Ceritasilat Novel Online

Memburu Iblis 15


Memburu Iblis Karya Sriwidjono Bagian 15




   "Maaf, aku hendak memberi tambahan darah kepadamu. Kata paman Chu, darahku cocok dengan darahmu, sehingga kau akan selamat pula bila dapat ditambah dengan darahku..." ujarnya memberi keterangan. Kemudian seperti yang diperintahkan oleh pamannya, Souw Lian Cu lalu menusukkan jarum panjang itu ke urat nadinya sendiri. Dan ujung jarum yang lain segera ia masukkan pula ke urat nadi Tui Lan.

   "Kau bersiaplah, aku akan mengerahkan tenaga untuk mengalirkan darahku ke urat nadimu!" katanya tegas. Demikianlah, beberapa saat kemudian darah Souw Lian Cu mengalir dengan derasnya ke badan Tui Lan. Lambat laun wajah Tui Lan yang pucat itu kembali memerah. Sinar kehidupan pun mulai tampak memancar di matanya. Dan napas yang semula sangat lemah itu pun kembali normal pula akhirnya. Setelah dianggap cukup Souw Lian Cu pun lalu menghentikan penyaluran darahnya. Matanya terasa mengantuk sekali. Selain amat lelah dan kehilangan banyak darah, badannya pun terasa linu-linu akibat luka di lututnya itu.

   "Ah... tampaknya aku pun akan mati keracunan pula. Hmmmm...!" Souw Lian Cu menghembuskan napas sambil memejamkan matanya. Dan sekejap kemudian iapun lalu tertidur. Ketika membuka matanya kembali, Souw Lian Cu terperanjat. Dia yang semula duduk di kursi itu kini sudah tidur terlentang di atas pembaringan. Badan yang tadi amat lemas dan kepala yang semula amat pusing itu kini tiba-tiba telah berubah menjadi ringan dan segar kembali. Dan yang lebih mengejutkan lagi adalah wanita muda yang ditolongnya itu kini telah menjadi sehat dan berdiri menungguinya di samping tempat tidur. Begitu melihat dirinya sadar, wanita muda itu bergegas menjatuhkan badannya, berlutut di atas lantai. Suaranya serak ketika berkata.

   "Li in-kong (Dewi Penolong), sungguh besar budi yang kauberikan kepada aku dan anakku. Rasanya tak mungkin aku bisa membalasnya dalam kehidupanku yang sekarang ini. Oleh karena itu aku akan merasa rela andaikata di penjelmaan yang akan datang menjadi anjing penjagamu..."

   "Ehh... ini? Kenapa aku tidak jadi mati keracunan tadi? Atau... ataukah ini cuma mimpi?" sebaliknya Souw Lian Cu menjadi bingung melihat keadaannya sendiri. Souw Lian Cu lalu meloncat turun dari pembaringan. Dan ia segera menjadi sadar kembali ketika melihat bayi yang ditolongnya itu.

   "Ahhh, aku tidak sedang bermimpi..." desahnya perlahan seraya duduk di tepi pembaringan.

   "Li in-kong memang tidak bermimpi..." Tui Lan menyahut tanpa bergerak dari posisi berlututnya. Souw Lian Cu tersentak berdiri.

   "Ah, Cici... bangunlah! Jangan berlutut di situ! Aku menjadi tak enak rasanya." katanya dengan memanggil Cici kepada Tui Lan, meskipun tampaknya ia lebih tua dari pada ibu muda itu.

   "Terima kasih in-kong."

   "Ah, jangan panggil aku in-kong! Panggillah aku... Lian Cu saja, Souw Lian Cu!" Souw Lian Cu memperkenalkan dirinya.

   "Cici, siapakah namamu...?" Tapi nama itu ternyata bagaikan halilintar yang menyambar kepala Tui Lan! Semenjak ia mengangkat tubuh Souw Lian Cu yang tertidur semalam suntuk itu ke pembaringannya, Tui Lan sudah merasa berdebar-debar hatinya. Melihat wajah yang ayu lengan kiri yang buntung itu, ia hampir memastikan bahwa gadis itu tentu kekasih suaminya yang pernah diceritakan kepadanya itu. Meskipun demikian ia juga belum merasa yakin, karena ada beribu-ribu gadis buntung di dunia ini. Tapi keraguan itu segera sirna manakala gadis yang menolongnya itu benar-benar menyebut namanya!

   "Oooooh...!" Tui Lan merintih perlahan sambil memegangi kepalanya. Tiba-tiba semua yang dilihatnya seperti berputar dengan cepat sekali.

   "Cici, kau kenapa? Apakah sakitmu kambuh lagi?" Souw Lian Cu cepat merangkul Tui Lan dengan kaget, lalu membawanya ke pembaringan dan menidurkannya. Tui Lan melelehkan air mata. Untuk sesaat terjadi perang batin di dalam dadanya. Ternyata kekasih suaminya itu benar-benar orang yang sangat baik. Baik dan berbudi luhur. Dan ia telah berhutang nyawa pula. Nyawanya dan nyawa anaknya.

   "Koko, kau memang tidak salah memilih dia. Dia sangat baik, lebih baik di dalam segala-galanya dari pada aku. Dia sangat cantik, puteri seorang pendekar ternama pula. Ah... dia benar benar seorang wanita pilihan. Tak seharusnya aku merebutmu dari tangannya. Apalagi setelah dia menyelamatkan jiwaku dan jiwa anakmu." Tui Lan merintih di dalam hatinya.

   "Cici, mengapa kau diam saja? Apakah yang kau rasakan?" Souw Lian Cu bertanya lagi penuh perhatian. Jari-jari tangannya meremas jari tangan Tui Lan, seolah-olah hendak memberi tambahan kekuatan kepada wanita muda itu. Lalu sambungnya lagi,

   "Semuanya telah berlalu. Kau dan anakmu selamat. Musuh pun telah pergi pula..."

   "Souw Lihiap...!" tiba-tiba Tui Lan menjerit serak dan menubruk pangkuan Souw Lian Cu. Tak tahan hatinya melihat perhatian yang begitu besar dari orang yang seharusnya tidak disukainya.

   "Maafkan aku, Souw Lihiap... maafkanlah aku." tangisnya tak bisa dibendung lagi.
(Lanjut ke Jilid 15)

   Memburu Iblis (Seri ke 03 - Darah Pendekar)
Karya : Sriwidjono

   Jilid 15
Souw Lian Cu pun lalu merangkul pundak Tui Lan. Dipandangnya kepala yang menelungkup di pakuannya itu dengan penuh tanda tanya. Sedikitpun ia tak bisa menerka apa yang terkandung di dalam hati wanita muda itu.-

   "Tampaknya ia mempunyai persoalan rumit yang sulit dia pecahkan. Mungkin persoalan keluarga, suaminya, atau rombongan bajak laut dari Lautan Timur itu." ia menduga-duga di dalam hati.

   Oleh karena itu dibiarkannya saja Tui Lan menangis sepuas-puasnya. Dan dibiarkannya pula air mata wanita muda itu membasahi pangkuannya. Ia menunggu saja sambil mengedarkan pandangannya, meneliti keadaan kamar itu. Dan matanya segera berhenti pada lilin yang menyala di tengah-tengah kamar. Lilin itu dinyalakan di atas cawan besar. Dan cawan tersebut diletakkan di atas meja. Beberapa buah botol kecil-kecil terbuat dari tanah liat tampak berjejer-jejer pula di sana. Tapi bukan itu yang menjadi perhatian Souw Lian Cu. Yang menarik perhatiannya justru lilin-lilin bekas, yang sudah tidak dipergunakan lagi di dalam cawan itu. Ada tiga atau empat buah lilin bekas di tempat tersebut. Padahal Souw Lian Cu masih ingat bahwa cawan itu hanya memiliki sebuah lilin saja ketika ia masuk ke kamar itu.

   "Hei? Berapa lama sebenarnya aku tertidur tadi?" gadis itu membatin.

   Namun sebelum ia bertanya kepada Tui Lan, wanita muda itu telah bangkit dari pangkuannya. Setelah meminta maaf atas kelakuannya dan mengeringkan air mata yang mengalir di atas pipinya, wanita muda itu menatap tajam kepadanya. Pandangannya sungguh sangat berbeda dengan tadi. Kini terasa mantap dan teguh. Tidak bingung atau ragu seperti semula. Tampaknya wanita itu telah menentukan sikap dan menemukan dirinya kembali.

   "Souw Lihiap, namaku adalah Tui Lan. Aku berasal dari Teluk Po-hai. Suamiku... suamiku... seorang nelayan! Dia telah mati... mati tenggelam lima bulan yang lalu." tiba-tiba wanita itu berkata. Dalam waktu singkat tadi ternyata Tui Lan telah mengambil keputusan untuk tetap merahasiakan dirinya. Dan ia juga memutuskan untuk pergi jauh mengasingkan diri bersama anaknya. Meskipun ia juga belum tahu nasib suaminya sekarang, namun ia telah berketetapan hati untuk tidak mengganggu hubungan Souw Lian Cu yang baik budi itu dengan suaminya. Ia akan pergi jauh dan tidak akan kembali lagi ke dunia ramai. Dia akan menyendiri di tempat sepi bersama anaknya. Biarlah semua orang menganggap bahwa dirinya telah mati.

   "Suami Cici sudah meninggal?" Souw Lian Cu berdesah. Kaget juga Souw Lian Cu mendengar ucapan Tui Lan itu. Selain amat mengejutkan, Souw Lian Cu juga merasakan sesuatu yang aneh pada ucapan wanita muda itu. Tapi tentu saja ia tak berani menanyakannya. Ia hanya merasa bahwa ada sesuatu yang disembunyikan oleh wanita muda tersebut.

   "Benar, Souw Lihiap."

   "Lalu... mengapa para bajak laut itu mengejar-ngejarmu sampai di tempat ini? Apakah putera Tung-hai-tiauw itu ingin memaksamu menjadi isterinya?" Tui Lan tergagap diam. Dia tak tahu harus menjawab bagaimana, karena sebenarnya ia juga tak tahu masalah yang terjadi. Tahu-tahu ia telah berada di tempat ini, dan dalam perawatan seorang tabib pula, karena ia harus melahirkan anaknya yang belum cukup bulan itu.

   Dia hanya memperoleh sedikit keterangan dari tabib yang menolongnya itu, bahwa ia dibawa ke tempat ini oleh pembantu tabib tersebut. Karena terjadi gangguan pada kandungannya, maka ia terpaksa harus melahirkan anak yang belum cukup umur itu di tempat ini. Namun di tengah-tengah berlangsungnya kelahiran anaknya yang sulit itu, katanya Tung-hai Nung-jin dan keponakannya datang mengganggu. Terpaksa ia dibawa ke ruang bahwa tanah ini agar aman. Dan sebelum pergi meninggalkannya, tabib itu memberi pesan, bahwa sebentar lagi akan datang keponakannya untuk memberi tambahan darah kepadanya. Dan benar juga, karena beberapa waktu kemudian Souw Lian Cu datang membawa bayinya. Dan seperti yang telah terjadi pula, gadis itu lalu memberi tambahan darah kepadanya.

   Darah yang membuat ia bisa hidup lagi di dunia, sehingga ia bisa merawat dan membesarkan anaknya nanti. Tui Lan lalu menarik napas panjang. Bagaimana ia harus menjawab pertanyaan penolongnya itu? Apakah ia harus bercerita tentang pertempuran di atas danau ma lam itu? Bahwa kemungkinan besar kedatangan Tung-hai Nung-jin itu juga berkaitan dengan pertempuran mereka di atas danau tersebut? Tapi bagaimana kalau penolongnya itu terus mengejar lagi dengan pertanyaan yang lain? Misalnya, bagaimana la memperoleh kulit ular Ceng-liong-ong itu? Teringat akan kulit ular itu, Tui Lan menjadi kaget. Kulit ular itu sekarang tidak berada di badannya. Tampaknya kulit ular itu masih berada di kamar pengobatan. Ia sekarang hanya mengenakan selimut besar yang dililitkan pada tubuhnya.

   "Cici, mengapa kau diam kembali? Benarkah putera Tung-hai-tiauw itu hendak memaksamu?" tiba-tiba Souw Lian Cu mengulangi pertanyaannya lagi.

   "Be-be... benar, Souw Lihiap." Tui Lan yang tak ingin memperpanjang lagi pertanyaan itu terpaksa berbohong pula. Malahan untuk mengalihkan perhatian Souw Lian Cu, ia segera menyambunginya.

   "Souw Lihiap, bagaimana dengan keadaan Tuan Tabib itu? Mengapa sudah semalam suntuk beliau belum kembali juga? Apakah para perusuh itu belum pergi dari tempat ini?"

   "Hah? Semalam suntuk? Cici, bukankah aku baru saja masuk ke kamar ini? Kenapa kau bilang sudah semalam suntuk?" Souw Lian Cu berseru kaget. Tui Lan mengerutkan keningnya. Ditatapnya wajah penolongnya itu lekat lekat.

   "Souw Lihiap, kau masuk ke sini kemarin sore. Dan kau telah tertidur semalam suntuk di pembaringan ini. Lihat lilin di atas meja itu! Aku telah empat kali menggantinya."

   "Eh...? Jadi...?" Tiba-tiba Souw Lian Cu meloncat dari tempat tidur dan berlari menaiki tangga kamar. Dibukanya pintu rahasia kamar itu dengan tergesa-gesa, lalu melompat keluar. Namun apa yang dilihatnya benar-benar sangat melukai hatinya. Darahnya seakan-akan mendidih! Rumah kecil itu telah rata dengan tanah. Seluruh perabotan rumah itu telah musnah menjadi abu. Bekas-bekas kobaran api masih tampak dimana-mana. Asap tipis masih tampak mengepul di beberapa tempat. Ternyata rumah itu telah dibakar mereka.

   "Oooooh...!" Souw Lian Cu seolah-olah terpaku di tempatnya. Dia seperti tak percaya pada matanya. Dia baru sadar ketika Tui Lan menyusul di sampingnya. Wanita itu membawa serta bayinya.

   "Oh! Kemana gerangan Tuan Tabib itu? Mengapa rumah ini terbakar habis?" Tui Lan ternganga kaget. Souw Lian Cu tidak menjawab. Sebaliknya gadis itu malah menghampiri onggokan abu di tengah-tengah ruangan. Di situ ada tiga buah gundukan abu berwarna keputihan, yang jaraknya satu sama lain tidak berjauhan.

   "Chu siok-siok! Cici Siok Eng!" gadis itu tiba-tiba menjerit pilu di depan abu Chu Seng Kun dan isterinya. Air matanya tak bisa dibendung lagi. Bukan main terkejutnya Tui Lan! Bergegas ia membawa anaknya mendekat. Ia lalu berlutut pula di samping Souw Lian Cu.

   "Lihiap...? Apa... apakah Tuan Tabib itu telah meninggal dunia? Apakah... apakah ini abu beliau?" desaknya gagap kepada Souw Lian Cu.

   "Benar. Cici. kalau kau ingin mengetahui siapa sebenarnya orang yang menolong dan menyelamatkanmu dari kematian, beliau inilah orangnya... Bukan aku.. Aku hanya melakukan perintahnya. Beliau dan isterinyalah yang mengatur semuanya. Dan untuk menyelamatkanmu, beliau berdua rela mati di tangan Tung-hai Nung-jin dan keponakannya. Beliaulah yang berhak kau sebut "in-kong"..." Tui Lan terhenyak di tempatnya. Tiba-tiba matanya berkaca-kaca. Ternyata tabib yang baik itu telah mati bersama isterinya. Demikian besar pengorbanan mereka terhadap dirinya. Padahal dia adalah orang asing yang belum pernah dikenal oleh mereka.

   "Ya, Thian... mengapa kau ambil juga orang yang sebaik itu?" rintihnya di dalam hati. Perlahan-lahan Tui Lan meletakkan bayinya di dekat onggokan abu para penolongnya itu. Kemudian secara bergantian ia berlutut dan menyatakan perasaan terima kasihnya di masing-masing gundukan abu itu. Selesai berlutut ia lalu meraup segenggam abu pula di masing-masing gundukan itu dan mencampurnya menjadi satu. Dan campuran abu tulang para penolongnya itu lalu ia masukkan ke dalam guci kecil bekas tempat obat yang kebetulan tergeletak di dekatnya. Setelah itu Tui Lan lalu mengambil kembali bayinya dan menghampiri Souw Lian Cu.

   "Souw Lihiap...? Bolehkah aku mengetahui, siapa sebenarnya Tuan Tabib dan isterinya ini? Siapa pula pembantu Tuan Tabib yang membawaku ke sini itu...?" Souw Lian Cu menghapus sisa air mata yang menempel di pipinya. Lalu jawabnya dengan suara masih terharu.

   "Ketahuilah, Cici. Kau memang benar-benar beruntung sekali mendapatkan perawatan beliau. Kalau bukan beliau yang menolongmu, mungkin jiwamu dan jiwa anakmu takkan tertolong lagi. Beliau adalah Chu Seng Kun, satu-satunya ahli waris Bu-eng Sin-yok-ong dalam ilmu pengobatan. Kukira tiada seorang pun tabib di dunia ini yang mampu melebihi kepandaian Paman Chu Seng Kun."

   "Ooooh...?" Tui Lan ternganga kaget. Kaget sekali! "Dan isteri Paman Chu itu pun bukan orang sembarangan pula, karena beliau adalah puteri Ketua Tai-bong-pai. Sedangkan pembantu beliau itu adalah Lo Hoat, bekas pengawal rahasia Kaisar Chin Si di masa jayanya dahulu." Tapi Tui Lan sudah tidak mendengarkan lagi.

   Seluruh semangatnya seperti hilang ketika mendengar nama Chu Seng Kun tadi. Bayangan wajah suaminya yang juga membutuhkan pertolongan tabib sakti itu kembali terbayang di depan matanya. Setelah dapat menguasai diri mereka kembali, Souw Lian Cu lalu mengajak Tui Lan mengumpulkan abu tulang dari orang-orang yang sangat mereka hormati itu. Dan abu tersebut lalu mereka masukkan ke dalam guci bekas tempat arak. Kemudian guci-guci tersebut mereka tanam di bawah pohon siong yang tumbuh di halaman rumah. Matahari telah memanjat tinggi ketika mereka berdua menyelesaikan upacara penanaman abu tulang tersebut. Souw Lian Cu lalu bersiap-siap untuk kembali ke Puncak Gunung Hoa-san, untuk melaporkan tugas yang diberikan Ban-hoat Sian-seng kepadanya.

   "Cici, aku harus lekas-lekas kembali ke Gunung Hoa-san sekarang. Bagaimana dengan engkau? Apa rencanamu selanjutnya? Apakah engkau akan kembali ke Teluk Po-hai?" Tui Lan menundukkan mukanya. Dipandangnya wajah bayi dalam pelukannya. Untuk sesaat hatinya terasa bimbang kembali. Namun ketika terpandang olehnya wajah Souw Lian Cu yang berbudi itu, seketika keraguannya lenyap pula. Timbul lagi maksudnya semula, untuk pergi jauh mengasingkan diri di tempat yang sunyi.

   "Souw Lihiap! Aku memang bermaksud untuk pulang kembali ke Teluk Po-hai. Akan merawat dan kubesarkan anakku ini di sana, di tempat orang tuaku berasal."

   "Ah! Kalau begitu tempat tujuan kita tidak searah, Cici. Kau menuju ke utara, sedangkan aku ke barat." Souw Lian Cu berkata kecewa, menyesali perpisahan yang takkan dapat mereka elakkan itu. Tui Lan juga tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Bagaimanapun juga ia beserta anaknya sangat berhutang budi kepada gadis ayu itu. Malahan dengan mengalirnya sebagian darah gadis itu di tubuhnya, berarti gadis itu juga telah ikut memiliki sebagian dari jiwanya dan jiwa anaknya pula.

   "Souw Lihiap...! Kita memang takkan dapat berkumpul selamanya. Kita berasal dari tempat yang berlainan. Dan kita juga mempunyai urusan dan persoalan sendiri-sendiri pula. Kalau sekarang kita bisa bertemu dan bersahabat, hal itu karena takdir telah mempertemukan kita di sini. Namun demikian pertemuan kita ini, dan juga pertemuanku dengan keluarga Chu in-kong di sini, benar-benar telah membuka mata hati dan pikiranku, bahwa masih banyak orang berbudi luhur di dunia ini. Aku merasa seperti tergugah karenanya. Aku lantas ingin mencontoh perbuatan-perbuatan mereka. Aku ingin mengabdikan sisa-sisa hidupku, yang dapat dikatakan merupakan pemberian orang-orang berbudi luhur itu, untuk ketentraman dan kedamaian hidup sesama manusia di dunia. Nah, Souw In-kong...! Terimalah sekali lagi rasa terima kasihku dan rasa hormatku kepadamu!"

   Selesai berbicara panjang lebar dengan nada berkhotbah, Tui Lan berlutut bersama bayinya di depan Souw Lian Cu. Matanya kembali berkaca-kaca. Malah sebentar kemudian menetes satu demi satu di atas tanah. Souw Lian Cu cepat berlutut di depan Tui Lan. Tangan tunggalnya menyentuh pundak Tui Lan. Suaranya terdengar sedih juga ketika berkata,

   "Cici...! Aku sebenarnya tak tega melepaskanmu sendirian. Kau membawa bayi yang masih merah, sementara engkau sendiri baru saja melahirkan. Padahal perjalanan ke Teluk Po-hai amat jauh sekali, ada ribuan lie dari s ini. Bagaimana kau akan ke sana? Apakah Cici mempunyai bekal uang untuk menginap dan membeli makanan di jalan?" Tui Lan menengadahkan mukanya. Ditatapnya penolongnya itu dengan perasaan terima kasih. Kemudian dengan ragu-ragu ia menggelengkan kepalanya.

   "Ohh!" Souw Lian Cu berdesah perlahan. Lalu,

   "Kalau begitu, biarlah kau pakai dahulu uangku. Aku masih menyimpan beberapa tail perak di kantungku. Kau bisa mengembalikannya lagi kepadaku besok..."

   "Tidak usah, Lihiap! Aku bisa bekerja dan mencari uang di jalan nanti." Tui Lan mencoba menolak, tapi Souw Lian Cu tetap memaksanya juga, sehingga akhirnya Tui Lan terpaksa menerimanya, karena tidak enak hati untuk terus menolak pemberian itu.

   "Ah, aku sampai lupa menanyakan kepadamu, Cici. Siapakah nama anak ini? Lelaki atau perempuankah dia? Hmm, siapa tahu aku bisa berjumpa dengan dia kelak?" tiba-tiba Souw Lian Cu bertanya. Mendadak Tui Lan menjadi merah pula mukanya. Saking tegang dan gelisahnya dia selama ini, sehingga ia sampai lupa pula melihat jenis kelamin anaknya.

   "Ini... ini... wah, ternyata akupun belum sempat melihatnya!" katanya tersipu-sipu. Kemudian dengan sangat hati-hati Tui Lan membuka selimut tebal yang membungkus bayinya. Souw Lian Cu ikut berdebar-debar pula melihatnya.

   "Ooooh... perempuan!" keduanya berdesah hampir berbareng.

   "Lalu... siapa namanya, Cici?" Tui Lan lalu membungkus kembali bayinya. Dibuatnya sedemikian rupa sehingga hanya wajahnya saja yang kelihatan. Anak kecil itu harus berada di dalam keadan hangat selalu.

   "Sebenarnya aku ingin meminjam nama Chu Hujin (Nyonya Chu) sebagai kenang-kenangan atas budinya. Demikian pula aku ingin memberikan she Chu kepada puteriku ini sebagai tanda hormatku kepada Chu in-kong. Sebab anak ini boleh dikatakan anak pemberiannya juga. Tanpa pertolongan Chu in-kong, anak ini mungkin takkan bisa lahir di dunia ini. Mungkin dia akan ikut terkubur dengan jasad ibunya." Tui Lan menjawab hati-hati.

   "Setuju, Cici! Aku setuju dengan maksudmu!" Souw Lian Cu berseru gembira.

   "Tapi...mengapa kau tampaknya agak ragu-ragu? Apanya yang kurang?" Tui Lan menghela napas.

   "Aku takut arwah beliau tidak menyukai maksudku ini." sahutnya perlahan.

   "Siapa bilang? Mereka justru akan gembira sekali bila mendengarnya! Oh, jangan takut, Cici! Aku berada di belakangmu dalam hal ini. Sudahlah...! Marilah kita bersembahyang sekali lagi di depan makamnya! Kita meminta ijln beliau tentang nama ini..." Souw Lian Cu lalu menarik lengan Tui Lan menuju ke makam Chu Seng Kun suami-isteri. Dipaksanya Tui Lan untuk bersembahyang dan meminta ijin untuk memakai nama keluarga (she) dan nama penolongnya itu bagi anaknya.

   "Nah! Sekarang puterimu ini bernama Chu Siok Eng, karena nama keluarga pamanku adalah Chu, sedangkan nama bibiku adalah Siok Eng! Bagus bukan?" Souw Lian Cu berkata dengan wajah berseri-seri.

   "Terima kasih, Souw Lihiap. Engkau memang baik sekali..." Sekilas terbayang wajah Liu Yang Kun di benak Tui Lan. Namun bayangan itu segera dihapuskannya dengan cepat. Sebaliknya lalu dipandangnya wajah Souw Lian Cu yang baik budi itu lekat-lekat. Mereka lalu saling memandang dengan perasaan gembira. Namun kegembiraan tersebut segera hilang kembali begitu teringat akan perpisahan mereka nanti.

   "Ah! Tampaknya kita memang harus berpisah juga, Cici. Aku akan berangkat lebih dahulu..." Souw Lian Cu mendahului. Tui Lan mengangguk.

   "Silakan, Souw Lihiap...!" Souw Lian Cu lalu mencium Chu Siok Eng yang tertidur lelap di pelukan ibunya, kemudian beranjak pergi. Tapi baru beberapa langkah ia berjalan, mendadak badannya membalik.

   "Cici...! Masih ada satu pertanyaan lagi yang belum kukeluarkan kepadamu. Dan aku akan selalu merasa cemas dan tak bisa tidur memikirkan keselamatanmu kalau belum memperoleh jawabannya." gadis itu berkata. Sekejap Tui Lan menjadi berdebar-debar.

   "Per...pertanyaan tentang apa, Lihiap?" sahutnya gugup.

   "Cici, engkau pandai bermain silat bukan?"

   "Ah...!" Tui Lan bernapas lega.

   "Mengapa Lihiap bertanya demikian?" Souw Lian Cu tersenyum manis.

   "Karena aku agak merasa curiga kepadamu..." katanya berterus terang.

   "Curiga...? Apa yang Lihiap curigai?" Tui Lan kembali berdebar-debar.

   "Pertama, mengapa Cici sampai bentrok dengan kawanan bajak laut Tung-hai-tiauw itu, kalau Cici bukan dari kalangan persilatan juga? Kedua, Cici baru saja melahirkan kemarin. Tapi mengapa sekarang Cici sudah kelihatan sehat sekali? Padahal kalau tidak mendapatkan pertolongan Chu siok-siok, Cici tentu takkan bisa hidup lagi kemarin. Ketiga, pada permulaan aku menyaIurkan darahku melalui jarum panjang itu, darahmu seperti mengeluarkan daya tolak yang sangat kuat, sehingga tenaga saktiku hampir-hampir tak kuat menahan dan membalik menyerang diriku sendiri. Namun ketika akhirnya darahku bisa mengalir ke urat nadimu, akupun hampir-hampir tak kuasa menghentikannya. Tubuhmu seperti mengeluarkan daya sedot yang luar biasa besarnya. Cici, aku berani bertaruh... tentu ada apa apa di dalam aliran darahmu. Mungkin kau memang memiliki lweekang yang amat tinggi, atau... kau menyimpan sesuatu di dalam tubuhmu. Sebuah mustika misalnya... Dan yang keempat, sebenarnya aku kemarin terkena racun pada lututku. Biarpun luka itu tak seberapa besar, namun karena racunnya sangat keras, maka aku hampir tak bisa berdiri maupun berjalan. Hanya karena kekerasan hatiku aku bisa membawa bayimu ke ruang bawah tanah itu. Sebetulnya aku sangat takut untuk menyalurkan darahku kepadamu, karena aku merasa bahwa darahkupun telah terkena racun pula. Tapi ketika aku nekat menyalurkannya, bukan saja kau tidak mati keracunan, ternyata racun yang ada di dalam darahku pun menjadi punah pula secara aneh. Sehingga ketika aku bangun tidur tadi, badanku terasa sehat dan segar. Lututku menjadi sembuh kembali secara mendadak! Nah, Cici... berterus teranglah kepadaku, agar aku tidak menjadi penasaran karenanya!"

   Tui Lan benar-benar tertegun mendengar uraian Souw Lian Cu yang panjang lebar itu. Sesaat hatinya menjadi bimbang dan ragu-ragu pula kembali. Bagaimana ia harus menjawab pertanyaan itu? Apakah ia harus berterus terang atau berbohong kembali? Tui Lan menelan ludahnya.

   "Sebaiknya aku tak membohonginya. Tapi aku juga harus tetap menyimpan rahasiaku pula. Hmm, baiklah... aku akan berterus terang, namun... terbatas!"

   "Bagaimana, Cici?" Souw Lian Cu mendesak.

   "Lihiap, aku memang bisa bersilat. Aku adalah murid Si Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai, seorang tokoh Aliran Im-Yang-Kauw di Teluk Po-hai. Ilmu silat guruku hanya biasa-biasa saja, oleh karena itu apa yang dia ajarkan kepadaku juga tidaklah seberapa. Tapi menurut seorang ahli racun yang kini telah meninggal dunia, aku memiliki jenis 'darah bening', yaitu istilah untuk orang-orang yang memiliki kekebalan terhadap racun. Mungkin karena jenis darahku yang aneh inilah yang menyebabkan hal-hal aneh yang Lihiap ceritakan itu." akhirnya Tui Lan menjawab juga pertanyaan Souw Lian Cu.

   Tui Lan memang tidak berbohong. Namun apa yang ia ceritakan itu ternyata hanya sebagian kecil saja dari alasan-alasan yang sebenarnya. Ia sama sekali tak bercerita tentang Po-tok-cu (Pusaka Mustika Racun) pemberian Ang-leng Kok-jin. Padahal mustika itulah yang sebenarnya menawarkan racun di dalam darah Souw Lian Cu. Dan Tui Lan juga tidak bercerita tentang tenaga sakti Pat-hong-sinkangnya. Padahal tenaga sakti warisan Bit-bo-ong itulah yang kemarin mengeluarkan daya tolak maupun daya sedotnya sebelum ia kendalikan.

   "Ah? Begitukah...? Hmmmh, kalau begitu Cici bukanlah orang lemah, karena Cici adalah murid Aliran Im-Yang kau. Hatiku merasa lega sekarang. Bisa melepas cici pergi dengan hati tenteram..." Souw Lian Cu menyahut dengan perasaan gembira. Lalu sambungnya lagi sambil beranjak pergi.

   "Nah, Cici... aku pergi sekarang! Selamat bertemu kembali kelak!" Tui Lan melambaikan tangannya, lagi-lagi air matanya keluar menggenang pelupuk matanya. Dan air mata itu lalu mengalir, setetes demi setetes mengiringkan kepergian orang yang telah membuang banyak budi kepadanya. Orang yang seharusnya menjadi saingan atau lawannya dalam memperebutkan cinta Liu Yang Kun. Orang yang seharusnya ia benci atau tidak ia sukai di dalam hidupnya. Tapi takdir ternyata telah menyuratkan lain. Dia justru sangat menghargai dan menghormati orang itu.

   "Kehidupan manusia di dunia memang aneh. Sulit untuk dijangkau ataupun diraba dengan pikiran lumrah," Tui Lan berkata kepada dirinya sendiri kemudian melangkah kembali ke reruntuhan rumah Chu Seng Kun. Tui Lan mencoba mencari baju kulit ularnya di antara reruntuhan tersebut, namun tak berhasil. Barang itu telah tiada lagi.

   Mungkin ikut terbakar atau mungkin juga telah diambil oleh kawanan bajak laut itu. Tui Lan hanya menemukan beberapa potong pakaian dari ruang bawah tanah. Pakaian Kwa Siok Eng dan pakaian Chu Seng Kun. Setelah mengganti pakaiannya dengan pakaian Kwa Siok Eng, Tui Lan lalu membawa anaknya pergi dari tempat itu. Tapi ketika ia melangkah melewati makam para penolongnya itu, hatinya menjadi kaget bukan main. Di dekat makam itu berdiri seorang kakek kurus memegang tongkat! Kakek itu mengenakan pakaian serba putih. Rambutnya yang panjang berwarna putih itu digelung ke atas seperti layaknya seorang pendeta dari Aliran Im-Yang-kauw. Kedua biji matanya sudah hilang, sehingga lobang matanya kelihatan terbenam ke dalam. Namun demikian kakek itu bersikap biasa, seperti layaknya seorang yang masih awas matanya.

   "Nyonya...! Berhentilah sebentar, aku ingin bertanya sedikit kepadamu!" seperti orang yang bisa melihat orang tua itu menyapa Tui Lan. Tui Lan tertegun. Hatinya benar-benar merasa heran sekali. Kakek itu buta kedua biji matanya, namun mengapa bisa menebak dengan tepat keadaan dirinya? Dan kelihatannya kakek itu merasakan keheranan Tui Lan terhadap dirinya.

   "Jangan heran, nyonya. Aku tidak buta sejak lahir, sehingga aku juga mengenal keadaan di dunia ini dengan baik. Meskipun demikian akupun sudah mengalami kebutaan ini selama belasan tahun pula, sehingga jangan heran kalau aku dengan "modal' dan 'pengalaman" pada masa-masa yang telah kujalani itu aku cukup mampu untuk menilai keadaan di sekitarku."

   "Oh, maafkan aku, Lo-Cianpwe." Tui Lan tersipu-sipu.

   "Nah... betul dugaanku, bukan? Kau seorang wanita muda. Dari suara langkahmu saja, aku sudah bisa menebak kalau kau seorang wanita dan... sedang menggendong sesuatu. Dan setelah dekat, aku segera bisa mencium bau bayi yang belum lama dilahirkan. Kemudian dari suaramu ketika menjawab tadi, aku juga bisa menerka kalau usiamu belum lebih dari delapan belas tahun. Nah... apa yang perlu diherankan dalam hal ini?"

   "Ah, Lo-Cianpwe... Lo-Cianpwe sungguh hebat! Terimalah hormatku! Nama Siauwte adalah Tui Lan, datang dari Teluk Po-hai... eeem, bolehkah Siauwte mengenal nama Lo-Cianpwe?" Tui Lan memperkenalkan dirinya.

   "Ehmm..." kakek itu tertawa perlahan.

   "Aku menyukai suaramu. Suaramu terdengar segar dan jernih, suatu tanda bahwa hatimu tentu lapang dan bersih pula. Nah,dengarlah... Aku sudah lupa siapa namaku yang sebenarnya. Aku hanya ingat sebuah sebutan yang sering diberikan orang kepadaku, yaitu... Lo-sin-ong."

   "Lo-sin-ong...?? Lo-sin-ong dari Kuil Agung Im-Yang-kauw di Kota Sin yang?" Tui Lan tiba-tiba berseru kaget.

   "Eh? Kau mengenal sebutanku itu? mm... tapi aku sudah tidak berdiam di Kuil itu sekarang! Aku lebih senang mengembara ke mana-mana..."

   "Lo-sin-ong...!" sekali lagi Tui Lan berseru lirih, kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. Sekarang ganti kakek itulah yang menjadi kaget.

   "Hei? Kenapa kau berlutut di depanku?"

   "Lo-sin-ong, maafkanlah Siauwte yang tidak mengetahui kedatanganmu, sehingga Siauwte tidak segera menyambut dan memberi hormat kepada Lo-sin-ong."

   "Hmm... apa-apaan ini? Ayoh... lekas terangkan! Jangan membuat bingung aku!" Lo-sin-ong berkata penasaran, lalu tangannya mengangkat pundak Tui Lan. Sekali lagi Tui Lan menjura, kemudian menundukkan kepalanya. Bagaimanapun juga Tui Lan sudah biasa menghormati tokoh-tokoh Im-Yang-kauw yang lebih tinggi dan lebih tua dari pada dirinya. Sejak kecil ia diberi pelajaran oleh gurunya di Kuil Im-Yang-kauw Cabang Teluk Po hai, karena gurunya adalah Ketua Cabang Im-Yang-kauw di daerah itu. Dari kecil ia sudah mengenal nama-nama tokoh Im-Yang-kauw Pusat, seperti halnya Lo-sin-ong, Lojin-ong, Toat-beng-jin, Kauw Cu-si (Pengurus Keagamaan) Tong Ciak dan lain sebagainya.

   "Maafkanlah Siauwte Lo-sin-ong! Siauwte adalah murid Aliran Im-Yang-kauw pula. Guru Siauwte adalah Si Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai, ketua Cabang Im-Yang-kauw di daerah itu. Subo sering bercerita tentang Lo-Cianpwe. Namun karena Siauwte belum pernah berjumpa, maka Siauwte juga tidak tahu kalau berhadapan dengan Lo-sin-ong."

   "Hei? Jadi engkau ini murid Han Sui Nio yang di waktu gadisnya mengalami duka nestapa itu? Oho, ketahuilah Tui Lan...! Akulah yang dulu menempatkan gurumu itu di sana. Dia kutempatkan di tempat terpencil itu untuk menggantikan Ketua Cabang lama yang telah meninggal dunia, sekalian untuk merenungkan kesalahan dan kebengalannya di waktu muda. Hmmh... lalu sudah seberapa besar anaknya sekarang?"

   Seketika Tui Lan terlongong-longong mengawasi Lo-sin-ong. Gurunya yang menjadi pendeta itu mempunyai anak? Anak siapa? Sudah dua kali ini ia mendengar berita tentang hal itu. Yang pertama ialah ketika setahun yang lalu gurunya bertemu dengan Ketua Ngo-bi-pai, Siau Hong Li. Ketua Ngo bi pai itu juga mengatakan bahwa gurunya pernah bunting. Benarkah gurunya mempunyai anak? Yang ia ketahui subonya itu belum pernah kawin. Dulu memang pernah memadu cinta dengan Ui Bun Ting, yang sekarang menjabat sebagai Ketua Tiam jong-pai. Tapi mereka tak jadi menikah karena Siau Hong Li berhasil mengganggu hubungan cinta mereka. Masakan mereka telah mempunyai anak?

   "Hei, Tui Lan...? Mengapa kau diam saja? Sudah seberapa besar anak subomu itu? Kalau tak salah sudah hampir seumurmu, bukan?"

   "Lo-sin-ong, yang Siauwte ketahui subo itu belum pernah menikah. Oleh karena itu beliau juga tidak mempunyai anak sampai sekarang. Dan beliau juga mempunyai seorang murid, yaitu... Siauwte ini." Tiba-tiba Lo-sin-ong mengerutkan dahinya. Lobang matanya yang tak berisi lagi itu bergerak-gerak seperti orang mau membuka kelopak matanya.

   "Hei? Sejak kapan kau menjadi murid Han Sui Nio? Mengapa kau tak tahu riwayat kehidupan gurumu?"

   "Se... sejak kecil. Sejak masih bayi Siauwte dipungut oleh subo, karena orang tua Siauwte mati dibunuh orang." Tui Lan menjawab sedikit gugup. Otomatis pikirannya menjadi bingung pula mendengar cerita-cerita itu.

   "Sejak kecil? Kalau begitu... mengapa kau tak mendengar cerita tentang subomu itu? Apakah selama ini tak pernah ada orang yang bercerita kepadamu? Huh... aneh benar! Mengapa soal perkawinannya juga tak pernah dikatakan kepada muridnya? Dan... kemana pula anaknya itu? Apakah diambil oleh ayahnya?" Lo-sin-ong menggerutu dan bergumam sendiri. Ternyata Tui Lan sendiri menjadi bingung dan risau pula hatinya. Baru kali ini ia mendengar cerita tentang gurunya itu. Dan cerita itu datang dari Lo-sin-ong, tokoh puncak Aliran Im-Yang, yang tak mungkin berbohong atau mengada-ada.

   "Lo-sin-ong...! Siauwte benar-benar bingung mendengar cerita Lo-sin-ong tadi. Sesungguhnyalah Siauwte belum pernah mendengar sebelumnya. Emmmm... bolehkah... bolehkah Siauwte mendengar cerita itu selengkapnya?" Tapi Lo-sin-ong menggeleng dengan cepat.

   "Tidak! Lebih baik engkau bertanya sendiri kepada gurumu. Dia tentu mempunyai alasan, mengapa riwayatnya itu tak diceritakan kepadamu. Kalau kau ingin mengetahuinya juga, maka kau harus pandai membujuknya. Namun yang jelas gurumu itu pernah kawin, dengan orang jahat lagi."

   "Dengan orang jahat...?" Tui Lan memekik lirih, matanya terbelalak.

   "Sudahlah, kau jangan banyak bertanya lagi! Aku malah sampai melupakan kepentinganku sendiri... Eh, Tui Lan! Apakah kau pernah melihat seorang gadis sebayamu datang kemari? Namanya Tiauw Li Ing. Dia adalah puteri Tung-hai-tiauw, raja bajak laut dari Lautan Timur. Gadis itu selalu mengenakan pakaian serba bagus dan..."

   "Oh dia...! Dia memang telah datang kemari kemarin. Bersama kakak dan pamannya, Tiauw Kiat Su dan Tung-hai Nung-jin. Mengapa Lo-sin-ong mencarinya?" Lo-sin-ong menghela napas panjang sekali.

   "Nah... apa kataku! Dia memang benar-benar datang ke tempat ini. Dan... Tui Lan, coba katakan yang sebenarnya! Gadis itu membuat onar dan membunuh orang di tempat ini, bukan? Aku menemukan makam yang masih baru di sini." Tui Lan mengangguk dan membenarkan ucapan kakek itu. Lalu serba sedikit ia menceritakan kejadian menyedihkan yang menimpa keluarga Chu Seng Kun kemarin. Sambil bercerita tak terasa air matanya kembali berlinang-linang, mengenangkan kebaikan budi para penolongnya itu.

   "Hmmh! Anak itu semakin brutal dan sulit diperbaiki! Sungguh sayang...!" Lo-sin-ong tiba-tiba berdesah sedih, sehingga wajahnya yang berkeriput itu semakin tampak memilukan.

   "Mengapa Lo-sin-ong mencari gadis itu? Apakah Lo-sin-ong bermaksud untuk mendidiknya di jalan yang baik?" Lo-sin-ong berdesah lagi dengan sedihnya.

   "Aku telah mencobanya, namun tak berhasil. Semula aku berharap dia akan bisa berpaling dari kebiasaan yang buruk itu, apalagi ia masih sangat muda. Tapi ternyata harapan tinggal kosong belaka. Namun demikian aku masih mempunyai satu harapan lagi yang mungkin masih bisa mengangkatnya dari jurang kegelapan. Tapi aku juga sangsi, apakah orang yang kuharapkan bisa menolong dia itu masih hidup atau sudah mati sekarang?" Tui Lan menarik napas pendek. Sama sekali ia tak tertarik lagi membicarakan gadis jahat yang telah ikut mencelakakan keluarga Chu Seng Kun itu. Oleh karena itu ia hanya berdiam diri dan tak menanggapi cerita Lo-sin-ong itu lebih lanjut. Tapi Lo-sin-ong yang buta itu tak bisa melihat sikap Tui Lan. Kakek itu masih saja meneruskan ucapannya.

   "Sebab tak seorangpun yang bisa membelokkan hatinya, selain orang yang dicintainya. Ayahnya, saudaranya, gurunya, sudah tidak dia indahkan lagi nasehatnya." Tui Lan tetap diam saja tak menyahut. Tangannya malah asyik menimang-nimang bayinya.

   "Tapi... kemana aku harus mencari pemuda yang dicintainya itu?" Lo-sin-ong akhirnya menutup kata-katanya. Tui Lan menengadahkan kepalanya. Sambil lalu ia menyahut.

   "Ah... mengapa Lo-sin-ong menjadi repot benar memikirkannya? Mengapa tidak dibiarkan saja semuanya berjalan menurut keyakinan mereka masing-masing? Kalau toh gadis itu akan menjadi sadar karena orang yang dicintainya, niscaya mereka akan dipertemukan juga oleh Thian nanti. Lo-sin-ong atau orang lain tak perlu kesana-kemari mencarinya." Lo-sin-ong tersentak heran dan kaget mendengar ucapan Tui Lan yang masih amat muda itu. Ucapan itu terdengar sangat sederhana, namun bila dikupas akan terasa sekali kedalamannya.

   "Hmm... bagaimana kalau pemuda yang dicintainya itu telah mati atau tidak bisa dipertemukan dengannya?"

   "Ah, Lo-sin-ong...! itu berarti bahwa gadis itu memang telah ditakdirkan sebagai orang jahat yang tak bisa kembali ke jalan benar. Habis perkara! Tapi... eh, omong-omong... siapa sih orang yang dicintainya itu?" Lo-sin-ong menghela napas, kemudian menghembuskannya perlahan-lahan. Mukanya tertunduk dalam-dalam seperti orang sedang bersedih.

   "Itulah sulitnya! Orang yang dicintainya itu ternyata pemuda berkedudukan tinggi, yang tak mungkin diraih oleh puteri bajak laut seperti dia. Orang yang dicintainya itu adalah seorang Pangeran, putera Kaisar Han sekarang, yaitu... Pangeran Liu Yang Kun!" Hampir saja bayi yang berada di dalam pelukan Tui Lan itu terlepas dari tangannya. Untunglah Tui Lan cepat mendekapnya kembali. Meskipun demikian bayi itu sudah terlanjur kaget dan menangis dengan kerasnya.

   "Hei? Kenapa dengan bayimu itu?" Lo-sin-ong berseru kaget.

   "Tidak apa-apa...! Mungkin cuma terkejut saja..." Tui Lan menjawab gugup. Sama gugupnya ketika mendengar nama suaminya disebut Lo-sin-ong tadi.

   "Ahh... sungguh mengagetkan benar. Kukira telah terjadi sesuatu dengan dia. Hmm, kalau begitu aku akan pergi dahulu. Terima kasih atas bantuanmu." bekas Ketua Im-Yang-kauw itu berkata kemudian meminta diri. Tui Lan menelan ludah, kemudian mengawasi kepergian orang tua itu dengan pikiran risau.

   
Memburu Iblis Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Lo-sin-ong! Apa Lo-sin-ong masih tetap mau mencari Pangeran Liu Yang Kun itu?" tanpa terasa mulutnya berseru ke arah bayangan yang hampir lenyap ke dalam hutan itu.

   "Tentu saja! Aku sudah terlanjur menyukai dan merasa kasihan kepada muridku itu! Oleh karena itu aku akan selalu berusaha menyadarkannya, bagaimanapun juga sulitnya! Aku harus menemukan Pangeran itu! Aku tak percaya bahwa Pangeran itu telah terkubur mati di Lembah Dalam setahun yang lalu!" lapat lapat masih terdengar suara jawaban Lo-sin-ong di balik hutan.

   "Oooooh...!" Tui Lan mengeluh panjang dengan pikiran yang semakin ruwet.

   "Koko, benarkah kau masih hidup...?" Dengan hati kusut Tui Lan lalu mendekap bayinya. Perlahan-lahan ia melangkah meninggalkan tempat yang takkan bisa ia lupakan itu.

   "Maaf, Chu in-kong... aku memohon diri dahulu, kelak aku dan anakku akan selalu datang mengunjungi makammu..." ucapnya lirih. Angin bertiup sepoi-sepoi, mengiringkan kepergian Tui Lan dengan bayinya. Matahari pun tampak memanjat semakin tinggi pula, melewati pucuk-pucuk pohon di dalam hutan itu, seolah-olah tak tega melepaskan kepergian ibu dan anak itu.

   Demikianlah dalam waktu sehari semalam saja, sejak kemunculannya di danau Tai Ouw malam itu, Tui Lan telah mengalami berbagai macam hal dan peristiwa yang sangat mendebarkan hati. Malahan kemarin sore hampir saja wanita muda itu kehilangan nyawa akibat kelahiran bayinya yang belum cukup umur itu. Bayi hasil hubungan cinta-kasihnya dengan Pangeran Liu Yang Kun, suaminya. Dua malam yang lalu Tui Lan dan Liu Yang Kun masih bersama-sama mengarungi lorong-lorong gua di dalam tanah itu. Tetapi ketika mereka sampai di bawah danau Tai-Ouw, pusaran air yang deras telah memisahkan mereka. Tui Lan diseret oleh arus-air yang muntah keluar ke dasar danau, sementara Liu Yang Kun dihanyutkan terus oleh arus-air yang menuju ke laut.

   Berbeda dengan isterinya yang lantas bisa keluar dari dalam perut bumi, ternyata Liu Yang Kun masih harus mengembara lagi di dalam lorong-lorong gelap sendirian. Jikalau arus air yang menyeret Tui Lan itu muntah ke alam bebas, sebaliknya arus-air membawa Liu Yang Kun cuma muntah kembali ke dalam lorong gua yang lain. Meskipun demikian masih beruntung juga bagi Liu Yang Kun, karena dengan demikian ia bisa bernapas lagi. Dengan tersedak dan terbatuk tiada hentinya, Liu Yang Kun mencoba untuk berenang ke tepi. Tubuhnya terasa remuk-redam, lemah-lunglai. Sementara perutnya bagaikan sebuah balon yang penuh dengan air, pedih dan mual. Dengan sisa-sisa tenaga yang masih dipunyainya, Liu Yang Kun merangkak naik ke tepian. Kemudian bersamaan dengan tersungkurnya dia di atas pasir, keluar pulalah semua isi perutnya melalui mulut dan hidungnya.

   "Moi-moi... oh, di-dimanakah... kau?" ucapnya gemetar seperti mengigau. Karena mencemaskan nasib isterinya, maka Liu Yang Kun tak mau menjadi pingsan. Pemuda itu berjuang terus melawan rasa pusing, lemah, mual, pedih dan sakit yang menyerang tubuhnya. Diangkatnya badannya untuk duduk, kemudian dicobanya mengerahkan tenaga-sakti Liong-cu i-kangnya. Sungguh mengherankan sekali! Sekejap saja tenaga-sakti itu telah bergolak dengan hebatnya! Sangat dahsyat malah! Rasa rasanya tubuhnya seperti hendak meledak saking banyaknya muatan yang berjejalan di dalam badannya!

   Liu Yang Kun sendiri menjadi takjub dan ngeri pula melihat perubahan itu. Kemarin saja belum sedahsyat itu lweekangnya. Sebelumnya, dia memang merasa memperoleh banyak kemajuan selama berdiam di dalam gua-gua itu. Terutama setelah membunuh mati ular raksasa Ceng-liong-ong itu. Hari demi hari dia merasakan lweekangnya menjadi semakin hebat saja. Meskipun demikian dia masih menganggap bahwa kemajuannya tersebut adalah wajar, karena setiap hari ia memang selalu tekun berlatih dan berusaha memperdalam ilmunya. Tetapi apa yang dirasakannya sekarang benar-benar di luar bayangannya. Dia merasa ilmunya sekarang telah meloncat terlalu jauh, sehingga dia sendiri menjadi takjub dan ngeri malah!

   "Ini... ini... heh-heh... ho-hoh-hoh...!" Liu Yang Kun terengah-engah dan tersengal-sengal seperti layaknya seorang yang sedang menahan beban berat. Semakin lama semakin berat juga, sehingga pemuda itu menjadi bingung dan cemas bagaimana harus mengatasinya. Saking bingungnya pemuda itu lalu meloncat dan memekik sekuat-kuatnya! Dengan harapan semua beban dan tenaga yang berdesak-desakan di dalam tubuhnya itu dapat ia usir dan ia lemparkan sejauh jauhnya!

   "Hhhhhuuuuuuuahhhhhhh...!!" Lorong gua yang amat luas itu seolah-olah bergetar mau runtuh. Debu dan pasir yang menempel di langit-langit dan di dinding-dinding gua itu berhamburan ke bawah. Sementara batu-batu besar atau kecil, yang kurang kuat menempelnya, juga tampak berjatuhan pula dengan suara gemuruh. Sepintas lalu gua itu bagaikan sedang digoncang oleh gempa yang hebat!

   Sementara itu Liu Yang Kun sendiri telah lupa memperhitungkan kepandaiannya. Loncatan sekuat tenaga yang dilandasi ilmu Bu-eng Hwe-teng tadi benar-benar membuat tubuhnya melesat tinggi bagaikan anak panah yang dilepaskan dari busurnya. Tiba-tiba saja ia menghantam langit-langit gua dengan kuatnya!

   "Breeeesh!" Pecahan batu dan kerikil berhamburan pula kembali. Kali ini bersamaan jatuhnya dengan tubuh Liu Yang Kun yang terpental menimpa air deras di bawahnya.

   "Byuuuuur...!"

   "Haaep...! Haaaaep...!" Untuk yang kedua kalinya Liu yang Kun harus berenang pula ke tepian. Namun kali ini dengan badan yang sehat dan segar. Hilang rasa pedih, sakit mual ataupun pusing, yang menyerangnya tadi.

   Dan semuanya itu tentu saja sangat mengherankan hati pemuda itu sendiri. Ternyata Liu Yang Kun sendiri tidak menyadari perubahan hebat yang terjadi sewaktu ia diseret oleh arus-air dalam lorong sempit tadi. Di dalam keadaan antara mati dan hidup karena tak bisa bernapas di dalam air itu, tiba-tiba tenaga sakti Liong-cu i-kangnya bergolak dengan hebatnya! Sejalan dengan napasnya yang tersumbat di dalam perutnya, tenaga sakti itu juga mencari jalan keluar dari kurungannya! Jikalau napas tersebut seolah-olah ingin menjebol paru-paru dan dada Liu Yang Kun, sebaliknya tenaga sakti itu segera memencar ke seluruh tubuh menjebol semua jalan darah yang tersumbat, untuk segera menemukan lobang pori-pori di permukaan kulit! Tetapi dengan demikian pemuda itu secara tak sengaja telah memaksa diri dalam penyempurnaan ilmunya.

   Waktu puluhan tahun yang biasa dipergunakan oleh orang lain untuk membebaskan titik-titik jalan darah tersulit di dalam tubuh manusia itu, ternyata hanya dilakukan dalam beberapa saat saja oleh Liu Yang Kun. Namun semuanya itu bisa terlaksana karena pengaruh darah Ceng-liong-ong juga. Tanpa bantuan darah berkhasiat tinggi tersebut, tak mungkin rasanya Liong-cu i-kang mampu menembusnya. Untuk beberapa saat Liu Yang Kun termangu-mangu memikirkan keanehan yang terjadi di dalam tubuhnya. Dia sadar sekarang bahwa tenaga sakti Liong cu-i-kang yang berada di dalam tubuhnya telah mencapai tingkat kesempurnaan. Namun ia tetap tidak tahu, bagaimana hal itu bisa terjadi. Padahal selama ini ia selalu gagal bila mencobanya. Sampai kemarinpun ia masih sukar menembus titik-titik jalan darah tersulit tersebut.

   "Ah!" Liu Yang Kun ingat kembali kepada isterinya. Matanya yang mencorong seperti mata naga itu segera menembus kegelapan untuk mencari Tui Lan. Setelah lweekangnya kini mencapai kesempurnaannya, lorong gua yang gelap pekat rasanya tidak menjadi gelap lagi. Dengan gampang sorot matanya dapat melihat benda-benda yang ada di sekelilingnya. Namun sampai beberapa kali ia bolak-balik di tempat itu, Tui Lan tetap tidak diketemukannya juga. Liu Yang Kun mulai panik.

   "Dimanakah dia...? Apakah ia tak ikut terseret arus-air bersamaku tadi? Oh... ataukah dia langsung dihanyutkan oleh aliran sungai ini?" gumamnya cemas. Pemuda itu lalu berlari-lari menyusuri aliran sungai tersebut. Tapi sampai seharian penuh ia berjalan, Tui Lan tetap tidak kelihatan. Ia mulai putus asa. Pikirannya sudah mulai membayangkan yang bukan-bukan. Jangan-jangan wanita yang dicintainya itu telah pergi mendahului dia menghadap Giam-ong (Dewa Kematian).

   "Moi-moi..." berkali-kali bibirnya menyebut nama isterinya.

   Liu Yang Kun menjatuhkan dirinya di atas pasir yang bertumpuk di tepian sungai itu. Sambil telentang menatap langit-langit gua ia mengenangkan saat saat manis bersama Tui Lan, isterinya. Saking lelahnya kedua biji matanya terpejam tanpa terasa. Entah berapa lama ia tertidur, tapi yang jelas ketika ia membuka matanya lagi, badannya terasa segar dan ringan luar biasa. Perlahan-lahan ia bangkit, kemudian memandang sekelilingnya. Tapi matanya tiba-tiba terbelalak! Berpuluh-puluh, bahkan mungkin malah be ratus- ratus ekor ular dari berbagai macam jenis tampak berkumpul mengelilinginya. Ular-ular itu berada di segala tempat, di atas pasir, di atas batu-batu, di dinding-dinding gua, bahkan di dalam lobang-lobang di langit-langit gua pula. Mereka berdesis-desis dengan riuhnya, seolah-olah mereka semua bergembira berada di dekat Liu Yang Kun.

   Beberapa ekor diantara mereka malah ada yang datang mendekat dan menjilati kaki pemuda itu. Mula-mula Liu Yang Kun merasa kaget dan ngeri juga. Namun ketika teringat kembali pengalamannya beberapa bulan yang lalu, ketika ia dan Tui Lan dikepung oleh ratusan ular berbisa, hatinya segera menjadi tenang kembali. Tangannya lalu merogoh sakunya, meraba mustika racun yang diperolehnya dari jengger Ceng-liong-ong itu, kemudian mengeluarkannya di atas telapak tangannya. Benda itu memancarkan sinar kehijauan dalam gelap. Dan anehnya, ratusan ekor ular yang berdesis riuh dan bergerak kesana-kemari tadi, tiba-tiba diam tak bergerak dan tak bersuara, semuanya tertunduk ketakutan dan me letakkan kepala mereka masing-masing di tanah, sehingga dilihat sepintas lalu mereka seperti kumpulan bangkai yang berserakan di atas tanah.

   Demikian takutnya mereka, sehingga untuk menggerakkan lidah mereka yang biasa bergerak keluar-masuk itu saja mereka tak berani. Padahal banyak di antara mereka terdapat jenis-jenis ular yang terkenal ganas dan pemarah, seperti halnya ular hijau berbuntut merah, ular karang, ular api, ular pengisap darah dan sebagainya. Liu Yang Kun bangkit berdiri, lalu melangkah pergi meninggalkan tempat itu. Dan ular-ular itupun segera menyibak memberi jalan pula. Tapi demikian kaki pemuda itu melewati barisan yang paling belakang, ular-ular itu segera bergerak mengikutinya. Mereka bergerak berbondong bondong seperti pasukan semut yang meninggalkan sarangnya. Pemuda itu kembali menyusuri lorong-lorong gua itu, mengikuti aliran air sungai, dengan harapan bisa menemukan isterinya.

   Karena tidak tahu waktu maka dia hanya beristirahat atau tidur bila telah merasa lelah. Begitu pula ia hanya mencari makan seperti biasanya, bila ia telah merasa lapar. Dan ular-ular itu ternyata masih juga mengikutinya. Malahan semakin lama semakin banyak, karena di setiap daerah yang mereka lalui, rombongan mereka akan selalu bertambah dengan ular-ular baru lagi. Dan lucunya, setiap pemuda itu beristirahat, tidur, atau mencari ikan, ular-ular itupun segera berbuat yang serupa pula. Mereka makan, istirahat, tidur mengelilingi Liu Yang Kun. Karena terlalu memikirkan isterinya, maka Liu Yang Kun tak mengacuhkan tingkah laku ular-ular itu. Dibiarkannya saja mereka berbuat sesuka hati mereka. Hanya kadang-kadang ia merasa ngeri dan risih bila sedang tidur atau beristirahat.

   Kalau ia lupa mengeluarkan mustika racunnya itu, niscaya tubuhnya akan penuh dengan ular-ular tersebut. Seperti sedang menggeluti induknya saja ular-ular itu melilit-lilit dan bermain-main di atas tubuhnya. Demikianlah, berhari-hari Liu Yang Kun berjalan menerobos lorong-lorong gua itu tanpa mengenal lelah. Sekarang hati pemuda itu sudah benar-benar putus asa. Ia sudah merasa yakin bahwa isterinya telah tiada. Mungkin sudah terseret ke laut lepas dan dimakan hiu di sana. Akhirnya setengah bulan pun sudah berlalu pula. Keadaan Liu Yang Kun sudah seperti orang kurang waras. Pakaian yang dia kenakan cuma sebuah kulit ular. Wajah kusut kurang tidur. Ditambah pula dengan rambutnya yang dibiarkan tergerai awut-awutan. Semuanya itu masih ditambah lagi dengan sikapnya yang acuh dan tanpa semangat.

   "Tui Lan...!?!" kadang-kadang bibirnya menggumamkan nama isterinya. Lorong gua itu semakin lama semakin menurun, sehingga aliran sungai itu menjadi semakin deras pula arusnya. Malahan di beberapa tempat arus air itu membentuk jeram-jeram kecil yang bergemuruh suaranya. Di tempat-tempat seperti itulah jalan menjadi sulit untuk dilewati. Namun dengan kemampuannya sekarang, jalan seperti itu bukan menjadi masalah lagi buat Liu Yang Kun. Dengan mudah jeram yang curam dan licin itu dilewatinya.

   Dengan Bu-eng Hwe-tengnya yang sudah mencapai tingkat tertinggi tubuhnya melayang-layang seperti capung di atas air. Begitu pula dengan rombongan ular ular yang mengikuti pemuda itu. Bagaikan guguran daun kering yang jatuh di atas permukaan air, ratusan ekor ular itu berjatuhan menghanyutkan diri di dalam arus air jeram tersebut. Demikianlah, pada hari yang ke limabelas sejak perpisahannya dengan Tui Lan, tanda-tanda berakhirnya lorong gua itu sudah mulai terasa oleh Liu Yang Kun. Udara di dalam gua itu mulai berbau amis, sementara hawanya pun juga sudah mulai terasa segar pula, suatu tanda bahwa tempat tersebut sudah dekat dengan lautan. Bahkan ketika Liu Yang Kun menangkap ikan, ikan-ikan yang diperoleh juga sudah berbeda. Ikannya sudah mulai besar-besar dan banyak yang tak memiliki sisik lagi.

   "Tampaknya gua ini sudah mendekati pantai..." pemuda itu berdesah perlahan.

   Ada juga sepercik kegembiraan di dalam hatinya. Meskipun kegembiraan itu tidak terasa mutlak lagi baginya. Bagaimana ia bisa benar-benar bergembira bila Tui Lan tidak ikut menikmatinya? Oleh karena itu ketika akhirnya terdengar suara debur ombak di kejauhan, pemuda itu justru menitikkan air-matanya malah. Berbulan-bulan, bahkan lebih dari setahun ia menderita sengsara di dalam gua itu bersama-sama Tui Lan. Mereka bersama-sama melewatkan hari-hari yang menjemukan. Mereka bersama-sama menghadapi bahaya ketika berusaha mencari kebebasan. Dan masih banyak lagi penderitaan dan kesengsaraan yang mereka peroleh selama ini. Namun ketika kebebasan itu telah berada di depan mata, wanita tangguh yang banyak memberi semangat hidup kepada dirinya itu justru telah tiada lagi.

   Wanita ayu yang telah banyak melepas budi dan amat dicintainya itu hilang bersama anak yang dikandungnya. Anak dari buah cinta kasih mereka. Begitulah, ketika tiba-tiba lobang keluar ke alam bebas itu menganga di depannya, Liu Yang Kun justru menjadi sedih dan tertegun menatapnya. Semangatnya seolah-olah menjadi hilang malah. Bayangan Tui Lan seperti datang menggodanya. Isterinya itu seperti datang menggendong anak mereka dan melambai-lambaikan tangan untuk melepas kepergiannya ke alam bebas. Liu Yang Kun menoleh dengan cepat, dan kakinya sudah melangkah mundur, seakan-akan hendak kembali memasuki gua itu. Tapi berbareng dengan itu pula, tiba-tiba terdengar suara desis riuh dari mulut ular-ular yang mengikuti perjalanannya! Ular-ular itu mendadak menjadi buas dan garang!

   "Ah...!?" pemuda itu berdesah kaget, kemudian bersiap-siaga menjaga segala kemungkinan. Tapi kecemasan pemuda itu segera hilang tatkala dari jauh terdengar suara percakapan manusia, yang memantul dan bergema di dalam gua itu. Tampaknya ular-ular itu telah mencium kedatangan orang-orang itu dan menganggap musuh kepada mereka. Oleh karena itu Liu Yang Kun lalu mengeluarkan mustika racunnya untuk menenangkan ular-ularnya itu.

   

Pendekar Penyebar Maut Eps 47 Pendekar Penyebar Maut Eps 32 Pendekar Penyebar Maut Eps 1

Cari Blog Ini