Pendekar Penyebar Maut 31
Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Bagian 31
"Tentu saja, seekor singa tak mungkin beranakkan kambing! Souw Thian Hai demikian saktinya, masakan anaknya tidak bisa apa-apa?" Chu Seng Kun berhenti berlari pula dan berdiri di depan Pek-i Liong-ong.
"Kau benar, Seng kun..." Sebentar kemudian Souw Lian Cu telah datang, napasnya terengah-engah. "Wah, kalian ini sungguh kejam! Masakan aku ditinggalkan begitu saja..." gadis itu menggerutu dengan bibir cemberut. Pek-i Liong-ong datang menghampiri Souw Lian Cu dan menepuk-nepuk pundak gadis itu.
"Sudahlah, kau jangan marah! Bukankah kita sedang mengejar waktu tadi? Sekarang kita dapat berjalan bersama-sama lagi" Lihat, kita telah sampai di Pantai Karang!" Orang tua itu menunjuk ke bawah lereng, di mana air laut menjilat pantai.
"Oh? Tapi" tapi dimanakah adanya batu-batu karang yang berbentuk aneh itu?" tiba-tiba Souw Lian Cu berseru perlahan.
"Hah? Hei, Lian Cu...kau benar! Di manakah batu-batu itu?" Pek-i Liong-ong tersentak kaget pula seperti orang yang baru dibangunkan dari tidurnya.
"Oh, iya! Kemana larinya batu-batu itu? Dan...Eh, kenapa pula angin laut ini bertiup demikian kuatnya?" Chu Seng Kun ikut berseru heran juga. Seperti diketahui bahwa pantai tempat penyeberangan ke Pulau Meng-to itu disebut orang dengan nama Pantai Karang, karena di pantai itu berserakan batu-batu karang besar yang mempunyai bentuk aneh-aneh.
Ada yang seperti seekor naga sedang mengangakan mulutnya, ada yang menyerupai manusia sedang berkelahi, dan ada juga yang mirip seekor binatang ki-lin, yaitu seekor binatang yang sangat disenangi dan dipuja oleh sebagian penduduk negeri itu. Tapi sekarang batu-batu tersebut tidak ada di sana, semuanya hilang lenyap tak berbekas. Kini yang terlihat justeru gelombang air yang bergulung-gulung menggelora menghajar pantai. Buih air yang berwarna putih tampak pula memenuhi pinggiran pantai yang menjorok ke tengah laut itu. Sementara hembusan angin laut yang amat kuat tampak menerbangkan butiran-butiran air yang memercik ketika gulungan ombak menghempas tebing karang!
"Seng Kun, kau lihatlah! Agaknya sekarang memang sedang terjadi air pasang di sini"!" Pek-i Liong ong berkata sedikit lebih keras, karena tiupan angin mulai bergemuruh menulikan telinga mereka.
"Hmm, kelihatannya malah akan terjadi badai laut di sini." Chu Seng Kun berseru pula sambil mengusap mukanya yang mulai basah pula oleh hembusan angin yang mengandung air. Pek-i Liong-ong menengadahkan kepalanya dan menatap awan hitam yang bergumpal-gumpal menutupi bintang. Kemudian sambil menghela napas dalam-dalam orang tua itu mengawasi pantai yang sunyi sepi itu.
"Dugaanmu agaknya memang benar. Sebentar lagi mungkin akan terjadi badai laut yang dahsyat. Hmmm, lalu...bagaimana dengan pertemuan itu, ya...?" Pek-i Liongong berkata.
"Entahlah! Tempat ini kelihatannya sepi benar..." Chu Seng Kun menoleh kesana kemari.
"Yaa" kelihatannya memang sepi, tapi keadaan yang sebenarnya kukira tidak demikian halnya. Aku berani bertaruh di sini tentu telah banyak orang yang bersembunyi dan menantikan saat keluarnya atau saat diketemukannya harta karun itu. Aku yakin diantara semak-semak dan batu-batu karang itu tentu ada orangnya." Pek-i Liong-ong bergumam pula sambil menebarkan pandangannya, ke lereng tebing yang berada di bawah mereka. Chu Seng Kun menatap ketua Aliran Mo-kauw itu sebentar kemudian mengangguk-angguk. Dalam hatinya pemuda itu membenarkan kata-kata orang tua tersebut.
"Lalu...apa yang mesti kita perbuat, Lo-Cianpwe?" tanyanya perlahan, sehingga hampir saja suaranya hilang tersapu angin laut yang bertiup amat kencang itu.
"Ya...tentu saja kita harus menunggu keluarnya orang yang akan kita cari itu." orang tua itu menjawab. "Marilah kita mencari tempat persembunyian yang enak!"
"Mari. Eh, nona Souw...marilah kita beristirahat dahulu!" Chu Seng Kun mengajak Souw Lian Cu yang sedari tadi cuma diam saja tak berkata-kata. Gadis itu kelihatan terkejut.
"Apa? Oh, anu...ya,...ya...marilah!" katanya tergagap, sehingga Chu Seng Kun yang melihatnya menjadi tersenyum.
"Ah, engkau melamun...nona," pemuda itu berkata sambil melangkah mengikuti ketua Mo-kauw.
"Oh! Tidak...tidak!" gadis itu tersipu-sipu malu. Pek-i Liong-ong berjalan ke samping kiri di mana terdapat banyak batu-batu karang besar yang berserakan diantara semak-semak perdu yang lebat. Ternyata orang tua itu tidak menuruni lereng tebing yang luas itu.
"Kita tak usah turun mendekati pantai. Biarlah kita di atas sini saja. Dengan berada di atas kita bisa melihat dengan bebas ke lereng dan ke pantai. Setiap orang yang muncul di tempat itu akan segera kita ketahui."
Akhirnya ketiga orang itu memilih duduk berdesakan di celah sebuah batu karang besar yang berlobang besar di tengah-tengahnya. Pek-i Liong-ong duduk bersila di tengah, sementara Chu Seng Kun dan Souw Lian Cu duduk di kanan kirinya. Mereka duduk diam tanpa mengeluarkan ucapan sepatah katapun, mereka menatap lereng tebing di depan mereka dengan sikap tegang. Rasanya waktu berjalan dengan lambat sekali. Rasanya kaki Souw Lian Cu sudah mulai kesemutan, tapi suasana di tempat itu masih tetap sepi dan sunyi. Mereka tak melihat sesosok bayangan pun yang muncul atau melintasi lereng di depan mereka. Sejak tadi mereka cuma melihat bayang bayang hitam dari semak-semak kecil atau batu-batu karang yang bertebaran di lereng nun luas itu.
"Jam berapa sekarang...?" Pek-i Liong-ong yang sudah mulai tidak sabar itu menoleh kepada Chu Seng Kun.
"Sudah lewat tengah malam,..."
"Heran! Apakah orang-orang itu tidak jadi kemari? Kakiku rasanya sudah kesemutan..." orang tua itu mengeluh sambil melirik Souw Lian Cu.
"Bagaimana, nona...?" Souw Lian Cu seperti tak mendengar pertanyaan itu. Gadis itu sudah mulai melamun lagi. Wajahnya yang ayu itu tampak menatap dengan tegang dan gelisah ke tengah-tengah lautan. Hati dan pikirannya telah dipenuhi lagi dengan bayangan Kehsim Siauwhiap, seorang lelaki pemurung yang mengasingkan diri di Meng-to karena cintanya yang gagal.
"Nona Souw..." Chu Seng Kun memanggil pula dengan suara perlahan. Souw Lian Cu tetap tak bereaksi sedikitpun. Wajah itu malah tampak semakin sendu sehingga Pek-i Liong-ong dan Chu Seng Kun saling memandang dengan heran. Apalagi ketika wajah yang semula sendu itu tiba-tiba berubah menjadi berseri-seri gembira. Mata yang bening indah itu menatap dengan suka-cita ke tengah-tengah lautan, seolah-olah gadis itu menemukan kekasihnya di sana.
"Dia...dia datang...! Oh, dia benar-benar datang..." gadis itu mendadak berbisik dengan gembira. Pek-i Liong-ong menoleh kepada Chu Seng Kun dengan kening berkerut, begitu pula dengan pemuda itu! Chu Seng Kun menatap ketua Aliran Mo-kauw tersebut dengan wajah tak mengerti! Tapi keduanya secara otomatis lalu menoleh ke atas ke tengah laut, mengikuti arah pandangan Souw Lian Cu. Dan...tiba-tiba mata mereka menjadi terbelalak!
"Hah?!? Lo-Cianpwe" lihat! Ada orang datang dengan meluncur di atas ombak...!" Chu Seng Kun berseru perlahan, jarinya menunjuk ke tengah laut, ke arah bayangan hitam yang meluncur di atas permukaan air. Pek-i Liong-ong mengangguk-angguk. Orang tua itu juga melihat sesosok bayangan hitam yang berjalan cepat di atas permukaan air yang bergelombang besar. Bayangan yang tidak begitu jelas dalam keremangan malam itu tampak timbul tenggelam dipermainkan ombak. Mantel lebar yang membelit pundaknya berkibar ke belakang ditiup angin, sehingga sepintas lalu seperti sebuah perahu yang sedang memasang layer.
"Hek-eng-cu"!" ketua Aliran Mo-kauw itu berbisik.
"Keh-sim Siauwhiap...!" Souw Lian Cu berbisik pula di dalam hatinya. Ternyata jalan pikiran mereka berbeda. Souw Lian Cu yang sedang terbelenggu oleh bayangan pendekar Pulau Meng-to itu menganggap bayangan yang meluncur di atas permukaan air laut tersebut adalah Keh-sim Siauwhiap. Sedangkan Pek-i Liong ong dan Chu Seng Kun yang sejak semula memang ingin menemui Hek-eng-cu di situ, segera mengira bahwa bayangan tersebut tentulah orang yang mereka cari-cari itu. Bayangan itu meluncur datang semakin dekat, sehingga caranya meluncur di atas permukaan air itu terlihat dengan jelas.
Di bawah sepasang sepatunya tampak terikat sepotong bambu sepanjang satu setengah atau dua meter. Sekali sekali potongan bambu itu tampak mencuat di atas permukaan air. Orang itu memakai pakaian hitam-hitam dan mantel berwarna hitam pula. Kepalanya tertutup sebuah topi lebar terbuat dari bambu hitam yang halus anyamannya. Dan dari jauh wajahnya tidak begitu jelas terlihat, apalagi dari pinggiran topinya terjuntai lembaran sutera tipis yang menutupi seluruh wajah orang itu. Bayangan hitam yang tidak lain memang Hek-eng-cu itu mulai memasuki perairan Pantai Karang. Dan sebelum tubuhnya yang ringan bagai kapas itu meloncat ke daratan, dari dalam mulutnya terdengar suara siulan nyaring yang melengking mengatasi gemuruhnya ombak dan angin yang berkecamuk di tempat itu.
"Suuuiiiiiitt...!" Tiba-tiba suasana lereng tebing yang semula amat sepi dan sunyi itu kini seperti berubah menjadi hidup. Siulan-siulan kecil terdengar bersahut sahutan di antara semak-semak belukar yang tumbuh pada lereng yang landai itu meskipun suara itu terdengar amat perlahan sekali. Sementara suara-suara binatang-binatang kecil, seperti cengkerik, belalang dan serangga-serangga malam lainnya, mendadak juga terdengar bersahut-sahutan pula.
"Dengarlah, suara-suara itu sangat mencurigakan sekali, bukan? Lohu berani bertaruh suara-suara itu bukanlah suara-suara binatang yang sesungguhnya..." Pek-i Liong-ong berbisik kepada Chu Seng Kun.
"Maksud Lo-Cianpwe...?"
"ini adalah suara-suara orang yang sejak tadi telah menunggu di tempat ini. Mereka memberi isyarat kepada teman-temannya..."
Hek-eng-cu meloncat tinggi ke atas untuk melepaskan diri dari permukaan air yang mulai mengusap bibir pantai. Orang itu lalu berjumpalitan di udara untuk mematahkan daya lontar dari arus ombak, sekalian melepaskan potongan bambu yang terikat di bawah sepatunya. Kemudian dengan ringan sekali tubuhnya mendarat di atas sebongkah batu karang yang tersembul dari dalam tanah. Gerakan-gerakannya ketika meloncat, kemudian berjumpalitan sambil melepas potongan bambu, lalu mendaratkan kaki di batu karang, benar-benar sangat cepat, tangkas dan lincah! Begitu hebatnya ilmu meringankan tubuh orang itu sehingga jago-jago ginkang seperti Pek-i Liong-ong dan Chu Seng kun itupun masih tetap ternganga kagum melihatnya.
"Bu-eng Hwe-teng...ilmu warisan mendiang Si Raja Kelelawar!" Pek-i Liong-ong menghela napas.
"Ya! Sungguh mengherankan sekali, dari mana orang itu memperoleh ilmu sakti tersebut? Mungkinkah orang itu memang keturunan dari mendiang Bit-bo-ong?" Chu Seng Kun termangu-mangu pula. Sebenarnya, melihat musuhnya telah muncul, rasanya Chu Seng Kun sudah tidak dapat menahan lagi kemarahannya. Tetapi oleh karena pemuda itu tahu bahwa Hek-eng-cu sebentar lagi akan dikelilingi oleh para pembantunya, maka kemarahannya itu terpaksa dipadamnya untuk sementara. Apalagi pemuda itu menyadari bahwa kepandaiannya masih belum bisa disejajarkan dengan lawannya itu. Kali ini ia hanya dapat mengandalkan pada bantuan Pek-i Liong-ong, yang sebenarnya masih terhitung susiok-couwnya sendiri.
"Bagaimanakah Lo-Cianpwe...? Apakah kita akan menemui orang itu sekarang?" Chu Seng Kun menatap ke arah Pek-i Liong-ong.
"Marilah...!" orang tua itu mengangguk. Tapi sebelum mereka beranjak dari tempat persembunyian itu, tiba-tiba dari arah selatan berkelebat sesosok bayangan yang berlari menuju ke tempat di mana Hek-eng-cu berada.
"Eit, sebentar...! Ada orang datang..." Pek-i Liong-ong menahan lengan Chu Seng Kun.
"Ah, bukankah dia pembantu Hek-eng-cu yang tadi kasak kusuk dengan Liok Cwan?" Chu Seng Kun berbisik dengan dahi berkerut. Bayangan bertubuh tinggi besar dan berbulu lebat itu memang tidak lain adalah Wan lt, tangan kanan Hek-eng-cu yang terpercaya. Orang yang berkepandaian sangat tinggi itu melesat datang di bawah batu karang tempat di mana Hek-eng-cu berpijak, dan memberi hormat kepada orang berkerudung hitam tersebut dengan tergesa-gesa.
"Ongya..."
"Wan-heng, kenapa yang lain belum tiba? Apakah...?"
"Entahlah, hamba tidak tahu...Tapi kedatangan hamba kemari justru membawa..."
"Hah? Apa? Lekas katakan!" Hek-eng-cu memotong perkataan Wan It, ketika orang yang menjadi pembantu utamanya itu tampak gugup dan tergesa-gesa.
"Maaf, Ongya..., Hamba membawa berita yang mungkin akan mengejutkan hati Ongya nanti. Anu...pertemuan kita ini ternyata telah tercium oleh Kaisar Han!" orang yang bernama Wan It itu memberi laporan.
"Apa...? Kaisar Han telah mengetahuinya?" Hek-eng-cu tersentak.
"Benar, Ongya..., Baginda malah sudah mengutus Yap Tai-Ciangkun dan belasan anggota pasukan Sha-cap mi-wi kemari. Mungkin sekarang mereka sudah berada di sekitar tempat ini pula..." Wan It mengangguk, lalu menebarkan pandangannya ke segala penjuru.
"Lalu...?" Hek-eng-cu ikut pula mengedarkan pandangannya ke sekitarnya.
"Lebih baik kita menunda saja pertemuan kita hari ini. Kita harus cepat-cepat meloloskan diri dari sini, siapa tahu Yap Tai-Ciangkun mengerahkan pula pasukannya? Tadi Liok Ciang kun datang menemui hamba dan memberi tahu kepada hamba tentang keadaan di Kotaraja. Katanya Kaisar Han telah mencium pula maksud kita untuk memberontak..."
"Hah! Kurang ajar...! Siapa yang berani membocorkan rahasia kita?" Hek-eng-cu menggeram, sambil menghentakkan kakinya, sehingga batu karang besar yang diinjakkan itu bergetar seperti mau roboh.
"Kalau begitu mari kita pergi! Kita kesampingkan dulu harta karun ini. Sekarang yang lebih penting adalah urusan kita sendiri..."
"Bagaimana dengan kawan-kawan kita yang lain?" Wan It bertanya.
"Nanti kita urus belakangan pula! Marilah...!" Hek-eng-cu meloncat turun dari atas batu besar tersebut dan mengambil potongan bambu yang tadi dilepaskannya. Tapi tiba-tiba dari balik semak-semak yang berada di depan mereka muncul tiga sosok bayangan mencegat langkah mereka. Seorang wanita yang cantik luar biasa dan dua orang lelaki bertubuh sedang!
"Berhenti!" wanita cantik yang tidak lain adalah Chu Bwee Hong itu berteriak. Hek-eng-cu dan Hek-mou-sai Wan It tertegun, mereka segera bersiap-siap. Tapi setelah mengetahui siapa yang datang, mereka segera tersenyum dan mengendorkan urat-uratnya. Hek-mou-sai Wan It malahan tertawa gembira sekali.
"Hahaha...sungguh kebetulan sekali! Dulu kita mendapatkan kesukaran untuk menculiknya, sekarang tanpa dicari malah sudah datang sendiri untuk menyerahkan diri...!" orang berbadan gemuk besar itu berkata sambil menoleh ke arah Hek-eng-cu.
"Ongya, gadis yang tuan inginkan dahulu itu kini justru telah berada di depan kita. Apakah kita perlu menangkapnya lagi?" Muka yang tertutup kain itu menatap kepada pembantunya, lalu mengangguk. "Jangan banyak membuang waktu! Lekas kerjakanlah...!" ia memberi perintah.
"Baik!" Hek-mou-sai menyahut lalu tubuhnya yang besar itu melesat maju. Tapi dua orang lelaki yang datang bersama Chu Bwee Hong itu segera menyongsongnya.
"Hihihaha...selamat bertemu kembali, Tukang Culik yang gagal! Di mana Si Kurus temanmu itu?" lelaki yang lebih tua, yang berwajah putih pucat, menyapa Hek mou sai Wan It dengan mulut pringas-pringis.
"Hahaha...Put-swi-kui! Hantu Tak Berdosa! Marilah kita lanjutkan pertempuran kita dahulu! kau jangan terlalu berbesar hati karena bisa mengusir aku tempo hari. Sekarang kulihat suhengmu Put-sim sian yang lihai itu tidak datang bersamaan," Hek-mou-sai menjawab perkataan Put-swi-kui dengan tidak kalah ramahnya.
"Hei, kenapa mesti harus Twa-suheng yang melawanmu? Kami berdua kukira juga sudah cukup untuk mengusirmu...!" lelaki di samping Put-swi-kui, yang tidak lain adalah Put-ming-mo, Si Setan Tak Bernyawa, berteriak sambil menepuk-nepuk perutnya.
"Begitulah pendapatmu? Mari kita buktikan saja...!" Hek-mo-sai berkata seraya menerjang ke depan. Otomatis Put-swi-kui dan Put-ming-mo berpencar untuk menghadapinya.Sementara itu di tempat persembunyian, Pek-i Liong-ong terjadi sedikit ketegangan ketika Chu Seng Kun secara mendadak melihat adiknya yang telah bertahun-tahun menghilang itu kini tiba-tiba muncul di depannya! Hampir saja pemuda itu tak bisa mengendalikan hatinya dan melompat keluar dari persembunyiannya. Untunglah Pek-i Liong-ong cepat bertindak menahan lengannya.
"Seng kun, sabarkanlah hatimu...! Jangan gegabah! Lihatlah di balik semak-semak di depan kita itu...! Bukankah orang-orang itu adalah orang-orang dari Ban-kwito?"
"Tapi...tapi...wanita itu a...adikku!" hampir saja Chu Seng Kun berteriak karena tidak bisa mengendalikan perasaannya. "Ya...ya, Lohu tahu. Tapi apa gunanya kau keluar dari tempat ini kalau di depan itu kau sudah dicegat oleh mereka? Hmm, pakailah otakmu! Jangan terburu-buru...!"
"Oooh...!" Chu Seng Kun berdesah lemas, karena menyadari ketergesaannya. "Lo-Cianpwe, lalu...apa yang harus kita kerjakan?"
"Nah, begitu! Sekarang marilah kita berputar, mencari jalan yang lebih aman untuk bisa mencapai ke tempat adikmu!"
Begitulah, mereka bertiga lalu keluar dengan hati-hati dari lobang batu karang tersebut. Mereka berjalan mengendap-endap di antara semak-semak yang mengelilingi lereng yang Iuas itu. Pek-i Liong-ong berjalan paling depan, sedangkan Chu Seng Kun berada di belakang sendiri. Adapun Souw Lian Cu yang hatinya sebenarnya tidak begitu merasa gembira karena harus menemui wanita yang telah merebut kasih sayang ayahnya, tampak berjalan dengan lesu di tengah tengah kedua orang laki-laki tersebut. Sementara itu hanya beberapa tombak saja jauhnya dari tempat persembunyian mereka tadi, dua orang gadis cantik kelihatan kaget dan tegang pula seperti mereka. Salah seorang diantaranya yang berkulit sangat putih kepucat pucatan tampak menudingkan jarinya ke arah Chu Bwee Hong.
"Adik Lian, lihatlah...! Bukankah dia Chu Bwee Hong..?" serunya tertahan.
"Ah, benar! Wanita itu memang Cici Bwee Hong..." gadis yang lain yang bersanggul tinggi dan berwajah cerah, menyahut dengan suara tegang pula.
"Marilah kita pergi ke sana"!"
"Ayoh, Cici Siok Eng..." Keduanya lalu meloncat keluar dan berlari menuruni lereng.
"Eeee, bukankah itu gadis yang bertengkar dengan kita di tepi sungai kemarin?" tiba-tiba terdengar suara serak dari semak-semak di sebelah kiri mereka, dan sekejap kemudian muncullah seorang laki-laki gemuk berkepala gundul menghadang kedua orang gadis itu.
"Berhenti, kelinci kelinci manis! Mau ke mana kalian? Heheh, agaknya dunia ini memang sempit benar, ke manapun juga kita pergi ternyata selalu bertemu pula." Kwa Siok Eng dan Ho Pek Lian menghentikan langkah mereka dan berdiri berdampingan mengawasi tubuh Ceng ya kang yang gemuk kehijau-hijauan itu.
"Awas, Cici Siok Eng! Iblis gundul ini tentu tidak sendirian..."
"Benar, anak manis, kita memang selalu pergi bersama-sama. Aih, tampaknya kalian dapat melepaskan diri dari pengaruh Bedak Seribu Wajahku. Huh, siapakah yang mengobati kalian?" mendadak dari balik batu karang di depan mereka muncul pula Jeng bin Siang-kwi sambil bertolak pinggang. Ho Pek Lian dan Kwa Siok Eng saling memandang, kemudian mereka tersenyum bersama-sama, sedikit pun tidak kelihatan takut melihat lawan yang lebih banyak jumlahnya itu.
"Apakah hebatnya bedak murahan seperti kepunyaan kalian itu? Paling-paling hanya untuk permainan anak-anak di desa."
"Kurang ajar!" Sepasang iblis kembar itu naik pitam. Keduanya lalu menerjang Ho Pek Lian dan Kwa Siok Eng! Dan kedua gadis cantik itupun segera melayani mereka dengan hangat pula.
"Adik Lian, berhati-hatilah dengan tipu muslihat dan racun mereka! Jangan sampai engkau terperdaya...!" Kwa Siok Eng memberi peringatan kepada Ho Pek Lian sambil mengelak dari sambaran kuku-kuku Jeng-bin Sam-ni. Sebentar kemudian mereka berempat telah terlibat dalam pertempuran yang seru dan ramai. Melihat kedua orang gadis itu telah bertempur dengan sucinya, Ceng-ya-kang lalu meninggalkan tempat itu. Dengan cepat tubuh yang gemuk tersebut berlari menuruni lereng menuju ke tempat Hek-eng-cu berada. Tapi belum juga sampai di sana, Hek-eng-cu telah menoleh ke atas dan berteriak memperingatkan.
"Ceng-ya-kang...! Di manakah saudara-saudaramu yang lain? Lekas ajak mereka meninggalkan tempat ini! Cepat! Kita nanti bertemu di tempat biasanya! Tempat ini telah dikepung oleh pasukan Yap Tai-Ciangkun"!"
"Ongya...? Bagaimana?" Ceng-ya-kang menjadi gugup. Otomatis langkahnya berhenti.
"Jangan membantah! Nanti kita bicarakan persoalannya setelah kita lolos dari pantai ini...Pergilah! Cepat!" Hek-eng-cu berteriak lagi. Ceng-ya-kang terpaksa menurut. Dengan sigap tubuhnya berbalik dan berteriak ke arah Jeng-bin Siang kwi.
"Cici...lekas pergi! Tinggalkan saja kelinci-kelinci itu! Tempat ini telah dikepung oleh..."
"Hahahaha...kalian sudah terlambat! Menyerahlah saja!" tiba-tiba di atas tebing muncul sesosok bayangan yang berdiri dengan kaki terpentang lebar dan bertolak pinggang. Pakaiannya yang lebar model pakaian sasterawan itu berkibar dihembus angin. Kemunculannya segera diikuti oleh berpuluh-puluh sosok bayangan lain yang tersebar di lereng itu, seolah-olah mereka memang telah dipersiapkan untuk mengepung Pantai Karang tersebut. Dalam keremangan malam, senjata mereka tampak gemerlapan ditimpa sinar rembulan dan bintang. Sementara di sekeliling pemuda yang berpakaian model sastrawan itu sendiri, juga terlihat beberapa sosok bayangan yang berdiri kaku seolah-olah sekawanan anjing yang sedang menjaga keselamatan tuannya.
"Yap Kim...??" Ceng-ya-kang berbisik seakan tak percaya. Tokoh berkepala gundul itu tampak tertegun melihat pemuda tampan berpakaian model sastrawan tersebut, karena wajah itu benar-benar sangat dikenalnya. Sementara itu pertempuran antara Jeng bin Siang-kwi melawan Ho Pek Lian yang dibantu oleh Kwa Siok Eng, otomatis juga berhenti pula. Semuanya memandang ke atas tebing dengan perasaan kaget. Mereka melihat belasan, bahkan puluhan sosok bayangan hitam yang berdiri kaku berjejer-jejer, seperti jajaran pagar bambu di halaman rumah.
"Cici Siok Eng, lihat...! Bukankah orang yang berpakaian seperti sastrawan itu adalah Yap Tai-Ciangkun?" Ho Pek Lian berseru sambil menunjuk ke atas tebing.
"Eh, benar...! Yap Tai-Ciangkun...! Mengapa pula dia berada di sini? Apakah sebenarnya yang telah terjadi di tempat ini?" Kwa Siok Eng menatap Ho Pek Lian dengan dahi berkerut.
"Entahlah, aku juga tidak tahu,...Kemarin Yap Toa-ko juga tidak mengatakan apa-apa kepada kita..." Ho Pek Lian menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tapi...sudahlah, kita tak usah berpusing-pusing memikirkannya! Yang perlu sekarang adalah urusan kita sendiri Marilah kita menemui Cici Chu Bwee Hong dahulu! Kelihatannya dia sedang menemui kesulitan dengan orang berkerudung itu..."
"Menurut kata Chu Seng Kun, orang itu adalah penculiknya..."
"Kalau begitu, marilah kita lekas-lekas kesana...!" Kedua orang gadis itu lalu melesat turun menuruni lereng, meninggalkan Ceng-ya-kang dan Jeng-bin Siang-kwi yang masih terpaku melihat pasukan Yap Tai-Ciangkun di atas tebing. Rasa-rasanya Ho Pek Lian dan Kwa Siok Eng sudah tidak tahan lagi untuk segera memeluk dan mencium pipi Chu Bwee Hong yang selama ini telah membuat mereka kelabakan dan tak bisa makan enak dan tak enak tidur.
"Oh, alangkah gembiranya hati Chu Seng Kun nanti, bila melihat aku telah dapat membawa pulang kembali adiknya...Kwa Siok Eng bersorak di dalam hati.
Perkembangan yang sangat mendadak yang terjadi di Pantai Karang itu ternyata juga sangat mengejutkan hati Hek-eng-cu pula! Hampir-hampir orang itu tidak mempercayai penglihatannya sendiri. Tempat yang semula tampak lengang dan sepi itu tiba-tiba saja berubah menjadi ramai dan penuh orang! Keadaan ini benar benar tak disangkanya dan sejak semula memang tak pernah masuk dalam perhitungannya. Keputusan untuk berkumpul di Pantai Karang itu baru ditetapkan dua hari yang lalu! Itupun hanya diketahui oleh orang-orang kepercayaannya saja! Bagaimana hal itu sampai diketahui oleh Kaisar Han? Masakan khabar itu bisa bocor? Mungkinkah ada yang membocorkannya? Tapi rasa-rasanya tidak ada di antara para pembantunya yang berani berkhianat! Dia telah percaya penuh kepada para pembantu utamanya itu!
"Persetan! Yang penting sekarang adalah...bagaimana meloloskan diri dari kepungan ini!" Hek-eng-cu menggeram. Hek-eng-cu menebarkan pandangannya. Dilihatnya Hekmo-sai Wan It masih tampak bertempur dengan seru melawan pengeroyoknya. Sedangkan di atas lereng tampak Jeng-bin Siang-kwi dan Ceng-ya-kang telah bersiap-siap dengan racun-racunnya, sementara tidak jauh dari tempat itu Tee-tok-ci juga tampak berdiri tenang di atas sebongkah batu karang. Meskipun di sekitar mereka telah dikepung oleh pasukan Yap Tai-Ciangkun, keempat saudara seperguruan dari Ban-kwi-to itu kelihatan tenang sekali.
Sedikitpun tidak ada perasaan takut yang membayang di wajah mereka. Tampaknya mereka sudah amat percaya kepada kemampuan diri mereka masing masing. Hek-eng-cu kemudian mempertajam daya pendengarannya. Ternyata telinganya juga mendengar suara ribut-ribut di atas tebing dan kalau tidak salah adalah suara suami-isteri lm-kan Siang-mo! Dugaan Hek-eng-cu itu memang benar. Suara ribut di atas tebing itu memang suara lm-kan Siang-mo yang sedang dikeroyok oleh pasukan Yap Tai-Ciangkun. Sepasang iblis termuda dari Ban-kwi-to itu begitu datang langsung dikepung dan dikeroyok oleh anak buah Yap Tai-Ciangkun. Tentu saja suami-isteri sinting itu menjadi marah bukan main. Sambil meneriakkan sumpah serapah yang kotor dan kasar mereka mengamuk.
"Hmmm, di manakah Song-bun-kwi kwa Sun Tek...? Apakah dia belum datang? Kalau begitu justru sangat kebetulan sekali malah! Lebih mudah bagiku untuk menyelamatkan para pembantuku ini..." Sekali lagi Hek-eng-cu mengedarkan pandangannya, kali ini untuk menilai keadaan. Orang berkerudung yang sangat misterius itu sedang berpikir keras, jalan apa yang mesti mereka tempuh untuk dapat meloloskan diri dari tempat itu.
Mengerahkan para pembantunya untuk naik ke atas tebing serta membobol kepungan Yap Tai-Ciangkun terang tidak mungkin. Selain kekuatan mereka kalah kuat, posisi mereka juga tidak menguntungkan. Dengan mudah mereka akan dihantam dari atas dan dicerai-beraikan! Meluncur di atas permukaan air seperti dirinya tadi, juga tidak mungkin! Di antara para pembantunya itu tak seorangpun yang mempunyai ginkang sesempurna dirinya. Jangankan harus berdiri di atas sepotong bambu, sedang disuruh berada di atas selembar papan saja belum tentu mereka bisa! Satu-satunya jalan cuma menerobos kepungan lawan yang berada di lereng, lalu berlari dan berloncatan menyusuri hutan karang berduri yang banyak terdapat di sepanjang pantai!
Jalan itu memang jalan yang sangat berbahaya dan tak mudah dilalui orang. Mungkin hanya binatang-binatang yang mempunyai sayap saja yang mampu melewatinya. Tapi justru keadaan yang seperti itulah yang sangat menguntungkan bagi mereka. Tak mungkin rasanya semua anak buah Yap Tai-Ciangkun itu dapat melewati hutan Karang yang tajam berduri itu. Paling-paling hanya akan ada beberapa orang lagi selain Yap Tai-Ciangkun yang bisa melewati tempat tersebut. Dan itu berarti bahwa orang yang akan mengejar mereka hanya terdiri dari beberapa orang saja. Dengan demikian sangat mudah bagi mereka untuk membereskannya.
Jilid 23
Setelah memperoleh keputusan demikian, Hek-eng-cu segera berteriak memberi aba-aba.
"Semuanya menerjang ke arah utara. Teroboslah kepungan mereka, Ialu kerahkanlah seluruh kepandaian kalian untuk berloncatan di atas batu-batu karang di sepanjang pantai!" Teriakan Hek-eng-cu itu berkumandang memenuhi lereng yang luas tersebut, mengalahkan suara debur ombak dan gemuruhnya angin laut. Untuk sesaat Yap Tai-Ciangkun menjadi kaget dan tertegun. Di dalam hati, panglima muda itu menjadi kagum menyaksikan kecerdikan lawannya. Memang. Hutan batu karang yang sangat tajam dan berbahaya yang berserakan memenuhi tepian pantai utara Tiongkok itu tidak mungkin bisa dilewati oleh manusia biasa. Tempat itu sangat terkenal seram dan mengerikan! Hanya kawanan burung laut saja yang dapat menginjakkan kakinya di sana. Selesai memberi perintah, Hek-eng-cu lantas melenting ke depan dengan cepat sekali.
"Wan-Loheng, mari kita pergi! Jangan membuang-buang waktu! Tinggalkan saja orang orang itu!" serunya keras ketika lewat di samping Hek-mou sai Wan It. Tetapi mana Chu Bwee Hong mau melepaskan Hek-eng-cu? Gadis itu benar-benar telah mengalami suatu penderitaan lahir batin karena ulah laki-laki berkerudung tersebut. Maka setelah kini mereka dapat bertemu muka, tak mungkin rasanya gadis itu melepaskan musuh besarnya tersebut begitu saja. Dengan tangkas gadis itu menghadangnya.
"Iblis pengecut...! Mau lari ke mana kau?" teriaknya lantang. Kedua belah tangannya segera menghantam ke depan, menyongsong gerakan Hek-eng-cu yang cepat bagai kilat itu. Hek-eng-cu tak mau kehilangan banyak waktu hanya karena harus melayani Chu Bwee Hong dan kawan-kawannya. Oleh karena itu sambil mengelak ke samping, tangannya menyambar lengan Hek-mou sai Wan It serta menariknya untuk diajak berlari bersama-sama. Hampir saja mereka dapat meloloskan diri kalau dari balik sebuah batu karang secara mendadak tidak meluncur belasan jarum rahasia yang tertuju ke arah mereka. Jarum-jarum itu menebar dalam bentuk bunga bwee dan kecepatannya benar-benar sangat menggiriskan!
"Terimalah jarum rahasiaku...!" terdengar suara yang melengking tinggi dari belakang batu karang itu dan sekejap kemudian muncullah Put-sin Niocu di hadapan mereka.
"Bagus, Siau Put-sia...! Marilah kita bunuh laki-laki berwatak iblis ini bersama-sama!" Chu Bwee Hong berseru lega begitu melihat taburan jarum rahasia tadi mampu menahan langkah kaki Hek-eng-cu dan Hek mou sai, sehingga kedua orang itu gagal meloloskan diri. Hek-eng-cu menjadi marah bukan main! Sebenarnya dengan mantel pusakanya yang kebal senjata itu dia tidak takut menerjang hujan senjata yang bagaimana deras sekalipun. Tapi berhubung dia sedang menggandeng Hek-mo sai Wan It, maka ia terpaksa ikut mengelak pula seperti pembantunya itu. Akibatnya, langkah mereka menjadi tertunda, sehingga di lain saat lawan-lawan mereka telah mengepung pula kembali.
"Bangsat kurang ajar...! Kalian memang orang-orang yang telah bosan hidup!" Hek-eng-cu menggeram marah. Tangannya yang menggandeng Hek-mou-sai itu dilepaskannya, lalu bersiap-siap untuk menggempur gadis yang baru saja memberondong dirinya dengan jarum rahasia tadi. Tapi wajah di balik kerudung itu kelihatan tertegun, agaknya orang itu mengenali wajah Siau Put-sia yang bundar bagai bulan purnama itu. Wajah dari gadis yang pernah digelutinya di pinggir sungai itu! Hek-eng-cu menjadi tegang. Otomatis tenaga dalamnya bangkit dan siap untuk dipergunakan. Tokoh sakti itu mengawasi Chu Bwee Hong dan Put-sia Niocu berganti-ganti.
"Seraaaang...!" tiba-tiba Chu Bwee Hong berteriak memberi aba-aba. Put-swi-kui, Put-ming mo dan Put-sia Niocu serentak menerjang Hek-eng-cu dan Hek-mou-sai. Masing-masing mengerahkan seluruh kekuatan dan kepandaiannya, karena mereka semua tahu bahwa lawan yang mereka hadapi kali ini bukanlah lawan yang sembarangan. Baru lawan mereka yang berbulu lebat itu saja amat sukar dihadapi, apalagi orang berkerudung itu. Hek-eng-cu dan Hek-mou-sai berpencar, masing-masing menghadapi dua orang lawan. Sambil berpencar mereka menangkis serangan lawan. Hek-eng-cu menangkis pukulan Chu Bwee Hong dan Put-sia Niocu, sedangkan Hek-mou-sai menangkis serangan Put-swi-kui dan Put-ming-mo!
"Deeessss!"
"Dhuuukh!" Chu Bwee Hong dan Put-sia Niocu yang secara bersama-sama membentur tangkisan Hek-eng-cu tampak terpental dan hampir jatuh. Tapi sebaliknya Hek-mou-sai Wan lt yang menahan pukulan bersama dari Put-swi-kui dan Put-ming-mo, tampak terdorong mundur dan hampir terjengkang! Jadi apabila diperhitungkan, kekuatan mereka secara keseluruhan adalah seimbang. Tetapi keadaan seperti itu sungguh tidak dikehendaki oleh Hek-eng-cu! Sebab pertempuran seperti ini tentu akan berlangsung lama dan membuang-buang waktu saja.
Padahal waktu mereka sangat mendesak sekali. Mereka harus lekas lekas meloloskan diri dari tempat itu, sebelum Yap Tai-Ciangkun dan pasukan pilihannya turun dari atas tebing dan mengepung mereka! Maka Hek-eng-cu segera mengerahkan seluruh kesaktiannya untuk cepat-cepat membereskan Iawannya. Tulang-tulang dan urat-urat di dalam tubuhnya terdengar gemeratak berkerotokan, seolah-olah tulang dan urat itu saling beradu dan berpatahan. Mantel pusaka yang sedari tadi selalu tersibak ke belakang, cepat ditariknya ke depan sehingga menyelimuti seluruh badannya. Mata yang tertutup oleh tirai tipis itu seakan-akan mencorong di dalam kegelapan. Dan pada saat Hek-eng-cu telah siap untuk melontarkan seluruh kekuatannya itulah Ho Pek Lian dan Kwa Siok Eng tiba di tempat itu.
"Cici Bwee Hong, awaaaas...!!" Ho Pek Lian berteriak memberi peringatan kepada Chu Bwee Hong.
"Adik Lian...eh, Cici Siok Eng...?!?" Chu Bwee Hong yang tidak menyangka akan bertemu dengan dua orang sahabat akrabnya itu menoleh dengan kaget. Sejenak gadis itu lupa bahwa dia sedang berhadapan dengan Hek-eng-cu yang lihai bagai iblis. Dan...kesempatan ini benar-benar tak disia-siakan oleh Hek-eng-cu!
Melihat pihak lawan kelihatannya hendak bertambah bala bantuan lagi, Hek-eng-cu menjadi semakin beringas! Tokoh hitam itu semakin tidak memikirkan apa-apa lagi! Dalam ketegangan dan kekhawatirannya, Hek-eng-cu sudah tidak mengingat lagi bahwa dia pernah menyukai Chu Bwee Hong, dan pada suatu saat justru bermaksud memilikinya. Sekarang yang memenuhi hati dan pikirannya hanyalah nafsu untuk membunuh orang-orang yang merintanginya. Itu saja! Maka melihat ada kesempatan bagus untuk membokong lawannya, Hek-eng-cu segera menghantam dengan kekuatan penuh! Ho Pek Lian dan Kwa Siok Eng menjerit! Put swi kui, Put ming-mo dan Put-sia Niocu terpekik pula saking kagetnya! Dan dalam keadaan yang sangat mengejutkan serta sangat tiba-tiba pula itu mereka serentak berusaha untuk menolong Chu Bwee Hong.
Secara otomatis Put-sia Niocu menaburkan kembali jarum-jarum rahasianya, sementara dua orang kakak seperguruannya juga tampak melontarkan pisau-pisau terbangnya. Sedangkan Ho Pek Lian dan Kwa Siok Eng yang baru saja datang, secara serentak juga melemparkan senjata yang dipegangnya. Semuanya mengarah ke tubuh Hek-eng-cu, dengan harapan dapat menahan serangan orang itu. Tapi semuanya itu ternyata tidak diacuhkan oleh Hek-eng-cu! Tokoh berkerudung hitam itu tetap meneruskan serangannya kepada Chu Bwee Hong, sedikitpun tidak memperdulikan hujan senjata yang bertaburan ke arah badannya. Maka sejenak kemudian terjadilah suatu peristiwa yang benar-benar merontokkan hati orang-orang yang berusaha menolong Chu Bwee Hong tadi!
Mendengar jeritan kawan-kawannya, Chu Bwee Hong segera menyadari bahaya yang akan menimpanya. Di dalam keterkejutannnya gadis itu berusaha melindungi dirinya dengan Pai-hud Sinkangnya yang hebat. Tapi tenaga dalam warisan Bu-eng Sin-yok-ong tersebut ternyata tidak dapat melindungi tubuhnya dari keganasan Pat-hong Sin-ciang lawan! Tubuh yang tinggi semampai itu terpental tinggi ke udara, lalu jatuh terbanting ke atas pasir. Sesaat tubuh yang molek itu meronta tapi sekejap kemudian lalu diam tak bergerak. Kwa Siok Eng berdiri tertegun di tempatnya, hatinya serasa copot dan jantungnya seperti berhenti berdenyut. Begitu pula dengan Ho Pek lian dan yang lain! Semuanya bagaikan terpesona oleh suasana yang amat mengejutkan itu. Sementara itu rombongan Pek-i Liong-ong telah tiba di tempat ini pula!
"Bwee Hongggg...!?!?" tiba-tiba Chu Seng Kun berteriak memilukan. Pemuda itu langsung menubruk adiknya yang terkapar tidak bergerak tersebut.
"Cici...!!!" Souw Lian Cu menjerit pula. Begitu datang gadis remaja ini langsung menyerang Hek-eng-cu! sekejap terlihat gumpalan asap tipis, yang terdiri dari dua warna di atas ubun-ubunnya. Merah dan putih. Yang berwarna merah segera lenyap begitu tangan kanan Souw Lian Cu memukul ke arah Hek-eng-cu. Sebagai gantinya, tiba-tiba Hek-eng-cu merasa seperti ada badai angin panas yang secara mendadak menerjang ke arah dirinya! Tentu saja Hek-eng-cu terperanjat bukan kepalang! tokoh berkerudung itu segera teringat kepada seorang musuh besarnya yang juga mahir mempergunakan Ang-pek Sinkang seperti itu. Tapi perasaan terkejut itu segera berubah menjadi kemarahan yang menyala nyala.
"Bocah buntung! apa hubunganmu dengan Souw Thian Hai?" bentaknya seraya mengelakkan serangan Souw Lian Cu yang sangat berbahaya itu.
"Aku adalah anaknya! kau mau apa? Takut...? jangan khawatir, ayahku tidak ada disini sekarang...!" Souw Lian Cu menjawab tanpa takut sedikitpun.
Kaki kirinya segera melayang ke depan, begitu pukulannya dapat dielakkan oleh lawan. Lagi-lagi Hek-eng-cu terkejut! badai panas yang tadi menerjang kearah tubuhnya kini tiba-tiba berubah menjadi dingin. Begitu dinginnya sehingga rasa-rasanya malam yang gelap itu mendadak bertiup badai salju yang menggigilkan! Souw Lian Cu di dalam kemarahannya memang mengerahkan seluruh kemampuan yang dimilikinya. Selama empat tahun dia bersama ayahnya, membuat lweekangnya semakin tinggi dan hebat tidak terkira! Tapi kenyataan ini tentu saja membuat Hek-eng-cu semakin bertambah lagi berangnya! Dengan nafsu membunuh orang berkerudung itu segera mengerahkan Pat-hong Sin-ciang sepenuh-penuhnya, lalu dengan siku tangan kanannya ia menyongsong tendangan Souw Lian Cu tersebut.
"Buuuuum!"
Benturan tidak bisa dielakkan lagi! akibatnya Souw Lian Cu terlempar tinggi dan jatuh menimpa Chu Seng Kun yang sedang meratapi adiknya. Mereka bertiga terbanting tunggang-langgang di atas pasir yang basah! Bagaimanapun tingginya Ang-pek-Sinkang Souw Lian Cu ternyata masih belum bisa menandingi lweekang Hek-eng-cu yang maha hebat. Sekali lagi gadis itu mengalami luka dalam yang amat parah. Biarpun tulang-tulangnya serasa berpatahan semuanya, tapi Souw Lian Cu berusaha untuk bangkit kembali. Tapi lawannya ternyata tidak membiarkannya begitu saja! Melihat gadis itu masih dapat bergerak, tangannya yang masih penuh dengan tenaga Pat-hong Sinkang itu segera diayun kembali ke arah korbannya!
Kali ini Souw Lian Cu tak mungkin lagi untuk melawan ataupun mengelak! Satu-satunya jalan cuma menanti datangnya maut yang akan mencabut nyawanya saja, karena semua peristiwa itu berlangsung dengan amat cepat dan dalam tempo yang sangat singkat, sehingga tidak seorangpun di tempat itu yang mempunyai kesempatan untuk menolongnya. Tapi apa yang terjadi kemudian benar-benar di luar dugaan atau anggapan tersebut! Orang yang paling dekat tempatnya dengan Souw Lian Cu, yang tadi telah dianggap mati oleh semua orang, yaitu Chu Bwee Hong, mendadak bergerak dan membuka matanya! Melihat Souw Lian Cu dalam bahaya, tiba-tiba tubuhnya yang sangat lemah itu bangkit berdiri dan menubruk ke arah Souw Lian Cu untuk melindunginya.
"Dhieeeees!" Sekali lagi Chu Bwee Hong bagaikan dilemparkan oleh sebuah tenaga raksasa begitu terkena hantaman Hek-eng-cu! Darah segar tampak menyembur dari mulutnya, membasahi pasir yang basah, lalu tubuhnya terbanting di atas gundukan pasir yang agak lebih kering! Chu Seng Kun yang tadi ikut tergeletak karena terlanggar oleh tubuh Souw Lian Cu segera melenting bangun dan menghambur kembali ke arah adiknya!
"Bwee Hong! Bwee Hong...!" teriaknya. Tubuh yang pucat bagai mayat itu diguncangnya dengan keras, tapi tubuh tersebut tetap diam tak bergerak.
Bibirnya yang berlepotan darah juga tertutup rapat, sementara pelupuk matanya yang berbulu panjang itu juga terkatup rapat, seolah-olah gadis ayu itu memang telah tidak bernyawa lagi! Sementara itu Souw Lian Cu yang baru saja lolos dari lobang kematian itu telah dipeluk dan dipapah ke tempat yang aman oleh Ho Pek Lian serta Kwa Siok Eng. Dan perhatian dari orang-orang yang saat itu ada di sana seolah olah tercurah semuanya kepada nasib Chu Bwee Hong dan Souw Lian Cu, sehingga mereka seakan sudah melupakan Hek-eng-cu dan Hek-mou-sai! Tak heran kalau kesempatan yang bagus ini lantas dipergunakan sebaik-baiknya oleh iblis berkerudung tersebut. Sambil menyambar lengan pembantunya Hek-eng-cu meloncat keluar arena, kemudian melesat ke arah utara, menerjang orang-orang Yap Tai-Ciangkun yang ada disana.
Put-swi-kui dan Put-ming-mo yang dilewatinya, hanya berdiri diam saja seolah-olah telah kehilangan akal. Pasukan pengepung yang berada di bagian utara hanya terdiri dari pasukan biasa saja, biarpun mereka juga orang-orang pilihan, yang dipilih oleh Yap Tai-Ciangkun sendiri untuk ikut dalam tugas berbahaya ini. Tetapi kepandaian mereka tentu saja tidak sehebat para anggota Sha-cap mi-wi, sehingga tidaklah heran bila mereka menjadi kocar-kacir ketika diterjang oleh Hek-eng-cu! Menghadapi kekuatan Hek-eng-cu yang maha dahsyat, mereka bagaikan sekelompok semut yang diterjang dan diinjak-injak oleh seekor gajah besar, sehingga sekejap kemudian korbanpun berjatuhan banyak sekali.
Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Maka dalam waktu yang singkat Hek-eng-cu dan Hek-mou-sai Wan It telah dapat membobol kepungan dan lolos ke dalam hutan batu karang yang sukar ditembus oleh manusia biasa. Dengan kepandaian mereka yang tinggi Hek-eng-cu dan Hek-mou-sai berloncatan di atas ujung-ujung dari batu karang yang tajam dan berbahaya. Sedikit saja kaki mereka terpeleset, alamat tubuh mereka akan hancur tersayat oleh tajamnya permukaan padas dan batu-batu karang yang tajam bagai pisau. Dan sebentar saja mereka telah jauh meninggalkan Pantai Karang. Akhirnya mereka berhenti untuk melepaskan lelah setelah mereka yakin bahwa pasukan Yap Tai-Ciangkun tidak mungkin dapat mengejar mereka lagi.
"Huah! Heran benar...! Bagaimana bangsat-bangsat kerajaan itu dapat mengetahui rencana kita yang amat rahasia itu?" Hek-eng-cu menghembuskan napasnya kuat-kuat untuk memuntahkan perasaan kesalnya.
"Entahlah! Hamba juga heran...Untunglah Ongya dapat melihat jalan keluar yang baik dari kepungan itu. Hmm, bagaimana dengan keadaan Tee-tok-ci dan adik-adik seperguruannya? Adakah mereka bisa meloloskan diri seperti kita?" dengan terengah engah Hek-mou-sai menyahut.
"Kita nantikan mereka di tempat ini! Kalau mereka bisa lolos, mereka tentu akan datang sebentar lagi...Eh, Wan-Loheng...kenapa dengan pakaianmu?" Tergesa-gesa Hek-mou-sai Wan It melihat baju dan celana yang dikenakannya. Tampak oleh matanya pakaian itu telah compang-camping, seperti baru saja diiris-iris dengan pisau yang amat tajam. Bukan itu saja. Sepatu yang dipakainyapun ternyata terobek dan tampak bolong di sana-sini.
"Eh...ini...ini tentu akibat tergores ujung-ujung batu karang yang sangat runcing itu!" serunya hampir tak percaya.
"Saking tajamnya sampai hamba tidak mengetahuinya..." sambungnya dengan wajah pucat karena ngeri. Hek-mou-sai Wan It mengawasi pakaian dan mantel yang dikenakan oleh pemimpinnya. Tapi dilihatnya pakaian tersebut masih tetap utuh dan tidak kurang suatu apa. Dengan sangat kagum Hek-mou-sai menatap ke arah Hek-eng-cu. Tapi sebelum mulutnya mengucapkan kata-kata pujian, tiba-tiba dari arah Pantai Karang tampak berkelebat sesosok bayangan yang mendatangi.
"Wan-loheng, awas...ada orang datang! mungkin dia adalah Yap tai-Ciangkun atau salah seorang anak buahnya," Hek-eng-cu berkata. Bayangan itu cepat sekali datangnya. Seperti juga yang telah mereka lakukan tadi, bayangan tersebut berloncatan pula diatas ujung-ujung batu karang yang runcing tajam bagai pisau itu. Hanya yang membuat sedikit bergetar di hati Hek-mou-sai Wan It adalah kenyataan bahwa pakaian dan jubah putih yang dipakai orang itu sedikitpun tidak tergores oleh tajamnya batu karang! Padahal orang itu telah berumur lebih daripada delapan puluh tahun.
"Sahabat, kalian berhentilah dahulu barang sebentar...!" begitu datang orang tua itu menjura dengan hormat.
"Lohu adalah ketua aliran Mo-kauw ingin berbicara sedikit dengan tuan..." Hek-eng-cu menoleh ke arah pembantunya, seolah-olah ingin mengatakan bahwa dia belum pernah mengenal ataupun berhubungan dengan orang yang mengaku sebagai ketua Aliran Mo-kauw tersebut. Dengan dahi berkerut Hek-mou-sai Wan It juga mengangkat pundaknya, sebagai tanda bahwa diapun juga belum pernah mengenalnya. Orang tua yang tidak lain adalah Pek-i Liong-ong itu agaknya mengetahui keheranan lawannya. Oleh karenanya orang tua itu lekas-lekas memberi keterangan.
"Tuan berdua tentu sangat bingung dan heran melihat lohu mengejar tuan berdua di tempat ini. Mungkin di dalam hati tuan menyangka bahwa lohu adalah kawan atau pengikut dari pasukan yang mengepung Pantai Karang itu tadi..."
"Hmm, kalau begitu siapa tuan sebenarnya?" Hek-eng-cu bertanya dengan hati-hati. Ginkang orang tua itu tinggi sekali, mereka harus berhati-hati menghadapinya.
"Mengapa tuan juga berada di pantai itu, kalau bukan kawan atau anak buah Yap Tai-Ciangkun?"
"Ah, mengapa harus orang-orang Yap Tai-Ciangkun saja yang mesti di tempat itu? Kukira rahasia tentang harta karun itu bukan rahasia lagi. Sekarang setiap orang telah tahu belaka tentang hal itu. Coba lihat...! Apakah gadis bertangan buntung itu tadi juga anak buah Yap-Ciangkun? Apakah orang-orang Bing-kauw tadi juga anak buah Yap Tai-Ciangkun?"
"Hah? Jadi kalian telah tahu pula tentang harta karun mendiang Perdana Menteri Li itu? Bagaimana hal itu bisa terjadi?" Hek-eng-cu berseru kaget. Pek-I Liong-ong tersenyum dengan tenang.
"Haha...itu disebabkan oleh karena kurang cermatnya anak buahmu itu menjaga dirinya, sehingga dengan mudah diikuti oleh petugas kerajaan," katanya sambil menatap ke arah Hek-mou-sai Wan It.
"Pembantuku kurang cermat?" Hek-eng-cu berseru sambil mengawasi Hek-mou-sai yang berada disampingnya.
"Benar! Coba dia kau suruh mengingat-ingat ketika pergi ke Kuil Delapan Dewa bersama dengan pembantumu yang lain, yang kurus berpakaian putih-putih itu...! Apakah ia merasa kalau pada saat itu telah diikuti oleh Hong-lui-kun Yap Kiong Lee, salah seorang kepercayaan dari Kaisar Han?"
"Ohhh...jadi Hong-lui-kun telah mengikuti aku sejak dari Kuil Delapan Dewa itu?" Hek-mou-sai menegaskan dengan suara gemetar. "Mengapa aku tidak mengetahuinya?"
"Hahaha...jangankan engkau, sedang pemimpinmu yang lihai itupun tak tahu kalau perahunya telah kemasukan pencuri."
"Apa? Perahuku kemasukan pencuri?" Hek-eng-cu berteriak. Pek-i Liong ong menghela napas panjang.
"Eh, maksudku...tuanpun tidak tahu puIa bahwa Hong-lui-kun juga telah ikut masuk ke dalam perahu yang tuan pakai untuk mengadakan perundingan itu."
"Ooooh, jadi itulah yang menyebabkan rahasia tentang harta karun ini telah bocor. Lalu mengapa tuanpun ikut mengetahuinya pula? Apakah Hong-Iui-kun telah mengatakannya juga kepada tuan?" Hek-eng-cu menggeram.
"Ah, itu tidak perlu karena aku juga telah mendengarnya sendiri dari mulut tuan."
"Oh, jadi tuan juga telah ikut masuk pula ke dalam perahuku?"
"Tidak! Lohu cuma mengikuti perahu tuan dari tepian sungai saja. Tapi hal itu sudah cukup bagi lohu untuk ikut mendengarkan pembicaraan tuan."
"Kalau begitu kedatangan tuan ke Pantai Karang ini juga ingin memperebutkan harta karun itu? Tapi, mengapa tuan mengejar kami? Tuan telah melihat sendiri bahwa kami belum sempat mengambilnya." Hek-eng-cu berkata dengan kaku. Sekali lagi Pek-i Liong ong tersenyum.
"Tuan telah salah terka! Lohu tidak mempunyai minat sedikitpun untuk memiliki harta karun tersebut."
"Lalu...apa maksud tuan mengejar kami?" Hek-mou-sai yang sejak tadi hanya diam saja ikut berbicara saking herannya. Pek-i Liong ong tidak lekas-lekas menjawab pertanyaan itu. Dengan tenang orang tua itu menengadahkan kepalanya yang berambut putih ke arah Iangit yang bertaburan bintang.
"Hal inilah yang hendak kubicarakan dengan tuan tadi..." akhirnya orang tua itu membuka mulutnya.
"Lekaslah tuan katakan! Kami tidak mempunyai banyak waktu lagi," Hek-mou-sai membentak. Orang tua itu menunduk kembali, matanya yang mencorong itu menyambar ke arah Hek-mou-sai, sehingga yang belakangan ini menjadi terkejut hatinya.
"Baiklah, akan lohu katakan...Apakah sebabnya tuan mengadu-domba Aliran Mo-kauw, Bing-kauw dan lm yang kauw? Tuan tidak usah mungkir, karena lohu telah mengetahui semuanya..." Pek-i Liong-ong langsung mengatakan maksudnya. Hek-eng-cu saling memandang dengan Hek-mou-sai, seolah-olah ingin saling mencari pertimbangan, apa yang mesti mereka katakan kepada orang tua itu. Hek-mou-sai tampak menganggukkan kepalanya, sebagai tanda bahwa dia menyerahkan semuanya kepada Hek-eng-cu. Orang berkerudung itu menghela napas panjang sekali, seakan-akan mau mencari kekuatan agar dirinya dapat lebih tenang menghadapi orang tua yang amat lihai tersebut.
"Baiklah. Karena tuan juga telah berterus terang kepada kami, maka kami pun juga akan berkata terus terang pula kepada tuan," akhirnya Hek-eng-cu berkata tegas dan keras.
"Memang kamilah biang keladi pertumpahan darah antara ketiga aliran itu! Akulah yang memerintahkannya! Aku bermaksud membuat keadaan di negara ini menjadi kacau dan ribut, sehingga aku dapat leluasa melaksanakan rencana dan cita-citaku. Nah, tuan mau apa sekarang? Mau menuntut balas? Marilah kulayani sekarang juga..." Pek-i Liong-ong menatap kedua orang lawannya dengan tajam, tangannya mengelus jenggotnya yang melambai-lambai di depan dadanya. Suaranya masih halus dan lembut ketika menjawab tantangan Hek-eng-cu tersebut.
"Baiklah, agaknya maksudku untuk membawa tuan ke tempat kami dengan baik-baik tidak akan tuan penuhi. Sebenarnya kami hanya ingin agar tuan mau menjernihkan kemelut itu di hadapan kami semua..."
"Hmh!!" Hek-eng-cu mendengus. "Agaknya tulangku yang tua ini terpaksa harus bekerja keras malam ini..." Pek-i Liong-ong menyingsingkan lengan bajunya, lalu bersiap-siap untuk bertempur mati-matian dengan Hek-eng-cu. Sementara itu pertempuran di Pantai Karang sendiri sepeninggal mereka masih berlangsung dengan hebatnya. Tee-tok-ci dan saudara-saudara seperguruannya berusaha untuk membobol kepungan Yap Tai-Ciangkun. Tapi menghadapi demikian banyak pasukan, apalagi belasan di antaranya adalah anggota pasukan Sha-cap mi-wi, benar benar sangat berat bagi mereka.
Racun racun yang mereka pergunakan memang membuat banyak korban, tapi pasukan yang datang mengeroyok merekapun seperti tiada habis habisnya pula. Mati satu datang empat, mati empat datang pula yang Sepuluh, sehingga akhirnya racun mereka telah habis mereka pergunakan. Lalu mulailah Tee-tok-ci dan saudara-saudaranya mengalami kesukaran dalam menghadapi para pengepungnya. Dan yang pertama-tama mendapatkan kesulitan adalah pasangan suami-isteri Im-kan Siang mo yang bertempur di atas tebing. Di dalam kesulitan mereka, sepasang iblis dari neraka itu masih saja meneruskan adat kebiasaannya, mereka selalu bertengkar dan saling memukul setiap ada kesempatan. Tidak lupa mulut mereka selalu mengoceh tidak karuan.
"Nah, apa daya kita sekarang? Semua senjata dan racun milik kita telah hilang bersama pedati kita itu. Sekarang kita tidak punya apa-apa lagi untuk melawan anjing-anjing kerajaan ini," Hoan Mo-li si Iblis Wanita bersungut-sungut kesal, seolah-olah menyalahkan suaminya.
Biarpun teramat gemuk dan agak kurang waras, tapi sepak-terjangnya di dalam pertempuran ternyata sangat menggiriskan lawan lawannya. Lengannya yang pendek-pendek itu ternyata sanggup meringkus dua atau tiga orang sekaligus, lalu membantingnya atau melemparkannya ke bawah tebing. Tak seorangpun yang masih hidup apabila telah kena ringkus olehnya, mereka tentu putus napasnya atau berpatahan tulang-tulangnya. Tapi yang mereka hadapi bukan cuma satu atau dua orang saja, melainkan sepasukan besar tentara kerajaan. Maka kehebatan yang mereka perlihatkan itu tidak berlangsung lama. Begitu dua atau tiga orang anggota Sha-cap mi-wi ikut mengeroyok mereka, mereka berdua tidak bisa berkutik lagi. Merekalah yang kini harus mati-matian mempertahankan hidup mereka.
"Mengapa kau menyalahkan aku? Bukankah kau sendiri yang memulai dengan perselisihan pada waktu itu? Mengapa sekarang kau menjatuhkan kesalahan itu kepadaku?" Bouw Mo-ko, suami perempuan itu berteriak menjawab keluh-kesah isterinya.
"Siapa menyalahkan engkau? Aku Cuma menyesali nasib kita...aduhh!" Tiba-tiba sebuah tendangan dari salah seorang anggota Sha-cap mi-wi mengenai pantat wanita gemuk itu, sehingga kata-katanya terputus di tengah jalan. Tubuh yang besar seperti gajah itu terpental ke depan dan menabrak sebuah pohon. Tentu saja wanita itu menjadi marah sekali. Kedua belah telapak tangannya digosok-gosokkannya satu sama lain, lalu memukul ke arah para pengeroyoknya yang mau memanfaatkan keadaannya yang runyam tadi.
"Bussss!"
"Aduuuuh...!" Dua orang pengeroyoknya jatuh terkapar di atas tanah. Mereka berkelojotan seperti orang kepanasan, tapi sebentar kemudian mereka menggigil kedinginan, lalu selanjutnya meninggal dunia seperti udang kering. Para pengeroyok yang lain mundur ketakutan. Dua orang anggota Sha-cap mi-wi maju dengan sigap dan tangkas. Keduanya memegang pedang yang panjang.
Darah Pendekar Eps 4 Harta Karun Kerajaan Sung Eps 6 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 12