Pendekar Penyebar Maut 47
Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Bagian 47
lm-yang-kauw diramalkan akan menjadi besar dan ternama bila dapat menarik seorang pemuda yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Dan orang yang memperoleh tugas untuk mencari pemuda tersebut adalah Toat-beng-jin. Kemudian ternyata pemuda yang mempunyai ciri-ciri tertentu itu mereka temukan dalam diri Chin Yang Kun. Tapi ternyata tidak mudah untuk membawa Chin Yang Kun ke Gedung Pusat mereka. Maka setelah kini secara kebetulan Toat-beng-jin dapat menemukan Chin Yang Kun di kota itu tak mungkin rasanya dia menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Dengan segala macam cara pemuda itu harus dapat dibawa ke Gedung Pusat Im-yang-kauw. Oleh karena itu dengan tutur kata yang halus dan menarik Toat-beng-jin berusaha membujuk Chin Yang Kun.
"Yang-hiante, kau jangan buru-buru marah dahulu...! Sama sekali aku tak bermaksud untuk bergurau denganmu, apalagi mencoba menghalang-halangi urusan dan kesibukanmu. Aku orang tua ini benar-benar tidak berani. Sungguh! Aku bermaksud baik kepadamu. Mumpung kau berada disini, aku ingin mengundangmu ke tempatku, itu saja!"
"Tapi...mana aku berani menjadi saksi segala?" Chin Yang Kun masih berusaha untuk mengelak.
"Hei...?!? Apa salahnya untuk menjadi saksi? Bukankah saksi itu merupakan jabatan yang baik? Kalau Toat-beng-jin tadi ingin mengangkatmu sebagai saksi dalam pertemuan kita ini, hal itu karena dia sangat menghormatimu. Maka kau tak usah berbelit-belit. Mau tidak kau dihormati Toat-beng-jin? Kalau tidak mau...ya, silahkan pergi! Habis perkara!" tiba-tiba Put-ceng-li Lojin menyahut dengan suara agak penasaran. Orang tua ini memang paling tidak suka sesuatu yang berbau sungkan-sungkan.
"Wah...ini...ini..." pemuda itu tak bisa menjawab atau berdalih lagi.
"Sudahlah, kita tak usah berdebat lebih lanjut. Marilah kita sekarang berangkat saja ke gedung pertemuan itu...! Silahkan, Yang-hiante...!" Toat-beng-jin cepat menengahi.
Demikianlah, Chin Yang Kun terpaksa tidak dapat menolak lagi. Dengan perasaan yang kurang enak dia mengikuti langkah jago-jago silat dari ketiga aliran kepercayaan itu. Meskipun merasa kepandaiannya tidak akan kalah oleh mereka, tapi sebagai seorang pemuda yang belum mempunyai banyak pengalaman, yang secara tiba-tiba harus berkumpul dengan tokoh-tokoh angkatan tua yang sakti dan ternama, apalagi mereka sangat dihormati serta mempunyai kedudukan tinggi di dunia persilatan, Chin Yang Kun merasa kecil juga di hadapan mereka. Maka pemuda itu tak bersuara sedikitpun ketika mengikuti tokoh-tokoh sakti tersebut. Seperti halnya Bhong Kim Cu dan Leng Siau yang menuntun kudanya, pemuda itu juga berjalan saja sambil memegang kendali si Cahaya Biru.
Cuma kalau kedua tokoh Mo-kauw tersebut berjalan sambil asyik bercakap-cakap, Chin Yang Kun hanya diam saja di belakang sendiri. Semuanya tidak mempedulikan orang-orang yang menoleh atau memperhatikan kedatangan mereka. Setelah berbelok-belok beberapa kali mereka sampai di sebuah gedung besar berhalaman luas. Gedung itu didirikan agak jauh menjorok ke dalam, sehingga halaman depannya yang sangat luas itu bagaikan sebuah lapangan untuk bermain kuda. Meskipun malam halaman tersebut kelihatan terang benderang karena setiap tiga tombak dipasangi lampu minyak berukuran besar-besar. Maka dari itu kedatangan mereka segera diketahui oleh para penjaga yang berada di dalam pendapa. Para penjaga itu bergegas turun menyambut kedatangan mereka.
"Lojin-ong...!" orang-orang itu menyapa seraya membungkukkan tubuh mereka. Toat-beng-jin mengangguk, lalu memberi perintah agarmelaporkan kedatangan para tamu yang dibawanya itu kepada Tai-si-ong dan para pimpinan Im-yang-kauw lainnya. Tapi belum juga orang yang diperintah tersebut beranjak dari tempatnya, Tai-si-ong telah lebih dahulu muncul di atas pendapa. Kepala Kuil Agung itu diiringkan oleh Pangcu-si Song Kang dan kau Cu-si Tong Ciak, sementara di belakang mereka tampak beberapa orang tokoh Im-yang-kauw yang lain.
"Hmm...selamat datang! Selamat bertemu kembali Bing kau cu dan Siang kau Tai-shih dari Mo-kauw!" dari atas pendapa Tai-si-ong cepat menjura untuk menyambut kedatangan tamu-tamunya itu. "Mari...silahkan duduk!"
Chin Yang Kun memberikan kudanya kepada seorang penjaga, lalu ikut pula naik ke atas pendapa. Dengan perasaan kagum matanya memandang bangunan yang luas, anggun dan sangat indah itu. Di mana-mana dipasang gambar-gambar dan hiasan yang sangat indah dan menarik, sementara di tengah-tengah ruangan berdiri sebuah patung besar dari batu pualam yang dikelilingi oleh patung-patung kecil dalam sikap menyembah. Dan dari lantai pendapa, kumpulan patung tersebut dibatasi oleh kolam kecil dengan air yang sangat jernih. puluhan ikan emas tampak berenang kian ke mari di dalamnya.
"Hei! Yang-hiante rupanya...! Selamat bertemu kembali!" kau Cu-si Tong Ciak berseru nyaring begitu melihat Chin Yang Kun.
"Hahaha...kau tidak menyangkanya, bukan?" Toat-beng-jin tertawa gembira melihat kekagetan kau Cu-si Tong Ciak. Kemudian setelah semua tamu disambut dan dipersilakan duduk oleh Tai-si-ong dengan baik, Toat-beng-jin bergegas memperkenalkan Chin Yang Kun kepada teman-temannya. Dengan bangga orang tua itu menunjukkan kepada Tai-si-ong dan Pangcu-si Song Kang, siapakah sebenarnya pemuda yang kini ikut bersamanya itu.
"Ah...Saudara Yang, sungguh gembira sekali kami semua dapat berkenalan denganmu! Sudah lama Lojin-ong bercerita tentang engkau. Hahaha...silahkan duduk! Maafkanlah kalau penyambutan kami kurang berkenan di hatimu." Tai-si-ong cepat berdiri kembali untuk memberi penghormatan kepada Chin Yang Kun. Tentu saja sambutan Kepala Kuil Agung yang tak disangka sangkanya itu semakin tidak mengenakkan hati Chin Yang Kun. Pemuda itu benar-benar tidak mengira kalau dirinya yang kecil dan tak punya nama itu akan memperoleh perhatian dan sambutan yang ramah dari tokoh-tokoh ternama dan terhormat seperti Tai-si-ong dan yang lain-lainnya.
"Terima kasih! Terima kasih...!" pemuda itu berkata seraya menjura dalam-dalam. Saking canggungnya pemuda itu malah tak bisa berkata apa-apa selain menyatakan rasa terima kasihnya. Sebaliknya penghormatan dan perhatian yang terlalu berlebih-lebihan itu benar-benar sangat mengherankan para tamu yang lain. Bhong Kim Cu saling memandang dengan kawannya, Leng Siau, sementara Put-ceng-li Lojin yang selalu acuh tak acuh itu hanya melongo menyaksikan kejadian itu.
"Hei...hei! Tai-si-ong...! Bagaimana? Jadi berlangsung atau tidak pertemuan kita ini?" Put-ceng-li Lojin tiba-tiba berteriak.
"Kalau tidak jadi...aku mau pulang saja!"
"Ohh, Bing-Kauwcu...maafkanlah kami! Hahaha...Silahkan duduk! Silahkan duduk!" Toat-beng-jin cepat menahan orang tua ini. Semuanya tersenyum melihat adegan itu. Tidak terkecuali Bhong Kim Cu dan Leng Siau. Kedua tokoh Mo-kauw itu pura pura mengelus kumis dan jenggotnya untuk menutupi senyum mereka. Sebagai sesama tokoh angkatan tua mereka takut dianggap bersikap kurang sopan terhadap Put-ceng-li Lojin. Tetapi orang yang bersangkutan ternyata tidak ambil pusing kepada orang-orang di sekitarnya. Sambil duduk kembali di kursinya orang tua itu masih mengomel juga.
"Habis, sedari tadi cuma omong saja. Minumanpun juga tak kunjung keluar. Bagaimana tamu menjadi kerasan di sini?"
"Wah...Kauwcu benar! Sungguh pikun benar aku ini, hahaha...! Hei, penjaga! Suruh pelayan cepat-cepat menghidangkan minuman dan makanan! Cepat...!" Pangcu-si Song Kang menoleh dan berteriak ke arah penjaga yang berdiri di belakang kursinya. Penjaga itu berlari masuk dan sekejap kemudian beberapa orang pelayan telah keluar membawa nampan berisi makanan dan minuman. Dengan cekatan mereka menaruh isi nampan mereka tersebut di atas meja. Dan tanpa malu-malu atau sungkan-sungkan lagi Put-ceng-li Lojin segera menyambar poci arak yang ada di depannya, terus meminumnya sampai habis.
"Hahaha...beginilah seharusnya tuan yang baik." kata orang tua itu gembira. Lalu tanpa mempedulikan tanggapan atau komentar dari orang-orang yang berada di sekelilingnya orang tua itu menyambar lagi poci arak yang berada di depan Leng Siau. Yang lain hanya tersenyum maklum memandang ulah Ketua Bing-kauw yang urakan dan ugal-ugalan itu. Mereka tak bisa marah atau merasa tersinggung, karena memang demikianlah watak dan sifat Put-ceng-li Lojin.
"Bhong Tai-shih! Leng Tai-shih dan...Yang-sicu! Silahkan minum...!" Untuk menyingkirkan rasa kikuk mereka Tai-siong segera mempersilahkan tamu-tamunya yang lain untuk menikmati sajian di atas meja. Di depan Leng Siau segera diletakkan sebuah poci arak yang baru. Demikianlah, mereka makan dan minum dengan gembira dan meriah. Semuanya seperti sudah melupakan pertikaian yang terjadi diantara para anggota aliran mereka. Mereka saling berbicara satu sama lain baik tentang hal-hal yang terjadi di dunia kang-ouw maupun tentang perselisihan perselisihan diantara mereka secara bebas dan terbuka.
"Keparat...perutku sudah penuh sekarang. Dan sebentar lagi mataku tentu akan segera mengantuk pula. Hei, Tai-siong...! Lekaslah kau buka saja pertemuan ini! Aku takut mataku ini takkan bisa bertahun lagi nanti..." mendadak Put-ceng-li Lojin membuat ulah lagi.
"Ah, benar...Hari memang semakin bertambah malam. Kita memang harus segera menyelesaikan pokok persoalan kita." Pangcu-si Song Kang dan kau Cu-si Tong Ciak menyambut perkataan Put-ceng-li Lojin itu hampir berbareng.
"Ya!" Toat-beng-jin juga mengangguk. "Tai-si-ong, silahkan kau buka saja pembicaraan kita ini sekarang...!" katanya lagi seraya menoleh ke arah Kepala Kuil Agung yang duduk di sisinya. Ta-si-ong mengangguk, lalu berdiri. Dengan merangkapkan kedua belah telapak tangannya di depan dada, Tai-si-ong membungkuk kepada Bhong Kim Cu dan Leng Siau.
"Bhong Tai-shih! Lheng Tai-shih! Kalian berdualah sebenarnya yang mempunyai maksud mengadakan pertemuan ini. Kalianlah yang telah mengirim surat undangan itu. Kami cuma menyediakan tempat saja di sini..."
"Ucapan Tai-si-ong itu benar. Nah, Loheng...cepatlah! kau lah yang mengirim surat kepadaku. Dan...dalam surat itu kau mengatakan bahwa kau telah menemukan sumber pertikaian diantara ketiga aliran kita. Di dalam surat itu kau malah menyebutkan pula bahwa perselisihan itu memang sengaja dibuat oIeh seseorang untuk mengeruhkan suasana di dunia kang-ouw. Nah, kata kata yang kau tulis itu sungguh membuatku penasaran. Hatiku lantas tergelitik untuk membuktikan kata-katamu itu. Dan...itulah sebabnya sekarang aku berada di sini! Bhong Loheng, ayo...lekaslah engkau memulainya! Aku sudah tidak sabar lagi!" Put-ceng-li Lojin bangkit pula dari tempat duduknya.
Hening sejenak. Semua mata tertuju ke arah Bhong Kim Cu dan Leng Siau. Dengan perasaan tegang mereka menunggu reaksi dua tokoh Mo-kauw tersebut. Dan sementara itu diam diam Chin Yang Kun ikut menjadi tegang pula di tempat duduknya. Apalagi pemuda itu serba sedikit juga mengetahui masalah yang mereka perbincangkan.Akhirnya Bhong Kim Cu bangkit pula dari kursinya.
"Terima kasih! Terima kasih, Tai-si-ong...! Lohu sendiri sebenarnya juga ingin lekas lekas memulainya, tapi tak enak rasanya kalau harus menghentikan perjamuan yang meriah ini begitu saja..."
"Hei! Lihat...! Semuanya sudah selesai sekarang! Tak ada yang makan atau minum lagi! Ayoh, lekaslah...!" Put-ceng-li Lojin memotong dengan suara keras. Bhong Kim Cu tersenyum.
"Baiklah! Tapi...lebih dulu kami mohon maaf karena ketua kami tidak dapat datang di dalam pertemuan penting ini. Beliau tidak sempat kami undang atau kami beritahu tentang rencana pertemuan kita ini. Kukira semuanya sudah tahu kalau pertemuan ini kita adakan dengan sangat tergesa-gesa sekali. Coba kalau pagi tadi secara kebetulan kami tidak melihat Put-ceng-li Lojin di kota ini, kukira pertemuan ini takkan bisa terlaksana." tokoh Mo-kauw itu membuka pembicaraannya. Tai-si-ong dan Put-ceng-li Lojin tampak mengangguk-anggukkan kepalanya. Keduanya mendengarkan dengan sungguh-sungguh semua perkataan Bhong Kim Cu tadi.
"Sudah berbulan-bulan aku dan Leng Tai-shih mendapat tugas dari Mo-cu (Ketua Aliran Mo) untuk menyelidiki perselisihan yang timbul diantara ketiga aliran kepercayaan kita. Kami berdua telah mencoba dengan segala cara untuk mencari sebab musabab dari semua pertengkaran pertengkaran yang timbul diantara anak buah kita. Kami berdua juga sudah menemui atau menghubungi beberapa orang tokoh yang kira-kira bisa kami ajak berdamai untuk menyelesaikan perkara ini. Diantaranya kami berdua juga telah menjumpai Toat-beng-jin dan kau Cu-si Tong Ciak dari Im-yang-kauw, lalu kami menemui pula Put-chien-kang Cin-jin dan Put-sim-sian dari Bing-kauw..."
"Hei? Kalian sudah menemui suhengku pula?" Put-ceng-li Lojin berseru. Bhong Kim Cu mengangguk sambil tersenyum.
"Habis, rasanya sulit benar mencari Bing-Kauwcu..." Leng Siau menjawab.
"Wah...akupun juga selalu berkeliling untuk menyelidiki peristiwa ini seperti kalian..." Put-ceng-li Lojin menjelaskan.
"Nah...dari pembicaraan-pembicaraan kami itu serta dari penyelidikan-penyelidikan yang telah kami lakukan, kami dapat menyimpulkan bahwa memang ada seseorang yang bermaksud untuk mengadu domba ketiga aliran kita. Orang itu bermaksud untuk menciptakan kerusuhan, keributan dan kekeruhan di dunia persilatan, agar dengan mudah ia melaksanakan niatnya..." Bhong Kim Cu melanjutkan keterangannya.
"Melaksanakan niatnya...? Niat apa itu...?" Tai-si-ong menyela.
"Memberontak kepada pemerintah yang dipimpin oleh Kaisar Han! Dengan berlindung pada kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di dunia kang-ouw, mereka bebas dari perhatian Kaisar Han, sehingga dengan mudah mereka menyusun kekuatan."
"Ohh...bangsat! Keparat! Licik besar!" Put-ceng-li Lojin mengumpat-umpat.
"Lalu...apakah Bhong Tai-shih sudah bisa mengetahui sekarang, siapa orang yang licik dan kurang ajar itu?" Song Kang yang sedari tadi hanya diam saja itu tiba-tiba ikut bertanya pula. Lagi-lagi Bhong Kim Cu mengangguk sambil tersenyum.
"Tentu saja. Kalau aku belum yakin benar akan kebenaran berita itu, masakan kami berdua berani meminjam tempat untuk keperluan pertemuan ini? Dan kalau kami belum benar benar siap, masakan kami berani mengundang Put-ceng-li Lojin pula? Hahaha...Song Cu-si, ternyata jerih payah kami berdua selama berbulan bulan itu memperoleh hasil juga..." Bhong Kim Cu menghentikan keterangannya sebentar untuk mengambil napas. Lalu.
"Nah, setelah kami memperoleh data-data tentang siapa orangnya yang mengadu domba kita, kami lalu mencarinya ke mana-mana. Dan...beruntunglah kami ketika tanpa sengaja melihat orang itu di kota Ko-tien kemarin sore. Malahan secara kebetulan kami melihat juga Put-ceng-li Lojin di sana."
"He? Kalian melihat aku di Ko-tien kemarin? Eh, mengapa aku tak melihat juga pada kalian dan orang itu?" Put-ceng li Lojin memotong cerita Bhong Kim Cu dengan suara kaget.
"Ahhh...selama ini Lojin tak pernah mempedulikan orang ataupun diri sendiri. Jangankan dengan orang yang jarang sekali berjumpa atau bahkan malah belum pernah mengenal seperti kami atau orang itu, sedangkan dengan keluarga atau kerabat sendiri saja Lojin hampir tak pernah peduli. Mana Lojin dapat melihat kami...?" Leng Siau tertawa sambil menjawab pertanyaan ketua Bing-kauw tersebut.
"Yaaa...itulah sifatku yang paling kubenci setengah mati! Tapi rasanya sulit benar untuk mengubahnya! Bangsat...!" Dengan enaknya orang tua itu memaki-maki dirinya sendiri. Tak terasa semuanya tertawa melihat kelakuan Put-ceng-li Lojin yang konyol dan menggelikan itu. Tapi yang ditertawakan tetap saja acuh tak acuh.
"Kami berdua secara diam-diam lalu mengikuti orang itu..." Bhong Kim Cu meneruskan ceritanya.
"Eh...ternyata orang itu memasuki rumah seorang pembesar tinggi dari kota Ko-tien. Di dalam ruangan yang tersembunyi orang itu mengadakan pembicaraan dengan seorang Iaki-laki yang dipanggil dengan nama Liok Cian-bu. Semua pembicaraan mereka dapat kami dengarkan semuanya, sehingga kami berdua semakin menjadi yakin bahwa memang orang itulah yang kami cari!"
"Eh...Bhong Loheng! Boleh...bolehkah kami turut mengetahui juga...isi dari pembicaraan orang itu? Terus terang kami juga menjadi penasaran. Kami ingin mengetahui,apa saja yang direncanakan orang itu untuk mengadu domba kita...?" Tai-si-ong menyela.
"Yaa...ya! Akupun ingin tahu juga, apa saja yang dikatakan oleh bedebah licik itu?" Put-ceng-li Lojin menggeram pula. Bhong Kim Cu tampak berdiam diri sebentar. Agaknya tokoh Mo-kauw itu sedang berpikir atau sedang mengingat ingat kembali semua pembicaraan yang didengarnya dari mulut orang yang dicurigainya itu.
"Baiklah...!" akhirnya tokoh Mo-kauw itu berkata. "Mula-mula orang itu bertanya tentang pasukan yang mereka pusatkan di sekitar kota Tie-kwan di lembah Sungai Huang-ho kepada orang yang bernama Liok Cian-bu itu. Dan Liok Cianbu itu menjawab, bahwa semua pasukan yang berada di bawah pengawasannya dalam keadaan baik, hanya saja mereka sudah tak sabar lagi untuk menunggu terlalu lama. Mereka ingin lekas-lekas bergerak ke Kotaraja..."
"Hmm...sungguh gawat! Masakan Hongsiang belum mencium gerakan mereka?" Tai-si-ong berdesah dengan keadaan khawatir.
"Saya dengar Hongsiang sudah mencium pula gerakan mereka." Toat-beng-jin menjawab. "Kabarnya Hongsiang malah sudah mengirim beberapa orang kepercayaannya untuk menyelidiki hal ini, termasuk pula Hong-lui-kun Yap Kiong Lee."
"Ohh...sukurlah!" Tai-si-ong bernapas lega. "Lalu...bagaimana kelanjutannya, Bhong Loheng...?" katanya kemudian sambil menoleh ke arah tamunya. Bhong Kim Cu mengambil napas panjang.
"Tai-si-ong...sejak semula kami berdua menyangka bahwa orang itu adalah otak dan biang-keladi dari semua peristiwa ini. Tapi dugaan kami tersebut ternyata keliru! Kedua orang itu ternyata masih mempunyai seseorang pemimpin lagi."
"Pemimpin...?" Put-ceng-Ii Lojin menyela.
"Benar. Dalam perundingan mereka itu mereka membagi tugas. Orang itu mau menghubungi semua pasukan yang sudah dapat mereka bentuk dan orang yang dipanggil Liok Cian-bu itu pergi ke pantai Laut Timur untuk menghubungi pemimpin mereka. Tampaknya mereka sudah siap untuk menyelesaikan niat mereka."
"Wah...gawat! Sungguh gawat!" Put-ceng li Lojin menggeram dengan suara gelisah. Bagaimanapun konyolnya orang tua ini adalah pemimpin dari sebuah aliran yang besar, sehingga sedikit banyak ia juga memikirkan para anggotanya bila terjadi peperangan.
"Demikianlah, aku dan Leng Tai-shih lalu memutuskan untuk menangkap saja orang itu, sementara kawannya akan kami biarkan lolos..." Bhong Kim Cu melanjutkan lagi.
"Hei! Mengapa dibiarkan lolos? Mengapa tak hendak ditangkap sekalian?" lagi-lagi Put-ceng-li Lojin memotong cerita Bhong Kim Cu.
"Wah...Liok Cian-bu itu berseragam perajurit, bagaimana mungkin kami dapat menangkapnya? Salah-salah kita akan mendapat kesukaran malah!" Leng Siau menjawab pertanyaan Put-ceng-li Lojin.
"Hmh! Peduli amat! Biar perajurit kalau musuh...sikat saja!" semuanya memandang Put-ceng-li Lojin dengan tersenyum kecut. Tak ada gunanya berdebat dengan orang tua konyol itu.
"Eeee...Bhong Tai-shih! Masakan hal yang diperbincangkan oleh kedua orang itu cuma urusan pemberontakan dan pembagian tugas saja? Ayo...ceritakanlah semuanya!! Biarlah kami tahu, apa saja yang dikatakan orang licik itu tentang kita..." tiba-tiba kau Cu-si Tong Ciak berseru.
"Ya, benar. Bhong Loheng, ceritakanlah semuanya! Jangan dipotong-potong begitu...!" Toat-beng-jin ikut pula mendesak.
"Lhoh! Aku tidak memotong-motongnya! Memang demikianlah ceritanya...! Masakanku aku harus menceritakannya sampai yang sekecil-kecilnya?" Bhong Kim Cu membantah sambil tersenyum.
"Yaa...tapi kami memang ingin mengetahui pula semua hal yang dikatakan oleh orang itu," Tong Ciak tetap juga mendesak.
"Hmmm...!" Bhong Kim Cu menunduk sambil mengerutkan keningnya.
"Baiklah...akan kucoba. Hanya saja aku mungkin sudah tidak dapat mengingat semuanya. Hmmm...kalau tak salah orang yang kami curigai itu juga bercerita tentang...pertemuan di bukit sebelah timur kota Poh-yang."
"Pertemuan di bukit sebelah timur kota Poh-yang?" tak terasa Chin Yang Kun bergumam perlahan. "Hmmmm...siapa dia?"
"Yang-hiante, kau bilang apa?" Toat-beng-jin yang duduk di dekatnya menegaskan.
"Oh, tidak apa-apa..." pemuda itu menjawab tersipu sipu. Toat-beng-jin mengerutkan keningnya, tapi ia tak bertanya lebih lanjut. Orang tua itu segera memandang ke arah Bhong Kim Cu yang sudah meneruskan lagi ceritanya.
"Orang itu...berkata kepada Liok Cian-bu, bahwa pertemua yang mereka adakan di puncak bukit di luar kota Poh-yang mengalami kegagalan. Bahkan kekuatan yang ada di tempat itu hancur bercerai-berai karena serangan bajak laut Tung-hai-tiau. Malahan katanya orang itu hampir saja mati di tangan Tung-hai-tiau dan anak buahnya. Untunglah dia dapat meloloskan diri melalui jalan rahasia..."
"Jalan rahasia...?" Chin Yang Kun bertanya di dalam hatinya. "Kalau begitu...orang yang dimaksudkan Bhong Taishih ini tentu Song-bun-kwi Kwa Sun Tek, sebab Cuma dia yang tahu jalan rahasia di bawah tanah itu." Tapi pemuda itu tetap berdiam diri dan tak berkata apa apa. Dibiarkannya saja tokoh Mo-kauw itu melanjutkan ceriteranya.
"Setelah bisa meloloskan diri dari kepungan para bajak laut, orang itu melarikan diri ke kota Yu-tai. Tapi di tengah jalan dia bertemu dengan Hong-lui-kun Yap Kiong Lee dan mereka segera terlibat dalam pertempuran yang sangat seru. Ternyata orang itu kalah sehingga ia terpaksa melarikan diri lagi. Hong-lui-kun tak mau melepaskannya, sehingga terjadilah kejarmengejar yang seru. Saking bingung dan putus-asa karena tak bisa melepaskan diri dari libatan Hong-lui-kun Yap Kiong Lee, orang itu nekad menerjunkan diri ke dalam jurang yang dalam."
"Hei? Terjun ke dalam jurang?" Tong Ciak bertanya kaget.
"Ya, begitulah orang itu bercerita kepada Liok Cian-bu..." Bhong Kim Cu mengangguk.
"Tapi...Orang itu ternyata masih bernasib baik. Dengan kepandaiannya yang tinggi orang itu dapat bergantung pada sebuah akar pohon sehingga selamat. Kemudian perlahan-lahan orang itu naik ke atas kembali dan pergi ke kota Ko-tien. Di sana ia menemui Liok Cian-bu dan...terlihat oleh kami berdua," Bhong Kim Cu mengakhiri ceritanya. Diam sesaat. Semuanya masih menantikan kelanjutan cerita itu. Tapi tampaknya Bhong Kim Cu memang telah menyelesaikan ceritanya.
"Demikianlah..."
"Hei! Nanti dulu! Manakah kata-kata orang licik itu yang menyinggung tentang kita? Ayolah Bhong Loheng...jangan membikin penasaran hati orang! Itu dosa!" Tong Ciak cepat cepat menyela dengan mulut meringis karena mendongkol.
"Benar. Manakah cerita itu? Wah, Bhong Loheng ini memang pintar menggoda hati orang!" Toat-beng-jin ikut menuntut pula.
"Bhong Tai-shih...! Saya kira tuntutan rekan-rekan kita ini memang benar," Tai-si-ong berkata pula dengan suara halus untuk menengahi mereka. "Ceritakan saja semua pembicaraan kedua orang itu kepada kami. Terutama yang menyangkut tentang aliran kita masing-masing. Jangan hanya disingkat dengan mengatakan bahwa...Bhong Tai-shih semakin yakin akan keterlibatan mereka, setelah mendengar pembicaraan kedua orang itu...! Tolonglah ceritakan juga pada kami, apa saja yang mereka katakan, sehingga kami juga bisa mengambil kesimpulan seperti Bhong Tai-shih berdua!"
"Waduh...baiklah! Begini..." Bhong Kim Cu terpaksa mengalah mendengar tuntutan tuan rumah itu. "...dalam pembicaraan mereka orang itu juga menegaskan bahwa gerakan mereka harus cepat-cepat dimulai sebab kalau tidak lekas-lekas dimulai, gerakan yang telah mereka persiapkan dengan matang itu tentu akan kandas di tengah jalan. Kemudian orang itu bercerita tentang usaha-usaha yang telah ditempuhnya selama ini. Mulai dari pembentukan-pembentukan pasukan di beberapa daerah, sampai dengan menghubungi pejabat-pejabat kerajaan yang sekiranya setuju dengan gerakan mereka. Termasuk diantaranya adalah Liok Cian-bu sendiri. Kemudian orang itu juga menyebutkan beberapa usaha lainnya, yaitu antara lain mencari Cap Kerajaan yang hilang, mencari harta karun mendiang Perdana Menteri Li Su di pantai Laut Timur dan yang terakhir adalah...mengadu domba ketiga aliran kita! Mereka ingin menciptakan ketegangan, keributan dan kekeruhan di dunia persilatan, sehingga mereka dapat dengan leluasa menjalankan rencana mereka..."
"Nah...hal itulah yang ingin kami dengarkan, Bhong Taishih," Tong Ciak menyela dengan suara gembira. Sementara itu Chin Yang Kun menjadi berdebar-debar hatinya mendengar tokoh Mo-kauw tersebut menyebut pusaka keIuarganya, yaitu Cap Kerajaan! Hampir saja dia bertanya tentang peranan orang yang diceritakan oleh Bhong Kim Cu tersebut dalam peristiwa pembantaian keluarganya. Tapi karena ragu-ragu pemuda itu tak jadi mengatakannya. Dan sementara pemuda itu menjadi ragu-ragu, Bhong Kim Cu telah meneruskan ceritanya.
"Yang mendapatkan giliran pertama diadu domba oleh orang itu adalah Aliran Bing-kauw dan...Mo-kauw. Dengan menyamar sebagai anggota aliran kami, orang itu bersama dengan kawannya yang bernama Wan It, menyelinap ke Rumah Suci Aliran Bing-kauw. Mereka berusaha menculik isteri Put-ceng-li Lojin..."
"Hei...benarkah? Bangsat! Keparat! lblis busuk tak tahu malu...! Huh...jadi orang itulah yang masuk ke Rumah Suci dan mau menculik isteriku? Sungguh licik sekali! Di depan murid-muridku mereka mengaku sebagai anggota dari Aliran Mo-kauw...! Kurang ajaaar...!" Put-ceng-li Lojin mengumpat tiada habis-habisnya. Dan sekali lagi Chin Yang Kan dibuat kaget oleh nama yang disebutkan Bhong Kim Cu.
"Wan It...? Jadi...jadi paman Hek-mou-sai Wan It itu memang benar-benar berkomplot dengan Song-bun-kwi Kwa Sun Tek? Oooooh...!" pemuda itu berdesah lemas, wajahnya pun menjadi pucat. Perubahan wajah Chin Yang Kun ternyata dapat dilihat oleh Toat-beng-jin. Dengan berbisik orang tua itu mendekatkan mulutnya ke arah Chin Yang Kun.
"Yang-hiante...kau kenapakah? Mengapa wajahmu tiba-tiba memucat?" Tapi Chin Yang Kun cepat-cepat menggeleng.
"Ah...aku tidak apa-apa! Sungguh, aku tidak apa-apa! Aku cuma lelah sekali..." katanya membohong. Toat-beng-jin menatap tajam-tajam, hatinya sedikit curiga. Tetapi karena tamunya tak mau berterus terang, maka dia tak bisa berkata apa-apa lagi. Sementara itu Bhong Kim Cu masih terdengar meneruskan ceritanya.
"Setelah berhasil mengadu domba Aliran Mo-kauw dan Bing-kauw, orang itu lalu ganti mengadu domba Aliran Mo-kauw dan Im-yang-kauw...! Dengan menyamar sebagai Han Su Sing, yaitu kepala kuil Im-yang-kauw di Bukit Delapan Dewa, orang itu datang ke gedung kami dan membunuh beberapa orang anggota Mo-kauw..."
"Dan...masalah itu menjadi semakin meruncing dengan terbunuhnya Han Su Sing di tangan Put-gi-ho dan Put-chih-to," Toat-beng-jin menambahkan seraya menoleh ke arah Putceng-li Lojin.
"Ya...dengan demikian komplitlah sudah rencana orang itu. Mula-mula Mo-kauw dengan Bing-kauw, kemudian Mo-kauw dengan Im-yang-kauw, lalu yang terakhir Bing-kauw dengan Im-yang-kauw...!" Bhong Kim Cu mengangguk. Dan ruangan itu kemudian menjadi sunyi untuk beberapa saat lamanya. Semuanya duduk terpekur di tempat masing masing. Sinar kelegaan tampak membersit di wajah mereka. Udara persahabatan terasa menghembus kembali di hati mereka.
"Hmmm...beruntunglah kita karena Bhong Tai-shih dapat segera membongkar niat licik itu, sehingga suasana menjadi jernih kembali. Tapi...bagaimana dengan kelanjutan cerita itu tadi, Bhong Loheng?
Dapatkah Bhong Loheng menangkap orang itu?" Tai-si-ong atau Kepala Kuil Agung Aliran Im-yang-kauw tiba-tiba memecahkan kesunyian mereka.
"Hei, benar...! Bagaimana kelanjutannya, Bhong Taishih? Cepatlah...!" Put-ceng-li Lojin berseru pula. Bhong Kim Cu membetulkan letak duduknya.
"Setelah orang itu keluar dari rumah pejabat itu, kami berdua lantas mengikutinya. Dan tampaknya orang itu tahu kalau kami ikuti. Dia berlari secepat kilat keluar kota. Terpaksa kami mengejarnya..." Bhong Kim Cu melanjutkan ceritanya.
"Dan...dengan mudah Bhong Loheng menangkapnya! Hahaha! Siapa yang berani melawan ginkang Bhong Loheng berdua?" Toat-beng-jin memotong dengan tertawa.
"Ah...siapa bilang kami dapat menangkap dia dengan mudahnya? Kami berdua justru hampir kewalahan menghadapinya!" Leng Siau menjawab cepat.
"Benar! Hampir saja kami berdua tak kuasa membendung Ilmu Silat Mayat Mabuknya!" Bhong Kim Cu menegaskan ucapan rekannya.
"Hei? Apaaa...? Bangsat! Keparat! Bhong Taishih...sudah sekian lamanya kau bercerita, ternyata kau belum sekalipun menyebutnya nama orang itu! Kurang ajar...siapakah orang yang mahir Ilmu Silat Mayat Mabuk itu? Kwa Eng Ki...?"
Put-ceng-li Lojin tiba-tiba bangkit berdiri seraya mencengkeram pinggiran meja. Disebutnya Ilmu Silat Mayat Mabuk oleh Bhong Kim Cu itu benar-benar mengejutkan semua orang! Pikiran mereka lantas tertuju kepada pemilik ilmu yang maha dahsyat tersebut, yaitu kaum Tai-bong-pai yang diketuai oleh Kwa Eng Ki. Otomatis semuanya menjadi gelisah dan berdebar-debar. Tai-bong-pai bukanlah sebuah perkumpulan sembarangan. Perkumpulan itu menyimpan banyak tokoh sakti yang mempunyai ilmu menggiriskan hati. Dan apabila untuk menebus perdamaian mereka ini, mereka harus bermusuhan dengan Tai-bong-pai, hal itu memang sungguh berat. Bhong Kim Cu menundukkan kepalanya.
"Maafkanlah aku, karena aku sengaja menyimpan nama orang yang mengadu domba kita itu. Hal ini memang kusengaja agar cuwi tidak lekas-lekas terbakar dan menanggapi ceritaku tadi. Aku ingin agar cuwi mendengarkan dan menanggapi ceritaku tadi secara wajar, tanpa dibayang-bayangi perasaan segan, marah ataupun...takut!" jago Aliran Mo-kauw itu menjelaskan. Lalu lanjutnya lagi, "Sekarang akan saya katakan, siapa sebenarnya orang yang saya ceritakan tadi. Orang itu memang datang dari Tai-bong-pai..."
"Hah...?!?"
"Yaa...tapi dia bukanlah Kwa Eng Ki! Dia adalah Song-bun-kwi Kwa Sun Tek, putera Kwa Eng Ki yang telah diusir oleh perguruannya..."
"Ohh...lalu bagaimana dengan kelanjutan dari pertempuran Bhong Loheng berdua itu? Dapatkah Bhong Loheng berdua mengatasinya?" Tai-si-ong bertanya dengan suara tegang. Bhong Kim Cu dan Leng Siau tersenyum melihat ketegangan rekan-rekannya itu. Keduanya tidak segera menjawab pertanyaan itu. Tampaknya mereka memang sengaja menggoda orang-orang itu.
"Bagaimana menurut pendapat Tai-si-ong dan rekan-rekan semua? Mungkinkah kami bisa mengatasi Song-bun-kwi yang berkepandaian tinggi itu?" tanya mereka malah.
"Lhoh...mana kami tahu? Bangsat...Bhong Tai-shih, kau jangan menggoda kami, ya...? Salah-salah bisa berkelahi kita nanti!" Put-ceng-li Lojin melotot penasaran.
"Wah...kami Cuma ingin tahu pendapat cuwi saja, tidak ada maksud-maksud yang lain! Bukankah pertemuan ini bertujuan untuk kedamaian kita? Ayoh, jangan marah, Bing-Kauwcu! Tebak saja dulu teka-teki tadi...!" Bhong Kim Cu tertawa. Diam-diam ternyata tokoh Mo-kauw ini suka berkelakar pula.
"Wah...ini..." Put-ceng-li Lojin menggerutu dengan wajah merah padam. "Hmm...bagaimana, ya?" Tai-si-ong ikut-ikutan menggaruk-garuk kepalanya.
"A-nu...eh!" Song Kang tiba-tiba berdesah sambil menoleh ke arah Toat-beng-jin yang mahir Lin-cui-sui-hoat itu. Tapi orang tua yang pandai meramal itu pura-pura tidak tahu. Justru pemuda yang duduk di samping orang tua itulah yang mendadak membuka suara malah!
"Tentu saja Bhong Tai-shih dan Leng Tai-shih dapat menundukkan orang itu! Malahan tidak Cuma menundukkan saja, tapi...membunuhnya malah!"
"Ehhh!"
"Oh...!" Semuanya memandang Chin Yang Kun dengan dahi berkerut. Tidak terkecuali Bhong Kim Cu dan Leng Siau sendiri. Kedua tokoh Mo-kauw itu menatap Chin Yang Kun dengan pandang mata kaget.
"Eh...saudara Yang! Apakah kau menyaksikan sendiri pertempuran kami kemarin itu?" Bhong Kim Cu bertanya dengan pandang mata menyelidik.
"Tidak!" pemuda itu menjawab tegas.
"Lalu...bagaimana saudara Yang tahu?" Leng Siau mengejar. Chin Yang Kun menatap Leng Siau dan Bhong Kim Cu beberapa saat lamanya, membuat kedua tokoh Aliran Mo-kauw berkepandaian tinggi itu sedikit bergetar hatinya. Mata itu mencorong menyilaukan seperti mata seekor naga dalam kegelapan!
"Siauwte hanya menebak saja..." akhirnya pemuda itu memberikan jawabannya. Sementara itu semuanya menjadi kaget mendengar pengakuan Bhong Kim Cu tentang terbunuhnya tokoh Taibong-pai tersebut. Semuanya mengawasi Bhong Kim Cu, Leng Siau dan Chin Yang Kun berganti-ganti.
"Jadi...orang itu telah terbunuh di tangan Bhong Tai-shih berdua?" Tai-si-ong bertanya.
"Benar! Tapi...sebentar!" Bhong Kim Cu menjawab, "Eh, saudara Yang! Coba tebak lagi! Bagaimana kira-kira orang itu dapat kami tundukkan?" Chin Yang Kun melirik ke arah Toat-beng-jin, lalu menundukkan mukanya. Sambil menghela napas ia menjawab,
"Bhong Tai-shih, siauwte sudah beberapa kali bertemu dengan Song-bun-kwi itu. Malahan yang terakhir siauwte melihat pertempurannya melawan Tung-hai-tiau dan Tung-hai Nung-jin di bukit sebelah timur Poh-yang itu..."
"Ohh...jadi saudara Yang juga berada di bukit yang diceritakannya itu?" Leng Siau memotong. Chin Yang Kun mengangguk.
"Benar. Oleh sebab itu siauwte benar-benar tahu sampai di mana kesaktian iblis Tai-bong-pai itu. Ilmunya bermacam-macam dan hebat-hebat, sampai tokoh-tokoh ternama seperti Tung-hai-tiau dan Tung-hai Nung-jin itupun tak kuasa berbuat apa-apa terhadapnya, padahal mereka mengeroyoknya." Semuanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Semuanya mengakui kebenaran kata-kata yang diucapkan oleh pemuda itu. Meskipun beberapa orang di antara mereka belum pernah bertemu dengan orang itu, tapi nama dan gelar Song-bun-kwi Kwa Sun Tek telah lama mereka dengar.
"Kalau demikian halnya, mengapa saudara Yang masih juga menebak bahwa kami berdua dapat membunuhnya? Apakah saudara Yang beranggapan bahwa kepandaian kami ini jauh lebih tinggi dari pada kepandaian Tung-hai-tiau dan Tung-hai Nung-jin?" Leng Siau bertanya sedikit penasaran.
"Ahh...itu cuma karena kebetulan saja. Pagi tadi siauwte melihat dua orang anak buah Song-bun-kwi di rumah makan. Dari pembicaraan mereka siauwte mendengar berita bahwa Song-bun-kwi telah mati. Hanya sayang mereka tidak menyebutkan, bagaimana orang itu mati dan siapakah pembunuhnya. Semula siauwte menyangka Tung-hai-tiau dan Tung-hai Nung-jin itulah yang membunuhnya. Tapi mendengar cerita Bhong Tai-shih tadi, bahwa Song-bun-kwi dapat meloloskan diri melalui pintu rahasia, siauwte segera menyadari bahwa dugaan tersebut ternyata salah. Maka begitu Bhong Tai-shih mengatakan mau menangkap Song-bun-kwi Kwa Sun Tek, siauwte segera menduga-duga bahwa Bhong Tai-shih berdualah yang telah membunuh orang itu..."
"Eh, kenapa begitu...?" Bhong Kim Cu mendesak.
"Sulit sekali kalau orang mau menangkap Song-bun-kwi, karena selain berilmu silat tinggi orang itu mengenakan...Kim-pouw-san! Satu-satunya jalan cuma membunuhnya!"
"Hei...saudara Yang tahu tentang baju mustika itu?" Bhong Kim Cu dan Leng Siau kini benar-benar terperanjat. Tampaknya kedua tokoh Mo-kauw itu memang bermaksud untuk merahasiakan penemuan mereka itu. Itulah sebabnya mereka selalu mendesak sambil menyelidiki, sampai di mana pengetahuan Chin Yang Kun perihal kematian Song-bun-kwi. Tak mereka sangka pemuda itu tahu belaka tentang baju mustika tersebut.
"Ah...baju itu sebenarnya adalah kepunyaan Tung-hai-tiau yang diberikan kepada puterinya, Tiau Li Ing. Tapi dengan segala kelicikannya Song-bun-kwi berhasil merampasnya..." Chin Yang Kun menerangkan.
Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya...ya, be-benar...! Baju itu sekarang memang kami simpan. Akan kami serahkan nanti kepada Mo-cu kami." akhirnya Bhong Kim Cu berdesah perlahan. Put-ceng-li Lojin, Tai-si-ong dan yang lain-lain terdiam saja bagai patung di tempat masing-masing. Mereka menatap Bhong Kim Cu, Leng Siau dan Chin Yang Kun berganti-ganti sambil mendengarkan percakapan tokoh Mo-kauw tersebut dengan Chin Yang Kun. Mereka baru sadar akan ketermanguan mereka tatkala melihat percakapan itu berhenti. Tong Ciak yang duduk di sebelah Bhong Kim Cu terdengar menghela napas.
"Lalu apa yang kau perbuat dengan mayat Song-bun-kwi itu, Bhong Loheng?" tanyanya perlahan.
"Kami menguburkannya di pinggir hutan." Bhong Kim Cu menjawab. Lalu katanya Iagi.
"Setelah itu kami berdua kembali ke Ko-tien. Kami bermaksud menemui Put-ceng-li Lojin untuk cepat-cepat membicarakan persoalan ini, tapi sayang sekali Put-ceng-li Lojin telah pergi meninggalkan kota itu.Kami lalu bergegas mencarinya ke kota Yu-tai. Tapi kami juga tak menjumpainya di sana..."
"Aku memang langsung ke kota ini dan tak singgah kemana-mana..." Put-ceng-li Lojin menyahut.
"Yaa...dan hal itu justru sangat kebetulan bagi kami. Kota Sin-yang merupakan pusat Aliran lm-yang-kauw sehingga dengan demikian kami malahan bisa mengadakan pertemuan diantara ketiga aliran sekaligus. Demikianlah, kami lalu menghubungi Tai-si-ong dan Put-ceng-li Lojin melalui surat. Kami paparkan semua maksud dan rencana kami untuk mengadakan pertemuan di antara ketiga aliran kita, agar perselisihan yang terjadi cepat-cepat dapat diselamatkan dan tidak berlarut-larut..."
"Dan maksud Bhong Loheng ini ternyata benar-benar berhasil. Malam ini semua telah berkumpul dalam kedamaian. Perselisihan telah terhapus dengan terbongkarnya siasat adu domba Song-bun-kwi Kwa Sun Tek itu..." Tai-si-ong cepat-cepat memberi komentar.
"Hanya saja, kita masing-masing harus lekas-lekas memberi tahu kepada anggota kita tentang hal ini, agar pertumpahan darah segera dihentikan." Pangcu-si Song Kang menambahkan.
"Benar, hahaha...Tapi sebelum kita berpisah, marilah kita berpesta lagi menghabiskan hidangan ini! Kita rayakan persahabatan kita...!" Put-ceng-li Lojin berseru pula dengan suara gembira.
"Baik! Tapi hidangan ini harus ditambah lagi! Hei, penjaga! Panggil pelayan, supaya menambah lagi hidangan sebanyakbanyaknya...!" Toat-beng-jin berteriak ke arah penjaga.
"Baik, Lojin-ong...!" penjaga itu mengangguk lalu berlari ke dalam. Demikianlah, sebentar kemudian ruangan itu menjadi riuh oleh gelak tertawa mereka. Mereka benar benar merayakan perdamaian mereka kembali. Semuanya mengacungkan jempol dan menyatakan perasaan kagum mereka terhadap usaha Bhong Kim Cu dan Leng Siau demi terciptanya perdamaian di antara mereka. Sementara semuanya bergembira dengan makan dan minum, tiba-tiba penjaga yang diperintah oleh Toat-beng-jin tadi berbisik kepada orang tua itu.
"Lojin-ong...! Tampaknya ada suatu kejadian yang menggegerkan para prajurit pendatang dari Kotaraja itu. Mereka kelihatan sibuk sekali. Semuanya berlarian dan berkumpul di Rumah Penginapan itu dengan persenjataan lengkap..."
"Apa...? Para perajurit itu...eh, kau tahu apa sebabnya?" Toat-beng-jin menjadi kaget juga. Orang tua itu khawatir pemberontak telah memasuki kota.
"Katanya...katanya pemimpin mereka telah tertangkap oleh pasukan pemberontak yang bersembunyi di bukit sebelah utara kota ini."
"Hah...?!? Apa...?" tiba-tiba Chin Yang Kun yang berada di sebelah Toat-beng-jin melompat kaget. Otomatis tangan pemuda itu menyambar leher baju penjaga tersebut dan mencengkeramnya.
"Hhkkh...!" Penjaga itu tercekik.
"Apa yang kau katakan tadi? Liu-Ciangkun tertangkap pemberontak?"
"Hkk! Sa...saya tak tahu. Yang ku...kudengar...hek...Cuma pemimpinnya. Saya tak...tak tahu namanya..." penjaga itu menjawab ketakutan.
"Itu sama saja! Pemimpin mereka memang Liu-Ciangkun!" Chin Yang Kun berteriak sambil melepaskan pegangannya, sehingga penjaga itu hampir jatuh. Tentu saja semuanya menjadi kaget melihat peristiwa yang sangat mendadak itu. Dengan pandang mata penuh pertanyaan mereka menatap Chin Yang Kun yang mukanya putih pucat itu.
"Yang-hiante, kau tenanglah...! kenapa kau ini sebenarnya?" Toat-beng-jin cepat merangkul pundak Chin Yang Kun dan berkata halus. Dengan gelisah pemuda itu melepaskan diri dari pelukan Toat-beng-jin.
"Maaf, Lo-Cianpwe...Siauwte harus cepat-cepat kembali! Tolong perintahkan kepada penjaga agar supaya mengambilkan kudaku, sebab siauwte ingin segera membuktikan kebenaran berita ini," pemuda itu berkata terengah-engah. Toat-beng-jin mengangguk dan memberi isyarat kepada penjaga yang dicengkeram lehernya oleh Chin Yang Kun tadi agar melaksanakan perintah pemuda tersebut. Lalu dengan hati-hati orang tua itu bertanya kepada Chin Yang Kun.
"Yang-hiante...! sementara penjaga itu mengeluarkan kudamu, bolehkah aku bertanya sedikit padamu?" Chin Yang Kun menatap Toat-beng-jin dengan sikap ragu ragu, lalu mengangguk.
"Silahkan...!" katanya seret.
"Begini, Yang-hiante...mengapa kau lantas kelihatan gelisah dan khawatir begitu mendengar berita tertangkapnya pemimpin para perajurit pendatang dari Kotaraja itu? Apakah engkau mempunyai hubungan keluarga atau persahabatan dengan orang itu?" orang tua itu bertanya dengan hati-hati.
"Benar, Lo-Cianpwe..." Chin Yang Kun cepat-cepat mengiyakan. "Pemimpin para perajurit yang datang dari Kotaraja itu adalah Liu-Ciangkun atau Liu-Twako, kakak angkatku..."
"Ohoo...begitu. Nah, itu dia kudamu!" Toat-beng-jin menunjuk ke arah halaman. "Silahkanlah! Kami tak bisa menahan lagi kalau begini. Sebenarnya kami ingin berbicara panjang lebar denganmu, tapi...tak apalah. Besok masih banyak kesempatan lagi."
"Terima kasih! Sekali lagi terima kasih atas perjamuan ini, siauwte mohon diri." Setelah berpamitan kepada semua orang, Chin Yang Kun melompat ke atas punggung si Cahaya Biru dan selanjutnya berlari keluar dari Gedung Pusat Aliran Im-yang-kauw itu.
Di jalan-jalan ia masih melihat adanya kesibukan luar biasa dari para perajurit itu. Banyak diantaranya yang masih berjalan atau berlari-lari dengan tergesa-gesa menuju ke rumah makan itu. Dan dari jauh juga masih terdengar suara terompet sayup-sayup ditiup orang. Chin Yang Kun terperanjat ketika melihat jalan besar di depan rumah makan itu telah penuh dengan perajurit. Mereka telah berbaris rapi dan siap untuk berangkat ke medan laga. belasan orang perajurit tampak membawa obor-obor besar untuk menerangi tempat itu. Sementara itu para perwiranya juga telah siap siaga di atas punggung kuda mereka masing masing. Chin Yang Kun cepat menerobos kumpulan perajurit itu dan mencari Siangkoan Ciangkun di halaman Rumah Penginapan. Dan begitu melihat perwira itu turun dari tangga depan, Chin Yang Kun segera menyongsongnya.
"Siangkoan Ciangkun...!" teriaknya memanggil. Perwira itu terkejut.
"Hai! saudara Yang...!" sambutnya dengan keras pula. Chin Yang Kun bergegas melompat turun, lalu berlari menghampiri perwira itu.
"Siangkoan Ciangkun, apakah yang terjadi?" pemuda itu segera mendesak dengan pertanyaannya, sehingga Siangkoan Ciangkun menjadi gugup pula jadinya.
"Saudara Yang...anu...Hongsiang tertangkap, eh...maksudku Liu...Liu-Ciangkun, ahh!" perwira itu menjadi gagap.
"Hei? Siangkoan Ciangkun, katakan yang benar...Hongsiang atau Liu-Twako?" Chin Yang Kun berteriak tegang seraya memegangi tangan Siangkoan Ciangkun erat-erat.
"Anu...eh...keduanya! Ya...ya, keduanya tertangkap pasukan pemberontak!" saking gugupnya perwira itu menjawab saja sekenanya.
"Ooooh...," pemuda itu menjadi lemas tubuhnya.
"Siangkoan Ciangkun, seluruh pasukan telah siap untuk diberangkatkan!" tiba-tiba seorang perwira muda melapor kepada Siangkoan Ciangkun.
"Bagus! Matikan obor-obor itu! Kita berjalan tanpa penerangan lampu..." Siangkoan Ciangkun menjawab sambil melambaikan tangannya.
"Ciangkun, kau...kau mau berangkat ke mana?" Chin Yang Kun mengangkat kepalanya dengan kaget.
"Menolong Hongsiang!" Siangkoan Ciangkun menjawab seraya melompat ke punggung kudanya.
"Ayoh, kita berangkat...!"
"Hei! Siangkoan Ciangkun...saya ikut. Akupun juga harus menolong Liu-Twako!" Chin Yang Kun berteriak, kemudian melompat pula ke punggung Cahaya Biru. Beberapa orang perajurit pengawal berusaha menghalang halangi ketika pemuda dengan kudanya hendak mendekati Siangkoan Ciangkun. Tapi perwira tinggi itu segera melarang mereka.
"Biarkan pemuda itu berada bersamaku...!" bentaknya. Demikianlah, hanya dengan penerangan sinar bintang bintang di langit, pasukan itu merayap perlahan meninggalkan kota Sin-yang. Derap langkah mereka gemuruh mengecutkan hati para penduduk yang mereka Iewati. Pasukan itu keluar dari pintu kota sebelah utara, kemudian menerobos kegelapan malam, menuju ke perbukitan yang menjulang tinggi di utara.
"Ciangkun, bagaimanakah peristiwanya sehingga Hongsiang dan Liu-Twako sampai tertangkap oleh pasukan pemberontak itu? Bukankah Hongsiang dan Liu-Twako itu membawa pasukan yang sangat kuat?" Chin Yang Kun mendekatkan kudanya ke arah Siangkoan Ciangkun, lalu bertanya perlahan.
"Entahlah, saudara Yang...!" perwira itu menggelengkan kepalanya. "Tiba-tiba saja tadi ada seorang perwira yang pulang ke kota sendirian dan melapor kepadaku perihal keadaan Hongsiang. Katanya Hongsiang dan seluruh pasukannya terjebak di sebuah jurang paling dalam sehingga Hongsiang...Hongsiang tertangkap!"
"Ohh...lalu...Ialu bagaimana dengan Liu-Twako?"
"Entah! Kukira...kukira dia juga tertangkap pula seperti Hongsiang."
"Hmmmh!" Chin Yang Kun menggeram. Dua telapak tangannya terkepal erat-erat. Sementara itu malam semakin larut juga. Dinginnya bukan kepalang. Tapi biarpun begitu keringat masih juga mengalir di setiap tubuh para perajurit itu. Dengan semangat meluap mereka terus berjalan, mendaki daerah perbukitan yang jarang diinjak oleh manusia itu. Mereka berderap menuju ke jurang, di mana Hongsiang dan seluruh pasukannya terperangkap. Dan para perajurit itu semakin menjadi tidak sabar pula ketika sayup-sayup mulai terdengar suara pertempuran di kejauhan. Selangkah demi selangkah mereka mulai berlari-lari kecil menuruni lereng lereng bukit yang berliku-liku itu. Dari kejauhan mereka seperti barisan semut yang melingkar-lingkar menuju ke liangnya.
"Awaaaas! Jangan keluar dari barisan...!" para perwira berteriak mengatur anak buah mereka sendiri-sendiri. Chin Yang Kun menjadi tegang pula hatinya. Tak terasa makin lama kudanya berlari semakin cepat sehingga meninggalkan kuda Siangkoan Ciangkun.
"Saudara Yang, hati-hati...! kau jangan keluar dari iring-iringan ini! Salah-salah kau dikira musuh nanti!" Siangkoan Ciangkun berteriak. Tapi pemuda itu sudah tidak mempedulikan seruan tersebut. Kekhawatirannya terhadap Liu-Twakonya membuat pemuda itu sudah tidak sabar lagi untuk segera tiba di jurang itu.
"Siangkoan Ciangkun...! maaf, aku pergi mendahului...!" Begitulah, pemuda itu segera memaCu-si Cahaya Biru.
Beberapa orang perwira menoleh dan mengerutkan keningnya ketika pemuda itu berderap melewati mereka. Meskipun demikian mereka tak berbicara apa-apa, karena mereka tahu bahwa pemuda itu adalah sahabat Siangkoan Ciangkun, komandan mereka. Dengan pedoman suara pertempuran yang sayup-sayup terdengar oleh telinganya, Chin Yang Kun menuju ke jurang yang dimaksudkan itu. Beberapa kali kudanya hampir terperosok ke dalam lobang atau jurang-jurang kecil yang tertutup oleh semak-semak perdu di atasnya. Untunglah si Cahaya Biru itu benar-benar kuda mustika yang jarang terdapat di dunia. Selain mempunyai firasat dan perasaan yang sangat peka, kuda itu juga mempunyai mata yang tajam dan awas luar biasa. Hampir seperti tidak pernah diperintah lagi, kuda itu mencari jalan sendiri menuju ke tempat pertempuran itu.
"Cahaya Biru, kau benar-benar kuda yang sangat hebat! Aku sungguh bangga sekali kepadamu...!" Chin Yang Kun merangkul leher kuda itu sambil memuji dengan suara manis. Cahaya Biru mendongakkan kepalanya tinggi-tinggi ke udara dan meringkik gembira. Kuda itu lalu bergerak semakin lincah dan gesit. Ia seperti tahu akan pujian yang diterimanya, sehingga celah-celah parit yang lebarpun dilompatinya pula.
"Hei! Hei! Tenanglah...Cahaya Biru! Berhati-hatilah! Kita tak perlu terlalu tergesa-gesa!" akhirnya malah Chin Yang Kun yang menjadi ketakutan karena keberanian kuda itu. Suara pertempuran itu semakin riuh dan nyaring terdengar oleh telinga Chin Yang Kun. Dan beberapa saat kemudian debu tampak mengepul di kejauhan, dan hal itu berarti bahwa medan pertempuran telah berada di depan mata.
Chin Yang Kun segera mencari tempat yang baik dan terlindung untuk melihat pertempuran itu. Dipanjatnya sebuah dataran yang agak tinggi untuk mendekati tempat tersebut. Dan selanjutnya, apa yang dilihat kemudian oleh pemuda itu benar-benar sangat menggetarkan hatinya. Di bawah tebing yang diinjaknya itu ternyata menganga sebuah jurang yang kira-kira ada dua puluhan tombak dalamnya. Sebuah jurang buntu, dimana seluruh sisi-sisinya adalah tebing terjal yang sangat tinggi dan tak mungkin didaki oleh manusia biasa. Hanya ada satu jalan keluar, yaitu sebuah celah sempit selebar dua atau tiga tombak. Tapi bukan jurang buntu itu yang menggetarkan hati Chin Yang Kun, melainkan pertempuran seru yang terjadi di dalamnyalah yang membuatnya tegang bukan main.
Tampak dengan jelas oleh pemuda itu sebuah pertempuran brutal dan kasar dalam jumlah yang sangat besar. Kedua belah pihak sudah berbaur menjadi satu, sehingga dalam keremangan malam sungguh sukar membedakan lawan dan kawan. Meskipun demikian, dari tempatnya berdiri Chin Yang Kun dapat dengan jelas melihat mereka. Dengan mudah pemuda itu membedakan antara pasukan kerajaan dan pasukan pemberontak. Pasukan kerajaan yang tadi sore dilihatnya menyeberang jalan raya, kini kelihatan tinggal separuhnya saja. Meskipun begitu mereka tetap bertempur dengan semangat tinggi. Mereka tetap mempertahankan bendera dan panji-panji yang mereka bawa. Desakan musuh yang tiga kali lipat jumlahnya itu benar benar tidak mempengaruhi keberanian mereka. Mereka tetap bertahan biarpun korban semakin banyak berjatuhan di pihaknya.
Sebaliknya, pasukan pemberontak yang ternyata terdiri dari suku-suku liar itu bertempur dengan kasar dan kejam. Mereka bertempur dan berkelahi seperti orang gila yang mengamuk di tengah-tengah pasar. Ganas, keji dan sadis luar biasa! Pasukan kerajaan itu benar-benar dalam keadaan yang sangat mengkhawatirkan. Tampaknya saat kehancuran mereka hanya tinggal menunggu waktu saja. Sementara itu bala bantuan yang dibawa oleh Siangkoan Ciangkun belum juga terdengar kedatangannya! Chin Yang Kun menjadi gelisah dan tegang bukan main. Dengan gugup pemuda itu mencari-cari Liu-Twakonya di antara ribuan orang yang bertempur mengadu jiwa tersebut. Tapi pekerjaan itu sungguh sulit bukan kepalang, rasa-rasanya seperti mencari sebatang jarum di antara tumpukan jerami yang berserakan.
"Bagaimana ini? Adakah yang harus kulakukan? Apakah...apakah aku harus terjun pula ke dalam peperangan itu? Tapi...rasanya akan Iebih sulit lagi mencari seseorang di dalam suasana yang ribut seperti itu! Hmm...Eh, apakah itu?" Tiba-tiba Chin Yang Kun melihat sesuatu yang aneh akan sesuatu yang lebih dalam arena pertempuran itu. Di bagian belakang dari arena pertempuran itu, yaitu persis di bawah tebing yang diinjaknya, pemuda itu melihat bendera Hongthian-Iiong-cu berkibar di atas kereta perang. Dan kereta itu sudah tidak ada kudanya lagi. Meskipun demikian kereta itu tampak dijaga dan dipertahankan oleh tiga puluh atau empat puluh perajurit pengawal secara mati-matian. Mereka membentuk semacam perisai bersap-sap di sekeliling kereta
itu.
"Ouh...kalau tak salah itu adalah kereta Hongsiang. Tampaknya Kaisar itu belum tertangkap seperti yang dikabarkan oleh perwira yang dapat meloloskan diri dari kepungan itu. Hmm, kalau begitu Liu-Twako tentu juga masih selamat pula. Sebagai seorang perwira tinggi yang bertanggung jawab dia tentu tak pernah lepas dari sisi Baginda..." Berpikir tentang kemungkinan dan harapan seperti itu, Chin Yang Kun menjadi semakin tegang dan gelisah sekali. Sekali lagi dijenguknya tebing curam di bawahnya.
"Wah...tebing ini luar biasa terjal dan tingginya! Sayang aku tak mempunyai ilmu Cecak Merayap, sehingga aku tak bisa merayap seperti cecak ke bawah. Dengan Liong-cu-Ikang, jari-jariku memang bisa melubangi dinding-dinding batu keras itu, tapi kalau harus menggendong Liu-Twako ke atas nanti...rasa-rasanya aku takkan sanggup lagi!...bagaimana ini?" Di dalam kebingungannya tiba-tiba pemuda itu teringat bahwa sebagai kuda perang Si Cahaya Biru itu juga diperlengkapi dengan gulungan tali pula di peIananya.
"Ah...benar! Mengapa aku tak ingat lagi?" desahnya gembira. Lalu dengan cekatan pemuda itu mengambilnya. Dicarinya sebatang pohon yang sekiranya kuat menahan berat badannya nanti, kemudian tali itu diikatkannya ke sana. Setelah itu tanpa membuang-buang waktu lagi Chin Yang Kun melorot turun dengan cepat. Sesekali pemuda itu mencengkeram dinding batu dengan Liong-cu I-kangnya, untuk menahan agar tubuhnya yang bergantung itu tidak berputar-putar dan terayun-ayun kesana kemari.
Saking gelisah dan tegangnya melihat keadaan yang semakin memburuk di pihak para perajurit yang melindungi kereta itu, Chin Yang Kun meluncur turun bagai anak panah cepatnya! Pemuda itu tidak menyadari kalau ujung tali yang dipegangnya itu ternyata tidak cukup untuk mencapai dasar jurang! Dan pemuda itu baru menyadari kecerobohannya ketika secara mendadak tubuhnya melayang turun tanpa pegangan lagi! Chin Yang Kun menjadi gugup! Otomatis tubuhnya bersiap siaga dengan segala kemampuan yang dimilikinya. Dan untung juga bagi pemuda itu, karena dasar jurang itu hanya tinggal beberapa tombak saja lagi. Meskipun demikian, ketika kaki pemuda itu meluncur menghantam atap kereta, kereta itu berderak hancur berkeping-keping!
Darah Pendekar Eps 33 Darah Pendekar Eps 10 Darah Pendekar Eps 28