Ceritasilat Novel Online

Memburu Iblis 13


Memburu Iblis Karya Sriwidjono Bagian 13




   "Koko, hati-hati! Dia adalah Hong gi-hiap Souw Thian Hai!" katanya memperingatkan kakaknya. Suaranya gemetar seperti sedang menahan perasaan sakit. Tiauw Kiat Su tersentak kaget, lalu menoleh dengan cepat ke arah Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai. Pendekar Sakti itu tampak berdiri tegak menghadapi mereka. Namun pemuda itu menjadi heran ketika melihat pendekar yang tersohor itu beberapa kali memejamkan matanya serta mengibas-ngibaskan kepalanya ke kanan dan ke kiri.

   "Koko, Ceng-liong-ong itu ada padanya. Mintalah, mumpung dia belum bisa membebaskan diri dari pengaruh asap Hok-liong-hio yang kutaburkan tadi!" Tiauw Li Ing berkata lagi. Lalu diceritakannya juga tentang keadaan Tui Lan tadi.

   "Asap Hok-liong-hio (Asap Penakluk Naga)?" Tiauw Kiat Su berdesah gembira.

   "Ya. Tapi hati-hati! Ternyata kesaktiannya benar-benar hebat sekali!" Tetapi Tiauw Kiat Su mendengus, seolah-olah meremehkan peringatan adiknya.

   "Aku tak percaya. Kau belum melihat, macam apa kakakmu itu sekarang. Lihatlah baik-baik! Akan kutaklukkan pendekar yang diagung-agungkan orang itu!" katanya mantap seraya mengeluarkan kipas bajanya. Pemuda itu lalu maju ke depan.

   "Souw Taihiap...! Kau telah melukai adikku, maka akupun akan meminta pelajaran darimu pula!" tantangnya dengan suara keras. Souw Thian Hai tampak memejamkan matanya kembali, kemudian memandang Tiauw Kiat Su dengan tajamnya.

   "Hmm, nanti dulu...! Kau siapa? Apakah kau juga putera Tung-hai-tiauw dari Lautan Timur?"

   "Benar!"

   "Nanti dulu! Aku tidak bermaksud melukai adikmu itu. Dialah yang mendesak aku. Aku telah berusaha mencegahnya tadi. Tapi dia tak mau mendengar perkataanku. Kau jangan ikut-ikutan melawan aku. Lebih baik kau pikirkan lukanya itu."

   "Hmm... apakah dengan demikian Souw Taihiap hendak menyerahkan perempuan berbaju kulit ular itu kepada kami?" Tiauw Kiat Su mendesak. Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai menjadi merah mukanya. Sambil menggeram pendekar itu menatap wajah Tiauw Kiat Su.

   "Kalian berdua memang terlalu sombong dan keras kepala. Sama sekali tidak mau menghargai orang lain. Sudah kukatakan bahwa wanita muda itu telah pergi, kalian tidak mau percaya juga. Tampaknya kalian ini memang ingin mencari gara-gara..." Tiauw Kiat Su tertawa panjang. Nadanya sangat menyakitkan hati.

   "Haha... kaulah yang sombong dan keras kepala! Kenapa tidak kau katakan juga dimana perempuan itu berada? Kau kira cuma engkau saja yang berhak memiliki Ceng-liong-ong itu?"

   "Hmmh!" Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai mendengus. Ternyata habis juga kesabaran pendekar sakti itu. Wajahnya menjadi merah. Tapi dengan demikian pengaruh asap hitam yang diisapnya tadi justru semakin menjadi-jadi malah. Matanya terasa berkunang-kunang, sehingga tubuhnya yang tinggi besar itu tampak bergoyang-goyang mau jatuh. Namun pendekar sakti itu bertahan sekuat tenaga.

   "Kurang ajar! Asap hitam itu mengandung racun..." umpatnya di dalam hati. Keadaan Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai tersebut tak luput dari pengamatan Keh-sim Siau-hiap. Pendekar dari Pulau Meng-to itu memandang dengan curiga.

   "Saudara Souw, ada apa...?" tanyanya perlahan.
(Lanjut ke Jilid 13)

   Memburu Iblis (Seri ke 03 - Darah Pendekar)
Karya : Sriwidjono

   Jilid 13
Souw Thian Hai mengibas-ngibaskan kepalanya lagi, seolah-olah ingin membuang rasa pening itu dari kepalanya.

   "Ah, tidak apa-apa...!" jawabnya tegas untuk menjaga perasaan isterinya. Tapi kesempatan itu tak disia-siakan oleh Tiauw Kiat Su. Kipas bajanya yang tajam bagai pisau cukur itu terbuka dan menyambar ke depan dengan dahsyatnya. Yang dituju adalah perut dan dada Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai.

   Meskipun belum hilang rasa peningnya, tapi Souw Thian Hai masih bisa mengelak dan menghindar dengan tangkasnya. Malahan untuk mempersingkat waktu pendekar sakti itu segera membalas pula dengan tak kalah sengitnya. Langsung dengan salah sebuah ilmu warisan Keluarga Souw yang terkenal, yaitu Tai kek Sin-ciang! Kedua buah tangan pendekar sakti itu bergantian menyerang. Dan masing-masing tangan bergerak dan bersilat dengan cara yang berbeda, seakan-akan satu sama lainnya tidak ada hubungannya sama sekali. Malahan tenaga sakti yang keluarpun juga tidak sama pula. Tangan sebelah kiri mengeluarkan hembusan hawa dingin, sementara tangan yang sebelah kanan memancarkan udara panas. Keduanya bergantian berhembus di dalam arena, sehingga Tiauw Kiat Su menjadi repot melayaninya.

   "Bangsat benar Souw Thian Hai itu! Masakan dua buah ilmu yang berlainan dimainkannya secara berbareng! Hemm...!" Put-ceng-li Lojin mengumpat-umpat saking kagumnya.

   "Ya! Ilmu Keluarga Souw memang sangat hebat...!" Keh sim Siauw-hiap mengiyakan.

   "Hebat? Oho...! Ilmu seperti itu saja dibilang hebat? Huh! Picik benar!" tiba-tiba sebuah suara menyela pembicaraan mereka dengan ilmu Coan-im-jib-bit (Mengirim suara dari Jarak jauh). Keh-sim Siau-hiap dan Put-ceng-li Lojin berputar dengan cepat. Tapi tak seorangpun berada di dekat mereka. Begitu pula ketika keduanya melemparkan pandang mata mereka ke sekeliling perahu besar itu. Tak seorangpun dari para penonton itu yang patut mereka curigai.

   "Tampaknya ada lagi orang yang hendak ikut meramaikan keramaian ini, Bing Kauw-cu," Keh-sim Siau-hiap berbisik kepada Put-ceng-li Lo jin.

   "Kau benar, Kwee Tai-hlap. Tapi..bangsat busuk, heh-heh-heh... hal itu justru sangat kebetulan bagi kita. Tak enak rasanya kalau hanya menonton pertempuran orang. Rasanya gatal juga tanganku untuk ikut meramaikannya. Syukurlah kalau ada yang datang. Kalau tidak... he-he-he. tak tahulah aku... dimana aku harus mencari musuh!" ketua Aliran Bing-kauw yang suka berkelahi itu tertawa gembira malah.

   "Apa? Kau cacing tua dari Bing-kauw ini hendak melawan aku? Hahaha... sungguh menggelikan sekali! Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai yang tercantum namanya di dalam Buku Rahasia saja tak mampu melawan aku, apalagi...kau, cacing kecil yang tak punya nama! Hahahaha!" tiba-tiba suara itu berkumandang lagi di telinga mereka. Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Put-ceng-li Lojin. Tapi seperti biasanya orang tua Itu selalu menyembunyikan perasaannya di balik suara ketawa dan sumpah serapahnya!

   "Monyet! Setan! Pengecut keparat! Hahahaha... kaulah yang seperti cacing kecil! Bisanya cuma bersembunyi dan ketakutan di dalam tanah! Mengapa kau tidak lantas keluar ke sini dan... bertanding dengan aku? Hehe-hehe... monyet... eh cacing keparat!"

   Tentu saja teriakan dan makian Put-ceng-li Lojin itu sangat mengejutkan dan mengagetkan orang-orang yang sedang asyik menonton pertempuran. Namun orang-orang itu segera tenggelam kembali ke dalam pertempuran Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai. Beberapa orang diantaranya terdengar menggerutu begitu melihat Put-ceng-li Lojin. Tapi sekali lagi orang-orang itu dikejutkan oleh sesosok bayangan yang melesat ke atas perahu besar tersebut. Bayangan itu mendarat dengan tergopoh-gopoh di depan Put-ceng-li Lojin. Dan di depan ketua Bing Kauw tersebut bayangan itu masih sibuk menaikkan celananya yang belum terpakai secara benar.

   "Susiok, kau memanggil aku?" bayangan yang tidak lain adalah Put-pai-siu Hong-jin itu bertanya kepada Put-ceng-li Lojin.

   "Heh? Kurang ajar...! siapakah yang memanggilmu? Aku tak menyebut namamu?" Put-ceng-li Lojin yang sudah bersiap siaga menghadapi lawannya itu berteriak kecewa begitu melihat siapa yang datang.

   "Bukankah susiok tadi bilang tentang...monyet?" manusia sinting itu bertanya ketolol-tololan. Ketua Bing-kauw itu tak bisa menahan senyumnya. Begitu pula dengan Put ming-mo dan Keh-sim Siauw-hiap yang berada di dekatnya.

   "Whah... bukan kau yang kumaksudkan! Aku memang menyebut tentang monyet, tapi bukan Monyet Tua Tak Berbulu macam kau ini, heh-heh-heh!"

   "Hei? Bukan aku? Huh, bangsat! Monyet tua bau terasi! Hmm... tahu begini... huh! Orang baru enak-enaknya memberi santapan pagi kepada ikan ikan di telaga... eeeee, tahu tahu diganggu orang!" Put-pai-siu Hong jin memaki paman-gurunya. Tapi ketua aliran Bing-kauw itu tidak menjadi marah karenanya. Sebaliknya mulutnya justru tertawa semakin lebar malah.

   "Hehehe..., apa maksudmu dengan memberi makan kepada ikan-ikan itu?"

   "Ah, suhu ini seperti tidak tahu saja! Bukankah suheng tadi hendak.. hendak berak! Maka begitu tercebur dalam air, maksud itu segera dilanjutkannya! Bukanlah hal itu sama saja dengan memberi sarapan pagi kepada ikan-ikan itu?" Put-ming-mo menyahut pertanyaan gurunya.

   "Oh-hi...ho-ha-ha! Bangsat keparat! Monyet tua tak berbulu! Ha-ha-ha!" Put-ceng-li Lojin tak bisa menahan ketawanya. Ternyata Put-pai-siu Hong-jin sendiri juga tak bisa menahan ketawanya pula. Bibirnya yang lebar dan tebal itu terbuka lebar-lebar. Namun suara ketawanya tiba-tiba berhenti lagi, seakan-akan ada sesuatu hal yang mendadak melintas di dalam otaknya.

   "Tapi... eh... di antara ikan-ikan itu ada seekor yang bentuknya sangat aneh! Ikan itu bentuknya lebih besar dari pada yang lain. Mempunyai tangan dan kaki... rambutnya panjang...!" katanya kemudian dengan tersendat-sendat. Matanya yang kocak itu memandang Put-ceng-li Lojin dan Keh-sim Siau-hiap bergantian.

   "Berambut panjang? Eh, masakan di dalam danau ini ada ikan Duyung?" Put-ming-mo memotong dengan mulut meringis. Sama sekali tak mempercayai perkataan suhengnya.

   "Kau tak percaya?" Put-pai-siu Hong-jin berseru penasaran.

   "Alaaa... suheng tentu membual lagi! Danau ini tak ada Ikan Duyungnya. Misalnya ada juga takkan mau menyantap sarapan pagimu itu. Mungkin justru engkau sendirilah yang malah diseretnya ke dasar danau ini."

   "Siapa bilang Ikan Duyung? Ikan Duyung kan perempuan? Ikan yang kulihat itu pakai kumis dan jenggot, Tolol! Dan ikan itu memang berusaha menyeret aku ke dasar danau ini! Untung aku cepat berontak dan... dan mengencinginya! Kalau tidak, aku mungkin sudah betul-betul diseretnya!" Put-pai-siu Hong-jin yang sangat penasaran itu mendamprat Sutenya. Kalau Put-ming-mo tetap tidak percaya akan kata-kata suhengnya, ternyata tidak demikian halnya dengan gurunya. Put-ceng-li Lojin yang baru saja diganggu orang dengan ilmu Coan-im-jib bit itu mempunyai tanggapan lain atas cerita keponakan muridnya tersebut.

   "Hong-jin...! Dimanakah kau melihat ikan aneh itu?" tanyanya.

   "Suhu, kau percaya akan cerita suheng itu?" Put-ming-mo menyela dengan dahi berkerut. Ketua Aliran Bing-kauw itu tersenyum.

   "Biarlah suhengmu berceritera!" katanya.

   "Nah... apa kataku! Susiok lebih pintar darimu, Babi Tolol! Kau memang tidak pernah percaya kepadaku! Itulah sebabnya kau tak pernah maju dalam ilmu silat kita...!"

   "Hong-jin, dimana kau melihat ikan aneh itu?" ketua Bing Kauw itu membentak.

   "Uh! Di belakang perahu ini..." Put-pai siu Hong-jin menjawab sambil bersungut-sungut.

   "Monyet! Kalau begitu mari kita lihat ke sana!" Keh-sim Siau-hiap mendekati Put-ceng-li Lojin.

   "Bing Kauw-cu, apakah kau mencurigai sesuatu?" bisiknya.

   "Ya! Mungkin benda yang disebut ikan aneh oleh Bocah Sinting itu adalah orang yang berbicara dengan ilmu Coan-im-jib-bit itu. Marilah...!" Keh-sim Siau-hiap berpaling ke arah pertempuran.

   "Bagaimana dengan pertempuran mereka?"

   "Ah... kita tak perlu mencemaskannya. Jangankan hanya pemuda congkak itu, biarpun mereka bertiga maju semuanya, Souw Taihiap takkan kalah! Percayalah!" Put-ceng-li Lojin mendengus. Pendekar dari Pulau Meng-to itu menghela napas.

   "Baiklah, mari...!" Bing-kauw-cu meloncat ke belakang perahu, diikuti oleh Keh sim Siau-hiap, Put-pai-siu Hong-jin dan Put-ming-mo.

   "Hong-jin! Dimana tempatnya?" Put ceng-li Lojin berseru ketika telah berada di buritan.

   "Di sana...! Di belakang sampan kecil itu!" Put-pai-siu Hong-jin mengerahkan ginkangnya, lalu mendahului me lompat ke sampan tersebut. Yang lainpun mengikutinya. Mereka berkelebat berurutan seperti empat ekor burung yang terbang keluar dari sarangnya. Tapi ketika Put-pai-siu Hong-jin yang berada di depan sendiri hendak mendaratkan kakinya di sampan tersebut, mendadak sampan itu...meluncur pergi! Sebaliknya di tempat sampan tadi berada, tiba-tiba muncul...kepala manusia dari dalam air!

   "Hei...? Ini... ini? Wah... bangsat keparat! Susiok...! itu, itu dia ikannya!" tiba-tiba Put-pai-siu Hong-jin yang kebingungan itu menunjuk ke bawah, ke arah kepala orang yang mendadak muncul dari dalam air itu. Demikianlah, di satu pihak mereka menjadi lega dan bergembira karena secara tak diduga ikan aneh itu telah muncul dengan sendirinya, namun di lain pihak mereka juga menjadi kelabakan karena beberapa saat lagi mereka akan tercebur ke dalam air! Tapi di dalam keadaan yang kritis dan mencemaskan tersebut tiba-tiba datang sebuah pertolongan yang tak disangka-sangka pula. lsteri Keh-sim Siau hiap yang pergi tanpa pamit malam tadi, mendadak muncul membawa sebuah sampan. Sampan kecil itu meluncur dengan cepat untuk menggantikan sampan yang pergi tadi.

   "Li koko, aku yang datang...!" Ho Pek Lian berseru dari dalam sampan tersebut.

   "Bagus!" Keh-sim Siau-hiap berteriak gembira pula. Lalu seperti telah saling berjanji terlebih dahulu, mereka berempat berbareng menyerang orang yang muncul di atas permukaan air tersebut. Mereka bermaksud mengalihkan perhatian orang itu dari sampan Ho Pek Lian. Berurutan mereka melancarkan pukulan jarak jauh (Pek-khong-ciang) mereka masing-masing.

   "Whuuus! Whuusssss! Wuuuuuuush!" Bagaikan gelombang air laut angin pukulan mereka datang menderu-deru, susul-menyusul, menyibakkan permukaan air danau dimana orang itu berada. Begitu dahsyatnya tenaga gabungan mereka, sehingga orang yang muncul di atas permukaan air tersebut tidak berani menyambutnya. Bergegas orang itu menyelam kembali. Byuur! Air yang menyibak tadi berdebur kembali dengan kuatnya, sehingga gelombangnya hampir menumpahkan sampan Ho Pek Lian yang datang. Untunglah keempat orang itu segera mendaratkan kaki mereka di sana, sehingga sampan itu dapat mereka kuasai.

   "Kwee Hujin, kedatanganmu sungguh tepat sekali. Hampir saja kami berempat jatuh ke dalam air, heh-heh-he.?" Put-ceng-li Lojin menyatakan terima kasihnya.

   "Ya, hampir saja kami bersama suamimu menjadi ikan di danau ini, hahe-he! Kurang ajar sekali orang itu! Memindahkan sampan orang seenaknya! Bangsat busuk!" Put-pai-siu Hong-jin menyambung perkataan susioknya.

   "Huh, kemana orang itu tadi?" Put ming-mo mendengus marah.

   "Aku ada di sini!" terdengar suara orang menyahut, dan tiba-tiba sampan kecil itu oleng dengan hebatnya.

   "Setan keparat! Dia ada di bawah perahu! Ayoh, kita tinggalkan perahu ini!" Put-ceng-li Lojin berteriak. Kelima orang itu lalu berloncatan pergi meninggalkan sampan tersebut. Bersama dengan Put-ming-mo, Keh-sim Siau-hiap melesat kembali ke perahu Souw Thian Hai sambil menggandeng lengan isterinya. Sedangkan Put-ceng-li Lojin dan Put-pai-siu Hong-jin melompat ke sebuah perahu kecil yang kebetulan meluncur lewat di dekat mereka. Sementara itu sampan yang mereka tinggalkan berguncang semakin hebat, sehingga akhirnya terbalik dengan menimbulkan suara yang bergemuruh. Seorang kakek pendek kecil, berambut putih panjang, tiba-tiba muncul dari dalam air.

   Sambil terkekeh-kekeh kakek tersebut me lompat ke atas perahu yang terbalik itu dan duduk dengan riangnya. Kakek cebol itu hanya mengenakan cawat saja. Apalagi dengan bentuknya yang kecil itu, tak heran kalau di dalam air seperti ikan yang sedang berenang saja. Namun demikian ternyata kepandaiannya sangat tinggi, terbukti dapat membalikkan perahu yang panjangnya hampir sepuluh kali panjang tubuhnya itu. Keh-sim Siau-hiap terkesiap kaget. Pendekar dari Pulau Meng-to itu teringat akan penuturan Souw Thian Hai beberapa bulan yang lalu. Menurut cerita sahabatnya itu, didunia kang-ouw telah bermunculan tokoh-tokoh sakti yang kepandaiannya sangat menakjubkan. Dan salah seorang diantaranya adalah seorang kakek cebol berambut panjang seperti yang dilihatnya sekarang ini.

   "Bing Kauw-cu, awas...!" pendekar itu memperingatkan ketika dilihatnya Put-ceng-li Lojin yang masih tampak penasaran itu meloncat kembali untuk menyerang kakek cebol tersebut.

   "Heeeit!" kakek cebol itu berseru nyaring seraya bergeser ke belakang sehingga pukulan Put-ceng-li Lojin tidak mengenai sasarannya. Sebaliknya kaki kakek cebol tersebut dengan cepat melayang ke atas untuk mencegah lawannya mendaratkan kakinya di perahu itu. Siiiiing! Kaki yang pendek kecil itu berdesing bagaikan suara pedang membelah angin! Put-ceng-li Lojin terkejut! Bagaimana mungkin ayunan kaki bisa berdesing seperti itu? Demikian sempurnakah tenaga-dalam kakek cebol itu, sehingga dia bisa membuat kakinya itu sekeras besi baja? Ketua Aliran Bing-kauw itu cepat menekuk kedua buah kakinya untuk menghindari terjangan kaki lawan.

   Setelah itu ujung sepatunya menotol papan perahu, sehingga tubuhnya melenting ke atas kembali, untuk kemudian menyerang lawannya lagi. Kali ini ia menghantam kepala kakek cebol itu! Namun kakek cebol itu mengelak pula dengan manisnya, lalu ganti menerjang dengan kedua kepalan tangannya. Mereka bertarung dengan cepat sekali, seolah-olah keduanya tak ingin memberi kesempatan kepada lawannya untuk mengambil napas. Sementara itu Put-pai-siu Hong-jin telah memaksa perahu yang ditumpanginya untuk mendekati tempat itu, Manusia sinting yang lihai itu bersiap-siap untuk membantu paman-gurunya. Keh-sim Siau-hiap tak ingin berpangku tangan pula. Setelah berpesan agar isterinya menantinya di tempat itu, dia berpindah pula ke perahu Put-pai-siu Hong-jin.

   "Hati-hatilah, Hong-jin! Kalau tak salah kakek cebol ini adalah Butek Sin-tong. Salah seorang dari tokoh tokoh sakti yang kini khabarnya telah bermunculan di dunia persilatan." bisiknya kepada Put-pai-siu Hong-jin.

   "Benarkah...?" manusia sinting itu tersentak kaget.

   "Mungkin. Aku sendiri juga belum pernah bertemu sebelumnya. Namun ciri ciri orang itu persis seperti yang telah kudengar selama ini."

   "Bangsat! Kalau begitu aku ingin mencobanya. Kudengar orang yang seperti kura-kura itu disebut-sebut sebagai jago nomer tiga di dunia persilatan, hehehe"

   "Tapi kau jangan terlalu sembrono, Hong-jin. Kalau Hong-gi hiap Souw Thian Hai saja berada di urutan kelima, apalagi dia yang berada di urutan ketiga. Hmm... maaf, bukannya aku.. meremehkan kepandaianmu. Tapi... kita juga harus menyadari bahwa dibandingkan dengan Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai saja kita belum menang." Keh-sim Siauw-hiap berusaha mengekang kesembronoan manusia sinting itu. Put-pai-siu melirik sekejap ke arah Keh-sim Siau-hiap. Matanya yang liar itu tampak meredup, suatu tanda kalau kata-kata pendekar dari Pulau Meng to itu berhasil memasuki hatinya. Namun demikian mulutnya tetap berkata dengan suaranya yang serak dan kasar.

   "Jangan khawatir, Saudara Kwee! Aku akan selalu menjaga diri. Tapi kesempatan ini benar-benar sulit diketemukan, hehehe...bertarung dengan kura-kura Nomer Tiga di dunia persilatan!" Selesai berbicara Put-pai-siu Hong jin lalu mengerahkan sinkangnya, kemudian menyalurkannya ke seluruh tubuhnya. Keh-sim Siau-hiap menghela napas serta menggeleng-gelengkan kepalanya. Terpaksa dia ikut bersiap-siaga pula untuk menjaga segala kemungkinan. Dan pertarungan antara Put-ceng-li Lojin me lawan Kakek cebol itupun semakin bertambah seru pula. Di atas perut sampan yang sempit itu mereka mengadu ilmu dengan dahsyatnya. Masing-masing telah mengeluarkan ilmu andalan mereka. Dan tampaknya Put-ceng-li Lojin juga telah sampai ke puncak kemampuannya. Gerakannya cepat sekali, hingga sulit diikuti oleh mata biasa. Peluh telah membasahi seluruh pakaiannya.

   "Anak Setan... Demit... Gendruwo! Sulit benar mengalahkan Bocah Tua ini! Bangsat! Keparat! Kau ini manusia atau... Hantu! Heh! Heh! Heh!" seperti biasanya bila Ketua Bing-kauw itu memainkan Chuo-ming-ciang mulutnya mengoceh tak putus-putusnya. Namun kali ini suaranya tampak serak dan kelelahan. Sebaliknya Kakek Cebol yang tidak lain memang Bu-tek Sin-tong itu masih kelihatan segar dan cerah. Meskipun keringatnya juga mengalir di tubuhnya, tapi mukanya masih tetap segar, dan napasnyapun juga tetap teratur. Tak ada tanda-tanda sedikitpun bahwa ia telah lelah.

   "Ayoh! Keluarkan seluruh kepandaianmu! Ilmu Silatmu sungguh hebat, aneh dan mengasyikkan, ho-ho-ho...! Sayang mulutmu sangat ceriwis dan tak mau berhenti mengoceh!" Bu-tek Sin-tong tertawa nyaring. Tubuhnya yang pendek kecil itu bergerak cepat sekali, tanpa banyak menggerakkan kaki dan tangannya seolah-olah dia bisa menghilang dan berpindah tempat begitu saja. Otomatis Chuo-ming-ciang yang ampuh itu tak berdaya menangkapnya. Sekali lagi Keh-sim Siau hiap menarik napas panjang.

   "Bukan main! Ginkangnya telah mencapai kesempurnaannya. Tubuhnya benar-benar telah menjadi seringan kapas, sehingga hembusan angin yang amat kecilpun sudah bisa menerbangkan tubuhnya. Hmmm... semakin kuat Put-ceng-li Lojin mengerahkan lweekangnya, orang itu menjadi semakin sulit ditangkapnya." Demikianlah, semakin lama pertempuran itu menjadi semakin kelihatan hasilnya. Put-ceng-li Lojin semakin tampak kelelahan. Semakin kuat ia mengerahkan tenaganya, semakin sulit ia menyentuh lawannya.

   "Anak Setan! Babi! Anjing...!" Ketua Bing-kauw itu mengumpat tiada habisnya.

   "Susiok, jangan putus-asa! Biarlah kita keroyok bersama Kura-kura Kerdil ini...!" akhirnya Put-pai-siu Hong-jin berseru dan terjun ke dalam pertempuran. Manusia Sinting inipun lantas mengeluarkan Chuo-mo-ciangnya pula.

   "Bulat panjang bentuknya! Tak berbulu kulitnya! Binatang apa itu! He heh-heh...!" mulutnya mulai berceloteh. Bu-tek Sin-tong tidak menjadi marah dikeroyok dua, sebaliknya kakek cebol itu menjadi senang malah. Meskipun dengan demikian ia menjadi bertambah repot menghadapi lawannya, namun dengan ginkangnya yang hebat itu tubuhnya tetap sukar disentuh oleh tangan-tangan lawannya. Sedangkan Put-ceng-li Lojin sendiri ternyata juga tidak merasa berkeberatan dibantu oleh keponakan muridnya. Malahan mereka berdua segera dapat bekerja sama dengan baik.

   Walaupun kerja-sama mereka itu ternyata masih juga belum dapat membendung ginkang Bu-tek Sin-tong yang sangat hebat tersebut. Meskipun demikian, kerja-sama itu paling tidak bisa menahan desakan Kakek Cebol itu terhadap Put ceng li Lojin. Alhasil pertempuran mereka itu benar-benar dahsyat tiada terkira. Di satu pihak, dengan ginkangnya yang amat tinggi Bu-tek Sin-tong tak bisa disentuh oleh Put-ceng-Ii Lojin dan Put-pai-siu Hong-jin. Tapi di lain pihak, Bu-tek Sin-tong juga tak kuasa menembus benteng pertahanan dan kerjasama yang rapi dari kedua lawannya. Justru Keh-sim Siau-hiap lah yang akhirnya menjadi tidak sabar melihat pertempuran tersebut. Pendekar itu sungguh tidak mengerti, mengapa Ketua Bing-kauw itu belum bisa melihat juga letak rahasia kehebatan ginkang lawannya? Haruskah dia ikut terjun juga ke dalam arena pertempuran itu?

   "Kalau diteruskan, lambat-laun Bing Kauw-cu akan kehabisan napas juga. Mereka berdua mati-matian mengerahkan seluruh kemampuan mereka, sementara Bu-tek Sin-tong cuma menghindar kesana-kemari membonceng angin pukulan mereka. Ahh...!" Agaknya sambil bertempur Bu-tek Sin-tong masih sempat melihat-lihat keadaan di sekelilingnya. Terbukti ia sempat melihat juga wajah Keh-sim Siau-hiap yang sedang geram dan penasaran itu. Dan agaknya ia sangat percaya dan yakin pula bahwa dia tentu akan bisa menundukkan lawan-lawannya itu, buktinya dengan suara lantang ia masih berani menantang kepada Keh-sim Siau-hiap.

   "Hei, kenapa temanmu itu tidak mau sekalian saja mengeroyok aku? Tampaknya dia juga berminat pula untuk berkelahi melawan aku...! Hei... kau! Majulah sekalian kau ke sini!"

   "Lo-Cianpwe menantang saya?" Keh sim Siau-hiap pura-pura bertanya, padahal hatinya bersorak gembira menerima tantangan tersebut.

   "Ya! Ayolah! Aku tidak mempunyai banyak waktu untuk melayani kalian satu-persatu! Majulah...!"

   "Wah... Lo-Cianpwe ini suka benar bergurau. Melawan Bing Kauw-cu saja belum tentu menang, kini masih menantang yang lain lagi." Keh-sim Siau hiap yang merasa sungkan kepada Ketua Aliran Bing-kauw itu pura-pura menolak. Namun di luar dugaan, Put-ceng-li Lojin justru berteriak ke arah Pendekar dari Pulau Meng-to tersebut.

   "Saudara Kwee, majulah! Marilah kita lumatkan Bocah Tua yang sombong ini!" Ternyata biarpun dia seorang tua sebuah aliran yang sangat ternama, namun sesuai dengan gelarnya, Put-ceng li Lojin benar-benar tidak peduli akan nama dan kedudukannya sebagai tokoh yang dihormati orang. Sama sekali dia tak merasa malu mengajak orang untuk mengeroyok lawannya. Tentu saja ajakan tersebut sangat menggembirakan hati Keh-sim Siau-hiap. Apalagi pendekar itu merasa bisa mengatasi kedahsyatan ginkang lawannya. Maka tanpa diminta sekali lagi pendekar itu meloncat ke dalam arena pertempuran. Dan loncatannya yang cepat dan gesit tanpa mengeluarkan suara itu, ternyata sangat mengejutkan lawannya.

   "Hei, ginkangmu hebat sekali! Siapa... siapa sebenarnya kalian ini? Tadi kudengar kau menyebut orang-tua itu dengan Bing Kauwcu. Sekarang kulihat kau... eh, tahan dulu!" dalam kekagetannya Bu-tek Sin-tong berteriak. Keh-sim Siau-hiap menurut dan menghentikan serangannya.
Sambil tersenyum dia menjawab,

   "Lo-Cianpwe, ketahuilah...! Orang tua yang berhadapan dengan Lo-Cianpwe itu adalah Put-ceng-li Lojin, ketua aliran Bing-kauw yang besar. Sementara yang berada disampingnya itu adalah Put-pai-siu Hong jin, keponakan muridnya. Sedangkan aku sendiri cuma seorang pemalas yang tinggal di Pulau Meng-to."

   "Heh...?" Bu-tek Sin-tong terpekik dan membelalakan matanya.

   "Jadi... kalian ini tokoh-tokoh yang dikagumi orang itu? Wah... celaka! Tak kusangka kalian bisa berkumpul menjadi satu di sini! Kalau begini... rasa rasanya aku bisa kalah nanti..."

   "Hmm, jadi Lo-Cianpwe bersedia menghentikan perkelahian kita ini? Bagus!" Keh-sim Siau-hiap tersenyum semakin lebar. Tapi Bu-tek Sin-tong cepat menggoyang-goyangkan tangannya.

   "Eeit, nanti dulu! Jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan! Pertempuran kita tetap harus dilanjutkan. Tidak boleh berhenti sebelum salah satu mengakui kalah. Aku tadi cuma agak merasa kaget karena tidak menyangka kalau akan berkelahi dengan tokoh-tokoh ternama di tempat seperti ini. Namun demikian tidak berarti aku lantas takut kepada kalian. Tidak! aku justru sangat gembira sekali, karena hal itu berarti bahwa aku akan mendapatkan lawan-lawan yang bermutu, hehehe...! Ketahuilah, selama ini aku belum pernah menjumpai orang yang bisa mengalahkanku. Maka jika kalian nanti bisa menundukkan, aku akan memberikan sebuah hadiah kepada kalian masing-masing..."

   "Apa...? Kura-kura Kerdil tak tahu diri! Lihat serangan!" Put-pai-siu Hong-jin berteriak marah, kemudian menyerang lawannya. Bing Kauwcu pun segera ikut menyerang pula.

   "Heh-hehe-he, bangsat cebol! Kau sungguh congkak sekali!" umpatnya. Tapi dengan tangkas Bu-tek Sin-tong me layang ke perahu besar Souw Thian Hai, dan mendarat di depan Ho Pek Lian. Dengan tenangnya Kakek Cebol itu menuding kearah Ho Pek Lian dan Put-ming mo.

   "Nah, engkau berdua pun majulah pula!" tantangnya.

   "Hmmmh. Kakek Cebol ini memang terlalu sombong!" Keh-sim Siau-hiap yang merasa khawatir lawannya itu akan mengganggu isterinya cepat mengejarnya. Tangannya memukul punggung kakek itu.

   "Biar kulayani dia. Akan kulihat, macam apa ginkangnya itu." gumamnya di dalam hati. Put-ceng-li Lojin dan Put-pai-siu Hong-jin juga tidak mau ketinggalan pula. Kedua orang itu segera melesat mengejar lawannya. Masing-masing segera mengirimkan pukulannya juga. Maka sekejap kemudian Bu-tek Sin-tong itupun telah dikepung oleh lima orang tokoh berkepandaian tinggi. Meski pun buritan perahu Souw Thian Hai tersebut sangat sempit, namun karena ginkang mereka amat tinggi maka hal itu tidaklah mengganggu gerakan atau sepak terjang mereka. Mereka bergulat dan bertempur dalam tempo yang sangat cepat serta dalam jarak yang amat dekat, sehingga tubuh mereka berkelebatan seperti rombongan lebah yang sedang berebut mangsa di udara.

   Mula-mula Kakek Cebol itu memang selalu berhasil meloloskan diri dengan caranya tadi. Tapi dengan adanya Keh sim Siau-hiap diantara pengeroyoknya, maka akhirnya dia tak bisa terus-menerus menghindari serangan mereka. Ternyata ginkang Keh-sim Siau-hiap juga sama baiknya dengan dirinya, sehingga kemanapun dia pergi, pendekar muda dari Pulau Meng-to itu selalu dapat menempelnya. Malahan ketika lawannya itu mulai mempergunakan siasat dan kecerdikannya dalam menyerang, dia menjadi kalang kabut dan terdesak di bawah angin. Selain menempel terus, Keh-sim Siau-hiap juga menyerang dengan kaki dan tangannya. Namun untuk menjaga agar lawannya tidak mengambil keuntungan dengan cara membonceng hembusan angin pukulannya, maka Keh-sim Siau-hiap sengaja tidak mengisinya dengan tenaga dalam.

   Baru setelah serangannya menyentuh pakaian atau kulit lawannya, pendekar muda itu melepaskan tenaga-dalamnya. Dan hasilnya memang sangat menggembirakan. Serangan tersebut dengan tepat mengenai sasarannya. Untunglah ilmu kepandaian Bu-tek Sin-tong benar-benar telah mencapai puncak kesempurnaannya, sehingga semua serangan Keh-sim Siau-hiap yang mengenai tubuhnya itu masih bisa ditahannya. Apalagi dengan caranya tersebut Keh-sim Siau-hiap tidak bisa mengerahkan seluruh lweekangnya. Meskipun demikian cara itu ternyata telah menyadarkan pula kepada para pengeroyoknya yang lain. Sehingga ketika mereka itu ikut menyerang seperti Keh-sim Siau-hiap, dia menjadi semakin kelabakan dan tak bisa berbuat apa-apa.

   "Wah...licik! Kurang ajar! Kenapa kalian menyerang aku seperti ini? Ayoh, kalian pergunakan lweekang kalian secara baik!" Kakek Cebol berteriak penasaran.

   "Jangan cerewet kau, Kura-kura kecil! Menghindarlah lagi kalau bisa,heh-he-heh...!" Put-pai-siu Hong-jin yang beberapa kali dapat mengenai tubuh lawannya itu menjadi gembira sekali.

   "Licik! Busuk! Awas kalian..." Bu-tek Sin-tong menjerit-jerit, kemudian secara tiba-tiba tubuhnya terjun ke dalam danau dan... menghilang.

   "Hei! Hei! Pengecut...! Kenapa kau melarikan diri? Bagaimana dengan hadiah yang hendak kau berikan kepada kami itu?" Put-pai-siu Hong-jin mengejar sampai di tepi perahu dan berseru.

   "Tidak ada hadiah! Kalian licik! Huh!" tiba-tiba terdengar jawaban tanpa terlihat orangnya. Put-ceng-li Lojin tertawa. Demikian juga dengan Keh-sim Siau-hiap dan Put-ceng-li Lojin. Mereka sangat puas meskipun di dalam hati memuji kesaktian Kakek kerdil yang luar biasa itu.

   "Dhuuuuuuaaaaar!" Tiba-tiba terdengar suara ledakan dahsyat dan perahu tersebut bergoncang dengan hebatnya. Bilik perahu yang memisahkan bagian depan dan bagian belakang perahu itu sampai terguncang roboh, sementara atapnya terbang berhamburan diterjang angina yang dihembuskan oleh ledakan tersebut. Permukaan air danau itupun bergelombang pula dengan kuatnya, sehingga beberapa buah sampan yang berada di dekat perahu itu bagaikan dilemparkan oleh sebuah tenaga raksasa, untuk kemudian saling menjadi satu sama lain dan tenggelam karenanya.

   "Hai-ko...!" tiba-tiba terdengar pula suara teriakan Chu Bwee Hong. Orang-orang yang baru saja bertempur dengan Bu-tek Sin-tong itu terkejut. Bergegas mereka menepiskan serpihan-serpihan kayu yang beterbangan ke arah mereka, kemudian meloncat ke geladak depan. Namun hampir saja mereka tercebur ke dalam danau, karena bagian depan dari perahu tersebut ternyata telah hancur, sehingga kaki mereka telah mendarat di bagian yang kosong.

   Untunglah mereka memiliki ginkang yang tinggi, sehingga dengan segala kemahiran mereka, mereka bisa menyelamatkan diri mereka masing-masing. Mereka berloncatan ke atas pecahan-pecahan kayu yang mengambang di atas permukaan air untuk kemudian melompat ke atas sampan atau perahu yang terdekat dengan mereka. Dan mereka segera tertegun ketika menyaksikan Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai duduk di atas pecahan perahu sambil mendekap dadanya. Sedangkan Chu Bwee Hong sambil menggendong anaknya, merangkulnya dari belakang. Wanita ayu itu tampak cemas sekali. Keh-sim Siau-hiap dan yang lain-lain bergegas menghampiri mereka. Mereka berloncatan kembali di atas pecahan pecahan kayu, sementara Ho Pek Lian yang telah mengambil perahunya segera mengayuhnya pula ke arah mereka.

   "Saudara Souw, ada apa...?" Keh-sim Siau-hiap berseru cemas.

   "Bangsat! Apakah engkau terluka...?" Put-ceng-li Lojin bertanya pula. Souw Thian Hai menatap sahabat-sahabatnya. Wajahnya tampak pucat sekali meskipun demikian mulutnya tampak tersenyum.

   "Hei... dimanakah kedua anak muda itu? Dan...apakah sebenarnya yang telah terjadi?" Put-pai-siu Hong-jin berteriak seraya menoleh kesana kemari.

   "Me...mereka telah pergi. Seorang kakek bernama Giok-bin Tok-ong tiba-tiba datang menolong putera Tung-hai-tiauw itu. Kakek itu bertempur dengan Hai-ko. Kemudian ketika ia hampir kalah, kakek itu melemparkan senjata peledaknya. Dan Hai-ko... Hai-ko ohh!" Chu Bwee Hong tidak bisa meneruskan kata-katanya. Tapi dengan penuh kasih Souw Thian Hai menepuk-nepuk pundak isterinya.

   "Jangan menangis! Aku tidak apa-apa. aku hanya sedikit terluka dalam. Nanti juga akan sembuh. Hmm... Kau dan anak kita tidak apa-apa, bukan?" Chu Bwee Hong menatap suaminya. Ia meragukan kata-kata itu. Suaminya tentu hanya ingin menghibur hatinya saja. Oleh karena itu air matanya tetap saja mengalir membasahi pipinya.

   "Hmm... Giok-bin Tok-ong! Dia pun telah datang pula ke tempat ini," Keh-sim Siau-hiap bergumam perlahan.

   "Saudara Kwee, kudengar kalian tadi juga bertempur dengan seseorang, siapakah dia?" Souw Thian Hai bertanya seraya bangkit berdiri di atas pecahan perahu itu. Chu Bwee Hong segera membantunya. Pendekar dari Pulau Meng-to itu menarik napas panjang.

   "Tampaknya tokoh-tokoh sakti yang tercantum di dalam Buku Rahasia itu memang benar-benar ada. Dan kalau semula aku agak meragukan kesaktiannya, kini aku benar-benar mula percaya. Kami berlima tadi baru saja bertempur dengan salah seorang dari mereka. Orang itu adalah Bu-tek Sin-tong, tokoh yang pernah kauceritakan dulu itu. Dan...kami berlima hampir saja tak kuasa menahan amukannya!"

   "Ah... dia juga datang?" Souw Thian Hai tersentak kaget.

   "Benar..."

   "Manusia sesakti dia masih juga menginginkan Ceng-liong-ong?"

   "Mengapa tidak? Saudara Souw pun juga berada di sini. Tiga orang dari tokoh tokoh yang tertulis di dalam Buku Rahasia itu ternyata telah muncul di Tai Ouw ini..." Keh-sim Siauhiap menjawab dengan tersenyum.

   "Ah... Saudara Kwee masih juga mengolok-olok aku. Apa sebenarnya kebiasaanku? Saudara Kwee bisa melihat sendiri sekarang. Aku telah dilukai orang dengan mudah." Souw Thian Hai bersungut-sungut.

   "Tentu saja, karena yang melukai adalah Giok-bin Tok-ong, tokoh nomer empat di dalam Buku Rahasia itu..."

   "Ah, koko... kenapa kalian masih sempat berdebat pula? Lihatlah, wajah Saudara Souw sangat pucat! Marilah dia kita bawa dahulu ke perahu kita untuk diobati!" tiba-tiba Ho Pek Lian menengahi percakapan mereka. Demikianlah, mereka lalu beramai-ramai membawa Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai ke atas perahu Keh-sim Siau-hiap. Dan ketika perahu tersebut dikayuh pergi, para penonton pun lalu bubar pula. Masing-masing mengayuh sampan atau perahu mereka meninggalkan tempat itu. Sehingga sebentar kemudian danau yang amat luas itu menjadi sepi kembali seperti biasanya. Hanya di beberapa tempat terlihat perahu-perahu nelayan yang sedang mencari ikan. Dan mereka tak pernah berpikir tentang Ceng-liong yang diributkan orang itu.

   Sebenarnya Tui Lan belum juga meninggalkan Danau Tai Ouw itu. Begitu lolos dari perhatian orang-orang di atas perahu besar itu, dia segera mengerahkan ginkangnya, dan diam-diam pergi meninggalkan tempat tersebut. Namun karena ia masih selalu memikirkan nasib suaminya, maka ia tak berhasrat meninggalkan danau itu. Sampai matahari benar-benar keluar dari peraduannya ia tetap berputar-putar saja di sekitar danau itu. Dan Ho Pek Lian yang mencoba membuntutinya telah kehilangan jalan. Namun karena dia terlampau lelah setelah bertempur semalaman, apalagi selama di dalam gua itu ia kurang makan, ditambah pula dengan gangguan kesehatannya, maka tidaklah mengherankan bila daya tahan tubuh Tui Lan semakin lama semakin menurun.

   Biarpun berkepandaian tinggi, tapi dia tetap seorang manusia juga. Setelah berputar-putar hampir seharian penuh, akhirnya Tui Lan jatuh pingsan. Rasa sakit di dalam kandungannya itu kambuh kembali dengan hebatnya. Untung dia pingsan. Sementara itu matahari telah jauh condong ke barat. Sinarnya yang panas sudah mulai memudar, sehingga hutan cemara itu sudah mulai redup pula. Sebaliknya angin sore justru mulai berhembus semakin kencang. Bertiup di antara rimbunnya daun-daun cemara yaug berwarna kecoklat-coklatan, dan merontokkan sebagian yang telah mengering ke atas tanah.

   Memburu Iblis Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Seorang kakek tua renta tampak berjalan perlahan-lahan melewati tempat itu. Di atas pundaknya yang bungkuk terletak seikat besar ranting-ranting kayu cemara yang telah kering. Meskipun kelihatan sangat berat, namun mulut kakek itu masih sempat bersenandung. Suaranya bening dan tak kelihatan terengah-engah ketika mengambil napas. Langkahnya tampak mantap, walaupun harus berjalan atau melompat di tempat yang tidak rata. Namun senandungnya segera terhenti tatkala pandangannya terbentur pada tubuh Tui Lan yang tergolek pingsan di bawah pohon cemara itu. Bergegas kakek itu membuang kayunya dan cepat-cepat menghampiri Tui Lan. Dengan tangkas, seperti layaknya seorang tabib pandai, tangannya memeriksa tubuh wanita muda tersebut. Dan hatinya segera menjadi kaget begitu mengetahui keadaan Tui Lan.

   "Dia sedang hamil tua. Dan... kini ia pingsan karena terlampau lelah. Agaknya dia telah berbuat sesuatu yang melampaui batas-batas kemampuannya. Ooh... lehernya ada bekas luka. Tampaknya dia baru saja berkelahi dengan musuh-musuhnya. Hmm... mungkinkah dia ikut dalam pertempuran seru di atas Tai Ouw tadi malam?"

   Kakek tua itu lalu mengangkat tubuh Tui Lan dan membawanya pulang. Kayu yang dibawanya tadi dibiarkannya saja di tempat itu. Dan tubuh Tui Lan yang hamil besar itu ternyata tidak menyulitkan langkahnya. Malah beberapa saat kemudian kakinya berlari cepat sekali. Kakek itu menerobos hutan perdu yang menutupi tepian Danau Tai Ouw bagian timur. Tempat tersebut hampir tak pernah diinjak orang karena tanahnya yang terjal dan sulit dilalui manusia. Kemudian di tengah-tengah hutan tersebut, di tanah yang agak lapang namun terlindung dari pandangan orang karena dikelilingi oleh tebing-tebing curam kakek itu berhenti. Matanya memandang rumah kecil yang dibangun di sana dengan ragu-ragu. Tapi sekejap kemudian kakek itu melangkah kembali menuju ke rumah tersebut. Kakek itu lalu mengetuk pintu.

   "Masuklah, Kakek Hoat! Pintu tidak terkunci..." terdengar suara lelaki mempersilakannya. Suara yang sangat tenang dan sabar. Kakek tua itu lalu mendorong pintu dan melangkah masuk. Namun langkahnya segera terhenti tatkala dilihatnya si Pemilik Rumah sedang menerima tamu, seorang gadis ayu berlengan satu. Sebaliknya si Pemilik Rumah yang berusia sekitar tiga puluh lima tahunan itu cepat bangkit pula dari kursinya begitu menyaksikan kakek Hoat masuk membawa tubuh Tui Lan yang pingsan tersebut. Isteri si Pemilik Rumah, yang cantik dan jauh lebih muda dari pada suaminya, kelihatan kaget pula. Hanya gadis berlengan satu itu saja yang tampak acuh tak acuh dan masih tetap duduk di tempatnya.

   "Hei, Lo Hoat (Kakek Hoat)! Siapakah yang kau bawa itu?" si Pemilik Rumah itu bertanya.

   "Kenapa dia? Apakah dia sakit?" isterinya menyambung. Kakek Hoat itu menarik napas panjang. Dipandangnya suami-isteri yang masih muda itu beberapa saat lamanya. Dia sangat mengenal mereka, karena ia sering membantu membawakan keperluan mereka sehari-hari. Termasuk kayu bakar yang dibuangnya tadi. Dan dia juga sering membantu menjualkan ramuan obat obatan yang dibuat oleh suami-isteri itu ke kota. Dan sebenarnya dia amat segan mengganggu ketenangan mereka, karena ia tahu bahwa tinggalnya mereka di tempat yang sepi dan terasing ini karena mereka sengaja menyepi dan mengasingkan diri dari dunia ramai. Mereka tak ingin dikenal dan bertempat tinggal di kota atau di dusun yang banyak orangnya.

   "Lo Hoat, kenapa kau diam saja? Apakah kau merasa segan terhadap tamuku ini? Ah, jangan begitu. Dia masih keponakanku sendiri. Dia adalah puteri sahabat dekatku...kau tentu mengenal nama besar ayahnya, karena ayahnya adalah Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai yang tersohor itu." Si Pemilik Rumah itu mendesak lagi.

   "Ah... siok-hu (paman)! Mengapa nama ayah harus dibawa-bawa kemari?" gadis ayu berlengan satu itu bersungut-sungut tidak senang. Si Pemilik Rumah itu tersenyum.

   "Hmm... aku hanya ingin memperkenalkan dirimu kepadanya, agar dia mempercayaimu. Bukankah begitu, Eng-moi" katanya seraya menoleh ke arah isterinya. Wanita cantik itu mengangguk sambil tersenyum pula, sehingga kakek Hoat itu menjadi hilang juga rasa kikuknya. Dengan hati lega kakek tua itu lalu meletakkan tubuh Tui Lan yang lemas tersebut di atas bangku. Kemudian katanya kepada si pemilik rumah itu,

   "Tuan Chu, saya menemukan wanita muda ini di hutan cemara itu. Kulihat dia dalam keadaan pingsan di atas tanah. Lehernya ada bekas luka yang telah diobati. Tapi aku sangat mengkhawatirkannya, karena dia... dia..." Kakek itu tak bisa melanjutkan ceritanya. Dia hanya menunjuk ke arah perut Tui Lan yang besar dan kemudian mengawasi darah yang merembes keluar dari bagian bawah perut wanita yang ditolongnya itu. Si pemilik rumah yang dipanggil dengan sebutan Tuan Chu itu cepat menghampiri bangku itu. Dia juga menjadi kaget begitu menyaksikan keadaan Tui Lan.

   "Baik! Lian Cu, tolonglah aku...!" isterinya menjawab seraya menarik lengan gadis bertangan tunggal itu. Setelah isterinya itu masuk ke ruang dalam, maka si Pemilik Rumah tersebut lalu berkata kepada Kakek Hoat,

   "Lo Hoat, marilah kita angkat wanita muda ini ke dalam! Hati-hatilah! Tampaknya ia hendak melahirkan. Keadaannya sangat mencemaskan." Kakek Hoat mengangguk-anggukkan kepalanya, sehingga rambutnya yang putih mengkilap itu melambai-lambai ke kanan dan ke kiri. Untuk pertama kalinya mulutnya yang sudah ompong tak bergigi lagi itu tersenyum.

   "Kalau begitu sungguh beruntung dia, karena telah kubawa ke dalam perawatan seorang tabib nomer satu di dunia." desahnya dengan nada bersyukur. Lalu "...Biarpun mula-mula aku merasa ragu-ragu juga untuk membawanya ke sini."

   "Nah, kau telah melupakan pesanku lagi!" hardik si Pemilik Rumah perlahan.

   "Habis, apa yang mesti kukatakan? Siapa lagi di dunia ini yang memiliki ilmu pengobatan nomer satu selain anak murid keturunan Bu-eng Sin-yok-ong? Padahal satu-satunya pewaris beliau hanyalah Tuan Chu Seng Kun seorang, Siapa lagi?" kakek Hoat membantah.

   "Ya. Tapi... bukankah kau sudah kupesan untuk tidak mengungkit-ungkit lagi hal itu? Aku diam di tempat ini untuk menyepi dan mengasingkan diri. Aku sudah bosan berurusan dengan orang orang persilatan seperti halnya kakek guruku itu."

   "Maaf, Tuan Chu. Bukankah di sini tidak ada orang lain yang mendengarkan kata-kataku tadi?"

   "Ah... sudahlah! Kau memang sulit diajak bicara." Chu Seng Kun si Pemilik Rumah itu memotong gemas.

   "Nah marilah kita angkat dia!" Kakek Hoat tertawa kecil.

   "Terima kasih. Tuan Chu." ujarnya. Di dalam kamar pengobatan telah dipersiapkan oleh isteri Chu Seng Kun. Setelah membaringkan tubuh Tui Lan diatas tempat tidur, tabib muda itu lalu menyuruh Souw Lian Cu dan kakek Hoat keluar.

   "Biarlah aku dan Siok Eng saja yang memeriksanya. Hanya tolong kau siapkan air hangat di tempayan, Lo Hoat! Maaf Lian Cu, kami terpaksa menelantarkan kau." katanya sambil menyeka keringat yang mulai mengalir di dahinya. Setelah Souw Lian Cu dan kakek Hoat keluar, Kwa Siok Eng mendekati suaminya.

   "Kau kelihatan tegang sekali, Kun-ko. Apakah ada yang tak beres dengan wanita muda ini?" Sambil bergegas mempersiapkan peralatannya Chu Seng Kun mengangguk.

   "Tadi sudah kuperiksa barang sedikit keadaan tubuhnya. Tampaknya belum saatnya dia melahirkan. Namun darahnya sudah mulai keluar. Aku... aku takut... ah, marilah kita periksa dia. Tanggalkan semua pakaiannya!" jawabnya cemas.

   "Baik! Eh...! Di bawah pakaiannya ia mengenakan baju kulit ular!" tiba-tiba Kwa Siok Eng menjerit kecil. Sekejap Chu Seng Kun juga kaget. Namun dengan cepat ia menjadi sadar kembali.

   "Sudahlah! Jangan hiraukan itu! Kita harus cepat-cepat mengurusnya!" Demikianlah, sementara Chu Seng Kun dan isterinya sibuk mengurusi Tui Lan, Souw Lian Cu dan Lo Hoat juga sibuk pula menjerang air di dapur. Dan kesempatan itu ternyata juga mereka pergunakan untuk saling mengenal lebih lanjut.

   "Apakah nona ini benar-benar keponakan Tuan Chu? Mengapa selama ini aku tidak pernah melihat nona? Sudah lebih dari tiga tahun aku membantu Tuan Chu disini." Souw Lian Cu menggerakkan kepalanya, sehingga segumpal rambut yang menutupi dahinya tersibak ke samping. Matanya yang bulat lebar itu menatap wajah kakek Hoat. Bibir mungil yang tak pernah terbuka itu tiba-tiba tersenyum. Manis sekali, sehingga kakek Hoat yang telah tua renta itupun masih tetap menggeleng-gelengkan kepalanya. Belum pernah rasanya selama ini ia menyaksikan seorang gadis sedemikian cantiknya.

   "Aku memang keponakannya, Kek. Adik perempuan dari paman Chu itu adalah ibu tiriku." Gadis ayu itu menjawab.

   "Hei? Tuan Chu itu masih mempunyai seorang saudara perempuan? Dan saudara perempuannya itu sekarang telah menjadi ibu tiri nona? Lalu dimanakah ibu nona sendiri? Apakah Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai itu mempunyai dua isteri?" Lagi-lagi Souw Lian Cu tersenyum.

   "Tidak. Ayahku hanya mempunyai seorang isteri saja. Ibuku telah meninggal puluhan tahun yang lalu, ketika aku masih berusia dua tahun."

   "Ooooh...!" kakek Hoat berdesah, kemudian terdiam.

   "Lalu... Siapakah kau ini sebenarnya, Kek? Kulihat engkau memiliki keanehan tersendiri. Tak mungkin kau cuma seorang pembantu seperti yang dikatakan oleh Cici Siok Eng tadi."

   "Hei? Apakah anehnya orang seperti aku ini? Aku memang pembantu dari Tuan Chu..." Kakek Hoat menjawab cepat.

   "Kek, kau jangan berbohong kepadaku. Bukankah aku juga sudah menjawab semua pertanyaanmu dengan baik?" Kakek tua itu menjadi merah wajahnya.

   "Ah, kau benar, nona... Apakah perlunya orang tua seperti aku ini masih juga bersembunyi dari kenyataan?" katanya seraya menarik napas panjang.

   "Dengarlah! Dahulu aku adalah seorang pengawal rahasia Kaisar Chin Si. Karena kaisar Chin jatuh, maka aku menjadi pelarian. Untuk melampiaskan dendamku kepada Kaisar Han, maka aku menjadi perampok dan membuat kerusuhan dimana-mana. Tapi akhirnya aku tertangkap juga oleh pasukan Kaisar Han. Aku dikepung beramai-ramai sehingga tubuhku penuh luka. Waktu itu aku sudah tidak mempunyai harapan lagi untuk hidup. Tapi ternyata Thian menentukan lain. Tuan Chu tiba-tiba menolongku. Seperti memiliki mujijat saja aku yang sudah tiga-perempat mati itu dihidupkannya kembali. Aku menjadi sadar akan kekeliruanku. Aku lantas bertekad untuk menebusnya. Aku membantu Tuan Chu mengamalkan kepandaiannya mengobati orang-orang yang membutuhkan pertolongannya. Kadang-kadang aku juga ikut menjuaIkan atau membagi-bagikan obat-obatan hasil ramuannya ke tempat-tempat yang membutuhkan."

   "Ah, kalau begitu kepandaian silat kakek tentu hebat sekali. Kudengar para pengawal mendiang Kaisar Chin memiliki kesaktian yang tinggi, seperti misalnya... mendiang Hek-mou-sai Wan It dan Siang-houw Nio-nio." Tiba-tiba Lo Hoat tertawa terkekeh-kekeh.

   "Ah! Nona sungguh membuatku malu saja. Kalau dibandingkan dengan keroco-keroco jalanan, ilmuku memang boleh dibilang tinggi. Tapi kalau dibandingkan dengan ilmu keluarga Souw, wah...rasanya tubuhku yang tua ini harus membanting-tulang seribu tahun lagi untuk belajar silat, eh-eh-eh-eh..."

   "Ah, Kakek ini bisa saja...

   "

   "Tapi eh... omong-omong, kenapa nona sendiri saja kemari? Di manakah ayahmu Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai itu? Apakah beliau tidak ikut datang ke sini?" tiba-tiba Lo Hoat menghentikan tawanya dan bertanya serius. Tak terduga pertanyaan Lo Hoat itu justru membuat pudar kegembiraan Souw Lian Cu. Wajah yang ayu itu tiba-tiba menjadi gelap. Suasana mendadak menjadi kaku. Gadis itu tak menjawab untuk beberapa saat lamanya. Tentu saja keadaan itu membuat heran hati Lo Hoat. Dengan pandang mata bingung orang tua itu mengawasi Souw Lian Cu.

   "Nona Souw, kenapa tiba-tiba kau terdiam? Apakah ada sesuatu yang salah?" desaknya cemas. Souw Lian Cu tersentak kaget, lalu menghela napas panjang sekali.

   "Ah, maaf aku tidak apa-apa. Aku memang datang sendirian ke sini, karena aku mengunjungi Paman Chu bukan sebagai wakil dari keluarga Souw, tapi sebagai utusan Ban-hoat Sian-seng (Pelajar Selaksa Ilmu atau Pelajar Serba Bisa) yang berdiam di Puncak Hoa-san." Sebaliknya kini ganti Lo Hoat yang menjadi kaget mendengar ucapan Souw Lian Cu tersebut.

   "Ban-hoat Sian-seng dari Puncak Hoa-san? Nona Souw, aku pernah mendengar tentang adanya seorang tokoh sakti di Puncak Gunung Hoa-san, yang memiliki sebuah buku yang disebut Buku Rahasia. Khabarnya tokoh sakti itu juga disebut-sebut sebagai Tokoh Nomer Satu di dunia persilatan dewasa ini. Hmm... apakah beliau itu yang kau sebutkan sebagai Ban-hoat Sian-seng tadi?" Souw Lian Cu menatap Lo Hoat lekat lekat, kemudian mengangguk.

   "Benar. Memang beliaulah pemilik dari buku Rahasia itu. Dan... kedatanganku kemari ini juga berkenaan dengan buku tersebut. Sebab buku itu telah hilang beberapa tahun yang lalu."

   "Oh, jadi buku itu telah dicuri orang? Wah, hebat benar orang yang mencurinya. Tapi... mengapa engkau yang diutus untuk melacak buku itu? Ada hubungan apa antara keluarga Souw dengan Ban-hoat Sian-seng?" Wajah Souw Lian Cu yang semula menjadi gelap itu tiba-tiba menjadi terang kembali.

   "Ban-hoat Sian-seng adalah guruku. Dan kedatanganku kemari bukan untuk melacak Buku Rahasia itu. Hmm, kakek ini main tebak sekenanya saja..." katanya sambil tersenyum.

   "Oooooooh...I" Lo Hoat tersipu-sipu. Lo Hoat melirik sekejap ke arah Souw Lian Cu. Hatinya terasa belum puas. Masih banyak pertanyaan yang tersimpan di dalamnya, namun ia merasa segan untuk mengeluarkannya. Ia takut dikira terlalu mencampuri urusan orang.

   "Ooo-eeeek! Ooo-eek! Ooo-eek...!" Tiba-tiba mereka berdua dikejutkan oleh suara tangis bayi dari kamar pengobatan. Dan bersama itu pula air yang mereka jerang juga telah mendidih, keduanya saling berpandangan dengan hati was-was.

   "Lo Hoat! Mana air hangat itu? Cepat bawa kemari!" terdengar suara Kwa Siok Eng dari dalam. Lo Hoat bergegas membawa air mendidih itu ke dalam, sementara Souw Lian Cu cepat menyambar tempayan berisi air dingin dan mengikutinya dari belakang. Di ruang tengah mereka berpapasan dengan Kwa Siok Eng atau Nyonya Chu yang menggendong orok yang masih baru dan berlepotan darah segar. Orok yang masih saja menangis keras itu diletakkannya di atas meja kecil.

   "Lo Hoat? Tolong kau taruh tempayan air mendidih itu di bawah meja, lalu buatkan campuran air hangat sedikit saja untuk memandikan bayi ini! Dan., Lian Cu! Tolong kau ambil lilin di almari itu dan nyalakanlah sebanyak-banyaknya, kemudian taruhkanlah di sekitar meja ini!" Kwa Siok Eng membagi-bagi pekerjaan dengan tergesa-gesa, sementara dia sendiri sibuk mempersiapkan pakaian dan selimut untuk si bayi. Sambil menyerahkan nampan kecil berisi air hangat Lo Hoat bertanya,

   "Bagaimana dengan ibunya?"

   "Dalam keadaan berbahaya. Kun Koko sedang berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan jiwanya. Dia telah kehilangan banyak darah, karena kandungannya ternyata belum cukup umur. Mungkin baru tujuh bulan..."

   "Lalu...?" Lo Hoat mendesak lagi.

   "Ah! Jangan banyak bicara dulu! Nanti saja! Anak ini juga memerlukan perawatan khusus. Jiwanya tak kalah gentingnya dengan ibunya, sebab belum saatnya dia lahir di dunia... Ayoh! Dekatkanlah sedikit lilin-lilin itu, agar udaranya menjadi hangat!" Tapi baru saja mereka bergerak, tiba-tiba dari dalam terdengar suara Chu Seng Kun memanggil Kwa Siok Eng.

   "Eng-moi, bagaimana dengan anak itu? Kalau sudah baik, biarlah ditangani oleh Lian Cu! Kau cepat-cepatlah ke sini! Wanita ini sudah sulit diselamatkan! Dia terlalu banyak kehilangan darahnya! Harus diusahakan penambahan darah buat dia! Cepatlah kau periksa, siapa di antara kita yang cocok untuk menambah darahnya!"

   "Oh, begitu payahkah keadaannya?" Kwa Siok Eng berdesah cemas pula. Lalu katanya kepada Souw Lian Cu,

   "Lian Cu, Tolong kau jaga anak ini baik-baik! Aku hendak membantu Kun Koko sebentar. Awas! Jangan sampai lengah! Lilin-lilin ini tidak boleh mati. Tidak boleh terlalu dekat, tapi juga jangan terlalu jauh. Setelah sepeminuman teh nanti tempayan air mendidih di bawah meja itu boleh disingkirkan!" Kwa Siok Eng lalu berlari ke ruang pengobatan. Namun baru tiga langkah ia berjalan, tiba-tiba sudah berbalik kembali.

   "Oh, ya... bolehkah aku mengambil sedikit saja darahmu? Dan... kau juga, kakek Hoat! Siapa tahu di antara kalian ada yang cocok untuk menambah darahnya?"

   "Silakan!" Kakek Hoat dan Souw Lian Cu menjawab hampir berbareng. Kwa Siok Eng lalu bergegas mengambil cawan kecil yang sering ia pakai untuk meramu obat.

   Kemudian dengan torehan kecil di ujung jari Souw Lian Cu dan Lo Hoat, ia mengambil beberapa tetes darah mereka. Setelah itu ia berlari ke dalam kamar pengobatan. Di dalam kamar ia menyaksikan suaminya sedang mati-matian bertarung dengan maut yang hendak merenggut jiwa Tui Lan. Dengan peluh yang bercucuran di seluruh tubuhnya, suaminya tampak sedang mengerahkan segala kemampuannya untuk menyelamatkan jiwa wanita yang baru melahirkan tersebut. Dengan mengatur serta mengendalikan tenaga saktinya, suaminya menusukkan beberapa buah jarum emas dan perak di atas perut dan dada wanita itu.Kwa Siok Eng lalu membuka almari obat-obatan. Diambilnya beberapa buah botol berisi cairan-cairan bening yang sering dipergunakan oleh suaminya kalau sedang memeriksa jenis darah orang yang ditolongnya.

   

Darah Pendekar Eps 43 Pendekar Penyebar Maut Eps 37 Pendekar Penyebar Maut Eps 5

Cari Blog Ini