Ceritasilat Novel Online

Memburu Iblis 7


Memburu Iblis Karya Sriwidjono Bagian 7




   "Benar. Mungkin memang benar. Kalau tidak, dimana lagi Liu Twako itu berada?" Bayangan itu benar-benar menumbuhkan semangat di dalam dada Tui Lan. Tiba-tiba saja api kehidupan yang hampir padam di dalam hatinya itu menyala kembali dengan hebatnya. Gadis itu lalu mengerahkan Pat-hong-sinkangnya. Dan perlahan-lahan kekuatannya timbul kembali, meskipun juga tidak pulih seperti biasanya. Kemudian jari-jarinya memegang tangkai obornya erat-erat.

   "Akan kulemparkan obor ini ke seberang agar supaya kelihatan keadaan disana..." Tui Lan berkata di dalam hatinya, lalu dengan sekuat tenaganya obor itu ia lemparkan ke seberang. Bagaikan sebatang anak panah obor itu meluncur di atas permukaan sungai! Biarpun sangat lemah, tapi sinarnya cukup untuk menerangi buih-buih ombak yang berloncatan menjilat udara. Sayang sekali, belum ada separuh jalan obor itu telah habis kekuatannya. Obor itu padam ditelan gelombang sungai yang amat besar. Meskipun demikian, apa yang terlihat tadi sungguh-sungguh amat menggetarkan hati Tui Lan!
(Lanjut ke Jilid 07)

   Memburu Iblis (Seri ke 03 - Darah Pendekar)
Karya : Sriwidjono

   Jilid 07
"Tak kusangka sungai ini demikian besarnya! Malahan kalau melihat besarnya ombak tadi, kukira ini bukan sungai lagi. Rasa-rasanya seperti sebuah telaga saja..." Tui Lan berdesah lemah. Otomatis semangatnya musnah kembali. Dan perasaan putus-asapun kembali menghantuinya pula. Tapi tiba-tiba Tui Lan membelalakkan matanya! Jauh di seberang sungai mendadak terlihat setitik api naik ke atas langit-langit gua. Lalu api itu bergerak perlahan-lahan menghampiri tempatnya, sehingga api tersebut semakin lama tampak menjadi semakin besar pula. Sampai di atas kepala Tui Lan api itu jatuh ke bawah!

   "Bruuug!" Tiba-tiba saja Liu Yang Kun telah berdiri di depan Tui Lan dengan menggenggam obor di tangannya.

   "Lan-moi...!" dengan kaget pemuda itu berseru memanggil Tui Lan.

   "Koko...!" gadis itu menjerit pula dengan riangnya. Rasa-rasanya kembali semua kekuatannya begitu melihat wajah Liu Yang Kun. Mereka berpelukan dengan eratnya, seolah-olah tak ingin berpisah lagi. Tui Lan malahan menitikkan air mata saking gembiranya. Tapi seperti sebuah pelita yang telah kehabisan minyak, tiba-tiba tubuh Tui Lan menjadi lemas kembali. Gadis itu pingsan di dalam pelukan Liu Yang Kun. Yang Kun membawa tubuh Tui Lan ke tempat yang kering, lalu membaringkannya di atas tanah. Pemuda itu semakin kaget begitu tahu Tui Lan menderita sakit demam. Dengan tangkas pemuda itu lalu menotok beberapa jalan-darah di sekitar leher Tui Lan. Setelah itu dibukanya mulut gadis itu dan dimasukkannya sebutir pel obat untuk menguatkan badan.

   "Lan-moi...! Mengapa kau sampai menderita sakit demam seperti ini...? Beberapa hari kau tak makan dan tak tidur?" Yang Kun segera berbisik di telinga Tui Lan, ketika gadis itu sudah siuman kembali. Tui Lan cepat memalingkan mukanya. Entah mengapa, tiba-tiba timbul perasaan malu di hati gadis itu. Otomatis pipinya menjadi merah, sehingga di mata Liu Yang Kun wajah itu menjadi semakin cantik bukan main. Tapi kecantikan yang amat menawan tersebut justru sangat merisaukan hati Yang Kun. Sambil memejamkan matanya rapat-rapat bagaikan seorang yang sedang menahan rasa sakit di dalam dadanya, pemuda itu mengeluh dan meratap perlahan, seperti ditujukan kepada dirinya sendiri.

   "Ya, Tuhan! Berilah aku kekuatan! Jangan Engkau rusakkan persahabatan ini dengan kekotoran yang telah melekat di dalam tubuhku!" Sebaliknya, melihat pemuda yang dikasihinya itu tiba-tiba seperti orang yang sedang mengerang kesakitan Tui Lan menjadi kaget pula. Hilang perasaan malu yang membelit hatinya, dan kemudian seperti mendapatkan tenaga baru dia bangkit memeluk Liu Yang Kun.

   "Koko...! Kau... kau kenapa?" serunya khawatir. Tapi diluar dugaan pemuda itu mendadak mendorong dada Tui Lan dan meloncat menghindari. Namun begitu melihat dorongannya itu membuat Tui Lan jatuh, Liu Yang Kun cepat menyergapnya kembali ke dalam pelukannya.

   "Lan-moi! Oh, Lan-moi... maafkanlah aku!" pemuda itu merintih memelas, seraya mendekap kepala Tui Lan. Tui Lan mendorong badan Liu Yang Kun, kemudian menatap wajah sendu itu dengan sinar mata penuh pertanyaan.

   "Koko...! katakanlah! Apa sebenarnya yang telah terjadi kepadamu? Mengapa sikapmu akhir-akhir ini menjadi sangat aneh dan membingungkan? Dimana saja kau beberapa hari ini? Dan... dari mana kau tadi? Koko, ayolah... ceritakan semuanya kepadaku! Jangan kau siksa aku sedemikian rupa!" Tui Lan segera memuntahkan seluruh kandungan hatinya selama ini. Liu Yang Kun tampak semakin kesakitan. Wajah yang tampan itu tampak pucat dan layu.

   "Banyak... Banyak sekali yang harus kuceritakan, Lan-moi. Tapi semuanya serba menyedihkan! Serba menyakitkan! Oleh karena itu aku akan mencoba untuk lari saja dari kenyataan itu! Aku ingin menguburkannya sendiri bersama tubuhku! Aku tak ingin melukaimu! Apalagi sampai menyeretmu..." pemuda itu merintih dan tak bisa meneruskan kata-katanya. Tui Lan cepat menyentuh pundak Liu Yang Kun.

   "Kau keliru, koko. Itu takkan dapat menyelesaikan persoalanmu. Kau seharusnya sudah menyadarinya. Sejak kita berada di dalam penjara ini, mati atau hidup kita hanya berdua saja. Tidak ada yang lain lagi. Penderitaan atau kesengsaraan yang menimpa salah seorang dari kita, akan berakibat pula kepada yang lain. Kita akan lebih kuat bila selalu bersama, dan akan binasa bila berpisah. Apakah nikmatnya hidup sendirian di dalam penjara gelap seperti ini? Kita bisa gila dibuatnya. Mendingan kita bersatu, sehingga kita bisa saling menghibur dan membagi penderitaan bersama-sama..." Liu Yang Kun menengadahkan wajahnya. Ditatapnya wajah yang cantik itu lekat-lekat, seolah-olah ia tak percaya bahwa kata-kata itu keluar dari mulut gadis muda itu. Tapi sekejap kemudian ia tertunduk pula kembali. Wajahnya tetap murung.

   "Baiklah, Lan-moi. Aku akan berterus terang kepadamu. Tapi sebenarnyalah bahwa persoalannya tidak sesederhana itu. Kau mungkin tidak akan mempercayainya setelah mendengarnya nanti. Oleh karena itu aku berharap kepadamu, agar kau benar-benar bersiap diri menerima kenyataan yang akan kupaparkan nanti. Hal ini kuberitahukan terlebih dahulu, agar kau tidak menjadi kaget atau... pingsan setelah mendengarnya!" katanya sambil menghela napas berulang-ulang. Tui Lan menatap wajah Liu Yang Kun dengan mata terbelalak dan hati berdebar-debar. Untuk sesaat gadis itu menjadi tegang luar biasa. Tapi di lain saat gadis itu segera sadar pula akan dirinya. Semuanya itu memang telah dikehendakinya juga. Oleh karena itu sambil benar-benar menata hatinya sendiri, gadis itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Silakanlah, koko!" ucapnya pendek.

   "Sudah siap? Nah, dengarlah...!" Liu Yang Kun berkata dengan napas berat. Lalu desahnya lagi sambil bangkit berdiri membelakangi Tui Lan.

   "Ketahuilah! Aku adalah Pangeran Liu Yang Kun! Putera Mahkota Kaisar Han yang sekarang berkuasa!"

   "Twako... putera... putera Baginda Kaisar Han?" Tui Lan berseru serak seraya meloncat berdiri dengan mata terbelalak. Tubuhnya gemetar. Liu Yang Kun membalikkan badannya dengan cepat.

   "Nah! Ternyata kau belum benar-benar bersiap diri! Kau masih kaget mendengar keteranganku..."

   "Tidak! Tidak! Aku tidak kaget, Twako... eh, Pangeran! Wah, anu... anu...!" Tui Lan menjadi gelagapan dan bingung, takut Liu Yang Kun membatalkan ceritanya.

   "Anu... aku Cuma... cuma kurang percaya! Betulkah twako... Twako ini putera Kaisar Han?" Liu Yang Kun tersenyum.

   "Buat apa aku membohongimu, Lan-moi? Apa gunanya kedudukan itu di tempat seperti ini? Apa gunanya kedudukan itu kalau akhirnya kita berdua akan mati di sini?" katanya sabar dan tenang.

   "Kalau begitu... kalau begitu maafkanlah hamba, Pangeran. Hamba benar-benar tak tahu, sehingga hamba telah bersikap kurang hormat kepada Pangeran." tiba-tiba Tui Lan berlutut dan meminta maaf.

   "Nah! Inilah akibatnya...! Akibat yang benar-benar tak kusukai.." Liu Yang Kun berkata kesal menyaksikan perubahan sikap Tui Lan itu.

   "Oleh karena itu sebenarnya aku tak suka menceritakannya, tapi kau mendesaknya juga. Apabila demikian lebih baik aku tak meneruskannya saja cerita ini..."

   "Jangan...!" Tui Lan bangkit dengan segera dan berteriak.

   "Maafkanlah aku...! Tapi jangan kau hentikan cerita itu! Lan...lanjutkanlah, Twako!" ratap gadis itu kemudian.

   "Habis, kau...?" ucap Liu Yang Kun seolah-olah menyesal.

   "Tidak, Twako! Aku tidak akan mengubah sikapku lagi! Dan aku juga tidak akan terkejut pula...!" Tui Lan berseru ketakutan. Kasihan juga Liu Yang Kun melihat wajah gadis itu.

   "Baiklah...! Akan aku teruskan. Tapi... kau harus benar-benar bersiap diri! Jangan kaget lagi!" pemuda itu memperingatkan.

   "Ya... ya! Aku akan mengingatnya..." Tui Lan menyambutnya dengan gembira sekali, seperti anak kecil yang diluluskan permintaannya.

   "Tapi... tapi Twako harus memberitahukannya juga kepadaku, kenapa kau malah pergi meninggalkan semua kemuliaan itu? Mengapa Twako sampai terlunta-lunta di luar istana seperti ini? Dimanakah para pengawalmu?"

   "Sabarlah! Jangan tergesa-gesa! Memang itulah yang hendak aku ceritakan kepadamu." Liu Yang Kun menyahut dengan tenangnya.

   "Oooooh!" Tui Lan menarik napas panjang.

   "Aku pergi meninggalkan istana tiga tahun yang lalu atas ijin ayahandaku sendiri, Baginda Kaisar Han. Aku pergi mencari obat mujarab yang bisa menyembuhkan kelainan di dalam badanku. Oleh karena itu aku sengaja tidak membawa pengawal seorangpun agar perjalanan yang belum tentu waktu dan tujuannya itu tidak merepotkan orang lain."

   "Sakit...? Apa sebenarnya sakitmu itu, Twako? Dan sudahkah kau memperoleh obatnya itu?" Tui Lan menyela.

   "Dulu aku pernah terkena dua macam racun dahsyat yang hampir menewaskanku. Tapi karena pertolongan seorang tabib bernama Chu Seng Kun, nyawaku dapat diselamatkan. Namun demikian, racun tersebut ternyata tidak lenyap dari dalam tubuhku, sebaliknya malah mengeram dan berkembang-biak di dalam darahku. Akibatnya seluruh bagian tubuhku menjadi beracun karenanya. Sampai-sampai dengan keringat, kotoran, air ludah dan...air kencingpun beracun semuanya. Tentu saja hal itu menjadi sangat berbahaya buat orang lain. Orang yang sangat lemah daya tahan tubuhnya, apalagi dia tak memiliki kepandaian silat sama sekali, bisa mati karena bersentuhan denganku."

   "Tapi kau sendiri tak apa-apa?" Tui Lan bertanya heran dan otomatis hatinya menjadi tertarik sekali. Liu Yang Kun menarik napas sedih. Untuk beberapa waktu lamanya pemuda itu terdiam dan tak dapat segera melanjutkan ceritanya.

   "Dulu memang tidak!" akhirnya pemuda itu menjawab.

   "Tapi lambat-laun sesuai dengan berkembangnya waktu, racun itu ternyata mengganggu juga susunan syaraf di dalam otakku. Dan... akibatnya sungguh amat parah!" Sekali lagi Liu Yang Kun tak bisa meneruskan kata-katanya. Pemuda itu tiba-tiba seperti orang yang kesakitan lagi. Raut-mukanya tampak pucat, lelah dan sangat menderita. Otomatis Tui Lan merasa amat kasihan sekali. Kini serba sedikit gadis itu mulai mengerti kesulitan pemuda itu.

   "Jangan bersedih, koko! Setiap manusia yang dilahirkan di dunia ini memang telah membawa suratan nasibnya sendiri-sendiri. Kalau takdir memang telah menentukan nasibmu demikian, apa perlunya kau menangis dan meratapinya sepanjang hidupmu! Itu takkan bisa merubahnya.. Lebih baik kita serahkan saja semuanya itu kepada Thian yang telah menciptakan kehidupan kita ini. Nah, koko... bagaimanakah kelanjutan dari ceritamu itu?" gadis itu berkhotbah seperti yang sering dilakukannya. Liu Yang Kun menatap wajah Tui Lan dengan sinar mata terimakasih. Pemuda itu diam-diam semakin kagum dan hormat kepada gadis yang lebih muda daripada dirinya itu. Hatinya yang mulai layu dan rapuh itu seperti mendapatkan kekuatan kembali. Namun demikian suaranya masih tetap sedih ketika melanjutkan ceritanya.

   "Terima kasih atas pengertianmu, Lan-moi. Tetapi bukan maksudku menangisi dan meratapi semua penderitaan dan kesengsaraan yang diakibatkan oleh racun itu, Lan-moi...
Seperti yang telah kau katakan tadi, akupun takkan mengeluh ataupun merengek-rengek seandainya semua itu hanya menimpa pada diriku sendiri saja. Tapi cobalah kau katakan, bagaimanakah kalau semua yang kuderita itu juga mengakibatkan neraka bagi orang lain?"

   "Maksudmu... racun yang menyerang susunan syarafmu itu dapat menimbulkan kematian bagi orang lain?" gadis yang cerdas itu cepat menangkap apa yang dimaksudkan Liu Yang Kun.

   "Lebih dari itu!" Liu Yang Kun menyahut dengan cepat. Namun selanjutnya pemuda itu menjadi ragu-ragu ketika melanjutkan ceritanya. Tampaknya pemuda itu masih agak takut untuk membeberkan semuanya.

   "Karena... karena syaraf yang terganggu itu kebetulan persis yang berhubungan dengan... dengan... nafsu berahiku, maka... maka... akibatnyapun juga sangat... sangat mengerikan pula!"

   Liu Yang Kun tampak sedikit lega karena sudah berhasil mengeluarkan bagian yang paling sulit dalam ceritanya. Meskipun yang keluar itu juga baru bagian permulaannya saja. Namun demikian hal itu ternyata sudah membikin merah padam wajah Tui Lan! Sebenarnya raut wajah Tui Lan masih menunjukkan bahwa dia belum dapat 'menangkap' dengan jelas arti kata-kata Liu Yang Kun tadi. Tapi karena menyangkut kata-kata nafsu berahi, maka gadis itu menjadi malu untuk menanyakannya.

   "Aku... aku tidak tahu maksudmu, koko," gadis itu terbata-bata. Kini giliran Liu Yang Kun yang merasa kerepotan untuk menjelaskannya. Tapi karena sudah berjanji untuk menceritakannya, maka akhirnya pemuda itu terpaksa menjelaskannya pula.

   "Lan-moi, kau jangan kaget! Karena gangguan pada syarafku itu aku menjadi seorang manusia yang tak kuasa mengendalikan... nafsu biadabku... apabila nafsu berahiku itu terangsang!"

   "Ooooh!" Tui Lan terpekik, dan tiba-tiba ia teringat sewaktu pemuda itu menciumi punggung dan lehernya sebulan yang lalu.

   "Kalau... kalau nafsu berahi itu menyerang diriku, maka otak dan akal sehatkupun sudah tidak kuasa lagi mengekangnya! Siapapun yang berada di dekatku, aku sudah tidak peduli lagi. Aku tentu akan melahapnya tanpa ampun! Hati dan otakku rasa-rasanya sudah tak bisa berjalan searah lagi! Oohhh..." Liu Yang Kun mencengkeram rambutnya, kemudian meratap dengan sedihnya.

   Tampak sekali kalau pemuda itu sangat menderita karena penyakitnya yang aneh itu. Sedangkan Tui Lan, yang tak menyangka kalau kelainan jiwa Liu Yang Kun ternyata sedemikian 'parah' dan 'mengerikan", justru menjadi termangu-mangu malah! Beberapa saat lamanya gadis itu menatap wajah orang yang dikasihinya itu tanpa berkedip! Di dalam hati gadis itu hampir tak percaya kalau pemuda yang baik hati, tampan, sakti dan putera seorang kaisar itu bisa menemui nasib yang jelek seperti itu. Tukang perkosa wanita! Mana ada sebutan yang lebih dahsyat dan lebih biadab dari pada sebutan itu?

   "Karena seluruh bagian tubuhku beracun semuanya, maka korban-korban kebiadaban penyakitku itupun tidak ada yang masih bisa hidup. Mereka mati keracunan semuanya...! Oh, betapa besarnya dosaku!"

   "Oh...!" Tui Lan memekik kecil dan melangkah mundur, seakan-akan hatinya ikut menjadi ketakutan pula melihat wajah Liu Yang Kun. Tapi pemuda itu sudah tidak peduli lagi pada sikap Tui Lan. Ia ingin lekas-lekas memuntahkan seluruh isi hatinya tentang penyakit yang dideritanya itu kepada gadis yang telah menarik hatinya.

   "Akibatnya aku lantas merasa takut berada di tempat umum. Aku takut sewaktu-waktu penyakitku kambuh dan membunuhi wanita-wanita tak berdosa. Berbulan-bulan aku lewat di tempat sunyi dan tak berani bertemu dengan wanita. Tapi... Thian agaknya masih belum cukup menghukum aku."

   "Eh! Apalagi...?" Tui Lan berdesah tak terasa.

   "Mungkin karena aku selalu berusaha menahan dan mencegah kambuhnya gangguan penyakit itu, serta selalu melawan bila ia datang menyerang otakku, maka... gangguan itu lalu meletus dalam bentuk lain!"

   "Dalam bentuk lain? Apakah Itu...?" Liu Yang Kun menutupi mukanya dan berdesah semakin sedih.

   "Tampaknya karena selalu kukekang dan tak pernah kuberi kesempatan untuk melampiaskan kebuasannya, maka gangguan penyakit itu menjadi menumpuk di dalam tubuhku. Dan tumpukan yang terpendam itu ternyata memperoleh jalan keluar sewaktu aku... tidur!"

   "Sewaktu tidur? Mana mungkin? Bukankah kau akan lantas bangun apabila terjadi apa-apa pada dirimu?" Tui Lan yang semakin 'tahu' kesulitan Liu Yang Kun itu menegaskan. Liu Yang Kun menarik napas panjang. Lama ia tak menjawab pertanyaan itu. Tampaknya ia sedang mencari jalan yang mudah untuk menjelaskan hal itu kepada Tui Lan.

   "Lan-moi...! Pernahkah kau mendengar seorang yang sedang tidur tiba-tiba terbangun dan berjalan mondar-mandir tanpa sadar?" mendadak pemuda itu balik bertanya.

   "Ah!" Tui Lan tersentak, lalu mengangguk-angguk.

   "Ya... ya pernah. Malahan... malahan kata guruku, aku sendiri sering berbuat demikian bila siang harinya terlalu lelah. Dan guruku sering menggoda atau mempermainkan aku bila aku sedang 'mimpi berjalan' seperti itu. Katanya aku diajaknya berbicara segala macam hal, padahal setelah sadar aku tak merasa berbicara apa-apa kepadanya. Hanya sering kali aku menjadi kaget karena sewaktu bangun tidur kudapatkan diriku di kursi, lantai atau kamar lain."

   "Nah! Persis seperti itulah penyakitku itu! Tapi dalam bentuk yang lebih dahsyat dan mengerikan! Coba kau bayangkan! Nafsu biadab yang terpendam di waktu siang hari itu akan muncul dan meledak di kala aku tidur di malam harinya. Seperti orang bermimpi aku bangkit dari tidurku, kemudian menyebar mala-petaka di kalangan wanita, tanpa aku sendiri menyadari apa yang telah kuperbuat itu. Aku baru sadar akan semua perbuatan dosaku itu apabila aku telah terbangun dari tidurku, dan mendapatkan korban-korban yang berserakan di sekelilingku. Oooooooh..., Lan-moi! Apa dayaku? Semakin lama aku menjadi semakin ketakutan terhadap diriku sendiri! Semakin lama aku juga menjadi makin asing kepada diriku sendiri! Aku juga menjadi takut untuk tidur, sehingga berhari-hari aku tidak berani memejamkan mataku..." Liu Yang Kun bercerita semakin memelas. Matanya tampak berkaca-kaca.

   Tui Lan yang tadi agak merasa ngeri dan takut kepada Liu Yang Kun kini berbalik menjadi kasihan kembali. Dipandangnya wajah pemuda yang pucat dan kurus karena penderitaan dan kurang tidur itu dengan perasaan kasihan. Ia bisa membayangkan, betapa hebat penderitaan batin pemuda itu. Seorang pemuda kurus kering, murung dan tampak sedih, sedang minum sendirian di sebuah restoran! Padahal sebenarnya pemuda itu adalah seorang Pangeran. Putra Mahkota dari kaisar yang berkuasa di negeri ini!

   "Ah! Koko. kasihan sekali kau...!" Tiba-tiba gadis itu tak kuasa menahan perasaannya. Tangannya menyentuh pundak Liu Yang Kun dengan mesra. Sebaliknya Liu Yang Kun merasa kaget pula menyaksikan tanggapan Tui Lan.

   "Lan-moi, kau...mengerti perasaanku? Kau dapat menyelami penderitaanku?" tanyanya penuh perasaan.

   "Tentu saja, koko. Aku mengerti, kau sama sekali tidak bersalah. Nasib jelek saja yang membuatmu menderita seperti itu. Sekarang kau lanjutkanlah lagi ceritamu itu!" Tui Lan mengangguk-angguk dan membesarkan hati pemuda itu. Liu Yang Kun menelan ludahnya.

   "Berhari-hari aku tak berani memicingkan mataku, sehingga badanku menjadi lemas bukan main. Tapi lambat-laun tubuhku tak kuat juga. Mana ada manusia tidak tidur di dunia ini? Namun, begitu aku tertidur, penyakit itupun datang lagi, dan lebih... brutal serta lebih ganas! Ketika aku sudah bangun kembali, kulihat di dekatku berserakan empat sosok mayat wanita yang belum pernah kukenal sebelumnya. Mereka mati keracunan karena... karena habis kuperkosa! Ooh, Lan-moi... Betapa berdosanya aku! Bagaimana kalau wanita-wanita itu punya suami dan anak-anak yang masih kecil? Betapa terkutuknya aku ini, bukan? Tapi... apa dayaku? Semua itu kulakukan dalam keadaan tak sadar. Aku sendiri membencinya. Mengutuknya. Tapi apa yang harus aku lakukan? Membunuh diri? Agar aku tidak membuat korban lagi? Ooh, Lan-moi... aku takut! Aku takut melakukan bunuh diri! Aku takut secara sadar melakukan tindakan tercela itu! Aku hanya berharap bahwa sekali waktu ada seorang pendekar wanita yang bisa membunuhku sewaktu aku meraja-lela di dalam tidurku itu..."

   Liu Yang Kun menghentikan ceritanya sebentar untuk menyeka keringat yang mengalir di atas kening dan lehernya. Matanya kelihatan sayu dan lelah. Lenyap sudah kesannya sebagai jago silat nomer tujuh di dunia.

   "Sesudah kejadian itu, aku lalu memesan rantai baja yang sangat kuat. Yang kekuatannya kira kira mampu menahan kekuatan lima ekor gajah sekalipun. Aku lalu mencari sebuah tempat tersembunyi dan sulit didatangi orang. Setiap mengantuk dan ingin tidur, aku lalu memborgol dan merantai diriku sendiri di tempat tersebut." Tui Lan menatap wajah pemuda itu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Betapa hebat usaha pemuda itu untuk menanggulangi 'penyakit' itu.

   "Ohh? Jadi... kau sudah pernah melihatku?" sebaliknya Liu Yang Kun berseru pula dengan kagetnya. Tui Lan tertunduk sambil menghela napas.

   "Ya! Tapi semula aku menyangka Giok-bin Tok-ong itulah yang mengikatmu," gadis itu menjawab. Lalu serba sedikit gadis itu mengatakan apa yang pernah dilihatnya tentang pemuda itu dulu.

   "Ohhh...!" Liu Yang Kun berdesah. Tiba-tiba Tui Lan menatap mata Liu Yang Kun lekat lekat.

   "Jadi itulah sebabnya kau selalu menyendiri dan bersikap aneh selama di dalam gua ini? Tapi... tapi mengapa tidak kau katakan saja terang semuanya itu kepadaku? Bukankah dengan demikian tidak akan terjadi kesalah-pahaman diantara kita? Hmmmmh, kau benar-benar tidak merasakan bagaimana sedih dan bingungnya hatiku," katanya kesal seolah-olah menyesali tindakan pemuda itu. Liu Yang Kun menengadahkan mukanya dan balas menatap mata Tui Lan. Namun sekejap kemudian matanya segera tertunduk kembali. Ia menjadi ketakutan melihat 'sesuatu' yang aneh di dalam pandangan mata gadis cantik itu. Sesuatu yang sangat ditakutinya selama ini.

   "Aku tidak berani mengatakannya kepadamu. Aku... aku tidak berani membayangkan, apa jadinya kalau kau tahu, macam apa orang yang sedang berada bersamamu di dalam gua ini. Aku takut kau menjadi gila atau mati ketakutan karena selalu merasa dibayang-bayangi atau diintai oleh Iblis yang mengeram di dalam tubuhku." pemuda itu lalu berkata dengan suara gemetar. Hatinya menjadi gelisah. Mendadak mata Tui Lan tampak berkaca-kaca. Pipinya menjadi agak kemerah-merahan, sehingga tanpa disadarinya mulut Liu Yang Kun sampai melongo menyaksikan kecantikan alam yang sangat mempesonakan itu. Sedangkan mata pemuda itu seolah-olah ikut bergantung pada bibir mungil yang bergerak-gerak ketika berbicara itu.

   "Meskipun demikian tak seharusnya kau lantas meninggalkan aku begitu saja tanpa keterangan selama sepekan. Kau benar-benar membuat hatiku sedih, putus-asa dan kehilangan pegangan. Koko, katakanlah...! Apa sebabnya engkau berbuat demikian kepadaku? Bersembunyi dimanakah kau selama ini?" bibir mungil itu berbisik lirih penuh perasaan. Seakan-akan ikut terseret oleh ayunan bibir mungil tersebut, mulut Liu Yang Kun secara otomatis menyahut pula tanpa terpikir lebih dahulu. Suaranya bergetar pula dengan penuh perasaan.

   "Karena... karena aku takut melihatmu. Melihat wajahmu...! Aku juga takut men...mendengar suaramu. Suara panggilanmu, ketawamu, dan... dan bisikanmu!"

   "Ah! Mengapa begitu?" Tui Lan tersentak kaget, matanya menatap tajam. Dipandang seperti itu Liu Yang Kun semakin menjadi gelisah dan risau. Pemuda itu menyesal telah kelepasan omong tadi. Sekarang ia tak bisa mengelak lagi. Terpaksa ia mengatakan juga apa yang ada di dalam hatinya.

   "Pokoknya... aku takut kepadamu!"

   "Mengapa takut kepadaku? Kenapa justru kau yang takut kepadaku?" Tui Lan tetap mengejarnya.

   "Karena... aku mulai tertarik kepadamu! Karena aku mulai jatuh cinta kepadamu! Dan hal itu sungguh amat berbahaya! Itu sama saja dengan bencana! Kalau sewaktu-waktu timbul berahiku kepadamu... ohhhh, aku tak bisa membayangkan apa jadinya nanti! Aku akan bisa gila! Aku akan menyesal seumur hidupku karena telah membunuh orang yang kucinta! Nah, itulah sebabnya aku bersembunyi!" akhirnya Liu Yang Kun melepaskan juga seluruh kandungan hatinya. Bahkan nadanya agak sedikit berapi-api malah. Namun yang terang, selesai berkata hatinya menjadi Iapang. Tapi pernyataan cinta yang diucapkan oleh Liu Yang Kun itu sebaliknya amat mengejutkan hati Tui Lan! Namun di balik perasaan kaget itu ternyata tersembul pula perasaan bahagia yang tak terkira.

   Entah mengapa, tiba-tiba saja gadis itu merasakan bahwa gua itu sebenarnya tidaklah sesunyi dan segelap yang mereka lihat selama ini. Obor yang mereka pasang itu sudah cukup terang. Terlalu terang malah untuk dua orang yang sedang tenggelam dalam dunia asmara. Sedangkan bunyi gemerciknya air dan suara deburan ombak di tengah-tengah sungai yang bergema memenuhi lobang gua tersebut, sebenarnya juga tidaklah sebising yang ia dengarkan selama ini. Bahkan suara itu terasa riang dan hidup bagaikan suara ombak di tepi pantai. Dan ketika gadis itu menundukkan mukanya tiba-tiba pula ia merasa pakaiannya sangat kotor dan buruk sekali. Gadis itu merasa seperti seorang wanita desa yang jorok dan buruk rupa. Sesaat gadis itu merasa sangat menyesal, mengapa ia tak bisa bersolek dengan pakaian yang bagus di depan kekasihnya.

   "Koko...! Ini... aku..." Tui Lan gelagapan dan bingung tak tahu apa yang mesti ia katakan. Sebaliknya Liu Yang Kun justru menjadi tenang sekarang. Setelah semua 'beban" itu keluar, dadanya terasa lapang, dan otomatis rasa takutnya selama ini menjadi hilang. Dan ia segera meneruskan ceritanya untuk menghilangkan perasaan kikuk diantara mereka itu.

   "Semula aku memborgol diriku sendiri di lorong gua yang terkecil dan menutup jalan masuknya dengan batu besar. Tapi hatiku masih merasa khawatir juga. Jangan-jangan kau bisa menggeser batu itu dan masuk ke sana pula. Aku takut, dalam suasana hati dan pikiranku yang sedang penuh dengan bayangan itu kau datang menemui aku. Aku tak bisa membayangkan apa jadinya nanti. Aku tentu tak dapat lagi mengendalikan api asmaraku kepadamu. Dan... kau tentu akan menjadi korban kebiadaban penyakitku! Ahhhhhh...! Oleh karena itu aku lantas meninggalkan tempat tersebut dan mencari tempat lain yang kiranya tak dapat kaudatangi. Nah, pada saat itulah baru terlintas dalam pikiranku tempat di seberang sungai itu. Selama ini kita tak pernah memikir bagaimana sebenarnya keadaan di seberang sungai yang tak bisa kita lihat berapa lebarnya ini. Karena tak mungkin menyeberanginya, maka aku lantas merayap melalui langit-langit gua ini."

   Liu Yang Kun berhenti sebentar untuk mengambil napas. Sebentar-sebentar matanya melirik ke arah Tui Lan, yang ini justru tak berani menatap kepadanya.

   "Tak kusangka sungai ini lebar bukan main. Untunglah di beberapa tempat menemukan ceruk-ceruk atau lobang kecil untuk beristirahat. Dan kadang-kadang aku menjadi ketakutan ketika Iangit-langit gua itu menurun dan hampir menyentuh debur ombak yang menggila di bawahku. Akhirnya aku dapat juga mencapai seberang sana. Diam-diam aku juga berharap, mudah-mudahan ada jalan keluar di tempat itu. Tapi harapanku itu ternyata sia-sia belaka. Di sana hanya ada lorong sempit di sepanjang tepian sungai ini. Aku malah tidak dapat menemukan sebuah lobang guapun untuk beristirahat. Untunglah aku bisa mendapatkan sebuah tiang batu karang yang dapat kupergunakan untuk mengikat rantai bajaku. Demikianlah, Lan-moi... beberapa hari lamanya aku menyiksa diri di tempat itu. Sampai akhirnya aku tadi melihat meluncurnya obormu itu ke tengah sungai, yang kemudian tenggelam ditelan ombak. Aku sangat terperanjat melihatnya. Aku mengira kau nekat menyeberang dan tenggelam, sehingga aku lekas-lekas merayap ke sini kembali. Ooooh...! Syukurlah! Ternyata kau masih hidup. Meskipun keadaan tubuhmu ternyata juga amat payah karena lelah dan kurang makan. Lan-moi..."

   "Koko...!" Tui Lan tak kuasa lagi menahan dirinya. Sekali lagi mereka berpelukan. Kini keduanya benar benar menyadari, bahwa mereka saling mencinta dan saling membutuhkan. Dan tampaknya Thian memang telah mentakdirkan bahwa mereka harus bertemu di tempat itu dan bertempat tinggal di tempat itu pula.

   Namun sementara mereka berpelukan itu ternyata apa yang terpikir dan terbayang di dalam batin mereka sungguh amat berbeda sekali. Kalau dalam batin Tui Lan telah terbayang kebahagiaan mereka sebagai suami-isteri, sebaliknya Liu Yang Kun justru sedang sibuk memikirkan bagaimana caranya memberi pengertian kepada gadis itu bahwa mereka berdua tidak mungkin menjadi suami-isteri. Dengan tubuhnya yang sangat beracun itu tak mungkin dia menikahi gadis itu, meskipun di dalam hati dia juga sangat mencintainya. Demikianlah hari itu mereka mencari ikan dan membuat minyak bersama-sama lagi. Begitu bahagia tampaknya hati Tui Lan sehingga Liu Yang Kun tidak sampai hati untuk mengatakan kesulitannya itu. Dibiarkannya saja gadis itu bergembira ria terlebih dahulu untuk beberapa waktu lamanya.

   "Koko, apakah kau belum juga mendapatkan obat mujarab itu?" sambil membakar belut panjang yang mereka peroleh Tui Lan bertanya kepada Liu Yang Kun. Liu Yang Kun menggelengkan kepalanya.

   "Belum..." katanya pelan.

   "Selama ini aku belum bisa menjumpai Chu Seng Kun, orang yang telah mengobati aku dahulu. Hanya orang itu kukira yang bisa menyembuhkan penyakitku." Malamnya mereka berpisah. Tui Lan tidur di ruangannya sendiri, sedangkan Liu Yang Kun juga beristirahat di dalam lorong gua yang terpencil itu pula. Hanya bedanya kalau malam itu Tui Lan bermimpi indah sekali, sebaliknya Liu Yang Kun justru sangat gelisah dan tak dapat tidur sama sekali. Berbagai macam kekhawatiran yang selama ini selalu menghantui pikirannya kembali menggoda pula. Keesokan harinya Tui Lan bangun lebih awal dari pada biasanya. Pertama tama yang dilakukannya adalah bersemadi menurut gambar dalam buku Pat-hong Sin ciang itu untuk memulihkan kesegarannya.

   Beberapa waktu kemudian, setelah udara di dalam gua itu terasa hangat oleh sinar matahari yang menerpa lapisan tanah di atas gua itu, ia turun ke sungai untuk membersihkan badannya. Dan tidak seperti hari-hari yang lalu, kali ini ia bersolek lebih lama dari pada kebiasaannya. Dan seperti biasanya ia lalu pergi ke lorong di tepi sungai itu untuk bertemu dengan Liu Yang Kun. Tapi sampai siang hari pemuda itu tak kelihatan juga batang hidungnya, mula-mula Tui Lan tak mencurigainya. Gadis itu hanya menganggap bahwa Liu Yang Kun terlalu lelah sehingga terlambat bangun. Namun setelah lama sekali pemuda itu tak kunjung keluar juga, Tui Lan mulai berdebar-debar pula. Gadia itu lalu pergi ke lorong gua terkecil itu. Namun betapa kagetnya gadis itu ketika dilihatnya ruangan gua itu kosong melompong. Liu Yang Kun tiada lagi di tempat itu.

   "Koko...!?" Tui Lan menjerit seraya berlari-lari di antara tiang-tiang batu karang yang banyak terdapat di ruangan tersebut. Tiba-tiba gadis itu melihat beberapa coretan huruf di lantai gua. Huruf-huruf itu berbunyi :

   Lan-moi,
Maafkanlah aku! Aku terpaksa pergi ke seberang lagi. Semalam aku hampir tak bisa mengendalikan api asmaraku kepadamu. Biarlah untuk sementara aku berada di sana saja dahulu. Kau bersabarlah!
LIU YANG KUN

   Lemas seluruh persendian Tui Lan membaca huruf-huruf itu! Hilang pula kebahagiaan yang dihirupnya sejak kemarin itu. Kini gua itu kembali sunyi dan sepi lagi, sementara suara air dan ombak itu terdengar membosankan pula seperti biasanya. Dengan lesu gadis itu melangkah keluar. Tapi tiba-tiba kakinya menendang sebuah potongan besi kecil sebesar jari telunjuknya. Potongan besi itu menyerupai sebuah kunci.

   "Ahhhh!" Tui Lan berseru perlahan kemudian mengambil benda itu dan mengamat-amatinya.

   "Jangan-jangan benda ini adalah kunci borgol itu! Oh, bagaimana jadinya kalau Liu Koko tak bisa membuka kembali borgolnya nanti?" pikirnya lagi dengan perasaan khawatir. Tui Lan lalu berlari ke tepi sungai itu. Ia mencoba berteriak sekuat-kuatnya. Siapa tahu Liu Yang Kun masih berada di langit-langit gua itu dan masih bisa mendengar suaranya? Tapi sampai serak tenggorokan Tui Lan, teriakannya tak memperoleh jawaban. Suaranya seakan-akan hilang ditelan oleh suara gemuruh ombak sungai itu. Akhirnya gadis itu duduk dengan lemasnya, bersandar pada sebuah batu karang. Matanya berkaca-kaca menyesali nasibnya. Juga nasib Liu Yang Kun yang dicintainya.

   "Oh! Bagaimana aku harus mengantarkan kunci ini ke seberang? Untuk merayap di atas langit-langit seperti Liu koko harus dipergunakan ginkang yang sempurna semacam Peh-hou-ciang atau ilmu cecak merayap..."

   Sehari itu Tui Lan hampir tak bergerak dari pinggir sungai. Di dalam hati gadis itu berharap agar Liu Yang Kun dapat segera menenangkan hatinya dan kembali ke sisinya lagi. Namun harapannya itu ternyata sia-sia saja. Pemuda itu tetap tak kembali. Sehari. Dua hari. Akhirnya sepekanpun telah berlalu. Liu Yang Kun tetap tidak kunjung datang. Tui Lan mulai berputus asa dan khawatir. Ada dua kemungkinan kenapa pemuda itu tak datang, menurut Tui Lan. Pertama, pemuda itu belum mampu mengendalikan dirinya. Kedua, pemuda itu terlanjur mengunci borgolnya, dan sekarang tak bisa membukanya kembali, sebab kuncinya tertinggal di tempat itu. Dan kemungkinan yang kedua tersebut benar-benar sangat merisaukan hati Tui Lan.

   "Oh, bagaimana kalau Liu koko benar-benar telah terlanjur memborgol dirinya di seberang itu? Masakan aku harus berpisah selamanya dengan dia? Bagaimana caranya aku mengirimkan kunci itu ke sana? Oooooh...! Merayap di atas langit-langit gua aku tak bisa. Berenang menyeberangi sungai ini juga tidak mungkin. Perahu juga tak ada..." Tui Lan berkeluh kesah menyesali dirinya.

   Tiba-tiba gadis itu teringat pada buku-buku peninggalan Bit-bo-ong itu. Jikalau tidak salah, satu di antaranya merupakan buku pelajaran ilmu meringankan tubuh yang amat tersohor di dunia, yaitu Bu-eng Hwe-teng. Menurut kisah yang pernah didengarnya, mendiang Bit-bo ong bisa berjalan di atas air dengan ilmu tersebut. Teringat akan hal itu, timbul pula semangat Tui Lan. Bergegas gadis itu pergi ke kamarnya. Diambilnya buku tersebut dan dibacanya. Mula-mula gambar dan tulisan yang ada di dalam buku itu amat membingungkannya. Tapi setelah dibaca dan dilihatnya berulang-ulang, tulisan dan gambar-gambar itu akhirnya dapat dimengertinya juga.

   Demikianlah, karena semangat dan keinginannya untuk dapat pergi ke seberang sangat tinggi, maka gadis itu menjadi lupa waktu. Gadis itu menjadi jarang sekali beristirahat, tidur, apalagi makan. Setiap saat gadis itu selalu mempergunakan waktunya untuk belajar Bu-eng Hwe-teng. Kadang-kadang berhari-hari gadis itu hanya belajar berloncatan di lorong lorong gua itu untuk melatih otot-otot tubuhnya, sekalian mengenal dan mempelajari gaya kelenturan tubuhnya dalam berbagai gerakan. Setelah itu berhari-hari pula gadis itu belajar mengenal gerakan dasar ilmu ginkang Bu-eng Hwe teng, yaitu pemanfaatan daya dorong dan daya tolak yang timbul di dalam su atau gerakan. Setelah itu berhari hari pula gadis itu dengan tekun belajar bermacam-macam gerakan pokok di dalam Bu-eng Hwe-teng.

   Tak terasa tiga bulan telah berlalu. Dan biarpun setiap saat Tui Lan selalu menatap jauh ke seberang, namun gadis itu benar-benar telah lupa akan waktu. Apalagi dengan tiadanya sinar matahari yang menyorot ke dalam gua itu, menyebabkan gadis itu tidak merasa bahwa tiga bulan telah berlalu. Saking asyiknya, gadis itu menyangkanya baru beberapa hari saja ia berlatih Bu-eng Hwe-teng. Begitulah, tak terasa mereka telah menginjak bulan yang keenam di dalam gua di bawah tanah itu. Tanpa terasa Tui Lan juga telah menyelesaikan isi buku Bu-eng Hwe-teng itu pula. Namun gadis itu menjadi kecewa ketika melihat beberapa lembar terakhir dari buku tersebut ternyata telah hilang. Dan dia hanya menemukan sebuah catatan atau tulisan di lembar yang terakhir, yang bunyinya :

   Halaman selanjutnya telah dimusnakan karena sangat berbahaya!

   Tertanda : Hoa-san Lojin

   "Hoa-san Lojin (Orang Tua dari Hoa-san)...? Siapakah dia?" Tui Lan bertanya-tanya di dalam hatinya. Dan gadis itu tiba-tiba teringat akan pembicaraan Giok-bin Tok-ong dan Butek Sin-tong di bawah lorong gua itu beberapa waktu yang lalu. Kalau tak salah kedua orang tua itu pernah berbicara tentang pemilik Buku Rahasia yang berdiam di puncak gunung Hoa-san pula. Mungkinkah orang tua itu pula yang menyobek buku ini dan memusnakannya? Tui Lan lalu memeriksa kedua buah buku Bit-bo-ong yang lain. Ternyata berapa lembar terakhir dari buku-buku itupun juga telah disobek pula. Dan di dalam buku-buku tersebut juga diberi catatan pula seperti buku Bu-eng Hwe teng! Mendadak Tui Lan seperti disentakkan dari lamunannya!

   "Celah di lantai gua itu! Kenapa selama ini aku melupakan ruangan di bawah lantai gua itu! Kedua orang tua itu bisa sampai di sana tanpa melalui lorong gua ini! Tentu ada jalan yang lain untuk mencapai ke tempat itu! Oh!" gadis itu berdesah dengan tegangnya. Lalu gadis itu berlari menuju ke lorong gua yang terkecil itu! Saking tegangnya, tanpa terasa gadis itu mengerahkan ginkangnya! Kakinya meloncat panjang-panjang dengan gesitnya, seperti seekor kijang yang berlompatan di padang rumput.

   Tui Lan merasakan tubuhnya sangat ringan sekali, sehingga rasa-rasanya ia tak mempunyai bobot sama sekali! Begitu ringannya tubuhnya, sehingga dengan sedikit gerakan saja tubuhnya telah melayang bagai kapas tertiup angin! Akibatnya beberapa kali gadis itu hampir menabrak dinding gua! Untunglah gadis itu lalu teringat akan gerakan-gerakan Bu-eng Hwe-teng yang harus ia lakukan. Namun demikian, ketika tiba di pinggir sungai itu, tetap saja tubuhnya 'menyelonong' ke tengah sungai tanpa dapat dikendalikan lagi! Tentu saja Tui Lan menjadi ketakutan setengah mati! Dengan air muka pucat pasi gadis itu mencoba.bertahan sebisa-bisanya agar tidak tercebur ke dalam air yang hitam kelam itu. Ditahannya napasnya. Dipejamkannya matanya. Kemudian kedua buah kakinya yang beralaskan sepatu itu menjejak ke arah permukaan air sedapat-dapatnya!

   "Plak! Plak! Plak!" Terdengar suara berkecipak ketika sepatu Tui Lan 'menampar' permukaan sungai. Airpun memercik ke atas. Tapi berbareng dengan itu pula tubuh Tui Lan tampak melenting ke atas kembali seperti layaknya sebuah bola karet yang membentur permukaan tanah! Namun hal itu justru sangat mengejutkan Tui Lan sendiri malah! Gadis itu menjadi bengong dan tak mengira kalau tubuhnya benar-benar bisa melenting di atas permukaan air! Sekejap gadis itu menjadi bingung dan salah tingkah malah!

   Sehingga akibatnya menjadi gelagapan dan sekaligus juga ketakutan ketika tubuhnya yang melenting tersebut kembali meluncur ke dalam air sungai lagi! Untunglah Tui Lan segera menyadari dirinya kembali. Bergegas gadis itu mengerahkan ginkangnya lagi dan menjejakkan kakinya pula seperti tadi. Tapi sekarang gadis itu bergerak menurut aturan-aturan yang ada di dalam buku Bu-eng Hwe-teng itu. Tapi apa yang terjadi kemudian sungguh amat mengejutkannya! Jejakan kaki pertama memang menimbulkan suara berkecipak yang keras seperti suara tamparan telapak tangan atas permukaan air. Dan selanjutnya kaki itu bagai tertolak ke atas kembali dengan kuatnya. Namun pada jejakan kaki yang kedua ternyata gadis itu bagai menginjak tempat kosong! Kaki masuk begitu saja ke dalam air, seolah-olah tiada hambatan sama sekali!

   "Byuuuuur!" Tak ampun lagi gadis itu tercebur ke dalam sungai! Mulutnya segera menjerit! Tapi sekejap kemudian wajah itu segera berubah menjadi lega, karena ternyata dia menginjak di tempat yang dangkal.

   "Oooh...! Ternyata aku masih berada di tepian..." Tui Lan menakik napas lega, lalu tertatih-tatih keluar dari dalam sungai. Namun kejadian itu telah menyadarkan pikiran Tui Lan bahwa sebenarnya dirinya sudah benar-benar menguasai sebagian dari ilmu mendiang Bit-bo-ong itu. Apalagi ketika ia sadar bahwa di dalam ketergesaannya tadi ia sama sekali lupa untuk membawa obor. Biarpun demikian ternyata dia bisa melihat di dalam kegelapan tanpa kesukaran.

   "Ohh! Tampaknya... tampaknya sudah tiba saatnya aku menyusul Liu twako ke seberang sana. Meskipun demikian tampaknya... tampaknya aku juga masih harus berlatih dan menyempurnakan lebih dahulu ilmu-ilmu itu." gadis itu membatin dengan wajah gembira. Demikianlah sambil berjalan ke lorong gua yang terkecil itu Tui Lan mulai berpikir dan memperhatikan semua gerakan dan pernapasannya, agar sesuai dengan petunjuk-petunjuk di dalam buku-buku itu. Sekalian juga mencari-cari dan membetulkan hal-hal yang sekiranya kurang cocok pada dirinya, untuk kemudian menyesuaikannya dengan keadaan tubuhnya. Dan hasilnya memang sangat menggembirakannya.

   "Ah! Ternyata ilmu Bit-bo-ong itu sungguh menarik dan menyenangkan." Tui Lan bergumam puas ketika sampai di terowongan gua terkecil itu. Lalu dengan harap-harap cemas gadis itu masuk ke dalam gua tersebut. Tanpa mempergunakan obor lagi matanya mencari celah sempit dimana ia mendengarkan pembicaraan Giok-bin Tok-ong dengan Bu-tek sin-tiong dulu. Dan dengan cepat celah sempit tersebut ia temukan.

   Tapi hati Tui Lan segera menjadi kecewa. Lantai gua itu bukanlah tanah lunak atau padas gembur yang mudah digali, melainkan adalah batu karang yang kuat dan keras luar biasa. Tak mungkin rasanya pedang pendeknya mampu menembus lantai gua tersebut. Maka dengan perasaan lesu gadis itu lalu keluar dan kembali ke tempatnya sendiri. Dan hari hari selanjutnya Tui Lan semakin menekuni Pat hong-sinkang dan Bu-eng Hwe-teng. Gadis itu sengaja menekuni kedua buah ilmu itu tanpa mengenal lelah, dan sama sekali tidak tertarik untuk menyentuh buku-bukunya yang lain. Ditelaah dan didalaminya isi ilmu itu sedalam-dalamnya, dan diusahakannya dengan sekuat tenaga untuk mengurangi semua rahasia-rahasia yang ada di dalamnya, untuk kemudian dipelajari dan diterapkan pada dirinya.

   Begitu keras dan hebatnya semangat serta kemauan gadis itu, sehingga beberapa lembar dari rambutnya tanpa terasa telah menjadi putih. Dan tiga bulan kemudian jumlah rambut yang hitam dan yang putih telah menjadi sama banyaknya. Namun demikian, apa yang telah dicapai dalam waktu tiga bulan itu benar benar dahsyat tiada terkira. Kekuatan dan kemampuan yang kini terpendam di dalam tubuh Tui Lan sungguh jauh sekali bedanya dengan kekuatan yang dimilikinya dahulu. Meskipun perilakunya masih tampak halus lemah lembut, tapi kemampuannya sekarang benar-benar tidak boleh dipandang ringan lagi. Mata dibalik bulu-mata yang lentik itu kini menyorot tajam di kegelapan, bagai mata harimau betina di keremangan malam.

   Dan gadis itu tak membutuhkan obor lagi untuk menerangi lorong-lorong gua itu. Sementara itu ilmu Bu-eng Hwe-teng yang telah melekat dan menyatu di dalam tubuhnya, membuat gadis itu dapat bergerak seringan kapas yang tertiup angin! Dan sudah sepekan ini gadis itu belajar dengan giat untuk bisa berjalan di atas air. Namun usahanya itu selalu menemui kesulitan. Dengan kepandaiannya sekarang memang mampu berjalan beberapa langkah jauhnya. Tapi karena permukaan air selalu bergerak turun naik dan miring kesana kemari, maka telapak kakinya tak mampu 'menampar' permukaan air dengan tepat lagi. Sehingga akibatnya kaki itu terperosok dan tercebur ke dalam sungai. Untunglah dia berlatih di tepian yang dangkal, sehingga setiap kali tercebur ke dalam air ia tak menjadi terbenam karenanya.

   "Sebetulnya mudah saja mengatasi kesulitan ini. Asal kuikatkan sebilah papan atau sepotong bambu di bawah alas sepatuku, maka gelombang air yang bagaimana besarpun takkan menjadi soal. Tapi masalahnya, dimana aku bisa mendapatkan kedua buah benda itu di tempat ini?" Tui Lan bergumam dengan hati kesal. Sambil memikirkan jalan yang terbaik, Tui Lan melangkah hilir-mudik di tepian sungai itu. Beberapa kemungkinan telah ia pikirkan, namun ternyata hanya menyeberangi sungai itu sajalah yang kira-kira sesuai dengan kemampuannya sekarang. Pat-hong-sinkang yang ia pelajari itu memang amat hebat, namun tak bisa untuk merayap di atas langit-langit gua. Tiba-tiba Tui Lan mendekati perapian dimana ia sering membakar ikan selama ini. Matanya menatap kantong minyak dan kulit lambung yang diketemukan oleh Liu Yang Kun dulu.

   "Kantong kulit itu bila kuikat dua lobangnya akan menjadi balon udara yang selalu terapung di dalam air. Sayang cuma ada sebuah saja. Kalau ada dua buah tentu akan dapat kugunakan sebagai pengganti papan atau bambu..." Tui Lan berdesah kecewa,

   "Tapi kantong kulit itu cukup besar bentuknya. Meskipun hanya satu, tapi rasanya juga sudah cukup untuk menahan tubuhku di atas air..." Tui Lan lalu mengambil kantong minyak itu. Isinya yang tinggul separuh itu dituangkan ke dalam obor-obor yang sudah hampir habis minyaknya. Kemudian kedua buah lobangnya dia ikat dengan kuat, setelah lebih dulu dia tiupkan udara ke dalamnya. Demikianlah, sepanjang hari Tui Lan belajar berloncatan di atas air dengan kantong itu. Meskipun hanya berloncatan dengan satu kaki, tapi ternyata ia bisa bergerak di atas air tanpa tenggelam.

   "Aku tidak tahu, apakah kantong minyak ini mampu bertahan di dalam gelombang sungai yang besar. Tapi aku harus mencobanya. Kasihan Liu Twako"" Tui Lan berbisik dengan suara harap-harap cemas. Keesokan harinya Tui Lan benar-benar menyeberangi sungai itu. Kedua belah tangannya memegang dua buah obor yang menyala dengan besarnya, sehingga matanya bisa melihat lebih jauh ke depan. Kantong kulit yang menggelembung besar itu diikatnya di bawah sepatu kanannya, sebagai alas untuk berloncatan di atas permukaan air. Ternyata sungai itu benar-benar lebar bukan main. Semakin ke tengah, gelombang air menjadi semakin besar pula. Malahan di tengah tengah sungai, gelombang itu sudah menyerupai ombak di lautan.

   Berdebur dan bergemuruh memekakkan telinga! Dan kalau dulu, ketika ia melemparkan obor ke tengah-tengah sungai itu, ia hanya melihat selintas saja, kini Tui Lan sungguh-sungguh me lihat dan menghadapinya langsung! Untuk sesaat Tui Lan menjadi ngeri dan ketakutan juga. Namun begitu ingat akan Liu Yang Kun, semuanya itu segera lenyap dari hatinya. Rasa cinta dan rasa khawatirnya terhadap nasib pemuda itu ternyata telah mengalahkan seluruh ketakutan di hatinya. Sebaliknya gadis itu menjadi heran dan tak habis mengerti, mengapa di tempat yang tertutup dan tanpa adanya tiupan angin yang berarti itu bisa menimbulkan gelombang air yang begitu dahsyat? Tapi beberapa saat kemudian Tui Lan menjadi maklum. Arus air di tengah-tengah sungai itu memang luar biasa ganasnya.

   Memburu Iblis Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Sementara di tempat itu ternyata banyak karang-karang berbentuk kerucut yang muncul di permukaan air, sehingga arus air yang menghantam batu batu karang itu membentuk pusaran-pusaran air dan ombak yang besar dan kuat. Hati Tui Lan menjadi berdebar-debar. Pelampung dari kantong kulit yang berada di bawah sepatunya itu akan tidak berdaya bila menyentuh pusaran air tersebut. Dia harus menghindarinya. Dan satu-satunya jalan hanyalah berloncatan di atas batu-batu kerucut itu. Memang sangat berbahaya. Tapi dengan Bu-eng Hwe-teng yang telah dipelajarinya, Tui Lan bisa melewatinya dengan aman. Akhirnya dengan hati tegang dan cemas Tui Lan sampai juga di seberang. Kemudian dengan berlari-lari kecil ia menyusuri sungai tersebut untuk mencari kekasihnya.

   "Liu Twako...!" panggilnya dengan suara gemetar. Tiba-tiba mata Tui Lan terbelalak. Beberapa langkah di depannya tampak sesosok tubuh manusia tergeletak tak berdaya di atas tanah. Dan Tui Lan takkan melupakan bentuk perawakan orang itu.

   "Koko...???" gadis itu menjerit sekeras-kerasnya, kemudian berlari menubruk orang itu. Dan selanjutnya, seperti orang yang kehilangan keluarganya Tui Lan menangis sekuat-kuatnya. Dipeluknya tubuh yang amat dingin itu sepenuh perasaannya.

   "Koko...! Jangan tinggalkan aku sendiri di tempat ini! Bawalah aku serta! Koko...!" gadis itu menjerit dan memekik sehingga suaranya menjadi serak. Tapi orang yang tidak lain memang Liu Yang Kun itu tetap diam tak bergerak. Di lehernya masih terpasang borgol besi yang amat kuat itu. Sementara borgol yang membelit kaki dan tangannya telah terlepas, walaupun masih juga dalam keadaan terkunci semuanya.

   "Lan...moi...?" tiba-tiba orang yang disangka telah mati itu berbisik lemah. Seketika tangis Tui Lan berhenti. Gadis itu menatap wajah kekasihnya dengan mulut ternganga. Gadis itu seolah-olah tak percaya akan pendengarannya sendiri.

   "Koko...? K-k-kau ma...masih hidup?" ucapnya seakan-akan tercekik.

   "Lan-moi...? Be-benarkah... kau... yang da...tang?" Liu Yang Kun kembali berbisik dengan suara lemah.

   "Kokooooo...!" Tui Lan memekik gembira begitu menyaksikan bibir itu benar-benar bergerak.

   "Oooh, koko...!

   "Be-benar! Inilah aku yang datang menjengukmu... Marilah! Marilah kutolong kau! Aku telah membawakan kunci borgol itu pula..." Tui Lan lalu mengeluarkan kunci yang diketemukan itu, kemudian cepat membuka borgol besi yang me lilit leher Liu Yang Kun. Lalu tubuh yang kurus kering itu dibawanya ke tempat yang lapang untuk diobati. Beberapa waktu lamanya gadis itu menyalurkan tenaga saktinya guna memuIihkan tenaga Liu Yang Kun. Peluh tampak mengalir keluar dari seluruh badannya. Terutama dari kening dan lehernya. Namun sedikit demi sedikit hasilnya memang dapat dilihat. Pemuda tinggi kurus itu mulai memerah wajahnya. Dan tubuh itu sudah tidak terasa dingin lagi.

   "Lan-moi..." pemuda itu akhirnya membuka matanya dan berbisik lemah. Mata itu tampak berlinang-linang.

   "Koko...? Kau sudah sadar kembali? Oh, terima kasih, Thian..." Tui Lan bernapas lega sambil mencucurkan air mata pula. Air mata kegembiraan. Lalu dipeluknya tubuh yang masih lemah itu dengan perasaan bahagia. Lama sekali keduanya berdiam diri, seolah-olah mereka memang tidak memerlukan lagi kata-kata untuk diucapkan. Hati dan perasaan mereka sudah cukup untuk saling mengerti. Meskipun demikian akhirnya Tui Lan membuka mulut juga.

   "Apa sebenarnya yang telah terjadi, koko? Mengapa engkau menjadi seperti ini?" gadis itu bertanya seraya meneteskan beberapa titik air ke mulut kekasihnya. Liu Yang Kun menatap wajah Tui Lan dengan perasaan yang sukar dilukiskan. Apalagi ketika terlihat olehnya rambut Tui Lan yang penuh uban itu.

   "Lan-moi...? Kenapa dengan rambutmu itu...?" tanyanya kaget.

   "Rambutku? Ada apa dengan rambutku?" gadis itu justru bertanya pula. Tapi setelah gadis itu melihat ujung rambutnya yang terjuntai di belakang punggungnya, seketika hatinya menjadi kaget pula.

   "Oh! Ini... ini.?" katanya bingung. Liu Yang Kun menjadi kasihan melihatnya. Ia tahu gadis itu telah mengalami goncangan dan tekanan batin yang amat kuat.

   "Sudahlah, Lan-moi... Kau telah mengalami penderitaan jiwa raga yang sangat hebat, sehingga rambutmu menjadi putih. Tak apalah! Kau justru... bertambah anggun dan cantik malah!" hiburnya.

   "Koko...!" gadis itu menghambur kembali ke dalam pelukan Yang Kun. Pemuda itu lalu bangkit duduk. Tetesan air yang diberikan Tui Lan tadi tampaknya sungguh amat menyegarkan badannya, sehingga kekuatannya telah mulai bangun kembali. Sambil merangkul pundak Tui Lan pemuda itu lalu bercerita. Malam itu Liu Yang Kun menjadi amat gelisah karena tidak bisa tidur. Bayangan wajah Tui Lan selalu menggoda dan memburunya terus, sehingga akhirnya dia menjadi ketakutan malah, menjadi ngeri kalau kalau setiap saat penyakitnya akan kambuh kembali. Oleh karena itu sebelum semuanya menjadi terlanjur, maka dia memutuskan untuk kembali lagi ke seberang. Benarlah! Di dalam perjalanan pemuda itu merasakan gejala-gejala tersebut. Maka begitu tiba di seberang cepat-cepat memborgol dirinya sendiri.

   Sehingga ketika penyakitnya itu benar-benar datang, ia sudah tidak bisa pergi kemana-mana lagi. Hanya celakanya ketika 'badai setan' itu telah berlalu, ia tak dapat membuka borgol itu lagi. Kuncinya ternyata sudah tidak ada di sakunya. Hilang entah kemana. Lemaslah semangat pemuda itu. Tanpa kunci itu ia akan terantai di tempat itu selama hidupnya. Namun masih untung pula bahwa rantai yang mengikatnya agak panjang, sehingga ia masih bisa pergi ke pinggir sungai untuk mencari ikan dan mengambil air. Hanya saja dalam beberapa hari ini ia tak bisa mendapatkan ikan itu Iagi. Tampaknya ikan-ikan itu sudah tidak berani menepi pula, sehingga selama beberapa hari ia juga hanya minum air saja. Maka tak heran kalau tubuhnya lambat laun menjadi lemas. Untunglah Tui Lan segera datang menolongnya. Kalau tidak, ia tentu akan mati kelaparan di tempat itu.

   "Tapi... tapi bagaimana kau sampai di tempat ini? Bagaimana caramu menyeberang?" selesai bercerita Liu Yang Kun bertanya dengan wajah keheranan. Terpaksa Tui Lan juga bercerita apa adanya. Sedikitpun gadis itu tidak berusaha menyembunyikan apa yang telah dialam inya selama ini. Bagaimana ia memperoleh buku-buku itu, dan apa yang telah terjadi setelah ia memasukkan Po-tok-cu itu ke telapak tangannya. Sekarang giliran Liu Yang Kun yang melongo keheranan mendengar penuturan itu. Sama sekali ia tak menyangka Tui Lan telah mengalami kejadian yang begitu hebatnya.

   "Lan-moi...? Jadi kau telah mendapatkan buku-buku Bit-bo-ong dan mempelajarinya? Oh, kalau begitu buku-buku itu tentu telah jatuh dari saku Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai ketika dia melawan Giok-bin Tok-ong itu."

   

Pendekar Penyebar Maut Eps 50 Pendekar Penyebar Maut Eps 31 Darah Pendekar Eps 38

Cari Blog Ini