Ceritasilat Novel Online

Memburu Iblis 3


Memburu Iblis Karya Sriwidjono Bagian 3




   "A Cang! Awas.. Mereka bukan pemain akrobat keliling yang sedang memamerkan kemahirannya! Jangan terlena oleh keindahan 'payung-payung' itu. Siapkan pedangmu!" tiba-tiba Tiauw Kiat Su memperingatkan kacungnya yang kelihatan tertegun melihat permainan selendang lawannya itu.

   "'Wah, bukan main indahnya! Tapi tentu akan lebih indah lagi bila warnanya tidak cuma kuning dan putih saja..." A Cang menyahut perkataan tuannya.

   "Tentu saja, goblog! Tapi kalau mereka nanti memainkan Ngo-yen-si-tin (Barisan Lima Warna) dari Ngo-bi-pai yang terkenal itu, kau tentu akan lari terbirit-birit!" Kacung itu menatap tuannya seolah tak percaya. Sebaliknya dua orang gadis Ngo-bi-pai itu kelihatan kaget mendengar ucapan Tiauw K iat Su. Diam-diam keduanya saling pandang dan memberi tanda agar masing-masing lebih berhati hati menghadapi lawan mereka. Tampaknya pemuda sombong itu sudah amat mengenal perguruan mereka.

   "Lihat serangan!" gadis berselendang putih itu berseru, kemudian menyerang Tiauw Kiat Su. Dan gadis yang lain segera menyusul pula, menyerang Si A Cang. Payung yang ada di tangan kedua gadis itu tiba-tiba "terbang" melayang ke arah Tiauw Kiat Su dan kacungnya. Karena ujung yang lain tetap di dalam pegangan gadis tersebut, maka semakin jauh atau semakin mendekati lawan mereka payung itu semakin menyusut menjadi kecil pula. Tiauw K iat Su segera meloncat menghindar. Sebaliknya si A Cang yang sembrono itu mencoba menangkisnya dengan pedang.

   "Traaaaaang!" Kacung itu terhuyung-huyung hampir jatuh! Malah tidak hanya itu saja. Payung yang dibenturnya tadi mendadak terurai, jatuh melibat ke arah pedangnya! Hup"! Mendadak saja pedangnya telah terlepas dari tangannya dan... berpindah ke tangan lawannya!

   "Siauwya...!" pemuda tanggung itu berteriak kaget, seraya berlindung di belakang tuannya.

   "Nah! Apa kataku tadi? Jangan disamakan gadis-gadis ini dengan orang orang Tai-khek-pai itu! Huh, kau menepi sajalah ke sana! Biar kulayani sendiri murid-murid dari Ang-kin Sian-li ini..." Tiauw K iat Su membentak kacungnya. Pemuda itu lalu menyimpan kembali kipasnya dan mengambil kipas yang lebih besar lagi dari bawah baju luarnya. Kipas itu demikian besarnya sehingga luasnya hampir menyamai sebuah payung hujan. Dan kipas tersebut juga terbuat dari lembaran-lembaran baja tipis pula, sehingga bobotnya luar biasa beratnya. Namun demikian, di tangan pemuda itu kipas tersebut tampak ringan sekali.

   "Apakah Siauwya hendak mempergunakan golok juga?" tiba-tiba A Cang berseru dari tepi arena. Tiauw Kiat Su tersenyum.

   "Tidak usah!" jawabnya lantang. Lalu secara mendadak dan tanpa memberi peringatan terlebih dahulu, pemuda itu menyerang lawannya!

   "Whusss..!" Kipas besar itu menyodok ke depan, lalu menyambar ke samping mengarah ke pinggang lawan-lawannya! Sekali serang pemuda itu ingin melukai kedua orang musuhnya.

   "Ah!" kedua gadis manis itu memekik perlahan dan bergegas mengelakkan dirinya. Mereka benar-benar tidak menduga kalau lawannya mau berbuat licik seperti itu. Dan begitu terbebas dari bokongan Tiauw Kiat Su, kedua gadis itu lantas membalas pula. Secara berbareng mereka menyabetkan selendang mereka ke bagian atas dan ke bagian bawah pemuda sekaligus. Dan gelang yang terikat di ujung selendang itu melesat dengan kecepatan kilat ke arah jalan-jalan darah yang mematikan.

   "Siiiing! Trang!" Pemuda itu melenting ke atas sambil menangkis ujung selendang yang menuju ke arah matanya! Kipasnya tergetar, sementara gelang emas itu juga terpental balik ke arah pemiliknya. Namun demikian pemuda itu tidak mengurangi kewaspadaannya. Dan sikapnya itu ternyata sangat menguntungkan. Sebab tanpa terduga sama sekali, tiba-tiba gelang lawan yang membalik tadi lalu melingkar kembali dengan kecepatan yang susah diukur! Padahal bersamaan dengan itu, selendang dari gadis yang satunya juga meluncur ke arah perutnya pula!

   "Bukan main ilmu silat Selendang dari Ngo-bi-pai memang hebat sekali!" Tiauw Kiat Su memuji sambil berjumpalitan kesana-kemari menghindari serangan selendang yang berseliweran di sekitar tubuhnya itu. Kemudian sambil menghentakkan tenaganya pemuda itu sekali lagi membenturkan kipasnya ke gelang lawannya! Tapi kali ini pemuda itu membarenginya dengan memencet tombol kecil di pangkal kipasnya!

   "Trrrrrang! Seeer! Seeeer!" Belasan, bahkan puluhan Jarum kecil berbisa melesat keluar dari lobang lobang rahasia yang terdapat di ujung-ujung kipas itu! Jarum jarum itu me lesat dengan deras bagai hujan gerimis ke arah gadis-gadis itu! Kedua orang pendekar wanita dari Ngo-bi-pai itu cepat menghentakkan selendang mereka. Dan selendang itu secara otomatis segera berputar seperti baling-baling tertiup angin. Akibatnya jarum-jarum kecil itu segera menyibak atau terpental jatuh sebelum mengenai sasarannya.

   "Bagus! sekarang kalian terima lah jurusku ini! Tapi hati-hatilah, di sini ada tipuannya yang amat berbahaya! Awaaass...!" Tiauw Kiat Su dengan suara amat sombong seakan-akan sangat yakin dengan kemampuannya, memberi peringatan kepada lawan-lawannya.

   Tapi kedua gadis itu memang tak pernah melepaskan kewaspadaan mereka. Mereka sangat menyadari dengan siapa mereka sekarang berhadapan. Oleh karena itu begitu melihat pemuda itu menyabetkan kipas besarnya dari atas ke bawah, mereka berdua segera menyingkir ke kanan dan ke kiri. Sama sekali mereka tak berniat untuk menangkis kipas itu, Mereka takut senjata itu akan mengeluarkan jarum-jarum beracun atau benda-benda gelap yang lain lagi. Tapi dengan demikian kedua gadis itu justru benar-benar terjebak dalam perangkap yang dikatakan oleh Tiauw Kiat Su tadi. Pemuda Itu memang bermaksud memisahkan mereka. Sebab dengan terpisahnya mereka, kekuatan mereka menjadi berkurang. Dan keduanya juga akan mengalami kesulitan untuk saling membantu.

   Tiauw Kiat Su cepat mengejar gadis berselendang kuning yang berada di sebelah kirinya, kipasnya yang besar itu terayun ke samping dengan derasnya seakan-akan hendak membelah kepala gadis itu dalam sekali tebasan. Dan kali ini Tiauw Kiat Su benar-benar mengerahkan seluruh ginkang dan lweekangnya, sehingga tidak mengherankan bila gadis itu menjadi kaget dan tak punya kesempatan untuk menghindar lagi! Dan satu-satunya jalan cuma menangkisnya! Sementara itu gadis yang lain tidak kalah pula kagetnya. Sekejap gadis itu menyadari juga jebakan lawannya. Namun apa daya, ia tak dapat segera menolong kawannya, karena ia terhalang oleh lawan yang memisahkan mereka itu. Meskipun demikian, untuk mengurangi tekanan pemuda itu terhadap kawannya, gadis berselendang putih itu mencoba menyerang lawannya.

   Selendangnya ia putar di atas kepala untuk membentuk sebuah payung kecil, dan kemudian melemparkan payung itu ke arah lawannya. Tapi gadis itu menjadi gelagapan setengah mati ketika lawannya yang lihai itu membarenginya dengan taburan jarum-jarum kecil ke arahnya. Dalam kegugupannya gadis itu cepat-cepat menghentakkan selendangnya untuk menangkis sergapan jarum-jarum beracun tersebut. Begitulah, kedua murid Ang-kin Sian-li Siauw Hong Li itu secara berbareng menggerakkan senjata mereka untuk menahan serangan lawan. Gadis berselendang kuning itu menyongsong serangan kipas dengan sabetan gelang di ujung selendangnya, sementara gadis yang berselendang putih itu menghentakkan selendangnya untuk menangkis derasnya hujan jarum yang menyerbu ke arahnya!

   "Traaaaaang! Busss! Cep! Jep Cep!"

   "Aughhhhhh...!"

   "Aaaaaahhhhh...!" Semuanya berlangsung dengan cepat dan tak terduga!

   Kipas Tiauw Kiat Su yang ditangkis dengan sabetan gelang di ujung selendang itu hancur berantakan. Dan pecahannya seluruhnya 'menyerbu' kearah si gadis, sehingga dengan jeritan memilukan gadis berselendang kuning itu roboh mandi darah. Tubuhnya penuh dengan hunjaman baja tipis yang terlepas dari kipas itu! Sebaliknya, nasib Si Gadis Berselendang Putihpun ternyata tidak jauh berbeda dengan temannya itu. Entah apa yang telah terjadi, namun tiba-tiba saja pergelangan tangan kanannya telah terbabat putus oleh senjata lawannya. Dan ketika gadis itu memandang terbelalak ke depan, hampir-hampir ia tak percaya melihat pemuda itu telah menggenggam sebilah golok tipis yang berlepotan darah. Gadis itu lalu menjerit sambil menubruk potongan lengannya yang tergolek di atas tanah!

   "Oooooh...!" sekali lagi para penonton berdesah ngeri. Tapi sebaliknya Tiauw Kiat Su terdengar tertawa lagi dengan pongahnya, Dan pemuda itu semakin tampak puas dan gembira ketika melihat korbannya. Si gadis Berselendang Kuning itu berkelojotan menanti maut.

   "Hahaha! Selamat jalan, gadis manis!" salamnya penuh kekejaman.

   "Ah, Subo! Hentikan kekejaman itu! Teecu tak tahan melihatnya..." Tui Lan merintih di dada gurunya.

   "Hmm! Menghentikan mereka? Apa perlunya? Aku tak berurusan dengan mereka! Apa gunanya aku mencari gara-gara sendiri! Heh... kau tahu apa akibatnya bila aku bermusuhan dengan anak itu? Tung-hai-tiauw akan marah kepadaku! Dan apa akibatnya bila raja bajak laut itu marah kepada kita? Seluruh penduduk dan nelayan di Teluk Po-hai akan terancam jiwanya! Mereka akan menyerang dan mengobrak-abrik teluk itu!"

   "Tapi..."

   '"Sudahlah! Kita tak perlu ikut campur dengah urusan mereka! Marilah kita sekarang pergi dari sini! Kita mencari makan di tempat lain saja," Si Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai itu berkata perlahan.

   "Nah! Siapa mau coba kemampuanku lagi? Silahkan maju! Tapi kalau sudah tidak ada lagi...marilah kalian lanjutkan makan dan minum kalian semua!" terdengar Tiauw Kiat Su berteriak lagi dengan sombongnya. Semuanya terdiam. Tak seorangpun dari sekian banyak pengunjung itu yang berani menjawab atau mengeluarkan suara. Kepandaian dan kekejaman pemuda itu benar-benar mencekam hati dan perasaan mereka. Namun ketika pemuda itu mencari kursi dan hendak duduk kembali mendadak dari luar melayang masuk sesosok bayangan dengan cepat sekali. Seorang lelaki kurus kecil berpakaian sangat mewah berdiri di depan Tiauw Kiat Su. Usianya sudah lebih dari setengah abad, sehingga rambut dan kumisnya sudah bercampur dengan putih! Wajahnya tampak merah kehitaman seperti terbakar oleh sinar matahari.

   "Paman...!" tiba-tiba Tiauw Kiat Su berseru dan menyongsong kedatangan orang itu.

   "Kiat Su! Aku sudah menduga kau tentu ada di sini. Kapan kau tiba di kota ini? Apakah kau telah memperoleh khabar tentang adikmu Tiauw Li Ing"?!" dengan suara kecil nyaring orang yang baru tiba itu bertanya kepada Kiat Su. Wajah pemuda itu berubah gelap. Dengan suara kesal dan tak senang pemuda itu menjawab,

   "Sejak kecil gadis itu memang selalu sukar diurus. Sudah berapa kali ia minggat dari Hai-ong-hu (Istana Raja Laut) dan membikin repot kita?"

   "Ah, jangan mengumpati adikmu! Kau pun tidak lebih baik dari pada dia. Hmm, jadi kau juga belum bisa menemukannya?" orang tua itu berkata sambil memandang korban-korban keganasan keponakannya tersebut. Pemuda itu menggeleng.

   "Kalau begitu, mari kita lekas lekas meninggalkan tempat ini sebelum para pendekar yang berkumpul di kota ini mencincangmu!"

   "Aku tidak takut!" Tiauw Kiat Su menjawab dengan mata menyala. Orang tua itu menyeringai,

   "Jangan takabur! Sendirian kau takkan dapat melawan mereka semua. Apalagi kota ini semakin menjadi gawat sekarang," tegurnya keras.

   "Gawat? Maksud paman?" Tiauw Kiat Su bertanya tak mengerti.

   "Hmm... kau harus sangat berhati-hati mulai sekarang. Selain para pendekar dari partai-partai persilatan itu, sekarang terlihat pula jago-jago kerajaan dari kota raja. Kau masih ingat akan Hong-Lui-Kun Yap Kiong Lee dan jago-jago pengawal rahasia kaisar yang tergabung dalam Sha cap-mi-wi (T iga puluh Pengawal Rahasia Kaisar) itu?"

   '"Hong-Lui-Kun (Si Tinju Petir dan Badai)...?" terdengar suara Tiauw Kiat Su mulai merendah. Orang tua itu menyambar lengan Kiat Su dan menggandengnya ke luar halaman.

   "Betul. Itu saja belum. Tadi pagi aku malahan mendengar berita yang lebih gawat lagi!" paman Tiauw Kiat Su itu berbisik seraya mempercepat langkahnya, sehingga sebentar saja bayangan mereka dan si A Cang itu lenyap dari pandangan para pengunjung restoran tersebut. Setelah berada di tempat sepi di luar kota, paman Tiauw Kiat Su itu berkata,

   "Ketahuilah, Kiat Su. Selain urusan Si Iblis Penyebar Maut itu, dunia persilatan sekarang telah dihebohkan pula oleh berita tentang munculnya sebuah 'Buku Rahasia' yang dicari dan diperebutkan oleh tokoh-tokoh sakti yang selama ini tak pernah keluar dari pertapaannya. Tokoh-tokoh sakti itu dikatakan orang mempunyai kesaktian yang tidak lumrah manusia, sehingga orang-orang yang pernah melihatnya malah menjadi ragu, apakah yang mereka lihat itu manusia sungguh-sungguh atau bukan?" Tiauw Kiat Su tersenyum melihat kekhawatiran pamannya itu.

   "Ah, paman ini terlalu memuji orang. Bagaimana sih paman ini? paman sendiri juga memiliki kesaktian yang tidak lumrah manusia pula. Sedangkan aku meskipun tidak setinggi paman, tapi kepandaianku juga jarang menemui tanding. Lalu, apa anehnya itu? Bukankah kita juga bisa menakut-nakuti orang dusun dengan kepandaian kita, sehingga mereka juga menyangka bahwa kita ini bukan manusia biasa?"

   "Wah. Kau ini bandel amat. Apakah yang pernah melihat itu seorang ketua partai persilatan semacan Hek-pian hok Ui Bun Ting dan Kong--tong Cin-jin itu dapat kita sebut sebagai orang dusun? Heh?" Senyum di wajah Kiat Su itu tiba tiba menghilang.

   "Hek-pian-hok Ui Bun-Ting dan Kong-tong Cin-jin? Apakah paman tidak berkelakar?"

   "Kapan aku pernah berkelakar denganmu? Nah, sekarang kau renungkan lagi! Kalau orang macam Ui Bun Ting dan Kong-tong Cin-jin saja dapat mereka taklukkan dalam satu jurus, lalu macam bagaimana kesaktian mereka itu?"

   "Hanya dalam satu jurus?" Tiauw Kiat Su berseru tak percaya.

   "Siapa... siapakah yang bercerita kepada paman? Apakah Ketua Kong-tong-pai dan Tiam-Jong-pai itu sendiri?"

   "Wah! Cuma dalam satu jurus saja?" A Cang yang sejak tadi hanya diam saja dan tidak berani berlaku sembrono di depan orang tua itu, tiba-tiba berseru pula saking kagetnya. Orang tua itu melirik sekejap kepada A Cang. Kemudian ucapnya perlahan yang ditujukan kepada keponakannya, Tiauw Kiat Su.

   "Kiat Su...! Aku memang mendengarnya sendiri dari ketua Kong-tong-pai dan Tiam-jong-pai itu. Ketahuilah...! Sebelum aku pergi ke restauran itu tadi, aku lebih dulu telah menyusup ke dalam rumah Kang Lam Koai-hiap untuk mencari Tiauw Li Ing di sana. Aku menyamar sebagai pendekar yang hendak ikut memburu Si Iblis Penyebar Maut pula, sehingga aku bisa turut mendengarkan pembicaraan mereka. Dan secara kebetulan pula mereka sedang ribut menolong ketua Kong-tong-pai dan Tiam-Jong-pai yang baru saja dilukai oleh manusia sakti itu..."

   "Buku Rahasia...?" Tiauw Kiat Su bergumam perlahan. Dahinya berkerut.

   "Buku apakah itu? Mengapa sampai diperebutkan oleh para pertapa sakti yang sebelumnya tak pernah mau keluar dari tempat pertapaannya?"

   "Nah! Itulah sebabnya aku tadi lekas-lekas menyeretmu pergi dari restoran itu. Kota ini sekarang baru penuh dengan manusia-manusia sakti serta tokoh-tokoh persilatan klas tinggi. Cobalah kaupikirkan...! Kalau kebetulan di restoran tadi ada hadir salah seorang dari mereka itu, apa jadinya dengan engkau? Apakah engkau mampu melawan orang yang dapat mengalahkan Kong-tong Cin-jin dalam sekali pukul itu?"

   "Baiklah, paman... aku mohon maaf," akhirnya Tiauw Kiat Su mengakui kesembronoannya.

   "Tapi, paman... buku apa sebenarnya yang diperebutkan oleh manusia-manusia sakti itu? Mengapa ia sampai bisa mengusik hati para pertapa sakti yang sebelumnya tak ada keinginan untuk keluar dari pertapaannya itu? Demikian hebatkah buku itu?" Orang tua itu menengadahkan kepalanya.

   "Entahlah! Tak seorangpun yang mengetahuinya... Ah, sudahlah! Lebih baik kita memikirkan urusan kita sendiri saja!" Tiauw Kiat Su menghela nafas panjang.

   "Lalu" apa yang hendak kita lakukan sekarang, paman?" pemuda itu minta pendapat pamannya.

   "Tentu saja kita meneruskan tugas yang diberikan oleh ayahmu! Kita mencari adikmu sampai dapat. Hmm... Di kota Liang-yang aku mendengar adikmu pergi bersama-sama kakek buta. Tapi ketika kutanyakan tak seorangpun tahu siapakah orang buta itu""

   "Ahh, gadis itu sungguh menyebalkan!" Tiauw Kiat Su menggerutu. Sementara itu sepeninggal mereka, restoran itu lalu menjadi sibuk luar biasa. Korban keganasan Tiauw Kiat Su tadi segera diberi pertolongan oleh para pengunjung restoran itu. Malah beberapa orang diantara mereka segera berlari pergi ke rumah Kang Lam Koai-hiap untuk mengabarkan kejadian tersebut.

   "Tui Lan! Untunglah aku tadi tidak memenuhi permintaanmu untuk menolong murid-murid Tai-khek-pai itu. Tahukah kau, siapa paman pemuda itu tadi? Dia adalah orang kedua setelah Tung-hai-tiauw, namanya Tung-hai Nung jin (Petani Dari Lautan Timur)...! Orang tua itu jauh lebih lihai dan lebih licik dari pada keponakannya itu!"

   "Tung-hai Nung-jin...? Subo, rasa-rasanya teecu pernah mendengar nama itu ebelumnya."

   "Aku memang pernah bercerita kepadamu tentang orang itu. Dahulu Tung-hai Nung-jin itu pernah berhadapan dengan Kauw-cu-si(Pengurus pusat Keagamaan) kita, Tong Ciak, di Kuil Delapan Dewa. Mereka mempunyai kesaktian yang hampir berimbang. Baru Setelah Tong Ciak Lo-Cianpwe itu mengeluarkan ilmu Silat Kulit Domba, tokoh bajak laut tersebut dapat dikalahkan."

   "Ya, subo pernah menceritakan hal itu... Eh! Subo lihat! Ada yang datang lagi...!" tiba tiba Tui Lan berbisik kepada gurunya. Dari luar halaman masuk seorang laki-laki tinggi tegap bersama seorang wanita separuh baya berpakaian anggun. Mereka berusia sekitar lima puluhan tahun namun demikian wanita itu masih kelihatan gesit dan menarik. Apalagi dengan selendang merah yang melilit pinggangnya itu!

   "Dia adalah ketua Tai-khek-pai!" Si Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai berbisik pula kepada Tui Lan.

   "Namanya... Ouw-yang Su!"

   "Wanita cantik itu?" Tui Lan bertanya seraya menunjuk ke arah perempuan separuh baya itu.

   Mendadak Si Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai itu menggeram.

   "Huh! Kuntilanak itu? Dia adalah ketua Ngo-bi-pai. Namanya Siauw Hong Li. Dan kesukaannya adalah merebut kekasih dan suami orang...!" Tui Lan cepat berpaling ke arah gurunya. Pipinya bersemu merah, namun matanya menatap gurunya penuh tanda tanya.

   "Ah, subo...!" desahnya,"Kenapa subo tampaknya tidak menyukai wanita itu?"

   "Ssssst, diamlah! Lihat apa yang hendak mereka kerjakan!" Selesai memeriksa mayat-mayat murid mereka, kedua tokoh persilatan itu menggeram dan mengepalkan tinjunya. Mereka menatap berkeliling ke arah pengunjung yang berada di dalam restoran itu.

   "Kemana para bajak laut itu sekarang?" Siauw Hong Li yang telah kehilangan seorang muridnya itu bertanya. Lalu ketika tiba-tiba terpandang olehnya wajah Si Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai diantara penonton itu, seketika air mukanya menjadi gelap!

   "Huh! Ternyata kaki tangan para pengecut itu masih berada di sini!"

   "Siapa...?" Ouw-yang Su menegaskan.

   "Itu dia!" Siauw Hong Li berseru seraya menuding Si Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai.

   "Perempuan kotor!" Si Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai mengumpat kasar saking marahnya, lalu tubuhnya melesat ke depan menyerang Siauw Hong Li.

   "Hai!" Ouw-yang Su berseru kaget dan menghindar ke samping. Sebaliknya, seperti seekor kucing yang berjumpa dengan musuh lamanya, Siauw Hong Li segera menyongsong serangan Si Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai itu! Tiba-tiba saja ujung selendangnya telah meletus di udara!

   "Taaaar...!" Si Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai berjumpalitan di udara, lalu melesat ke kiri dengan tangkasnya, sehingga letusan itu tidak mengenai dirinya. Dan begitu kakinya menginjak lantai,tangannya tahu-tahu sudah menggenggam sebilah pedang panjang. Dan sedetik kemudian, dengan kemarahan yang meluap-luap perempuan tua itu telah melesat kembali menyerang lawannya! Pedangnya menusuk ke bawah, kemudian melengkung ke atas dalam jurus Memegang Pena melukis Bulan! Tapi Siauw Hong Li juga tidak mau berdiam diri saja menantikan serangan itu. Dengan cepat selendangnya berputar di atas kepalanya. Lalu dengan mengerahkan seluruh tenaganya, ujung selendang yang melingkar-lingkar itu ia dorong ke atas menyongsong kedatangan senjata lawan.

   "Taaar!" Ujung pedang yang melingkar ke arah kepala itu membentur ujung selendang yang digantungi gelang! Dan sekejap kemudian selendang itu membelit mata pedang dengan eratnya! Untuk sesaat kedua orang lawan itu saling mempertahankan senjata mereka masing-masing. Tapi ketika Siau Hong Li menghentakkan seluruh tenaga saktinya, maka Si Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai tidak bisa bertahan lagi. Namun demikian perempuan tua itu tetap tak mau melepaskan pedangnya. Akibatnya ia ikut terlempar tinggi ke udara! Siauw Hong Li tersenyum. Tapi senyum itu segera hilang ketika lawannya yang terlempar tinggi ke udara itu tiba-tiba melemparkan belasan pisau kecil ke arahnya!

   "Siiiiiing! Siiiiiiing! Siiiing!" Siauw Hong Li cepat melepaskan lilitan selendangnya, kemudian mati-matian menghindarkan diri dari sergapan pisau kecil yang menyerang dengan cepat sekali itu.

   "Gila...!" umpatnya seraya membenahi kembali bajunya yang kedodoran.

   "Tahan...!" Ouw-yang Su cepat melompat menengahi perkelahian mereka.

   "Mengapa kalian lantas bertempur tanpa sebab? Bukankah Lo-ni adalah Si Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai itu?" Si Pendata Palsu Dari Teluk Po-hai mendengus marah.

   "Dialah yang memulainya. Sejak semula aku toh hanya diam saja! Dialah yang mulai dengan kata kata kotor dan menyakitkan hati! Siapakah yang mau dihina oleh kuntilanak macam dia?"

   "Kurang ajar! Jaga mulutmu! Kaulah yang hina dan kotor! Mana ada seorang pendeta pernah bunting selain kau! Huh!" Siauw Hong Li yang dikatakan 'kuntilanak' itu menjerit marah.

   "Bangsat! Kubunuh kau!" Si Pendeta Palsu Dari Teluk Pohai berteriak marah pula. Tapi Ouw-yang Su cepat melerai mereka.

   "Jangan berkelahi sendiri!" teriaknya keras.

   "Kuasailah hati dan pikiran kalian! Jangan nodai persatuan kita dengan pertumpahan darah diantara kita sendiri! Simpanlah tenaga kalian untuk melawan Si Iblis Penyebar Maut nanti!" Meskipun dengan menahan geram, kedua wanita tua itu terpaksa menuruti permintaan Ouw-yang Su. Dengan mata masih melotot keduanya segera menyimpan senjata masing-masing.

   "Nah! Terima kasih...!" Ouw-yang Su berdesah lega. Lalu katanya lebih lanjut kepada si Pendeta Palsu dari teluk Po-hai.

   "Lo-ni...! Apakah sebenarnya yang terjadi disini tadi? Benarkah orang-orang Tung-hai-tiauw yang melukai dan membunuh murid-murid kami itu?" Dengan sikap yang masih tegang dan kaku si Pendeta Palsu dari teluk Po-hai terpaksa menganggukkan kepalanya.

   "Benar"! Tapi mereka bertanding secara jantan dan berhadapan muka sehingga aku tak berani mencampurinya."

   "Bilang saja... kau takut! Tak perlu mengajukan alasan yang bukan-bukan...!" Siauw Hong Li mengejek.

   "Kuntilanak bermulut kotor! Majulah! Mari kita berkelahi sampai mati! Jangan hanya berani membuka mulut saja!" si Pendeta Palsu dari teluk Po-hai berteriak sengit.

   "Sudah...! sudah, jiwi jangan berkelahi lagi! Siauw Hong Li, mari kita bawa murid-murid kita ini ke rumah Kang Lam Koai-hiap! Setelah itu kita rundingkan cara-cara menghadapi Tung-hai-tiauw itu..." Ouw-yang Su menengahi perselisihan perempuan-perempuan tua itu lagi. Demikianlah, kedua orang ketua partai persilatan itu lalu membawa murid-muridnya pulang. Dan Si Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai yang semula mau pergi menemui Kang Lam Koai-hiap itu, mendadak mengurungkan niatnya. Perselisihannya dengan Ketua Ngo-bi-pai membuatnya enggan dan malas untuk pergi ke sana lagi. Paling-paling dia akan berjumpa pula dengan musuh bebuyutannya itu.

   "Kemana kita sekarang, subo?" Tui Lan bertanya kepada gurunya setelah mereka berada di jalan kembali.

   "Kita tak usah bergabung dengan mereka. Kita cari sendiri iblis itu." Si Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai menjawab.

   "Sekarang marilah kita mencari penginapan dahulu, kemudian meneruskan acara makan kita yang tertunda tadi." Tui Lan tak berani bertanya lagi. Gadis itu tahu kalau gurunya amat benci kepada Ang-kin Sian-li Siauw Hong Li tadi. Hanya saja gadis itu tak tahu apa yang menyebabkan kedua orang itu yang tampaknya sudah saling mengenal sebelumnya itu demikian membenci satu sama lain. Begitulah, kedua orang guru dan murid itu akhirnya memperoleh penginapan juga. Karena belum beristirahat sejak kemarin, maka keduanya segera memasuki kamar masing-masing.

   "Beristirahatlah yang banyak, karena nanti malam kita akan berburu si Iblis Penyebar Maut!" pesan perempuan tua itu kepada Tui Lan.

   "Ah, subo... Kalau boleh... kalau boleh, teecu tak usah ikut saja. Bi-biarlah teecu menunggu subo di penginapan ini." dengan suara takut takut Tui Lan berkata kepada gurunya.

   "Nah, kau sudah hendak mulai lagi dengan kecengenganmu! Lalu apa gunanya kalau hanya aku yang berangkat! Bukankah semua ini urusanmu? Kau ini bagaimana, sih?" perempuan tua itu membentak marah.

   "Tapi... baik... baiklah, subo. Teecu akan ikut."

   "Nah begitu lebih baik! Sekarang beristirahatlah! Nanti akan kupesan agar pelayan mengantar makanan ke kamarmu saja. Dan kita tak perlu keluar pula lagi." Mereka lalu memasuki kamar masing masing. Setelah membersihkan badan, berganti baju, dan makan makanan yang diantar oleh pelayan, mereka lalu beristirahat hingga sore hari. Malamnya, Tui Lan dan gurunya baru keluar dari kamar mereka. Keduanya telah berganti lagi dengan pakaian serba gelap, agar lebih leluasa berjalan di malam hari. Dan demi keselamatan atau keamanannya, Tui Lan sengaja berpakaian secara laki-laki. Rambutnya yang panjang itu ia gelung ke atas, kemudian ia tutup dengan sebuah topi sasterawan biru tua.

   Bajunyapun ia memilih yang agak besar dan sedikit kedodoran untuk menyembunyikan bentuk tubuhnya yang ramping. Itupun dia masih mengenakan baju luar yang lebar pula, sehingga orang yang bertemu dengan dia takkan menyangka sedikitpun kalau dia seorang gadis. Apalagi gadis itu telah mendandani wajahnya sedemikian rupa sehingga kecantikannya yang alamiah itu tidak begitu merangsang pandangan lagi. Namun demikian dengan dandanannya itu tetap saja dia menjadi seorang pemuda yang tampan sekali. Penginapan itu juga membuka sebuah restoran di ruang depan. Tapi tempat itu kelihatan sepi ketika Tui Lan dan gurunya masuk. Yang tampak disana hanya seorang pelayan saja, yang duduk kelelahan di pojok ruangan. Namun pelayan itu segera berdiri tergopoh-gopoh ketika mereka masuk.

   "Mari silahkan duduk. Nyonya! Mari tuan muda..." dengan sangat ramah pelayan itu menyambut kedatangan Tui Lan.

   "Kenapa sepi sekali? Dimanakah para penghuni kamar yang lain?" Si Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai bertanya kepada pelayan itu.

   "Semuanya telah pergi sejak sore tadi. Kami dengar ada keributan di Lembah Dalam sana," pelayan itu menjawab bersemangat.

   "Oh, ya... nyonya dan tuan ingin pesan makanan apa?"

   "Keributan? Di Lembah Dalam? Eh... kau tahu? Keributan apa itu? Dan... dimana lembah itu?" dengan suara kaget Si Pendeta Dari Teluk Po-hai bertanya. Mendadak wajah pelayan itu menampilkan rasa ngeri dan ketakutan.

   "Entahlah...! Saya... saya tak mengetahuinya. Orang-orang itu hanya mengatakan bahwa di lembah yang angker itu telah terjadi pertempuran antara jin, setan, iblis dan hantu! Makhluk-makhluk tersebut tidak satupun yang kelihatan ujudnya. Para penonton hanya bisa melihat akibat dari pertempuran mereka saja, yaitu debu yang mengepul tinggi, batu-batu karang yang pecah berantakan, suara-suara bentakan yang mendirikan bulu-roma dan lain sebagainya." Ketika Si Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai hendak bertanya lagi, tiba-tiba dari sebuah kamar muncul seorang lelaki gagah, berpakaian ringkas diiringkan lima orang lelaki berpakaian ringkas pula. Mereka berjalan lewat di tempat tersebut dengan amat tergesa-gesa. Dan lelaki gagah berusia sekitar tiga puluh enam tahun itu hanya menoIeh sekejap kepada pelayan itu.

   "Kami akan keluar dulu! Tolong kau bersihkan kamar kami!" katanya pendek. Si Pendeta Palsu dari teluk Po-hai cepat menarik lengan Tui Lan dan dibawanya pergi mengejar rombongan lelaki gagah itu. Tentu saja pelayan restoran itu menjadi bingung melihat ulah mereka. Sambil memandang kepergian Tui Lan dan gurunya, dia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

   "Ah, akhir-akhir ini banyak sekali iblis dan hantu yang berkeliaran mengganggu manusia, sehingga banyak orang yang menjadi linglung dan ketakutan dalam hidupnya." Tui Lan berlari-lari kecil di belakang gurunya. Namun langkahnya semakin lama menjadi semakin ketinggalan ketika gurunya itu menjadi semakin cepat pula dalam mengejar rombongan lelaki gagah itu. Apalagi ketika mereka telah keluar dari pintu gerbang kota sebelah timur. Rombongan lelaki gagah itu tampaknya benar-benar amat tergesa sehingga begitu keluar dari pintu gerbang kota, mereka lantas mengerahkan seluruh ginkang mereka. Sebentar saja bayangan mereka telah hilang ditelan kegelapan malam. Si Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai menahan langkahnya, lalu berjalan perlahan sambil menunggu kedatangan muridnya.

   "Uh-uh-uh...! Subo, kemanakah mereka?" Tui Lan dengan terengah-engah bertanya kepada gurunya.

   "Hmmmmh!" Si Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai menghela napas.

   "Mereka berlari cepat sekali! Sungguh amat suIit sekali mengejar mereka di dalam kegelapan begini...! Ah, bagaimanapun juga jagoan-jagoan istana itu memang hebat sekali!"

   "Jagoan-jagoan istana? Subo maksudkan orang-orang yang kita kejar tadi? Siapakah mereka itu, subo? Dan mengapa tiba-tiba subo mengejar mereka?"

   "Lelaki gagah itu adalah Jago silat nomer satu di istana. Dia adalah kakak kandung Panglima Bala Tentara Kerajaan. Namanya... Hong-Lui-Kun Yap Kiong Lee! Dan kelima orang yang mengawalnya tadi tentulah jagoan-jagoan Sha-cap mi-wi yang terkenal itu."

   "Oh..?" Tui Lan berdesah kagum.

   "Tapi... mengapa subo mengejarnya? Apakah subo telah mengenal mereka?"

   "Bodoh! Mana mereka kenal pada pendeta dusun seperti aku? Aku mengejar mereka, karena aku yakin mereka akan pergi ke Lembah Dalam itu. Nah, maksudku dari pada aku sulit-sulit mencari tempat itu, bukankah lebih baik bila aku mengikutinya?"

   "Jadi... jadi subo hendak melihat pertempuran para jin dan setan itu?"

   "Hush! Omong kosong...! Mana ada jin dan setan di dunia ini? Mereka tentu manusia-manusia juga seperti kita. Cuma begitu tinggi kesaktian mereka, sehingga semua yang dilakukan oleh mereka sangat menakjubkan orang-orang bodoh seperti kita."

   "Ahh... Subo juga memiliki kesaktian yang amat hebat pula!"

   "Ah... kau ini benar-benar seperti katak di dalam tempurung. Hanya gurumu saja yang kau ketahui selama ini... Sudahlah, mari kita mencari lembah itu sendiri!" Tui Lan tersenyum kemalu-maluan. Namun wajahnya tiba-tiba menjadi berseri-seri kembali ketika melihat sepetak sawah yang baru selesai dibajak pemiliknya.

   "Eh, Subo... bukankah jalan ini adalah jalan yang kita lalui pagi tadi?" katanya gembira.

   "Benar! Dan... itulah puncak bukit yang kita daki pagi tadi!"

   "Hei! Bila demikian... bila demikian... apakah Lembah Dalam itu tempat teecu menguburkan Ang-leng Kok-jin itu?" Tui Lan mengatakan dugaannya.

   "Ah... mungkin kau benar Tui Lan. Kalau begitu, marilah kita kesana!" Keduanya lalu berlari cepat mempergunakan ginkang mereka. Sebenarnya ilmu kepandaian Tui Lan tidak kalah dengan murid-murid ketua partai persilatan yang kini ada di kota Soh-ciu itu. Tapi karena jiwa Tui Lan yang cinta damai dan tidak suka kekerasan itu, membuat dia kelihatan lemah dan seperti orang bodoh. Mereka menuruni jurang itu dari tempat yang sama pula. Tapi ketika mereka sampai di tempat kuburan Ang-leng Kok-jin itu, mereka tidak melihat atau menemukan apa-apa. Tempat itu sunyi dan sepi.

   "Mungkin bukan ini yang mereka namakan Lembah Dalam." Si Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai berbisik kepada Tui Lan. Tiba-tiba sayup-sayup terdengar suara bentakan dan dencing senjata ke telinga mereka!

   Memburu Iblis Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Eh, Tui Lan! Kau mendengar sesuatu?"

   "Ya, subo. Seperti suara pertempuran." Mereka lalu bergegas mencari arah suara itu. Lembah atau dasar jurang itu bentuknya memanjang seperti dasar sungai yang kering, berkelok-kelok mengitari bukit itu, sehingga suara itu kadang-kadang terdengar jelas, kadang-kadang hilang.

   "Subo...! Jurang ini makin lama makin dalam. Lihatlah tembok tebing yang berlapis-lapis itu!"

   "Hei! Benar katamu. Tui Lan! Lihat di depan ini! Dasar jurang ini terputus di sini! Dan...hai! Di depan masih ada lagi palung yang dalam!" Tui Lan berlari mendekati gurunya. Dilihatnya gurunya duduk termangu-mangu di atas batu, menatap ke depan, ke jurang yang lebih dalam lagi. Dan ketika angin bertiup agak lebih kencang, tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara hiruk pikuk dari dalam palung yang dalam itu.

   "Eh, Subo...! Di bawah sana terdengar suara pertempuran! Mungkin palung inilah yang disebut Lembah Dalam itu..." Tui Lan berseru.

   "Mungkin, Marilah kita merayap ke sana!" Dengan sangat hati-hati sekali guru dan murid itu kembali merayapi tebing terjal yang licin dan berlumut. Dan makin ke bawah, suara pertempuran itu semakin jelas terdengar. Tapi bersamaan dengan itu pula, bau amis darah pun juga semakin keras menusuk hidung pula, sehingga guru dan murid itu diam diam menjadi berdebar-debar dan menduga-duga di dalam hati, ada apa sebenarnya di dasar palung jurang itu.

   "Subo...! Apakah kita tidak lebih baik kembali ke atas saja? Lama-lama teecu merasa ngeri juga..." Tui Lan yang berhati kecil itu berkata gemetar sambil mengawasi kegelapan yang melingkupi dirinya.

   "Rasanya... rasanya kita ini hendak masuk ke dalam perut bumi yang gelap dan penuh berisi kolam darah!"

   "Tidak, Tui Lan! Lihat di bawah itu! Kaulihat obor-obor itu?" mendadak perempuan tua itu memotong perkataan muridnya. Tui Lan memandang ke bawah. Dasar palung itu tinggal sepuluh atau lima-belas tombak saja lagi. Dan dari tempat mereka berada, pertempuran itu sudah kelihatan samar-samar, dimana puluhan obor berseliweran, serta puluhan atau bahkan malah ratusan orang bertempur mengeroyok seseorang.

   "Hei! Tampaknya Si Iblis Penyebar Maut telah dapat dijebak di tempat ini." Si Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai berseru gembira.

   Keduanya lalu bergegas turun. Tapi setelah berada di bawah, mereka malah tertegun di tempat masing-masing! Apa yang mereka saksikan di dasar palung itu sungguh amat mengerikan sekali! Tui Lan yang berhati lemah itu segera membalikkan tubuh dan menutupi wajahnya! Di depan mereka, diantara obor yang berceceran di segala tempat, tampak mayat-mayat bergelimpangan tumpang tindih tak beraturan! Ada yang masih mengerang kesakitan, ada pula yang bergerak-gerak menghadapi sekaratul-maut! Darah segar masih mengalir dan berceceran di mana-mana, menandakan bahwa kematian mereka belumlah lama. Dan tampaknya tempat tersebut bekas dipakai sebagai arena pertempuran, yang kini telah bergeser menjauh dari tempat itu.

   "Tui Lan, jangan takut. Besarkanlah hatimu! Marilah kita menuju ke tempat pertempuran itu!" Si Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai menepuk bahu muridnya.

   "Subo, teecu... teecu tidak tahan melihatnya."

   "Sudahlah! Marilah kau ikuti aku! Tutup sajalah matamu...!" Tapi mana bisa Tui Lan menutup matanya terus-menerus? Gadis itu justru ma lah menjadi takut kalau kakinya nanti menginjak kepala mayat-mayat itu. Oleh karena itu dengan memberanikan hatinya, Tui Lan lalu membuka matanya dengan paksa. Ditatapnya mayat-mayat yang dilangkahinya itu dengan hati tak keruan rasa.

   "Liih...!" gadis itu menjerit lirih ketika melihat mayat salah seorang anggota Kong-tong Ngo-hiap.

   "Ahhh!" gadis itu memekik lagi ketika kakinya hampir menginjak perut pendekar Tai-khek-pai yang tadi siang bertempur dengan Tiauw Kiat Su itu.

   "Jangan kauhiraukan semuanya itu! Tampaknya mereka semua telah menjadi korban Si Iblis Penyebar Maut! Marilah kita cepat ke sana! Kita jangan sampai ketinggalan." Si Pendeta Palsu Dan Teluk Po-hai berteriak ke arah muridnya. Palung yang berada di dasar jurang yang amat dalam itu benar-benar seperti lobang kuburan saja layaknya. Setiap empat atau lima langkah, kedua orang guru dan murid itu tentu menemukan mayat para pendekar yang tergabung dalam pimpinan Kang Lam Koai-hiap itu.

   "Aih. Subo... lihat! Bukankah mayat ini mayat ketua Tai-khek-pai itu...!" tiba-tiba Tui Lan berteriak sambil menuding sebuah mayat yang terkapar berpelukan dengan sesosok mayat yang lain. Si Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai berhenti pula dan memeriksa mayat itu. Dibukanya pelukan mayat itu.

   "Heh! Kurang ajar...! Ouw-yang Su dan Siauw Hong Li! Hmmmm... tampaknya kuntilanak yang haus lelaki ini telah menjerat hati Ouw-yang Su pula. Huh, dasar...I" perempuan tua itu mengumpat-umpat. Lalu bentaknya kepada Tui Lan,

   "Biarkan saja! Mereka telah mendapatkan hukuman yang setimpal. Marilah kita berjalan terus!" Tapi baru sepuluh langkah mereka berjalan, tiba-tiba perempuan tua itu membungkuk lagi ke sebuah mayat yang lain.

   "Hei! Kang Lam Koai-hiap yang belum sembuh dari lukanya itu juga ikut menjadi korban pula!" serunya keras.

   "Wah, kalau begitu pimpinan dari para pendekar itu tinggal Kong-Tong Cin-jin dan Hek-pian-hok Ui Bun Ting saja, subo?" Tui Lan yang ikut berjongkok di samping gurunya itu bertanya gemetar.

   "Ya...!" gurunya berbisik perlahan. Tampaknya kematian Kang Lam Koai-hiap itu benar-benar telah mempengaruhi hatinya yang keras.

   "Iblis itu kelihatannya memang tidak terkalahkan oleh siapapun juga! Sekian banyaknya pendekar yang datang, tapi ternyata tak satupun yang mampu menangkapnya." desahnya kemudian.

   "Subo, pertempuran itu telah kelihatan dari sini," ucap Tui Lan menyadarkan gurunya.

   "Benar, marilah kita lihat macam apa Iblis Penyebar Maut itu...!" Tapi perempuan tua itu menjadi bingung ketika dari kejauhan ia melihat ada dua arena di dalam pertempuran itu.

   "Eh, Tui Lan...! Mengapa ada dua buah arena di sana? Apakah iblis itu mempunyai kawan?"

   "Subo, marilah kita kesana melihatnya!" Tui Lan yang sudah bisa menguasai kengeriannya itu berkata, lalu mendahului berjalan.

   "Tui Lan, tunggu..." Si Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai memanggil muridnya, kemudian berlari mengejarnya. Tapi lagi-lagi belum ada lima belas langkah perempuan tua itu berjalan mendadak telinganya mendengar rintihan yang amat mengejutkan hatinya!

   "Sui Nio...! Kaukah itu?" Si Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai itu menghentikan langkahnya dengan tiba-tiba pula! Ada seseorang yang telah memanggil nama kecilnya! Dan orang itu tampak menggeletak mandi darah di atas sebongkah batu besar.

   "Siapakah kau? Kenapa kau tahu... nama kecilku? Apakah kita pernah... hei, Bun Ting! Kaukah itu?" Si Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai itu lantas menubruk orang yang terluka parah itu. Sambil memangku kepala orang itu, Si Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai membersihkan gumpalan-gumpalan darah membeku yang melekat di wajahnya.

   "Bun Ting, apamu yang terluka? Katakanlah! Biarlah aku mengobatimu!" perempuan tua itu berbisik di telinga ketua Tiam-jong-pai itu seperti orang merintih.

   "Sui Nio...! Bertahun-tahun kita tak pernah berjumpa, tapi aku tetap ingat pada suaramu. Kulit kita sudah sama-sama berkeriput, tapi selama itu pula aku tak pernah dapat melupakanmu...!" Ui Bun Ting berdesah perlahan.

   "Apakah kau tidak jadi kawin dengan Siauw Hong Li itu?" perempuan tua itu berbisik pula dengan suara sedih.

   "Ah, engkau telah salah paham. Aku tak pernah tertarik kepadanya. Dialah yang mengejar-ngejarku. Engkau telah terjebak dalam tipu muslihatnya, sehingga engkau menjadi salah sangka terhadapku. Engkau lantas pergi jauh meninggalkanku, membuat aku kelabakan mencarimu kemana-mana dan aku tak pernah bisa menemukan engkau, Sui Nio, kini aku telah menjumpaimu...sayang, Thian tak merestui kita..."

   "Bun Ting, kau tidak boleh mati...!" Si Pendeta Palsu Dari teluk Po-hai itu berdesah serak seraya memeluk kepala orang itu.

   "Jangan bersedih, Sui Nio! Aku takkan mati. Tapi...meskipun demikian, untuk selanjutnya aku akan menjadi lelaki yang tak berguna lagi. Seluruh kepandaianku telah musnah. Jangankan untuk berkelahi seperti dulu, untuk membunuh ayampun sekarang rasanya sudah tak mampu lagi."

   "Oh, Bun Ting... siapakah orangnya yang berani melukai sedemikian parahnya? Apakah si Iblis Penyebar Maut itu?"

   "Entahlah! Orang itu menyangkal ketika kami menuduhnya sebagal Si Iblis Penyebar Maut. Tapi kepandaiannya, ciri-cirinya, kata Kang Lam Koai-hiap memang mirip iblis itu, maka kami semua yakin kalau dia tentu si Iblis Penyebar Maut itu!"

   "Dimanakah dia sekarang?" Si Pendeta Palsu Dari Teluk po-hai menggeram marah.

   "Akan kubalaskan sakit hatimu ini!"

   "Sui Nio, jangan...! Kepandaiannya benar-benar seperti iblis. Kita semua bukanlah lawannya. Apalagi dia mempunyai kawan yang kesaktiannya juga tidak kalah dari pada dia.Jangan...Lihatlah di belakangmu! Lihat puluhan, bahkan ratusan korban itu! Mereka semua bukanlah pendekar-pendekar sembarangan. Namun demikian mereka semua telah dibabat habis oleh iblis-iblis itu hanya dalam empat atau lima jurus saja..."

   "Tapi kulihat mereka sekarang tidak mampu lagi untuk lekas-lekas membereskan para pengeroyoknya. Kemampuan mereka tampaknya telah jauh menyusut..."

   "Kau salah menduga lagi, Sui Nio. Mereka takkan pernah susut tenaganya. Tapi mereka sekarang memang sedang menghadapi keroyokan jago-jago silat kelas satu dari dunia persilatan kita. Lihatlah ke arena yang di sebelah barat itu! Kau tahu, siapakah yang berhadapan satu lawan satu dengan teman si iblis itu? Dia adalah pendekar ternama Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai! Dan siapakah yang menghadapi si iblis di arena sebelah timur itu? Mereka tidak lain adalah jagoan-jagoan kerajaan, Hong-Lui-Kun Yap Kiong Lee dan para pengawalnya. Mereka itu telah bertempur lebih dari dua-puluh jurus."

   Si Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai memandang ke arah pertempuran. Meskipun sangat samar-samar karena hanya ada beberapa buah obor yang menerangi tempat itu, tetapi dengan matanya yang sudah amat terlatih, perempuan tua itu dapat melihat betapa dahsyatnya pertempuran tersebut. Gerakan mereka luar biasa cepatnya, sehingga kaki-kaki mereka seperti tidak pernah menyentuh tanah sama sekali. Sementara angin pukulan mereka terdengar berciutan memekakkan telinga, dan sesekali malah terdengar menggelegar bila menghantam bebatuan atau tebing palung itu! Diam-diam perempuan tua itu menggeleng-gelengkan kepalanya, sadar bahwa kepandaiannya memang belum dapat disejajarkan dengan mereka itu. Kalau toh dia memaksa juga untuk terjun ke dalam arena itu, paling-paling dia juga hanya bisa bertahan sejurus dua jurus pula seperti yang lain.

   "Nah, bagaimana pendapatmu, Sui Nio? Kau takkan menyia-nyiakan hidupmu, bukan? Biarlah Hong-Gi-Hiap dan Hong-Lui-Kun itu saja yang membereskan mereka. Sekarang kaukerahkan saja tenaga saktimu untuk mengobati luka dalamku!"

   "Tapi..." Perempuan tua itu tampak ragu-ragu. Matanya memandang lepas ke depan, seolah-olah ada yang membebani hatinya. Tapi beberapa saat kemudian mata itu kembali meredup pula lagi, dan selanjutnya kembali menatap wajah Ui Bun Ting yang pucat seperti mayat.

   "Baiklah, Bun Ting. Aku akan mengobati lukamu lebih dulu. Marilah...!" akhirnya perempuan tua itu berkata sambil menghela napas panjang.

   "Terima kasih, Sui Nio..." Sementara itu tanpa disadari oleh gurunya, Tui Lan telah berjalan semakin mendekati arena pertempuran. Biarpun angin pukulan mereka itu menyambarnyambar di sekelilingnya, malah kadang-kadang meletus dan mengelepar di dekatnya, Tui Lan tetap berjalan terus mendekati pertempuran dahsyat itu. Sesekali gadis itu tampak terhuyung-huyung bila angin pukulan mereka menghembus atau menyerempet tubuhnya. Tapi semakin dekat dengan pertempuran itu, mata Tui Lan justru semakin kabur melihatnya. Mereka bertempur cepat bagai kilat, sehingga hanya bayang-bayang mereka saja yang dapat dilihat oleh matanya. Namun demikian, setelah beberapa waktu lamanya, gadis itu dapat juga mengenali salah seorang diantara mereka.

   "Kakek Giok-bin Tok-ong...!" gumamnya sedikit keras. Kakek tampan yang kelihatannya sudah mulai dapat menguasai Hong-Lui-Kun dan para pengawalnya itu, ternyata mendengar juga gumam Tui Lan itu.

   "Hei, gadis ayu! Kau masih berada di jurang ini juga? Dimanakah gurumu itu?" teriaknya seraya melompat keluar dari kepungan musuh-musuhnya, sehingga Hong-Lui-Kun dan kawan-kawannya dapat bernafas lega kembali. Namun Tui Lan tidak segera menjawab pertanyaan kakek sakti itu, sebaliknya gadis itu malah mengajukan pertanyaan pula,

   "Lo-Cianpwe, benarkah Lo-Cianpwe itu si Iblis Penyebar Maut seperti dugaan semua orang ini?"

   "Hussh, jangan banyak omong! Lekaslah menjawab pertanyaanku tadi! Dimanakah si Pendeta Palsu gurumu itu, heh?" kakek itu membentak marah. Tui Lan menjadi ketakutan.

   "itulah dia ada di belakang!" jawabnya cepat. Sungguh mengherankan sekali! Begitu tahu Si Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai juga berada di tempat itu, tiba-tiba kakek sakti itu menjadi pucat wajahnya! Seperti kemarin malam juga, tiba-tiba kakek itu lalu me lesat pergi meninggalkan tempat itu pula. Hanya saja sebelum lenyap
dari pandangan,. kakek sakti itu sempat berteriak ke arah temannya.

   "Bu-tek Sin-tong (Anak Ajaib Tanpa Tanding), aku pergi dulu! Kita bertemu lagi besok malam di Perut Naga untuk melanjutkan urusan "Buku Rahasia" itu...!"

   "Lo-Cianpwe, tunggu...!" Tui Lan berseru, lalu berusaha mengejarnya. Tempat dimana Giok-bin Tok-ong tadi lenyap adalah tembok tebing palung itu. Dan ketika Tui Lan datang mendekati, ternyata disitu ada sebuah lubang kecil sebesar perut kerbau. Dengan agak ragu-ragu Tui Lan memandang lobang hitam yang menganga di hadapannya itu, tapi di lain saat hatinya menjadi bulat untuk memasukinya. Sementara itu di arena pertempuran yang lain, lawan Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai yang bernama Bu-tek Sin-tong itu terdengar mengumpat-umpat karena telah ditinggal pergi oleh Giok-bin Tok-ong.

   "Huh! Apa enaknya tetap tinggal disini kalau tidak ada kau, monyet! Kau sudah mengakali aku untuk menghadapi bocah lihai ini, huh! Dan kau Cuma melayani ayam-ayam kampung itu! Kurang ajar...! Sekarang kau malah minggat duluan!" Bu-tek Sin-tong yang tubuhnya kerdil seperti anak kecil itu memaki-maki, kemudian ikut melompat keluar dari arena meninggalkan Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai. Rambutnya yang putih dan panjang sampai di kakinya itu berkibaran ditiup angin. Sementara badannya yang hampir telanjang sama sekali itu tampak mengkilat karena keringat. Setelah Bu-tek Sin-tong pergi, Hong-liu-kun Yap Kiong Lee bergegas mendekati Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai yang telah lama dikenalnya. (Baca pendekar Penyebar Maut).

   "Selamat berjumpa lagi, saudara Souw! Apa khabar?" Pendekar yang namanya dikenal oleh setiap orang, bahkan oleh Kaisar Han pula itu tersenyum menyambut kedatangan Hong-Lui-Kun.

   "Wah, untung saudara Yap lekas-lekas datang. Kalau tidak, hmm... Jiwaku mungkin sudah melayang ke alam baka. Kedua orang itu benar benar lihai bukan main! Sudah kukuras seluruh kemampuanku, tapi tetap tak kuasa pula menanggulangi kedahsyatan ilmu mereka," katanya penuh takjub dan heran. Kemudian lanjutnya pula," Padahal lawanku tadi cuma seorang kakek kerdil yang agaknya juga kurang waras pula..."

   "Ah, kalau saudara Souw saja merasa kewalahan, apalagi aku yang bodoh ini." Yap Kiong Lee menyesali pula kekalahannya.

   "Begitu hebatnya kesaktian iblis tua itu, sehingga aku yang telah dibantu oleh lima orang anggota Sha-cap mi-wi ini masih juga dibuat tak berdaya olehnya." Setelah saling menyapa, mereka lalu berusaha mencari orang-orang yang perlu ditolong diantara ratusan korban yang berceceran itu.

   "Ah, ini benar-benar suatu bencana di dunia persilatan! Dalam semalam saja ratusan pendekar persilatan telah menemui ajalnya di tempat yang seram ini. Belum pernah kudengar peristiwa seburuk ini selama hidupku. Dan semuanya itu hanya karena seorang manusia iblis. Hm... sungguh terkutuk sekali si Iblis Penyebar Maut itu!" Hong-Lui-Kun Yap Kiong Lee menggeram sedih ketika tak seorangpun diantara para korban itu yang masih hidup.

   "Saudara Yap, lihat... disini masih ada yang bisa ditolong!" Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai berseru ketika mendapatkan si Pendeta Palsu dari Teluk Po-hai sedang sibuk mengobati Ui Bun Ting.

   "Eh! Kalau tak salah yang terluka ini adalah Hek-pian-hok Ui Bun Ting ketua Tiam-jong-pai!" Yap Kiong Lee yang mempunyai hubungan erat dengan para ketua partai persilatan itu berseru kaget.

   "Benar, Yap Taihiap. Orang ini memang Ui Bun Ting." Si Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai menjawab perlahan. Dan beberapa saat kemudian, lima anggota Sha-cap mi-wi itu berturut-turut menemukan mayat ketua Tai-khek-pai, Ngo-bi-pai dan Kong-tong Ngo-hiap. Lima orang bersaudara dari Kong-tong-pai itu mayatnya berserakan dan berjauhan satu sama lain, suatu tanda bahwa mereka berlima benar-benar berjuang sampai titik darah yang penghabisan.

   "Oh... lengkap sudah bencana besar ini! Seluruh partai persilatan di daratan Tiongkok hancur lebur hidupnya dalam satu malam!" Yap Kiong Lee lagi-lagi berdesah sedih melihat kenyataan itu.

   "Benar, Yap Taihiap. Semua telah hancur. Semuanya telah musnah. Murid-muridkupun tak ada yang hidup lagi...!" Ketua Tiam-jong-pai yang terluka parah itu merintih perlahan.

   "Ah! Dimana Tui Lan...?" tiba-tiba Si Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai tersentak kaget.

   "Tui Lan? Siapakah Tui Lan itu?" Ui Bun Ting bertanya.

   "Muridku! Dia Muridku...!" perempuan tua itu berteriak, lalu berlari kesana-kemari mencari Tui Lan seperti orang gila.

   "Tui Laaaaaaaan! Tui Laaan...! Dimanakah kau?" Tapi biarpun semua orang ikut mencarinya, gadis itu tetap tidak bisa diketemukan. Gadis itu seakan-akan ikut lenyap bersama dengan iblis-iblis tadi. Sampai-sampai semua mayat dibolak-balik oleh perempuan tua itu, namun gadis itu tetap tidak diketemukannya.

   "Oh celaka! Dimanakah anak perempuan itu berada?" perempuan tua itu menjerit lirih seakan mau menangis.

   "Sudahlah, Sui Nio. Kita tunggu saja anak itu sampai terang tanah nanti. Sekarang kau lebih baik membantu Souw Taihiap dan Yap Taihiap, mengurus mayat mayat para pendekar itu." Ui Bun Ting menasehati bekas kekasihnya itu. Demikianlah, sampai matahari muncul dan kemudian naik terus ke punggung bukit, mereka menggali lobang dan menguburkan semua mayat itu. Meskipun matahari tidak langsung membakar punggung mereka, karena terhalang oleh tebing jurang yang tinggi, namun tubuh mereka benar-benar basah dengan keringat.

   "Saudara Yap...! Jauh-jauh kau datang ke tempat terpencil ini, meninggalkan kenikmatan istana, apakah hanya untuk bekerja-bakti menguburkan mayat-mayat para pendekar ini? Ataukah mungkin saudara Yap mempunyai tugas yang lain dari Hongsiang?" sambil bekerja Souw Thian Hai menanyakan maksud kedatangan Yap Kiong Lee di tempat itu. Yap Kiong Lee tersenyum.

   "Kami memang mendapat tugas khusus yang sifatnya agak rahasia dari Hongsiang. Kami diperintahkan untuk mencari..."

   "Jangan, saudara Yap! Kau tak usah menyebutkannya bila tugas itu memang bersifat rahasia! Biarlah..."

   "Ah, tidak! Bukan begitu maksudku. Kami justru ingin bertanya tentang hal itu kepada saudara Souw ma lah. Begini saudara Souw... Sebenarnya sudah hamper dua tahun ini Hongsiang mencari putera tunggalnya. Dahulu Pangeran Mahkota itu telah minta ijin kepada Hongsiang untuk membereskan sesuatu urusan di dunia persilatan. Tapi sampai tiga tahun lebih Pangeran itu tidak juga ada khabar beritanya. Tentu saja Hongsiang menjadi khawatir. Biarpun Pangeran muda itu memiliki ilmu yang dahsyat, namun bagaimanapun juga waktu tiga tahun itu bukanlah waktu yang pendek. Hongsiang mengkhawatirkan keselamatan beliau. Nah, setelah berkali-kali utusan yang disebar oleh Hongsiang selalu pulang kembali tanpa membawa hasil, maka Hongsiang lalu mempercayakan tugas itu kepadaku..."

   "Ya, aku memang sudah mendengar pula tentang hal itu. Berita itu telah tersebar dan menjadi rahasia umum di kalangan masyarakat. Kebetulan aku sendiri juga mengenal baik Pangeran Yan Kun itu sehingga diam-diam aku juga memasang mata dan telinga untuknya. Tapi selama ini pula aku tak pernah mendengar beritanya. Padahal sudah setahun ini pula aku selalu keluar dari rumah untuk berkeliling di dunia kang ouw untuk mencari Souw Lian Cu, puteriku..." Souw Thian Hai berkata pula.
(Lanjut ke Jilid 04)

   Memburu Iblis (Seri ke 03 - Darah Pendekar)
Karya : Sriwidjono

   Jilid 04
Yap Kiong Lee mengerutkan keningnya. Jagoan nomor satu dari kota raja itu sudah mengenal pula gadis ayu yang lengan kirinya buntung itu. Malah menurut cerita burung yang dibawa angin, Pangeran Mahkota Yang Kun telah jatuh cinta pula kepada gadis cantik itu. Tetapi entah apa sebabnya, keduanya tak pernah bisa bersatu. (Baca Pendekar Penyebar Maut).

   "Jadi... nona Souw juga tidak ada di rumah? Wah...! Jangan-jangan... jangan-jangan..." Yap Kiong Lee tidak berani meneruskan dugaannya.

   Souw Thian Hai tersenyum kecut. Ayah yang masih muda ini juga mengetahui pula hubungan Pangeran mahkota itu dengan puterinya. Tapi menurut pengetahuannya, hubungan tersebut selalu tampak tersendat-sendat, karena keduanya mempunyai watak yang amat keras. Terlalu tinggi hati, suka menutup diri, tidak mau saling terbuka dalam mengemukakan cinta mereka. Terutama puteri sendiri, Souw Lian Cu! Begitu ingat pada puterinya Souw Thian Hai menghela napas panjang. Pendekar itu memang tidak bisa menyalahkan puterinya. Gadis itu memang terlalu banyak menderita sejak kecilnya, sehingga ia tak menjadi heran kalau watak dan sifatnya menjadi sedemikian keras dan kakunya.

   

Pendekar Penyebar Maut Eps 13 Pendekar Penyebar Maut Eps 13 Pendekar Penyebar Maut Eps 46

Cari Blog Ini