Ceritasilat Novel Online

Pendekar Penyebar Maut 50


Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Bagian 50




   "Bagaimana, Cici?" Souw Lian Cu yang masih tetap penasaran itu mendesak lagi. Chu Bwee Hong menatap Souw Lian Cu kembali.

   "Baiklah! Semuanya terserah kepada ayahmu..." akhirnya wanita ayu itu mengalah.

   "Horeee...!" seperti anak kecil Souw Lian Cu menghambur ke dalam pelukan Chu Bwee Hong.

   "Lian Cu, lihatlah! kau jangan buru-buru bergembira dulu! Sekarang ayahmu yang dalam kesulitan!" Chu Bwee Hong tiba-tiba menunjuk ke arah pertempuran.

   "Ohhh!"

   "Hei! Put-ceng-li Lojin memainkan ilmu Bidadari Bersedih..." Chu Bwee Hong berteriak lagi. Ternyata keadaan di dalam pertempuran itu memang telah berubah. Souw Thian Hai yang semula mendesak Put-ceng-li Lojin dengan pukulan-pukulan merah-putihnya, kini tampak mundur terus menghadapi ilmu silat Put-ceng-li Lojin! Ternyata ketua Aliran Bing-kauw itu kini mengubah cara bersilatnya. Kalau tadi kakek itu bergerak dengan cepat, kasar dan aneh, sekarang kakek itu bergerak dengan halus dan lemah lembut bagaikan seorang bidadari menari. Tentu saja gerakannya itu membuat dirinya menjadi lucu dan menggelikan. Meskipun demikian jurus-jurus yang ia keluarkan ternyata sangat mengejutkan Souw Thian Hai!

   Bagaikan seorang bidadari yang benar-benar lagi bersedih, Put-ceng-li Lojin membuat gerakan-gerakan yang mencerminkan kesedihan dan kepiluan hatinya. Demikian sempurnanya kakek itu menghayati ilmu itu sehingga dari mulut dan hidungnyapun kadang-kadang terdengar suara isak dan sedu-sedan perlahan. Malahan seringkali secara tak terduga kakek tersebut menangis menjerit-jerit. Pada suatu saat Put-ceng-li Lojin menyerang Souw Thian Hai dengan jurusnya Mengusap Air Mata Membanting Cermin. Tapi tak terduga Souw Thian Hai yang telah terpaksa itu justru menyongsong serangan itu dengan pukulan gandanya. Maka gerakan membanting cermin itu menjadi urung dilakukan, dan sebaliknya seperti seorang bidadari yang sungguh-sungguh sedang bersedih, Put-ceng-li Lojin membuat gerakan seorang wanita yang sedang berputus-asa.

   Dengan gerakan yang tak terduga pula kakek itu menubruk ke arah pukulan Souw Thian Hai malah! Tentu saja Souw Thian Hai menjadi kaget, bingung dan sekaligus bercuriga pula! Jangan-jangan semua itu Cuma gertakan atau jebakan untuknya. Oleh karena itu secara tidak sadar Souw Thian Hai lalu menahan pukulannya. Tapi waktu yang hanya sedetik itu ternyata benar-benar dimanfaatkan oleh Put-ceng-li Lojin, atau memang inilah keistimewaan Ilmu Silat Bidadari Bersedih itu. Secara tak terduga dan dalam tempo yang sangat mendadak, tiba-tiba kakek yang hendak bunuh diri itu menggeliatkan badannya, tahu-tahu pergelangan tangan Souw Thian Hai telah dipegangnya.

   Dan sebelum Souw Thian Hai menyadari keadaannya, tahu-tahu tubuhnya yang tinggi besar itu telah jatuh berdebam di atas pasir. Cepat pendekar sakti itu mengerahkan lweekang ke lengannya, berjaga-jaga untuk menangkis serangan berikutnya. Tapi lagi-lagi pendekar itu terkecoh. Lawannya yang seharusnya memanfaatkan keadaannya yang sulit, karena tak punya kesempatan untuk mengelak itu justru membalikkan tubuh dan bersiap untuk pergi malah! Sekali lagi Souw Thian Hai menjadi bingung. Sedetik ia ternganga. Tapi waktu yang sedetik itu lagi-lagi dimanfaatkan oleh Put-ceng-li Lojin dengan telak! Secara tak terduga ketua Bing-kauw itu menjatuhkan diri dan tumitnya mengait ke belakang!

   "Bressss!" Souw Thian Hai terlempar ke belakang dengan lengan kanan lumpuh!

   "Gila! Ilmu apa ini...?" pendekar itu berdesah menahan sakit. Put-ceng-li Lojin tertawa.

   "Nah, kedua lenganmu yang berbahaya itu telah lumpuh salah satu, hahaha...! Ketahuilah! Ilmu ini adalah Ilmu Silat Bidadari Bersedih! Dan...jurus yang baru kulakukan itu adalah jurus Selir Kui Hui Bermain Sandiwara. Bagus tidak...?" kakek itu berkata genit seperti wanita. Sementara itu dengan hati berdebar-debar Souw Lian Cu mencengkeram pergelangan tangan Chu Bwee Hong.

   "Cici, aku takut kalau ayahku kalah...semuanya bisa hancur nanti! Ahh, ternyata aku telah salah menduga orang. Ketua Bing-kauw itu ternyata lihai sekali."

   "Aaaah...!" Chu Bwee Hong berdesah puIa tak kaIah tegangnya. Karena sama-sama gelisah dan tegangnya, maka kedua perempuan itu saling beremas tangan tanpa terasa. Sekali lagi terdengar Put-ceng-li Lojin tertawa gembira. Kakek yang suka sekali berkelahi itu seperti mendapatkan hiburan dan kegembiraan dari pertempurannya tersebut. Suatu kenyataan, dimana dari kalah lalu menang itu benar benar sangat memuaskannya. Rasa-rasanya kalau nanti menjadi kalah lagipun ia takkan merasa kecewa.

   "Ayoh...Souw Thian Hai! Kerahkan semua kepandaianmu! Kalahkan ketua Bing-kauw ini! Rebutlah calon isterimu ini dari tanganku, hehehe...!"

   "Hmmh!" Souw Thian Hai menggeram. Tangan kirinya sibuk membersihkan pasir yang melekat pada bajunya, sementara tangan kanannya tergantung lumpuh di sisi badannya.

   "Hmm, kau jangan buru-buru bergirang hati dahulu! Meskipun untuk sementara tangan kananku lumpuh, tapi itu tidak berarti aku akan kalah denganmu. Lihatlah...!" pendekar itu membentak.

   Beberapa saat kemudian mata Put-ceng-li Lojin terbelalak. Dengan sangat heran kakek itu melihat lawannya mulai bersilat hanya dengan separuh badan saja. Dengan sangat gesit dan lincah Souw Thian Hai menggerakkan tubuh bagian kirinya seperti orang kidal saja. Tangan kanan dan kaki kanannya ia biarkan saja terayun kesana kemari mengikuti gerakannya. Dan pendekar sakti itu sedikitpun tidak merasa terganggu oleh kaki tangan itu. Dan Put-ceng-li Lojin buru-buru meloncat mundur ketika secara tiba-tiba tangan Souw Thian Hai tersebut menyambar ke arah mukanya. Dan hembusan udara panas terasa menyengat kulit, sehingga kakek itu merasa seperti ada bau rambutnya yang terbakar.

   "Bangsat! kau memang hebat! Tapi, bagaimanapun juga kau takkan menang melawan aku. Sebab dengan anggauta badan lengkap saja kau tak mampu, apalagi sekarang kau hanya melawan dengan separuh badan. Oh-ho-ho...sungguh malang benar nasibmu!" ketua Bing-kauw itu mengejek. Tapi Souw Thian Hai tak mengacuhkannya. Pendekar itu justru bergerak semakin lincah dan cepat. Kaki kirinya bergerak, bergeser dan berloncatan dengan tangkasnya, seolah-olah sejak lahir pendekar itu memang hanya berkaki satu. Sedangkan tangan kirinya tampak berkelebatan pula tak kalah gesitnya. Menotok, memukul, menabas dan mencengkeram ke tempat-tempat yang berbahaya dengan ganasnya. Sementara dari dalam tangan itu keluar hawa panas dan dingin silih berganti.

   "Demit! Setan! Iblissss...!" Put-ceng-li Lojin mengumpat tiada habisnya, begitu mendapat kenyataan bahwa lawannya tidak bertambah lemah, tapi justru menjadi berlipat ganda kekuatannya.

   Tampaknya, dengan hanya mempergunakan separuh badan, pendekar sakti itu malah bisa memusatkan seluruh kemampuannya ke satu arah saja, sehingga kekuatan yang dia hasilkan juga bertambah besar pula. Oleh karena itu pertempuran merekapun tidak menjadi susut, tapi 'semakin berkembang menjadi dahsyat malah! Souw Thian Hai dengan ilmu silat separuh badannya justru semakin bertambah hebat dan mendebarkan hati, sementara lawannya, dengan Ilmu Silat Bidadari Bersedihnya ternyata juga mampu mengecoh dan membingungkan Souw Thian Hai pula. Sehingga alhasil untuk sementara waktu belum dapat dipastikan, siapa yang kalah atau menang nantinya. Apalagi setelah mempunyai kesempatan, ketua aliran Bing-kauw itu dapat pula menyisipkan Koai-jing-kun dalam setiap serangannya.

   Sementara itu, di tepi muara Sungai Huang-ho, Chin Yang Kun telah dapat mendarat pula dengan selamat. Meskipun tempat pendaratannya jauh lebih ke hilir dari tempat pendaratan Souw Thian Hai tadi. Dengan pakaian basah kuyup pemuda itu mencari jalan menuju ke dusun tempat bermukim para perajurit itu. Tapi ketika sampai di rimba batu raksasa itu, tiba-tiba Chin Yang Kun mendengar suara Souw Thian Hai memanggil puterinya. Suara itu keras sekali dan datang dari arah pantai! Chin Yang Kun membalikkan badannya lalu dengan tergesa-gesa berlari ke arah suara itu. Tapi ketika tiba di dataran pasir luas itu, tiba-tiba Chin Yang Kun melihat berkelebatnya beberapa sosok bayangan, melintas di tempat terbuka itu pula. Di dalam kegelapan, beberapa sosok bayangan itu tampak menyelinap di antara batu-batu karang hitam, untuk kemudian tak kelihatan Iagi.

   "Eh...siapakah mereka itu tadi? Ilmu meringankan tubuh mereka rata-rata sangat tinggi. Mereka tentu bukan tokoh-tokoh sembarangan." Karena belum mengetahui siapa mereka itu, maka Chin Yang Kun juga tak ingin diketahui pula oleh mereka. Dengan jalan mengendap-endap pemuda itu merangkak di antara batu-batu karang yang bertonjolan di atas hamparan pasir hitam tersebut. Di antara gemuruhnya angin dan deburan ombak, pemuda itu mendengar suara orang bercakap-cakap di tepi pantai.

   "Suara siapakah itu? Mungkinkah suara itu suara Hong-gi-hiap Souw Thian Hai? Tapi dengan siapa ia bercakap-cakap? Apakah dengan salah seorang dari bayangan yang kulihat tadi?" Tiba-tiba suara percakapan itu berhenti. Tapi sekejap kemudian terdengar suara yang lain. Suara pertempuran.

   "Suara pertempuran? Siapa...?" Chin Yang Kun terkejut. Sambil menundukkan tubuhnya, Chin Yang Kun berlari diantara batu-batu karang itu. Pemuda itu sengaja mengambil jalan memutar yang lebih aman, dari pada lewat di atas hamparan pasir yang terbuka itu. Makin dekat ke bibir laut, suara itu semakin jelas dan keras. Malahan sayup-sayup telah terdengar suara makian dan umpatan pula.

   "Ah, rasa-rasanya aku pernah mendengar suara seperti itu..." Chin Yang Kun berdesah dan berlari semakin tak sabar. Karena tegangnya pemuda itu melompat begitu saja ketika di depannya menghalang sebuah batu karang besar. Tapi pemuda itu terkejut bukan kepalang ketika kakinya hampir saja menginjak sesosok tubuh manusia yang sedang bersembunyi di balik batu karang tersebut. Dan pemuda itu semakin menjadi kelabakan tatkala orang yang mau diinjaknya itu menyerangnya! Sebilah pisau pendek tampak berkelebat ke arah perutnya.

   "Heit...!" terdengar suara nyaring seorang wanita. Chin Yang Kun menarik kakinya, kemudian memutar badannya ke samping, setelah itu baru menjatuhkan tubuhnya ke pasir. Tapi dengan meminjam daya tolaknya, tubuh pemuda itu dapat melenting ke atas kembali. Lalu dengan manis, kakinya hinggap di atas batu karang besar tersebut.

   "Bagus!" wanita itu berseru kagum dan siap untuk menyerang lagi.

   "Hah? kau lagi...!" Chin Yang Kun yang lolos dari maut itu berseru perlahan begitu mengenali orang yang baru saja menyerangnya itu.

   "Huh, kau juga!" wanita yang tak lain dan tak bukan adalah Siau Put-sia atau Put-sia Niocu itu cemberut. Dan keduanya tak jadi meneruskan perkelahian mereka. Chin Yang Kun melompat turun sambil menghela napas lega. Matanya yang tajam luar biasa itu menatap wajah Siau Put-sia yang cantik bagaikan bulan purnama itu. Wajah yang cantik itu tampak kemerah-merahan karena marah.

   "Hmm...kau ini suka benar main sembunyi-sembunyian. Apa yang hendak kau lakukan di tempat ini?" Chin Yang Kun bertanya dengan bibir tersenyum, ingat akan pertemuannya dengan gadis itu di Kuil Delapan Dewa dulu. Tapi mulut yang indah itu semakin cemberut. Matanya yang lebar tampak berkilat-kilat di dalam kegelapan.

   "Aku bersembunyi di sini atau di mana saja, apa pedulimu? kau pun juga ada di sini, lalu apa pula yang hendak kau kerjakan? Mau mengintip aku? kau kira malam-malam begini aku mau mandi di Iaut, ya...?" Siau Put-sia menjawab dengan kata-katanya yang pedas. Kulit muka Chin Yang Kun merah seketika! Lidahnyapun menjadi kaku pula dengan mendadak. Kata-kata gadis itu memang keterlaluan sekali.

   "Kurang ajar, lidahmu tajam benar! Tak seharusnya kata-kata atau ucapan seperti itu keluar dari mulut seorang gadis sopan..." Chin Yang Kun yang merasa tersinggung itu menggeram. Tapi melihat lawannya menjadi marah, gadis itu justru tertawa sekarang. Dan ketika tertawa gadis itu sama sekali tak berusaha untuk menutup mulutnya. Mulutnya terbuka lepas, sehingga suaranyapun sampai terdengar nyaring dan keras.

   "Hihihi-haha...gadis sopan? Apa itu? Hihi-haha...! kau tahu siapa aku ini? Namaku Put-sia Niocu, yang artinya adalah Gadis Yang Tak Tahu Adat! Dan guruku adalah Put-ceng-li Lojin atau Orang Tua Yang Tahu Aturan! Nah...apa artinya sebutan gadis sopan itu bagiku?" Chin Yang Kun terdiam, mulutnya meringis. Pemuda itu menjadi salah tingkah. Tersenyum salah, tidak tersenyumpun juga salah. Menghadapi Siau Put-sia ternyata Chin Yang Kun selalu dibuat tak berdaya. Oleh karena itu Chin Yang Kun lalu beranjak dari tempatnya dan tak mau berdebat lagi.Tapi dengan cepat Siau Put-sia melompat menghalanghalanginya. Sambil bertolak pinggang gadis itu menudingkan jari telunjuknya.

   "Hei! Enak saja mau pergi setelah tiba-tiba mau membunuh orang..." gadis itu membentak.

   "Mau membunuh orang? Siapa yang mau membunuh orang? Kurang ajar! kau jangan bicara sembarangan!" Chin Yang Kun berseru marah.

   "Huh...kau lah yang bicara sembarangan! Lelaki macam apa itu? Berani berbuat tidak berani bertanggung jawab! Coba, siapakah yang mau menginjak punggungku tadi? Ayo jawab!"

   "Ya, benar...memang aku! Tapi...bukankah aku tidak sengaja?"

   "Sengaja atau tidak sengaja...mana aku tahu? Yang terang, kalau kakimu tadi benar benar menginjak punggungku, bukankah tulang punggungku bisa patah? Nah, kalau tulang itu patah, masakan aku bisa hidup lagi? Bukankah dengan demikian sama saja engkau membunuh aku?"

   "Tapi...ah, sudahlah! Aku tak mau berdebat lagi denganmu! Membuang-buang waktu saja. Aku akan pergi sekarang..." Chin Yang Kun menggeram lalu membalikkan tubuhnya, terus melompat pergi. Pemuda itu sengaja mengerahkan ginkangnya, sehingga sekejap kemudian tubuhnya telah lenyap ditelan oleh kegelapan malam.

   "Huh! Awas kau...! Akan kucincang sampai lumat kalau kuketemukan nanti!" Siau Put-sia yang telah kehilangan jejak Chin Yang Kun itu mengancam. Lega hati Chin Yang Kun setelah dapat melepaskan diri dari libatan gadis liar itu. Dengan sangat hati-hati pemuda itu lalu meneruskan langkahnya. Suara pertempuran itu semakin jelas terdengar ke telinganya. Dan suara-suara ucapan itu juga semakin jelas nada dan kata-katanya.

   "Ahh...suara Put-ceng-li Lojin?" pemuda itu bergumam di dalam hatinya. Benarlah. Begitu tiba di tepi laut, Chin Yang Kun melihat ketua Bing-kauw itu sedang bertempur dengan Hong-gi-hiap Souw Thian Hai. Dan tidak jauh dari arena pertempuran itu, tampak dua orang wanita sambil berpelukan, menonton dengan wajah tegang dan gelisah. Chin Yang Kun cepat bersembunyi di balik batu karang lagi. Hatinya berdebar. Salah seorang dari wanita itu adalah Souw Lian Cu, gadis yang selama ini selalu menggoda dan menggelisahkan hatinya.

   "Oh...jadi ayah dan anak itu telah saling bertemu. Tapi...siapakah wanita di samping Souw Lian Cu itu? Dan...kenapa Souw-Taihiap sampai bertempur dengan Put-ceng-li Lojin?" pemuda itu membatin. Otak Chin Yang Kun cepat berputar. Pemuda itu segera menghubung-hubungkan semua hal yang pernah didengarnya selama ini. Tiba-tiba pemuda itu ikut menjadi tegang pula.

   "Hei! Wanita yang berada di samping Souw Lian Cu itu tentu adik Chu-Twako yang menjadi isteri Put-ceng-li Lojin itu! Ah...benar. Kalau begitu, aku tahu sekarang, kenapa ketua Bing-kauw itu bertempur dengan Souw-Taihiap." Chin Yang Kun berkata di dalam hatinya.

   Karena merasa terlalu jauh dan kurang jelas, maka pemuda itu lalu berusaha mencari tempat yang lebih dekat lagi. Dengan sangat hati-hati ia merangkak dan merayap kedepan, menuju ke sebuah tumpukan batu-batu karang besar, tidak jauh dari arena pertempuran. Tapi kedatangan Chin Yang Kun di sana segera disambut oleh sesosok bayangan lain, yang ternyata telah lebih dahulu berada di tempat tersebut. Mula-mula pemuda itu menyangka bahwa orang itu adalah Put-sia Niocu, karena bayangan itu juga bertubuh kecil langsing seperti layaknya seorang perempuan pula. Tapi setelah orang itu berbalik dan menyerang dengan pedang panjangnya, maka Chin Yang Kun segera melihat perbedaannya.

   Wanita ini agak lebih tinggi, lebih masak dan lebih dewasa bentuk tubuhnya. Ditambah lagi gerak-gerik dan cara bersilatnyapun ternyata juga berbeda sekali. Pedang panjang itu meliuk dari bawah ke atas, menuju ke arah ulu hati Chin Yang Kun, dengan cepat sekali dan seolah-olah tidak mengeluarkan suara atau angin sama sekali. Tahutahu ujung pedang panjang itu sudah tinggal sejengkal saja lagi dari dada Chin Yang Kun. Sedetik lamanya pemuda itu terhenyak di tempatnya. Lagi lagi seorang yang berkepandaian tinggi telah menyerangnya! Dan...Iagi-Iagi ia tak mempunyai kesempatan untuk mengelakkannya. Rasa-rasanya semua kegesitan dan kelincahan geraknya selama ini selalu terasa lamban bila berhadapan dengan jago silat kelas satu. Untunglah Iweekangnya sangat tinggi, sehingga setiap kali dipaksa untuk adu tenaga, ia selalu menang.

   "Ah, benar juga ucapan Put-pai siu Hong-jin itu. Aku ini diumpamakan seekor naga yang kuat dan bertenaga besar, tapi sangat lamban gerakannya..." Chin Yang Kun berkata seraya menabas ujung pedang itu dengan sisi tangannya.

   Sebenarnya tangkisan seperti itu sangat berbahaya bagi Chin Yang Kun. Jika tenaga dalam yang ia salurkan ke tangannya itu tidak jauh lebih besar dari tenaga dalam lawannya, maka pedang itu dengan mudah akan melukai atau bahkan bisa memotong tangannya sendiri malah. Tapi memang cuma itulah satu-satunya jalan yang dapat dilakukan oleh Chin Yang Kun. Selain sudah tidak bisa mengelak lagi, pemuda itu juga tidak membawa senjata pula! Maka sebuah benturan yang hebatpun tak bisa dielakkan lagi, yaitu antara sisi tangan Chin Yang Kun melawan ujung pedang lawannya! Untunglah, sisi tangan itu dengan tepat menghantam badan pedang, tidak pada sisi tajamnya!

   "Taaaaas!" Ujung pedang itu berdencing patah dan terlempar jauh entah kemana. Meski begitu Chin Yang Kun tidak seratus persen lolos dari serangan tersebut. Ujung pedang yang telah patah itu ternyata masih juga menggores ke arah pundaknya!

   "Aaah...!" Chin Yang Kun terpekik.

   "Ahhh...!" wanita itu terpekik pula melihat ujung pedangnya yang patah. Keduanya lalu berdiri berhadapan dan...

   "Oh...Nona Ho Pek Lian!" Chin Yang Kun berseru perlahan.

   "...Saudara Yang Kun...!" Ho Pek Lian menjerit kecil pula. Mereka lalu terdiam seperti orang-orang yang kehilangan akal. Tapi serentak terdengar suara umpatan Put-ceng-li Lojin, keduanya lalu menjadi sadar kembali bahwa mereka sekarang sedang mengintip pertempuran antara Hong-gi-hiap Souw Thian Hai dan Put-ceng-li Lojin!

   "Eit...tampak pertempuran mereka telah sampai pada saat-saat penentuan!" Ho Pek Lian berseru, kemudian membalikkan tubuh dan kembali ke tempatnya semula. Otomatis Chin Yang Kun turut mengintai juga di samping gadis itu. Sekarang dengan jelas pemuda itu dapat melihat pertempuran dahsyat itu. Sungguh sebuah pertempuran yang sangat luar biasa dan belum pernah disaksikan sebelumnya oleh pemuda itu.

   "Sudah lama mereka berkelahi?" Chin Yang Kun membuka percakapan. Ho Pek Lian mengangguk.

   "Sudah..." jawabnya perlahan.

   "Bukan main! Kepandaian mereka benar-benar hebat sekali...!" Chin Yang Kun berdesah kagum seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ho Pek Lian menoleh.

   "Saudara Yang, kau pun hebat sekali! Tadi hampir saja aku tak percaya bahwa kau dapat mematahkan ujung pedangku hanya dengan sisi tanganmu saja..."

   "Ah...itu cuma kebetulan saja!" Chin Yang Kun berkata dengan malu-malu. "Tidak! Itu tadi bukan kebetulan! kau tadi memang tak punya pilihan lain selain menepiskan pedangku. kau sudah tak ada kesempatan untuk mengelak lagi..."

   "Wah...!"

   "Eh, saudara Yang...Kudengar kau membawa Hongsiang pagi tadi. Terima kasih. Untunglah ada kau, kalau tidak, wah...kita bisa kehilangan Hongsiang kemarin malam," Ho Pek Lian tiba-tiba berkata sambil menjura kepada Chin Yang Kun.

   "Ah...jangan terlalu dibesar-besarkan! Aku malah menjadi malu. Bukankah aku dulu juga pernah ditolong oleh Liu...eh, Kaisar Han?" Chin Yang Kun cepat-cepat memotong sambil menggoyang-goyangkan telapak tangannya.

   "Tapi..." Tapi percakapan kedua orang itu terhenti dengan mendadak, tatkala dari arena pertempuran terdengar suara jeritan Chu Bwee Hong dan Souw Lian Cu. Otomatis mata Ho Pek Lian dan Chin Yang Kun memandang ke arah pertempuran. Dan keduanya segera terbelalak. Tampak jelas oleh kedua orang itu, tubuh Souw Thian Hai dan Put-ceng-li Lojin tergeletak di atas pasir. Dan masing-masing dengan segera telah ditolong dan dirubung oleh orang banyak, yang secara mendadak telah memenuhi tempat itu!

   "Eh...bagaimana ini? Apa yang telah terjadi?" Ho Pek Lian berseru kaget, lalu meloncat keluar pula dari persembunyiannya. Chin Yang Kun cepat keluar pula. Pemuda itu masih tampak bingung melihat demikian banyaknya orang yang tiba-tiba muncul di tempat itu. Dan pemuda itu semakin merasa heran melihat beberapa orang diantaranya ternyata adalah orang orang yang telah dikenalnya dengan baik. Orang-orang itu antara lain adalah Hong-lui-kun Yap Kiong Lee, Yap Tai-Ciangkun, Chu Seng Kun, Kwa Siok Eng dan Put-sia Niocu. Sedangkan beberapa orang lainnya, seperti seorang tua berjenggot putih dan berambut putih, serta dua orang lelaki yang sedang menolong Put ceng li Lojin belum dikenalnya sama sekali.

   Sementara itu Souw Thian Hai yang tergeletak di atas pasir itu telah ditolong oleh Chu Bwee Hong dan Souw Lian Cu. Pendekar sakti itu tampak pucat sekali, meskipun demikian ia telah dapat bangkit dan duduk di atas pasir. Beberapa kali jari telunjuknya menotok di sana-sini untuk mengobati luka dalamnya, sementara Chu Bwee Hong yang lebih pandai dalam hal pengobatan itu malah cuma terlongong-longong saja saking bingungnya. Di pihak lain, Put-ceng-li Lojin juga telah ditolong oleh murid-muridnya, yaitu Put swi-kui, Put-ming-mo dan Put-sia Niocu. Malah sebentar kemudian orang tua berambut dan berjenggot putih itupun ikut juga berjongkok di samping tubuh Put-ceng-li Lojin.

   Tangannya dengan cekatan ikut pula mengurut dan menotok dada ketua Bing-kauw itu. Apakah yang telah terjadi sebenarnya? Bagaimana halnya sampai mereka berdua dapat terluka dalam bersama-sama? Souw Thian Hai dan Put-ceng-li Lojin adalah dua orang tokoh persilatan yang sangat terkenal dan berkepandaian tinggi. Put-ceng-li Lojin adalah ketua sebuah aliran kepercayaan yang besar dan ternama, sementara Souw Thian Hai yang masih muda itu juga bukan tokoh baru di dalam dunia persilatan. Pendekar muda itu mulai menanjak namanya ketika dalam keadaan "hilang ingatan" dia terjun ke dunia kang-ouw, yang pada waktu itu sedang bergolak karena sedang berkecamuknya pemberontakan Liu Pang dan Chu Siang Yu melawan kekuasaan Kaisar Chin Si.

   Dan nama pendekar muda itu semakin membubung tinggi tatkala bisa membunuh duplikat Bit-bo-ong yang maha sakti itu. Maka sungguh tidak mengherankan kalau pertempuran atau pertandingan di antara keduanya benar-benar dahsyat tiada terkira. Masing-masing hampir telah mencapai kesempurnaan di dalam mendalami ilmu perguruannya, sehingga benturan di antara ilmu-ilmu mereka benar-benar merupakan sebuah peristiwa yang jarang terjadi di dunia persilatan. Ilmu-ilmu kesaktian mereka hampir-hampir tak dapat dipercaya oleh mata orang-orang yang belum matang dalam dunia persilatan.

   Meskipun demikian, makin lama mereka bertempur, orang makin dapat melihat bahwa Tai-kek Sin-ciang dan Tai-lek Pek-khong-ciang dari pendekar muda Souw Thian Hai itu semakin dapat menguasai keadaan. Secara perlahan-lahan Ilmu Silat Bidadari Bersedih dan Chuo-mo-ciang dari Put-ceng-li Lojin itu dapat ditindih dan dibuat tak berdaya oleh kekuatan dan kehalusan ilmu Souw Thian Hai yang hebat itu. Tetapi beberapa saat kemudian, orang-orang yang secara sembunyi-sembunyi menonton pertandingan itupun lantas menjadi terheran-heran Souw Thian Hai yang secara pasti dan meyakinkan dapat menguasai lawannya itu tiba-tiba seperti menjadi kehilangan arah kembali. Gerakan-gerakannya selalu macet dan tampak ragu-ragu bila hendak mengenai sasarannya. Dan sebelum semua orang mengetahui sebab-sebabnya, tiba-tiba terjadilah peristiwa itu.

   Souw Thian Hai dan Put-cengli Lojin saling bertukar pukulan dan tendangan, sehingga keduanya terlempar jatuh bergulingan di atas pasir! Kedua duanya sama-sama mendapat luka di dalam tubuhnya! Demikianlah, akhir dari pertandingan tersebut ternyata malah membingungkan dan membuat penasaran orang yang melihatnya. Dan orang yang paling penasaran dan tidak mau menerima kenyataan itu adalah murid-murid Put-ceng-li Lojin sendiri, yang secara diam diam ternyata juga turut menonton pertandingan itu pula. Dengan kemarahan yang meluap-luap, karena melihat gurunya terluka parah, Put-swi-kui dan Put-ming-mo cepat meninggalkan gurunya yang telah ditolong oleh Pek-i Liong ong atau orang tua berambut putih itu. Keduanya meloncat ke depan Souw Thian Hai yang sekarang sudah dapat berdiri kembali di atas kedua kakinya.

   "Binatang menjijikkan! Senang hatimu karena bisa melukai guruku, ya...? Ha, tapi nanti dulu...! kau jangan buru-buru bergembira dulu karena bisa merebut subo-ku itu! kau harus dapat mengalahkan kami pula..." Put-swi-kui atau Hantu Tak Berdosa itu menggeram.

   "Benar! kau harus mengalahkan kami lebih dahulu...!" Put-ming mo atau Setan Tak Bernyawa itu ikut pula membentak.

   "Put-swi kui, kau ja...jangan..." Chu Bwee Hong berusaha mencegah kemarahan murid Put-ceng-li Lojin itu.

   "Subo, kau tak perlu ikut campur! Kami berdua akan menghukumnya, karena dia telah berani melukai suhu," Put swi-kui yang marah itu cepat memotong perkataan Chu Bwee Hong, yang selama ini selalu dihormatinya. Melihat ketegangan itu, Souw Lian Cu segera melesat pula ke depan ayahnya. Dengan muka merah gadis itu siap untuk melindungi keselamatan ayahnya. Tapi sebelum gadis itu bertindak lebih lanjut, tiba-tiba terdengar suara bentakan Put-ceng-li Lojin yang keras menggeledek.

   "Siau Kui (Hantu Kecil)! Siau Mo (Setan Kecil)...! Jangan sembrono! Ayo, kembali! Bangsat! Keparat...!" Dengan wajah takut namun juga penasaran, kedua orang itu membalikkan badannya. Langkahnya tampak ragu-ragu ketika mendekat ke arah gurunya.

   "Suhu...? Mengapa...?" Put-swi kui mencoba membantah kata-kata gurunya.

   "Diam! Ini adalah perang tanding antara dua orang lelaki! Tahu...? Dan semua ini sudah kami atur dan kami sepakati bersama. Oleh karena itu tidak ada dendam atau balas-membalas."

   "Suhu..." Put-sia Niocu yang sedari tadi selalu berada di dekat gurunya mencoba untuk mendinginkan kemarahan orang tua tersebut.

   Jilid 38
Dan orang tua yang masih tergeletak, karena terlalu parah lukanya itu, melirik kepada murid perempuannya. Namun hanya sekejap. Sesaat kemudian orang tua itu sudah menatap kedua orang murid laki-lakinya lagi.

   "Dan...apakah mata kalian tidak melihat tadi? Betapa besar jiwa Hong-gi-hiap Souw Thian Hai di dalam perang tanding ini tadi? Hmm, seharusnya gurumu ini sudah kalah dan mati sejak tadi, tahu? Tapi demi menjaga nama dan kehormatanku, dia berbuat seolah-olah kami berimbang dan sama-sama terluka parah! padahal kalau dia mau..."

   "Lojin..." tiba-tiba Souw Thian Hai menghentikan perkataan ketua Bing-kauw itu.

   "...Siapa yang mengatakan aku menang? Aku juga terluka oleh pukulanmu. Lukaku juga tidak ringan. Lihatlah...!" Put-ceng-li Lojin tertawa.

   "Bangsat! Hahaha...! Aku benar-benar puas dapat menyerahkan Chu Bwee Hong kepadamu, saudara Souw...Kau tak perlu merendahkan dirimu lagi! Aku telah kalah! Oleh karena itu Chu Bwee Hong kuserahkan kepadamu sekarang. Terimalah!"

   "Lojin...!" Chu Bwee Hong menjerit dan berlari menubruk dada ketua Bing-kauw itu.

   "Suhu...!" Put-sia Niocu yang sudah terlanjur suka dan sayang pada Chu Bwee Hong itu juga menangis disamping gurunya.

   "Lojin...ini...ini..." Souw Thian Hai yang mendengar pernyataan atau ucapan bekas "suami" Chu Bwee Hong itu menjadi gagap dan bingung malah. Melihat sikap Souw Thian Hai itu Put-ceng-li Lojin mengerutkan dahinya. Sambil merangkul kepala Chu Bwee Hong, orang tua itu bertanya,

   "Ada apa, saudara Souw?" Beberapa saat lamanya pendekar itu tidak bisa menjawab.Beberapa kali dia hanya bisa menghela napas.

   "Apakah kau mempunyai kesulitan, saudara Souw? Lekaslah katakan!" Put-ceng-li Lojin mendesak. Dengan ragu-ragu Souw Thian Hai memandang wajah "lawannya", lalu menoleh ke sekitarnya, yaitu ke arah orang-orang yang secara mendadak bermunculan di tempat itu.

   "Bing-Kauwcu..." akhirnya pendekar itu bisa juga mengeluarkan isi hatinya. "Aku sungguh sangat berterima kasih sekali kepadamu. Aku memaklumi semua maksud baikmu yang kau tujukan kepadaku atau kepada...Chu Bwee Hong ini. kau sungguh mulia dan baik sekali. Aku dan Chu Bwee Hong benar-benar berhutang budi kepadamu. Sebenarnya aku amat gembira sekali menerima penyerahan Chu Bwee Hong ini. Tapi..." Souw Thian Hai tidak meneruskan kata-katanya. Sebaliknya pendekar itu menghela napas lagi dalam-dalam. Tampaknya ada sesuatu yang masih memberatkan hatinya.

   "Saudara Souw! Kenapa tidak kau lanjutkan kata-katamu? Ayoh! Lekaslah kau keluarkan isi hatimu! Jangan kau pendam saja di dalam dada, sehingga kami ikut menjadi penasaran melihatnya...!" Put-ceng-li Lojin berseru tak sabar.

   "Begini, Bing-Kauwcu...Rasa-rasanya masih ada sedikit ganjalan atau keberatan di dalam hatiku dalam menerima kembali Chu Bwee Hong itu. Soalnya, selama ini orang-orang sudah mengetahui bahwa Chu Bwee Hong adalah isterimu, Lalu...kalau sekarang secara tiba-tiba isterimu itu ikut aku dan menjadi isteriku, apa kata orang-orang itu nanti? Bukankah mereka akan berprasangka jelek kepadaku atau kepada Chu Bwee Hong?" Tiba-tiba Put-ceng-li Lojin tertawa terbahak-bahak.

   "Bangsaaaat! Hahaha...! Kukira kau tadi hendak berbicara tentang apa, ehh...ternyata cuma soal itu! Hahahah...monyet!"

   "Bing-Kauwcu, apa...apa yang kau tertawakan?" Souw Thian Hai bertanya penasaran.

   "Hah...kau ini seorang pendekar besar, tapi sikapmu canggung benar. Mengapa kau masih juga memikirkan pendapat-pendapat yang tak benar seperti itu? Yang penting adalah kenyataannya. Jika apa yang kita lakukan itu memang benar-benar baik dan bersih akhirnya orang-orang itupun akan tahu juga. Mengapa mesti takut dan khawatir terhadap prasangka-prasangka demikian? Biarkan saja kalau ada orang yang berprasangka jelek kepada kalian berdua. Kalian tak perlu menanggapi atau mengacuhkannya. Sebaliknya, kau tunjukkanlah saja kepada mereka dengan sikap dan perbuatan kalian, bahwa kalian berdua bukanlah orang-orang jelek seperti yang mereka sangka."

   "Ahh...Bing-Kauwcu benar." Souw Thian Hai mengangguk-angguk. Lega hatinya sekarang. Kata-kata Put-ceng-li Lojin yang panjang lebar itu sungguh-sungguh telah membuka hatinya, bahwa kekhawatirannya itu benar-benar tak beralasan sama sekali. Yang penting memang kenyataannya. Kalau sekarang memang masih ada juga yang belum mengerti akan keadaan mereka, hal itu tak perlu menjadi penghalang yang akan menggagalkan maksud baiknya. Suatu saat mereka akan mengerti juga akhirnya.

   "Apalagi perang tanding dan penyerahan ini telah disaksikan dari mula sampai akhir oleh beberapa tokoh persilatan ternama. Masakan kau masih takut dengan gunjingan orang? Lihatlah, di lain waktu kau tak mungkin memperoleh saksi-saksi sedemikian lengkapnya!" Put-ceng-li Lojin melanjutkan perkataannya seraya menoleh ke sekelilingnya.

   Tiba-tiba Pek-i Liong-ong berdiri. Kakek ketua Aliran Mo-kauw itu menjura kepada Souw Thian Hai. "Lohu bersedia menjadi saksi..." katanya halus. Lalu sambil menoleh ke arah Put-ceng-li Lojin, kakek itu berdesah.

   "Lojin, tak kusangka hatimu demikian luhur dan mulianya. Lohu sungguh malu ikut-ikutan menyebutmu Put-ceng-li (Tidak Tahu Aturan) selama ini. Ternyata dibalik sikapmu yang aneh, urakan, dan kadang-kadang sangat ugal-ugalan itu, sebenarnya tersembunyi hati yang suci dan luhur. Dan selama bertahun tahun ini, ternyata kami semua telah salah menilai terhadapmu..."

   "Hahaha...Monyet Tua! Apakah yang kau katakan itu?" Put-ceng-li Lojin berteriak-teriak dan memaki-maki malah.

   "Dan...akupun bersedia juga untuk menjadi saksi." Hong-lui-kun dengan air muka berseri-seri, tiba-tiba maju pula ke samping Pek-i Liongong.

   "Saudara Souw, terimalah ucapan selamatku!" katanya mantap.

   "Aku juga, saudara Souw, selamat berbahagia...!" Yap Tai-Ciangkun menyahut pula lalu dengan cepat kakinya melangkah ke samping Pek-i Liong-ong. Kemudian berturut-turut Ho Pek Lian, Kwa Siok Eng, Chin Yang Kun dan...Chu Seng Kun, maju pula ke depan untuk menyatakan kesanggupan mereka menjadi saksi. Malahan Chu Seng Kun, sebagai kakak Chu Bwee Hong, hampir tidak bisa membendung keharuan hatinya. Sambil merangkul pundak Souw Thian Hai yang bidang, tabib muda itu tidak kuasa menahan air matanya.

   "Saudara Thian Hai, hatiku benar-benar lega sekarang. Sudah lama aku menunggu saat-saat seperti ini. Aku sungguh sangat gembira sekali..." katanya tersendat-sendat. Chu Seng Kun lalu melepaskan pelukannya. Dan kemudian dengan senyum bahagia matanya melirik ke arah adiknya, yang masih terisak-isak di dada Put-ceng-li Lojin.

   "Bwee Hong, kemarilah kau...!" panggilnya dengan suara gembira. Tapi Chu Bwee Hong seperti tak mendengar suara panggilan tersebut. Wanita ayu itu masih dicekam oleh keharuan hatinya yang sangat mendalam. Mulutnya masih terisak-isak diatas dada Put-ceng-Ii Lojin, sehingga orang tua itu terpaksa menepuk nepuk pundaknya.

   "Anak baik, diamlah...! Mengapa kau masih menangis juga? Bukankah semuanya telah berlangsung seperti yang kita harapkan? Nah, dengarlah...! Seseorang telah memanggilmu. Agaknya dia adalah kakakmu. Pergilah ke sana! Ayoh!" ketua Aliran Bing-kauw itu berkata dengan suara halus. Untuk sesaat hilang kesan kasar dan ugal-ugalan pada wajah orang tua itu. Wajah itu kini tampak lembut dan welas asih, bagaikan wajah seorang ayah yang sedang membujuk anak kesayangannya. Chu Bwee Hong mengangkat mukanya. Matanya merah dan air matanya mengalir membasahi pipinya.

   "Lojin, kau...kau sungguh baik sekali kepadaku..."

   "Ah, sudahlah...! Ayoh, pergilah cepat ke sana!" Put-ceng-li Lojin berseru sedikit keras untuk mengusir keharuan yang tiba-tiba juga membelit di hatinya. Tapi tak urung sebutir air mata tetap juga menetes di sudut matanya. Chu Bwee Hong melepaskan rangkulannya, kemudian menghapus air matanya, lalu perlahan-lahan mundur dan berlutut di samping Put-ceng-li Lojin yang tergolek di atas pasir itu. Sambil menahan sedu sedannya wanita ayu itu menyatakan rasa terima kasihnya.

   "Lojin, kutitipkan anak haram itu kepadamu. Aku tak berani membawanya. Aku takut menjadi mata gelap dan membunuhnya karena aku masih sangat benci kepada ayahnya..."

   "Hahaha...tentu saja. Anak itu sudah kuanggap sebagai anakku sendiri. Dia akan kudidik dengan baik. Dan aku percaya dia akan menjadi anak yang baik kelak."

   "Terima kasih." Lalu perlahan-lahan Chu Bwee Hong melangkah menuju ke tempat kakaknya. Mukanya tertunduk. Rambutnya kusut. Mata dan pipinya masih tampak kotor dan merah pula. Namun demikian semuanya itu ternyata tidak bisa menyembunyikan kecantikannya yang gilang-gemilang.

   "Koko..." jeritnya lirih seraya menubruk dada kakaknya. Chu Seng Kun memeluk pula dengan mata berkaca-kaca.

   "Bwee Hong...Apa kataku kemarin? Semuanya benar, bukan? kau tak perlu berputus-asa dan terlalu menyalahkan nasib yang selalu merundung dirimu. Itu semua hanyalah cobaan belaka. Wah...bagaimana sekarang? Kebahagiaan telah datang kepadamu, bukan? Dan percayalah, kebahagiaan yang kau reguk ini akan berkali-kali lebih nikmat kau rasakan, sebab kebahagiaanmu ini kau peroleh setelah kau habiskan semua kepahitannya..."

   "Koko..."

   "Ayoh! Sekarang marilah kau temui kekasihmu itu! Sebagai pengganti orang tua, secara resmi aku akan menyerahkan engkau kepadanya. Marilah!" Chu Seng Kun lalu menuntun adiknya ke depan Souw Thian Hai. Kemudian dengan suara terputus-putus tabib muda itu menyerahkan Chu Bwee Hong kepada Souw Thian Hai, yang diterima oleh pendekar sakti itu dengan perasaan terharu pula.

   "Nah, semoga kalian berdua bisa mengambil pelajaran dari pengalaman buruk yang kalian alami selama ini, sehingga kalian bisa lebih berhati-hati di kemudian hari. Adapun tentang hari perkawinan kalian, dapat kita rundingkan lagi di lain hari," tabib muda itu menutup kata-katanya. Setelah menyerahkan adiknya, Chu Seng Kun lalu berbalik menghampiri Put-ceng-li Lojin. Begitu berada di depan orang tua itu, Chu Seng Kun segera berlutut, sampai dahinya menyentuh pasir di bawahnya.

   "Bing-Kauwcu...Siauwte adalah Chu Seng Kun, kakak dari Chu Bwee Hong. siauwte mengucapkan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Kauwcu, karena Kauwcu telah sudi menyelamatkan dan menolong adikku. Kami berdua benar-benar berhutang budi dan nyawa kepada Kauwcu..."

   "Hahahaha...anak muda, aku sudah sering mendengar cerita tentang dirimu dari Chu Bwee Hong. Katanya, kau adalah seorang tabib muda yang tiada duanya di dunia ini. Dan aku percaya saja selama ini. Tapi...setelah aku kini melihatmu, hmm...aku malah menjadi ragu-ragu sekarang. Masakan dalam usiamu yang masih sangat muda ini, kau sudah benar-benar dapat menghisap seluruh ilmu pengobatan mendiang Bu-eng Sin yok-ong itu?" Put-ceng-li Lojin tidak menanggapi kata kata Chu Seng Kun, tetapi ketua Aliran Bing-kauw itu justru berbicara tentang ilmu pengobatan Chu Seng Kun malah. Chu Seng Kun tersenyum.

   "Ah, Bing-Kauwcu...kau memang benar. Adikku itulah yang terlalu membesar-besarkan kemampuanku. Maklumlah, siauwte ini adalah kakaknya, sekaligus satu-satunya keluarga yang masih dipunyainya." tabib muda itu merendahkan diri.

   "Tapi...meskipun demikian aku juga ingin membuktikannya..." ketua Aliran Bing-kauw itu tetap melanjutkan perkataannya, seolah-olah tak mendengar bantahan atau sanggahan Chu Seng Kun tadi.

   "Maksud Bing-Kauwcu?"

   "Coba, kau tolong mengobati luka-lukaku ini. Kalau engkau bisa menyembuhkannya, aku baru percaya pada kehebatanmu. Bagaimana? Bersediakah kau?" Senyum kelihatan mengembang di bibir Chu Seng Kun.

   "Ahh, tentu saja siauwte bersedia, Bing-Kauwcu. Cuma siauwte minta, Bing-Kauwcu jangan terlalu mengharapkan, bahwa siauwte mesti bisa menyembuhkannya. siauwte ini hanya manusia biasa dan bukan malaikat yang bisa menghidupkan orang. siauwte ini hanya beruntung bisa memperoleh kesempatan mempelajari ilmu peninggalan kakek guruku..."

   "Wah...kau sungguh pandai sekali merendahkan dirimu. Ayoh, lekaslah! Aku buru-buru ingin menyaksikan caramu mengobati lukaku yang parah ini. Nah!" Put-ceng-li Lojin yang tidak sabaran itu cepat mendesak.

   "Baiklah..." Chu Seng Kun menjawab, lalu bergegas maju selangkah. Put-swi-kui, Put-ming-mo dan Put-sia Niocu mundur untuk memberi tempat kepada Chu Seng Kun. Sebaliknya tabib muda itu juga balas mengangguk kepada mereka, sebelum mulai dengan pengobatannya.

   Lebih dahulu Chu Seng Kun memeriksa urat nadi dan denyut jantung Put-ceng-li Lojin, setelah itu baru jalan pernapasannya. Kemudian setelah merasa yakin apa yang harus dilakukannya, maka Chu Seng Kun lalu menotok dan mengurut beberapa buah jalan darah di sana sini. Sebentar saja peluh mulai menetes di atas dahi Chu Seng Kun yang lebar. Perlahan-lahan wajah ketua Aliran Bing-kauw itu menjadi kemerah-merahan kembali. Jalan pernapasannyapun secara berangsur-angsur juga semakin teratur pula. Dan kemudian keadaan yang sangat menggembirakan itu semakin bertambah baik lagi tatkala Chu Seng Kun sudah mulai pula mempergunakan jarum-jarum ajaibnya. Semuanya memandang kagum kepada Chu Seng Kun. Di dalam hati mereka sekarang benar-benar sudah mengakui, betapa tingginya ilmu kepandaian pemuda itu di dalam ilmu pengobatan.

   "Nah! Sekarang Bing-Kauwcu sudah sembuh dan baik kembali. Untuk selanjutnya Bing-Kauwcu tinggal beristirahat saja sebanyak-banyaknya, agar tenaga Bing-Kauwcu lekas pulih kembali seperti sedia-kala. Marilah! Bing-Kauwcu sudah bisa bangkit lagi sekarang..." Chu Seng Kun berkata seraya mengusap peluh yang mengalir di atas dahi dan lehernya.

   
Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Hei? Aku sudah bisa berdiri? Masa begitu cepatnya?" Put-ceng-li Lojin berseru tak percaya. Lebih dulu orang tua itu menggerak-gerakan lengan dan kakinya. Setelah semuanya benar-benar bisa ia gerakkan dengan baik dan tidak terasa kaku atau sakit lagi, orang tua itu kemudian mencoba duduk, lalu bangkit berdiri perlahan-lahan. Dan ketika dengan mudahnya ia dapat berdiri, ketua Aliran Bing-kauw itu justeru berteriak-teriak dan mengumpat-umpat saking kagumnya.

   "Bangsaaat! Keparaaat! Wah! Wah! Monyet busuk! kau betul-betul hebat sekali! Huahahahaha...heran dan takjub benar aku! Bangsaaat...!" Orang tua itu lalu melompat-lompat saking senangnya, lalu menghampiri Chu Seng Kun dan menyalaminya dengan hangat.

   "Hahaha...aku sekarang benar-benar percaya kepadamu, anak muda! kau sungguh-sungguh hebat, lebih hebat dari tabib manapun di dunia ini!" Tapi Chu Seng Kun cepat memegang lengan Put-ceng-li Lojin dan menahannya agar tidak bergerak lagi.

   "Eh, perlahan Bing-Kauwcu. kau jangan terlalu banyak bergerak dahulu! Nanti luka dalammu terbuka lagi," cegah Chu Seng Kun. Demikianlah, semua yang melihat adegan itu tersenyum gembira, sehingga suasana yang semula sangat tegang menggelisahkan itu, kini berubah menjadi semarak menggembirakan. Semua orang tersenyum dan menghela napas lega.

   "Hei! Lihat! Malam telah semakin larut. Dan embun pagi pun telah mulai menetes membasahi pakaian kita. Mengapa kita masih saja bercakap-cakap enak-enakan di sini?" tiba-tiba terdengar seruan Pek-i Liong-ong, memecahkan keheningan di antara mereka.

   "Ah, benar juga. Monyet! Kalau begitu, marilah kita kembali ke dusun itu, untuk menemukan kegembiraan ini! Setuju tidak, Liong-ong?" Put-ceng-li Lojin berseru pula ke arah ketua Aliran Mo-kauw itu.

   "Setuju...!" hampir semuanya menjawab, kecuali Souw Thian Hai, Chu Bwee Hong dan Souw Lian Cu. Ketiga orang itu kelihatan berunding satu sama lain. Dan beberapa saat kemudian tampak Souw Thian Hai melangkah maju mewakili yang lain.

   "Maaf, cuwi semua...! Kami bertiga terpaksa tidak bisa pergi bersama cuwi ke dusun itu. Salah seorang di antara kami, yaitu puteriku, ternyata masih punya urusan penting yang harus diselesaikan. Dia harus berada di Pulau Meng-to besok pagi, untuk membantu Keh-sim Siauwhiap dalam penyambutan tamu-tamunya yang telah mulai berdatangan ke pulaunya."

   "Hah...benar juga. Tiga hari lagi adalah tanggal lima, saat Keh-sim Siauwhiap biasa mengundang lawan-lawannya di dunia kang-ouw," Put-ceng-li Lojin berseru kaget.

   "Oh? Lalu...?" Chu Seng Kun buru-buru bertanya kepada Souw Thian Hai.

   "Begini, Chu-Twako. Karena salah seorang dari kami harus pergi, maka aku dan Bwee Hong memutuskan untuk pergi pula kesana menyertainya..." Souw Thian Hai menjawab.

   "Ahhh...!" semuanya berdesah kecewa. Sebenarnya semuanya ingin menahan ketiga orang itu. Namun merekapun maklum, bahwa sepasang kekasih yang baru saja bertemu itu lebih senang berduaan saja dari pada bersama-sama dengan mereka. Oleh karena itu semuanya juga lantas membiarkan saja ketiga orang itu pergi. Chu Bwee Hong lalu berpeluk-pelukan dengan Ho Pek Lian, Kwa Siok Eng dan Put-sia Niocu. Malah dengan murid bekas suaminya ini Chu Bwee Hong sempat pula bertangis-tangisan. Keduanya telah terlanjur akrab selama ini. Terpaksa Put-cengli Lojin turun tangan memisahkannya.

   "Ah...mengapa harus saling bersedih? Besok kita akan berjumpa pula," ketua Aliran Bing-kauw itu menenangkan hati mereka.

   "Maksud suhu?" Put-sia Niocu bertanya sambil menghapus air matanya.

   "Akupun besok akan pergi juga ke sana. Aku ingin menyaksikan bagaimana wajah pendekar yang sangat terkenal itu."

   "Benarkah? Oh, suhu...aku ikut." Put-sia Niocu berjingkrak kegirangan, lupa kalau ia baru saja menangis. Ho Pek Lian menarik lengan Kwa Siok Eng.

   "Kami berdua juga akan pergi ke sana pula besok pagi. Bukankah begitu, Cici Siok Eng?" Ho Pek Lian berkata.

   "Ya! Kami juga akan pergi ke pulau itu. Kami berdua telah berhutang nyawa kepada pendekar ternama itu. Kami akan menyatakan rasa terima kasih kami kepadanya. Sekalian membantu apabila tenaga kami diperlukan nanti," Siok Eng memberi keterangan.

   "Ahh!" Chu Seng Kun yang masih merasa berat untuk berpisah dengan adiknya itu tiba-tiba berdesah lega. Sementara itu Chin Yang Kun yang sedari tadi hanya diam saja di pinggir, tampak tersentak kaget mendengar ucapan ucapan mereka. Pemuda itu seperti diingatkan kembali pada janjinya, untuk pergi ke Pulau Meng-to pada tanggal lima ini. Oleh karena itu secara otomatis pemuda itu melirik ke arah Souw Lian Cu, gadis yang dahulu telah melemparkan undangan atau tantangan kepadanya. Ternyata pada saat yang bersamaan, Souw Lian Cu juga sedang memandang ke arah Chin Yang Kun pula, sehingga tak bisa dielakkan lagi kedua pasang mata mereka saling bertaut atau berpapasan satu sama lain. Dan sekilas seperti ada sinar kegembiraan di dalam pandangan itu tapi entah apa sebabnya, tiba-tiba masing-masing segera membuang muka dengan wajah merah padam.

   Tapi sekejap kemudian Chin Yang Kun segera berpaling kembali. Pemuda itu kelihatan penasaran melihat sikap Souw Lian Cu tadi. Matanya menatap kembali ke arah Souw Lian Cu dengan tajamnya. Gadis itu masih memalingkan mukanya, sehingga Chin Yang Kun hanya bisa memandangnya dari arah samping. Tetapi dengan demikian pemuda itu justru dapat melihat jelas garis-garis kecantikannya.Raut muka yang oleh pemuda itu dianggap sangat serasi serta sempurna ukurannya. Chin Yang Kun malahan terpaku seperti orang yang kehilangan akal melihatnya. Hati yang semula penasaran itu mendadak larut hilang tak berbekas. Kini sorot matanya justru menampilkan sinar kekaguman yang tiada taranya. Gadis itu memang cantik bukan main.

   "Ahhhh...!" Chin Yang Kun berdesah sambil menundukkan kepalanya. Pemuda itu merasa sedih dengan tiba-tiba. Entah mengapa, kebencian gadis itu kepada dirinya, membuat pemuda itu merasa sedih dan kecewa. Dunia ini rasanya menjadi sepi dan membosankan.

   "Saudara Yang...!" tiba-tiba terdengar sebuah suara di depannya. Chin Yang Kun tersentak kaget. Dengan gugup pemuda itu menengadahkan kepalanya. Dan detak jantung pemuda itu semakin keras menghentak dinding dadanya, ketika dilihatnya gadis yang sedang memenuhi benaknya tersebut telah berdiri tegak di depannya. Gadis itu tampak digandeng oleh ayahnya.

   "Ah-uh...ah-uh..." Chin Yang Kun berusaha menjawab panggilan pendekar Souw Thian Hai itu, tapi yang keluar dari mulutnya hanyalah suara ah-uh ah-uh yang tak jelas. Tentu saja Souw Thian Hai merasa heran, apalagi ketika melihat wajah Chin Yang Kun itu sangat pucat. Tapi keheranan pendekar itu ternyata belum seberapa bila dibandingkan dengan kenyataan lain yang dilihatnya. Ternyata tidak hanya Chin Yang Kun yang keadaannya seperti itu. Ternyata puterinya sendiri, Souw Lian Cu. juga bersikap demikian pula. Gadis itu juga tampak gelisah dan tegang di hadapan Chin Yang Kun.

   "Hmmh...ada apa dengan kedua anak ini? Apakah mereka bermusuhan? Ataukah ada 'apa-apa' di antara mereka?" pendekar sakti itu berkata di dalam hatinya. Tetapi Souw Thian Hai tak mau atau tidak tega untuk menanyakan kepada mereka. Pendekar sakti itu takut pertanyaannya nanti akan menyinggung perasaan mereka, meskipun salah seorang diantaranya adalah puterinya sendiri. Oleh karena itu Souw Thian Hai justru pura-pura tidak tahu malah!

   "Lian Cu, lihatlah...! Inilah saudara Yang yang telah berjasa kepada kita itu. Karena dia kita bisa berkumpul kembali..." pendekar itu berkata kepada puterinya.

   "A-ayah..." Souw Lian Cu memotong perkataan ayahnya. Souw Thian Hai mengerutkan keningnya.

   "Kenapa? Bukankah kalian sudah saling mengenal? Ayoh, ucapkanlah terima kasih kepadanya...!"

   "Tapi..." gadis itu mau membantah, tapi tak jadi. Kemudian dengan mengeraskan hatinya gadis itu tampak melangkah ke depan. Dengan pandang mata tajam serta gigi terkatup rapat, gadis itu membungkukkan tubuhnya di depan Chin Yang Kun.

   "Terima kasih," ucapnya singkat, lalu kembali lagi ke tempat semula.

   "Lian Cu!" Souw Thian Hai menegur puterinya. Kemudian, "Saudara Yang, maafkanlah puteriku. Dia..."

   "Ah...tidak apa-apa, Souw-Taihiap. Dari mula siauwte memang tidak ada niat untuk membantu ataupun membuat jasa di dalam pertemuan ini. Maka ucapan terima kasih Souw-Taihiap dan puterimu tadi, sebenarnya sudah terlalu berlebihan buatku..." Chin Yang Kun menjawab tawar. Entah mengapa perasaan Chin Yang Kun tiba-tiba menjadi hampa dan getir. Sikap yang diperlihatkan oleh Souw Lian Cu setiap kali bertemu dengan dirinya itu kini seolah olah telah membukakan mata dan hatinya bahwa gadis itu memang sungguh-sungguh membencinya. Dan kenyataan itu benar benar membuat hati pemuda itu hampa luar biasa. Chin Yang Kun mendongakkan kepalanya. Dipandangnya bintang-bintang yang gemerlapan di atas langit yang biru gelap. Lalu dipandangnya pula laut luas yang tak bertepi itu.Semuanya tampak sunyi-sepi.

   "Ahhh..." pemuda itu menghela napas, lalu membalikkan tubuhnya, kemudian meninggalkan tempat itu perlahan-lahan, mendahului yang lain-lain. Tentu saja semua orang menjadi heran, lebih-lebih Souw Thian Hai. Pendekar sakti itu seperti merasakan sesuatu yang aneh antara puterinya dan pemuda perkasa itu. Tapi oleh karena sebentar kemudian puterinya juga mulai melangkah pergi meninggalkan tempat tersebut, maka iapun segera mengajak Chu Bwee Hong untuk mengikuti puterinya itu pula. Dan semua orangpun segera beranjak pula dari tempatnya.

   "Hmm...ada apa dengan anak itu?" Pek-i Liong-ong seolah-olah bergumam kepada dirinya sendiri. Hong-lui-kun Yap Kiong Lee dan Yap Tai-Ciangkun, yang berada di dekat orang tua itu menoleh, tapi tak mengeluarkan perkataan sepatahpun. Mereka hanya mengernyitkan alisnya, tanda bahwa mereka berdua juga merasa heran serta tak mengerti pula. Cuma Chu Seng Kun saja yang agaknya bisa "membaca" atau menangkap keganjilan tersebut. Hubungan yang sudah sedikit akrab dengan Chin Yang Kun, membuat tabib muda itu sedikit banyak mengetahui masalah-masalah yang pernah dihadapi pemuda itu, sehingga sedikit banyak dia juga bisa menduga apa yang sebenarnya berkecamuk di dalam dada pemuda perkasa itu. Oleh karena itu secara diam-diam Chu Seng Kun menyelinap ke dalam kegelapan untuk mencari atau menemui pemuda itu.

   "Saudara Yang..." panggilnya ketika ia dapat menemukan pemuda itu di antara reruntuhan batu-batu karang.

   "Hah???" Chin Yang Kun yang baru saja meletakkan pantatnya itu tersentak kaget dan berdiri kembali. Tapi begitu mengetahui siapa yang datang, pemuda itu segera tersenyum. Meskipun senyumnya kelihatan hampa dan getir.

   "Ah...Chu-Twako benar-benar mengagetkan aku. Kukira siapa tadi?" pemuda itu membuka mulutnya.

   "Hmm...apakah kau kira aku nona Souw Lian Cu?" Chu Seng Kun dengan berani mencoba "memancing" reaksi atau tanggapan Chin Yang Kun. Benar juga. Tiba-tiba muka Chin Yang Kun yang pucat itu tampak merah padam. Matanya tampak berkilat-kilat menatap Chu Seng Kun.

   "A-apa...maksud Chu-Twako?" Tanya pemuda itu dengan suara gemetar. Dan Chu Seng Kun pura-pura terkejut pula.

   "Apa? Aku...? Eh, aku tak bermaksud apa-apa. Memang ada apa sebenarnya?" tabib muda itu balik bertanya dengan kening dikerutkan, seolah-olah dia memang benar-benar tak tahu masalahnya.

   "Ooh!" Chin Yang Kun berdesah dan mengendorkan ketegangannya.

   "Hmm...aku tahu sekarang." Chu Seng Kun yang sedang bersandiwara itu tersenyum seraya mendekati Chin Yang Kun, kemudian memegang lengannya. "Tampaknya ada sesuatu yang tidak enak antara saudara Yang dengan nona Souw itu, sehingga kalian berdua seperti orang yang sedang bermusuhan. Benarkah...?" Chin Yang Kun tersentak. Matanya menatap Chu Seng Kun untuk beberapa saat lamanya. Tapi sebentar kemudian pemuda itupun lalu menundukkan kepalanya lagi dengan wajah bersemu merah.

   "Chu-Twako tidak salah," jawab pemuda itu kemudian.

   "Gadis itu sangat membenci aku. Cuma apa yang menyebabkannya sehingga dia sangat membenci aku itu, aku sama sekali tidak tahu..."

   "Hah? Aneh benar! Masakan kau tidak tahu sebab sebabnya?" Chu Seng Kun benar-benar kaget sekarang. Chin Yang Kun menghela napas, lalu katanya seperti kepada dirinya sendiri.

   "Mula-mula aku dan dia secara kebetulan hanya berdiri berseberangan dalam perselisihan kaum Tiat-tung Kai-pang melawan Kim-liong Piauw-kiok. Kemudian pada pertemuan kami yang kedua, yaitu di Kuil Delapan Dewa, kami tidur bersebelahan kamar. Dan karena keteledoranku, pada suatu malam aku telah salah memasuki kamarnya. Gadis itu menjadi marah bukan main. Mungkin...mungkin inilah yang menyebabkan kemarahannya..."

   "Hmmm..." Chu Seng Kun mengangguk-angguk. Lalu,

   "Mungkin juga. Tapi mungkin juga bukan. Hati wanita memang sukar diduga. Sikap yang diperlihatkan itu kadang-kadang bukanlah cermin dari hati dan perasaannya. Tidak jarang sikap dan perbuatannya justru malah bertolak belakang dengan yang ada di dalam hati dan perasaannya..."

   "Heh? Maksud Chu-Twako...?" Chu Seng Kun tersenyum.

   "Ah...ini hanya pikiran atau dugaanku saja. Dan semuanya itu belum tentu benar. Hmm...kadang-kadang wanita itu berpura-pura benci, padahal sebenarnya hatinya kagum dan senang sekali kepada seorang lelaki!" Chin Yang Kun tersentak. Matanya menatap tabib muda itu dengan tajamnya. Tetapi sekejap kemudian mukanya tertunduk kembali dengan tiba-tiba. Wajahnya yang tampan itu perlahan-lahan menjadi merah. Entah mengapa, kata-kata Chu Seng Kun tadi amat mengena, sehingga hatinya menjadi gembira dan sedikit terhibur. Siapa tahu perkataan tabib muda tersebut benar adanya?

   

Harta Karun Kerajaan Sung Eps 4 Darah Pendekar Eps 39 Darah Pendekar Eps 41

Cari Blog Ini