Ceritasilat Novel Online

Pendekar Penyebar Maut 32


Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Bagian 32




   "Awas! Serang saja dengan senjata kalian yang panjang! Jangan terlalu dekat dan jangan sekali-kali menangkis pukulan mereka! Mereka mempunyai pukulan Im-yang Tok-ciang yang sangat beracun..." Salah seorang dari anggota Sha-cap mi-wi itu berteriak memperingatkan kawan-kawannya. Sebagai seorang jago silat kelas satu di dunia kang-ouw, para anggota Sha-cap mi-wi tahu belaka segala ilmu yang aneh-aneh di dunia persilatan. Biarpun mereka belum pernah melihat atau mengenal ilmu pukulan yang dilancarkan oleh wanita iblis tersebut, tapi guru mereka telah menceritakan serba sedikit tentang segala macam pukulan beracun di dunia ini, termasuk pula ilmu pukulan Im-yang Tok-ciang dari Im-kan Siang-mo tadi.

   Demikianlah, Im-yang Tok-ciang yang dikeluarkan oleh sepasang iblis itu akhirnya tidak berarti pula lagi. Hujan senjata yang dilancarkan oleh para pengepung itu benar-benar sangat menyulitkan Im-kang Siang-mo. Berkali-kali ujung senjata lawan menggores dan melukai badan suami-isteri itu, sehingga tubuh kedua iblis itu lambat laun seperti binatang buruan yang terluka mandi darah oleh senjata para pemburunya. Kalau sekali-kali sepasang suami-isteri itu mau membalas menyerang, dua orang anggota Sha-cap mi-wi itu segera mencegat dan memotongnya, sehingga otomatis serangannya menjadi gagal.

   "Gila! Sungguh gila! Moi-moi, tampaknya kita memang akan mati hari ini..." Bouw Mo-ko merintih seperti orang yang sudah berputus-asa. Badannya yang kurus itu tampak seperti bukan manusia lagi saking banyaknya darah yang berlepotan di sekujur tubuhnya.

   "Koko...aku juga takut! Orang-orang ini kelihatannya seperti roh-roh haus darah dari orang-orang yang pernah kita bunuh. Kini mereka datang semua menyusup ke dalam tubuh para pengeroyok kita ini untuk membalas dendam kepada kita, hiiiii..." Hoan Mo-li merintih pula ketakutan. Iblis wanita ini keadaannya juga tidak lebih baik dari pada suaminya. Badannya yang gemuk tambun itu telah tersayat-sayat mengerikan. Beberapa buah Iobang luka yang mengucurkan darah, tampak terbuka di beberapa tempat.

   "Jangan mengulur-ulur waktu! Cepat bunuh kedua iblis ini!" tiba-tiba seorang berpakaian perwira muncul dan memberi perintah. Dua orang anggota Sha-cap mi-wi datang lagi memberi bantuan. Maka sebentar kemudian sepasang Iblis yang telah terdesak hebat itu makin tak bisa berbuat apa-apa. Sabetan golok dari salah seorang anggota Sha-cap mi-wi yang baru datang itu tidak dapat dielakkan lagi oleh Hoan Mo-li. Akibatnya sebelah kaki iblis wanita itu putus dan melayang ke udara. Tak ayal lagi badan yang gemuk itu jatuh ke tanah dan selanjutnya iblis tersebut tak kuat lagi menangkis hujan senjata yang mencacah-cacah tubuhnya! Tubuh itu hancur bagaikan cacahan daging bakso!

   "Tolong...!" Dalam ketakutan dan kengeriannya Bouw Mo-ko meloncat pergi mau meloloskan diri. Tapi sebuah tombak panjang menyongsong perutnya. Bouw Mo-ko berusaha mengelak dengan menghantam ujung tombak tersebut. Usahanya berhasil, tapi di lain saat beberapa buah senjata pedang dan golok telah membabat ke arah kaki dan perutnya. Terpaksa dengan wajah pucat dan napas memburu, Bouw Mo-ko meIenting lagi ke atas...Tapi sungguh celaka! Sebatang tombak berkait dari salah seorang pengeroyoknya berhasil menggantol celananya, sehingga maksudnya untuk meloncat ke udara itu menjadi kandas di tengah jalan. Maka tak ampun lagi beberapa buah senjata yang menyerang tubuhnya tadi dengan telak mengenai sasarannya!

   "Ibliiiis laknat keparaaat...aduuuh!!!" Disertai teriakannya yang menyayat hati tubuh Iblis Bankwi-to itu rebah ke atas tanah. Beberapa saat lamanya tubuh tersebut meregang seperti ayam disembelih, dari mulutnya masih terdengar sumpah-serapahnya, untuk kemudian terkapar mati! Sejenak orang-orang yang mengeroyok Im-kan Siang-mo tadi termangu-mangu di tempat masing-masing. Mereka seolah-olah baru sadar bahwa mereka tadi telah membunuh sepasang iblis dengan cara yang amat mengerikan. Di dalam hati rasa-rasanya mereka baru saja membunuh binatang buruan yang sangat berbahaya.

   "Ayoh! jangan terus berdiri mematung disitu! Lihat kawan-kawan kita masih bertempur di bawah sana...!" perwira yang memberi perintah tadi berteriak kembali menyadarkan mereka. Bagaikan dibangunkan dari tidur mereka orang-orang itu lantas berlari menuruni Iereng membantu kawan-kawan mereka yang sedang mengepung Tee-tok-ci, Ceng-ya-kang dan Jeng bin Siang-kwi! Dan kedatangan mereka itu memang sangat membantu para pengepung iblis-iblis dari Ban-kwi-to tersebut. Sebaliknya bagi Tee-tok-ci yang sudah terdesak hebat itu, bala bantuan tersebut semakin menyulitkan kedudukannya. Tubuhnya yang kecil itu mulai menerima tusukan dan sabetan senjata para pengepungnya, sehingga pakaiannya menjadi compang-camping dan penuh noda darah.

   "Anjing-anjing busuk keparaaaat...! ayo, jangan main keroyokan kalau memang kalian berani! Marilah beradu dada satu lawan satu!" di dalam kerepotannya Tee-tok-ci memaki dan mengumpat saking marahnya. Tentu saja umpatan dan tantangan itu tak dipedulikan oleh lawan-lawannya. Mereka justru semakin gencar mendesak iblis itu agar pertempuran tersebut lekas selesai. Tiga orang anggota Sha-cap mi-wi yang baru saja turun dari atas tebing tadi segera menyerang Teetok-ci dari tiga jurusan, sementara dua orang anggota Sha-cap mi-wi lainnya, yang sejak semula telah mengepung iblis tersebut, mendesak dari depan dan belakang. Mereka berlima menyerang berbareng dari segala jurusan, sehingga rasa-rasanya Tee-tok-ci takkan mungkin bisa menyelamatkan diri lagi.

   Apalagi jika diingat bahwa kepandaian dari masing-masing anggota Sha-cap mi-wi tersebut tidak berselisih banyak dengan Tee-tok-ci sendiri. Ternyata apa yang terjadi selanjutnya adalah benar-benar di luar dugaan para anggota Sha-cap mi-wi tersebut. Dalam keadaan terpojok itu, tiba-tiba Tee-tok-ci menarik sebuah cambuk panjang dari pinggangnya. Lalu dengan cepat bagai kilat cambuk itu diputar untuk menyongsong hujan senjata yang tertuju ke arah dirinya. Cambuk itu mengeluarkan suara mengaung saking hebatnya tenaga dalam yang mendorongnya. Terdengar suara berdencing berkali-kali ketika sabetan cambuk itu mampu mementalkan laju senjata yang bertaburan ke arah badannya. Otomatis lima orang anggota Sha-cap mi-wi itu berloncatan mundur.

   Semuanya meneliti senjata masing-masing, kalau-kalau senjata mereka mengalami kerusakan terbentur cambuk lawan. Kesempatan itu dipergunakan oleh Tee-tok-ci untuk mengambil peluit pemanggil tikusnya, kemudian berbareng dengan serangan para pengeroyoknya kembali, dia meniup peluit tersebut dengan kerasnya. Suaranya melengking tinggi, mengalahkan suara ombak dan angin laut yang gemuruh tiada henti-hentinya. Tapi sudah sekian lamanya menanti, Tee-tok-ci belum juga melihat binatang-binatang yang diharapkannya itu. Padahal ledakan-ledakan cambuknya sudah tidak dapat melindungi dirinya lagi dari sengatan-sengatan senjata lawannya. Beberapa sobek luka telah menganga pula di beberapa bagian tubuhnya sehingga darah yang keluarpun semakin banyak pula. Akibatnya kekuatan tubuhnyapun juga semakin berkurang.

   "Demi demit setan dan iblisss...apakah tempat ini tak ada tikus sama sekali?" tokoh pertama dari Ban-kwi-to itu menyumpah-nyumpah.

   "He?! Mengapa kau berteriak-teriak mencari tikus? Bukankah engkau sendiri seekor tikus...?" salah seorang anggota Sha-cap mi-wi mengejek. Sambil mengejek tak lupa tombaknya yang panjang itu ditusukkan ke arah leher Teetok-ci dengan ganas. Tee-tok-ci yang sedang mengelak dari serangan pedang dan golok lainnya, tak ada kesempatan lagi untuk menangkisnya.

   Cambuknya yang baru saja digunakan untuk menangkis serangan, masih terjulur di sebelah belakang punggungnya. Harus membutuhkan waktu untuk menariknya ke depan. Padahal hanya dalam waktu sedetik, ujung tombak tersebut telah berada di depan tenggorokannya! Dalam keadaan terpepet, Tee-tok-ci terpaksa menyambut serangan itu dengan gerakan yang sangat berbahaya bagi dirinya. Kepalanya menunduk dengan cepat dan giginya menyongsong ujung tombak serta menggigitnya dengan kuat! Lehernya memang selamat, sehingga nyawanya tidak jadi melayang ke alam baka. Tapi sodokan tombak anggota Shacap-mi-wi itu juga bukan sodokan anak kecil yang tidak punya kekuatan sama sekali, sodokan tersebut dilakukan dengan sandaran Iweekang yang amat kuat!

   Maka tidaklah heran, meskipun selamat tubuh Tee-tok-ci sendiri akhirnya terjengkang dan giginya rontok separuh! Celakanya, para pengeroyoknya tidak lagi memberi kesempatan kepada iblis itu untuk berdiri dan bersiap-sedia kembali. Begitu Tee-tok-ci terlentang di atas tanah, anggota anggota Sha-cap mi-wi yang mengeroyoknyapun segera menghujaninya dengan tusukan dan sabetan senjata mereka secara bertubi-tubi! Tiga buah senjata dapat dielakkan oleh Tee-tok-ci, dan sebuah lagi bisa dia tahan dengan cambuknya. Tetapi...sabetan golok yang melintang ke arah perutnya tak mampu lagi dia hindari! Maka sekejap kemudian perut itu telah terbelah dari kanan ke kiri dan ususnya...terburai keluar!

   "Demit iblis tak berjantung...adaoooouh?!?!" sambil mengumpat Tee-tok-ci melenting berdiri. MeIihat ususnya berhamburan keluar, iblis yang sudah terbiasa membunuh dan menyiksa orang itu terbelalak, mulutnya menjerit dan ternganga!

   "Ouh, de...demi setan...ke-kenapa pe...perutku ini? Keparaat...!" dengan tangan menggigil karena ngeri dan ketakutan, Tee-tok-ci meraup ususnya yang bergantungan itu, lalu bergegas menjejalkannya kembali ke dalam perutnya yang menganga! Para pengepung Tee-tok-ci justru tertegun melihat pemandangan yang mengerikan itu. Sekejap mereka seperti sekelompok orang yang kehilangan akal malah!

   "Lekaslah bunuh dia...! Mengapa kalian malah terbengong saja di situ?" tiba-tiba perwira yang turun dari atas tebing tadi berteriak menyadarkan mereka. Bagaikan mendapat komando, orang-orang itu segera meloncat menyerang berbareng. Lima buah senjata dari para anggota Sha-cap mi-wi dengan ditambah beberapa pucuk senjata lagi dari para perajurit yang lain tampak meluncur menuju ke arah tubuh Teetok-ci.

   Iblis itu masih berusaha untuk mengelakkannya, tetapi mana mampu badan yang sudah sangat lemah itu melawan sedemikian banyaknya senjata yang tertuju kepadanya? Maka disertai dengan teriakannya yang menyayat hati, Tee-tok-ci rebah dengan tubuh yang sudah tidak karuan macamnya. belasan senjata yang menerjang ke arah dirinya tadi membuat tubuhnya tercerai-berai kemana-mana! Para perajurit yang mengepung tempat tersebut lantas bersorak-sorai menyambut kematian Tee-tok-ci yang telah membawa banyak korban jiwa itu. Dan sorak-sorai ini benar benar membuat Jeng-bin Siang-kwi yang bertempur tidak jauh dari tempat itu, menjadi semakin tergetar ketakutan hatinya. Sepasang wanita kembar itu dikepung oleh enam orang anggota Sha-cap mi-wi yang mempergunakan berbagai macam senjata.

   Seperti juga saudara-saudara mereka yang lain, sepasang wanita kembar tersebut juga mengalami tekanan yang berat dari para pengepungnya. Banyak mayat para perajurit yang berserakan di sekitar pertempuran mereka, yaitu mayat para perajurit yang tadi termakan oleh racun-racun yang disebarkan oleh kedua iblis wanita itu. Tapi sekarang racun-racun yang dibawa oleh Jeng-bin Siangkwi telah habis, padahal musuh-musuh utama mereka justru belum mati. Kini anggota-anggota Barisan Sha-cap mi-wi yang lihai-lihai itu malah mendesak mereka tanpa ampun, dan benar-benar tidak mudah untuk menghadapi jago-jago dari Sha-cap mi-wi tersebut. Kepandaian mereka rata-rata sangat tinggi, mungkin tidak berselisih banyak dengan kepandaian kedua wanita itu sendiri.

   Memang, untuk beberapa saat lamanya Jeng-bin Siang-kwi dapat bertahan, tapi sejalan dengan berjalannya waktu, kekuatan merekapun menjadi semakin susut juga. Dan apa yang mereka takutkan sejak semula terjadilah...! Sekali dua kali senjata para anggota Sha-cap mi-wi itu mulai menyentuh dan melukai kulit Jeng-bin Siang-kwi! Dan semakin lama sentuhan-sentuhan tersebut semakin sering terjadi, sehingga beberapa saat kemudian darah mulai membasahi tubuh dan pakaian kedua orang wanita tersebut. Dan sejalan dengan semakin seringnya senjata lawan melukai kulit mereka, hati merekapun semakin dicekam oleh rasa ketakutan yang hebat. Kedua iblis wanita itu telah sering kali mempermainkan orang sebelum mereka membunuhnya. Kini mengalami sendiri bagaimana rasanya hendak mati dibunuh orang, hati mereka menjadi ketakutan setengah mati.

   "Cici...apa...apakah yang mesti kita lakukan?" Jeng-bin Su-nio dengan suara gemetar berseru ke arah kakaknya. "Apakah" kita me-menyerah saja kepada mereka?"

   "Menyerah? Ti-tidak mungkin...! Lihatlah toa-suheng itu! Mereka telah menyiksanya sampai mati. Mungkinkah mere...mereka...akan...akan memberi ampun kepada kita?" Jeng-bin Sam-ni menjawab gagap antara kerepotannya.

   "La...lalu...?" adiknya mendesak lagi.

   "Kita melawan sampai mati!"

   "Hahahah...kalian tak perlu ketakutan begitu! Sudah selayaknya kalian menerima pembalasan kami. Lihatlah, berapa orang kawan kami yang telah mati karena racun tadi? Berapa puluh manusia yang telah menjadi korban kebiadaban kalian selama ini?" salah seorang anggota Barisan Sha-cap mi-wi yang mengeroyoknya mengejek. Demikianlah, sepasang iblis kembar menghadapi pengepung mereka dengan beradu panggung.

   Tapi karena tenaga mereka telah susut jauh maka daya perlawanan merekapun sudah tidak berarti lagi buat lawan-lawannya. Selagi mereka sibuk menangkis dan mengelakkan beberapa buah serangan yang melanda mereka, sebatang tombak besar telah menerobos pertahanan mereka dan merobek celana serta melukai pantat Jeng-bin Sam-ni! Kaitan yang terpasang pada tombak tersebut menggaet dan membawa sebagian kain celana Jeng-bin Siang-kwi, sehingga pantat yang masih mulus dan merangsang itu tampak dengan nyata. Kontan yang melihatnya menjadi tertegun! Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Jeng-bin Sam-ni. Melihat orang bertombak tadi menjadi terlongong-longong melihat pantatnya, ia segera menghadiahi dengan sebuah tendangan, yang dengan telak mengenai dada orang itu.

   "Bressss!"

   "Aduuuuh!?" Memperoleh hasil demikian, iblis wanita itu segera memperoleh akal.

   "Sumoi...! Marilah kita tanggalkan semua pakaian kita! Lekas! Kita bertempur dengan tidak usah pakai baju saja...!"

   "Cici...! Apakah kau sudah gila?"

   "Jangan membantah! Lekaslah...!" Jeng-bin Sam-ni sendiri segera merobek-robek pakaian yang dikenakannya, sehingga sebentar kemudian iblis yang cantik itu telah telanjang bulat. Tubuhnya yang putih itu dan selalu terawat baik itu memang benar-benar mempesonakan. Apalagi dalam keremangan malam yang hanya bersinarkan ribuan bintang tersebut, rasa-rasanya wanita itu bagaikan seorang peri yang turun ke bumi. Tipu daya itu ternyata memang benar-benar menggoncangkan iman para pengeroyoknya.

   Kepungan mereka menjadi kendor, dan serangan mereka yang semula amat gencar itu menjadi kalang-kabut tak teratur lagi! Maka tidaklah heran ketika Jeng-bin Sam-ni membalas menyerang mereka, beberapa orang tidak sempat mengelak lagi. Dua dari enam orang pengeroyoknya terluka parah kena cakarannya. Melihat tipu muslihat Cicinya membawa hasil, Jeng-bin Sunio lekas-lekas membuka pakaiannya pula. Bagi wanita-wanita cabul seperti mereka, soal buka-membuka baju bukan menjadi persoalan lagi. Enak saja baginya menyobeki pakaiannya sampai bugil. Begitulah, kini dengan adanya dua tubuh mulus di hadapan mereka, orang-orang itu menjadi semakin terpecah-belah perhatiannya. Masing-masing menjadi salah tingkah dalam gerakannya, sehingga beberapa orang lagi menjadi korban pembalasan Jeng-bin Siang-kwi!

   "Kurang ajar...! Kalian ini benar-benar kerbau bodoh yang mudah terbujuk oleh keindahan-keindahan semu seperti itu!" tiba-tiba perwira yang berwibawa tadi membentak dengan suara menggeledek.

   "Maafkan kami, Gui-Goanswe (Jendral Gui)..." salah seorang dari anggota Sha-cap mi-wi yang terluka itu menunduk di depan perwira tersebut.

   Gui-Goanswe adalah salah seorang panglima kerajaan yang amat disegani oleh anak buahnya. Dia adalah pembantu utama dari Yap Tai-Ciangkun, dan bertugas sebagai panglima pasukan bertombak dan pasukan berkuda. Usianya kira-kira enam puluh tahun, dua kali lipat usia Yap Tai-Ciangkun, tapi meskipun begitu gerakannya masih tetap tangkas dan gesit. Dalam gerakan mereka ke Pantai Karang itu Gui-Goanswe mendapat tugas untuk membawa pasukan bertombaknya untuk mengepung pantai tersebut, sementara Yap Tai-Ciangkun sendiri memimpin para anggota Sha-cap mi-wi yang dibawanya. Gui-Goanswe memberi tanda kepada para anggota Sha-cap mi-wi yang tadi telah berhasil membunuh Im-kan Siang mo dan Tee-tok-ci agar terjun ke dalam arena, membantu teman mereka yang terdesak itu.

   "Bunuhlah dua orang wanita cabul itu! Awas, jangan terpengaruh oleh kecantikan mereka seperti kawan-kawanmu tadi. Berpikirlah yang jernih! Dalam pertempuran ini, siapa yang lengah akan mati...! Maka kita memilih mati atau memilih...membunuh mereka!"

   "Akan kami kerjakan Goanswe..." lima orang itu menjawab tegas. Lima orang berkepandaian tinggi itu segera terjun ke dalam pertempuran membantu kawan-kawan mereka, mengepung Jeng-bin Siang-kwi!

   Sesaat mereka memang agak kikuk melawan dua orang wanita cantik yang bertelanjang bulat seperti itu. Mereka sering menjadi ragu-ragu bila harus memukul ke arah dada yang ranum atau ke arah bagian bawah yang menggairahkan itu. Tapi setelah beberapa kali mereka justru hampir mati karena keragu-raguan mereka sendiri itu, mereka lantas benar-benar menjadi sadar. Mereka sendirilah yang akan menjadi korban apabila mereka tidak bersungguh-sungguh! Maka dalam pertempuran selanjutnya kelima orang anggota Sha-cap mi-wi tersebut lalu bertempur dengan sungguh-sungguh. Mereka membuang jauh-jauh pikiran yang mengganggu perasaan mereka itu dan melabrak dua orang wanita cabul tersebut tanpa ampun! Keadaan itu tentu saja membuat Jeng-bin Siang-kwi menjadi mati kutu.

   Mereka kembali terdesak dengan hebat. Beberapa kali mereka mencoba menggoda lawan-lawan mereka dengan gerakan gerakan yang berani dan sangat cabul, tapi kali ini siasat mereka sudah tidak mempan lagi. Orang orang itu lebih takut kepada Gui-Goanswe dari pada melayani cumbuan mereka. Begitulah, beberapa saat kemudian tubuh mereka yang halus mulus itu mulai dikoyak oleh senjata lawan lagi. Semakin lama semakin sering, sehingga keduanya menjadi ketakutan dan menjerit-jerit lagi. Mereka mencoba bertahan mati-matian, tapi para anggota Sha-cap mi-wi tersebut sudah tidak mengenal ampun. Serangan orang-orang itu justru semakin ganas dan kejam, sehingga beberapa jurus kemudian tubuh kedua wanita cabul itu sudah kehilangan daya rangsangnya.

   Tubuh itu kini telah berubah menjadi merah bersimbah darah! Sebuah tombak menusuk dari belakang secara tak terduga, sehingga Jeng-bin Su-nio tak kuasa lagi mengelakkannya. Otomatis iblis itu mengayunkan lengannya menangkis, tapi ujung tombak yang tajam tersebut sudah terlanjur menancap di pahanya. Biarpun batang tombak itu akhirnya menjadi patah terkena pukulannya, tapi ujung besinya yang tajam tetap tertanam di dalam pahanya. Sakitnya bukan kepalang! Jeng-bin Su-nio jatuh terduduk, tapi segera bangkit kembali dengan terpincang-pincang. Kakaknya bermaksud menolong, tapi sebilah golok justru membuatnya terjungkal ke tanah. Tanpa ia duga salah seorang lawan mereka telah membabat ke arah kakinya, sehingga kaki kanannya terbacok hampir putus.

   "Ciciiii...! aku tak mau dibunuh oleh mereka...!" Jeng-bin Su-nio menubruk kakaknya.

   "Sumoi, akupun tak mau pula...!" Jeng-bin Sam-ni berteriak pula menyayat hati. Dua orang iblis kembar itu saling berangkulan. Dan seperti sudah berunding sebelumnya, sambil berpelukan mereka saling mencengkeram pelipis saudaranya, sehingga di lain saat jiwa mereka telah melayang bersama-sama! Tubuh mereka lalu jatuh berdebam di atas tanah. Peristiwa itu sungguh amat mengejutkan para anggota Sha-cap mi-wi yang mengepungnya. Serangan bersama yang telah mereka siapkan terpaksa mereka urungkan dengan mendadak. Dengan senjata teracung dan siap menerjang, mereka tercenung bagai patung di tempat masing-masing. Mereka benar-benar tidak mengira kalau iblis cabul tersebut hendak bunuh diri.

   "Nah, sekarang tinggal seorang saja lawan kita..." Gui-Goanswe berteriak lagi, tangannya menunjuk ke arah Ceng-ya-kang yang berlari-lari main kucing-kucingan dengan para pengeroyoknya. Ceng-ya-kang memang sangat cerdik, mungkin lebih cerdik dari pada saudara-sandaranya.

   Sebelum pertempuran dimulai, dia telah menilai lebih dulu kekuatan lawan yang tampak di sekitarnya. Begitu tahu perajurit yang dikerahkan oleh Yap Tai-Ciangkun sangat banyak sekali, maka dia telah mengambil keputusan untuk tidak melawannya. Bagaimanapun sakti dan hebat senjata racun mereka, takkan mungkin dapat membunuh sekian banyak orang. Maka sebelum kekuatannya menurun dan racun yang dibawanya habis, dia sudah dapat keluar dari kepungan itu. Dan cara yang dipilihnya adalah...berlari-lari di antara semak dan batu karang, sambil bermain kucing-kucingan dengan jago-jago mereka! Hal ini memang telah dilakukannya" Ceng-ya-kang selalu menghindar apabila bertemu dengan lawan-lawan tangguh seperti para anggota Sha-cap mi-wi, tapi segera membunuh apabila berhadapan dengan perajurit-prajurit biasa.

   Suasana yang gaduh dan medan yang sangat lebat dengan semak-semak perdu itu memang amat enak dan cocok untuk main kucing-kucingan. Sebentar keluar dan bertempur untuk membunuh para perajurit kemudian begitu ada jago kuat melayaninya, ia lantas menyusup lenyap ke dalam semak-semak. Selanjutnya muncul lagi di tempat lain untuk berbuat yang serupa pula! Itulah sebabnya, meskipun pertempuran sudah sekian lamanya berkecamuk, Ceng-ya-kang masih tetap segar bugar dan genit. Ludahnya yang sangat beracun itu selalu saja memperoleh korban perajurit-perajurit yang berani menghadang langkahnya. Tapi oleh karena Yap Tai-Ciangkun memang sengaja menyebar para anggota Sha-cap mi-wi di segala tempat, maka kemana pun Ceng-ya-kang berlari, dia akan selalu bertemu dengan jagoan istana tersebut.

   Oleh karena itu beberapa saat kemudian, tanpa terasa Ceng-ya-kang tergiring ke arah pantai dengan sendirinya. Baru setelah kakinya menginjak hamparan pasir, iblis gundul itu sadar akan kesalahan langkahnya. Tapi kesadaran tersebut sudah terlambat! Begitu tubuhnya yang gemuk itu melenting ke atas batu karang besar di depannya, matanya segera melihat gelombang air di bawahnya. Dan ketika iblis itu membalikkan tubuhnya, dibawah batu karang tersebut telah berderet-deret anggota Sha-cap mi-wi yang mengepungnya. Semuanya telah siap mengejar ke atas batu karang! Sekejap seperti hilang semangat Ceng-ya-kang! Wajahnya yang kehijau-hijauan itu seakan kehilangan semua darahnya. Tubuhnya yang berlemak itu sedikit gemetar. Rasa-rasanya malaikat elmaut telah datang untuk menjemputnya.

   "Celaka, agaknya hanya sampai sekian saja hidupku di dunia ini...!" iblis itu membatin ketika beberapa orang perajurit tampak melemparkan tombak mereka ke arah dirinya. Ceng-ya-kang menunduk dan lewatlah belasan batang tombak tersebut di atas kepalanya. Tapi hatinya segera berdebar-debar ketika beberapa orang anggota Sha-cap mi-wi berloncatan ke atas batu karang yang diinjaknya. Dan kekhawatirannya semakin menjadi-jadi begitu serangan yang mereka lakukan kemudian, benar-benar sukar sekali dielakkan. Satu atau dua serangan mereka masih dapat ditanggulangi, tetapi serangan-serangan mereka yang lain sungguh-sungguh tak bisa dihindarinya lagi! Maka tanpa ampun pula beberapa buah pukulan dan sayatan senjata lawan telah mulai melukai badannya. Sakitnya bukan main.

   "Berdoalah, karena sebentar lagi nyawamu akan segera melayang ke alam baka, mengikuti arwah saudarasaudaramu...!" salah seorang dari para pengepungnya mencemooh.

   "Cuh! Cuh! Cuh...!" Iblis gundul itu menjawab dengan ludahnya ke arah orang yang memperolokkannya tersebut.

   Tetapi dengan mudah orang yang bukan lain adalah anggota Sha-cap mi-wi itu mengelakkannya. Dengan memutar badannya setengah lingkaran ke sebelah kiri, orang itu justru membalas serangan Cengya-kang tersebut dengan sabetan goloknya. Suaranya mendesing ketika golok itu berkelebat ke arah leher Ceng-ya-kang! Sebenarnya sabetan golok itupun takkan menyulitkan bagi Ceng-ya-kang! Dengan mudah iblis berkepala gundul itu akan dapat menghindarinya. Tetapi yang amat menyulitkan iblis tersebut adalah serangan-serangan lain yang membarengi sabetan golok itu. Karena bersamaan dengan sabetan golok yang tertuju ke lehernya tersebut, beberapa orang pengeroyoknya yang lain juga telah menyerangnya dengan senjata mereka masing-masing. Ada yang menyerang pinggangnya, ada yang menyerang dadanya dan ada pula yang membabat ke arah kakinya.

   Tak mungkin rasanya Ceng-ya-kang melayani semua serangan tersebut. Dan satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri dari semua serangan itu hanyalah meloncat ke belakang! Tapi kalau dia melakukan hal itu...berarti dia harus terjun ke laut yang ganas bergelora di belakangnya! Sedetik iblis itu menjadi ragu-ragu dan tak tahu apa yang mesti diperbuatnya! Tapi dalam sedetik itu pula semua serangan lawannya telah datang dan hampir menyentuh kulitnya! Tak ada pilihan lain lagi! Dalam kesempatan yang terakhir Ceng-ya-kang melompat ke belakang! Golok itu telah menyerempet lehernya dan menyobek kulitnya sehingga darahnya segera keluar membasahi bajunya. Untunglah ujung golok tersebut tidak mengores tenggorokan ataupun urat nadinya.

   Iblis gundul itu terbebas dari serangan pengepungnya, tapi di lain saat tubuhnya tidak bisa membebaskan diri dari cengkeraman laut di bawahnya! Sebentar saja tubuhnya telah lenyap tergulung oleh gelombang air laut yang bergelora! Para pengepungnya bergegas menjenguk ke bawah dengan perasaan kesal dan marah, mereka sebenarnya ingin mencincang tubuh Ceng-ya-kang sampai lumat! Iblis gundul itu banyak membunuh kawan-kawan mereka. Tapi apa daya, ternyata iblis itu lebih suka mati ditelan air Iaut dari pada mati di tangan mereka. Sementara itu di tempat lain, tidak jauh dari tempat itu, Yap Tai-Ciangkun kelihatan marah-marah karena buronannya ternyata telah lolos dari kepungan anak buahnya. Orang berkerudung itu sudah pergi dengan banyak meninggalkan korban pada para perajurit.

   "Kurang ajar..." Panglima muda itu menggeram marah lalu menggapai empat orang Sha-cap mi-wi yang selalu mengawalnya.

   "Ayoh, kalian ikut aku mengejar orang itu...!" perintahnya. Tanpa mempedulikan bahaya yang terhampar di depan mereka, Yap Tai-Ciangkun serta empat orang anak buahnya melesat mengejar Hek-eng-cu. Mereka berlari dan berloncatan di atas ujung-ujung batu karang yang tajam dan amat licin. Mereka tidak memikirkan lagi bahwa sedikit saja kaki mereka terpeleset, mungkin tubuh mereka sudah tidak akan tertolong lagi.Mereka berlima memang dapat mengejar Hek-eng-cu, sebab seperti telah diceritakan di bagian depan bahwa iblis berkerudung itu terpaksa melayani tantangan Pek-i Liong-ong.

   Dan kedatangan mereka di tempat pertempuran antara Hek-eng-cu dan Pek-i Liong-ong itu ternyata bagaikan malaikat penolong yang menyelamatkan nyawa dan kehormatan ketua aliran Mo-kauw tersebut. Hek-eng-cu maupun Pek-i Liong-ong merupakan tokoh tokoh sakti yang kesaktiannya benar-benar tidak lumrah manusia. Kepandaian silat mereka boleh dikatakan sudah mencapai kesempurnaan, sehingga sepak terjang mereka sangat menakjubkan, bagaikan dewa-dewa di dalam dongeng saja! Mereka berdua dapat bergerak secepat angin, karena keduanya sama-sama jago ginkang yang tiada taranva. Ilmu silat merekapun luar biasa tingginya, karena keduanya juga sama-sama keturunan datuk ilmu silat yang amat sangat ternama pada zaman seratus tahun yang lalu.

   Maka kalau sekarang kedua jago itu bertempur satu sama lain, dapat dibayangkan betapa hebat dan dahsyatnya pertempuran tersebut. Apalagi pertempuran mereka itu mengambil tempat yang luar biasa berbahayanya, yang bagi jago-jago silat biasa tak mungkin bisa menginjaknya. Meskipun begitu, setelah seratus jurus lebih mereka bertempur, mulailah kelihatan kelebihan-kelebihan Hek-eng-cu atas Iawannya. Meskipun ilmu mereka setanding, tetapi kekuatan tubuh Pek-i Liong-ong yang telah amat tua itu ternyata lambat-laun tidak kuat mengimbangi kekuatan dan daya tahan dari tubuh Hek-eng-cu yang masih muda. Apalagi semuanya tadi masih ditambah lagi dengan mantel pusaka yang dikenakan oleh Hek-eng-cu! Mantel pusaka itu ternyata benar-benar sangat bermanfaat dan sangat menolong pemakainya di dalam pertempuran tersebut!

   Dalam hal ilmu mereka yang seimbang, mantel pusaka tersebut ternyata sungguh-sungguh berguna sekali! Maka tidaklah heran apabila seratus jurus kemudian Pek-i Liong-ong mulai tampak mengalami kerepotan. Lambat-laun tapi pasti, ketua Aliran Mo-kauw itu semakin terdesak dan mulai tampak mengkhawatirkan! Untunglah sebelum orang tua itu menjadi korban Hek-eng-cu, Yap Tai-Ciangkun dan empat orang anak buahnya telah tiba di tempat tersebut. Dan kedatangan panglima muda itu ternyata sangat mengejutkan iblis berkerudung tersebut. Tanpa diduga iblis itu cepat-cepat meloncat pergi meninggalkan Pek-i Liong-ong! Dengan potongan bambu yang tadi ia pakai untuk meluncur di atas permukaan air, iblis tersebut terjun ke dalam air dan...melesat pergi meninggalkan tempat itu.

   "Kurang ajar...!" Yap Tai-Ciangkun mengumpat. Dengan mata melotot panglima yang masih sangat muda itu menatap bayangan Hek-eng-cu yang semakin lama menjadi semakin kecil.

   "Ahh...kedatangan Yap Tai-Ciangkun ternyata telah menyelamatkan nyawaku dari keganasan orang itu," Pek-i Liong-ong menjura dan menyatakan rasa terima kasihnya. YapTai-Ciangkun membalikkan badannya...dan menjadi kaget begitu menyadari siapa yang telah menjadi lawan Hek-eng-cu tadi.

   "Oh, Lo-Cianpwe kiranya...!" tegur panglima itu dengan terbata-bata.

   "Pikiranku hanya tertuju kepada Hek-eng-cu saja hingga tak tahu kalau Lo-Cianpwe-lah yang menjadi lawannya tadi..." Pek-i Liong-ong tersenyum sambil menyeka keringat yang mengalir di muka dan di lehernya. Pertempurannya tadi ternyata telah banyak menguras tenaga dan kemampuannya.

   "Benar, Tai-Ciangkun...Iohu-lah yang tadi hampir saja mati di tangan iblis lihai itu," orang tua itu mengangguk-angguk. Yap Tai-Ciangkun memandang ke tengah laut kembali, seolah mau mencari bayangan Hek-eng-cu diantara gulungan ombak yang tinggi bergelora itu. Yang lain menjadi ikut-ikutan memandang ke arah laut, dan untuk beberapa saat lamanya mereka berdiam diri bagaikan sekelompok patung yang dipasang di atas batu karang.

   "Eh! Mengapa tidak kulihat pembantu Hek-eng-cu yang tadi ikut melarikan diri itu?" tiba-tiba Yap Tai-Ciangkun mengerutkan keningnya.

   "Ohhh...orang itu telah disuruh pergi oleh Hek-eng-cu sebelum kami bertempur tadi..." Pek-i Liong-ong memberi keterangan.

   "Hemm..." Yap Tai-Ciangkun menghela napas panjang.

   "Tapi...hal ini sungguh amat kebetulan sekali bagi lohu. Coba kalau orang itu belum disuruh pergi oleh Hek-eng-cu, lohu kira Yap Tai-Ciangkun hanya tinggal menemukan mayatku saja di sini."

   "Ahhh! Lo-Cianpwe sungguh pandai merendahkan diri..." panglima muda itu menundukkan kepalanya dengan lesu, hatinya terasa kecewa bukan main karena orang yang hendak ditangkapnya itu telah meloloskan diri dengan cara yang tak mungkin dikejar olehnya. Beberapa saat lamanya mereka berdiam diri kembali.

   "Kalau begitu kita kembali saja ke Pantai karang! Kita..." akhirnya panglima yang amat tersohor itu berkata. Tapi kata-katanya segera terputus, ketika tiba-tiba dilihatnya anak buahnya tampak termangu-mangu dengan wajah pucat.

   "Ka...kalian kenapa...?" Serentak empat orang anggota Sha-cap mi-wi itu memandangi ujung pakaian masing-masing yang compang camping tidak karuan, lalu mereka bersama-sama memandangi pula pakaian panglima mereka yang tersayat sayat juga seperti kepunyaan mereka. Tentu saja gerak-gerik anak buahnya itu sangat membingungkan Yap Tai-Ciangkun! Otomatis panglima muda itu menundukkan mukanya pula, mengamati pakaian yang dikenakannya, dan...tiba-tiba matanya menjadi terbelalak!

   "Oh?!" serunya tertahan, lalu memandang pakaian anak buahnya yang keadaannya hampir sama dengan pakaian yang dikenakannya! Setelah itu tanpa terasa ia memandang jubah lebar yang dipakai oleh Pek-i Liong-ong! Jubah itu tampak utuh sama sekali, meskipun tadi dipakai untuk bertempur mati-matian dengan Hek-eng-cu! Sekali lagi panglima muda kepercayaan Kaisar Han itu menghela napas, diam-diam hatinya sedikit bergetar juga melihat kenyataan tersebut. Rasanya dia menjadi kecil sekali bila diperbandingkan dengan orang tua itu. Tiba-tiba hatinya menjadi kecut. Pikirannya segera membayangkan, apa jadinya kalau dia mesti berhadapan sendiri dengan Hek-eng-cu yang kesaktiannya ternyata justru lebih hebat dari orang tua itu?

   "Ah, ternyata aku terlalu berani dan terlalu gegabah kali ini. Untunglah iblis itu tidak bermaksud melayani aku dan anak buahku. Lain kali aku harus lebih berhati-hati bila bertemu dengannya..." Yap Tai-Ciangkun berkata di dalam hatinya. Lalu perlahan-Iahan kakinya melangkah kembali ke Pantai Karang.

   "Lo-Cianpwe, marilah kita ke Pantai Karang kembali...!" katanya dengan sopan.

   Demikianlah, Yap Tai-Ciangkun dengan Pek-i Liong-ong berloncatan lagi di atas karang-karang tajam tersebut, diikuti oleh empat orang anggota Sha-cap mi-wi, menuju ke Pantai Karang kembali. Panglima muda itu bersama para pengawalnya terpaksa lebih berhati-hati lagi dalam menjejakkan kaki mereka di ujung-ujung karang yang tajam itu. Kini mereka menjadi takut...jangan-jangan tidak hanya pakaian mereka saja yang tersayat koyak oleh batu-batu karang tersebut, tapi termasuk juga kulit dan daging mereka! Mereka tiba kembali di Pantai Karang tak lama kemudian. Malam telah menjelang pagi. Embun pagi telah membasahi rumput dan batu-batu yang mereka injak. Udara terasa dingin bukan main. Apalagi ketika angin laut tampak semakin kencang meniupkan percikan-percikan air Iaut yang semakin gemuruh menggelora!

   Rasa-rasanya percikan-percikan air tersebut seperti gerimis yang tercurah dari langit saja layaknya. Mereka menyaksikan pertempuran telah selesai. Tak seorangpun iblis-iblis dari Ban-kwi-to tadi yang masih hidup. Semuanya telah mati dan mayat-mayat mereka telah dikumpulkan oleh perajurit, kecuali mayat dari Ceng-ya-kang. Mayat Ceng-ya-kang tidak dapat mereka ketemukan, karena mayat itu telah hilang digulung ombak.Gui-Goanswe bergegas menyongsong Yap Tai-Ciangkun, serta melaporkan semua tugas yang telah dikerjakannya. Pihak lawan telah dapat mereka tumpas semuanya, meski korban dari para perajurit yang mereka bawa juga tidak sedikit jumlahnya. Sayang Hek-eng-cu dan seorang pembantunya dapat meloloskan diri dari kepungan para perajurit.

   "Aku sudah mengetahuinya, karena aku dan empat orang anggota Sha-cap mi-wi telah berusaha mengejar mereka, tapi...gagal." Yap Tai-Ciangkun mengangguk-angguk dengan wajah tidak bergembira, karena maksud dan gerakan mereka ke pantai itu tidak dapat berhasil seluruhnya. Biarpun pentolan-pentolan orang orang yang bermaksud untuk meletuskan pemberontakan itu telah mereka basmi semuanya, tetapi pemimpin utamanya ternyata belum dapat mereka musnahkan. Oleh karena itu bahaya timbulnya pemberontakan masih belum hilang, sewaktu-waktu masih dapat timbul kembali. Panglima muda itu memandang mayat-mayat para perajuritnya yang bergelimpangan di atas tanah. Mayat-mayat itu telah dikumpulkan bersama-sama dengan mayat-mayat para Iblis dari Ban-kwi-to.

   "'Mengapa belum kulihat Kiong Lee suheng di sini? Apakah dia belum tiba?" Yap Tai-Ciangkun menanyakan kakaknya.

   "Entahlah, hamba juga belum melihat kehadiran Yap Taihiap tadi..." Gui-Goanswe menjawab perlahan. "Kalau kakak paduka sudah ada di sini, hamba kira korban kita tidak akan sebanyak ini..." Sementara itu Pek-i Liong-ong begitu datang langsung menghampiri pemuda pemudi yang sedang mengerumuni tubuh Chu Bwee Hong. Dari jauh orang tua itu telah mendengar ratap tangis Siok Eng, Pek Lian maupun Lian Cu. Ketiga orang gadis itu seperti sedang bersaingan dalam meratapi tubuh Chu Bwee Hong, sementara Seng Kun malah hanya berjongkok diam di samping mereka, seperti orang yang sedang kehilangan akal.

   "Hei, kenapa dia...?" Pek-I Liong-ong terkejut begitu melihat tubuh Chu Bwee Hong yang tergolek diam di atas pasir. Mulut dan dada gadis ayu itu masih tampak berlepotan darah. Dengan tergesa-gesa ketua Aliran Mo-kauw itu menyibakkan gadis-gadis yang sedang mengerumuni Chu Bwee Hong, kemudian memeriksa nadi dan pernapasan gadis ayu tersebut. Tapi betapa terperanjatnya orang tua itu begitu dirasakannya detak jantung dan pernapasan gadis itu sudahtidak ada lagi. Gadis ayu yang masih terhitung cucu muridnya sendiri itu ternyata telah mati! Pek-i Liong-ong lalu berdiri perlahan-lahan diikuti oleh beberapa pasang mata yang berurai air mata di dekatnya. Orang tua itu menatap tubuh Chu Bwee Hong dengan tak kalah sedihnya. Sungguh malang benar gadis ini, dia membatin.

   "Bagaimana...Lo...Lo-Cianpwe?" Souw Lian Cu menyentuh lengan Pek-I Liong-ong dan bertanya dengan suara sendu. Gadis remaja ini merasa sangat sedih dan pilu. Hatinya seperti ditimbuni oleh perasaan bersalah terhadap wanita itu, yang semula sangat membencinya tetapi ternyata sangat baik kepadanya itu. Wanita itu ternyata mengorbankan nyawanya demi dia!

   "Ooooh...!" Souw Lian Cu mengguncang lengan Pek-i Liong-ong dengan keras ketika orang tua itu tidak segera menjawab pertanyaannya.

   "Lo-Cianpwe...me...mengapa diam saja? Lekas katakan...bagaimana dengan Hong Cici? Apakah dia masih bisa diselamatkan? Lo-Cianpwe...Lo-Cianpwe..."

   "Dia telah...mati!" orang tua itu akhirnya menjawab singkat.

   "Ciciiii...!" Souw Lian Cu menjerit keras sekali. Dengan mata bercucuran gadis itu mengedarkan pandangannya ke arah Siok Eng, Pek Lian dan Seng Kun. Tapi gadis itu segera mendekap mukanya ketika dilihatnya orang-orang itu memandang kaku kepadanya, seolah-olah semuanya mempersalahkan dirinya.

   "Oh, tidak...tidak! Cici kau tidak boleh mati! kau boleh kawin dengan ayah sekarang. Aku tidak akan menghalang halanginya lagi. Aku telah menyadari bahwa hatiku selama ini memang buta, tidak dapat melihat ketulusan dan kebaikan budimu kepadaku...huhuhu...!" Souw Lian Cu menangis sejadi-jadinya, tampak benar betapa menyesalnya dia! Tentu saja pernyataan yang diucapkan oleh gadia itu benar-benar sangat mengejutkan para pendengarnya, terutama Siok Eng dan Pek Lian! Tapi dengan demikian mereka lantas bisa meraba-raba, apa yang sebenarnya telah terjadi antara Chu Bwee Hong dan keluarga Souw. Chu Seng Kun yang duduk berjongkok di samping mereka masih kelihatan termangu-mangu bagaikan patung batu yang tak bernyawa.

   Pemuda itu seperti tidak melihat dan mendengar ribut-ribut yang terjadi di dekatnya, matanya memandang kosong ke depan, mulut terkatup rapat, dan tangannya yang terkulai di samping tubuhnya itu tampak mencengkeram pasir di bawahnya! Kelihatan benar bahwa pemuda itu bertahan untuk tidak menangis, tetapi dari pelupuk matanya yang terbuka lebar itu tampak dengan jelas air matanya turun tak ada habisnya. Sekali-sekali wajahnya menunduk sebentar, menatap wajah adiknya yang terkulai diam di depannya. Walaupun wajah itu kotor dan berlepotan darah, tapi kecantikannya tetap tampak cemerlang. Seng Kun semakin tidak bisa membendung deras air matanya. Terbayang dalam pikirannya semua kenangan tentang adik satu-satunya itu.

   Dari kecil mereka berdua selalu menderita bersama. Sejak ayahnya pergi meninggalkan mereka dan ibunya, karena ayahnya ditangkap oleh tentara mendiang Kaisar Chin sampai mereka berdua diambil anak angkat oleh kakaknya sendiri karena ibunya juga meninggal, mereka berdua selalu bersama-sama. Mereka selalu merasakan susah dan gembira bersama, sehingga pada suatu hari mereka berdua juga terpaksa pergi dari rumah kakeknya karena kakek dan neneknya telah dibunuh orang pula. Makin dipikirkan Seng Kun semakin merasa kasihan terhadap adiknya. Adiknya hampir tak pernah merasakan kebahagiaan. Semenjak kecil hingga dewasa dia selalu menderita. Sampai ketika ia mulai jatuh cinta kepada seorang pria-pun ia mengalami kekecewaan. Pria tersebut ternyata telah beristeri dan punya anak.

   "Bwee Hong..." Seng Kun mengeluh dengan bibir gemetar. "Sungguh kasihan benar nasibmu, adikku..." Hampir saja Seng Kun tak bisa menahan sedu-sedannya. Untunglah dengan kekerasan hatinya ia mampu menindasnya.Untuk yang kesekian kalinya pemuda itu menatap wajah adiknya kembali. Wajah itu masih tetap tak berubah, masih tampak ayu dan cantik bukan main, seolah-oIah kulit itu tidak menjadi beku dan pucat. Sayang wajah yang sangat ayu itu ternyata tidak membawakan keberuntungan dan kebahagiaan kepada pemiliknya, tetapi justru mengundang bahaya dan malapetaka terhadap adiknya.

   Seorang lelaki dengan akal busuknya telah menipu dan menjebak adiknya, sehingga pada suatu hari Chu Bwee Hong hilang lenyap tak tentu rimbanya. Dua tahun lamanya dia mencari, naik gunung mendaki bukit, menyusup hutan dan desa tanpa mengenal lelah. Dia tak memikirkan lagi keadaan dirinya, sampai-sampai tunangannya sendiripun telah dilupakannya, sehingga banyak orang yang menganggap dirinya telah menjadi gila. Tiba-tiba Seng Kun mengeretakkan giginya. Setelah dua tahun dia mengalami penderitaan yang tidak ringan, dan kini bisa bertemu dengan adiknya...ternyata dia cuma bisa memeluk mayatnya! Di depan matanya Chu Bwee Hong dibunuh orang, dibunuh oleh...lelaki buruk yang menipu adiknya itu!

   "Bangsaaaaat...!" tiba-tiba pemuda itu berteriak keras sekali, sehingga mengagetkan yang lain-lain.

   "Demi Tuhan...aku tidak akan berhenti memburu engkau untuk mencincang dan membunuhmu!" geramnya lagi. Hampir saja dia meloncat untuk memburu Hek-eng-cu, untunglah Pek-iLiong-ong mendekapnya dari belakang.

   Jilid 24
"Seng Kun...mau kemana kau?" orang tua itu menghardik.

   "Aku akan mengejar Hek-eng-cu!"

   "Huh!" Pek-i Liong-ong mendengus, lalu melepaskan dekapannya. "Kemana engkau hendak mengejar dia?" Chu Seng Kun tergagap.

   "Entahlah...!" Pek-i Liong-ong tersenyum kecut. Tangannya menyentuh pundak Chu Seng Kun dan menyuruhnya duduk.

   "Kalau begitu jangan gegabah...! Pikirkanlah dahulu apa yang hendak engkau kerjakan, baru bertindak lebih lanjut! Marilah kau duduk dahulu, lohu hendak berbicara sedikit denganmu...!"

   "Koko, apa yang dikatakan oleh Lo-Cianpwe itu memang benar. kau tenangkanlah dahulu hatimu"!" tiba-tiba Kwa Siok Eng ikut membujuk dengan suara halus. Chu Seng Kun terperanjat. Suara merdu yang hampir satu tahun tak pernah didengarnya itu benar-benar bagaikan tetesan embun yang menyejukkan hatinya.

   "Eng-moi, kau...?" sapanya lirih hampir tak terdengar suaranya. Segala macam perasaan, kaget, gembira, rindu, sedih bergolak memenuhi rongga dadanya. Chu Seng Kun hampir hampir pemuda itu tak mempercayai pandang matanya sendiri. Tapi karena hatinya baru menderita kesedihan akibat kematian adiknya, semua perasaan tersebut hanya tertahan saja di hatinya. Pemuda itu hanya menatap tunangannya, kekasihnya dari tempatnya berdiri seakan tak percaya. Tapi semua orang tahu belaka apa yang terkandung di dalam hati pemuda itu terhadap tunangannya. Sinar mata pemuda itu ketika menatap kekasihnya seakan telah mengungkapkan semuanya!

   "Baiklah...!" akhirnya Chu Seng Kun menundukkan kepalanya, lalu duduk di atas pasir seperti yang diperintahkan oleh Pek-i Liong-ong.

   "Lo-Cianpwe, silahkan berbicara...!" angguknya kepada ketua Aliran Mo-kauw tersebut. Pek-i Liong-ong memegang lengan Chu Seng Kun, kemudian dengan pandang mata bersungguh-sungguh orang tua itu berkata,

   "Seng Kun, di antara kita semua yang menyebut dirinya ahli waris dari ilmu-ilmu mendiang Bu-eng-sin Yok-ong, banyak yang telah mampu mempelajari ilmu silat ciptaan beliau dengan sempurna. Tapi yang amat menyedihkan...hanya seorang saja selama ini yang mampu mewarisi ilmu pengobatannya yaitu Bu Kek Siang, kakekmu atau ayah angkatmu! Sayang karena kesalahpahaman yang berlarut-larut dia telah terbunuh oleh muridku.." orang tua itu menghentikan kata katanya sejenak untuk mengambil napas, lalu dengan nada sedih ia melanjutkannya lagi.

   "Coba kakekmu itu masih hidup...kukira adikmu justru bisa diselamatkan jiwanya."

   "Hah...?!?" Chu Seng Kun melompat saking kagetnya.

   "Adikku dapat diselamatkan? Me...mengapa Lo-Cianpwe berkata begitu? Bu...bukankah Chu" Chu Bwe Hong telah" telah...telah tiada?" dengan suara tinggi tapi seret sekali pemuda itu berseru. Tentu saja gerakan Chu Seng Kun yang amat mendadak, selagi semuanya telah kembali tenang itu juga mengagetkan pula orang-orang di sekitarnya. Otomatis Pek-i Liong-ong, Kwa Siok Eng dan Ho Pek Lian serta yang lain-lainnya, bangkit pula dengan segera! Kwa Siok Eng dengan cepat memeluk lengan pemuda itu, suaranya bergetar ketika berusaha membujuk tunangannya.

   "Koko, tenanglah...! Pek-i Liong-ong Lo-Cianpwe belum selesai berbicara..."

   "Benar, Twako...biarlah Pek-i Liong-ong Lo-Cianpwe menyelesaikan dahulu kata-katanya!" Ho Pek Lian ikut menenangkannya. Yang paling runyam menghadapi semua kejadian itu adalah orang-orang Bing-kauw yang tadi datang bersama dengan Chu Bwee Hong! Rasanya mereka menjadi salah tingkah untuk berbuat sesuatu! Sebenarnya, melihat keadaan isteri suhu mereka itu, mereka sudah gatal tangan untuk berbuat sesuatu. Rasa rasanya Put-sia Niocu dan kedua orang kakak seperguruannya. Put swi-kui dan Put ming-mo. sudah tidak tahan lagi untuk membiarkan tubuh Chu Bwee Hong menggeletak di sana. Sebetulnya mereka ingin segera mengangkat mayat itu pulang ke tempat mereka, dan mereka ingin lekas-lekas mengantarkannya kepada guru atau ketua mereka!

   Tetapi melihat tubuh tersebut dipeluk dan diratapi oleh beberapa orang muda yang tampaknya adalah keluarga atau sahabat dari Chu Bwee Hong sendiri, malah agaknya salah seorang diantaranya justru saudara kandung dari isteri suhu mereka itu, maka mereka menjadi ragu-ragu dan tak berani mengganggu. Mereka bertiga hanya saling pandang dengan bingung serta tak tahu apa yang seharusnya mereka lakukan. Wajah mereka kelihatan tegang dan pucat. Sementara itu Chu Seng Kun telah menjadi tenang kembali. Perlahan-lahan Pek-i Liong-ong lalu mengajaknya duduk di atas pasir seperti tadi. Ho Pek Lian dan yang lain-lain segera ikut duduk pula mengitari mereka, seolah-olah mereka takut tidak bisa mendengarkan apa yang hendak dikatakan oleh ketua Aliran Mo-kauw tersebut.

   Yap Tai-Ciangkun yang telah selesai pula mengatur para perajuritnya, perlahan-lahan juga datang menghampiri tempat itu. Tetapi melihat wajah wajah mereka yang tegang, panglima muda tersebut segera menghentikan langkahnya. Panglima itu tampaknya tak ingin mengganggu mereka, apalagi di sana ada Ho Pek Lian, murid kesayangan Kaisar junjungannya. Maka wajahnya yang tampan itu segera berpaling, kemudian mendongak ke atas. memandang ke arah bintang-bintang yang mulai pudar karena langit telah mulai terang disentuh sinar matahari fajar. Beberapa saat kemudian kepalanya tertunduk kembali, mengawasi barisan para perajuritnya yang berbaris pergi meninggalkan tempat itu. Beramai-ramai mereka menggotong kawan-kawan mereka yang terluka atau yang mati, naik ke atas tebing dipimpin oleh Gui-Goanswe.

   "Lo-Cianpwe, apakah...apakah maksud perkataan Lo-Cianpwe tadi?" Chu Seng Kun yang telah menjadi tenang kembali itu menatap ke arah Pek-i Liong-ong dengan pandang mata penuh harap. Sebaliknya orang tua itu tampak menghela napas dengan hati-hati sebelum menjawab pertanyaan tersebut. Baru setelah beberapa saat kemudian ketua aliran Mo-kauw yang amat terkenal itu membuka mulut untuk memberi keterangan. Mula-mula dia berceritera tentang hal Bu-eng Sin-yok-ong dan Datuk-datuk Besar Persilatan yang hidup pada zamannya. Kemudian dia juga bercerita tentang kehebatan dan kedahsyatan ilmu orang-orang tua tersebut. Begitu dahsyatnya ilmu mereka sehingga sepintas lalu mereka seperti dapat menciptakan sebuah mujijat!

   "Seng Kun, engkau tentu pernah diberi tahu oleh Bu Kek Siang tentang tingkah maupun adat kebiasaan yang aneh-aneh dari mendiang Empat Datuk Besar Persilatan tersebut, bukan? Misalnya, mereka berempat selalu saja berlomba lomba meningkatkan kepandaian mereka masing-masing, untuk kemudian setiap lima tahun sekali mereka mengadakan suatu pertemuan guna memperlihatkan kehebatan ilmu masing-masing!"

   "Ya...yaa!" Chu Seng Kun mengangguk-angguk.

   "...Dan kau tentu telah mendengar pula bahwa pada pertemuan mereka yang terakhir di Gunung Hoa-san yaitu sebelum mereka ditaklukkan satu-persatu oleh kakek Souw, masing-masing telah sempat mengeluarkan kehebatan dan kedahsyatan ilmu mereka..."

   "Ya...yaa, benar!"

   "Nah, di dalam pertemuan itulah Bu-eng sin-yok-ong telah membuat suatu mukjijat di depan lawan-lawannya, sehingga mereka menjadi takluk dan menjunjungnya sebagai orang yang terlihai diantara mereka berempat..."

   "Ehmmm...ya?"

   "Seng Kun, tahukah kau mukjijat apakah yang telah dipertunjukkan oleh mendiang cikal bakal perguruan kita itu?"

   "Aku...aku..." Seng Kun tidak bisa segera menjawab. Pek-i Liong-ong tersenyum.

   "Mendiang suhu waktu itu...menghidupkan kembali seekor kelinci yang sengaja telah dibunuh lebih dahulu oleh mereka!" katanya penuh rasa kagum dan bangga. Di dalam mengucapkan kata-kata "menghidupkan kembali" tadi Pek-i Liong-ong sengaja mengejanya dengan perlahan tapi nadanya jelas dan keras, sehingga Chu Seng Kun bagai diketuk hati dan perasaannya.

   "Ouhhh...??!" pemuda itu berdesah dengan termangu mangu. Matanya menjadi kosong ke depan, sementara bibirnya yang pucat itu bergetar dengan tegang.

   "...Menghidupkan kembali...ya, menghidupkan kembali seekor kelinci yang telah mati! Ahh..." Tiba-tiba pemuda itu melesat ke depan melewati kepala Souw Lian Cu yang duduk di mukanya! Dengan amat tangkas lengannya menyambar mayat Chu Bwee Hong,...dan membawanya ke tempat yang bersih dan terlindung diantara batu-batu karang yang berserakan di pantai itu. Tentu saja yang lain-lain menjadi terkejut sekali, kecuali Pek-i Liong-ong. Orang tua itu segera mencegah Kwa Siok Eng dan kawan-kawannya yang hendak mengejar pemuda tersebut.

   "Jangan khawatir! Biarlah dia mengerahkan segala kemampuannya untuk menghidupkan kembali adiknya, moga moga berhasil dan belum terlambat! Marilah kita ikut berdoa...!"

   "Menghidupkan kembali...? Bagaimana mungkin?" Put ming-mo dan Put-swi kui berdesah tak percaya. Begitu pula dengan Souw Lian Cu dan Put-sia Niocu. Sementara Yap Tai-Ciangkun yang juga mendengar apa yang dikatakan oleh ketua Aliran Mo-kauw tadi ikut menjadi terheran-heran pula. Tapi panglima muda yang juga seorang keturunan dari salah seorang Datuk Besar Persilatan itu, pernah pula mendengar cerita tentang kelinci tersebut dari ayahnya.

   "Sudahlah, kalian tak usah heran! Mendiang Bu-eng Sinyok-ong memang mempunyai ilmu pengobatan yang susah diukur tingginya. Dan diantara seluruh anak cucu muridnya mungkin hanya pemuda itulah yang dapat mewarisi ilmu kepandaiannya tersebut..." Pek-i Liong-ong memberi keterangan lagi. Demikianlah, dengan perasaan tegang dan hati berdebar mereka menantikan hasil pengobatan itu. Yap Tai-Ciangkun tampak menghampiri Pek-i Liong-ong dan berbicara satu sama lain dengan suara lirih. Sedangkan Souw Lian Cu paling tampak gelisah dan tegang diantara semuanya, kelihatan mondar-mandir dengan air mata tetap bercucuran. Sementara Kwa Siok Eng, Ho Pek Lian dan tiga orang murid Bing-kauw itu juga tampak gelisah bukan main.

   Cuma mereka bisa sedikit menahan diri sehingga tidak mondar-mandir seperti Souw Lian Cu. Mereka hanya berdiri diam dengan mata tak berkedip, memandang ke arah mana Chu Seng Kun tadi membawa adiknya. Chu Seng Kun sendiri setelah selesai membaringkan tubuh Chu Bwee Hong di tempat yang bersih dan terlindung, segera membuka semua pakaian yang melekat di badan gadis itu. Sejenak pemuda itu menatap wajah adiknya yang tetap gilang-gemilang meskipun wajah itu dikotori oleh pasir dan bercak-bercak darah roti yang membeku. Sedikitpun kulit itu tidak menjadi pucat membiru ataupun menjadi kaku membeku. Malah ketika tangannya meraba pipi dan dahi adiknya, kulit tersebut juga tidak terasa dingin seperti layaknya seorang yang sudah mati.

   "Benar! Benar...dia belum mati! Dia belum mati! Aku harus mencobanya...aku harus mencobanya! Ya, Tuhan" aku harus mencoba menggunakan ilmu Mengikat Nyawa Menyambung Jalan Darah itu, mulutnya berkemak-kemik seperti orang yang sedang berdoa. Beberapa saat lamanya Chu Seng Kun termenung, mengingat-ingat catatan yang pernah dibacanya dalam buku ilmu pengobatan peninggalan Bu-eng Sin-yok-ong.

   
Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Di bagian akhir dari buku tersebut ada tertulis sebuah catatan tentang batas "mati-hidup" manusia atau binatang di mata seorang tabib atau seorang ahli pengobatan! Menurut Bu-eng Sin-yok-ong mati itu ada dua macam, yaitu yang ia namakan mati sempurna dan mati belum sempurna! Kadang-kadang di dalam masyarakat umum, seseorang telah dianggap mati hanya karena detak nadinya sudah tidak ada lagi atau pernapasannya telah berhenti berjalan. Padahal anggapan seperti itu belum tentu benar. Mungkin orang itu memang sudah tidak bernapas lagi dan urat nadinya juga sudah tidak berdenyut pula, tetapi apabila alat-alat tubuh penting lainnya, seperti jantung atau yang lain, masih tetap tetap berfungsi, meskipun lemah sekali, bagi Bu-eng sin-yok-ong keadaan seperti itu belum dapat disebut mati.

   

Darah Pendekar Eps 26 Darah Pendekar Eps 13 Darah Pendekar Eps 36

Cari Blog Ini