Darah Pendekar 43
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 43
"Dessss!" Hantaman kedua tangan Kaisar itu disambut oleh dua orang komandan ini dan akibatnya, dua orang komandan itu terlempar dan terbanting roboh dengan mata mendelik dan napas putus! Hal ini tentu saja menggegerkan pihak penyerbu. Dua orang komandan itu amat lihai dan kuat, akan tetapi sekali pukul tewas oleh Kaisar asing ini! Chu Siang Yu memberi aba-aba dan masuklah ratusan orang perajurit pilihan menyerbu Istana. Melihat ini, Kaisar memberi isyarat dan bersama para pengawalnya, dia berhasil membuka jalan berdarah dan meloloskan diri melalui pintu belakang.
Diantara puluhan orang pengawal dan anak buahnya hampir setengahnya roboh dan tewas, akan tetapi Kaisar itu sendiri berhasil lolos menyelamatkan diri. Perlawanan para pengikut Kaisar akhirnya dapat dilumpuhkan dan Chu Siang Yu berhasil menguasai Istana. Dua orang pembesar durna yang menjadi biang keladi semua kekeruhan pemerintah, yaitu kepala thaikam yang bernama Chao Kao bersama sekutunya, Perdana Menteri Li Su yang korup, ditangkap dan tidak sempat diadili karena mereka berdua dikeroyok, dipukuli, ditendangi dan diinjak-injak sehingga mereka tewas dalam keadaan yang mengerikan sekali. Mayat mereka menjadi dua onggok daging dan tulang-tulang remuk. Karena merasa heran melihat betapa Kaisar muda yang amat lihai dan berhasil melarikan diri itu ternyata bukan Kaisar aseli, Chu Siang Yu mengadakan penyelidikan.
Dari pengakuan para tawanan dia mendengar bahwa Kaisar muda yang menggantikan Kaisar lama diam-diam telah dibunuh dengan racun oleh Chao Kao dan kaki tangannya, kemudian bersama Li Su dan para pembesar pengkhianat lainnya, diam-diam mereka mengangkat seorang Kaisar baru, yaitu Kaisar yang amat lihai ilmu silatnya tadi. Chu Siang Yu menggeleng-geleng kepala. Tak disangkanya sampai sejauh itu pengkhianatan yang dilakukan oleh para Menteri korup. Yang amat mengherankan hatinya adalah tidak munculnya Raja Kelelawar dalam penyerbuan di Istana itu. keadaan yang mengerikan sekali. Apa gerangan yang telah terjadi dengan Raja iblis itu? Dia teringat betapa pemuda aneh yang kumat itu melakukan pengejaran terhadap Raja Kelelawar, apakah pemuda itu berhasil membunuhnya?
Banjir darah terjadi di Kotaraja, sejak dari pintu benteng sampai kedalam Istana. Tak terhitung banyaknya manusia yang tewas, menjadi korban perang yang amat ganas itu. Dan mereka yang menang perang berpesta-pora diatas tanah yang masih berlumur darah, baik darah musuh maupun darah rekan-rekan mereka sendiri. Selagi hawa kematian masih mengotori Kotaraja, Chu Siang Yu dan pasukan-pasukannya, bersama para sekutunya, yaitu pasukan-pasukan asing, merayakan pesta kemenangan dengan meriah sekali. Akan tetapi, seperti biasa terjadi dalam perang, pesta kemenangan ini bukan tidak terjadi bersama peristiwa-peristiwa mengerikan dan menyedihkan bagi para penduduk.
Para perajurit yang merasa menang perang mulai bertindak sewenang-wenang Manusia, dibagian dunia yang manapun, selalu condong untuk menciptakan kekuasaan dalam kemenangan, dan mempergunakan kekuasaan itu untuk bertindak sewenang-wenang. Para perajurit yang mabok-mabokan itu berkeliaran diantara rumah para penduduk, dan tidak ada harta benda dan wanita-wanita yang lolos dari gangguan mereka. Terjadilah perampokan, perkosaan dan pembunuhan terhadap mereka yang melawan. Terutama sekali para perajurit pasukan asing dari utara yang memang ganas dan liar itu segera memperebutkan para wanita penduduk Kotaraja, tidak perduli wanita itu cantik atau buruk, muda ataupun tua.
Bukan hanya wanita-wanita penduduk Kotaraja yang menjadi sasaran. Juga keluarga para pembesar, para dayang Istana, para puteri yang cantik-cantik dijadikan rebutan. Banyak peristiwa perkosaan dan pembunuhan keji terjadi didepan mata perajurit pribumi sendiri, dan bagaimanapun juga, perasaan setia kawan sebangsa membuat para perajurit pribumi menjadi marah. mulailah terjadi bentrokan-bentrokan antara para perajurit pribumi melawan perajurit asing itu. Mula-mula memang bentrokan kecil saja antara perajurit, memperebutkan wanita atau harta benda, akan tetapi bentrokan pribadi disusul bentrokan kelompok dan golongan, kemudian bentrokan antara pasukan!
Para pimpinan pasukan tidak berhasil melerai, bahkan mereka terseret dan terjadilah pertempuran secara terbuka! Pesta kemenangan yang dirayakan selama dua tiga hari itupun kini berobah menjadi pesta pertempuran yang makin lama semakin hebat, seolah-olah berobah menjadi, perang terbuka! Kembali Kotaraja dilanda pertempuran hebat yang mengorbankan lebih banyak lagi jiwa manusia Melihat ini, Chu Siang Yu mengerahkan pasukan-pasukannya dan dia tidak bertindak kepalang tanggung. Dia melihat betapa pasukan asing yang tadi nya menjadi sekutunya itu amat tamak dan kalau dibiarkan kelak hanya akan menjadi pengganggu jalan pemerintahannya saja. Ternyata orang-orang asing itu amat tamak dan menuntut terlalu banyak dari jasa bantuan mereka.
Siapa tahu kelak malah akan merampas kedudukannya, maka sebelum hal-hal yang lebih buruk terjadi, lebih baik basmi saja mereka. Kesempatan baik terbuka dan alasannyapun cukup kuat, yaitu dengan adanya permusuhan-permusuhan antara pasukan mereka. Terjadilah pertempuran hebat dan dalam waktu dua hari dua malam, pasukan asing itu dapat dibasmi habis karena memang tentu saja jumlah mereka jauh kalah banyak dibandingkan dengan pasukan Chu Siang Yu. Walaupun demikian, dalam gerakan pembasmian ini, Chu Siang Yu kehilangan banyak sekali perajurit sehingga tentu saja kekuatan barisannya menjadi jauh berkurang. Apa lagi sisa pasukannya juga menjadi lelah kehabisan tenaga karena baru saja mengerahkan tenaga menyerbu Kotaraja, harus disusul pula dengan pertempuran hebat dan melelahkan melawan pasukan asing bekas sekutu mereka itu.
Semua peristiwa yang terjadi di Kotaraja itu tentu saja tidak pernah lepas dari pengintaian Liu Pang. Tentu saja hati Liu Pang gembira bukan main melihat perkembangan yang sama sekali tidak diduganya dan amat menguntungkan pihaknya itu. Maka diapun menahan diri dan membiarkan Chu Siang Yu berhantam sendiri dengan sekutunya sampai pasukan-pasukan asing itu terbasmi habis. Selagi pasukan-pasukan Chu Siang Yu kelelahan, tiba-tiba saja Liu Pang menggerakkan barisannya yang sudah beristirahat selama lima hari dan berada dalam keadaan segar bugar, menyerbu pintu gerbang Kotaraja yang terjaga oleh pasukan-pasukan yang kelelahan. Kembali terjadi perang yang paling hebat diantara perang yang lalu. Kotaraja yang porak-poranda itu menjadi semakin hancur.
Chu Siang Yu yang sedang mabok kemenangan itu tentu saja kaget setengah mati. Cepat dia mengumpulkan para pembantunya untuk mengatur pertahanan. Akan tetapi, mana mungkin pasukannya yang sudah banyak berkurang jumlahnya itu, yang sedang berada dalam kelelahan dan kehabisan tenaga, mampu menandingi kekuatan pasukan para pendekar yang jumlahnya besar dan keadaan jasmaninya segar bugar itu? Apa lagi karena penduduk segera menyambut pasukan Liu Pang ini sebagai pasukan pembebas, dan para penduduk mendukung dan membantunya. Liu Pang melakukan penyerbuan dipagi buta. Tidak sukar bagi pasukannya untuk meruntuhkan pintu gerbang dan terjadilah pertempuran terbuka diseluruh Kotaraja. Pertempuran besar yang amat mengerikan dan terjadi selama sehari penuh.
Ketika matahari sudah condong ke barat, pasukan Chu Siang Yu hampir seluruhnya tersapu bersih. Mayat-mayat berserakan dan bergelimpangan dilorong-lorong, dijalan-jalan, dihalaman-halaman rumah penduduk, bercampur baur dengan mayat-mayat pasukan asing yang kemarin mereka bantai dan belum sempat disingkirkan. Keadaan ini sungguh mendirikan bulu roma. Laporan demi laporan tentang kekalahan yang diderita pasukannya membuat Chu Siang Yu merasa benar-benar terpukul hancur batinnya. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa perjuangannya yang bertahun-tahun lamanya, yang mengorbankan puluhan ribu nyawa pasukannya, yang diperjuangkannya dengan susah payah melalui air mata, peluh dan darah, kini setelah tiba diambang keberhasilan yang gemilang, ternyata menghadapi kehancuran!
Penguasaan Kotaraja dan Istana hanya dapat dinikmatinya dalam waktu beberapa hari saja! Seluruh pengawal dan pasukan di Istana telah dikerahkan membantu keluar. Kini tinggallah Chu Siang Yu berdua dengan isterinya di Istana, ditemani tujuh orang pengawalnya yang berpakaian putih mengkilap. Sore hari itu, setelah mendengar laporan terakhir bahwa pasukannya sudah hampir terbasmi habis, Chu Siang Yu mengenakan pakaian perang dan duduk menghadapi meja makan ditemani isterinya yang cantik. Mereka makan-minum dan kelihatannya gembira, walaupun wajah isterinya yang cantik itu pucat sekali dan matanya basah.
"Isteriku, kenapa engkau menangis? Segala sesuatu didunia ini hanya ada dua macam, baik atau buruk, terang atau gelap, menang atau kalah. Yang dua itu selalu datang bergantian, bergilir. Ada waktunya terang ada waktunya gelap, ada waktunya menang ada waktunya kalah, seperti juga ada waktunya hidup ada waktunya mati. Kita harus berani menghadapi kenyataan, baik maupun buruk. Mari kita makan-minum sepuasnya, isteriku, siapa tahu untuk yang terakhir kali." Mendengar ucapan terakhir itu, isterinya bangkit dan menubruknya sambil menangis. Chu Siang Yu merangkul dan menciumi isterinya yang tercinta, diam-diam merasa bersyukur bahwa mereka tidak mempunyai anak. Sungguh akan membingungkan sekali kalau mereka harus menghadapi kegagalan seperti ini bersama anak-anak mereka.
"Sudahlah, tenangkan hatimu. Ingat bahwa aku adalah keturunan keluarga panglima, bahwa aku seorang pemimpin yang harus berani menghadapi segala kegagalan. Aku akan keluar memimpin sendiri sisa pasukanku menghadapi musuh." Wanita itu bangkit dan menyusut air matanya, lalu berkata dengan sikap gagah,
"Aku ikut dan akan membantumu!"
"Ah, jangan, isteriku. Engkau tinggallah disini. Liu Pang adalah seorang gagah, dia pasti akan melindungimu dan tidak akan membolehkan orang mengganggumu."
"Tidak! Mati hidup aku harus berada disampingmu!"
"Jangan, isteriku. Apakah engkau akan membuat suamimu ini menjadi buah tertawaan orang? Apa akan kata mereka? Lihat, Chu Siang Yu tidak berani maju perang tanpa diantar isterinya! Maukah engkau melihat aku menjadi bahan ejekan?"
Isterinya menangis dan merangkul suaminya, tidak mau melepaskah lagi. Beberapa orang dayang juga menangis sambil berlutut, sedangkan tujuh orang pengawalnya, yaitu barisan Jit-seng-tin yang lihai itu, memandang dengan termangu-mangu. Mereka merasa terharu, akan tetapi mereka adalah perajurit-perajurit yang keras hati dan tidak mau membiarkan diri diseret kelemahan perasaan. Akhirnya, setelah beberapa kali mencium isterinya dengan penuh kemesraan dan kecintaan hatinya, Chu Siang Yu dengan halus merenggutkan dirinya terlepas dari rangkulan isterinya, memberi isyarat kepada Jit-seng-tin lalu meninggalkan ruangan Istana itu tanpa menoleh lagi karena dia mendengar isterinya menangis sesenggukan bersama para dayang.
Pemimpin pemberontak ini melangkah lebar diikuti tujuh orang pengawalnya, kemudian menunggang kuda dan menyerbu keluar, mengamuk! Hebat bukan main sepak terjang Chu Siang Yu dan Jit-seng-tin dan akhirnya mereka bertemu dengan rombongan Liu Pang sendiri! Terjadilah pertempuran yang amat seru, akan tetapi karena Liu Pang dibantu orang-orang pandai seperti dua saudara Yap, Pek Lian dan lain-lain, akhirnya seorang demi seorang dari Jit-seng-tin roboh dan tewas. Melihat, betapa para pengawalnya tewas dan pertempuran disekitar tempat itu berhenti karena sisa anak-buah pasukannya banyak yang menyerah, Chu Siang Yu menjadi semakin sedih.
"Jangan bunuh dia! Tangkap hidup-hidup karena aku mengagumi kegagahannya'!" Liu Pang berseru kepada para pembantunya dan kini Chu Siang Yu dikepung. Pemimpin ini maklum bahwa melawan terus tidak mungkin. Dia tentu akan kewalahan dan akhirnya dapat ditangkap sebagai tawanan.
"Seorang perajurit sejati lebih baik mati dari pada hidup menjadi tawanan!" teriaknya dan pedangnya berkelebat. Liu Pang dan para pembantunya terkejut akan tetapi mereka tidak sempat mencegah lagi. Tubuh Chu Siang Yu terguling dari atas kudanya dalam keadaan tak bernyawa karena pedangnya telah menggorok lehernya sendiri! Liu Pang berdiri memandang jenazah yang berlumuran darah itu dengan hati trenyuh lalu dia memesan pengawalnya untuk mengurus baik-baik jenazah pemimpin itu.
"Serahkan jenazah dalam peti yang baik kepada keluarganya yang mungkin masih berada di Istana, agar dapat disembahyangi," katanya.
Akan tetapi, ketika dia dan para pembantunya menyerbu Istana, tidak terdapat perlawanan sama sekali. Disebuah ruangan depan, mereka menemukan isteri Chu Siang Yu dan dua belas orang dayang menggeletak tak bernyawa. Melihat pisau belati menancap didada masing-masing tahulah Liu Pang bahwa mereka itu semua membunuh diri, mungkin setelah mendengar akan tewasnya Chu Siang Yu. Liu Pang makin terharu melihat peristiwa ini dan diapun memesan agar jenazah isteri pemimpin pemberontak itu dirawat sebagaimana mestinya. Mereka semua terus memasuki Istana. Kosong! Istana yang masih porak poranda bekas tangan-tangan panjang yang merampoki benda-benda berharga itu nampak sunyi dan kosong, walaupun semua lampu dipasang.
Agaknya para pengawal dan petugas yang tadinya berjaga di Istana, semua telah dikerahkan keluar untuk membantu pasukan menahan serangan musuh. Liu Pang memimpin para pembantunya terus masuk sampai kebalairung, ruangan luas dimana terdapat singgasana Kaisar dan dimana Kaisar biasa bersidang bersama semua pembesar atasan. Ruangan yang luas itupun sunyi, akan tetapi tiba-tiba Bwee Hong menuding kedepan sambil menahan jeritnya. semua orang memandang dan terbelalak keheranan. Diatas singgasana, kursi kebesaran Kaisar itu, duduk seorang pria yang agaknya sedang termenung seorang diri. Dan pria itu bukan lain adalah A-hai! Tentu saja semua orang merasa heran bukan main. Pek Lian sudah meloncat kedepan, memandang terbelalak kepada pemuda itu.
"Engkau... engkau disini? Bagaimana bisa berada disini?" Juga Seng Kun dan Bwee Hong meloncat maju, girang melihat pemuda itu yang amat mereka khawatirkan ternyata, dalam keadaan selamat didalam Istana, malah enak-enak duduk diatas singgasana Kaisar!
"Saudara A-hai, bagaimana engkau tahu-tahu berada disini?" A-hai tersenyum dan bangkit berdiri dan kakak-beradik yang bermata tajam itu dapat melihat dengan jelas betapa terjadi perobahan besar pada diri pemuda itu. Sikapnya yang seperti orang tolol atau bingung itu lenyap sama sekali dan kini sikapnya tenang, bahkan agung dan berwibawa. Matanya bersinar tajam dan wajahnya berseri gembira melihat rombongan Liu Pang, apa lagi melihat Pek Lian, Bwee Hong dan Seng Kun.
"Nona Lian, panjang ceritanya bagaimana aku dapat berada disini," jawabnya kepada Pek Lian, kemudian dia menjura kepada Seng Kun dan Bwee Hong sambil berkata,
"Sahabat Kun dan nona Hong, berkat pengobatan kalian berdua yang amat berharga, kini aku dapat mengingat semua hal dan ingatanku pulih kembali. Banyak terimakasih atas segala budi kebaikan kalian berdua." Sebelum tiga orang muda itu sempat menjawab, dia sudah menjura kepada Liu Pang,
"Liu-Bengcu, saya menghaturkan selamat atas kemenangan Bengcu dan para pendekar." Liu Pang balas menjura dan biarpun wajahnya berseri, namun dia menarik napas panjang dan mengerutkan alisnya.
"Ah, kemenangan yang berlumuran darah. Entah berapa laksa orang gagah yang harus mengorbankan nyawanya, negara ini baru dapat dibebaskan dari cengkeraman orang-orang jahat setelah dicuci oleh darah para pendekar." Diam-diam Seng Kun, Bwee Hong, dan Pek Lian ingin sekali mendengar apa yang telah terjadi antara A-hai dan Raja Kelelawar, akan tetapi karena suasana yang demikian sibuknya, mereka belum sempat bertanya. Kemenangan gemilang itu tentu saja disambut dengan pesta lagi oleh Liu Pang dan pasukannya. Akan tetapi, Liu Pang adalah seorang pemimpin yang baik.
Dia tidak mau mengulang kesalahan yang diperbuat Chu Siang Yu. Dia mengeluarkan peraturan keras dan melarang perajurit-perajuritnya untuk berbuat sewenang-wenang. Para pendekar yang membantunya bertugas melakukan pengawasan. Juga dia tidak mabok kemenangan. Dibentuknya pasukan-pasukan baru yang bertugas mengadakan pembersihan terhadap musuh-musuh yang masih berkeliaran, juga ada pasukan yang bertugas memperbaiki semua kerusakan dan penjagaan terhadap keamanan di Kotaraja juga diperkuat. Rakyat merasa aman terlindung sehingga mereka menyambut kemenangan Liu Pang dengan gembira, dianggap sebagai kemenangan mereka sendiri pula, kemenangan yang baik terhadap yang jahat. Karena itu, yang bergembira dan berada dalam keadaan berpesta ria bukan hanya Liu Pang dan pasukannya, melainkan seluruh penghuni Kotaraja.
Orang-orang bersuka ria, dijalan-jalan, diwarung-warung, dirumah-rumah, dengan pemasangan kembang api dan petasan. Pada keesokan harinya, dengan meriah Liu Pang dinobatkan sebagai Kaisar baru secara resmi. Yang mengepalai upacara resmi penobatan Liu Pang sebagai Kaisar ini bukan lain adalah Bu Hong Seng-jin, kepala kuil Istana Thian-to-tang yang sudah dibebaskan dari dalam penjara bersama banyak sekali pejabat tinggi lainnya. Para pejabat tinggi yang rata-rata pandai dan jujur ini oleh Liu Pang dibebaskan dan diberi kedudukan tinggi sesuai dengan kepandaian masing-masing. Tentu saja Seng Kun dan Bwee Hong hadir pula dalam penobatan Kaisar yang dipimpin upacaranya oleh ayah kandung mereka itu. Juga A-hai, Pek Lian, Yap Kiong Lee, Yap Kim dan para pembantu lain hadir semua dengan wajah berseri gembira.
Dengan dinobatkannya Liu Pang menjadi Kaisar Han Kao Cu, maka berdirilah wangsa baru yang disebut Wangsa Han (tahun 202 Sebelum Masehi). Kaisar Han Kao Cu segera membagi-bagi hadiah kepada para pembantunya. Mereka diberi kedudukan dan tanah dengan pangkat yang tinggi sesuai dengan kepandaian dan jasa mereka. Penobatan Kaisar dan pangkat para pembantunya itu tentu saja disusul dengan pesta yang meriah. Yap Kim yang menjadi tangan kanan Liu Pang diwaktu akhir-akhir ini, oleh Kaisar Han Kao Cu diangkat menjadi panglima kerajaan, sedangkan Yap Kiong Lee yang tidak mau menerima pangkat itu diangkat sebagai penasihat tanpa kedudukan tetap, akan tetapi mempunyai tanda kekuasaan berupa pedang pusaka hadiah Kaisar dan cap kebesaran sebagai penasihat!
Bu Hong Seng-jin masih tetap menjadi kepala kuil Istana dan penasihat Kaisar. Akan tetapi Seng Kun dan Bwee Hong dengan halus menolak pemberian pangkat, hanya menerima hadiah-hadiah dari Kaisar berupa barang-barang berharga dan indah sebagai hasil sitaan dalam Istana. Banyak sekali harta kekayaan yang disita dari Istana, terutama sekali harta pusaka yang telah ditimbun oleh mendiang Perdana Menteri Li Su, sungguh luar biasa banyaknya sampai tak terhitung. Demikian pula harta kekayaan dari mendiang Thaikam Chao Kao amatlah besar. Semua orang bergembira ria, agaknya sudah lupa bahwa Kotaraja yang sudah nampak bersih itu masih berbau darah, dan ribuan orang masih menderita karena luka-luka mereka didalam pertempuran.
Sewaktu semua orang bersuka ria dipagi hari esoknya, A-hai meninggalkan Istana yang sedang dalam keadaan pesta itu secara diam-diam dan dia berjalan seorang diri menyusuri jalan-jalan yang juga amat ramai dengan penduduk yang ikut pula merayakan penobatan Kaisar baru. Dia melangkah perlahan-lahan seperti orang termenung, tidak menengok kekanan kiri, bahkan tidak melihat semua keramaian itu. Karena itu, diapun tidak memperhatikan dan tidak tahu bahwa ada seorang wanita diam-diam membayanginya dari jauh. Wanita ini bukan lain adalah Chu Bwee Hong! Dara ini belum juga memperoleh kesempatan untuk bercakap-cakap dengan A-hai semenjak mereka bertemu didalam Istana.
Keadaan terlalu sibuk dan Bwee Hong sendiripun bersama kakaknya sibuk menangani pembebasan ayah kan-dungnya dan kemudian menghabiskan waktu mereka untuk bercakap-cakap dengan ayahnya. kemudian disusul kesibukan ayahnya yang memimpin upacara pengangkatan Kaisar baru, maka biarpun hatinya ingin sekali dapat bicara dan berduaan dengan A-hai, namun kesempatan belum terbuka. Oleh karena itu, ketika Bwee Hong melihat A-hai keluar dari ruangan pesta dan berjalan sendirian, iapun diam-diam membayangi dari jauh, ingin sekali tahu kemana pemuda itu hendak pergi dan mengapa pula agaknya hendak menyingkir dari orang banyak. Sejak pertemuan mereka di Istana itu, Bwee Hong selalu memperhatikan A-hai ketika bertemu dan ia melihat bahwa biarpun A-hai kini sudah berobah,
Bukan seorang yang nampak tolol lagi, akan tetapi pria perkasa itu seperti kehilangan kegembiraannya dan selalu wajahnya diliputi mendung, seolah-olah perasaannya sedang menderita suatu kesedihan yang tidak diketahuinya. A-hai berjalan terus menuju kepinggir kota yang sepi, diantara sawah ladang yang pada hari itu ditinggalkan semua orang yang sibuk bersuka ria. Akhirnya dia berhenti disebuah ladang dan duduk diatas batu dekat selokan air sawah yang kecil, duduk termenung seperti patung. Angin bersilir menggerakkan rambut dan ujung pakaiannya. Hanya itu yang bergerak, sedangkan tubuh pria itu sendirian sama sekali tidak bergerak. Sampai beberapa lamanya Bwee Hong mengintai dan berdiri agak jauh dibelakang batang pohon, memandang kepada A-hai.
Akhirnya ia tidak tahan melihat pemuda itu diam seperti patung dan dengan hati-hati agar jangan mengejutkan pemuda itu, ia menghampiri. Tiba-tiba A-hai menggerakkan tangannya dan Bwee Hong menahan langkah, lalu menyelinap lagi. bersembunyi diantara batang-batang pohon yang malang-melintang karena ada batang pohon yang tumbang. Ia mengintai, ingin tahu apa yang akan dilakukan pemuda itu. Ternyata A-hai hanya menggerakkan tangan kanan mengambil sebuah boneka batu kemala dari saku jubahnya. Bwee Hong mengenal betul boneka itu dan iapun memandang penuh perhatian. Kini A-hai menarik napas panjang, memandangi boneka itu, lalu menciumnya satu kali dan menekankan boneka itu kedadanya, kemudian dia memegang boneka itu dan menundukkan mukanya yang nampak sedih sekali.
Bwee Hong melihat semua ini dan iapun dapat menduga apa artinya semua itu. Ia dapat menduga bahwa boneka itu tentulah patung kecil dari seorang wanita yang amat dicinta oleh A-hai dan kini agaknya A-hai telah mengenal kembali siapa adanya wanita itu. Bwee Hong merasa betapa jantungnya seperti tertusuk, hatinya sedih tak terasa lagi beberapa tetes air mata membasahi pipinya dan tanpa disengaja kakinya membuat gerakan sehingga terdengar suara daun kering terinjak. Ia terkejut sendiri dan cepat menggunakan tangan menyusut air matanya. Memang sedikit suara itu cukup bagi A-hai. Dia tahu bahwa ada orang disebelah kirinya. Ketika dia mengerling dan melihat bahwa orang itu adalah Bwee Hong, dia terkejut sekali.
"Nona Hong!" katanya dan diapun bangkit berdiri, cepat menghampiri dara itu dengan boneka masih dipegangnya. Sejenak mereka berdiri saling berhadapan dan saling berpandangan. Pandang mata A-hai yang awas itu agaknya dapat melihat bekas air mata dibawah mata Bwee Hong, maka diapun bertanya dengan khawatir.
"Engkau engkau menangis, nona?" Mendengar pertanyaan ini, otomatis tangan Bwee Hong mengusap kedua matanya dan ia menggeleng tanpa menjawab.
"Akan tetapi aku melihat engkau seperti orang berduka, ada apakah, nona?"
"Aku tadi melihat engkau berjalan sendirian ketempat ini dan aku diam-diam membayangimu. Kemudian aku melihat engkau duduk termenung, demikian sedih sehingga akupun ikut merasa sedih. Aku khawatir kalau-kalau penyakitmu kambuh kembali, saudara A-hai eh, aku tidak berani lagi menyebutmu dengan nama sederhana itu." Pria itu tersenyum pahit.
"A-hai adalah nama kecilku, nona. Namaku adalah Souw Thian Hai"
"Ah, jadi engkau benar Souw-kongcu itu? Dan boneka itu"
"Ini patung isteriku. Ia sudah meninggalkan aku, sudah tewas dan anakku... anakku buntung pula lengannya." Pria itu mengerutkan alisnya dan wajahnya menjadi muram sekali.
Tentu saja Bwee Hong menjadi terkejut bukan main. Kiranya A-hai ini benar adalah Souw-kongcu yang sudah mempunyai anak isteri! Hampir saja air matanya runtuh kembali, akan tetapi kini ia menekan perasaannya dan memandang wajah pria itu dengan penuh rasa kasihan. Betapa banyak ia mengalami hal-hal yang hebat dengan pria ini dan biarpun dilubuk hatinya ia merasa girang melihat A-hai telah sembuh dan kembali menjadi Souw Thian Hai, seorang pendekar yang gagah perkasa, namun pulihnya ingatan itu malah membenamkan pria ini kedalam kedukaan. Dan pula, ia kehilangan sesuatu pada pandang mata pria ini. Dahulu, sebagai A-hai, pria ini memandangnya dengan sinar mata yang kadang-kadang amat mesra, penuh cinta!
"Engkau... sungguh kasihan sekali, Souw-taihiap" katanya dan tak terasa pula ia menjamah tangan kiri pria itu dengan hati terharu. Jari-jari tangan kiri A-hai atau Souw Thian Hai menyambut dan sejenak digenggamnya tangan yang kecil itu dengan jari tangan mengandung getaran penuh perasaan, akan tetapi lalu dilepasnya kembali.
"Nona Hong, engkau sungguh seorang yang berhati mulia, bahkan engkau dan kakakmu telah menyembuhkan aku. Budimu terlampau besar, dan jangan sebut aku taihiap. Engkau penolongku, sahabatku yang kuhormati, dan"
"Dan bagaimana? Mengapa tidak kau lanjutkan? Engkau tentu sudah tahu akan isi hatiku, perlukah kita menyembunyikan semuanya itu?" Ucapan Bwee Hong keluar dengan bibir gemetar dan kembali kedua matanya menjadi basah ketika ia memandang wajah pria yang dicintanya itu. Ya. ia telah jatuh cinta kepada A-hai, dan biarpun kini ia tahu bahwa A-hai adalah pendekar Soiiw Thian Hai yang sudah duda dan mempunyai seorang anak perempuan, ia tidak mampu menyangkal perasaan hatinya sendiri. Thian Hai menatap wajah dara itu, penuh kerinduan dan penuh kasih sayang kini, akan tetapi dia memalingkan muka, memandang patung ditangannya, lalu menggeleng kepalanya keras-keras.
"Tidak! Tidak boleh! Engkau seorang dara mulia dan bangsawan tinggi, sedangkan aku... aku... seorang yang kesepian, kehilangan kebahagiaan, seorang duda yang sudah mempunyai seorang anak perempuan besar... maafkan aku, nona Hong! "
Sebelum Bwee Hong mampu membantah, Thian Hai berkelebat lenyap dari tempat itu. Bwee Hong merasa seluruh tubuhnya menjadi lemas dan iapun menjatuhkan diri berlutut diatas tanah sambil menutupi muka dengan kedua tangannya. Isaknya terdengar lirih tertahan. Hatinya terasa pilu dan perih seperti disayat-sayat. Ia merasa yakin akan perasaan cintanya kepada Thian Hai, dan iapun tahu bahwa pria itu mencintanya! Tadi, dalam pandangan yang sekejap saja, iapun sudah tahu akan isi hati Thian Hai. Akan tetapi, pria yang halus budi itu merasa dirinya terlalu rendah dan rela menjauhkan diri karena merasa tidak sederajat, kalah kedudukan dan sudah duda mempunyai anak lagi!
"A-hai, ohh, A-hai!" Ia mengeluh lirih. Tiba-tiba tangan yang gemetar menyentuh pundaknya. Ia cepat mengangkat muka dan ternyata Thian Hai sudah berdiri dibelakangnya. Pria itu kembali! Bwee Hong cepat bangkit berdiri dan mereka saling berpegang tangan tanpa kata-kata. Tidak perlu kata-kata kalau sudah begini. Getaran yang keluar dari jari-jari tangan sudah mewakili seribu satu kata. Akan tetapi, dengan halus Thian Hai melepaskan pegangannya.
"Nona Hong, maafkanlah kekasaranku tadi. Tentu saja aku tahu akan isi hatimu, dan engkaupun tentu sudah tahu akan isi hatiku. Tidak dapat disangkal, terutama oleh kita sendiri bahwa kita saling mencinta. Akan tetapi, aku sungguh merasa tidak patut menjadi... sisihanmu"
"Hai-ko, ucapan itu tidak pantas keluar dari mulut seorang gagah sepertimu!" Bwee Hong menegur.
"Apakah engkau mulai menilai seseorang dari keturunan dan kedudukannya?" Thian Hai memandang kagum dan menggeleng kepala.
"Bukan itu saja. Akan tetapi aku baru saja memperoleh kembali ingatanku dan kenyataan keadaan diriku amat mengejutkan, dan engkau... engkau dalam pandanganku begitu mulia. Maukah engkau maafkan aku dan berjanji tidak akan membicarakan urusan cinta kita sebelum tiba saatnya?" Bwee Hong mengerutkan alisnya.
"Hemm, tiba saatnya? Dan kapankah saatnya itu, Hai-ko?"
"Aku masih mempunyai banyak urusan yang merupakan ganjalan hati. Pertama, aku harus dapat menemukan musuh besarku"
"Si Raja Kelelawar? Jadi engkau belum membunuhnya?"
"Benar, dia! Bukan Raja iblis atau Raja Kelelawar, melainkan dia pembunuh isteriku! Dan akupun harus mencari Sanhek-houw untuk membalaskan buntungnya lengan anakku." Bwee Hong mengangguk lemah. Pria ini minta waktu karena masih merasa terikat untuk membereskan urusan dendam keluarganya dan ia sama sekali tidak boleh dan tidak berhak untuk mencampuri, apa lagi melarang. Ia harus menanti dengan sabar, dan walaupun kenyataan ini amat pahit baginya, amat berat, namun demi cintanya, ia harus berani mengorbankan perasaannya.
"Baiklah, Hai-ko, aku akan menanti uluran tanganmu" katanya lemah. Tiba-tiba Thian Hai membalikkan tubuhnya dan ternyata sesosok bayangan berkelebat dari jauh. Setelah dekat, bayangan tadi adalah Seng Kun.
"Ah, kucari kalian dengan hati khawatir, tidak tahunya berada disini!" kata pemuda itu dengan gembira melihat keberduaan adiknya dan Thian Hai, akan tetapi juga agak cemas melihat betapa wajah keduanya tidak membayangkan kegembiraan.
"Aku mencarimu kemana-mana, saudara A-hai."
"Koko, namanya Souw Thian Hai, sebaiknya kita tidak memanggil A-hai lagi karena itu hanya panggilan nama kecilnya," kata Bwee Hong.
"Ah, ah jadi benar-benar engkau ini pendekar Souw Thian Hai yang oleh orang-orang yang mengenalmu disebut Souw-kongcu itu? Saudara Souw, apakah sekarang engkau sudah dapat mengingat seluruh riwayatmu?" Thian Hai mengangguk.
"Sudah, berkat bantuan dan pertolongan kalian berdua. Dan untuk itu, biarlah kalian berdua menjadi orang-orang pertama yang mendengarkan riwayatku. Mari kita duduk dibawah pohon yang teduh." Ketiganya duduk dibawah pohon dan kakak-beradik itu mendengarkan penuturan Thian Hai dengan penuh perhatian dan hati tertarik sekali. Agar jelas, mari kita ikuti keadaan pria yang luar biasa ini sebelum menjadi seorang A-hai yang ketolol-tololan. Seperti pernah kita ketahui dari penuturan Yap-lojin dan Ouwyang Kwan Ek, dijamannya para datuk mereka, puluhan bahkan seabad yang lalu, didunia persilatan ada empat datuk yang paling terkenal dan dianggap mewakili dunia persilatan.
Yang pertama adalah Bu-Eng Sin-yok-ong yang dianggap datuk dunia selatan, kedua Sin-kun butek datuk dunia utara, ketiga Cui-beng Kui-ong pendiri Tai-bong-pai, kemudian keempat Kim-mo Sai-ong pendiri Soa-hu-ipai. Empat orang datuk ini dianggap sebagai datuk-datuk besar yang tidak dapat dicari tandingannya. Ada pula Bit-bo-ong atau Si Raja Kelelawar akan tetapi dia dianggap sebagai orang luar dan juga masih belum dapat dibandingkan dengan keempat orang datuk itu. Akan tetapi, pada suatu hari, empat orang datuk itu berturut-turut dikalahkan secara mudah oleh seorang kakek sasterawan pelukis yang sama sekali tidak dikenal namanya! Dan biarpun kemudian empat orang datuk itu mencari-carinya sampai bertahun-tahun, sampai mereka itu satu demi satu meninggal dunia, mereka tidak berhasil menemukan kakek sasterawan itu!
Siapakah kakek sasterawan pelukis itu? Dia adalah seorang sakti yang menyembunyikan diri, seorang yang pada waktu itu oleh orang-orang dusun dikenal sebagai kakek Souw saja. Kakek ini menurunkan ilmu-ilmunya yang mujijat kepada puteranya, yang kemudian mewariskannya pula kepada puteranya yang bernama Souw Koan Bu. Akan tetapi, keluarga Souw ini oleh nenek moyangnya dilarang keras untuk memperkenalkan ilmu keluarga mereka, dan bahkan diharuskan untuk menyembunyikan diri saja karena mereka mempunyai keyakinan bahwa seorang ahli silat yang dikenal tentu akan mempunyai banyak musuh.
Demikianlah, Souw Koan Bu inipun membawa isteri dan seorang puteranya tinggal disebuah tempat yang amat indah dan terpencil, ditepi sungai dengan lembah yang amat subur dimana terdapat air terjun yang besar. Souw Koan Bu hanya mempunyai seorang putera yang diberi mama Souw Thian Hai. Tentu saja sejak kecil, Souw Thian Hai diajar ilmu-ilmu keluarga yang amat lihai itu. Pada suatu hari, Souw Koan Bu mendengar betapa kaum sasterawan dimusuhi oleh kaki tangan Kaisar, kitab-kitab dibakar dan orang-orangnya dibunuh. Biasanya, Souw Koan Bu tidak mau ambil perduli terhadap urusan luar. Akan tetapi sekali ini, mendengar betapa kaum sasterawan dikejar-kejar, disiksa dan dibunuh, hati Souw Koan Bu menjadi prihatin dan berduka sekali, juga marah.
Sejak turun-temurun keluarga Souw adalah orang-orang yang menghargai sastera, bahkan mereka selalu berpakaian sasterawan dan mempelajari sastera sejak kecil. Thian Hai juga sejak kecil, disamping ilmu silat, diajar sastera oleh ayahnya. Maka, dengan hati panas Souw Koan Bu turun gunung, keluar dari lembah dan dengan menyamar sebagai seorang sasterawan miskin, dia membantu dan membela kaum sasterawan. Ketika pasukan pemerintah yang jumlahnya seratus orang lebih menggerebeg sebuah kota untuk menangkapi para sasterawannya, Souw Koan Bu mengamuk. Tentu saja tidak ada anggauta pasukan yang mampu mendekatinya dan sebelum dekat mereka sudah roboh oleh dorongan tangan dari jauh.
Tentu saja hal ini amat menggemparkan. Jagoan-jagoan dari Kotaraja didatangkan, akan tetapi tidak ada yang mampu menandingi Souw Koan Bu yang berhasil mengungsikan para sasterawan dan menyuruh mereka itu bersembunyi. Pada suatu hari, Souw Koan Bu pulang kelembah membawa seorang pemuda kurus tinggi. Tubuh pemuda yang berpakaian sasterawan ini penuh luka dan menurut penuturan Souw Koan Bu ketika ditanya oleh anak isterinya, dia menceritakan bahwa pemuda yang bernama Ma Kim Liang ini adalah seorang sasterawan yang akan dibunuh oleh pasukan pemerintah dan berhasil diselamatkan.
Karena kasihan, pemuda itu lalu dibawa pulang kelembah dan diambil murid, tentu saja setelah menjalani upacara pengambilan sumpah dan juga upacara keluarga Souw seperti yang pernah kita ketahui, yaitu pembedahan dan jahitan pada ubun-ubun dan punggung. Pemuda bernama Ma Kim Liang itu ternyata memiliki bakat yang baik sekali sehingga dia memperoleh kemajuan pesat, bahkan hampir mengejar tingkat Souw Thian Hai yang menjadi suhengnya dan yang juga memiliki bakat luar biasa. Akan tetapi, Souw Koan Bu mempunyai pandang mata yang cukup tajam. Ada gerak-gerik Ma Kim Liang yang membuatnya belum percaya sepenuhnya dan dia belum mau menurunkan ilmu-lmu simpanan yang paling ampuh dari keluarganya, seperti yang diajarkannya semua kepada puteranya sendiri.
Hal ini ternyata diketahui oleh Ma Kim Liang. Diam-diam dia menjadi marah dan menaruh dendam, akan tetapi secara cerdik dia menyembunyikan perasaannya itu dan kelihatannya baik dan tekun, juga rajin sekali. Akan tetapi, diam-diam secara sembunyi-sembunyi dia suka mengintai apabila Thian Hai berlatih ilmu-ilmu silat yang tidak diwariskan kepadanya. Dan diapun melakukan penyelidikan dengan diam-diam tentang rahasia-rahasia dan benda-benda pusaka milik keluarga sakti itu. Setahun kemudian, ketika pada suatu pagi Kim Liang bekerja diladang mengurus tanaman sayur keluarga Souw, dia melihat seorang kakek asing lewat ditempat itu. Dia menjadi curiga dan cepat dia meninggalkan ladang dan menghadang.
"Siapakah engkau, lopek, dan ada keperluan apa datang kelembah ini?" dia bertanya. Kakek itu ternyata memiliki muka yang amat buruk, kulit mukanya habis dimakan cacar, hitam dan matanya besar sebelah. Muka yang buruk menakutkan dan usianya kurang lebih enam puluh lima tahun, tubuhnya tinggi besar agak bongkok dengan kedua lengan panjang seperti lengan orang hutan. Dengan matanya yang mengerikan itu dia menatap wajah Kim Liang, lalu dia berkata,
"Aku mau mengunjungi Souw-supek." Kim Liang mengerutkan alisnya. Orang macam ini menjadi murid keponakan gurunya? Usianyapun tua orang ini, pikirnya. Dan dia belum pernah mendengar bahwa gurunya mempunyai seorang sute (adik seperguruan), maka dari mana munculnya murid keponakan ini?
"Maksudmu yang kau cari adalah suhu Souw Koan Bu?" tanyanya.
"Benar, supek Souw Koan Bu gurumukah? kalau begitu, kita masih saudara seperguruan."
"Nanti dulu, aku belum pernah mendengar suhu menyebutkan seorang sute, apa lagi murid keponakannya. Hayo ceritakan siapa engkau dan siapa pula gurumu itu untuk meyakinkan hatiku."
"Heh, aku hanya mau bicara dengan supek, bukan dengan bocah ingusan seperti kamu!' Tiba-tiba kakek itu memperlihatkan belangnya dan ternyata dia seorang yang kasar sekali, pantasnya seorang penjahat yang biasa bersikap kasar dan keras.
"Kalau begitu, engkau kuanggap palsu dan aku melarang engkau melanjutkan perjalanan memasuki lembah ini!" Kakek itu menjadi marah.
"Engkau ini saudara muda akan tetapi bersikap kurang ajar!" katanya sambil menampar.
"Wuuuuttt" plakkk!" Kim Liang menangkis dan akibatnya dia terpelanting! Dia terkejut sekali melihat kekuatan dahsyat lawannya, akan tetapi diapun melihat lawannya itu menyeringai kesakitan. Maka diapun membalas dengan hantaman sekuat tenaga yang juga ditangkis oleh kakek itu.
"Dukkk!" Dan kini Kim Liang terlempar, akan tetapi kakek itu mundur dua langkah, terbatuk dan ada darah keluar dari ujung bibirnya. Tahulah Kim Liang bahwa kakek ini sedang menderita suatu penyakit atau sudah terluka dalam ketika memasuki lembah itu. Maka diapun terus menyerang. Mereka berkelahi dengan sengit dan diam-diam Kim Liang harus mengakui bahwa kakek ini memiliki tingkat yang lebih tinggi darinya, terutama sekali gerakan ginkangnya yang membuat tubuh kakek itu berkelebatan kesana-sini. Akan tetapi ada suatu keuntungan baginya, yaitu kakek itu sedang sakit dan setiap kali mengadu tenaga, keadaannya semakin payah. Akhirnya, dengan sebuah tendangan, Kim Liang berhasil membuat kakek itu roboh tertelungkup dan diapun cepat menubruk dan menungganginya, menelikung kedua lengannya kebelakang.
"Engkau minta hidup atau mampus?" katanya mengancam.
"Auhhh, lepaskan aku... ah, aku sedang terluka hebat, lepaskan aku"
"Mengaku dulu siapa sebenarnya engkau dan siapa gurumu"
"Aku tidak bohong. Guruku, atau mendiang guruku adalah cucu Bit-bo-ong Si Raja Kelelawar"
"Apa? Raja Kelelawar datuk sesat yang menggemparkan dunia persilatan itu? Dan engkau berani mengaku bahwa guruku adalah supekmu?"
"Memang benar. Ada rahasianya tentang ini. Lepaskan aku dan aku akan bicara."
"Baik, akan tetapi kalau engkau membohong, kubunuh kau!" Setelah dilepaskan, kakek itu tertawa.
"Heh-heh, kiranya murid supek juga sama saja dengan kami. Akan tetapi kenapa supek tidak mau mendekati mendiang suhu?"
"Hayo ceritakan!" Kim Liang mendesak.
"Sebenarnya, hubungan seperguruan ini telah terjadi puluhan, bahkan seratus tahun yang lalu. Sucouw Bit-bo-ong adalah sute dari kakek supek Souw Koan Bu. Dengan demikian, berarti bahwa guruku masih terhitung sute dari gurumu walaupun tidak pernah berhubungan. Asal mulanya dari sucouw Bit-bo-ong. Karena beliau dianggap jahat, maka kakek supek Souw Koan Bu tidak mengakuinya lagi sebagai sute, bahkan keturunannya dipesan agar jangan berhubungan atau mengakui keturunan Bit-bo-ong."
"Hemm, sudah begitu, kenapa engkau berani muncul disini?"
"Aku... aku hanya mentaati pesan mendiang suhu. Sebelum meninggal, suhu menyerahkan pusaka-pusaka peninggalan sucouw Bit-bo-ong, juga jubahnya dan semua kitab pelajarannya, kepadaku dengan pesan agar diserahkan kepada supek Souw Koan Bu. Suhu tidak mau kalau kesesatan keturunan sucouw Bit-bo-ong diteruskan orang lain." Kim Liang merasa tertarik sekali. Dia sudah pernah mendengar tentang datuk sesat Raja Kelelawar yang mengguncang dunia persilatan. Kini pusaka-pusakanya berada ditangan kakek ini!
"Bagaimana aku bisa tahu bahwa engkau tidak membohong? Mana pusaka-pusaka itu?" Kakek itu membuka buntalannya dan nampaklah beberapa buah kitab kuno dan jubah hitam, juga sepasang pisau belati yang bergagang indah berhiaskan mutiara. Berdebar jantung Kim Liang melihat semua ini. Gurunya telah menyia-nyiakan dirinya, tidak diberi pelajaran ilmu terampuh dari keluarga Souw. Dan ini ada kitab-kitab pusaka dan senjata-senjata pusaka ampuh dari Bit-bo-ong. Bodoh kalau dilewatkannya begitu saja.
"Kalau benar engkau keturunan Bit-bo-ong, coba ceritakan tentang semua pusaka ini," katanya. Dengan panjang lebar kakek itu lalu menceritakan keistimewaan Bit-bo-ong, dan juga jubah kebal dan sepasang pisau belati yang amat tajam itu.
"Kau bilang pisau-pisau ini tajam dan ampuh?" Kim Liang mengambil kedua batang pisau itu dan menimang-nimangnya. Kemudian, secepat kilat dia menggerakkan sepasang pisau itu dan menusuk kearah lambung dan dada kakek itu. Kakek buruk rupa itu kaget setengah mati karena tidak pernah menyangka pemuda itu akan berbuat demikian. Dia menggerakkan kedua tangan menangkis, akan tetapi, sepasang pisau itu ternyata ampuh dan tajam bukan main sehingga tangkisannya membuat kedua tangannya malah buntung sebatas pergelangan tangan dan dua batang pisau itu tetap saja meluncur dan masuk kedalam dada dan perutnya! Kakek itu melotot dan roboh, berkelojotan sebentar saja dan tewas.
Kim Liang cepat membersihkan kedua pisau itu, menyimpannya dipinggang, menyambar buntalan terisi pusaka-pusaka peninggalan Bit-bo-ong, kemudian setelah memasukkan kedua tangan buntung kedalam saku jubah kakek itu, dia menyeret mayat kakek itu dan membuangnya kedalam jurang yang amat dalam. Jurang itu terlalu curam dan berbahaya untuk dapat didatangi manusia dan mayat itu lenyap, sama sekali tak dapat nampak dari atas. Akan tetapi, pemuda ini lupa bahwa mayat yang membusuk itu akan mengeluarkan bau yang keras dan dapat tercium sampai jauh. Demikian pula dengan mayat kakek itu. Beberapa hari kemudian, terciumlah bau yang amat busuk naik keatas jurang dan sampai tercium dari rumah keluarga Souw. Tentu saja Souw Koan Bu dan Souw Thian Hai yang lihai itu dapat menciumnya dan merekapun terheran-heran.
"Bau bangkai!" kata Thian Hai
"Tentu bangkai binatang besar atau manusia," kata ayahnya.
"Ihh, bangkai manusia?" isterinya berseru kaget.
"Mana mungkin ada bau mayat di tempat ini?"
"Malam tadipun teecu sudah mencium sesuatu yang mencurigakan, suhu, akan tetapi teecu menduga bahwa itu tentu bau tikus mati. Dan sekarang baunya begitu keras," kata Ma Kim Liang.
"Mari kita cari!" kata pula Souw Koan Bu dan tiga orang pria ini cepat keluar dari rumah untuk mencari sumber bau busuk itu. Tidaklah mudah mencari sumber bau busuk ditempat terbuka. Angin telah meniup dan menyebarkannya sehingga dimana-mana tercium bau itu, dan mereka bertiga lalu berpencar. Setelah berputar-putar disekitar tempat itu, akhirnya Thian Hai menemui ayahnya.
"Ayah, kalau tidak salah, bau itu keluar dari dalam jurang dibarat itu."
"Apa? Dari jurang yang curam itu? Ah, jangan-jangan ada binatang atau orang yang terjerumus kesana. Mari kita lihat!" Mereka berlari ketepi jurang itu dan setelah mempergunakan ketajamannya, Souw Koan Bu membenarkan pendapat puteranya bahwa sumber bau itu memang keluar dari dasar jurang.
"Biar aku yang turun dan memeriksanya, ayah," kata Thian Hai. Jurang itu amat dalam dan curam, agaknya tak mungkin dapat dituruni manusia. Akan tetapi Souw Koan Bu percaya akan kepandaian puteranya, maka dia mengangguk.
"Hati-hati dan pergunakan pedangmu untuk membantumu merayap turun." Thian Hai mengangguk dan dengan cekatan pemuda yang amat lihai ini menuruni jurang yang curam itu. Memang bukan pekerjaan mudah. Tebing itu curam, lurus kebawah dan permukaan dinding tebing itu licin dan kadang-kadang tidak ada tempat untuk berpijak atau berpegang.
Namun, Thian Hai tidak perlu mempergunakan pedang untuk membantunya. Dengan kedua tangannya mencengkeram, dia dapat merayap turun seperti seekor kucing. Jari-jari tangannya dapat mencengkeram perrnjukaan batu tebing dan berpegang, dan dengan cara demikian akhirnya dia dapat mencapai dasar jurang. Dan dia terpaksa menahan napas ketika tiba didasar jurang dan melihat sisa tubuh manusia yang sudah rusak dan mukanya sukar untuk dikenal lagi! Dia memperhatikan mayat busuk itu, mencoba untuk mencari ciri-cirinya, kemudian diapun menggunakan kekuatan kedua tangannya untuk menggempur batu padas dan tanah untuk menimbuni mayat itu agar baunya jangan tersiar kemana-mana. Selagi dia mengerjakan ini, terdengar suara ayahnya dari atas, bergema,
"A-hai! Apa yang terjadi? Kenapa lama benar engkau dibawah?"
"Aku sedang menimbuni mayat busuk ini, ayah!" jawabnya sambil mengerahkan khikang sehingga suaranya terdengar sampai keatas jurang. Setelah mayat itu tertimbun rapat, Thian Hai lalu merayap naik. Ayahnya sudah menantinya dengan hati tidak sabar.
"Mayat siapakah itu? Bagaimana mungkin ada mayat didalam jurang itu?"
(Lanjut ke Jilid 31)
Darah Pendekar (Seri ke 01 - Serial Darah Pendekar)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Bahan Cerita : Sriwidjono
Jilid 31
"Wajahnya sukar dikenal lagi, ayah. Sudah rusak membusuk dan juga hancur, agaknya ketika terjatuh kepalanya yang mendahului badan menimpa batu. Aku tidak dapat memeriksa dengan seksama karena baunya, akan tetapi ada kulihat bekas luka didada dan perut karena bajunya dibagian itu berlubang dan ada tanda-tanda bekas darah."
"Hemm, pembunuhan? Dan mayatnya dilempar kesitu? Mana mungkin? disekitar sini tidak ada orang..."
"Orang itu berkulit kehitaman, tinggi besar dengan punggung agak bongkok. Kuketuk-ketuk kaki tangannya dan ternyata dia bukan orang sembarangan, ayah, melainkan seorang yang sudah terlatih kaki tangannya,
"Engkau tidak menemukan tanda-tanda lain?" Thian Hai menggeleng kepala, lalu mengerutkan alisnya.
"Ayah, yang tinggal disini hanyalah ayah, ibu, aku, sute dan Pouw Hong pelayan kita. Jelas bahwa ibu tidak tahu apa-apa, juga kita bertiga, Ma sute sibuk mencari mayat dan tidak tahu tentang peristiwa ini. Tinggal Pouw Hong yang belum kita tanyai." Ayahnya mengangguk-angguk.
"Mari kita pulang dan tanyai Pouw Hong, barangkali dia mengetahui sesuatu." Mereka pulang dan segera memanggil pelayan mereka yang setia, yaitu Pouw Hong. Orang ini sejak muda sudah ikut Souw Koan Bu dan bentuk tubuhnya lucu. Tubuhnya pendek gendut dengan kepala kecil gundul sehingga biarpun usianya sudah tiga puluh tahun lebih, dia masih kelihatan seperti kanak-kanak. Wajahnya kekanak-kanakan. Ketika dia ditanya tentang mayat itu, dia menggeleng kepala dan kelihatan bingung.
"Mayat? didasar jurang? Saya tidak tahu."
"Apakah engkau tidak melihat orang asing berkeliaran disini dalam beberapa hari yang lalu?" tanya Souw Koan Bu.
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak, tidak ada orang asing..."
"Dan tidak ada peristiwa yang kau rasakan aneh selama beberapa hari ini?" tanya pula Thian Hai. Si pendek gendut itu menggeleng kepala, akan tetapi tiba-tiba dia seperti ingat akan sesuatu.
"Sebaiknya kongcu bertanya saja kepada Ma-kongcu!" Ayah dan anak itu saling pandang. Memang keduanya sudah sering kali merasa curiga terhadap Ma Kim Liang yang biarpun pada lahirnya nampak ramah, sopan dan rajin, namun dibalik itu semua seperti menyembunyikan suatu rahasia, juga kadang-kadang ada sinar aneh mencorong dari pandang matanya.
"Mengapa aku harus bertanya kepadanya? Ada apakah dengan dia?" tanya Thian Hai.
"Saya... saya melihat hal aneh-aneh dilakukan oleh Ma-kongcu."
"Hemm, Pouw Hong, sejak kecil engkau menjadi pembantuku dan engkau seperti keluarga kami sendiri. Kalau engkau melihat hal-hal aneh, kenapa engkau tidak melaporkan hal itu kepadaku? Kenapa?"
"Maaf, saya... saya tidak berani..."
"Mengapa tidak berani? Hayo cepat ceritakan segala keanehan yang kau lihat itu!" Souw Koan Bu berkata dengan nada suara agak marah sehingga pelayan itu menjadi ketakutan lalu menceritakan semua isi hatinya.
"Sudah lama Sekali saya melihat sikap aneh dari Ma-kongcu. Sering kali dia mengintai kalau Souw-kongcu sedang berlatih silat seorang diri didalam kamar kongcu dan sering pula dia bertanya-tanya tentang keadaan keluarga Souw, tentang pusaka-pusaka dan semua yang saya ketahui. Bahkan pernah saya melihat dia mencari-cari dikamar perpustakaan. Ketika tanpa sengaja saya masuk, dia mengancam agar saya tidak menceritakan kehadirannya itu kepada loya, dan sinar matanya demikian penuh ancaman, mengerikan dan saya menjadi takut," Pouw Hong menoleh kekanan kiri dengan sikap takut.
"Ceritakan terus, apa lagi yang kau lihat, terutama dalam beberapa hari ini?" desak Souw Koan Bu. Dengan suara lirih pelayan itu berkata,
"Kira-kira empat lima hari yang lalu saya bertemu dengan Ma-kongcu. Dia agaknya baru pulang dari ladang dan dia membawa sebuah buntalan hitam. Karena hari masih siang dan dia membawa buntalan, saya bertanya kepadanya. Akan tetapi dia menghardik, mengatakan bahwa saya tidak boleh mencampuri urusannya." Ayah dan anak itu saling pandang. Memang tepat kalau empat lima hari yang lalu. Akan tetapi apa hubungannya Ma Kim Liang dengan kematian kakek didasar jurang itu? Dan apa pula adanya buntalan hitam itu?
"Ayah, hatiku tidak enak. Mari kita cari dikamarnya dan bertanya kepadanya!" Ayah dan anak itu lalu cepat memasuki kamar Ma Kim Liang, hanya untuk mendapatkan bahwa kamar itu telah kosong! Jangankan buntalan hitam seperti yang diceritakan Pouw Hong tadi, bahkan semua pakaiannya dan juga pedang yang dipinjam dari gurunya untuk berlatih silat, ikut pula lenyap!
"Ah, anak itu telah melarikan diri!" kata Souw Koan Bu terkejut dan penasaran, juga marah.
"Ayah... tempat penyimpanan pusaka kita!" Begitu Thian Hai berkata demikian, Souw Koan Bu mengeluarkan seruan aneh dan tubuhnya berkelebat lenyap.
Thian Hai juga meloncat dan mengejar ayahnya. Mereka berlari cepat sekali keair terjun yang berada agak jauh disebelah belakang pondok mereka. Pusaka keluarga Souw memang oleh Souw Koan Bu disimpan didalam guha rahasia dibelakang air terjun itu. Hal ini dilakukan untuk mencegah pusaka keluarga yang amat penting itu terjatuh ketangan orang jahat atau orang yang tidak berhak. Keduanya cepat memeriksa dan tak lama kemudian mereka keluar lagi dari guha itu dengan muka pucat. Mereka saling pandang dan tanpa kata-katapun mereka tahu akan isi hati masing-masing. Semua pusaka didalam peti, berisi kitab-kitab ilmu simpanan keluarga Souw, telah lenyap! Dan melihat kenyataan betapa Kim Liang juga lenyap, mudah saja diketahui bahwa tentu murid murtad itulah yang melarikan pusaka keluarga Souw.
"Ayah, biar kucari jahanam itu dan kurampas kembali pusaka kita, juga kuwakili ayah untuk menghukum murid murtad itu!" kata Thian Hai dengan marah sekali melihat betapa wajah ayahnya membayangkan penyesalan besar. Ayahnya menarik napas panjang.
"Jangan tergesa-gesa, A-hai. Semua ini terjadi karena kesalahanku sendiri yang kurang teliti menilai orang. Setelah dia membawa lari semua pusaka, maka dia dapat merupakan musuh yang amat berbahaya. Untuk menghadapinya sekarang, memang tingkat kepandaianmu masih lebih tinggi, akan tetapi dia amat cerdik dan kalau dia mempelajari semua Ilmu itu, mungkin engkau akan menghadapi kesukaran. Baiknya, ada beberapa macam ilmu didalam kumpulan pusaka itu yang tidak mungkin dilatih tanpa guru, tanpa bimbingan dan pengoperan tenaga sinkang. Engkau sempurnakan dulu dua ilmu itu, baru hatiku akan tenang kalau engkau menghadapinya. Pula, dia hanya bersalah melarikan pusaka kita, dan itu belum hebat asal dia tidak mempergunakan ilmu keluarga kita untuk kejahatan. Bagaimanapun juga, dia adalah murid yang sudah kuangkat, dan semua ini kesalahanku sendiri."
"Akan tetapi, mayat dalam jurang itu...?"
"Belum tentu dia yang melakukannya. Sudahlah, mari engkau tekun mempelajari dua ilmu simpanan itu, kemudian baru engkau berangkat mencarinya. Pula, kalau belum jelas dia melakukan kejahatan, mengapa tergesa-gesa?" Diam-diam Thian Hai menarik napas panjang karena dia tahu bahwa ayahnya ini sebenarnya mencinta murid murtad itu. Hal inipun tidak mengherankan karena memang Kim Liang amat pandai mengambil hati orang.
Demikianlah, dengan tekun mulai hari itu Thian Hai digembleng oleh ayahnya memperdalam dua macam ilmu simpanan keluarga Souw. Yang pertama adalah Thai-kek Sin-ciang dan yang kedua adalah Thai-lek Pek-kong-ciang, dua macam ilmu tangan kosong yang luar biasa ampuhnya. Biarpun Thian Hai memperoleh bimbingan dari ayahnya sendiri, namun demikian sukarnya dua macam ilmu itu sehingga setelah lewat tiga tahun, barulah dia dapat menguasainya dengan sempurna dalam arti bahwa kedua ilmu itu seolah-olah sudah mendarah daging pada dirinya. Sementara itu, didunia persilatan muncullah seorang "Duplikat" Raja Kelelawar! Dan Souw Koan Bu yang mendengar berita angin tentang munculnya orang yang mengaku sebagai Raja Kelelawar, cepat memanggil puteranya.
"Sungguh gila! Raja Kelelawar sudah mati puluhan tahun yang lalu, bagaimana mungkin kini muncul lagi?" kata ayah itu.
"Akan tetapi, ayah, siapa tahu kalau yang muncul ini adalah keturunannya, baik keturunan keluarga maupun murid." Ayahnya mengelus jenggot.
Naga Beracun Eps 35 Naga Beracun Eps 18 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 16