Ceritasilat Novel Online

Pendekar Penyebar Maut 35


Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Bagian 35




   Buktinya pemuda itu tidak bergembira sama sekali melihat kedatangannya, malah tampaknya kekasihnya itu sangat tertekan batinnya dan agaknya selalu berusaha untuk mencari-cari alasan buat berpisah dengannya! Tiba-tiba Chu Bwee Hong menjadi sangat bersedih sekali! Impian yang selama ini selalu membuai pikirannya mendadak seperti hilang lenyap tertiup angin. Api semangatnya yang semula masih menyala, meskipun hanya kecil, kini bagaikan ikut hilang pula terbawa pergi. Tiba-tiba dunia ini seakan-akan berubah menjadi sunyi senyap dalam pandangannya. Gadis itu lantas teringat kembali pada keadaan dirinya yang kotor, yang memang sudah tidak berharga lagi untuk duduk bersanding dengan Souw Thian Hai yang terkenal dan dikagumi oleh banyak orang.

   "Ohh, Tuhan...!" Chu Bwee Hong menjerit lirih, kemudian berkelebat pergi meninggalkan Souw Thian Hai.

   "Hong-moi...?" Souw Thian Hai berseru kaget. Pendekar sakti itu bergegas melompat untuk mengejar Chu Bwee Hong. Tapi belum juga setindak ia melangkah, tiba-tiba dari arah sungai terdengar suara jeritan wanita memecahkan kesunyian petang itu. Sekejap Souw Thian Hai menjadi bimbang.

   Dalam benaknya segera berkelebat bayangan Souw Lian Cu, puterinya! Jangan-jangan anak itu dalam bahaya! Souw Thian Hai tidak jadi mengejar Chu Bwee Hong, sebaliknya ia berputar ke arah sungai dengan cepatnya. Sekejap saja tubuhnya yang tinggi besar itu telah berada di tepi sungai. Tetapi wajahnya yang amat tegang itu segera berubah menjadi mendongkol dan marah begitu melihat apa yang terjadi di tengah-tengah sungai itu! Sesosok mayat perempuan dalam keadaan telanjang bulat tergeletak di atas batu besar di tengah sungai dengan kepala pecah! Dan Souw Thian Hai segera mengenalnya sebagai pelayannya yang selama ini selalu membantu mengerjakan pekerjaan rumah Souw Lian Cu. Perempuan yang masih muda itu agaknya baru saja diperkosa oleh seseorang diatas batu tersebut.

   "Kurang ajar! Siapa pula yang berani memasuki lembah ini selain bangsat berkerudung itu?" Souw Thian Hai mengumpat di dalam hati.

   Dengan hati geram pendekar itu berlari kesana kemari, menerobos hutan kecil dan menyusuri jurang dan sungai di dalam lembah tersebut, tapi tak seberkaspun jejak si pengacau yang ia ketemukan. Seperti halnya dengan lelaki berkerudung itu, yang sudah lenyap tidak kelihatan batang hidungnya, pengacau itupun telah hilang tak tentu rimbanya. Sampai-sampai Chu Bwee Hong yang baru saja pergi dari pondok itupun juga tidak bisa dia dapatkan lagi! Gadis itu juga telah meninggalkan lembah tersebut entah kemana. Akhirnya Souw Thian Hai pulang ke rumah dengan lemah dan lesu! Begitu pepatnya pikirannya sehingga ia sampai melupakan mayat pelayannya yang masih berada di atas sungai. Benaknya Cuma dipenuhi dengan masalah Souw Lian Cu, Chu Bwee Hong dan peti pusaka itu saja!

   "Lengkap sudah sekarang kehancuranku...!" rintihnya. Rumah yang biasanya tampak terang dan cerah itu kini kelihatan murung dan gelap. Tidak ada suara riang dan gembira dari Souw Lian Cu lagi. Tiada suara bening dan manja yang biasa menyambut kedatangannya. Semuanya sunyi dan gelap, bahkan lampupun belum dinyalakan. Bagaikan sedang bermimpi Souw Thian Hai membuka pintu rumahnya. Tapi...

   "Duuaaar!" Tiba-tiba daun pintu itu meledak di dalam tangannya. Begitu dahsyatnya sehingga bangunan bagian depan dari rumahnya runtuh ke bawah dengan hebatnya. Tanah yang dipijaknya seolah bergetar bagai digoyang gempa, sementara serpihan-serpihan kayu dan bagian bangunan lainnya tampak berhamburan dan bertebaran kemana-mana! Sekejap tempat itu menjadi gelap gulita oleh asap dan debu yang bergulung-gulung! Souw Thian Hai ikut terlempar tinggi ke udara, kemudian jatuh di atas dahan pohon siong yang tumbuh tak jauh dari tempat tersebut.

   Tapi oleh karena dahan itu tidak begitu besar dan kuat maka sebentar kemudian Ialu patah dan perlahan-lahan jatuh ke atas tanah. Sesaat Souw Thian Hai hanya tergeletak berdiam diri saja di antara ranting-ranting pohon yang patah itu. Seluruh anggota tubuhnya terasa kaku dan ngilu, seolah-olah tak bisa digerakkan sama sekali. Luka-luka kecil tampak bergoresan di seluruh badannya yang telanjang, sementara pakaian yang tadi ia kenakan telah hancur berserpihan di sekelilingnya. Untunglah, ilmu Souw Thian Hai yang boleh dikatakan telah mencapai tingkat kesempurnaan itu segera bekerja secara otomatis melindungi tubuhnya, sehingga pendekar sakti itu terhindar dari maut. Tetapi oleh karena Iedakan itu terjadi dengan sangat mendadak maka reaksi dari ilmunya itu juga tidak dapat seratus persen melindungi badannya.

   "Bangsat pengecut...!" Souw Thian Hai makin memaki sambil mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya. Dengan waspada matanya mencari-cari sesuatu di kegelapan yang melingkupi tempat tersebut, siapa tahu orang yang memasang alat peledak itu muncul dengan tiba-tiba. Perlahan-lahan Souw Thian Hai bangkit dengan berpegangan pada ranting-ranting pohon itu, tetapi oleh karena tubuhnya masih terlalu lemah maka badannya yang besar tersebut terjatuh kembali ke atas tanah.

   "Kurang ajar...!" geramnya. Sementara itu tidak jauh dari tempat itu sepasang mata iblis memandang ke arah Souw Thian Hai dengan takjub bercampur marah dan penasaran! Orang itu, yang tidak lain adalah lelaki berkerudung tadi, sungguh merasa heran sekali! Bahan peledak yang sudah mampu merobohkan bangunan rumah tersebut ternyata tidak mampu membunuh Souw Thian Hai! Orang yang sangat dibencinya itu ternyata cuma lecet-lecet saja, padahal bahan peledak yang dia pasang itu telah melemparkannya tinggi-tinggi ke udara.

   "Kalau aku benar-benar ingin membunuhnya, inilah saatnya yang paling tepat! Sebelum ia mampu mengerahkan tenaganya aku harus lekas-lekas menghabisinya..."

   Tiba-tiba bagai kilat cepatnya lelaki berkerudung itu meloncat keluar dari persembunyiannya, lalu menerjang ke arah Souw Thian Hai! Kedua belah lengannya yang telah terisi tenaga dalam penuh itu berkelebat menuju ke arah kepala Souw Thian Hai! Saking cepatnya pukulan tersebut sampai mengeluarkan suara menCicit tajam. Meskipun telah bercuriga dan berwaspada sebelumnya, tapi kemunculan lawannya yang amat tiba-tiba itu tetap mengejutkan Souw Thian Hai! Dan rasa kaget itu disertai pula perasaan khawatir, karena begitu muncul orang itu langsung menyerangnya, padahal tubuhnya belum bisa digerakkan sama sekali. Dengan segala sisa kekuatan yang masih dipunyainya Souw Thian Hai berusaha mengelak!

   "Buuuuk!" Tanah di bawah tubuh Souw Thian Hai berhamburan kemana-mana ketika pukulan lelaki berkerudung itu dapat dielakkan oleh pendekar tersebut. Souw Thian Hai berguling ke kanan dan pukulan lelaki itu lewat hanya beberapa dim saja dari pelipisnya. Lalu pendekar itu mengerahkan lagi kekuatannya untuk merangkak menjauhkan diri. Tapi lawannya tak mau melepaskannya begitu saja. Begitu pukulannya luput, kakinya segera melayang ke samping mengejar korbannya. Dan kali ini Souw Thian Hai tak bisa mengelak lagi! Untunglah sasaran dari tendangan itu hanya pada paha saja, sehingga akibat yang ditimbuIkannya tidak begitu membahayakan jiwa Souw Thian Hai. Meskipun demikian tubuh Souw Thian Hai yang besar itu terlempar jauh dan kemudian menggelinding ke pinggir sungai.

   "Dug!" Souw Thian Hai meringis kesakitan karena punggungnya menabrak belahan batu besar yang runcing.

   Tetapi dengan demikian tubuhnya yang besar itu justru menjadi selamat dari gelombang air sungai di bawahnya, karena batu tersebut ternyata dapat menahan tubuhnya. Tetapi sekali lagi lawannya tak mau kehilangan kesempatan itu. Waktunya tidak banyak, karena sedikit saja Souw Thian Hai itu dapat mengerahkan tenaganya, dia tidak mungkin bisa membunuhnya lagi. Sebaliknya, dia sendiri mungkin yang akan mendapatkan kesukaran. Maka tanpa membuang waktu lagi orang berkerudung itu segera melesat memburu tubuh Souw Thian Hai! Kedua belah tangannya telah memegang sepasang pisau panjang milik Bit -bo-ong yang bersinar dingin kemilau itu, sepasang pisau yang telah terendam dalam getah racun katak api! Di dalam kegelapan malam pisau itu semakin tampak berkilauan bagaikan api yang membara.

   Souw Thian Hai segera menyadari bahwa dirinya dalam bahaya. Sekali saja pisau itu menggores kulitnya, jiwanya tak mungkin dapat ditolong lagi. Kecuali ada orang yang bisa memberikan obat penawarnya, yaitu darah ular saIju. Tapi siapakah yang mempunyai darah ular salju di dunia ini? Kalau ada, mungkin juga sudah tidak keburu lagi, karena siapa saja yang terkena racun katak api itu, nyawanya tak mungkin dapat bertahan lebih dari sepeminuman teh. Rasa takut terhadap racun katak api itu membuat Souw Thian Hai menjadi nekad. Tanpa memikirkan lagi akibatnya pendekar sakti itu memaksakan diri untuk mengerahkan Ang-pek sinkangnya! Sekejap tubuhnya bergetar suatu tanda bahwa urat-urat darahnya yang masih lemah itu belum mampu menampung aliran lweekangnya, dan sesaat kemudian darahnya seolah-olah bergolak dengan hebat.

   Lalu bersamaan dengan kesadarannya yang semakin hilang, kakinya menjejak tanah dibawahnya! Hup! seolah-olah masih ada kekuatan tersembunyi yang belum sempat dikeluarkan, tubuh Souw Thian Hai tiba-tiba melesat ke samping dengan cepatnya. Tapi oleh karena gerakan tersebut hanyalah gerakan asal mengelak saja dan tidak diperhitungkan arah dan tujuannya, maka tubuh itu meluncur ke arah sungai yang deras. Ternyata gerakan Souw Thian Hai yang mendadak itu benar-benar tidak terduga oleh lelaki berkerudung. Ayunan pisau yang mengarah jantung dan leher itu tak satu pun yang mengenai sasarannya. Kedua duanya menghantam batu runcing yang tadi menahan punggung Souw Thian Hai!

   "Traaang!" batu besar itu terbelah menjadi tiga bagian.

   "Keparat busuuk...!" lelaki berkerudung itu mengumpat. Melihat tubuh Souw Thian Hai itu mengapung di atas sungai dan hampir tenggelam, lelaki berkerudung itu cepat melepaskan sisa-sisa kesempatannya dengan melemparkan salah satu dari pisau yang dipegangnya! Dan sekali ini serangannya berhasil mengenai tubuh Souw Thian Hai yang telah pingsan, tepat pada pundaknya!

   "Cuuuus!" Begitu kuatnya lemparan pisau tersebut sehingga menembus kulit dan daging, lalu jatuh ke dalam sungai bersamaan dengan tubuh korbannya! Sebentar saja tubuh Souw Thian Hai lenyap tergulung oleh derasnya arus sungai itu. Lelaki berkerudung itu tertawa puas, kemudian bergegas mencebur ke dalam sungai untuk mengambil pisaunya. Setelah pisau tersebut ia dapatkan, lelaki berkerudung itu keluar dari dalam sungai, kemudian pergi meninggalkan tempat tersebut sambil tertawa panjang.

   "Kini akulah orang paling kuat dan paling sakti di dunia persilatan, ha hahaha!" Malam semakin kelam dan burung-burung malam telah mulai keluar dari sarangnya. Suaranya yang serak terasa menghentak-hentak kesunyian malam, sehingga malam yang naas bagi lembah itu semakin terasa mengerikan. Angin malam yang dingin itu bertiup keras menerobos daun-daun, menimbulkan suara gemerisik yang mencekam jantung.

   Langitpun tampak hitam kelam karena tertutup oleh awan yang tebal, sehingga bulan muda yang seharusnya sudah muncul di atas langit tidak tampak pula karenanya. Sementara itu agak jauh dari lembah itu, seorang gadis cantik berjalan tertatih-tatih antara gelapnya bayang-bayang pohon dan semak-semak lebat yang memenuhi tempat tersebut. Bayangan tubuhnya yang sebentar kelihatan dan sebentar hilang itu bagaikan hantu wanita atau kuntilanak, yang sedang keluar untuk mencari mangsa di antara gelapnya bayang-bayang pohon besar yang hitam-hitam menakutkan itu. Bayangan yang tidak Iain adalah Chu Bwee Hong itu sebentar-sebentar berhenti dan bersandar pada pohon, untuk mencari kekuatan dan menyeka air matanya yang tak pernah berhenti mengalir.

   Kadang-kadang kakinya terantuk batu atau akar pohon yang melintang di depannya, sehingga tubuhnya yang bergoyang-goyang mau roboh itu terjerembab ke atas tanah untuk beberapa saat lamanya. Beberapa ekor serigala hutan mulai tampak mendekati dan mengikutinya. Matanya yang merah itu tampak mencorong di dalam kegelapan, bagaikan mata iblis yang sedang mengintai mangsanya. Sesekali terdengar suara lolongannya yang panjang menguak kesunyian malam, seolah-olah suara hantu yang merintih dalam kepedihan. Dan ketika Chu Bwee Hong yang terlatih-tatih itu terjerembab karena kakinya tersangkut akar pohon, serigala-serigala itu bergegas mendekati dan berputar-putar di sekitarnya. Taringnya yang runcing seolah-olah meneteskan air liur saking laparnya, sementara lidahnya yang panjang itu terjulur keluar dan bergetaran.

   Tapi Chu Bwee Hong yang sedang berduka dan hatinya diliputi oleh kesedihan itu tidak memperdulikan sama sekali pada bahaya yang sedang mengintainya. Begitu hancurnya perasaannya sehingga ia tidak bisa melihat dan memikirkan lagi selain kepedihan dan kesengsaraannya. Bahkan gadis itu sudah tidak memperduIikan lagi keadaan dirinya. Tidak peduli lagi pada jiwanya, mati hidupnya! Dalam hati gadis itu malah lebih suka mati dari pada hidup dalam kekecewaan dan penderitaan-penderitaan seperti itu. Rasanya tiada Iagi artinya hidup ini bagi Chu Bwee Hong, hingga gadis itu seakan-akan justru mempersiapkan diri agar dimakan oleh kawanan srigala buas tersebut! Sementara itu dari arah lembah, muncul pula sesosok bayangan yang berlari menerobos hutan lebat tersebut dengan langkah cepat. Sambil berjalan sesekali terdengar suara tertawanya yang panjang.

   "Kini terlaksana sudah semua rencanaku hahahaha. Selanjutnya aku tinggal mempelajari ilmu warisan Bit-bo-ong ini dengan sungguh-sungguh. Setelah itu aku akan menjadi jago silat nomor satu di dunia dan tak seorangpun yang akan mampu lagi mengalahkan aku..." orang yang tidak lain adalah lelaki berkerudung itu bergumam sendirian sambil tertawa puas. "...Dan rencana selanjutnya adalah merebut Cap Kerajaan yang disimpan oleh keluarga Chin (ayah Chin Yang Kun)! Setelah itu aku akan merebut singgasana yang diduduki oleh Liu Pang itu, hahahaha..."

   Orang itu berjalan sambil membayangkan rencana rencananya yang besar, yang ia yakin akan terlaksana dengan mudah setelah dia bisa mempelajari ilmu sakti warisan Bit-bo-ong itu! Dan tanpa terasa dan disengaja orang itu melangkah mendekati tempat di mana Chu Bwee Hong berbaring dalam kepungan serigala-serigala buas itu. Lelaki berkerudung itu menjadi kaget ketika tiba-tiba banyak serigala hutan yang melintas di depannya! Apalagi ketika lapat-lapat ia mendengar suara lolongan serigala di kejauhan yang seolah-olah sedang memanggil kawan-kawannya.

   "Hah, banyak benar serigala di hutan ini..." lelaki berkerudung itu berbisik seraya mengawasi kawanan serigala yang berlari ke satu arah tanpa mempedulikan dirinya itu.

   "Hmm...agaknya kawan-kawan mereka ada yang menemukan mangsa, dan kini serigala-serigala ini dipanggil untuk ikut berpesta pora..." Tapi lelaki itu tiba-tiba tersentak dan tertegun. Seekor dari kawanan serigala itu, yaitu yang berlari di belakang sendiri, bentuk dan macamnya sedikit berbeda dengan kawan-kawannya yang lain. Meskipun moncong mulut dan ekornya sama dengan serigala lainnya, tetapi bentuk badannya tampak jauh lebih besar serta tidak berbulu lebat seperti kawan-kawannya. Bulunyapun tidak kemerah-merahan seperti serigala-serigala lainnya, tetapi berwarna putih bersih seperti anjing kampung. Dan serigala putih ini tampak berhenti sebentar ketika melihat lelaki berkerudung tersebut, moncongnya yang hitam berkilat itu menyalak beberapa kali sebelum kemudian berlari kembali mengikuti kawan-kawannya.

   "Heran! Itu anjing atau serigala? Mengapa suaranya juga berbeda dengan yang lain?" lelaki berkerudung itu bergumam dengan kening berkerut.

   "Jangan-jangan serigala-serigala ini ada yang..." Belum juga orang itu menyelesaikan perkataannya tiba-tiba sesosok bayangan melesat dari balik semak-semak dan berdiri di depannya. Gerakannya gesit dan ringan bukan main, kakinya hampir-hampir tidak mengeluarkan suara sama sekali ketika mendarat di atas tanah. Lelaki berkerudung itu segera bersiap-siaga. Dicengkeramnya peti pusaka itu erat-erat.

   Melihat ginkangnya, orang yang baru saja tiba itu tentulah seorang tokoh silat berkepandaian amat tinggi. Jangan-jangan orang itu adalah kawan dari Souw Thian Hai yang ingin merebut kembali peti yang dibawanya. Sementara itu orang yang baru saja datang tersebut tampak terheran-heran pula begitu melihat lelaki berkerudung itu. Untuk beberapa saat lamanya dia hanya mengawasi topi dan kerudung yang dipakai oleh lelaki berkerudung itu. Alis matanya yang telah bercampur uban itu berkerut, seakan-akan ingin menjajagi, siapa sebenarnya lelaki bertopeng di depannya ini. Mulutnya yang hampir tidak kelihatan karena tertutup oleh kumis dan jenggot yang lebat itu juga terkatup rapat, sementara badannya yang gendut itu tampak bergetaran seperti sedang menggigil kedinginan.

   "Hmm, siapakah tuan? Mengapa menghadang langkahku?" akhirnya lelaki berkerudung itu mendahului bertanya.

   "Eh...ohhh!" orang tua berbadan gemuk itu tergagap, kemudian bernapas lega sekali.

   "Maaf...maaf, maafkanlah Lohu kalau kedatanganku ini mengagetkan sicu. Sebenarnya...sebenarnya lohu sendiri juga kaget melihat pakaian yang sicu kenakan. Hampir terbang semangat lohu tadi...Ah, sungguh memalukan sekali, setua ini masih juga takut akan hantu." orang tua itu melanjutkan keterangannya. Lelaki berkerudung itu tersenyum di balik kain kerudungnya.

   "Ah...tuan ini ada-ada saja. siauwte cuma seorang manusia juga seperti tuan, hanya siauwte harus menutup mukaku ini karena...karena muka ini lebih menakutkan dari pada hantu!"

   "Hah?!?" Lelaki berkerudung itu tertawa perlahan.

   "Sudahlah, tuan...Siauwte hendak meneruskan perjalanan."

   "Hee...anu...sebentar dulu!" orang tua berbadan gemuk itu mencegah. Suara tertawa itu hilang dengan tiba-tiba.

   "A-apa maksud tuan...?" Lelaki berkerudung itu bertanya dengan kaku.

   "Ah, tidak apa-apa...Sicu jangan salah paham! Lohu hanya ingin menanyakan sesuatu kepada sicu..."

   "Tuan ingin bertanya tentang apa?"

   "Ah, kedatangan lohu kemari ini cuma ingin mencari anjingku yang hilang. Yaitu seekor anjing besar berbulu putih. Apakah sicu pernah melihat dia?"

   "Anjing putih yang moncong dan ekornya seperti moncong dan ekor serigala hutan?"

   "Benar! Benar! Adakah sicu melihatnya?" orang tua itu memekik gembira.

   "Hmm, kulihat tadi ia bersama-sama dengan kawanan serigala buas ke arah sana!" Ielaki berkerudung itu menunjuk ke kanan.

   Jilid 26
"Terima kasih...terima kasih!" orang tua itu mengangguk-angguk, lalu mukanya mendongak ke atas dan bersiul nyaring. "Tai-si-ong...!" serunya tak begitu keras.

   "Apakah Song Cu-si (Pengurus Perkumpulan she Song) telah menemukan anjing itu?" tiba-tiba terdengar suara halus di belakang mereka. Lelaki berkerudung itu membalikkan badannya dengan cepat, dan hatinya segera menjadi berdebar-debar! Hanya setombak jauhnya dari tempat ia berdiri tampak seorang kakek tinggi tegap mengenakan kain lebar berwarna kuning seperti pendeta.

   Tapi bukannya wajah kakek yang berwibawa itu yang membuat hati Ielaki berkerudung tersebut menjadi berdebar-debar, tetapi kedatangannya yang sangat mendadak dan tanpa menimbulkan suara itulah yang amat mengejutkannya. Kakek itu seperti hantu yang muncul begitu saja dari dalam tanah! Lelaki berkerudung itu mulai mengkhawatirkan peti pusakanya. Dua orang asing yang berada didepannya ini tampaknya mempunyai kesaktian di atas dirinya, sehingga kalau kedua orang itu memang berniat untuk merebut peti pusakanya, dia takkan mungkin bisa mempertahankannya. Jangankan harus melawan mereka semuanya, untuk melawan seorang saja di antara mereka dia mungkin takkan mampu melakukannya.

   Seperti halnya orang tua berbadan gemuk tadi, kakek yang baru saja muncul itu juga tertegun melihat topi dan kain yang menutupi wajah Ielaki berkerudung tersebut. Hanya perasaan kagetnya itu bukan disebabkan oleh ketakutan hatinya terhadap hantu tetapi justru disebabkan oleh perasaan aneh dan curiganya yang besar. Apalagi kedatangannya ke tempat ini juga bukan atas prakarsanya sendiri tetapi atas undangan seseorang yang menamakan dirinya Sang Putera Mahkota. Oleh karena kakek itu belum pernah mengenal Sang Putera Mahkota tersebut, maka hatinya segera menjadi curiga terhadap lelaki berkerudung di depannya itu. Jangan-jangan orang itulah yang mengundang dirinya dan menyebut nama Sang Putera Mahkota sebagai nama samarannya. Sementara itu orang tua berbadan gemuk itu segera memberi hormat kepada kakek gagah tersebut.

   "Tai-si-ong (Kepala Kuil Agung), saudara ini memberitahukan kepada kita bahwa anjing putih itu menuju ke arah sana. Katanya anjing itu sedang mengikuti kawanan serigala..." Kakek gagah itu menatap Ielaki berkerudung itu sekali lagi, lalu mengangguk memberi hormat.

   "Terima kasih atas bantuan sicu..." katanya dengan suara berat. "...Hem, bolehkah lohu mengenal nama sicu yang mulia?" Lelaki berkerudung itu tidak bisa menjawab dengan segera.Sejak ia menutupi wajahnya dengan topi dan kain hitam itu ia memang bermaksud merahasiakan siapa dirinya. la tak ingin seorangpun mengenal namanya. Oleh karena itu sekarangpun ia tak ingin menyebutkan namanya. Cuma ia harus berhati-hati mengatakannya agar kedua orang lihai itu tidak menjadi tersinggung hatinya. Apalagi dua orang itu tampaknya tokoh-tokoh dari sebuah perkumpulan atau aliran yang besar.

   "Maaf, jiwi Lo-Cianpwe...Siauwte belum bisa memperkenalkan diri di hadapan jiwi sekarang, karena siauwte kini harus mengemban sebuah tugas penting dan rahasia..."

   "Rahasia? Apakah sicu ini utusan dari orang yang menyebut dirinya Sang Putera Mahkota?" kakek gagah yang dipanggil Tai-si-ong itu mendesak.

   "Sang Putera Mahkota...? Siapa dia? Apa maksud Lo-Cianpwe...?" lelaki berkerudung itu berseru tak mengerti. Benar-benar tak mengerti! Kakek gagah itu mengerutkan keningnya, hatinya menjadi bingung. Tampaknya orang berkerudung itu benar-benar tak ada hubungannya dengan orang yang mengundangnya itu. Lalu siapakah orang ini? Mengapa gerak-geriknya mencurigakan benar?

   "Ah, tidak...tidak! Lohu cuma bertanya sambil lalu saja..." akhirnya kakek itu tergagap. Lelaki berkerudung itu termangu-mangu beberapa saat lamanya, agaknya juga berpikir tentang Sang Putera Mahkota itu. Tapi sejenak kemudian orang itu segera menjadi sadar, sehingga dengan tergesa-gesa dia meminta diri kepada orang tua gagah tersebut.

   "Kalau...kalau begitu siauwte minta diri dahulu untuk meneruskan perjalanan."

   "Baiklah, silahkan...! Sekali lagi Terima kasih atas petunjuk sicu..." kakek gagah yang tidak lain adalah ketua Im-yang-kauw itu terpaksa melepaskan. Sekejap matanya yang mencorong dalam kegelapan itu melirik ke arah peti pusaka yang dibawa oleh orang berkerudung itu dengan perasaan curiga. Tapi oleh karena tidak ada masalah yang mesti dipersoalkan lagi maka kakek gagah itu juga tak ingin berurusan lebih lanjut. Lelaki berkerudung itu menghela napas lega, kemudian cepat-cepat meninggalkan tempat itu.

   "Wah, sungguh amat berbahaya..." desahnya di dalam hati. Sepeninggal orang itu Tai-si-ong dan Pangcu-si Song Kang (Pengurus Perkumpulan) saling memandang dengan dahi berkerut.

   "Apa pendapat Tai-si-ong tentang orang aneh itu?" Song Cu-si bertanya kepada ketuanya.

   "Agaknya dia baru saja melakukan sesuatu urusan yang sangat penting dan rahasia. Tetapi urusan apakah itu, lohu tak bisa menerkanya. Tadi lohu malah mencurigai dia sebagai orang yang telah mengirimkan undangan kepada aliran kita, tapi setelah kutanyakan ternyata bukan. Dia malah seperti tidak tahu menahu tentang Sang Putera Mahkota itu. Hmmm, tapi entahlah kalau dia berbohong." Ketua aliran Im-yang-kauw itu memberikan pendapatnya.

   "Gerak-geriknya mencurigakan benar...memakai penutup kepala, membawa peti besar...hmm, seperti pencuri saja!" Song Kang juga memberikan pendapatnya.

   "Apa sih isi peti itu?" Tai-si-ong tersenyum geli.

   "Ah, Song Cu-si ini sungguh aneh. Mana dapat kita mengetahui isinya? Bukankah peti itu selalu didekapnya dan tidak pernah dibuka di depan kita? Hahaha...kalau Lojin-ong ada di sini kita bisa meminta tolong kepadanya untuk menerka isi peti itu dengan ilmu Lin-cui Sui-hoatnya."

   "Ah!" Song Kang Cu-si tersenyum pula dengan tersipu-sipu.

   "Sudahlah, mari kita mengejar anjing putih itu! Jangan sampai kita kehilangan arah lagi." Mereka lalu melesat pergi ke arah kanan seperti yang ditunjukkan oleh orang berkerudung itu. Mereka berkelebat dengan cepat mengerahkan ilmu meringankan tubuh mereka agar supaya tidak kehilangan jejak anjing putih itu lagi. Tanpa anjing putih tersebut mereka tak mungkin bisa menemukan tempat tinggal Sang Putera Mahkota, sebab dalam surat undangan yang mereka peroleh telah disebutkan bahwa mereka harus mengikuti seekor anjing berbulu putih apabila telah berada di dalam hutan itu.

   Kedua orang tokoh puncak aliran Im-yang-kauw itu benar benar tidak mengetahui bahwa bersamaan dengan langkah mereka itu si anjing putih telah tiba di tempat Chu Bwee Hong berbaring, dan kini anjing putih itu bersama kawan-kawannya sedang bertempur dengan seru melawan kawanan serigala yang mengganggu gadis tersebut. Melihat Chu Bwee Hong jatuh dan tidak bangkit atau bergerak lagi, kawanan serigala yang sejak tadi telah mengincarnya segera menjadi buas! Mereka saling berdesakan dan rebut dahulu untuk segera menghunjamkan taring mereka masing-masing. Seekor serigala yang bertubuh lebih besar dari pada kawan-kawannya tampak meloncat mendahului, kemudian menggigit kain yang dikenakan oleh Chu Bwee Hong dan menarik-nariknya.

   Serigala yang lain segera menyerbu pula mengikuti serigala tersebut. apalagi ketika tampak oleh mereka mangsa itu diam saja tak bergerak ataupun mempertahankan diri. Mereka mencakar, menggigit, mencabik dan menarik-narik, sehingga tubuh Chu Bwee Hong yang halus lembut itu kini mulai terluka dan mengeluarkan darah! Meskipun begitu gadis itu tetap berdiam diri dan tidak berusaha melawan atau mempertahankan diri sama sekali. Gadis itu seperti telah mematikan perasaannya! Sebentar saja gadis itu tentu akan mengalami peristiwa yang sangat mengerikan apabila tiba-tiba tidak datang sekawanan serigala lain yang dipimpin oleh anjing besar berbulu putih!

   Anjing besar berbulu putih yang tadi dilihat oleh orang berkerudung itu begitu datang langsung mengajak kawan-kawannya untuk menyerang serigala-serigala yang mengeroyok Chu Bwee Hong tersebut! Mereka segera terlibat dalam pertempuran yang dahsyat dan menggiriskan. Mereka bertempur dengan kasar dan tak beraturan, asal menyerang dan menggigit saja lawan yang berada di dekatnya. Dan semakin banyak darah yang menetes semakin buaslah mereka! Mereka bertempur dengan hiruk-pikuk! Mereka menyalak, menguik, menggonggong dan melolong! Suaranya keras menggetarkan hutan! Dan hiruk-pikuk itu ternyata sampai juga ke telinga dua orang lelaki yang pada saat itu sedang menerobos hutan itu pula dari arah timur.

   Kedua orang lelaki itu terdiri dari seorang kakek tua berusia enam puluhan tahun dan seorang lelaki muda berumur tiga puluhan tahun lebih sedikit. Mereka berdua melesat dengan cepat menerobos lebatnya daun dan pepohonan yang tumbuh dengan rapat di dalam hutan itu, bagaikan dua ekor belalang malam yang terbang berlompatan di antara dahan. Dan dilihat dari cara mereka bergerak yang enteng dan gesit Iuar biasa itu dapat diduga kalau mereka adalah dua orang jago silat berkepandaian tinggi pula, seperti halnya kedua tokoh lm-yang-kauw tadi. Sebenarnyalah, kedua orang lelaki itu memang bukan tokoh sembarangan di dunia persilatan! Si kakek yang rambut kepalanya sudah penuh uban itu tidak lain adalah Put-ceng-li Lojin, ketua Aliran Bing-kauw yang amat terkenal.

   Sama terkenalnya dengan ketua lm-yang-kauw maupun Mo-kauw! Sedangkan lelaki muda yang berjalan di belakangnya itu tidak lain adalah muridnya sendiri, Put-sim-sian Si Dewa Tak Berperasaan! Lelaki muda ini juga tidak kalah terkenalnya dan pada Put-ceng-li Lojin,karena sebagai murid pertama dari ketua Aliran Bing-kauw dia sudah menyerap seluruh ilmu kepandaian gurunya yang hebat. Seperti halnya kedua orang tokoh Im-yang-kauw tadi, kedatangan mereka berdua di hutan itu juga bermaksud untuk memenuhi undangan Sang Putera Mahkota yang sangat misterius itu. Sama juga dengan Tai-si-ong dari Im-yang-kauw. Put-ceng-li Lojin juga menerima sepucuk surat undangan dari orang yang menyebut dirinya Sang Putera Mahkota beberapa hari yang lalu!

   "Hah, itu dia...! Keparat benar anjing itu! Baru sekarang dia muncul." Put-ceng Ii Lojin bersorak gembira sambil memasang telinganya.

   "Tapi banyak benar suaranya, jangan-jangan itu bukan suara anjing yang kita cari tapi suara...kawanan serigala!" Put-sim-sian menyahut dengan suara ragu.

   "Alaaa...apa bedanya serigala dan anjing dalam urusan kita ini? Asalkan dia berbulu putih...itulah yang kita ikuti!" Put-ceng-li Lojin berkata keras.

   "Ayoh...!" Put-sim-sian mengangguk, kemudian meloncat ke depan mendahului gurunya. Put-ceng-li Lojin segera mengejarnya pula, sehingga kedua orang guru dan murid itu seperti mau berlomba agar bisa tiba lebih dahulu di tempat hiruk-pikuk tersebut. Sekejap saja mereka telah sampai. Dan kedatangan mereka itu benar-benar tepat pada waktunya! Mereka melihat dua kelompok serigala sedang bertempur dengan seru. Tapi kelompok pertama, yang dipimpin oleh seekor serigala berbulu putih, kelihatan terdesak dengan hebat! Jumlah mereka yang tampak lebih sedikit dari pada lawan mereka itu semakin lama semakin berkurang juga. Satu persatu tewas dikeroyok oleh Iawan-lawannya. Sehingga ketika Put-ceng-li Lojin dan muridnya datang, anjing atau serigala putih itu terpaksa harus melayani keroyokan delapan atau sepuluh ekor lawannya.

   "Suhu. lihat...Ada dua kelompok serigala sedang berkelahi!" begitu datang Putsim-sian berseru. "...Dan seekor diantaranya berbulu putih!"

   "Hei, benar...! lblis laknat, agaknya memang serigala itulah yang dimaksudkan oleh orang yang menamakan dirinya Sang Putera Mahkota itu!" Put-ceng-li Lojin ternganga.

   "Suhu!" tiba-tiba Put-Sim-sian berteriak keras sekali. "Di sana ada sesosok mayat!"

   "Heh? Apa katamu...? Ohhh...benar!" Sekali lagi dua orang guru dan murid itu seakan berlomba menghampiri "mayat" Chu Bwee Hong! Dan mereka segera menjadi terbelalak begitu melihat tubuh seorang gadis cantik, tergolek dengan kelopak mata terbuka, serta kulit dan pakaian terkoyak-koyak oleh taring serigala.

   "Suhu, dia masih hidup..." Put-sim-sian berbisik.

   "Ya! Kelihatannya dia tertotok lumpuh sehingga tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Untunglah serigala-serigala itu belum sempat menghancur-luluhkan kulit dan dagingnya." Put-ceng Ii Lojin berjongkok, kemudian memeriksa denyut nadi dan pernapasan Chu Bwee Hong. Tapi ketua Aliran Bingkauw itu cepat melepaskan lengan Chu Bwee Hong kembali!

   "Ada apa, suhu?" Put-sim-sian bertanya kaget. Put-ceng li Lojin tidak segera menjawab. Keningnya yang lebar itu berkerut-kerut, sementara kedua telapak tangannya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Beberapa kali orang tua itu mengawasi wajah Chu Bwee Hong yang pucat, kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya.

   "Sungguh aneh...!" gumamnya tak jelas. Tentu saja Put-sim-sian semakin bingung dan tak mengerti.

   "Suhu...?" Tiba-tiba ketua Aliran Bing-kauw itu tersentak bagaikan disengat lebah, sehingga Put-sim-sian yang berada di belakangnya ikut-ikutan melompat ke samping dengan sigapnya. Murid yang telah mendapatkan hampir semua dari ilmu gurunya itu tampak berdiri dengan siap-siaga, seolah-olah sedang menghadapi situasi yang amat gawat! Tanpa mempedulikan sikap muridnya Put-ceng-Ii Lojin berkata gagap, seakan-akan baru saja menyaksikan suatu hal yang sangat menggoncangkan batinnya.

   "Put-sim-sian! Gadis...gadis ini agaknya memang berniat untuk bunuh diri!"

   "Hah? Maksud suhu?"

   "Gadis ini tidak mengalami cedera sama sekali! Maksudku...dia tidak tertotok atau pun terluka dalam seperti dugaan kita. Dia sebenarnya bisa bergerak dan melawan serigala-serigala itu kalau mau..."

   "Jadi...?!?"

   "Gadis ini tampaknya baru saja mengalami pukulan batin yang amat hebat, sehingga ia menjadi putus-asa dan berniat...bunuh diri!" Put-ceng li Lojin menerangkan hasil pemeriksaannya.

   "Maksud suhu gadis itu telah mematikan seluruh perasaannya dan membiarkan dirinya digigit serta dicabik-cabik oleh serigala-serigala buas itu?"

   "Benar! Sebenarnya ia mampu membunuh semua serigala itu kalau mau, sebab hanya orang yang mempunyai kepandaian tinggi bisa benar-benar mematikan perasaannya seperti ini. Lihatlah, sekarangpun dia tak melihat kedatangan kita...padahal matanya terbuka!" Put-sim-sian mengerahkan Iweekangnya, agar dapat melihat lebih jelas di dalam kegelapan malam. Tampak olehnya gadis itu bernapas dengan teratur, sementara bola matanya yang bulat lebar itu menatap kosong ke depan tanpa bergoyah sama sekali.

   "Lalu apa yang mesti kita kerjakan?" Put-Sim-sian bertanya seraya mendekat.

   "Kita membagi tugas. kau selamatkanlah serigala putih itu dan bunuh saja yang lain-lainnya bila mereka tak mau melarikan diri! Aku akan mengobati gadis ini..."

   "Baik!" Put-sim-sian menggeram, lalu dikerahkannya seluruh tenaga dalamnya. Jago muda dari Aliran Bing-kauw itu tak ingin bertele-tele dalam melakukan tugasnya.

   Ia ingin membereskan kawanan serigala itu dalam sekali gebrak. Mula-mula tokoh muda itu menghantam ke arah serigala serigala yang mengeroyok anjing putih tersebut. Serangkum angin yang amat kuat terasa menghembus ke depan dan menerjang ke arah kawanan serigala yang mengeroyok anjing putih itu. Sekejap saja ke delapan ekor serigala itu terlempar dari arena. Mereka jatuh tunggang langgang, lalu melarikan diri. Hanya anjing putih itu saja yang tetap tinggal berdiam diri di tempatnya. Melihat kawan-kawannya melarikan diri, kawanan serigala yang lain segera mengikuti pula. Kini di dalam arena itu hanya tinggal si anjing putih saja, karena semua lawan dan kawannya telah pergi meninggalkan tempat itu. Mereka kaget dan ketakutan melihat kehebatan pukulan Put-sim-sian!

   "Aku telah mengusir mereka, suhu. Bagaimana dengan gadis itu?" Put-ceng-li Lojin menghela napas dan menggeleng gelengkan kepalanya. Wajahnya sedikit murung karena belum bisa menyadarkan Chu Bwee Hong yang telah mematikan seluruh perasaannya itu.

   "Gadis ini benar-benar telah bersiap untuk mati. Seluruh panca-inderanya telah ditutupnya, sehingga lohu mendapatkan kesukaran untuk menyadarkannya kembali.Untuk membukanya lagi, kita harus sabar dan telaten. Lebih dahulu kita harus membangunkan hati dan perasaannya, agar supaya semangat hidupnya kembali berada di dalam getaran darahnya. Untuk itu kita harus selalu menjaga kelancaran peredaran darahnya, agar supaya jiwanya benar-benar tidak padam."

   "Lalu...apa yang hendak suhu lakukan?" Put-ceng-li Lojin terdiam untuk beberapa saat lamanya. Kelihatannya orang tua itu berpikir sebentar sebelum mengatakan keputusannya.

   "Gadis ini akan lohu bawa pulang," akhirnya orang tua itu berkata. "Lohu menjadi sangat tertarik untuk mengetahui sebab musababnya, kenapa dia sampai menjadi begini..."

   "Oh...?" Put-sim sian berdesah. "...Tetapi bagaimana dengan maksud kita untuk menghadiri undangan itu? Apakah suhu hendak membawanya juga ke sana?"

   "Memangnya kenapa? Apakah itu tidak boleh?" Put-ceng li Lojin menoleh ke arah muridnya.

   "Huh! Iblis laknat...! Apa pedulimu jika lohu ingin membawa kucing, monyet atau kerbau ke tempat mereka? Lohu mau datang itu sudah untung bagi mereka. Setiap saatpun suhumu ini bisa saja membatalkan niatnya untuk menemui mereka bila badut yang menyebut dirinya Sang Putera Mahkota itu bertingkah..." Put-sim-sian tertunduk, ia tidak berani menatap wajah gurunya. Lelaki muda ini sungguh menyesal sekali telah menyinggung perasaan gurunya. Ia benar-benar telah lupa bahwa gurunya itu adalah orang yang paling tidak suka pada segala macam aturan atau kebiasaan yang mengikat kebebasannya.

   "Maafkan aku, suhu..." Put-sim-sian meminta maaf.

   "Hei? Mengapakah kau ini?" Put-ceng li Lojin tersentak, wajahnya semakin tampak gelap, sehingga sekali lagi Put-sim-sian menyadari kesalahannya. Tak seharusnya ia bersikap demikian canggung di hadapan gurunya. Gurunya itu paling tidak suka disanjung mau pun dihormati seperti guru-guru lain di dunia ini. Di dalam aliran mereka Put-ceng-li Lojin selalu bersikap bebas dan tak pernah menuntut perlakuan istimewa dari anggota perkumpulannya. Dari para muridnyapun tidak! Mereka biasa bersikap seperti teman akrab dari pada sebagai guru dan murid!

   "Baiklah! Kalau begitu...marilah kita berangkat sekarang!" akhirnya Put-sim-sian menemukan kembali adat kebiasaannya. Sekali menghentak tanah tubuhnya telah melayang ke depan mendahului suhunya. Anjing putih itu menyalak dan mengikutinya dari belakang.

   "Hai, bangsaaaat! kau bawalah gadis ini! Masakan suhumu yang harus menggendongnya?" Put-ceng-li Lojin berteriak.

   "Nanti sajalah bergantian, suhu! Sekarang suhu saja dahulu yang membawanya! Aku masih lelah karena baru saja bertempur melawan serigala-serigala tadi...!" dari jauh Put sim-sian berteriak menjawab.

   "Keparat! Iblis laknat...! Murid goblog!" Put-ceng-li Lojin menggerutu, dan mengumpat-umpat. Terpaksa dengan perasaan enggan orang tua itu mengangkat tubuh Chu Bwee Hong dan kemudian menaruhnya di atas pundaknya.

   "Bangsat, berat nian...!" keluhnya lagi. Dengan beban yang berat di atas pundaknya ketua Aliran Bing-kauw itu melangkah dengan cepat mengejar muridnya. Meski pun beberapa kali terdengar mulutnya mengumpat dan menggerutu, tapi langkah kakinya ternyata cepat bukan main. Dilihat dari kejauhan tubuhnya yang agak bungkuk itu seperti seekor burung yang terbang rendah di atas tanah, cepat dan gesit. Tetapi belum juga seratus langkah orang tua itu berlari, tiba-tiba langkahnya berhenti. Sambil membetulkan letak tubuh Chu Bwee Hong orang tua itu melirik ke kanan dan ke kiri. Sepasang matanya yang tajam mencorong itu seolah-olah dapat menembus rimbunnya semak-perdu di sekelilingnya.

   "Siapakah di situ...?" sapanya tiba-tiba. Terdengar desir langkah kaki seseorang di balik semak semak sebelah kiri orang tua itu. Kemudian seorang kakek tua berbadan tegap dan seorang kakek gemuk berkepala besar tampak keluar dari kegelapan. Kedua orang yang tidak lain adalah Tai-si-ong dan Pangcu-si Song Kang itu segera memberi hormat kepada Put-ceng-li Lojin.

   "Selamat berjumpa, Bing-Kauwcu (Ketua Aliran Bingkauw)! Sungguh tak terduga kita bisa saling berjumpa di tempat ini. Angin apakah yang meniup Bing-Kauwcu hingga malam-malam begini sampai datang ke hutan ini?" Tai-si-ong dari Im-yang-kauw itu menyapa lebih dulu untuk menghilangkan kekagetan hatinya melihat ketajaman panca indera Put-ceng-li Lojin.

   "Hei! Tai si-ong dan Pangcu-si Song Kang rupanya...!Selamat bertemu! Selamat bertemu!" Put-ceng-li Lojin yang tidak menyangka akan berjumpa dengan ketua Aliran Im-yang-kauw itu membalas pula dengan hangatnya.

   "Bagaimana khabarnya? Baik bukan?"

   "Terima kasih! Kami semua sehat-sehat saja selama ini..." Pangcu-si lekas-lekas menjawab.

   "Hahaha...Tai-si ong...Song Cu-si, hampir saja lohu tidak mengenal kalian Iagi. Habis sudah lama benar kita tak saling bertemu...eh, sejak pibu besar itu, bukan...?" Put-ceng-li Lojin yang tak pernah peduli akan perasaan orang lain itu tertawa gembira. Padahal kata-katanya yang ceplas-ceplos tentang pibu besar itu membuat kedua tokoh Im-yang-kauw tersebut menjadi kikuk dan tak enak hati. Mereka seperti diingatkan kembali pada masa-masa kacau dan pertempuran besar di antara kedua aliran mereka beberapa tahun yang lalu. Sebuah pertempuran yang melibatkan pula diri mereka masing-masing!

   "Benar...benar!" Pangcu-si Song Kang terpaksa menjawab pula dengan mulut meringis. "...Malah...malah pada perjumpaan kita yang terakhir, Bing-Kauwcu hampir saja bertempur dengan aku..."

   "Bertempur? Eh, benar...benar, Song Cu-si benar.Sayang pada saat itu suhengku Put-chien-kang Cin-jin mencegahnya. Buset. Kalau tidak...heheh, salah satu dari kita tentu tidak akan bisa menikmati hidup sampai hari ini, hahahaha..." Song Kang mengerutkan keningnya. Ditatapnya wajah ketua Bing-kauw yang sedang tertawa gembira itu lekat-lekat. Diperhatikannya dengan seksama kalau-kalau ketua Bingkauw bermaksud menyinggung perasaannya. Tapi serentak dilihatnya orang tua itu tertawa lepas tanpa bermaksud apa apa, iapun segera tertawa pula mengikutinya.

   "Ah, misalkan pertempuran itu tetap berlangsung juga...bisa dipastikan akulah yang tidak akan bisa hidup sampai hari ini," katanya merendah.

   "Hei, belum tentu! belum tentu!" Put-ceng li Lojin cepat-cepat menukas. "Di dalam Aliran Bing-kauw kepandaianku memang tak ada yang bisa melawan. Tapi kesaktian Song Cusi sendiri tentu juga luar biasa hebatnya! Bila tidak demikian, masakan Song Cu-si dipilih menjadi Pangcu-si Im-yang-kauw segala..."

   "Ya...tapi semuanya itu bila dibandingkan dengan kesaktian Bing-Kauwcu akan tidak ada artinya lagi." Song Kang tetap merendahkan diri.

   "Wah, siapa bilang? Kita masing-masing mempunyai keistimewaan dan kelebihan sendiri-sendiri dalam ilmu silat.Kita tidak bisa mengatakan, siapa yang lebih baik dan siapa yang lebih jelek, sebelum keduanya diadu satu sama lain..."

   "Ya, tapi..."

   "Wah, Song Cu-si ini sungguh menjengkelkan benar!Masakan ilmu silat milik diri sendiri malah dipandang rendah dan diremehkan begitu.Sungguh tidak baik! Bukankah demikian, Tai-si-ong...?" Put-ceng-Ii Lojin penasaran.

   "Memang!" ketua Aliran lm yang-kauw itu terpaksa mengangguk mengiyakan.

   "Nah, itu lihat...! Apa kataku? Tapi kalau Song Cu-si masih tetap juga tak percaya, boleh kita mengadunya saja sekarang..." Put-ceng li Lojin yang selalu berbicara ceplas-ceplos itu menantang dengan enaknya, seolah-olah pertempuran mengadu nyawa itu hanya merupakan sebuah permainan ringan yang tak membahayakan jiwanya.

   
Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tantangan halus itu sungguh sangat mengagetkan dan tidak diduga sama sekali oleh kedua tokoh lm-yang-kauw tersebut. Terutama Pangcu-si Song Kang yang langsung menerima tantangan itu! Tapi kekagetan mereka itu bukanlah disebabkan karena mereka takut dan segan terhadap ilmu kepandaian Put-ceng-li Lojin. Bukan! Mereka sama sekali tidak takut atau gentar menghadapi ketua Aliran Bing-kauw tersebut. Yang mereka takutkan adalah akibat dari pertempuran itu! Siapapun pihak yang kalah dalam perkelahian nanti tentu akan membawa dendam di dalam hatinya. Dan hal itu sungguh berbahaya sekali! Baik Put-ceng-li Lojin maupun Tai-si-ong adalah ketua dari sebuah aliran yang amat besar dan ternama.

   Dendam di dalam hati mereka tentu akan berakibat buruk pada kedamaian dan ketenteraman masyarakat umum seperti juga yang pernah terjadi beberapa tahun yang lalu. Oleh karena itu tantangan tersebut sungguh amat mengagetkan kedua tokoh Im-yang-kauw tersebut. Kaget, karena tantangan itu justru keluar dari mulut Put ceng li Lojin, ketua Aliran Bing-kauw yang besar itu. Pangcu-si Song Kang dan Tai-si-ong saIing pandang dengan wajah tegang. Mereka menjadi serba salah. Melayani tantangan itu berarti mereka menyulut api pertentangan yang selama ini telah dapat didamaikan dengan susah payah oleh bekas-bekas pimpinan mereka. Tapi kalau mereka tidak mau melayani tantangan tersebut, mereka akan kehilangan harga diri mereka di mata orang lain. Mereka akan dicap sebagai penakut dan pengecut!

   "Ahh, Bing-Kauwcu ini suka benar berkelakar..." Tai-siong masih juga tersenyum untuk mendinginkan suasana yang sangat berbahaya itu. Tapi Put-ceng-li Lojin seperti tak melihatnya. Tokoh yang selalu menurutkan selera hatinya sendiri itu malah meletakkan tubuh Chu Bwee Hong di tempat yang bersih dan aman, lalu berdiri mempersiapkan diri untuk bertarung.

   "Lohu tidak berkelakar..." katanya meyakinkan. "Lohu malah ingin membuktikan kepada Song Cu-si, bahwa ilmu silat itu harus diadu lebih dahulu untuk membuktikan kalah menangnya." Tiada pilihan lagi bagi Song Kang selain melayani tantangan itu.

   "Baiklah..." akhirnya pengurus perkumpulan dari aliran Im-yang-kauw itu mengangguk.

   "Bing-Kauwcu akan kulayani. Marilah...!" Tai-si-ong terpaksa tak bisa mencegahnya lagi. Dengan perasaan berdebar-debar dia melangkah mundur, serta membiarkan kedua jago silat berkepandaian tinggi itu saling berhadapan. Dilihatnya Song Kang membuka pakaian luarnya yang lebar, sementara Put-ceng li Lojin menantinya di tengah-tengah arena.

   "Bing-Kauwcu, maafkan...!" tiba-tiba Pangcu-si Song Kang mendahului menyerang. Pakaian luarnya yang lebar itu diayunkan depan, tertebar bagaikan selembar jala ke arah kepala Put-ceng li Lojin.

   "Thian-kuan-pi-tee (Langit Menutupi Bumi)..." Tai-si-ong berdesah melihat jurus yang dipergunakan oleh pembantunya itu. Thian-kuan-pi-tee adalah jurus pembuka dari Im-hongciang, sebuah dari ilmu silat andalan Im-yang-kauw. Ilmu silat ini sangat mengandalkan Iweekang yang tinggi dan dapat dimainkan dengan senjata apa saja, terutama dengan benda benda yang sifatnya lentur atau lemas. Dan seperti halnya ilmu silat Aliran Im-yang-kauw lainnya, ilmu silat Im-hong-ciang ini juga mempunyai ciri khas yang sama yaitu gerakan-gerakannya amat halus dan rumit serta kaya akan gerak-gerak tipuan. Maka untuk mempelajarinya dengan sempurna tiap anggota Im-yang-kauw terpaksa menekuninya selama bertahun-tahun.

   "Setan belang! Hei, Song Cu-si...! Lohu berani bertaruh, ilmu silat yang kau pergunakan ini tentu ilmu Silat Im-hong-ciang yang sangat terkenal itu! Betul tidak?" sambil mengelak Put-ceng-li Lojin berteriak. Kakek tua ini mengelak dengan cara yang sangat unik. Mula-mula orang tua ini berjongkok dengan cepat, setelah itu meloncat ke samping seperti seekor katak melompat. Gagal menjaring tubuh lawannya Song Kang tidak meneruskan serangannya. Orang tua yang lihai itu berdiri diam saja di tempatnya seraya menggulung "jaringnya." Diam-diam hatinya memuji ketajaman mata Put-ceng-li Lojin, bisa mengenal ilmu silat yang ia keluarkan, meskipun baru melihat satu jurus saja. Dan hal itu berarti dia harus lebih berhati-hati lagi menghadapi ketua Bing-kauw itu.

   "Dan aku juga berani bertaruh pula bahwa lompatan yang Kauwcu lakukan tadi tentu bahagian dari ilmu Chuo-mo-ciang itu, bukan?" katanya pula agar tidak kalah gertak,padahal ia cuma menduga-duga saja.

   "Hahaha-hehe...!?" Put-ceng-li Lojin yang memang telah mempersiapkan Chuo-mo-ciang itu mulai kumat sintingnya. Tubuhnya yang agak bungkuk itu masih tetap berjongkok, sementara matanya yang kecil itu mulai kocak melirik kesana kemari,

   "Hehehe...setan belang! Setan Laut! Setan Neraka! Setan...heh, pokoknya segala setan bau busuk,hehehehe...! Ternyata Song Cu-si sudah mengenal pula ilmu setanku (Chuo-mo-ciang berarti Ilmu Menangkap Setan)..." Selesai berbicara Put-ceng li Lojin meloncat ke atas, menubruk ke arah lawannya! Gayanya meloncat masih tetap seperti tadi, yaitu dengan punggung membungkuk dan lutut ditekuk menempel perut. Cuma sekarang, sambil meloncat tubuh itu berputar-putar di udara. Persis seperti seorang pemain akrobat yang berjungkir-balik di udara. Dan sambil meloncat orang tua itu mulai berceloteh tidak karuan.

   "Song Cu-si, coba kau tebak nama dari jurusku ini..." katanya dengan nada bergurau.

   "Tidak tahu, bukan? Nah, dengarlah ceritaku...!" Tapi sebelum cerita itu sempat keluar dari mulutnya,serangannya ternyata telah lebih dulu sampai di tempat Song Kang.

   Sepasang kaki dan tangannya tampak mencuat keluar bergantian, mencakar dan menendang bagian dada dan kepala Pangcu-si Song Kang. Suara pukulannya terdengar gemuruh menderu seperti suara pohon besar yang tumbang terkena angin ribut! Song Kang terkejut. Tokoh kedua dari Im-yang-kauw setelah Tai-si-ong dan Lojin-ong ini benar-benar terperanjat melihat perubahan dari serangan tersebut. Serangan yang semula tampak ringan dan tidak membahayakan itu tiba-tiba berubah ganas dan mematikan setelah sampai di sasaran! Kekuatan lawan yang semula dia perkirakan biasa-biasa saja itu mendadak seperti bertambah menjadi berlipat ganda jumlahnya. Karena belum bisa menjajagi ilmu lawannya yang aneh dan amat membahayakan itu, maka Song Kang terpaksa tidak berani menyambut atau memapaki serangan tersebut.

   Tokoh Im-yang-kauw itu memilih jalan menghindari serangan tersebut daripada harus menyongsongnya. Sambil melangkah mundur tiga tindak dia menyabetkan pakaian luarnya ke arah Put-ceng li Lojin! Kali ini tokoh Im-yang-kauw itu tidak mau bersikap segan-segan lagi. Dikerahkannya seluruh kekuatannya sehingga kain baju yang dipegangnya itu berubah menjadi keras dan kaku seperti besi baja. Melihat lawannya melangkah mundur dan tidak berani dengan langsung menyongsong serangannya, Put-ceng-li Lojin segera mempersiapkan serangan berikutnya. Kedua belah kakinya cepat-cepat dilipat kembali di depan perutnya, sementara sepasang lengannya juga segera dikembangkan di samping tubuhnya. Semua gerakannya itu dilakukan dalam keadaan masih melayang di udara!

   "Jurus katak melompat ini terdiri dari delapan belas gerakan. Diciptakan oleh suhengku Put-chien-kang Cin-jin tatkala dia bertapa di Telaga Hijau..." sambil menghindari sabetan Song Kang, ketua Aliran Bing-kauw itu memulai ceritanya.

   "Saat itu suheng sedang pepat pikirannya karena sudah hampir setahun penuh dia belum dapat juga menyelesaikan bahagian terakhir dari ilmu Chuo-mo-kang ciptaannya. Padahal perselisihan antara aliran kami dan aliran kalian sudah semakin meruncing, dimana setiap waktu dapat saja meletus menjadi perang terbuka. Dan apabila semua itu benar-benar terjadi, kaum kami tentu akan repot menghadapi Ilmu Sakti Kulit Domba (Im-yang-kun) kalian..."

   Sambil tetap mendengarkan cerita lawannya Song Kang melongo menyaksikan cara Put-ceng li Lojin mengelakkan sabetan kain bajunya. Dengan sangat enteng dan gesit ketua Bing-kauw itu tampak menahan daya luncurnya lalu menggeliat di udara beberapa kali, setelah itu melayang ke samping dengan manisnya. Semua itu dilakukan orang tua tersebut tanpa harus menginjakkan kakinya di atas tanah lebih dahulu, sehingga dilihat dari bawah seperti seekor burung yang sedang terbang zig-zag di udara.

   "Orang tua ini memang tidak boleh dianggap enteng.Salah-salah aku malah bisa kehilangan waktu kalau tak lekas-lekas menandinginya dengan ilmu pamungkasku (ilmu andalan). Toh dia juga telah mengeluarkan Chuo-mociangnya..." Song Kang berdesah di dalam hati. Maka jago Im-yang-kauw itupun lekas-lekas membuang baju yang dipegangnya, kemudian mengerahkan Im-yang Sinkang sebelum ia menyerbu dengan Im-yang-kun atau Ilmu Silat Kulit Dombanya yang terkenal itu. Sementara itu Put-ceng-li Lojin terus saja melanjutkan ceritanya. Orang tua itu sama sekali tidak mengambil pusing pada semua perubahan sikap lawannya.

   "Saking pepatnya suhengku pergi bertapa menyendiri di Ceng-ouw (Telaga Hijau). Berbulan-bulan dia hidup di sana bersama dengan ribuan katak yang memenuhi telaga yang luas dan dalam itu. Tanpa disengaja suhengku selalu melihat dan memperhatikan segala gerak-gerik ribuan katak itu setiap hari, sehingga lambat-laun suheng bisa melihat keanehan dan kehebatan gerakan mereka. Suheng seperti memperoleh ilham untuk menyelesaikan ilmu ciptaannya itu. Maka dengan semangat yang meluap-luap dia menyaring semua yang dilihatnya itu dan mengambil inti-sarinya, lalu menuangkannya dalam gerakan-gerakan ilmu silat yang hebat..."

   "Jadi...pada saat dilangsungkannya pibu besar itu Put-chien-kang Cin-jin baru saja dapat menyelesaikan Chuo-mokangnya?" Song Kang bertanya dengan kening berkerut. Put-ceng li Lojin tertawa.

   "Benar!" katanya. "Untunglah pada waktu itu suhengku dengan akal muslihatnya dapat menyeret Tai-si-ong kalian yang lama ke dalam arena pibu satu lawan satu. Kalau tidak, wah..., kami tentu akan dapat kalian gulung dengan mudahnya. Soalnya baru suhengku saja yang dapat memainkan Chuo-mo-kang itu. Lainnya belum berkesempatan untuk mempelajarinya." Selesai berbicara tiba-tiba Put-ceng li Lojin menjauhkan tubuhnya ke depan. Tapi sebelum tubuh itu menyentuh tanah, mendadak tubuhnya tampak mental ke atas kembali dengan cepat seperti sebuah bola yang membentur benda yang tak kelihatan.

   "Awas serangan...!" teriaknya memperingatkan.

   Sepasang kakinya meluncur lebih dahulu ke depan, menuju ke arah kepala Song Kang. Tapi Song Kang juga telah bersiap-siaga pula dengan iImu Sakti Kulit Dombanya. Begitulah sepasang kaki lawannya meluncur datang dengan maksud menggunting lehernya dia segera meliukkan badan seraya merendahkan tubuhnya ke depan, sehingga kedua belah kaki Put-ceng-li Lojin lewat di atas kepalanya. Kemudian dengan badan yang masih dalam keadaan meliuk itu Song Kang mencengkeram ke atas, ke arah lutut Put-ceng-li Lojin. Dan jurus yang dia keluarkan ini adalah jurus Meniti Pelangi Meraih Awan, yaitu baris ke dua bait pertama dari pantun yang tertulis pada lembar ke tujuh kulit domba itu. Di dalam mempelajari Ilmu Sakti Kulit Domba Song Kang telah mencapai tingkatan yang tidak rendah.

   Bersama dengan Tai-si-ong, dia telah mencapai lembar yang ke sepuluh. Maka dapat dibayangkan betapa hebat kepandaiannya. Kelihatannya saja keSepuluh jari-jarinya itu hanya mengancam ke arah lutut lawan, tapi di mata seorang ahli akan segera terlihat bahwa setiap jari-jari itu ternyata telah mengancam semua titik jalan darah mematikan di badan Put-ceng-li Lojin! Ternyata Put-ceng-li Lojin melihat bahaya itu pula. Buktinya tubuhnya yang meluncur dengan kaki di depan itu segera melengkung ke atas seperti batang bambu yang meliuk tertiup angin, lalu sekejap kemudian melejit lagi ke atas bagaikan seekor ulat daun! Lagi-lagi semua gerakan itu dilakukan oleh Put-ceng-li Lojin tanpa harus menyentuh tanah lebih dahulu. Seolah ketua Bing-kauw itu bukanlah manusia tetapi seekor burung yang mampu bergerak seenaknya di udara!

   

Pendekar Tanpa Bayangan Eps 14 Darah Pendekar Eps 28 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 11

Cari Blog Ini