Ceritasilat Novel Online

Memburu Iblis 24


Memburu Iblis Karya Sriwidjono Bagian 24




   "Hmnmh... itukah tempat-tinggal majikan kalian? Bagus kalau begitu lekaslah kalian beritahu dia, bahwa aku hendak menjumpainya!" Liu Yang Kun tiba-tiba berseru.

   "Benar. Marilah tuan masuk ke dalam. Para penjaga tentu telah melaporkan kedatangan kita kepada Tuan Coa," si tinggi besar menjawab sedikit keras pula. Keberaniannya pulih kembali setelah berada di sarangnya. Rumah besar itu memang agak terpisah dengan perumahan penduduk yang lain. Dan letaknyapun juga di tempat yang lebih tinggi dari pada tanah di sekitarnya. Sekilas pandang Liu Yang Kun segera memuji letaknya yang strategis. Apalagi bangunan tersebut menghadap ke arah tikungan sungai, sehingga dari atas pendapa dapat dilihat lalu-lintas perahu dari segala jurusan. Baik yang datang dari arah hulu, maupun yang datang dari arah hilir.

   Sementara di belakang bangunan rumah tersebut adalah lereng bukit yang lebat dengan pepohonan dan semak belukar. Untuk mencapai bangunan rumah itu mereka harus melangkah melalui trap-trap atau tangga, yang dibangun melingkar lingkar diantara pertamanan penuh bunga. Indahnya bukan main. Apalagi ketika Liu Yang Kun sudah menginjak pendapa rumah itu. Dari sana pemuda itu bisa menyaksikan pemandangan yang amat mempesonakan di bawahnya. Aliran sungai yang berkelok-kelok berwarna biru kehijauan. Perahu-perahu yang beraneka-warna bentuk maupun rupanya. Tebing-tebing sungai yang berbatu karang kecoklatan. Dan tetumbuhan yang lebat kehijauan di sekitar sungai itu. Sementara tiupan anginpun terasa semilir menyejukkan. Sungguh suatu tempat yang lebih pantas disebut sebagai tempat peristirahatan dari pada rumah biasa!

   "Silahkan masuk, siauw-hiap (pendekar muda)! Tuan Coa telah lama menunggumu," tiba-tiba terdengar suara melengking dari dalam pendapa. Liu Yang Kun terkejut.

   "Inilah dia orangnya yang betul-betul berisi"" gumamnya sambil mengerahkan sinkangnya untuk melindungi dadanya, karena suara itu terasa mengalun menggempur pemusatan pikirannya.

   "Terima kasih...!" pemuda itu menjawab. Dan pemuda itu sengaja mengerahkan lweekangnya pula untuk melawan getaran suara tersebut. Bahkan dengan kekuatan ilmu yang telah ia kembangkan sendiri dari lembaran-lembaran yang hilang dari buku peninggalan mendiang Bit-bo-ong, Liu Yang Kun mampu mengembalikan serangan-serangan gelombang suara itu ke arah pemiliknya.

   "Aaaaah!" terdengar desah kaget dari orang yang berada di dalam pendapa itu. Liu Yang Kun menaiki tangga dan kemudian melangkah ke dalam pendapa. Dengan tenang matanya mengawasi deretan pengawal yang berjaga-jaga di dalam ruangan itu. Ia berhenti di depan Coa In Lok yang telah duduk di dalam ruangan itu pula. Tengkulak kaya itu berdiri menyambutnya. Namun pemuda itu tidak begitu mempedulikannya. Ia sedang mencari orang yang telah menyerangnya dengan gelombang suara tadi. Gelombang suara yang ternyata mampu menggetarkan isi dadanya.

   "Dimanakah dia? Aku tidak boleh lengah menghadapinya. Dia mampu mengembangkan ilmu sejenis ilmu Sai-cu Ho kang (Auman Singa), sehingga ia bisa menyerang lawan tanpa harus berteriak atau menggeram keras-keras. Dia tentu telah memiliki tenaga dalam yang sangat sempurna." Tiba-tiba Liu Yang Kun menjadi tegang. Di pojok ruangan tampak seorang kakek tampan sedang duduk melenggut di kursinya. Matanya yang tajam mengerikan itu memandang tak berkedip kepadanya. Kelihatannya kakek tampan itu juga terkejut melihat dirinya.

   "Giok-bin Tok ong...?" Liu Yang Kun berbisik seolah tak percaya.

   "Kau... kau belum mati juga?" kakek tampan yang tak lain adalah Si jago Silat Nomer Empat di dunia itu berdesah parau pula. Ternyata mereka dengan cepat saling mengenali wajah masing-masing. Meskipun keduanya cuma pernah bertemu sekali saja, yaitu ketika mereka bertempur di Lembah Dalam setahun yang lalu, namun keduanya tak mungkin bisa melupakan wajah masing-masing.

   Giok-bin Tok-ong tak mungkin bisa melupakan wajah Liu Yang Kun, seorang pemuda ingusan yang mampu menandingi bahkan hampir saja mengalahkannya. Sebaliknya Liu Yang Kun juga tidak mungkin bisa melupakan orang yang membuatnya terkurung dalam tanah selama setahun itu. Sementara itu melihat tamunya sudah saling mengenal dengan Giok-bin Tok-ong, Coa In Lok diam-diam menjadi bergembira malah. Dia telah mendapat laporan lengkap tentang Liu Yang Kun dari anak buahnya bahkan sekilas ia telah melihatnya sendiri tadi pagi. Melihat kesaktian Liu Yang Kun, diam-diam Coa In Lok justru berharap dapat menariknya menjadi pengawalnya malah. Ia sama sekali tidak peduli bahwa pemuda itu telah membunuh mati belasan anak-buahnya.

   "Ah... jadi tuan telah saling mengenal dengan Giok bin Lo-Cianpwe? Maaf...! Maaf...! Kalau begitu kita semua ini masih segolongan. Hmm, kalau kami tahu sebelumnya, takkan terjadi keributan-keributan seperti ini, hi-hi-hi..." Coa In Lok mulai menjilat dan berusaha mengambil hati Liu Yang Kun.

   Tapi tengkulak kaya itu terkejut bukan main ketika kedua orang tamunya tersebut tiba-tiba mendengus berbareng. Bahkan Liu Yang Kun kemudian menggeram seraya mengepalkan tinjunya. Pemuda itu tampak menatap Giok-bin Tok-ong dengan sinar mata geram dan benci. Begitu pula sebaliknya. Mereka saling pandang bagaikan dua ekor kucing yang hendak berkelahi. Perlahan-lahan Giok-bin Tok-ong turun dari kursinya, kemudian melangkah mendekati Liu Yang Kun. Otot-ototnya tegang, siap untuk menerkam. Begitu pula sebaliknya dengan Liu Yang Kun! Pemuda itu perlahan lahan juga melangkah ke samping, ke tempat yang lapang. Dari celah-celah bibirnya yang mulai terdengar suara desisnya yang khas kalau sedang mengerahkan tenaga sakti Liong-cu i-kangnya. Yang menjadi sangat cemas dan gelisah justru Coa In Lok sekarang!

   "Lo-Cianpwe! Lo-Cianpwe...! A-ada apa sebenarnya? Siapakah dia? Mengapa Lo-Cianpwe bersikap bermusuhan dengannya?" jeritnya kebingungan. Kakinya melangkah ke depan Giok-bin Tok-ong untuk melerai. Tapi kakek tampan yang wataknya seperti iblis itu mendadak mengebutkan ujung lengan bajunya. Dan hembusan angin yang dahsyat tiba-tiba mendorong tubuh Coa In Lok, sehingga tengkulak kaya itu terjengkang ke belakang, kemudian terbanting ke lantai! Mulutnya mengeluarkan darah segar!

   "Lo-Cianpwe...? Kau... kau...?" Lengkingnya parau seolah-olah tak percaya apa yang telah dilakukan orang-tua itu kepadanya. Kedua telapak tangannya menekan dadanya yang terasa sesak luar biasa. Meskipun tampak sangat segan dan takut, namun para penjaga yang ada di dalam pendapa itu segera bersiap siap untuk membantu majikan mereka. Tapi ketika Giok-bin Tok-ong mendelik ke arah mereka, mereka pun segera mundur pula kembali. Tampaknya mereka benar benar takut dan ngeri kepada orang tua itu.

   "Jangan ikut campur! Pemuda itu adalah musuh lamaku! Aku akan membunuhnya!" Giok-bin Tok-ong membentak. Namun dengan suara garang Liu Yang Kun juga menggeram.

   "Nanti dulu, Kakek tua. Persoalanmu dan persoalanku dapat diselesaikan belakangan. Tujuan Utamaku kemari adalah untuk meminta pertanggung-jawaban Coa In Lok dahulu. Setelah itu kita berdua dapat berlaga sepuas hati."

   "Bangsat! Persetan dengan urusanmu. Pokoknya..." kakek tampan itu mendengus dengan mata merah. Namun tiba-tiba pula mata itu meredup. Agaknya sesuatu telah me lintas di dalam otak orang tua yang kejam, keji dan licik luar biasa itu.

   "Hmm... bolehlah! Kau kuberi waktu sebentar untuk menyelesaikan urusanmu dengan manusia goblog tapi rakus itu! Tapi setelah itu..." ujarnya kemudian dengan suara sedikit mengendor.

   "Hah? Lo-Cianpwe, kau...? Mengapa Lo-Cianpwe berbalik pikiran terhadap aku? Bukankah selama ini kami selalu berbaik-hati kepada lo Cianpwe? Mengapa sekarang Lo-Cianpwe tiba-tiba... tiba-tiba...?" Coa In Lok memotong dengan suara penasaran. Giok bin Tok-ong tertawa terkekeh-kekeh.

   "Heh-heh-heh...! Terima kasih atas bantuanmu selama setengah tahun lebih ini. Kini aku sudah sembuh dari luka-lukaku, dan juga sudah selesai pula mempelajari Buku Rahasia yang kuperoleh dulu itu. Aku sekarang tak memerlukan bantuanmu lagi. Oleh karena itu, heeh-heh-he... persetan dengan urusanmu!"

   "Jadi... jadi Lo-Cianpwe telah melupakan janji itu?" Coa In Lok berseru geram.

   "Siapa berjanji kepadamu? Bukankah kita cuma saling bertukar 'kebaikan' saja selama ini? Engkau memberi aku tempat untuk menumpang, sementara aku mengajarimu ilmu tentang racun. Nah, walaupun ilmu racun yang telah kuberikan itu cuma kulitnya saja, tapi hal itu sudah cukup bagimu untuk menggertak orang lain. Bukankah dengan demikian semuanya sudah impas dan tiada utang piutang lagi?" enak saja kakek tampan itu menjawab.

   Lalu sambil melenggang seenaknya pula kakek itu melangkah kembali ke kursinya. Sungguh amat geram dan kesal hati Coa ln Lok. Tapi apa daya? Dia dan anak-buahnya tak berani berbuat apa-apa terhadap orang tua itu. Kakek tampan itu memiliki kemampuan seperti Iblis sementara wataknya juga sangat sulit diduga pula. Salah-salah kakek itu menjadi marah, ia tak bisa membayangkan apa jadinya rumah itu beserta seluruh isinya. Coa In Lok sudah tahu benar sifat dan perangai Giok-bin Tok ong, karena sudah lebih dari setengah tahun ini ia melayani orang tua aneh itu. Dahulu kedatangan kakek itu juga disambutnya dengan kekerasan. Tapi hanya dengan semburan ludahnya saja kakek tampan itu mampu membunuh seluruh pengawalnya. Padahal waktu itu Giok-bin Tok-ong sedang terluka berat.

   "Coa in Lok, bangunlah! Aku akan berbicara kepadamu...!" tiba-tiba terdengar suara Liu Yang Kun menyadarkan tengkulak kaya itu dari lamunannya.

   "Oh...?!" Coa In Lok mengeluh, lalu bangkit berdiri dengan tergesa-gesa. Walaupun orang yang selalu melindunginya selama ini telah cuci tangan dan tak mau ikut campur lagi, tapi Coa In Lok mencoba untuk tetap berlaku garang di depan anak buahnya. Sambil menyiapkan 'sesuatu' di balik sapu tangannya tengkulak kaya yang sangat disegani dan ditakuti di daerah itu menghadapi Liu Yang Kun. Namun bagaimanapun juga sikap dan perbawa pemuda itu tetap membuatnya gemetaran jua.

   "A-a-apa yang hendak tuan bicarakan dengan aku?" tanyanya seraya mengusap keringat dingin yang mendadak membanjiri lehernya. Liu Yang Kun melirik sekilas kepada Giok-bin Tok-ong. Melihat kakek sakti itu benar-benar berdiam diri di kursinya, pemuda itu menjadi lega.

   "Coa In Lok! kau masih ingat peristiwa di atas sungai pagi tadi?" kata pemuda itu kemudian dengan suara yang menggetarkan hati. Coa In Lok semakin berdebar-debar hatinya. Tapi ketika para pengawal yang ada di dalam ruangan itu kemudian berkumpul di belakangnya, nyalinya menjadi besar kembali.

   "Tuan... tuan maksudkan... perselisihan kami dengan Ciok Kwan itu?"

   "Benar. Perselisihan yang mengakibatkan keributan besar, sehingga kau banyak kehilangan pengawal dan penduduk yang tak berdosa banyak kehilangan harta-bendanya itu."

   "Tapi... tapi aku tak bermaksud...?"

   "Persetan dengan alasanmu! Yang jelas karena ulahmu tadi pagi, tiga orang penduduk telah kehilangan perahunya. Dan duabelas penduduk lainnya juga telah kehilangan sampannya. Semuanya habis terbakar oleh obor-obor yang dibawa para pengawalmu."

   "Tapi...?" Coa In Lok masih mencoba membela diri.

   "Lebih dari pada itu, karena ulahmu itu pula... perahuku juga ikut terbakar musnah! Oleh karena itu kau harus bertanggung-jawab terhadap seluruh kerugian ini! Kalau sebuah perahu ditaksir seharga dua ribu tail dan sebuah sampan seharga se ratus tail, maka kau harus mengganti setidaknya sepuluh ribu tail."

   
"Se-pu-luh ri-bu ta-il...? Oh, mana aku punya uang sebanyak itu! Ka-kalau pun misalnya ada, u-u-uang itu-pun... takkan kugunakan untuk mengganti kerugian itu. Dua ribu tail terlalu tinggi untuk sebuah perahu, sementara se ratus tail juga terlalu banyak untuk mengganti sebuah sampan."

   "Punya atau tidak... itu urusanmu! Pokoknya kau harus mengganti semua kerugian itu! Kalau engkau tidak mau, hmmmh... akupun akan membakar pula seluruh bangunan rumahmu ini beserta isinya. Apabila kau melawan, he-he-he... akan kuhabiskan juga kau dan semua anak-buahmu. Habis perkara!" Liu Yang Kun mengancam dengan gigi terkatup rapat.

   "Aku tidak mau menuruti permintaanmu! Tangkap pemuda itu!" tiba-tiba Coa ln Lok menjerit keras sekali. Tangannya menggapai anak buahnya supaya mengeroyok Liu Yang Kun.
(Lanjut ke Jilid 24)

   Memburu Iblis (Seri ke 03 - Darah Pendekar)
Karya : Sriwidjono

   Jilid 24
Dan para pengawal tengkulak kaya itupun lantas meloncat berserabutan ke depan, menyerang Liu Yang Kun! Berbagai macam senjata mereka menyambarnyambar ke tubuh Liu Yang Kun seakan-akan hendak mencacah-cacah menjadi beberapa bagian. Tapi hanya dengan mengerahkan sedikit ilmu mengentengkan tubuhnya yang tinggi, Liu Yang Kun dapat membebaskan diri dari hujan senjata tersebut. Begitu gesitnya gerakan tubuhnya ketika menghindar atau menyelinap diantara ayunan senjata lawan-lawannya, sehingga mata Giok bin Tok-ong yang tua itupun sampai terbeliak dibuatnya.

   "Bangsat! Bocah itu seperti lalat saja gesitnya!" orang-tua itu bergumam.

   "Aku harus berhati hati terhadap ginkangnya itu...!" Dan ketika pada suatu saat Liu Yang Kun tidak bisa mengelak atau tidak mempunyai kesempatan untuk menghindari sabetan pedang lawannya, sehingga dengan demikian terpaksa pemuda itu mengerahkan sinkang untuk menangkisnya, Giok-bin Tok-ong semakin menjadi kaget menyaksikannya. Karena secara tak terduga pedang yang dibuat dari besi-baja itu telah patah menjadi tiga bagian ketika membentur lengan Liu Yang Kun!

   "Gila...! Lweekang bocah itu tampaknya juga telah mencapai kesempurnaannya pula! Aku... aku... benar-benar tak boleh alpa sedikitpun dalam melawannya nanti. Tampaknya bocah itu telah melonjak pula ilmu kepandaiannya. Hmm... untunglah aku juga sudah memperoleh kesempatan untuk mempelajari Buku Rahasia, biarpun hanya sebagian saja." Ternyata raja-racun yang licik dan keji itu telah mempergunakan kesempatan tersebut untuk menilai kemampuan Liu Yang Kun. Meskipun di dalam hatinya orang tua itu juga merasa dapat melakukan apa yang telah dilakukan oleh Liu Yang Kun itu, namun diam-diam hatinya juga mengakui bahwa kepandaian pemuda itu tampaknya tidak berada di bawah dirinya.

   "Pokoknya aku tidak boleh lengah menghadapinya!" gumamnya bersungguh-sungguh. Sementara itu Coa In Lok dan anak-buahnya menjadi kaget dan ketakutan pula menyaksikan 'kesaktian' Liu Yang Kun. Kalau senjata mereka tidak bisa melukai pemuda itu, dengan apa lagi mereka melawan? Tiba-tiba Liu Yang Kun tertawa mengerikan. Tampaknya pemuda itu tahu pula bahwa lawan-lawannya telah mulai ketakutan menghadapinya. Oleh karena itu dengan suara berat ia menggertak mereka.

   "Huh! Apakah kalian tidak mau juga menyingkir dari depanku? Baiklah! Aku akan mulai bersungguh-sungguh sekarang! Siapa saja yang tidak mau menyingkir dari depanku... tentu mati! Setelah itu... akan kubakar habis rumah ini!" Ternyata gertakan tersebut benar-benar telah meruntuhkan nyali mereka. Seperti memperoleh aba-aba saja, mereka segera membuang senjata masing-masing, kemudian lari lintang pukang meninggalkan tempat itu. Tak seorangpun yang tinggal lagi di pendapa itu selain Coa In Lok dan Giok-bin Tok-ong.

   "Berhenti...! Berhenti! Kenapa kalian pergi meninggalkan aku? Oouugh!" tengkulak-kaya itu berteriak-teriak memanggil orang-orangnya. Tapi tak seorangpun yang mempedulikannya. Oleh karena itu Coa In Lok semakin menjadi ketakutan hatinya.

   "Lo-Cianpwe, toloooong...?" pintanya kemudian kepada Giok-bin Tok-ong.

   "Huh!" kakek tampan itu mendengus dan mendelikkan matanya malah. Sekali lagi Liu Yang Kun tertawa panjang.

   "Hahaha... sekarang kau tahu juga, bagaimana rasanya takut itu? Selama ini tentu tidak pernah terbayangkan olehmu, bagaimana penderitaan orang-orang yang telah kau tindas, kau rampas miliknya dan kau aniaya keluarganya itu, bukan?"

   "Maafkan aku, tuan. A-a-aku menyesal... Aku akan ber-ber-bertobat. aku takkan... takkan berbuat seperti itu lagi. Tapi... tapi berilah aku hidup. Jangan... jangan tuan bakar rumahku..." Coa In Lok membentur-benturkan dahinya di lantai dan meratap serta menangis minta pengampunan Liu Yang Kun. Namun dengan suara geram pemuda itu membentak,

   "Diam! Kini kau meratap ketakutan di depanku. Tapi kau tak ingat betapa banyak sudah dosa yang telah kau perbuat. Berapa banyak orang yang telah kausiksa, kau bunuh dan kau buat menderita hidupnya. Bagaimana kau hendak membayar semuanya itu? Tidak...! Aku tidak akan mengampunimu! Kau harus mati! Kalau kau masih tetap hidup, kau tetap akan menjadi ular berbisa yang membahayakan orang-orang di sekitarmu! Nah... sekarang bersiaplah untuk mati! Kenangkanlah semua dosa-dosa yang pernah kaubuat lalu mintalah pengampunan dari Thian! Aku akan membunuhmu!"

   Lalu Liu Yang Kun pura-pura mengangkat tangannya, karena sebenarnya pemuda itu juga tidak bermaksud untuk membunuh lawannya. Pemuda itu hanya ingin menggertak saja, agar tengkulak yang telah biasa berbuat jahat terhadap penduduk miskin itu menjadi takut dan sadar akan dosa-dosanya. Tapi tiba-tiba... Tak terduga tengkulak kaya itu bangkit berdiri. Dengan cepat tangannya yang memegang sapu-tangan tadi terayun ke depan, dan... sebutir benda bulat sebesar telur penyu melesat ke dada Liu Yang Kun!

   "Wuuuuuut!"

   "Hei? Pek-lek-tan..??" Giok-bin Tok-ong tiba-tiba menjerit.

   "Haaaah...???" pekik Liu Yang Kun pula. Kemudian bagai berlomba, Liu Yang Kun dan Giok-bin Tok-ong berusaha meninggalkan tempat berbahaya itu secepatnya sebelum senjata peledak yang mengerikan itu memusnahkan semuanya. Liu Yang Kun yang langsung menghadapi peluru itu cepat menjejakkan kakinya ke lantai. Menjejak dengan sekuat tenaganya, sehingga lantai itu amblong (melesak ke bawah) dan tubuhnya melesat bagai anak panah ke atas, menghantam atap pendapa serta menghancurkan puluhan genting di atasnya. Dan pek lek-tan itu luput mengenal dirinya. Sementara itu pada waktu yang bersamaan Giok-bin Tok-ong juga berusaha menghindarkan diri dengan segala kemampuannya. Karena ia berada di dekat dinding pendapa, maka dengan mengerahkan seluruh lweekangnya ia menerjang dinding tebal itu sekuat tenaganya pula.

   "Bhrroooooll...!" Dinding pendapa yang tebal itu jebol dan roboh dengan suara yang bergemuruh. Namun suara-suara itu, baik suara hiruk-pikuk yang diakibatkan oleh Liu Yang Kun maupun suara gemuruh yang disebabkan oleh Giok-bin Tok-ong, segera hilang lenyap dalam kedahsyatan suara ledakan pek-lek-tan! Senjata peledak buatan Giok-bin Tok-ong itu meledak dengan suara dahsyat, menghancurkan dan menerbangkan seluruh isi pendapa itu kemana-mana, termasuk pula di dalamnya Liu Yang Kun dan Giok-bin Tok-ong sendiri. Meskipun telah berusaha menjauhkan diri dari peluru yang mengerikan itu, namun hembusan angin yang diakibatkan oleh ledakan peluru tersebut ternyata masih tetap saja melemparkan tubuh mereka sekuatnya!

   Liu Yang Kun seperti dilontarkan oleh angin puting-beliung jauh tinggi ke udara. Sementara Giok-bin Tok-ong sendiri juga terlempar jauh ke halaman, dan... tercebur ke dalam sungai. Sekejap kemudian hampir seluruh rumah milik Coa In Lok itu telah rata dengan tanah. Tak seorangpun dari para penghuninya yang bisa lolos dari neraka itu, termasuk Coa In Lok sendiri. Mereka hancur lebur bersama dengan tempat kediaman mereka itu. Dan yang tampak sekarang hanyalah puing-puing rumah berserakan, di mana asap dan debu masih tampak mengepul di mana-mana. Dengan Bu-eng Hwe-tengnya yang telah sempurna Liu Yang Kun bisa mendarat dengan selamat di tengah-tengah puing-puing tersebut. Pakaiannya tampak terkoyak di beberapa tempat, sehingga baju kulit-ularnya sedikit kelihatan dari luar. Namun demikian tak segores lukapun yang tampak pada tubuhnya.

   "Kurang ajar! Dari mana orang itu memperoleh pek-lek-tan? Tak mungkin kalau Giok-bin Tok-ong yang memberikannya. Tak mungkin kakek sakti itu mau memberikan senjata andalannya itu kepada dia. Tentu Coa In Lok itu yang mencurinya. Hmmh... kurang ajar! Bagaimana aku sekarang harus minta ganti kerugian itu?" Liu Yang Kun bersungut-sungut sambil mengedarkan pandangannya kesana kemari. Ditatapnya reruntuhan yang berserakan di sekitarnya.

   "Hei...?" tiba-tiba pemuda itu berseru gembira. Di bawah reruntuhan almari Liu Yang Kun melihat uang emas dan perak berserakan di atas lantai. Bahkan di dekatnya masih ada sebuah peti kecil yang tertutup rapat tutupnya.

   "Bagus! Akhirnya aku memperoleh uang pengganti pula untuk perahu yang terbakar itu..." Liu Yang Kun lalu mengumpulkan uang yang berserakan itu ke dalam sobekan kain, kemudian mengikatkannya sekalian di pinggangnya. Namun ketika tangannya menyentuh peti kecil itu, tiba tiba hatinya menjadi berdebar-debar. Ia menjadi curiga, jangan-jangan ada perangkap atau jebakan di dalam peti itu. Siapa tahu peti itu berisi pek-lek-tan pula? Pemuda itu lalu melompat mundur. Diambilnya sebutir kerikil, kemudian dari jarak yang cukup jauh ia menimpukkannya ke peti itu. Thak!

   "Bhussssssh...!" Betul juga. Ketika kemudian peti itu pecah tiba-tiba dari dalamnya menyembur asap tebal disertai taburan jarum ke segala penjuru. Bahkan di balik gumpalan asap tebal tersebut masih terdengar pula suara dengungan kawanan lebah yang sedang marah. Liu Yang Kun cepat berjongkok dan berlindung di belakang reruntuhan tembok. Setelah asap itu hilang dan kawanan lebah itu pergi, ia baru berani keluar. Namun tiba-tiba matanya terbeliak. Keningnya berkerut. Karena di dalam peti yang pecah itu tampak sebuah buku kumal yang telah menguning saking tuanya. Sekejap pemuda itu tertegun. Tapi sesaat kemudian ia telah membungkuk untuk memperhatikan buku kumal tersebut.

   "Buku Rahasia...??" desahnya kemudian ketika terbaca tulisan pada sampul buku itu. Tak terasa tangan Liu Yang Kun telah menyentuh buku itu dan mengambilnya. Tapi sekali lagi pemuda itu menjadi kaget. Ternyata buku itu sudah tidak utuh lagi. Di balik kulit muka dari buku kumal itu ternyata cuma ada beberapa lembar saja.Lembar-lembar selanjutnya beserta kulit belakangnya ternyata sudah tiada lagi alias sudah hilang. Untuk beberapa saat lamanya pemuda itu malah menjadi termangu-mangu dan gelisah memikirkan buku itu.

   "Benarkah buku ini Buku Rahasia yang ramai dibicarakan orang itu? Tapi mengapa berada di sini dan sudah tidak utuh lagi? Masakan Coa In Lok yang menyimpannya...? Ah, tak mungkin! Hm... jangan-jangan Giok-bin Tok-ong itu yang menyimpannya." Begitu teringat akan Giok-bin Tok-ong pemuda itu menjadi berdebar-debar hatinya. Tak terasa kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri.

   "Eh... kemana orang tua itu tadi? Masakan ia tak bisa menyelamatkan diri dari keganasan senjatanya sendiri?"

   "Kresek... kresek!" Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang sangat banyak mendatangi tempat itu. Secepat kilat Liu Yang Kun memungut buku yang sangat menarik hatinya itu dan menyimpannya di balik bajunya.

   "Buku ini sangat menarik. Aku akan membacanya." gumamnya seraya berdiri. Beberapa puluh orang penduduk di sekitar tempat itu ternyata telah datang karena mendengar suara ledakan tadi. Dan mereka benar-benar sangat kaget ketika menyaksikan gedung yang amat besar itu kini hampir roboh semuanya. Hanya tinggal sebagian kecil saja yang masih tegak, itu pun genting-gentingnya sudah banyak yang rontok pula.

   "Eh? A-apa... yang telah terjadi? Rumah... rumah ini disambar petir?"

   "Ah, masakan ada petir menyambar di s iang bolong begini? Lihat! Langit bersih, matahari pun bersinar cemerlang!"

   "Benar. Tapi... kenapa dengan rumah itu? Dikutuk dewa... barangkali?"

   "Ah, tak tahulah. Mungkin benar juga. Siapa tahu dosa Tuan Coa telah sampai ke puncaknya dan tidak dapat diampuni lagi?"

   "Dan... Thian telah memusnahkannya! Begitukah?" Orang-orang itu menjadi ribut dan saling bertanya atau mengutarakan pendapat masing-masing. Meskipun demikian mereka tetap berada di luar halaman dan saling berdesakan di luar pagar. Seperti waktu-waktu sebelumnya, tak seorangpun diantara mereka yang berani menginjakkan kaki di halaman Coa In Lok itu. Begitu takutnya orang-orang itu kepada Coa In Lok, sehingga ketika Liu Yang Kun muncul dari balik reruntuhan tembok mereka hampir saja lari dari tempat itu. Untunglah beberapa orang di antara mereka segera ada yang mengenali wajah Liu Yang Kun.

   "Hei.. nanti dulu! Bukankah dia itu pendekar yang bertempur dengan anak buah tuan Coa di tepian sungai pagi tadi!"

   "Ya... ya, benar. Aku juga ikut melihatnya. Dia memang pendekar yang berada di atas perahu Ciok Kwan itu."

   "Ooo... diakah? Wah, kalau begitu tentu dia pulalah yang meledakkan tempat ini. Kudengar dia memang telah mengancam tuan Coa dan anak buahnya."

   "Agaknya memang demikian. Kalau begitu kita harus mengucapkan terima kasih kepada dia. Dia telah membalaskan sakit hati kita kepada tuan Coa..." Demikianlah, ketika Liu Yang Kun melangkah mendekati mereka, mereka pun lalu berlutut menyatakan rasa gembira dan terima kasih mereka. Mereka juga bercerita pula, mengapa mereka berbuat seperti itu. Betapa selama ini mereka selalu diganggu dan dibuat sangat menderita oleh Coa In Lok beserta anak-buahnya. Diam-diam Liu Yang Kun merasa lega pula di dalam hati. Semula ada sedikit penyesalan di dalam hatinya menyaksikan kematian dan kehancuran rumah Coa In Lok itu. Tapi penyesalan itu, segera hilang dan terhibur me lihat penyataan mereka.

   "Apalagi aku juga tak berniat membunuh atau memusnahkan harta benda tengkulak kaya itu. Dia sendiri yang bunuh diri dan meledakkan rumahnya." pemuda itu menghibur hatinya sendiri. Meskipun demikian Liu Yang Kun tak tega juga memikirkan nasib Coa In Lok dan keluarganya yang tertimbun di bawah reruntuhan itu. Oleh karena itu ia meminta kepada orang-orang itu untuk mencari dan mengubur jenazah Coa In Lok sebaik-baiknya.

   "Saya tak mempunyai banyak waktu untuk tinggal di tempat ini. Olah karena itu kuminta kepada cuwi semua untuk membereskan mayat Coa In Lok dan keluarganya yang tertimbun di bawah puing-puing rumahnya ini. Biarlah,meskipun dia itu sangat jahat, tapi kini ia sudah mati..."

   "Sudah mati?" hampir berbareng orang-orang itu bersorak.

   "Benar. Dia tentu sudah mati. Tak mungkin dia bisa hidup dalam ledakan yang maha dahsyat itu. Cari saja mayatnya di bawah puing-puing rumahnya itu!" Liu Yang Kun tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Orang orang itu tampak begitu gembiranya mendengar berita kematian tengkulak kaya tersebut.

   "Ooh... terima kasih, Taihiap. Terima kasih. Kami semua tentu bersedia melakukan perintahmu. Oh, bukan main! Bukan main! Dia sudah mati... a-ha... dia sudah mati!" mereka bersorak-sorai sambil berlari-lari memasuki halaman gedung itu. Sekali lagi Liu Yang Kun tersenyum kemudian perlahan-lahan pergi meninggalkan halaman itu. Dibiarkannya orang orang itu melakukan perintahnya, membongkar tempat itu dan mengurus mayat Coa In Lok. Begitulah, ketika orang-orang itu sibuk membereskan puing-puing rumah Coa In Lok, Liu Yang Kun sendiri juga telah berada kembali di tepian sungai dimana terjadi kebakaran pagi tadi.

   Pemuda itu telah menemui Ciok Kwan dan orang-orang yang telah kehilangpn perahunya. Dengan sabar pemuda itu memberi ganti rugi kepada mereka, agar mereka bisa membeli atau membuat perahu yang baru. Liu Yang Kun sengaja memberi uang lebih kepada mereka, agar supaya mereka bisa hidup sebelum bisa bekerja dengan perahu mereka yang baru. Dan khusus untuk Ciok Kwan, Liu Yang Kun telah memberikan empat kali taksiran harga perahunya yang lama. Walaupun demikian ketika semuanya telah beres, Liu Yang Kun masih mempunyai sisa uang yang banyak. Bahkan masih lebih dari separuhnya. Terpaksa pemuda itu membagi-bagikannya lagi kepada penduduk yang membutuhkannya. Pemuda itu baru berhenti bekerja setelah di dalam bungkusannya tinggal beberapa puluh tail lagi saja.

   "Biarlah sisa uang ini kusimpan sendiri untuk bekalku. Hitung-hitung sebagai ganti uangku yang hilang." pemuda itu membatin. Hari itu penduduk He-cung dan sekitarnya benar-benar merasa gembira dan bahagia sekali. Selain sudah terbebas dari cengkeraman Coa In Lok, mereka juga memperoleh pembagian rejeki yang tak tersangka-sangka.

   Maka tak mengherankan kalau mereka lalu bersuka-ria dan bergembira di mana-mana. Dan otomatis Liu Yang Kun pun lalu disanjung dan dipuja-puja seperti dewa. Untuk beberapa waktu Liu Yang Kun memang tidak tega menolak penghormatan mereka. Tapi beberapa saat kemudian secara diam-diam pemuda itu pergi meloloskan diri dari perhatian mereka. Dengan tangkas pemuda itu menyelinap dan pergi meninggalkan tempat itu. Matahari telah bergulir ke arah barat. Liu Yang Kun beristirahat di bawah pohon siong yang rindang. Sejak keluar dari dusun He-cung, pemuda itu sengaja tidak mau lewat di tepian sungai. Pemuda itu memilih lewat hutan yang agak jauh dari aliran sungai. Pemuda itu tak ingin berjumpa dengan orang lain, karena ia ingin membaca Buku rahasia yang diketemukannya itu.

   "Aku hendak melihat, apakah buku itu benar-benar Buku Rahasia yang dihebohkan orang itu?" Liu Yang Kun membatin seraya mengeluarkan buku itu. Sampul buku itu terbuat dari kulit domba yang agak tebal. Di bagian tengah-tengahnya tertulis dua buah huruf besar, yang artinya adalah 'BUKU RAHASIA". Huruf itu ditulis dengan warna merah. Namun karena umurnya, warna itu telah menjadi kabur dan berubah agak kecoklat-coklatan. Sedangkan di beberapa tempat warna itu justru telah menjadi hilang sama sekali.Liu Yang Kun lalu membuka lembar yang pertama. Tidak seperti sampulnya, lembaran isi buku itu hanya terbuat dari kertas-kertas yang telah diawetkan. Dan pada lembar atau halaman yang pertama tersebut tidak ada tulisan apa-apa. Halaman itu kosong. Tidak ada keistimewaannya pula selain bagian pinggirnya yang telah rapuh dimakan bubuk.

   "Hmmh...!" Liu Yang Kun mendengus seraya membuka halaman selanjutnya. Sekali lagi Liu Yang Kun mengerutkan dahinya. Lembar yang kedua itu juga kosong, bahkan selain kosong, halaman itu juga telah kotor dan rusak. Bekas-bekas ceceran tinta yang telah luntur berlepotan di seluruh permukaan kertas itu, sehingga menimbulkan kesan bahwa seseorang telah berusaha menghapuskan tulisan atau gambar-gambar yang ada dengan air.

   "Ah...!" Liu Yang Kun berdesah karena ikut menyayangkan pula. Tapi Liu Yang Kun segera membuka lagi lembar berikutnya. Dan kali ini Liu Yang Kun melihat deretan huruf yang disusun dengan baik. Bahkan di samping susunan-susunan kalimat yang berbentuk seperti syair atau pantun itu terdapat pula gambar-gambar sederhana dalam bentuk yang aneh-aneh seperti gambar-gambar perbintangan lama.

   "Hei... ini kalau tak salah adalah gambar-gambar kuno yang selalu dipakai oleh para peramal atau ahli-ahli perbintangan di zaman dulu. Hmm... kalau begitu benar juga kata orang bahwa Buku Rahasia itu hanya berisi ramalan-ramalan kuno."

   Liu Yang Kun lalu membuka halaman-halaman selanjutnya. Pada lembar yang ketujuh Liu Yang Kun berhenti. Pada halaman itu isinya telah berubah. Tidak lagi berupa syair atau pantun yang sulit dimengerti artinya, tapi berupa gambar silsilah keluarga yang mudah dibaca maksudnya. Cuma yang agak aneh dan menggelikan, daftar silsilah keluarga yang memuat puluhan nama, atau bahkan mungkin ada se ratusan nama itu ditulis atau dibuat sedemikian rupa, sehingga deretan-deretan nama itu membentuk sebuah gambar dari tubuh manusia. Ketika Liu Yang Kun mencoba untuk membaca nama-nama itu, kepalanya segera mengangguk-angguk. Hampir semua nama itu, dari atas sampai bawah, menggunakan she Souw. Memang ada beberapa nama yang tertulis dengan she lain, tapi nama-nama itu ditulis dengan warna yang berbeda sehingga mudah dilihat.

   "Tampaknya gambar ini adalah silsilah Keluarga Souw yang terkenal itu. Dan nama-nama yang tidak menggunakan she Souw ini tentulah orang-orang luar yang kawin dengan gadis-gadis mereka." Liu Yang Kun berkata di dalam hatinya. Tiba-tiba Liu Yang Kun teringat kepada Souw Lian Cu, gadis yang pertama kali merampas hatinya, dan yang sampai sekarang pun juga tidak pernah dilupakannya.

   "Hmm... dia juga keturunan Keluarga Souw pula. Apakah namanya juga tertulis di dalam silsilah ini?" tanyanya di dalam hati. Lalu Liu Yang Kun mencari-carinya dibagian bawah atau di bagian kaki dari gambar silsilah itu, karena sebagai keturunan keluarga Souw yang paling akhir atau paling baru, namanya tentu berada di urutan yang terbawah pula. Tapi dugaannya ternyata keliru, bahkan salah. Tak ada nama Souw Lian Cu disitu. Bahkan nama Souw Thian Hai juga tidak ada pula di sana. Nama yang tertera di urutan paling bawah ada Souw Jing Lun dan Souw Bi Li.

   Kedua nama itu tertulis sejajar di bagian kaki kiri dan kanan pada silsilah yang menyerupai gambar tubuh manusia. Liu Yang Kun menjadi penasaran. Satu persatu ia membaca nama nama itu, dia urutkan dari bawah ke atas. Perasaannya menjadi tegang. Apalagi bila ia menemui nama-nama yang hampir mirip. Ada nama Souw Lian Hoa, Souw Lian Hui, Souw Lian Cing, bahkan ada yang suara lafa lnya hampir sama, yaitu Souw Lian Ci. Namun sampai di bagian perut atau separuh dari gambar silsilah itu, nama Souw Lian Cu tetap tidak diketemukannya. Tampaknya nama gadis itu memang belum tercantum di dalam silsilah itu. Agaknya penulis yang paling akhir pada gambar silsilah itu memang Souw Jing Lun dan Souw Bi Li. Dan kemungkinan besar Souw Lian Cu dan Souw Thian Hai adalah keturunan dari salah seorang dari mereka sehingga nama Souw Lian Cu dan ayahnya belum tercantum di dalam silsilah tersebut.

   "Melihat nama mereka, Souw Bi Li (Bidadari Cantik) itu tentulah seorang wanita. Sedangkan Souw Jing Lun itu tentulah seorang lelaki. Jadi kalau dugaanku itu benar, Souw Thian Hai itu tentu keturunan dari Souw Jing Lun." Liu Yang Kun menduga-duga di dalam hati. Tiba-tiba Liu Yang Kun teringat pula akan sebuah nama yang banyak disebut-sebut di kalangan persilatan pada zaman dahulu, bahkan juga tertulis pula di dalam peninggalan Bit-bo-ong, yaitu kakek Souw atau Hoa-san Lojin. Adakah nama itu juga tertulis di dalam silsilah ini? Bergegas Liu Yang Kun mencarinya di dalam gambar itu. Karena kakek sakti itu hidup pada zaman se ratusan tahun yang lalu, Liu Yang Kun mencarinya di bagian tengah dari pada gambar silsilah tersebut.

   Sebab di dalam jangka waktu se ratus tahun tersebut tentu paling tidak sudah menurunkan enam atau tujuh keturunan (generasi), mengingat waktu itu Hoa-san Lojin sudah disebut kakek Souw pula. Namun sekali lagi usaha Liu Yang Kun itu sia-sia pula. Di antara deretan nama-nama itu tak satupun yang menyebutkan gelarnya, sehingga ia tak tahu, yang manakah di antara nama-nama itu yang bergelar kakek Souw atau Hoa-san Lojin? Liu Yang Kun mengerutkan dahinya. Ditatapnya sebuah nama yang tertulis persis di bagian luar (tan-tian) dari silsilah yang berbentuk tubuh manusia itu. Disitu tertulis sebuah nama yang coretan-coretan hurufnya sangat kuat dan indah sekali. Seperti dilukis saja. Sehingga tulisan itu benar-benar tampak berbeda dengan yang lain.

   "Souw Kian Ting..." Liu Yang Kun membaca nama itu perlahan.

   "Mungkinkah Souw Kian Ting ini yang bergelar Hoa-san Lojin? Kudengar kakek sakti itu seorang sastrawan dan pelukis yang hebat..." Liu Yang Kun lalu membuka halaman selanjutnya. Halaman kedelapan ternyata kosong lagi. Baru pada lembar yang kesembilan ada tulisannya. Itu pun hanya singkat pula. Cuma ada dua baris kalimat :

   DIADAKANNYA UNTUK MENJADI PEGANGAN.
DIKOSONGKANNYA SUPAYA BERGUNA.

   Liu Yang Kun tertegun dan termangu mangu untuk beberapa saat lamanya. Kedua kalimat itu seperti pernah didengarnya tapi ia lupa entah dimana.

   "Rasa-rasanya kalimat kalimat ini seperti tidak lengkap, dan hanya merupakan potongan saja dari keseluruhannya. Ehmmmm... tapi nanti dulu! Kalau demikian kalimat-kalimat ini tentu merupakan potongan dari 'sebuah pelajaran' atau 'ujar-ujar' kaum cendikiawan jaman dahulu. Tapi... 'ujar" siapa? Atau dari kitab pelajaran mana?" Liu Yang Kun menghela napas sambil memutar otaknya untuk berpikir dan mengingat-ingat. Selain pelajaran silat, sejak kecil ia selalu bergelut dengan pelajaran sastra. Baik oleh didikan ayahnya, maupun oleh didikan guru sastra yang didatangkan ayahnya. Maka dalam soal ujar-ujar kuno seperti itu otaknya juga memiliki sedikit pegangan pula. Tapi ada segudang ujar-ujar kuno seperti itu yang pernah dibacanya, sehingga dalam waktu yang singkat sulit untuk menemukannya.

   "Huh! Mengapa aku pusing-pusing memikirkannya?" akhirnya Liu Yang Kun menjadi kesal.

   "Dari mana pun kalimat-kalimat itu dipetik, namun yang terang penulis buku ini tentu mempunyai maksud mengutipnya disini. Cuma... apa maksudnya itu?" Karena tidak bisa mengupas maksud dan tujuan dua kalimat itu, maka Liu Yang Kun lalu membuka halaman selanjutnya. Dan lembar yang kesepuluh itu ternyata langsung menarik perhatiannya.

   Dalam lembar itu penuh tulisan yang rapat, serta gambar-gambar tentang cara menyempurnakan ilmu pernapasan ke tingkat yang tertinggi. Diuraikan pula bagaimanakah cara membebaskan rintangan dan keruwetan-keruwetan di dalam jalan darah. Dan dijelaskan pula, bagaimana bisa 'menembus' dan "menerobos' titik titik jalan darah yang rawan dan berbahaya di dalam tubuh manusia. Bahkan di dalam lembar-lembar selanjutnya, diungkapkan pula cara-cara 'menyimpan', 'menguasai', serta 'menggunakan' tenaga sakti tersebut secara seksama, agar kedahsyatannya bisa dimanfaatkan menurut keinginan pemiliknya. Pada lembar yang ketigabelas, Liu Yang Kun mendapatkan uraian tentang cara-cara menghindari dan mengobati 'salah Jalan' yang sering diderita oleh orang yang mempelajari ilmu pernapasan. Terutama orang-orang yang mempelajari ilmu sesat.

   "Wah... kalau isi buku ini sampai ketahuan tekoh-tokoh sesat dari dunia persilatan, tentu ramai sekali. Mereka tentu saling berebutan untuk memilikinya. Tentu orang-orang seperti Giok-bin Tok-ong akan... hei...?" Begitu teringat Giok-bin Tok-ong, Liu Yang Kun menjadi kaget sendiri. Buku itu justru ia ketemukan dimana Giok bin Tok-ong tadi berada. Jangan-jangan memang Iblis tua itu yang menyimpannya.

   "Benar! Tentu orang tua itu yang membawa buku ini. Tidak ada yang patut dicurigai selain dia. Coa In Lok dan anak-buahnya terang tidak mungkin. Hanya iblis tua itu yang bisa mencuri buku penting ini dari tangan keluarga Souw." Tak terasa Liu Yang Kun menoleh ke kanan dan ke kiri. Tiba-tiba saja perasaannya menjadi tegang dan berdebar-debar. Kalau dugaannya itu benar, Giok-bin Tok-ong tentu tidak akan tinggal diam. Iblis itu tentu akan mencari buku tersebut sampai dapat. Bergegas Liu Yang Kun menutup buku itu. Sebenarnya masih ada selembar lagi yang tersisa, tapi ia tak ingin membacanya sekarang. Entah mengapa, mendadak saja perasaannya seperti menangkap sesuatu yang ganjil dan mencurigakan dibalik semak-semak di sekitarnya.

   "Ah... mengapa perasaanku tiba-tiba menjadi ketakutan begini? Kalaupun Giok-bin Tok-ong benar-benar datang, aku toh belum tentu kalah melawan dia? Paling-paling aku cuma harus berhati-hati dengan peluru mautnya itu." gerutunya didalam hati. Namun ketika tangannya hendak memasukkan buku itu ke dalam saku bajunya, tiba-tiba terdengar desir suara angin di belakangnya. Lembut sekali. Hampir-hampir tidak terasa bila ia tidak kebetulan sedang mengerahkan kewaspadaannya. Dengan cepat Liu Yang Kun memutar tubuhnya. Begitu cepatnya, sehingga seolah-olah pemuda itu tidak bergerak malah. Hanya tahu-tahu tubuhnya telah berbalik se ratus delapan puluh derajad begitu saja.

   "Oh!"

   "Aah!" Terdengar desah kaget, baik dari mulut Liu Yang Kun maupun dari mulut tiga lelaki yang tiba-tiba telah berada di tempat itu. Mereka sama-sama kaget melihat lawan mereka. Liu Yang Kun sangat terkejut, karena ketiga orang lelaki yang tiba-tiba telah berada di belakangnya itu ternyata adalah tiga orang lelaki misterius yang dicurigainya di desa He-cung pagi tadi. Sebaliknya tiga orang lelaki itu juga sangat terperanjat menyaksikan kehebatan ilmu meringankan tubuh Liu Yang Kun yang di luar dugaan mereka itu.

   "Hati-hati Nyo Sute! Tang Sute! Tampaknya kita harus bekerja keras sekali ini! Hmmh...dimanakah suhu tadi?"

   "Suhu berada di pinggir sungai sejak siang tadi. Suhu memeriksa setiap perahu yang lewat. Beliau takut kalau buruannya meloloskan diri melalui air." orang she Tang, yang termuda diantara ketiga orang itu menjawab pertanyaan suhengnya.

   "Kalau begitu jemputlah beliau ke sini! Katakan kalau kita telah menemukan buruan itu di sini!"

   "Baik!" Orang she Tang itu melirik sekilas ke arah Liu Yang Kun, kemudian melesat pergi bagai kilat cepatnya. Sekejap saja tubuhnya telah hilang di balik keremangan senja yang mulai menyelimuti hutan belantara itu. Liu Yang Kun menarik napas panjang. Ia tidak mengenal mereka. Tapi melihat gelagatnya, orang-orang itu telah mengenalnya. Bahkan memusuhinya. Oleh karena itu diam-diam ia mengerahkan tenaganya. Siap untuk menghadapi mereka.

   "Gila! Siapakah mereka? Dan siapa pula guru mereka itu? Mengapa mereka mencari aku?" desahnya di dalam hati. Meskipun sudah agak gelap, tapi orang-orang itu tampaknya bisa melihat dan menduga apa yang sedang bergejolak di dalam hati Liu Yang Kun.

   "Selamat bertemu kembali...! Maafkanlah kami kalau sekiranya kedatangan kami ini telah mengagetkanmu. Kami bertiga datang dari Lembah Tak Berwarna..." orang yang pertama berkata kepada Liu Yang Kun.

   "Lembah Tak Berwarna?" Liu Yang Kun bergumam sambil memutar otaknya untuk mengingat-ingat nama yang pernah didengarnya itu. Orang itu mengangguk.

   "Saudara pernah melihat atau mendengar tempat tinggal kami?" Tiba-tiba Liu Yang Kun menghela napas berat. Ia memang telah teringat kembali akan sebuah pantun yang sering diucapkan orang di dunia persilatan.

   Menjadi pendekar gagah perkasa, Ada tiga jalan untuk mencapainya.
Pertama di atas gunung Hoa-san Kedua di tengah gurun Gobi
Dan terakhir di Lembah Tak Berwarna.

   "Hmm... jadi orang-orang ini datang dari salah satu tempat yang disebut-sebut orang itu. Tak heran kalau kepandaian mereka sangat tinggi." Pemuda itu berkata di dalam hati. Liu Yang Kun menatap lawannya dengan tajam. Lalu dengan suara tenang ia menjawab,

   "Ah... Jadi cu wi semua ini datang dari salah satu tempat yang selalu menjadi buah bibir masyarakat itu? Hmmm... kalau begitu cuwi tentu datang dari Keluarga Tok, karena kudengar lembah itu dikuasai oleh keluarga Tok." Tiba-tiba kedua orang itu tertawa.

   "Hahahaha...! Jadi begitukah berita yang tersiar di dunia persilatan? Wah, kalau begitu berita itu perlu diralat, karena berita seperti itu sudah tidak benar lagi sekarang." Liu Yang Kun mengerutkan keningnya.

   "Maksud Jiwi?" tegasnya heran. Kedua orang itu saling pandang satu sama lain. Mulut mereka tetap tersenyum.

   "Semula lembah itu memang dikuasai oleh anak keturunan keluarga Tok. Tapi kejadian itu sudah lama berlalu. Mulai lima puluh tahunan berselang, kekuasaan di lembah itu telah berpindah ke murid lain yang lebih pandai dan berbakat dari pada murid keluarga Tok sendiri."

   "Oooh...? Jadi maksud Jiwi...kalian bertiga tadi termasuk dari marga lain yang kini berkuasa di lembah itu?" Liu Yang Kun menegaskan lagi.

   "Betul. Penguasa lembah itu sekarang di tangan Giok-bin Tok-ong. Dan kami bertiga adalah murid-muridnya."

   "Ah!" Liu Yang Kun terperanjat. Benar-benar terperanjat. Sehingga otomatis wajahnya menjadi tegang.

   
Memburu Iblis Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Nah perkenalkanlah kami..." orang itu tidak mempedulikan keheranan dan ketegangan Liu Yang Kun.

   "Saya adalah Kim Hong San, murid tertua dari Giok-bin Tok-ong. Dan yang berada di sampingku ini adalah Nyo Kin Ong, adik seperguruanku yang kedua. Sementara yang pergi tadi adalah Tang Hu, adik seperguruanku yang ketiga. Nah, sekarang... bolehkah kami mengetahui nama dan perguruan saudara?" Liu Yang Kun tersentak kaget.

   "Ah... eh, aku yang rendah bernama Liu Yang Kun. Aku... aku tak memiliki perguruan, karena semua ilmu silatku kuperoleh dari belajar sendiri. Dan... hmmm, sudahlah... biarkanlah aku pergi. Masih banyak hal-hal yang harus kukerjakan." jawabnya kemudian dengan sedikit gugup. Tapi dengan cepat kedua orang itu berpencar.

   "Eit, nanti dulu...! Saudara Liu tidak boleh berlalu begitu saja dari tempat ini!" Kim Hong San mencegah. Wajah Liu Yang Kun menjadi merah seketika. Hatinya tersinggung.

   "Mengapa?" tanyanya kaku.

   "Maaf, guruku sedang bingung karena telah kehilangan buku. Dan kulihat saudara baru saja membaca buku. Hmm... bolehkah aku melihatnya?" Kim Hong San berkata pula dengan tidak kalah kakunya. Liu Yang Kun semakin merasa tersinggung.

   "Hmm... Jadi kalian anggap aku yang mencurinya?" ia menggeram. Tiba-tiba Nyo Kin Ong melangkah maju. Wataknya memang lebih berangasan dan lebih kasar dari pada kakak seperguruannya.

   "Persetan! Pokoknya kau mau menyerahkannya atau tidak?" bentaknya keras. Liu Yang Kun benar-benar tidak bisa mengekang dirinya lagi. Bibirnya berdesis tajam, dan tiba-tiba kulit mukanya juga berubah menjadi kuning pucat berkilauan. Tangannya yaug memegang buku itu mendadak terayun ke depan, seolah-olah ingin menyerahkan buku tersebut. Namun berbareng dengan itu pula tiba-tiba dari telapak tangan tersebut meluncur badai udara dingin yang siap untuk menggulung Nyo Kin Ong.

   "Sute! Awas...!!" Kim Hong San berteriak khawatir. Nyo Kin Ong yang tak menyangka akan memperoleh serangan dahsyat itu cepat mengelak sebisa-bisanya. Mati-matian ia mengerahkan segala kemampuannya. Dan beruntung sekali ia bisa menghindari serangan tersebut, meskipun untuk itu ia harus mengorbankan baju-luarnya yang terkoyak-koyak seperti tersayat pisau tajam. Kim Hong San segera menghampiri Sutenya.

   "Ji Sute...? Kau tidak apa-apa, bukan?" desahnya lega. Nyo Kin Ong yang wajahnya masih tampak pucat itu menelan ludah.

   "Aku... aku tidak apa-apa, suheng. Aku... aku benar-benar tak mengira kalau tenaga dalamnya sedemikian dahsyatnya. Untunglah aku bisa bertahan dan menghindarinya." jawabnya kecut.

   "Bukankah suhu sudah memperingatkan kita?"

   "Ya. Tapi... sejak semula aku memang kurang mempercayainya. Selama ini kita belum pernah dikalahkan orang." Sementara itu Liu Yang Kun sendiri juga tidak berusaha untuk mengejar atau mendesak lawannya. Untuk sementara pemuda itu sudah merasa cukup memberikan peringatan kepada murid Giok-bin Tok-ong itu.

   "Nah! Apakah kalian masih juga mau memaksakan kehendak kalian kepadaku?" sindirnya tajam. Kedua orang itu menggeretakkan giginya. Mereka sadar bahwa yang mereka hadapi sekarang adalah seorang pemuda yang berkepandaian sangat tinggi. Namun demikian mereka pun juga tidak lantas menjadi gentar pula karenanya. Mereka masih tetap yakin pula akan kemampuan mereka. Apalagi mereka belum pernah dikalahkan orang selama ini.

   "Setan keparat! Jangan buru-buru menepuk dada dahulu! Kau pun belum menyaksikan kepandaian kami...!" tiba-tiba Kim Hong San mengumpat marah. Sikapnya yang halus dan sopan tadi seketika hilang. Muncullah kini wataknya yang asli, yang tidak berbeda jauh dengan guru dan saudara-saudara seperguruannya. Lalu tanpa memberi peringatan lagi orang itu menerjang Liu Yang Kun. Bagaikan cakar naga kesepuluh jari-jari tangannya menyambar dada dan wajah Liu Yang Kun. Sepintas lalu tercium bau wangi dari telapak tangan tersebut.

   "Tok-ci-kang (Tenaga Jari beracun)?" Liu Yang Kun menduga-duga di dalam hati. Dengan tangkas pemuda itu mengelak. Tubuhnya yang jangkung itu bergerak bagaikan bayangan hantu. Tahu-tahu telah berada di tempat lain. Bahkan dari tempat itu ia balas menyerang pula dengan tidak kalah cepatnya.

   "Whhuuuuus...!" Kembali dari telapak tangan pemuda itu meniup pula badai angin dingin seperti tadi! Begitu kuatnya sehingga Kim Hong San terpaksa menghindar pula dengan tergesa-gesa. Bahkan murid pertama Giok bin Tok-ong yang belum pernah dikalahkan orang itu terpaksa harus mengerahkan seluruh kemampuannya agar tidak terbanting jatuh ke atas tanah. Dapat dibayangkan betapa malu dan marahnya murid Giok-bin Tok-ong itu.

   "Gila! Kekuatan apa yang terkandung di dalam tubuh setan alas itu, ah A-apakah aku sedang bermimpi?"

   "Suheng...?" Nyo Kin Ong cepat mendekati kakak seperguruannya itu. Kim Hong San mengibas-ngibaskan kepalanya. Dengan wajah pucat ia memandang Sutenya.

   "Nyo Sute...! Bocah itu benar-benar memiliki kekuatan iblis! Lweekangnya telah mencapai tingkat yang sulit diukur lagi. Suhu pun rasanya tak kan menang melawan dia. Kita harus mengeroyoknya..." bisiknya perlahan.

   "Baik, suheng." Mereka lalu bersiap-siap. Masing-masing mengenakan sarung tangan berbulu lebat, yang tampaknya terbuat dari kulit beruang. Beberapa buah kantong kecil-kecil, yang entah apa isinya, tampak berderet membelit pinggang mereka, ketika mereka menyibakkan baju luar mereka. Bahkan beberapa buah bumbung bambu yang dipotong pendek-pendek tampak terikat pula di atas perut mereka. Liu Yang Kun benar-benar mempersiapkan dirinya. Menghadapi orang-orang dari kalangan hitam seperti orang Lembah Tak Berwarna itu benar-benar membutuhkan kewaspadaan yang berlipat. Manusia semacam mereka itu bisa berbuat apa saja. Mereka biasa berbuat licik bermain kotor, bahkan juga tidak segan segan melakukan tindakan yang tidak terpuji. Dan biasanya mereka juga selalu membawa alat-alat untuk melaksanakan niat jahatnya itu.

   "Kantong-kantong kecil dan potongan potongan bambu itu tentu berisi alat-alat pembunuh..." Liu Yang Kun membatin. Demikianlah ketika kedua orang itu mulai melangkah mendekatinya, Liu Yang Kun segera mendahului menyerang mereka. Kedua telapak tangannya merenggut ke depan dalam jurus Raja-Chin-miu Mematahkan-kim-pai, salah sebuah jurus andalan dari ilmu silat keluarga Chin. Di tangan Liu Yang Kun jurus itu menjadi luar biasa dahsyatnya. Mungkin tiada seorangpun di dalam keluarga Chin sendiri yang mampu memainkan seperti itu. Bahkan si penciptanya sendiri mungkin juga akan terkagum-kagum menyaksikannya. Dan semuanya itu disebabkan karena kedahsyatan lweekang Liu Yang Kun, akibat meminum darah Ceng-liong-ong. Kim Hong San dan Nyo Kin Ong terperanjat. Tubuh mereka seakan-akan tersedot kedepan, ke arah tangan kanan yang tertuju kepada mereka.

   "Nyo Sute awas...! Kita berpencar! Kerahkan Tok-ci-kang dan... incarlah jalan darah ci-kong-hiat di pergelangan tangannya! Cepat!"

   "Baik, suheng! Kau... sebelah kiri, dan aku... sebelah kanan! Lalu kita gunakan Hiat-sian-tok (Racun Darah Dewa) untuk melumpuhkannya." Sambil berbicara mereka menghindar ke samping, ke kanan dan ke kiri. Kemudian sambil berputar setengah lingkaran, masing-masing mengambil sesuatu dari tabung bambu mereka dan menaburkannya ke arah Liu Yang Kun. Setelah itu mereka melenting ke atas untuk mencegat gerakan lawan. Dan semua gerakan itu mereka lakukan dalam sekejap mata saja.

   Sekarang ganti Liu Yang Kun yang kaget dan menjadi berdebar-debar hatinya. Selain lihai serta berbahaya, ternyata mereka juga amat pintar dan berpengalaman dalam ilmu silat. Hanya sekilas saja mereka melihat ilmu silatnya, ternyata mereka telah mampu melihat kelemahannya. Namun Liu Yang Kun tak mempunyai banyak waktu lagi. Taburan bubuk atau tepung racun berwarna putih itu telah menyerangnya dari arah kanan dan kiri. Satu-satunya jalan hanya melenting ke atas untuk mengelakkannya. Tapi kedua lawannya telah lebih dahulu mencegatnya. Apa akal? Sekilas melintas di dalam pikiran Liu Yang Kun untuk menerobos saja takaran bubuk beracun tersebut. Bukankah ia menyimpan mustika racun Ceng-liong-ong? Kata orang mustika itu mampu menawarkan segala macam racun. Tapi sekejap kemudian pikirannya menjadi ragu-ragu. Bagaimana kalau tidak?

   "Ah! Aku belum yakin benar akan keampuhan benda itu. Lebih baik aku mencoba saja menyongsong mereka. Biarlah kita lihat nanti hasilnya..." akhirnya pemuda itu mengambil keputusan. Begitulah sambil menjejakkan kakinya ke tanah, Liu Yang Kun melenting ke atas dalam jurus "Jenderal Yin Tu Terjatuh Dari Punggung Hong-ma" yaitu salah sebuah jurus yang sangat sulit dipelajari di dalam ilmu silat keluarga Chin. Demikian mulus dan sempurnanya gerakan pemuda itu, sehingga bubuk beracun itu dengan mudah dapat ia elakkan. Taburan bubuk beracun itu lewat di bawah tubuhnya.

   Tapi pada saat itu pula, Kim Hong San dan Nyo Kin Ong datang menerjang. Dari atas mereka mengayunkan jari-jari tangan mereka ke arah jalan darah cikong-hiat di pergelangan tangan Liu Yang Kun. Tak ada kesempatan lagi bagi Liu Yang Kun untuk menghindar. Satu-satunya jalan cuma menangkis sambil menyembunyikan jalan darah Ci-kong-hiat sebisa-bisanya. Dan hal itu memang dilakukan oleh Liu Yang Kun dengan baiknya. Pertama-tama pemuda itu membagi tenaga dalamnya menjadi dua bagian. Sebagian ia kerahkan ke lengan kanan, dan sebagian lagi ke lengan kiri. Setelah itu ia melipat kedua lengannya untuk menyembunyikan jalan darah ci-kong-hiat. Dan kemudian dengan kedua sikunya pemuda itu menyongsong ujung jari lawannya. Dhug! Dhug! Terdengar suara nyaring tatkala ketiga kekuatan besar itu bertemu di udara.

   Ujung jari telunjuk Kim Hong San menghantam siku kanan Liu Yang Kun, sedangkan ujung jari Nyo Kin Ong membentur siku yang lain. Masing-masing segera mendorong mundur dengan kuatnya. Liu Yang Kun yang berada di bawah, segera terbanting ke bawah kembali. Sementara lawannya yang berada di atas tampak terlempar pula ke arah yang berlawanan. Masing-masing merasakan betapa hebat tenaga yang melanda mereka. Namun karena semuanya memiliki ilmu yang tinggi, maka dengan mudah pula mereka mengatasi akibat dari benturan tersebut. Di dalam posisi yang lebih buruk dari pada lawannya itu, ternyata Liu Yang Kun justru malah memperlihatkan kehebatannya. Dalam jarak yang amat dekat dengan tanah, pemuda itu menggeliatkan tubuhnya dan kemudian mendaratkan kakinya hampir tanpa mengeluarkan suara sama sekali persis seperti kucing jatuh dari atas atap.

   

Darah Pendekar Eps 37 Pendekar Penyebar Maut Eps 33 Pendekar Penyebar Maut Eps 25

Cari Blog Ini