakin lama semakin cepat. Dan akhirnya ketika telah sampai di pusat lingkaran, tubuh mereka lalu tersedot ke bawah bagai gasing yang terbenam ke dalam air.
Ternyata lobang air di dasar telaga itu cukup besar untuk mereka berdua. Tapi karena mereka lewat dengan tubuh berputar, maka batu-batu di dinding lobang itu menggores juga di badan mereka. Beruntunglah mereka mengenakan kulit ular yang kuat itu, sehingga cuma kaki dan tangan mereka saja yang terluka. Itupun juga hanya gores-goresan yang tidak berarti, karena dengan Iweekang mereka yang tinggi batu-batu tajam itu tak mampu menembus kulit daging mereka. Arus pusaran yang kuat itu menyeret tubuh mereka ke dalam saluran sempit yang panjang dan berbelok-belok, sehingga tubuh mereka bagaikan diputar dan dikocok dengan hebatnya. Namun demikian mereka tetap berpelukan dengan kokohnya, sementara kantong udara itu tetap mereka gigit dengan kuatnya.
Keduanya tidak tahu lagi, berapa lamanya mereka dikocok dan digulung oleh putaran arus yang ganas itu. Tetapi yang terang kini mereka mulai megap-megap kehabisan napas dan kepayahan. Pelukan mereka mulai kendor karena salah satu dari tangan mereka harus memegangi kantong udara mereka. Tubuh terasa lelah dan sakit semua, sehingga daya tahan merekapun juga semakin turun pula. Celakanya tali pengikat tubuh merekapun juga semakin kendor, karena benturan dan hempasan yang mereka terima membuat tali itu menjadi rusak berpatahan pintalannya. Maka tidak mengherankan bila hempasan-hempasan selanjutnya membuat mereka semakin putus asa. Di dalam hati mereka telah membayangkan kematian. Apalagi pada benturan berikutnya, kantong udara itu lepas dan hanyut mendahului mereka.
"Haep! Gluk...! Haaaep!" Keduanya mulai tersedak dan minum air. Dan ketika keduanya terbanting lagi di dalam sebuah tikungan tajam, tiba-tiba dari tanah lain menggempur pula sebuah arus yang lain. Arus tersebut terasa lebih kuat dari pada yang sedang menggulung mereka, sehingga tubuh mereka bagai dilemparkan ke dinding saluran itu.
"Breeeessh!" Tali pengikat mereka putus, pelukan merekapun lantas terlepas. Dan keduanyapun segera hanyut secara berpisah. Tui Lan di depan, sedangkan Liu Yang Kun di belakang. Celakanya di dalam saluran itu sekarang seperti ada dua buah kekuatan arus yang sama-sama kuat. Dan lebih celaka lagi mereka berada pada arus yang berbeda. Tui Lan di sebelah kiri, Liu Yang Kun di sebelah kanan. Dan beberapa tombak kemudian saluran air itu terpecah menjadi dua bagian. Arus yang pertama, yang membawa tubuh Tui Lan berbelok ke kiri. Sedangkan arus yang kedua, yang membawa Liu Yang Kun, melaju terus ke depan, ke lorong saluran yang lebih lebar dan luas.
Di dalam keputus asaan mereka itu Tui Lan masih melihat berkelebatnya tubuh suaminya, yang terbawa arus ke arah saluran yang berbeda. Mulutnya sudah mau berteriak, tapi airpun segera banjir ke dalam perutnya. Detik-detik selanjutnya Tui Lan sudah tidak dapat memikirkan yang lain-lain lagi, karena ia harus bergulat dengan arus ganas yang menggulungnya. Tui Lan sudah tidak merasa kalau tubuhnya terangkat naik, karena lobang saluran itu berbelok ke atas. Malah beberapa saat kemudian tubuhnya seperti dimuntahkan keluar dari suatu lobang kepundan gunung berapi. Tui Lan merasakan tubuhnya melayang ke atas dengan cepat sekali, terlepas dari libatan arus air yang ganas itu. Namun demikian wanita muda itu masih merasakan tubuhnya berada dalam kubangan air yang dalam.
"Dugg...!" Tiba-tiba Tui Lan merasakan tubuhnya membentur papan yang keras, sehingga papan kayu tersebut sampai bergoyang-goyang karenanya. Dan di lain saat tubuhnya telah timbul di permukaan air! Namun bersamaan dengan waktu itu pula kesadarannya jadi hilang dan tak ingat apa-apa lagi!
"Kurang ajar...! Ada orang hendak menggulingkan sampan kita," mendadak terdengar suara parau berteriak. Dan di lain saat punggung Tui Lan telah dicengkeram orang dan ditarik ke atas perahu kecil.
"Brug!" Kepala Tui Lan membentur papan perahu, sementara kedua kakinya masih tergantung di pagar perahu, sehingga tanpa dapat dicegah lagi semua air yang berada di dalam perutnya tertumpah keluar.
"Bangsat! Dia...? Hei! Twako! Dia seorang wanita!" suara parau itu kembali berteriak keras.
"Hah? Eh, benar...! Dia seorang wanita! Dari mana dia? Mengapa pakaiannya aneh benar?" sahut suara yang lain, yang tidak kalah kasarnya dari suara pertama.
"Dan... cantik pula! Cantik bukan main! Huh... jangan-jangan, eh... jangan-jangan dia adalah Hantu Penjaga Tai Ouw (Telaga Agung) ini..." suara parau yang pertama tadi tiba-tiba berubah menjadi gemetar.
"Maksudmu dia itu Ouw Sian-li (Dewi Telaga). Pemilik Ceng-liong-ong yang sekarang sedang kita tunggu-tunggu kemunculannya itu?" suara yang kedua menegaskan. Nadanya juga ikut ragu ragu.
"Ya! Kau lihatlah pakaiannya itu! Bukankah itu kulit ular raksasa? Siapa lagi di dunia ini yang mengenakan kulit ular bersisik besar-besar itu selain Ouw Sian-li?" Hening sejenak. Suasana menjadi tegang. Sementara kabut malam mulai turun menutupi cerahnya sinar bulan purnama di atas telaga luas itu. Udarapun lalu berubah menjadi semakin dingin pula.
"Bagaimana, Twako...?" mendadak kedua buah suara itu meminta pendapat orang yang ketiga secara berbareng. Terdengar orang menghela napas.
"Aku tak pernah percaya pada segala dongeng tentang hantu atau setan di telaga Tai Ouw ini. Aku hanya percaya pada cerita tentang naga raksasa atau Ceng liong ong yang hidup di dalam telaga ini, yang menurut penuturan guruku selalu keluar setiap lima puluh tahun sekali, yaitu pada saat bulan penuh di permulaan musim semi seperti sekarang ini. Tapi bila kulihat keadaan wanita aneh yang muncul secara tiba-tiba ini, hatiku rasanya... menjadi ragu dan berdebar-debar pula! Pikiranku menjadi goyah pula!"
Sementara itu pikiran Tui Lan telah mulai jernih kembali. Pelan-pelan wanita muda itu membuka matanya. Dan... tiba-tiba ia harus menutup matanya kembali! Sinar bulan yang telah meredup karena kabut itu ternyata masih terlalu tajam untuk matanya yang sudah terbiasa di dalam kegelapan. Namun demikian pikirannya yang sudah sadar kembali itu segera teringat akan kejadian yang baru saja dia alami bersama suaminya.
"Koko...!" rintihnya perlahan seraya mengelus-elus anak yang ada di dalam perutnya.
"Twako, dia bergerak...!" Orang yang bersuara parau itu kembali berseru dengan nada gemetar. Dan sampan kecil itu sedikit oleng ketika ia melompat mundur. Orang yang dipanggil "Twako' itu melangkah maju mendekati Tui Lan. Kebetulan segumpal awan tebal melintas menutupi bulan. Dan berbareng dengan itu Tui Lan pun juga telah membuka mata kembali. Kalau orang-orang di dalam sampan kecil tersebut agak terhalang dengan kegelapan yang mendadak ternyata tidak demikian halnya dengan Tui Lan. Wanita muda itu justru bisa me lihat dengan jelas keadaan di sekitarnya. Mula-mula yang tampak adalah sampan kecil dimana ia berbaring. Setelah itu orang-orang yang sedang mengelilinginya, yaitu tiga orang lelaki kasar yang tadi telah terdengar suaranya. Mereka adalah orang-orang kang ouw berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun.
Wajah mereka kelihatan beringas dan kejam, sementara di pinggang masing-masing tampak tergantung senjata golok yang besar-besar mengkilap. Sekejap Tui Lan menjadi beringas pula. Matanya nyalang mencari suaminya. Tapi sesaat kemudian ia menjadi sadar pula bahwa suaminya tidak ada di tempat itu. Yang ada hanya tiga orang kasar yang tidak dikenalnya itu. Dan ketika ia mencoba mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya, ia menjadi terkejut sekali. Di sekelilingnya terbentang sebuah telaga yang amat luas dan indah sekali! Pohon-pohon bunga yang beraneka-warna tampak penuh sesak memenuhi tepiannya. Sementara di atas telaga itu sendiri kelihatan Berpuluh-puluh perahu, besar maupun kecil, hilir-mudik tersebar di segala tempat. Beberapa buah diantaranya, terutama yang besar-besar, tampak memasang lampu teng yang berwarna-warni pula.
"Oh... aku tidak bermimpi sekarang! Ini betul-betul sebuah kenyataan! Aku telah terbebas dari kurungan gua-gua itu! Tapi... ah, apa gunanya kebebasan ini tanpa adanya Liu Yang Kun di sisiku?" Tui Lan yang melihat keindahan di sekitarnya itu tiba-tiba justru merintih di dalam hatinya.
"Twako, awas... dia bergerak lagi! Sebaiknya kita ikat saja kaki dan tangannya agar tidak bisa kembali ke dasar telaga. Siapa tahu dia benar-benar Ouw Sian-li, sehingga kita bisa mempergunakannya sebagai perisai kalau Ceng-liong-ong itu benar-benar muncul nanti?" orang yang bersuara parau itu memperingatkan kakaknya.
"Hmm... kau benar! Marilah kita ikat dia!" Sebentar kemudian ketiga orang kasar itu telah mengeluarkan sebuah rantai besi yang tampaknya memang telah mereka persiapkan untuk mengikat Ceng-liong-ong nanti. Rantai besi itu kemudian mereka pergunakan untuk mengikat Tui Lan. Tapi orang yang mereka sangka Dewi Penunggu Telaga itu tiba-tiba meronta dan bangkit berdiri, sehingga rantai itu terlepas kembali. Tui Lan menatap ketiga orang kasar itu dengan marah. Mata yang telah terisi Pat-hong-sinkang itu tampak mencorong di dalam kegelapan, seperti mata naga yang sedang mereka tunggu-tunggu itu.
"Nah... apa kataku? Dia... dia memang Ouw Sian-li itu! Lihatlah kedua buah matanya! Itu... Itu bukan mata orang biasa!" orang yang bersuara parau itu tergagap-gagap ketakutan. Tubuhnya mundur-mundur terus sehingga hampir saja ia terjengkang keluar perahu.
"Huh, pengecut! Mengapa takut! Bukankah kita ke sini untuk menangkap Ceng-liong-ong itu? Mengapa kita mesti takut kepada pemiliknya kalau kita ingin menangkap binatang piaraannya. Ayoh, serbu dia...!" orang yang dipanggil dengan sebutan Twako itu menggeram marah. Lalu dia mendahului menyerang Tui Lan.
"Twako benar! Ini justru kesempatan yang baik buat kita. Kita tangkap dulu pemiliknya baru Ceng-liong-ong belakangan. Marilah ji-ko sebelum orang lain mengetahuinya...!" orang ketiga mendukung ucapan Twakonya.
"Ah eh...ka-kalian memang benar!" akhirnya orang yang bersuara parau itu mendadak sadar kembali pada tujuannya ke tempat itu. Sambil mencabut goloknya ia ikut menerjang Tui Lan.
Demikianlah, belum juga kekuatan Tui Lan pulih sepenuhnya, ia sudah diharuskan melayani keroyokan tiga orang kasar itu. Celakanya, ketiga orang itu ternyata memiliki kepandaian yang hebat juga. Namun demikian masih beruntung juga bagi Tui Lan, karena perahu tersebut terlalu kecil dan sempit untuk berkelahi mereka berempat, sehingga ketiga orang lawannya itu harus hati-hati dan tak bisa bergerak bebas. Sebaliknya, dengan Bu-eng Hwe-teng yang hebat itu Tui Lan mampu melenting kesana-kemari dengan lincahnya. Seperti seekor capung yang sedang bermain main di atas permukaan air, tubuhnya berkelebatan diantara lawannya. Malahan bila tubuhnya melayang terlalu jauh keluar perahu, dia lalu memperlihatkan ilmu Berjalan di Atas Airnya yang tiada tara itu. Sekali menepuk permukaan air tubuhnya akan segera terlontar kembali ke dalam perahu.
Tentu saja pameran ginkang yang mentakjubkan itu benar-benar membuat giris lawan-lawannya. Selama hidup mereka belum pernah menyaksikan ilmu meringankan tubuh yang sedemikian tingginya. Ketiganya menjadi semakin yakin bahwa mereka memang sedang berhadapan dengan Ouw Sian-li, Dewi Penunggu Telaga Agung itu. Dan dugaan mereka itu menjadi semakin tebal pula ketika beberapa kali golok mereka tak mampu menembus baju kulit ular yang dikenakan oleh wanita cantik tersebut. Sementara itu perahu-perahu lain yang berada di sekitar mereka akhirnya mengetahui pula keributan itu. Mereka menjadi curiga dan berbondong-bondong mendekati. Karena cuaca masih gelap tertutup awan, maka mereka tidak segera tahu apa yang terjadi di atas perahu kecil tersebut.
"Hei! Apa yang terjadi di situ!" seorang lelaki brewok yang berdiri di sebuah sampan kecil berteriak lantang. Kemudian, sekali dayungnya yang besar itu menghantam air, maka perahunya yang kecil itu melesat ke depan dengan cepatnya. Tenaga gwa-kangnya sungguh besar sekali, sungguh sesuai dengan bentuk badannya yang tinggi kekar.
"Twako, lihat! Ouw Tiat Gu si Lintah Darat itu datang kemari!" lawan Tui Lan yang bersuara parau itu memperingatkan Twakonya.
"Kurang ajar! Lintah Darat memang serakah sekali! Tapi sungguh kebetulan malah! Biarlah dia merampas lawan kita ini, agar tahu rasa...!" orang yang sudah merasa sangat kewalahan melawan Tui Lan itu menjawab ucapan adiknya.
Antara ketiga orang kasar itu dengan si Brewok yang baru datang tersebut memang tidak pernah akur. Mereka sama-sama bertempat tinggal di tepian telaga itu. Dan mereka juga sama-sama jago kepruk yang suka memeras para nelayan di telaga Tai-Ouw itu. Tapi mereka selalu bertengkar dan berkelahi bila saling berjumpa. Celakanya, biarpun bertiga, ketiga orang kasar itu tak pernah menang menghadapi Ouw Tiat Gu. Demikianlah, ketika Ouw Tiat Gu datang, ketiga orang kasar itupun berlompatan ke dalam air meninggalkan Tui Lan. Sementara Tui Lan sendiri yang sejak semula memang tak berhasrat melayani mereka, membiarkan saja ketiga lawannya itu melarikan diri.
"Hahaha... ternyata ada bidadari cantik di tempat ini. Makanya ketiga tikus air itu asyik benar sejak tadi. Hahaha...! Malam bulan purnama di atas telaga, wanita cantik, suasana gelap pula.. oh, asyiknya!" begitu berhadapan dengan Tui Lan, si Brewok itu membuka mulut seenaknya.
"Tutup mulutmu! Jangan seenaknya menghina orang!" Tui Lan marah dan membentak.
"Eh? Ouh, hahaha... galak benar!" Ouw Tiat Gu tersentak kaget. Namun sebentar kemudian telah tertawa kembali.
"Ho-ho-ho, aneh benar pakaianmu! tampaknya kau tadi baru saja dicopot dari panggung sandiwara, hehehe.!"
"Kurang ajar...! Kutampar mulutmu!" Ouw Tiat Gu yang sangat membanggakan kekuatan tubuhnya itu benar-benar tak memandang sebelah mata kepada wanita cantik seperti Tui Lan itu. Lelaki kasar seperti dia sudah biasa dikerubut orang setiap harinya. Dan dia selalu tampil sebagai pemenangnya. Maka kalau cuma seorang wanita lemah macam Tui Lan itu, apa pula yang harus ia takutkan? Oleh sebab itu dengan congkaknya ia membiarkan saja Tui Lan menamparnya.
"Plaaaaaaaaak!"
"Hwadouuuuuuuuh...!" tiba-tiba Ouw Tiat Gu berteriak setinggi langit. Tubuh yang sungguh-sungguh besar seperti kerbau itu mendadak terlempar keluar perahu. Sekilas tampak beberapa buah giginya mencelat keluar, disertai semprotan darah dari mulutnya. Air muncrat tinggi ke udara, sehingga membasahi badan Tui Lan pula. Menyaksikan lawannya terlempar kesakitan ke dalam air Tui Lan merasa menyesal juga. Wanita muda itu merasa terlalu keras memberi hajaran kepada orang yang belum dikenalnya itu.
"Meskipun dia telah menghina aku, tapi tak seharusnya aku membalas sedemikian kerasnya," gumamnya sambil menundukkan mukanya. Tapi ketika menengadahkan kepalanya kembali Tui Lan menjadi kaget sekali. Perahu kecilnya telah terkepung oleh belasan perahu lain, sehingga ia tak mungkin bisa mengeluarkan perahunya itu dari sana. Malah dari jauh masih banyak lagi perahu-perahu besar yang berdatangan pula. Wajah-wajah keras tampak menatap ke arah perahunya. Mereka berusaha menembus kegelapan malam yang tertutup awan itu. Rata-rata mereka berwajah keras dan beringas. Wajah-wajah orang persilatan yang telah terbiasa menghadapi kekerasan dengan kekuatan.
"Ceng-liong-ong...! Awas...Ceng-liong-ong!" tiba-tiba keheningan yang hanya sesaat itu dikejutkan oleh teriakan ketiga orang kasar yang tadi terjun ke dalam air. Ketiga orang itu muncul di dekat perahu-perahu yang mengepung Tui Lan. Begitu muncul di atas permukaan air mereka berteriak-teriak seraya menunjuk ke arah Tui Lan. Suaranya gagap dan kurang jelas. Tapi orang-orang kang-ouw yang sudah sejak sore tadi menunggu keluarnya Ceng-liong-ong, segera menjadi beringas begitu mendengar teriakan mereka. Semuanya menyangka bahwa naga dari Telaga Tai Ouw yang mereka tunggu-tunggu itu benar-benar sudah keluar. Malahan sudah melukai tiga orang itu pula sekarang. Dan dugaan mereka semua semakin menjadi-jadi ketika tiba-tiba muncul pula wajah Ouw Tiat Gu yang berlumuran darah dari dalam air.
"Bangsat! Ular betina itu telah melukai aku! Kurang... haep...!" teriak si brewok itu melengking lengking. Maka sekejap kemudian, belasan atau bahkan puluhan sampan-sampan kecil itupun lalu berlomba-lomba berebut dulu untuk menyerbu ke depan. Mereka tak ingin didahului oleh lawannya. Sehingga sesaat kemudian perahu-perahu itupun lalu saling bertabrakan dengan gaduhnya. Dan bersamaan dengan waktu itu pula para penumpangnya berloncatan keluar bagai kawanan lebah yang sedang marah. Sehingga di lain saat tempat itupun lalu menjadi hiruk-pikuk bukan buatan!
Mereka adalah orang-orang kang ouw yang datang dari seluruh pelosok negeri. Dan mereka itu adalah orang-orang yang percaya pada dongeng tentang Ceng-liong-ong itu. Y aitu dongeng yang menceritakan bahwa darah naga itu mampu membuat mereka menjadi orang yang tak terkalahkan, kulitnya yang tak mempan senjata, dan mutiara racunnya yang bisa menawarkan segala macam racun di dunia. Maka tidaklah mengherankan kalau mereka saling berlomba lebih dulu untuk mendapatkan benda-benda langka tersebut. Mereka tidak lagi menghormati aturan dan sopan-santun. Yang ada di dalam benak dan hati mereka hanyalah merebut dan memiliki benda-benda itu, apapun caranya. Sehingga hukum rimbapun lalu berjalan di tempat itu. Siapa kuat, dialah yang menang.
Oleh karena itu siapapun yang menghalangi jalan, merekapun tak segan-segan untuk membunuh dan menyingkirkannya. Suara teriakan, jeritan, dan juga suara dentang senjata, terdengar menggema memenuhi tempat itu. Belum juga mereka tiba di tempat Tui Lan berada, mereka sudah saling berhantam dan saling menyerang dengan brutalnya. Maka korbanpun segera berjatuhan. Darah muncrat dan memercik kemana-mana, membasahi perahu dan sampan mereka. Beberapa orang diantara mereka dapat juga lolos dari keributan tersebut. Mereka berloncatan dengan garang ke perahu Tui Lan. Melihat kilatan bayang-bayang kulit ular yang dikenakan oleh Tui Lan, mereka segera menerjangnya dengan segala kemampuan mereka masing-masing.
Kegelapan di tempat itu membuat mereka tidak dapat melihat jelas sasaran mereka. Mereka hanya melihat gemerlapannya sisik ular yang dikenakan Tui Lan. Sementara itu Tui Lan yang menjadi bingung dan heran menyaksikan ulah orang-orang di sekelilingnya, terpaksa berloncatan menghindari para penyerangnya itu. Karena mereka berjumlah banyak, maka dia terpaksa melenting kesana-kemari meninggalkan perahunya. Dengan Bu-eng Hwe-tengnya yang hebat ia berloncatan diantara sampan dan perahu yang berserakan di tempat itu. Dan sambil berloncatan dia membagi pukulan dan totokan diantara lawan-lawannya itu, sehingga satu persatu mereka roboh berjatuhan di atas perahu tempat mereka berpijak. Namun lawan yang datang kemudian seperti tiada habis-habisnya, karena perahu-perahu yang datang dari tempat lainpun juga semakin banyak pula.
Sementara keributan diantara merekapun juga berlangsung semakin dahsyat pula. Tokoh-tokoh yang baru tiba, yang kemudian melihat berkelebatnya bayangan Tui Lan di antara kerusuhan tersebut, segera melibatkan diri juga. Darah semakin banyak yang menetes dan mengalir membasahi permukaan air telaga itu. Sepintas lalu air tampak menjadi kemerah-merahan, sementara udarapun menjadi berbau amis pula. Pecahan pecahan perahu tampak mengambang berserakan memenuhi tempat pertempuran tersebut. Namun demikian pertempuran brutal itu tidak menjadi reda juga. Semakin lama tampaknya justru menjadi semakin dahsyat malah. Sedangkan Tui Lan yang sebenarnya lagi sedih dan pepat pikirannya itu terpaksa harus melayani orang-orang gila yang tanpa sebab telah mengeroyoknya itu.
Namun karena pikirannya sedang kusut, sedih dan bingung memikirkan suaminya, maka perlawanannyapun juga hanya setengah-setengah pula. Wanita muda itu lebih banyak melihat-lihat kesana-kemari untuk mencari Liu Yang Kun dari pada harus melayani para pengeroyoknya. Meskipun demikian karena ilmunya sudah amat tinggi, maka tak seorangpun dari mereka yang bisa menyentuh badannya. Meskipun di dalam saluran air tadi Tui Lan masih sempat melihat suaminya dibawa arus ke lorong saluran yang lain, tapi dia masih berharap bahwa suaminya itu juga telah dimuntahkan keluar oleh arus yang menghanyutkannya itu melalui lobang sumber air di dasar telaga ini. Oleh sebab itu Tui Lan tak segera pergi meninggalkan tempat kerusuhan tersebut. Dia justru melenting kesana kemari mencari wajah suaminya.
"Koko...?" sebentar-sebentar ia berdesah pilu. Tetapi setelah berulang kali menyusup kesana kemari tetap tidak menemukan wajah suaminya, Tui Lan lantas menjadi sadar bahwa usahanya akan sia-sia. Saluran air yang membawa suaminya kelihatannya tidak bermuara di dasar telaga ini pula. Tampaknya saluran air itu menuju ke tempat lain, atau bahkan terus langsung ke Laut Timur.
"Oh, Thian...! Ternyata mimpi yang Kau berikan kepadaku itu benar-benar menjadi kenyataan. Dia telah pergi..." ratapnya di dalam hati. Tui Lan benar-benar menjadi putus asa sekarang. Keinginannya untuk hidup telah hilang. Dia ingin mati saja menyusul suaminya. Tapi mendadak berkelebat di dalam pikiran Tui Lan sebuah kemungkinan yang lain. Benarkah suaminya itu sudah meninggal dunia? Bagaimana kalau dia dapat meloloskan diri dari arus pusaran air itu? Dan bagaimana seandainya suaminya kelak mencari dia dan anaknya?
"Ah, aku tidak boleh mati sebelum yakin bahwa dia juga telah meninggalkan aku..." Sementara terjadi pergolakan batin di dada Tui Lan, maka pertempuran brutal di tengah-tengah kegelapan telaga itupun juga semakin menjadi-jadi pula.
Semuanya menyangka bahwa Ceng-llong-ong itu benar-benar telah keluar dari dasar telaga. Oleh karena itu, setiap perahu yang datang, maka penumpangnyapun segera berebut dahulu ke depan, ke tempat pertempuran yang telah penuh sesak dengan perahu dan sampan itu. Mereka berlarian di atas perahu yang berhimpitan itu sambil menyebar kematian. Tak perduli kenal atau belum, asal ada orang yang menghalangi jalannya, langsung mereka babat tanpa bertanya lagi. Dan salah seorang dari mereka yang baru datang itu, tampaklah seorang lelaki tua kurus berpakaian mewah, menerobos keributan tersebut dengan tangan kosong. Meskipun demikian, setiap kedatangannya selalu membuat kocar-kacir orang di sekelilingnya. Beberapa jago silat berusaha melawannya, namun tanpa kesulitan lelaki kurus itu menghajar mereka.
"Tung-hai Nung-jin...!" salah seorang dari pengeroyoknya berseru begitu bisa melihat jelas wajahnya.
"Benar, akulah yang datang. Oleh karena itu menyingkirlah! Biarkanlah aku melihat keadaan di depan itu..." orang tua itu menjawab angkuh. Benar juga. Mendengar nama besar orang itu, yang lainpun segera menyingkir. Tapi baru beberapa langkah orang tua itu berloncatan, di depannya telah banyak orang yang menghalangi jalannya lagi. Malah salah seorang di antaranya terpaksa beradu pukulan dengan dia karena nyaris bertabrakan.
"Plak! Plak!" Masing-masing terpental hampir jatuh. Keduanya saling melirik dengan hati berdebar kaget.
"Uh! Siapakah kau? Oooh... Tiat-tung Lo-kai (Pengemis Tua Bertongkat Besi) rupanya!" Tung-hai Nung-jin menggeram. Tiat-tung Lo-kai adalah ketua Tiat-tung Kai-pang Daerah Utara. Namanya juga sangat terkenal sejak masih pemerintahan Kaisar Chin Si yang jatuh itu. Lebih terkenal dari pada nama suhengnya, Tiat-tung Hong-kai (Pengemis Gila Bertongkat Besi), yang menjadi ketua daerah Selatan. Walaupun demikian, melihat Tung-hai Nung-jin, ketua perkumpulan pengemis daerah utara itu ternyata merasa segan juga.
"Tung-hai Nung-jin! Hmm... tak kusangka kau bisa berkeliaran di daratan juga. Sayang kita tak mempunyai banyak waktu untuk menyambutmu. Maafkanlah...!" Tiat-tung Lo-kai menggeram pula, kemudian melompat pergi meninggalkan tempat itu.
Memburu Iblis Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kita...?" Tung-hai Nung-jin berbisik kaget sambil melirik ke kanan dan ke kiri.
"Apakah dia datang bersama kawan-kawannya? Mengapa aku tak melihat mereka itu?" Diam-diam Tung-hai Nung-jin merasa gentar juga hatinya. Dia tahu Tiat-tung Lo-kai mempunyai banyak teman di dunia kang-ouw, termasuk di antaranya yang sangat ia segani adalah Keh-sim Siau-hiap (Pendekar Muda Patah Hati), pemilik Pulau Meng-to yang sangat tersohor itu. Jikalau benar apa yang dikatakan oleh Tiat-tung Lo-kai itu, maka dia memang harus berhati-hati.
"Siapapun ingin meminum darah Ceng liong-ong dan mengambil mutiara racunnya, maka aku tak perlu heran kalau semua tokoh-tokoh persilatan berkumpul di sini sekarang. Mungkin tokoh-tokoh sakti seperti Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai, Hong-Lui-Kun Yap Kiong Lee, ataupun pemimpin-pemimpin aliran ternama seperti Beng-kauw, Mo-kauw dan Im-Yang kauw itupun ada di sini pula saat ini..." Ternyata betul juga dugaan Tung-hai Nung-jin itu. Belum juga dia beringsut dari tempatnya, mendadak dari arah barat terdengar umpatan dan caci-maki yang amat dikenalnya. Siapa lagi di dunia ini yang gemar mengumpat dan memaki seenaknya sendiri selain Put-ceng-li Lojin (Orang Tua Yang Tak Tahu Aturan) Ketua Bing-kauw?
"Bangsat kurang ajar...! Monyet busuk semuanya! Ceng-liong-ong sudah keluar aku tidak diberi tahu! Babi Anjing! Ayoh... semua menyingkir!"
"Habis susiok baru berak, sih! Masakan Si Monyet Busuk disuruh mendekati? Bukankah bisa kelenger nanti? Mendingan kita menjauh. Bukankah begitu, Sute?"
"Betul, suheng... Apalagi 'anunya' suhu baunya bukan main...!"
"Anunya... apa. heh?" terdengar bentakan Put-ceng-li Lojin lagi.
"Kotorannya!" suara yang terakhir tadi menjawab cepat sambil tertawa tergelak-gelak.
"Bangsat! Hahahaha, anak konyol! Kutempeleng kau...!" Lalu tampak tiga buah bayangan berkelebat mendahului Tung-hai Nung-jin. Dan ketika tokoh bajak laut itu mencoba melongok dan memperhatikan mereka, kepalanya segera mengangguk-angguk.
"Nah, apa kataku tadi. Bangsat tua dari Aliran Bing-kauw itu benar-benar datang kemari bersama muridnya dan murid suhengnya yang konyol itu. Aku takkan lupa pada murid suhengnya yang sinting itu..." katanya seraya menarik napas panjang. Pada waktu itu di daerah Tionggoan berkembang banyak aliran kepercayaan. Tapi yang sudah amat terkenal dan banyak pengikutnya hanya tiga buah saja, yaitu aliran Bing-kauw, Mo-kauw dan Im-yang-kauw. Selain memiliki pengikut yang banyak, ketiga macam aliran tersebut juga memiliki banyak tokoh-tokoh sakti pula.
Salah satu di antaranya adalah Put-ceng-li Lojin tersebut. Put-ceng-li Lojin adalah Ketua Aliran Bing-kauw. Dia menggantikan suhengnya yang mengundurkan diri dua puluh tahun yang lalu. Dia mempunyai empat orang murid, tiga laki-laki dan satu perempuan. Mereka bernama Put-sim-sian (Dewa Tak berperasaan), Put-swi-kui (Hantu Tak Berdosa), Put-ming-mo (Setan Tak Bernyawa) dan Put-sia Nio-cu (Perawan Tak Tahu Adat). Sedangkan suhengnya yang telah mengundurkan diri itu bergelar Put-chien-kang Cin-jin (Pendeta Tak Waras). Dan suhengnya itu meninggalkan seorang murid, bernama Put-pai-siu Hong-jin (Si Gila Tak Tahu Malu). Dan yang datang bersama Put-ceng-li Lojin tadi adalah Put-ming-mo dan Put-pai-siu Hong-jin.
Kali ini Put-ceng-li Lojin memang sengaja mengajak murid suhengnya yang agak sinting itu, karena ia membutuhkan pembantu yang lihai. Sebab biarpun sangat kurang ajar dan ugal-ugalan, tapi murid suhengnya itu sangat lihai. Lebih lihai dari pada keempat muridnya sendiri malah. Tapi membawa Put-pai-siu Hong-jin memang harus sabar. Selain sangat urakan orang itu juga sering membawa adatnya sendiri. Untunglah, meskipun mempunyai kelakuan yang aneh-aneh, dia masih mau mendengarkan perkataan Put-ceng-li Lojin. Sementara itu di malam yang amat gelap tersebut Tui Lan masih diincar dan dikejar-kejar oleh orang-orang yang mengira dirinya adalah Si Naga Raksasa Ceng-liong-ong. Beberapa orang yang berhasil mendekati Tui Lan memang menjadi heran melihat buruannya itu bukanlah seekor naga seperti yang diteriakkan orang,
Namun karena mereka sendiri juga belum pernah menyaksikan binatang langka itu, maka mereka juga menjadi ragu untuk menghentikan serangannya. Alhasil merekapun masih tetap menyerang dan mengejar-ngejar Tui Lan juga. Namun Tui Lan sudah tak berminat lagi tinggal di situ. Setelah dia yakin bahwa suaminya tidak muncul di tempat itu, maka dia lalu berusaha keluar dari kepungan orang-orang gila yang tak dimengertinya itu. Begitu kakinya menjejak perahu yang ditumpanginya,tubuh Tui Lan membubung tinggi ke udara melewati beberapa buah perahu yang berdesakan di sekitarnya. Kulit ular yang membungkus tubuhnya itu melambai-lambai ditiup angin. Warnanya mengkilap gemerlapan, sehingga sepintas lalu memang seperti ekor naga yang sedang meliuk-liuk di angkasa.
Dan sebelum tubuhnya meliuk turun ke bawah, Tui Lan telah menekuk kedua buah kakinya, dan berjumpalitan di udara. Sambil berjumpalitan, beberapa kali telapak tangannya menghantam ke bawah, menangkis serangan orang-orang yang berusaha mencegatnya. Tapi dengan demikian ia justru dapat meminjam tenaga mereka untuk melenting ke atas kembali, sehingga semakin lama tubuhnya melenting semakin tinggi seperti burung yang terbang mengepakkan sayapnya. Namun ketika hendak hinggap di atas atap sebuah perahu besar, tiba-tiba dari arah samping kiri tampak berkelebat sesosok bayangan memotong jalannya. Gerakannya tidak begitu cepat, tapi karena posisi dan waktunya sangat tepat maka ia tidak bisa menghindar lagi. Terpaksa dia mengerahkan tenaganya untuk menangkis.
"Plak...Plak!" Ayunan kaki Tui Lan terpaksa sedikit tertahan, sehingga tidak bisa menginjak atap perahu itu. Dengan enteng kakinya mendarat di geladak perahu tersebut. Tapi sebaliknya lawannya tampaknya terpelanting di atas geladak itu pula. Sementara itu dari bawah perahu tiba-tiba melesat pula sesosok bayangan lain mengejar mereka.
"Kau tidak apa-apa, Lam-suheng?" orang yang baru datang itu bertanya kepada lawan Tui Lan yang terpelanting itu.
"Tidak! Tapi hati-hatilah...! Binatang ini... eh?" orang yang terpelanting itu menjawab sambil bangkit berdiri. Tapi mendadak orang itu membelalakkan matanya. Begitu pula orang yang baru datang itu.
Kedua orang yang berpakaian penuh tambalan, yang tidak lain adalah Tiat tung Lo-kai dan suhengnya Tiat-tung Hong-kai itu menatap Tui Lan tanpa berkedip. Mereka menjadi heran, mengapa Ceng-liong-ong yang dikabarkan telah muncul keluar itu berubah menjadi seorang wanita di hadapan mereka. Sementara itu tiupan angin malam telah mulai menggeser awan tebal yang menutupi bulan. Suasana di atas telaga itu juga mulai jelas pula sekarang. Orang-orangpun menjadi gembira dan mempertajam penglihatan mereka. Tapi sinar terang yang mulai menyibakkan kegelapan itu ternyata sangat menyilaukan mata Tui Lan malah! Kalau orang-orang itu mulai bisa memperhatikan keadaan di sekeliling mereka dengan jelas, sebaliknya tidak demikian halnya dengan Tui Lan. Wanita muda itu malah melindungi matanya yang tiba-tiba menjadi kabur.
"Ah! Karena terlalu lama di dalam gua yang gelap, kini mataku tak tahan melihat sinar terang. Hmm... aku harus lekas-lekas meninggalkan tempat ini, sebelum orang-orang gila ini membunuhku." Tui Lan berkata di dalam hatinya.
Tui Lan lalu mempersiapkan dirinya kembali. Matanya ia pejamkan, meskipun tidak terlalu rapat. Tapi ia menjadi kaget ketika melirik ke arah pintu perahu. Di sana dilihatnya sepasang lelaki-perempuan berdiri berjajar mengawasi dirinya. Kedua orang yang kelihatannya adalah suami-isteri itu memandang dengan heran pula kepadanya. Yang lelaki bertubuh jangkung dan tampak berwibawa, sementara yang perempuan juga kelihatan anggun dan cantik. Namun bukan kecantikan atau ketampanan laki-wanita itu yang membikin kaget Tui Lan. Yang mengejutkan Tui Lan adalah sikap kedua pengemis yang berada di hadapannya itu. Pengemis-pengemis tersebut kelihatan sangat segan dan menghormat sekali kepada mereka.
"Hong-kai! Lo-kai! Siapakah wanita muda ini? Kenapa kalian mengejar-ngejar dia? Apakah kalian bermusuhan?" terdengar lelaki berwibawa itu bersuara.
"Ah, Tocu (Majikan Pulau)...! Ternyata Tocu telah tiba pula..." kedua pengemis itu menjawab berbareng. Lalu Tiat-tung Hong-kai melanjutkan lagi,
"Begini, Tocu...Kami berduapun juga baru datang pula. Namun kedatangan kami ternyata sudah terlambat. Orang-orang di sini sudah berteriak-teriak mengatakan bahwa Ceng-liong-ong sudah keluar dari sarangnya. Maka kami pun lantas ikut-ikutan memburunya pula. Tapi setelah kami memegangnya, eh... tiba-tiba binatang itu berubah menjadi wanita muda ini! Tentu saja kami berdua menjadi bingung sekali..."
"Jadi wa..." lelaki tampan yang ternyata adalah Keh-sim Siau-hiap dari Pulau Meng-to itu hendak berkata lagi, tapi segera terputus dengan tiba tiba karena dari bawah perahu berkelebat pula bayangan Put-ceng-li Lojin dan kawan-kawannya ke atas perahu.
"Hei...????" begitu sampai di depan Tui Lan, ketua Bing-kauw itu memekik kaget pula.
"Apa-apaan ini? Bangsat...! Di manakah Ceng-liong-ong tadi?" Mendengar pembicaraan orang-orang itu tahulah Tui Lan sekarang bahwa mereka semua telah salah sangka terhadap dirinya. Tampaknya orang-orang yang berada di telaga malam ini sedang menunggu munculnya Ceng-liong-ong. Maka dari itu begitu melihat dirinya yang berpakaian kulit ular itu muncul di atas permukaan air, mereka lantas menyangkanya Ceng-liong-ong.
"Tapi dugaan mereka itu sebetulnya juga ada sedikit kebenarannya pula. Sebab kulit yang kupakai sekarang ini memang kulit Ceng-liong-ong juga." Tui Lan membatin seraya bersiap-siap untuk meloncat pergi dari tempat itu. Sementara itu melihat kedatangan Put-ceng-li Lojin di perahunya, Keh-sim Siau-hiap segera menyambutnya. Mereka lalu saling memberi hormat dan berbasa-basi menanyakan keselamatan mereka masing-masing. Dan kesempatan tersebut segera digunakan oleh Tui Lan untuk melesat pergi meninggalkan tempat itu.
Pendekar Penyebar Maut Eps 13 Pendekar Penyebar Maut Eps 33 Pendekar Penyebar Maut Eps 35