Ceritasilat Novel Online

Memburu Iblis 8


Memburu Iblis Karya Sriwidjono Bagian 8




   "Eh! Apakah buku-buku itu kepunyaan Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai? Kenapa kau menduganya begitu?" Liu Yang Kun lalu bercerita lagi. Buku-buku mendiang Bit-bo-ong tersebut empat tahun yang lalu telah dicuri oleh seorang tokoh persilatan yang bernama Hek-eng-cu. Dengan ilmu-ilmu yang diperolehnya dari buku-buku itu Hek-eng-cu lalu malang-melintang di dunia kang-ouw tanpa lawan. Sampai pada suatu saat iblis itu dapat dijumpainya dan berhasil dibunuhnya. Kemudian buku-buku mendiang Bit-bo-ong itu ia kembalikan kepada yang berhak yaitu Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai.

   "Ohh...!" Tui Lan berdesah seraya mengangguk-angguk. Tiba-tiba Liu Yang Kun menepuk pundak Tui Lan.

   "Lan-moi...! Bolehkah aku meminjam buku pemberian Ang-leng Kok-jin itu sebentar? Siapa tahu ada keterangan tentang penyakitku ini di sana?" tanyanya.

   "Wah! Buku itu kutinggalkan di seberang sana," Tui Lan cepat menjawab. Lalu sambungnya lagi,

   "Biarlah aku mengambilnya sekarang..." Tapi Liu Yang Kun segera mencegahnya,

   "Jangan! Besok saja kita ke sana bersama-sama. Marilah sekarang kita berburu ikan untuk memulihkan tenagaku!"

   "Benarkah? Ohh... koko! Marilah!" Tui Lan tercengang, namun segera bertepuk dengan riangnya. Demikianlah, sehari itu Liu Yang Kun sengaja mengerahkan segala kemampuannya untuk memulihkan kembali tenaganya. Dan sehari itu pula mereka berdua seolah-olah menumpahkan segala kerinduan mereka selama ini. Kini mereka benar-benar saling membuka diri dan tidak malu-malu lagi mengeluarkan isi hatinya.
(Lanjut ke Jilid 08)

   Memburu Iblis (Seri ke 03 - Darah Pendekar)
Karya : Sriwidjono

   Jilid 08
Terutama Liu Yang Kun. Entah mengapa, setelah mendengar keterangan Tui Lan tentang Po-tok-cu itu, hatinya menjadi amat lega dan gembira bukan main. Meskipun di dalam kegembiraan tersebut hatinya juga masih sedikit waswas pula.

   "Lan-moi..." Liu Yang Kun berkata gemetar ketika pada suatu saat mereka duduk bersanding menikmati kebahagiaan mereka. Tui Lan menjadi tergetar juga hatinya. Entah mengapa gadis itu merasakan sesuatu yang 'lain" di dalam nada suara pemuda itu. Dan diam-diam gadis itu meremang seluruh badannya. Akibatnya gadis itu tak berani bersuara sedikitpun.

   "Lan-moi... Benarkah Po-tok-cu itu bisa menawarkan segala macam racun?" Tui Lan menelan ludah. Lalu jawabnya dengan suara gemetar pula,

   "Bukan menawarkan..., tapi... tapi siapapun yang memegang mustika itu akan kebal terhadap racun apapun juga. Begitu... begitulah yang dikatakan oleh Ang-leng Kok-jin..."

   "Ooooooh...!" Liu Yang Kun berdesah dan hendak berbicara lagi, tapi tak jadi. Pemuda itu kelihatan ragu ragu. Otomatis Tui Lan menjadi tegang dan gelisah pula. Gadis itu menantikan kata-kata yang hendak dikeluarkan oleh Liu Yang Kun. Namun karena ucapan tersebut tak kunjung keluar juga, maka gadis itu menjadi tak tahan menunggunya.

   "Lekaslah kau katakan, koko. Kau hendak berbicara apa?" akhirnya gadis itu mendesak. Liu Yang Kun menjadi gelagapan. Tapi karena Tui Lan terus saja mendesaknya, maka akhirnya pemuda itu menjawab pula dengan hati-hati.

   "Lan-moi... Tampaknya kita memang telah ditakdirkan untuk hidup di dalam kurungan gua ini selamanya. Meskipun demikian Thian kelihatannya masih mengasihani kita juga. Buktinya kita terjeblos berdua di tempat ini sehingga kita bisa saling mempunyai teman. Hmm, coba... bagaimana kalau kita terjeblos sendirian di sini? Selain dari pada itu... selain dari pada itu..." Liu Yang Kun tak berani meneruskan perkataannya, sehingga Tui Lan segera mendesak lagi.

   "Ayolah, koko. Mengapa kau menjadi ragu-ragu lagi?" Liu Yang Kun menghela napas panjang. Kemudian dengan menguatkan hatinya pemuda itu menatap wajah gadis yang telah mampu menarik hatinya itu lekat-lekat.

   "Selain dari pada itu..., tampaknya kita memang telah diperjodohkan oleh Thian. Buktinya... buktinya.. kita berdua menjadi cocok satu sama lain. Kita saling... saling mengasihi satu sama lain. Dan lebih dari pada itu, ternyata Thian telah memberi karunia kepadaku, seorang gadis yang kebal terhadap racun! Nah, mana ada "kebetulan' yang lebih hebat dari pada itu? Oh Lan-moi...! Kukira hal ini memang telah menjadi kehendak Thian." Tui Lan tertunduk semakin dalam. Wajahnya menjadi merah seperti udang direbus. Sementara napasnya tampak memburu dan terengah-engah. Namun demikian wajah itu tampak bahagia sekali.

   "Lan-moi...! Bagaimana pendapatmu? Jawablah! Mau... maukah kau menjadi... isteriku?" Tui Lan tidak kuasa menjawab. Gadis itu hanya menatap mata Liu Yang Kun sekilas, lalu menghambur ke dalam pelukannya. Sekejap kemudian terdengar isaknya yang tertahan. Isak kebahagiaan seorang wanita. Tapi pemuda yang belum berpengaIaman itu menjadi bingung karenanya. Dipandangnya rambut kekasihnya yang halus namun berwarna dua itu dengan pandang mata bertanya-tanya. Kenapa tiba-tiba gadis itu menangis terisak-isak? Apakah gadis itu tidak menyukainya?

   "Kenapa kau malah menangis, Lan-moi? Kau... Kau tidak setuju dengan maksudku tadi?" pemuda itu mendesak dengan suara risau dan cemas. Tiba-tiba wajah gadis itu menengadah, lalu menempelkan pipinya ke pipi Liu Yang Kun. Dan tangisnya semakin menjadi-jadi. Namun bibirnya sempat berbisik di telinga kekasihnya.

   "Tidak! Tidak! Aku menangis bukan karena itu! Aku... aku... oh, koko... mengapa maksudmu itu tidak kau katakan dulu-dulu?"

   "Hah?" Liu Yang Kun tersentak kaget, sehingga gadis itu ikut terbawa berdiri.

   "Tidak dari dulu-dulu? Oh! Jadi... kau setuju, Lan-moi?" Pemuda itu tampak gembira sekali. Begitu pula dengan Tui Lan. Kedua orang itu tampak saling memandang dengan bahagia sekali. Lalu, entah siapa yang memulai dahulu, tiba-tiba saja mereka telah saling berciuman dengan mesranya. Namun kemesraan tersebut terputus dengan mendadak pula, ketika secara tiba-tiba Liu Yang Kun bergegas melepaskan diri dengan tubuh bergetaran! Mata pemuda itu tampak melotot kemerah-merahan, sementara badannya semakin tampak menggigil seperti sedang menahan sakit yang amat sangat. Tentu saja Tui Lan menjadi kaget sekali.

   "Koko...? Kau... kau kenapakah?" pekiknya ketakutan. Tapi pemuda itu tidak menjawab. Sebaliknya dia segera berlari ke tempat dimana dia menaruh rantai borgol tadi. Dengan amat tergesa-gesa pemuda itu segera memasang borgolnya.

   "Tui Lan...! Cepat pergi dari sini! Cepaaaaat...! Penyakitku, penyakitku... aaaarrrgh!??" pemuda itu berteriak sekuat-kuatnya. Namun belum juga habis perkataannya, pemuda itu sudah menggeram keras sekali. Matanya tiba-tiba membalik. Dan sekejap kemudian sikapnya telah berubah menjadi buas! Sambil meronta-ronta ia berusaha menggapai-gapai ke arah Tui Lan. Tui Lan semakin ketakutan. Dengan demikian gadis itu justru tidak kuasa beranjak dari tempatnya malah! Saking ngerinya gadis itu malah jatuh terduduk di atas tanah. Bersimpuh dengan tubuh menggigil!

   Pemuda itu terus meronta-ronta, seperti seekor singa kelaparan yang ingin lepas dari rantai pengikatnya. Sambil sekali sekali meraung dan menggeram dengan buasnya, pemuda itu berusaha meloloskan diri dari borgolnya. Dan apa yang dilihat oleh Tui Lan benar-benar sangat mengerikan! Mata gadis itu terbeliak ketakutan, sementara aliran darahnya seolah-olah membeku dan berhenti mengalir! Mula-mula tampak oleh gadis itu tangan Liu Yang Kun memanjang beberapa jengkal jauhnya. Tapi ketika tangan itu tidak dapat juga menggapai dirinya, lengan tersebut segera mengerut kembali dengan cepatnya. Dan entah bagaimana caranya, selain mengerut lengan itu juga mengecil bentuknya, sehingga ketika pemuda itu meronta sekali lagi, tangan itu otomatis terlepas dari borgolnya.

   Begitu juga halnya dengan lengan dan kedua kakinya yang lain. Satu persatu mereka terlepas dari cengkeraman borgol besi itu. Sehingga akhirnya tinggal bagian lehernya saja yang tidak bisa lepas. Bagaimanapun juga leher itu memanjang dan memendek, tapi tempurung kepala itu tetap tak bisa mengerut atau mengecil. Karena pemuda itu masih tetap saja meronta dan membelot sekuatnya, maka otomatis borgol yang melilit lehernya itu seperti mencekik dirinya. Mukanya menggembung merah padam. Matanya melotot merah. Sementara mulutnya terbuka lebar dengan lidah yang menjulur keluar. Tui Lan yang semula ketakutan itu tiba-tiba menjadi khawatir akan keselamatan Liu Yang Kun. Gadis itu menjadi cemas, jangan-jangan kekasihnya itu akan mati tercekik oleh ulahnya sendiri.

   "Koko...! Hentikan! Jangan memaksa untuk melepaskan diri! Kau... kau bisa tercekik!" gadis itu memekik seraya bangun berdiri. Tak terasa gadis itu melangkah maju, lalu berhenti lagi.

   "Ekkkkkh...! Ekhhhhk...!" Tapi melihat mangsanya datang semakin dekat, maka Liu Yang Kun justru menjadi semakin buas malah! Pemuda itu meronta dan meraung-raung semakin keras. Darah mulai menetes dari luka-luka di lehernya, namun tak dirasakan oleh pemuda itu. Justru Tui Lanlah yang menjadi bertambah khawatir.

   "Koko...? Tahannnn...!?" pekiknya dengan suara serak. Otomatis kakinya melangkah maju lagi. Tiba-tiba kedua lengan Liu Yang Kun yang bebas itu meluncur ke depan dengan cepatnya. Kedua-duanya memanjang hampir dua kali lipat panjangnya, sehingga ujung baju Tui Lan hampir tersambar karenanya. Tui Lan berdesah kaget. Otomatis lengannya menangkis dengan kekuatan penuh, sehingga tenaga sakti Pat-hong-sinkang yang berada di dalam tubuhnya ikut keluar pula dengan dahsyatnya.

   "Plaaak! Breeeees!" Terdengar suara letupan yang keras dan nyaring seperti dua batang besi baja yang saling berbenturan di udara. Tui Lan mengeluh. Tubuhnya terpelanting ke tanah dengan kuatnya. Kemudian menggelinding semakin mendekati Liu Yang Kun malah! Liu Yang Kun yang telah menjadi 'buas' itu tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut.

   Sambil meraung keras ia menubruk Tui Lan yang sudah tak berdaya itu. Namun di dalam kekalutan dan ketakutannya, ternyata Tui Lan tidak melupakan Bu-eng Hwe-tengnya. Ketika kaki kanannya menjejak batu karang yang menonjol di dekat kakinya, maka tubuhnya segera meluncur ke samping dengan cepatnya. Tapi gerakan Liu Yang Kun ternyata juga tidak kalah cepatnya. Di dalam keadaan tidak sadarnya itu tampaknya Liu Yang Kun selalu berada di puncak kemampuannya. Buktinya Tui Lan yang sudah menyalurkan seluruh tenaga sakti Pat-hong-sinkangnya tadi ternyata juga tak mampu membentur lengan pemuda itu. Dan sekarang, meskipun ia juga telah mengerahkan Bu-eng Hwe-teng pula, ternyata juga tetap tak bisa menghindar sepenuhnya dari sergapan pemuda tersebut.

   "Brrrrrt!" Terdengar suara kain sobek yang keras sekali ketika kesepuluh jari-jari tangan Liu Yang Kun yang kokoh kuat itu sempat menyambar kain celana dan sebagian ujung baju Tui Lan! Gadis itu menjerit sekeras-kerasnya! Kemudian berguling-guling dan mendekam di tanah dengan air muka pucat pasi! Seluruh bagian tubuhnya, dari pinggang ke bawah, kini telanjang sama sekali! Malahan di bagian pinggulnya yang membusung itu tampak bekas guratan kesepuluh jari tangan Liu Yang Kun dengan amat jelasnya. Merah dan sedikit berdarah! Dan saking takutnya, gadis itu tiba-tiba seperti tidak mempunyai tenaga lagi. Dengan mata terbelalak tubuhnya menjadi lemah lunglai, seperti seekor kelinci kecil yang telah berada di depan mulut harimau. Lemas dan pasrah!

   Dan kejadian selanjutnya ia tak tahu lagi, karena la lalu pingsan begitu Liu Yang Kun menerkam dirinya! Tui Lan baru sadar kembali ketika ia merasakan tubuhnya diguncang keras oleh seseorang. Dan ketika gadis itu membukakan matanya, la melihat Liu Yang Kun menangis menggerung-gerung sambil memeluk dan mengguncang-guncang tubuhnya. Tui Lan merasakan badannya sakit semua, tubuhnya sangat lemas, sehingga ia tak lekas-lekas bangkit untuk menemui Liu Yang Kun. Ia sadar bahwa semua yang ditakutkannya itu telah terjadi. Tapi sedikitpun ia tak menyalahkan kekasihnya. Itu semua terjadi karena diluar kesadaran Liu Yang Kun. Pemuda itu sendiri sangat menderita karena penyakitnya tersebut.

   "Koko..." bisiknya lemah, tapi sudah cukup keras untuk menyadarkan Liu Yang Kun.

   "Hah? Lan-moi...?" pemuda itu berseru kaget dan tangisnya seketika berhenti. Dan begitu melihat Tui Lan yang disangkanya telah mati itu benar-benar bergerak dan membuka matanya, serentak mulutnya berteriak kegirangan. Begitu girangnya dia sehingga tubuh Tui Lan yang masih lemah itu di angkat dan didekapnya sambil berputar-putar.

   "Oh, kekasihku...! Kau masih hidup! Oooh, terima kasih Thian...!" teriaknya seperti orang tidak waras.

   "Koko...!" panggil Tui Lan.

   "Yaa...?" tiba-tiba pemuda itu berhenti berputar dan menjawab. Kemudian seperti orang yang baru sadar dari mabuknya ia menurunkan kembali tubuh Tui Lan dengan tersipu-sipu.

   "Maafkanlah aku, Lan-moi. Maafkanlah..." ucapnya berulang-ulang. Tapi keduanya segera terpekik kaget begitu menyadari bahwa mereka berdua ternyata tidak berpakaian sama sekali! Masing-masing cepat memalingkan mukanya. Dan mereka segera melihat cabikan-cabikan kain yang bertebaran di sekeliling mereka. Tampaknya di dalam ketidaksadarannya tadi Liu Yang Kun telah merobek-robek seluruh pakaian yang mereka kenakan. Tak bisa diceritakan bagaimana perasaan Liu Yang Kun pada saat itu. Perasaan bersalah, malu, kotor dan rendah diri memenuhi dada pemuda itu. Kini kekasihnya itu benar-benar menyaksikan sendiri bagaimana jahat dan biadabnya dia. Bagaimana kotor dan tidak berharganya orang seperti dirinya.

   "Lan-moi, maafkanlah...! Seperti itulah aku ini. Kotor, jahat. Dan tidak layak untuk disejajarkan dengan bidadari semacam kau..." Liu Yang Kun merintih, lalu jatuh terduduk sambil menutupi mukanya. Tui Lan berpaling dengan cepat. Tiba-tiba gadis itu seperti tersentuh hatinya mendengar keluh kesah pemuda itu. Gadis itu seperti merasakan pula penderitaan batin kekasihnya itu. Sehingga tanpa terasa kakinya melangkah mendekati. Kemudian duduk berjongkok di belakang pemuda itu.

   "Koko...!" bisiknya perlahan di telinga pemuda itu.

   "Kau tidak bersalah. Aku tidak menganggapmu rendah dan kotor. Sebaliknya aku merasakan bahwa sebenarnya kau adalah seorang lelaki yang mulia. Hanya nasibmu saja yang agak kurang baik..." Liu Yang Kun berbalik dengan cepat. Dan keduanya segera saling memandang dengan tatapan mata dalam, seolah-olah ingin saling menjajaki dan saling menjenguk isi hati masing-masing. Sama sekali mereka tidak memikirkan lagi bahwa mereka tidak berpakaian.

   "Lan-moi...!" akhirnya Liu Yang Kun berdesah lebih dahulu.

   "Kau tidak membenci aku? Kau dapat memaafkan aku?" Tui Lan tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

   "Tidak! Aku tidak membencimu! Aku justru menaruh kasihan dan menyayangimu. Kau patut diselamatkan. Dan aku bersedia berkorban apa saja demi keselamatanmu," katanya penuh perasaan. Liu Yang Kun terbelalak tak percaya. Sekejap pemuda itu seakan-akan terangkat ke awang-awang. Dan ucapan Tui Lan itu seolah-olah suara nyanyian bidadari yang amat terdengar merdu di teIinganya.

   "Benarkah pernyataanmu itu, Lan-moi? Oh, betapa mulianya hatimu." Liu Yang Kun berbisik dengan penuh perasaan pula.

   "Dengarlah. Lan-moi... Berulang kali aku mengalami peristiwa seperti tadi, tapi baru sekarang ini aku merasa sangat berputus asa dan sangat menderita sekali. Rasa-rasanya aku juga tak ingin hidup lagi bila seandainya kau tadi benar-benar meninggal karena racunku."

   Kini giliran Tui Lan yang seolah-olah terbang ke awang-awang. Matanya terpejam rapat, seakan-akan sedang menikmati alunan suara kekasihnya yang sangat membahagiakan hatinya itu. Oleh karena itu ia tidak menolak ketika sekali lagi pemuda itu mendekapnya dengan kencang... Udara di dalam gua itu terasa panas dan pengap, sehingga kedua orang kekasih yang sedang dimabuk cinta itu merasa sangat kegerahan. Peluh tampak mengalir di sekujur badan mereka. Namun demikian mereka berdua kelihatan berbahagia sekali. Liu Yang Kun duduk bersandar di sebuah batu karang, sementara Tui Lan tampak menggelendot manja di dadanya.

   "Koko...! Kita harus wajib mengadakan upacara perkawinan, meskipun sangat sederhana sekalipun, agar kita lepas dari perasaan berdosa dan kotor di dalam batin kita. Keadaan memang tidak memungkinkan kita mengadakan peralatan upacara yang lengkap seperti lazimnya adat-istiadat leluhur kita. Tapi biarpun amat sangat sederhana, kukira hikmahnya juga sama saja. Yang penting adalah tekad kita yang tulus di depan Thian..."

   "Bagus, Lan-moi. Aku memang sedang memikirkan hal itu pula. Hmm, kalau begitu... marilah kita laksanakan saja sekarang! Kita anggap batu karang ini sebagai meja sembahyang, sedangkan obor-obor yang kau bawa itu sebagai dupa dan lilinnya. Marilah!"

   "Telanjang bulat begini?" Tui Lan memotong dengan agak malu-malu.

   "Apa boleh buat. Kita tidak mempunyai pakaian lagi. Biar saja sebelum diketemukan bahan pakaian, nenek moyang kita dulu juga tidak mengenakan apa-apa ketika mengadakan upacara perkawinan." Liu Yang Kun membela diri.

   "Kau ngawur! Zaman dulu tidak ada upacara perkawinan malah! Asal mereka saling suka sama suka. maka merekapun langsung hidup bersama."

   "Siapa bilang! Baiklah! Kalau begitu marilah kita lekas-lekas melaksanakannya. Setelah itu kita terus kembali ke seberang." Tui Lan mengalah. Liu Yang Kun tersenyum, kemudian memeluk tubuh Tui Lan.

   "Maafkanlah aku, Lan-moi." katanya pelan.

   Demikianlah, meskipun dengan peralatan yang amat sederhana, sepasang kekasih itu lalu mengadakan upacara perkawinan mereka sendiri. Mereka bersumpah dan mengucapkan janji bersama-sama, untuk saling mengikatkan diri menjadi suami-isteri selama-lamanya. Mereka juga akan berusaha untuk saling menyayangi jodoh mereka itu apapun yang terjadi. Selesai mengadakan upacara mereka lalu bersiap-siap untuk kembali ke seberang lagi. Karena ilmu yang mereka gunakan berbeda, maka cara yang mereka tempuhpun juga berlainan. Liu Yang Kun yang mahir pek-houw-ciang itu merayap melalui langit-langit gua, sedangkan Tui Lan yang pandai Bu-eng Hwe-teng itu kembali mempergunakan kantong kulit untuk berloncatan di atas permukaan sungai. Dan ternyata Tui Lan lebih dahulu mencapai seberang dari pada suaminya.

   "Bukan main! Ilmu Mengentengkan Tubuhmu sekarang jauh lebih hebat dari aku." Liu Yang Kun memuji.

   "Mulai sekarang kaupun juga bisa mempelajarinya pula. Hmm, marilah kita melihat buku Im-Yang Tok-keng itu...!"

   "Hei! Aku sekarang boleh ikut ke kamarmu?" Liu Yang Kun menggoda.

   "Kau gila!" Tui Lan mengomel dengan muka bersemu merah.

   "Justru mulai sekarang kalau kau tidak tidur di kamarku tentu akan kudamprat habis-habisan!"

   "Wah! Kalau begitu punya isteri itu repot juga, ya?" Liu Yang Kun pura-pura bersungut-sungut sambil menggaruk garuk kepalanya. Namun mulutnya tampak bersenyum-simpul bahagia sekali. Tui Lan tidak menjawab. Gadis itu hanya melirik saja sambil mencibirkan bibirnya, lalu bergegas melangkah menuju ke 'kamarnya'. Pinggul yang bulat penuh tanpa penutup kain barang sesobekpun itu tampak menari-nari bila dilihat dari belakang, sehingga Liu Yang Kun cepat-cepat membuang muka karenanya. Tui Lan lalu memperlihatkan semua buku-bukunya. Tapi Liu Yang Kun hanya mengambil buku Im-Yang Tok-keng saja. Pemuda itu buru-buru membolak-balik halamannya. Dicarinya keterangan yang kira-kira memuat petunjuk tentang penyakitnya. Namun sampai lelah ia membolak balik isi buku itu ia tetap tidak menemukan keterangan itu.

   "Ah, buku ini sama sekali tidak membahas tentang pengaruh racun terhadap orang yang selalu bermain-main atau menyimpan racun di dalam tubuhnya. Buku ini Cuma berisi tentang aneka macam racun di dunia ini, beserta cara membuat dan memperolehnya. Juga cara melawan dan mengatasinya..." pemuda itu berkata kecewa. Tui Lan cepai merangkul pundak suaminya.

   "Sudahlah, koko. Kau tak perlu bersedih karenanya. Di tempat ini, beracun atau tidak beracun sama saja bagimu. Tak ada orang lain yang perlu kautakutkan akan terkena racunmu. Yang ada hanya aku. Padahal racunmu tidak berpengaruh apa-apa terhadapku. Apa lagi...?" hiburnya. Liu Yang Kun menatap wajah Tui Lan yang cantik itu. Tiba-tiba bibirnya tersenyum kembali. Sambil balas merangkul pemuda itu berkata,

   "Kau benar, Lan-moi. Terima kasih..." Maka hari-hari selanjutnya sepasang pengantin baru itu lalu melewatkan masa-masa bulan madu mereka seperti layaknya para pengantin baru yang lain. Meskipun berada di tempat yang gelap di dalam gua di bawah tanah, namun hal itu tidak mengurangi kegembiraan dan kebahagiaan mereka berdua. Mereka tekun berlatih silat dan mempelajari buku-buku peninggalan Bit-bo-ong almarhum.

   Malah untuk merintang-rintang waktu mereka juga membaca-baca pula buku Im-Yang Tok-keng milik Giok-bin Tok-ong itu. Demikianlah enam bulanpun sudah berlalu pula sehingga kalau dihitung mereka berdua telah satu tahun berada di dalam gua itu. Liu Yang Kun telah menyelesaikan ketiga buah buku peninggalan Bit-bo-ong itu dan tinggal menyempurnakannya saja. Sementara itu Tui Lan baru menyelesaikan dua buah buku saja, yaitu Bu-eng Hwe-teng dan Pat-hong Sin-ciang, meskipun sebenarnya Liu Yang Kun juga sudah berusaha mati-matian membantunya. Pada suatu hari, setelah seharian mereka berlatih silat, mereka duduk-duduk melepaskan lelah di tepian sungai sambil omong-omong. Mereka berbincang tentang segala macam hal. Tentang ilmu silat. Tentang nasib mereka besok. Dan yang terakhir mereka berbincang tentang penyakit Liu Yang Kun.

   "Koko...! Kulihat kau sekarang tidak pernah kambuh 'mimpi berjalan' lagi. Tidurmu sangat nyenyak... Tampaknya penyakitmu itu memang sudah hilang sekarang." Tapi Liu Yang Kun segera menggeleng.

   "Tidak, moi-moi. Penyakitku belum hilang. Jikalau selama ini tak pernah muncul lagi, hal itu disebabkan karena sudah ada penyalurannya. Aku tak pernah mengekangnya lagi, apalagi sampai menumpuknya. Hmmmh...! Aku masih merasa khawatir.Tetapi asalkan kau masih tetap berada di sampingku, penyakit itu juga akan tetap bisa dijinakkan." Tui Lan tersenyum.

   "Koko, kau ini ada-ada saja. Di tempat sempit seperti ini, mau kemana lagi aku kalau tidak berada di sampingmu?" Mereka berpandangan dengan mesra.

   "Siapa tahu kau meninggalkanku kelak?" Liu Yang Kun bergurau. Namun Tui Lan tidak melayani gurauan suaminya itu. Tiba-tiba saja ia menarik napas panjang. Kepalanya tertunduk. Matanya tampak meredup sayu, sehingga suaminya menjadi kaget melihatnya.

   "Itu terbalik, koko. Seharusnya akulah yang mengatakannya. Bukan kau," akhirnya Tui Lan berdesah perlahan.

   "Kau? Apa maksudmu, moi-moi?" Liu Yang Kun bertanya bingung. Tui Lan mengangkat wajahnya. Ditatapnya wajah suaminya itu dengan tajamnya. Lalu katanya pelan,

   "Bukan aku yang akan meninggalkanmu. Itu terbalik. Kaulah kelak yang akan meninggalkanku." Tiba-tiba Liu Yang Kun tertawa.

   "Ah, kukira apa...ha-ha-ha! Ternyata cuma soal itu. Wah, moi-moi... aku tadi cuma bergurau saja. Aku tidak bersungguh-sungguh. Mengapa kau masukkan ke dalam hati?"

   "Tentu saja aku memasukkannya ke dalam hati, koko. Sebab aku sangat mencintaimu. Tapi sebaliknya, aku kurang yakin bahwa kau mencintaiku." Tui Lan menjawab dengan suara bersungguh-sungguh.

   "Hei! Kenapa kau ini?" Liu Yang Kun bertanya semakin tak mengerti. Dahinya berkerut. Sekali lagi Tui Lan menatap wajah suaminya lekat-lekat.

   "Koko...! Cobalah kau jawab dengan jujur! Siapakah Souw Lian Cu yang selalu kau sebut-sebut di dalam mimpimu itu." Bukan main terperanjatnya Liu Yang Kun! Air mukanya seketika menjadi pucat! Mulutnya terbuka, tapi tak sepatah katapun suara yang keluar. Kalau akhirnya keluar juga, maka suara itu tak lebih seperti suara orang kaget yang gelagapan tiada artinya.

   "Lan-moi! Kau... ini... itu... apa? Oh!" Tapi dengan tenang Tui Lan memeluk suaminya. Tampaknya ia menjadi kasihan melihat keadaan Liu Yang Kun itu. Meskipun demikian ia tidak mengurangi kesungguhannya ketika menghibur lelaki itu.

   "Koko...! Kau tidak perlu khawatir. Aku tidak apa-apa. Aku tidak merasa tersinggung mendengar nama yang selalu kau sebut dengan suara mesra di dalam mimpimu itu. Dan aku juga tidak akan marah kepadamu. Aku terlalu mencintaimu. Aku sudah merasa sangat berbahagia dapat mendampingimu. Kau pilih menjadi isterimu..." Tui Lan berhenti sebentar untuk mengambil napas. Lalu sambungnya lagi,

   "Sejak semula sudah kusadari bahwa lelaki hebat seperti kau tentu banyak pengagumnya. Maka aku takkan heran jika sebelumnya kau teIah mempunyai seorang calon ataupun seorang... isteri malah." Tui Lan mencium pipi Liu Yang Kun.

   "Malahan sudah lama aku bersiap sedia pula, bila pada suatu saat kelak kau akan mengatakan kepadaku, bahwa perkawinanmu denganku ini hanya karena terpaksa. Karena tiada wanita lain di dalam lorong gua ini..." bisiknya lagi dengan suara serak.

   "Moi-moi!" Liu Yang Kun berseru seraya menutup bibir Tui Lan dengan jari-jari tangannya. Sekejap Liu Yang Kun memandang tak senang ke arah isterinya. Tapi serentak melihat air mata yang mengalir membasahi pipi Tui Lan, hatinya segera tersentuh. Tiba-tiba pemuda itu memeluk isterinya.

   "Lan-moi, maafkanlah aku, maafkanlah suamimu ini... Aku tak sengaja menyakiti hatimu. Tak seharusnya aku menyimpan masa laluku itu kepadamu. Tapi... kau jangan salah sangka tentang hal itu. Aku benar-benar mencintaimu. Kau jangan menyiksa diri seperti itu. Baiklah...Untuk terangnya, biarlah kuceritakan saja tentang gadis itu..." bisiknya dengan suara serak pula kepada isterinya. Lalu mulailah Liu Yang Kun menceritakan masa lalunya. Malah tidak hanya hubungannya dengan Souw Lian Cu saja tapi hubungannya dengan Tiauw Li Ing pula.

   "Aku melihatnya pertama kali di dusun Hi-san-cung lebih kurang lima tahun yang lalu. Saat itu dia sedang sibuk menolong para pengungsi yang luka-luka akibat gempa bumi besar itu. Entah mengapa tiba-tiba saja aku tertarik kepadanya. Mungkin aku sangat terkesan akan pengorbanannya atau pengabdiannya terhadap rakyat yang lagi menderita. Atau mungkin juga karena wajahnya yang ayu namun ternyata lengannya buntung sebelah itu..."

   "Lengannya buntung sebelah?" Tui Lan menyela dengan kaget. Liu Yang Kun mengangguk.

   "Tapi sungguh tak kusangka wataknya sangat kaku dan mudah tersinggung. Ketika terjadi bentrokan antara para anggota Kim liong Piauw-kiok dan Tat-tung Kai-pang di tempat itu, aku dan dia berselisih. Aku membantu Kim-liong Piauw-kiok, sedangkan dia membantu para pengemis dari Tiat-tung Kai-pang itu. Sebenarnya aku tak ingin berselisih dengannya. Tapi keadaan pada saat itu telah membuat jurang pemisah di antara kami berdua, sehingga maksudku untuk berkenalan dengan dia menjadi gagal karenanya. Kami berpisah dengan memendam perasaan tidak enak di hati masing-masing." Liu Yang Kun menghentikan ceritanya dan mengawasi isterinya untuk beberapa lamanya. Melihat kesungguhan wanita itu dalam mendengarkan kisahnya, maka ia segera melanjutkannya lagi.

   "Kami bertemu lagi di kuil Delapan Dewa beberapa hari kemudian. Dia dirawat di kuil itu karena luka-lukanya ketika bertempur dengan orang-orang Aliran Mo-kauw. Ternyata dia masih mendendam kepadaku, sehingga apa yang kukerjakan selalu tidak berkenan di hatinya. Akibatnya aku lalu menjadi salah tingkah. Perselisihan semakin meruncing, sementara hatiku menjadi semakin tertarik kepadanya. Akhirnya kami berpisah lagi tanpa ada kesempatan untuk saling mengenal diri kami masing-masing..."

   "Lalu...?" Tui Lan mendesak tak sabar. Liu Yang Kun menarik napas panjang.

   "Lama sekali kami tak berjumpa. Sementara itu aku mendapat kenalan baru, yaitu Tiauw Li Ing. Dia puteri Tung-hai-tiauw, raja bajak laut dari Lautan Timur. Gadis itu lebih berani, ramah dan suka berterus terang. Sebentar saja kami telah menjadi akrab satu sama lain. Namun di dalam hatiku diam-diam aku tak menyukai kekejaman dan kecongkakannya. Maka ketika dia kelihatan mulai mendesakku, aku segera menghindar. Aku masih tetap penasaran kepada gadis buntung yang amat membenci aku itu..." Liu Yang Kun berhenti lagi. Tapi hanya sebentar saja. Di lain saat ia telah meneruskan lagi ceritanya.

   "Pertemuan kami yang ketiga adalah di muara Sungai Huang-ho. Saat itu dia datang bersama ayahnya. Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai."

   "Dia puteri pendekar besar Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai?"

   "Benar. Tapi sebelumnya aku juga tak menyangka kalau dia adalah puteri pendekar yang tersohor itu..."

   "Ooooh, lalu...?" Tui Lan mendesak.

   "Sebenarnya ayahnya itu sangat menyukai aku. Dan tampaknya beliau itu juga telah merasakan keanehan hubungan kami. Maka di dalam kesempatan tersebut beliau ingin mendamaikan dan memperbaiki hubungan kami itu. Tapi entah mengapa, gadis itu tetap keras kepala dan masih kelihatan sangat membenci aku. Maksud baik ayahnya itu ditentangnya dengan keras. Meskipun dia mau melaksanakan perintah ayahnya untuk meminta maaf kepadaku, tapi selanjutnya dengan menahan air mata dia lari meninggalkan aku dan ayahnya. Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai segera mengejarnya, tapi aku tidak."

   "Mengapa tidak? Ah! Kau keliru, koko..." Tui Lan menyela dengan cepat. Liu Yang Kun menatap wajah Tui Lan dengan kening berkerut.

   "Hei! Mengapa aku keliru?" tanyanya heran. Tui Lan menghela napas.

   "Kau memang bodoh dalam hal ini. Namun apa boleh buat, semuanya telah lewat. Tak perlu disesali lagi. Memang begitulah agaknya kehendak Thian. Nah, koko teruskan saja ceritamu! Mengapa kau tidak ikut mengejarnya?"

   "Hei! Nanti dulu! Kau belum menerangkan, kenapa aku mesti keliru?" Liu Yang Kun berkata penasaran.

   "Ah, kau ini...! Teruskan dulu ceritamu, nanti aku terangkan!" Liu Yang Kun memandang isterinya dengan agak ragu, tapi beberapa saat kemudian sambil menghembuskan napasnya yang berat ia mengalah.

   "Baiklah! Aku tidak ikut mengejar Souw Lian Cu karena pada waktu itu aku sudah sadar akan keadaan tubuhku yang tidak normal ini. Dengan keadaan tubuhku yang sangat beracun ini tak mungkin aku bisa mencintai dia. Itu sama saja dengan membunuhnya. Oleh karena itu, apa gunanya aku mengejar-ngejarnya? Kebenciannya yang amat sangat kepadaku itu justru kuanggap sangat kebetulan malah."

   "Tapi di dalam hati kau sebenarnya masih sangat mengharapkannya, bukan?" Liu Yang Kun cepat memandang isterinya, namun segera tertunduk kembali. Pandang mata Tui Lan seolah-olah menembus ke dalam hatinya.

   "Ayoh, jawablah dengan jujur, koko...! Benar, bukan?" Tui Lan mendesak lagi.

   Liu Yang Kun terpaksa mengangguk.

   "Maafkanlah aku, moi-moi!" katanya lirih. Tui Lan tersenyum.

   "Sudah kukatakan, aku tidak apa-apa. Jangan khawatir! Lalu bagaimana selanjutnya?" Liu Yang Kun menelan ludah. Lalu lanjutnya,

   "...Pertemuan kami yang terakhir atau yang keempat adalah di dekat Pulau Meng-to. Saat itu aku bermaksud ke Pulau Meng-to untuk mencari Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai. Aku ingin mengembalikan buku-buku Bit-bo-ong yang sekarang kau bawa itu kepada Hong-Gi-Hiap Souw Thian Hai, sesuai dengan pesan... Hek-eng-cu. Tapi di tengah laut perahuku telah berpapasan dengan perahu majikan Pulau Meng-to, Keh sim Siau-hiap. Malahan Hong-Gi-Hiap Souw dan Souw Lian Cu berada di atas perahu besar itu pula. Oleh karena itu aku lalu naik ke atas perahu mereka untuk menyerahkan buku-buku itu. Sebenarnya aku tak ingin bertatap muka dengan gadis itu. Tapi apa daya, gadis itu seolah-olah justru menghadangku malah. Aku terpaksa memandang dan menyapanya. Namun aku menjadi kaget bukan main. Aku melihat sesuatu yang aneh dalam pandang matanya. Sesuatu yang lain dari pada dulu. Dan sikapnya juga sudah sangat berbeda dengan sikapnya dahulu. Tetapi... aku menjadi ketakutan malah! Aku tak berani membayangkan, bagaimana halnya kalau gadis itu berbalik pikiran menjadi senang kepadaku. Sekejap hatiku menjadi gelisah, bingung dan cemas. Saking cemasnya aku lalu bergegas meninggalkan perahu besar itu dan cepat-cepat meluncur pergi dengan perahuku sendiri. Aku lari sejauh-jauhnya agar tidak dapat bertemu lagi dengannya..."

   Liu Yang Kun menutup ceritanya dengan kepala tertunduk dalam-dalam. Tampaknya kerut-merut di wajahnya seakan-akan masih ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Sehingga Tui Lan yang amat perasa dan amat mencintai suaminya itu menjadi kasihan melihatnya. Wanita muda itu tahu bahwa di dalam lubuk hati suaminya masih melekat rasa cinta kepada puteri pendekar besar Souw Thian Hai itu.

   "Koko, sudahlah! Kau tak perlu menyedihkannya. Kalau kau memang berjodoh dengan dia, Thian tentu akan memberikan jalannya." Tui Lan menghibur. Liu Yang Kun meremas jari tangan isterinya. Bibirnya berusaha untuk tersenyum.

   "Moi-moi. ah...! Kau jangan berpikir yang bukan-bukan! Aku sama sekali sudah tidak memikirkannya lagi. Sudah ada kau di sampingku. Kaulah jodoh yang dikirim Thian untukku..." katanya membesarkan hati isterinya. Bagaimanapun juga Tui Lan adalah seorang wanita. Dia sangat bahagia mendengar ucapan suaminya itu. Sambil menggelendot manja ia berbisik di telinga Liu Yang Kun,

   "Koko... Aku punya khabar gembira untukmu." Liu Yang Kun tersenyum, lalu mencium pipi isterinya.

   "Apa itu? Coba katakan...!" bisiknya pula. Tui Lan menatap mata suaminya. Wajahnya tampak cerah dan berbinar-binar gembira, sehingga kecantikannya semakin tampak menonjol.

   "Sebentar lagi kita tidak akan sendirian di sini..." katanya masih berteka-teki.

   "Tidak sendirian lagi? Apakah maksudmu?" Liu Yang Kun bertanya.

   'Huh kau ini bodoh benar. Sebentar lagi kita akan punya anak, tahu? Aku sudah mulai hamil sekarang." Tui Lan menjawab kesal seolah-olah sangat marah karena Liu Yang Kun tak pernah memperhatikannya.

   "Hei! Kau sudah hamil?" Liu Yang Kun benar-benar kaget. Lalu tiba-tiba saja lengannya menyambar tubuh Tui Lan dan dibawanya berjingkrak-jingkrak saking senangnya.

   "Lan-moi...! Oh, Lan-moi...!" serunya gembira.

   "Hei! Hei! Jangan keras-keras, ayah bodoh! Kau bisa menyakiti anakmu!" Tui Lan menjerit-jerit.

   "Ah, ya... ya... benar! Benar? Sungguh bodoh benar aku! Hehe... aku memang benar-benar ayah yang bodoh seperti katamu, heheho..." Liu Yang Kun berseru kaget, kemudian dengan sangat hati-hati menurunkan tubuh Tui Lan.

   "Huh! Kau memang sangat bodoh. Kalau kau pandai tentu tidak akan terjadi kesalah-pahaman yang berlarut-larut dalam hubunganmu dengan Souw Lian Cu itu." Tui Lan mengomel serta mencubit lengan suaminya.

   "Kalau aku pandai...?" Liu Yang Kun termangu-mangu tak mengerti.

   "Ya! Kalau kau pandai, seharusnya kau ikut pula mengejar Souw Lian Cu ketika dia lari meninggalkanmu itu." Tui Lan tegas.

   "Mengapa begitu?" Liu Yang Kun mendesak.

   "Sudahlah! Kau memang tidak mengerti hati perempuan..." potong isterinya sambil melangkah pergi meninggalkannya. Liu Yang Kun terlongong-longong saja di tempatnya mengawasi kepergian isterinya. Dia tetap tidak mengerti apa yang dikatakan isterinya itu. Maka sambil mengangkat pundaknya ia berjalan mengikuti langkah Tui Lan. Namun demikian ia sangat gembira dengan berita kehamilan isterinya itu. Demikianlah, dengan kehamilan Tui Lan itu hubungan mereka menjadi semakin mesra dan bersemangat.

   Setiap saat selalu mereka pergunakan untuk bercinta dan bergembira bersama. Namun demikian mereka juga tidak lupa untuk memperdalam ilmu silat yang mereka pelajari. Dan karena buku-buku yang dibawa oleh Tui Lan itu sudah habis dipelajari Liu Yang Kun, maka menjadi tugas pemuda itu untuk ganti membimbing dan mengajari isterinya. Dan kini tinggal Kim liong Sin-kun saja yang harus dipelajari oleh Tui Lan. Yang lain tinggal menyempurnakannya. Maka tanpa mereka sadari sendiri kepandaian mereka sekarang benar-benar melonjak dengan hebatnya. Kepandaian Tui Lan sekarang telah jauh meninggalkan gurunya, sementara kepandaian Liu Yang Kun yang sudah amat hebat itu menjadi semakin dahsyat pula. Demikian tinggi tenaga dalam mereka sehingga mereka tidak membutuhkan obor lagi untuk me lihat di dalam kegelapan itu.

   
Memburu Iblis Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Mereka hanya mempergunakan obor itu untuk membakar ikan. Dan sekarang enak saja bagi mereka untuk berjalan-jalan di atas sungai dengan kantong kulit itu. Malah kadang-kadang mereka menyeberang dengan bergendongan. Meskipun demikian, dengan semakin terlihatnya kandungan Tui Lan, ternyata semakin sering pula Liu Yang Kun termenung sendirian. Kadang-kadang suami muda itu kelihatan termangu-mangu di pinggir sungai berjam-jam lamanya tanpa bergerak. Matanya memandang ke dalam air yang mengalir deras itu tanpa berkedip. Tentu saja kelakuannya itu lambat laun diketahui pula oleh isterinya. Dan ketika pada suatu hari dilihatnya lagi suaminya itu di pinggir sungai, Tui Lan segera datang menghampiri. Dengan sangat hati-hati Tui Lan menepuk pundak suaminya.

   "Koko...! Sudah beberapa hari ini kulihat kau selalu termenung di tepi sungai. Apakah sebenarnya yang sedang kaupikirkan?" tanyanya halus. Liu Yang Kun menarik napas dalam-dalam. Sambil menarik tubuh Tui Lan ke atas pangkuannya ia berkata,

   "Moi-moi...! Dengan semakin besarnya perutmu, aku menjadi semakin mengkhawatirkan nasib anak kita itu pula. Apa jadinya dia kelak kalau hidupnya selalu berada di tempat yang sunyi dan gelap seperti ini? Siapa pula temannya bila suatu saat kita pergi mendahuluinya? Dapatkah ia hidup normal seperti layaknya manusia kalau yang ia kenal hanya kita berdua? Oh..." Ternyata Tui Lan dapat merasakan juga keluh kesah suaminya itu. Memang bisa dibayangkan, betapa sengsaranya anak itu kelak kalau harus hidup seorang diri di tempat itu.

   "Lalu... apa yang harus kita kerjakan, koko?" tiba-tiba Tui Lan menjadi sedih juga. Liu Yang Kun menundukkan mukanya. Diciumnya isterinya, lalu dirabanya perut yang mulai tampak membusung itu.

   "Kita harus berusaha sekuat tenaga untuk keluar dari tempat ini sebelum dia lahir," jawabnya tegas dan mantap.

   "Ya. Tapi bagaimana caranya?" Tui Lan bertanya dengan suara hampa dan berputus asa.

   "Itulah yang kupikirkan selama ini. Dan aku telah menemukannya, meskipun aku juga belum bisa memastikan keberhasilannya."

   "Katakanlah, koko!"

   "Aliran sungai ini tentu bermuara ke laut pula. Oleh karena itu kalau kita bisa menyusurinya sampai ke muara, maka kita tentu akan bisa keluar pula dari dalam tanah ini. Yang menjadi persoalan kita sekarang hanyalah berani atau tidak kita mencobanya?" Liu Yang Kun mengemukakan pendapatnya. Tui Lan terdiam. Matanya terpejam sedangkan dahinya tampak berkerut. Tapi beberapa waktu kemudian matanya telah terbuka kembali. Dan mata itu menatap wajah suaminya dengan sinar mata pasrah.

   "Koko, aku adalah isterimu. Dan kau adalah suamiku, sekaligus pemimpin serta kepala rumah tangga kita. Apapun yang menjadi keputusanmu, aku beserta anak-anakmu tentu akan melaksanakannya. Nah, katakanlah! Bagaimana menurut pendapatmu?" Liu Yang Kun sungguh terharu mendengar ucapan isterinya. Maka sambil memeluk wanita itu ia berkata,

   "Terima kasih, moi-moi. Kau memang baik sekali. Tidak salah aku memilihmu. Sekarang dengarlah pendapatku! Dan kau boleh menyanggahnya bila kurang setuju..."

   "Silakanlah. koko!"

   "Begini, moi-moi... Setelah berhari-hari kurenungkan dan kupikirkan rasanya kita memang harus berani menyusuri aliran sungai ini! Apapun yang akan terjadi nanti. Dan hal itu harus kita lakukan sebelum kandunganmu itu menjadi besar atau sebelum anak itu lahir kelak. Sebab kita tidak akan bisa melaksanakannya lagi bila perutmu sudah menjadi besar atau bayi itu sudah lahir." Liu Yang Kun berhenti sejenak untuk me lihat pengaruh ucapannya itu. Melihat isterinya diam saja tak bersuara ia segera melanjutkan kata-katanya.

   "Pertimbanganku begini... Kalau dipikirkan betul-betul, kita sekarang ini sebenarnya sudah mati dan tak berguna lagi. Dengan terkuburnya kita berdua di tempat ini, boleh dikatakan kita ini tinggal menantikan saat saat kematian kita saja. Lain tidak. Oleh karena itu, mengapa kita tidak mencoba segala cara untuk keluar dari tempat ini? Sekarang mati, besukpun juga mati. Lalu apa bedanya? Bukankah lebih baik kita mencoba menyusuri sungai ini saja? Syukur kita dapat berhasil. Kalau tidak, kitapun masih dapat bersyukur karena bisa mati bersama-sama..."

   "Koko, kau benar. Aku dapat memahami pendapatmu.Hatiku mendadak juga seperti terbuka sekarang. Rasa-rasanya kita ini memang hanya menantikan kematian kita saja di tempat ini. Tak bisa kubayangkan, bagaimana kalau saat kematian itu datangnya tidak bersama-sama? Oh, koko... aku takut sekali!" Tui Lan berdesah cemas sambil menutupi mukanya.

   "Jadi... kau setuju dengan pendapatku?" Liu Yang Kun mendesak tegang. Tui Lan cepat membuka tangannya dan mengangguk-angguk.

   "Lebih baik kita mati bersama dari pada harus menunggu kematian kita satu persatu." sahutnya mantap.

   "Bagus!" Liu Yang Kun berteriak lega.

   "Kalau begitu... besuk kita berangkat! Lihat kantong kulit ini! Benda ini akan sangat membantu kita nanti."

   "Maksudmu...?" Tui Lan bertanya tak mengerti. Liu Yang Kun tersenyum gembira.

   "Kita akan dipaksa untuk menyelam bila aliran sungai ini menerobos ke dalam lobang atau terowongan nanti. Nah... pada waktu itulah benda ini bermanfaat. Dia akan dapat kita gunakan sebagai alat menyimpan udara untuk menyambung napas kita nanti. Asal kita masing-masing menggigit salah satu dari kedua lobangnya itu, maka kita dapat bernapas dengan bebas di dalam air." Tui Lan menatap suaminya dengan kagum.

   "Kau sungguh cerdik sekali, koko. Tapi bagaimanapun juga udara yang tersimpan di dalam kantong itu juga terbatas. Bagaimana kalau terowongan itu panjang sekali, sehingga kita dipaksa untuk menyelam seharian penuh? Bukankah kita akan mati kehabisan napas?" tanyanya. Liu Yang Kun tertawa sambil memencet hidung isterinya.

   "Kalau demikian halnya, apa boleh buat? Kita akan mati bersama-sama. Apakah kau masih takut?" Tui Lan cepat menggelengkan kepalanya.

   "Aku tidak takut bila mati bersamamu. Aku lebih takut hidup sendirian tanpa kau..." sahutnya tegas.

   "Nah! Kalau begitu... marilah kita mempersiapkan diri. Kita harus makan sebanyak-banyaknya sebelum berangkat." Hari itu mereka sengaja tidak berlatih silat untuk menyimpan tenaga mereka. Mereka hanya duduk bersamadhi untuk mengumpulkan semangat dan tenaga sakti mereka. Keduanya benar-benar telah mempersiapkan diri untuk mencari kebebasan atau... mati! Keesokan harinya Liu Yang Kun segera mengajak isterinya berangkat. Di tangannya telah terpegang kantong kulit itu. Sementara di pinggangnya yang telanjang dan hanya tertutup oleh sesobek kain itu terikat sepasang batu api.

   "Hei? Mengapa kau masih termenung saja sejak tadi? Apakah yang kau pikirkan lagi?" ia menegur Tui Lan.

   "Bagaimana dengan buku-buku kita ini? Mereka tentu rusak bila terkena air. Bagaimanakah cara kita me lindunginya?" Tui Lan balik bertanya seraya menunjuk ke arah buku-buku. Liu Yang Kun tersenyum.

   "Ah, kau ini repot amat. Biar saja kita tinggalkan buku-buku itu di sini dari pada rusak terkena air. Siapa tahu ada orang yang datang pula ke tempat ini kelak? Dan buku itu tentu akan sangat berguna pula baginya..."

   "Tapi aku belum selesai mempelajari Kim-liong Sin-kun itu..." Tui Lan berkata dengan suara kesal.

   "Ah... kau ini ada-ada saja. Nasib kitapun belum tentu selamat, kau masih berpikir tentang ilmu silat pula. Sudahlah, mari kita berangkat! Jangan khawatir! Kalau kita selamat dan berhasil kembali ke dunia ramai, aku akan mengajarimu sampai mahir." Liu Yang Kun berjanji.

   "Baiklah..." akhirnya Tui Lan menurut. Demikianlah, mereka lalu berjalan mengikuti aliran sungai itu. Sambil melangkah Liu Yang Kun selalu berusaha membesarkan hati isterinya.

   "Rasanya terharu juga hendak meninggalkan gua yang sangat bersejarah ini." Tui Lan bergumam sedih.

   "Dasar perempuan..." Liu Yang Kun menggerutu. Akhirnya mereka sampai pula di ujung gua itu. Di tempat tersebut permukaan air bertemu dengan langit-langit gua. Dan air sungai hampir membasahi seluruh dasar gua yang semakin menyempit. Tui Lan mulai berdebar-debar, karena kakinya telah mulai terbenam di dalam air.

   "Dua hari yang lalu aku telah memeriksa tempat ini. Malah aku sudah menyelam pula ke lobang terowongan tempat air sungai ini mengalir keluar. Ternyata lobang itu tidak terlalu dalam, namun lebar sekali. Di bagian tengah, arus air sangat deras dan kuat. Sebaiknya kita menerobos sambil berpegangan pada dinding terowongan..." Liu Yang Kun menerangkan. Tui Lan terkejut. Dia tak menyangka kalau suaminya sudah menyelidiki sungai itu sampai sedemikian cermatnya. Tampaknya secara diam-diam suaminya itu telah merencanakan maksudnya tersebut sejak lama.

   "Jangan kaget!" Kata Liu Yang Kun sambil tersenyum ketika isterinya memandangnya dengan kening berkerut.

   "Aku memang telah meneliti aliran air ini sejak lama. Aku malah sudah memasuki terowongan air itu sejauh dua puluh tombak. Namun aku lantas kembali lagi karena takut kehabisan napas. Soalnya waktu itu belum terlintas di dalam pikiranku untuk menggunakan kantong kulit itu..."

   "Dua puluh tombak...?" Tui Lan berdesah tak percaya.

   "Sudah sejauh itu tetap belum ada lorong gua yang lain? Wah, bagaimana kalau sampai satu lie nanti tetap juga tak ada gua yang lain?" Ngeri juga Tui Lan membayangkannya. Menyelam di lorong air yang gelap dan deras arusnya sejauh satu lie lebih. Betapa menyeramkan!

   "Kau tak usah takut! Asal kita berhemat dengan udara di dalam kantong ini, maka dua lie atau tiga lie pun bukan masalah bagi kita. Percayalah kepadaku. Justru arus air itulah yang harus kita perhitungkan. Kau bisa berenang...?" Liu Yang Kun menenangkan hati isterinya. Tui Lan mengangguk, meskipun wajahnya masih menampilkan perasaan ngeri.

   "Masa kecilku berada di tengah-tengah kaum nelayan di pantai Teluk Po Hai. Bagaimana aku tak bisa berenang?" katanya meyakinkan dirinya.

   "Bagus! Kalau begitu tak ada yang perlu ditakutkan lagi. Marilah!" Liu Yang Kun berkata dengan suara mantap dan keras untuk menghilangkan keragu-raguan isterinya. Lalu pemuda itu mengeluarkan tali buatannya sendiri, yang dipintal dari sobekan-sobekan bekas pakaian mereka. Tali itu ia ikatkan pada pinggangnya, sementara ujungnya yang lain ia ikatkan pula pada pinggang isterinya. Kemudian kantong kulitnya ia isi dengan udara segar sebanyak-banyaknya, sehingga menggembung seperti balon karet yang amat besar. Kedua lobang yang berada di ujungnya ia ikat pula dengan sebuah tali kecil supaya tidak kempes di dalam air nanti. Kemudian sambil berpegangan tangan mereka turun ke dalam air. Mereka melangkah perlahan-lahan mengikuti arus air.

   "Kerahkan Pat-hong-sinkangmu dan tarik napas sebanyak-banyaknya, lalu keluarkan sedikit demi sedikit. Berhematlah dengnn sekuat tenagamu! Kita baru menggunakan cadangan udara di dalam kantong ini bila kita sudah sangat memerlukannya. Marilah...!" Sebelum mereka menyelam Liu Yang Kun memberi nasehat kepada isterinya. Begitu menyelam air segera menghanyutkan mereka ke lobang terowongan itu. Tapi mereka cepat mencengkeram batu-batu di dinding terowongan agar tidak terseret ke tengah. Kemudian bergantian mereka merayapi dinding terowongan itu. Meskipun keduanya telah terbiasa melihat di dalam kegelapan, namun di dalam gulungan arus air yang deras itu mereka hampir tak bisa saling melihat satu sama lain.

   Rasa-rasanya mereka berdua seperti diaduk di dalam kubangan tinta hitam yang pekat dan kental, Untunglah Liu Yang Kun telah mengikat tubuh mereka dengan tali sehingga mereka tetap tidak terpisahkan oleh gelombang air. Limabelas tombak telah mereka lalui, Tui Lan telah mulai kehabisan napas. Wanita muda itu memberi isyarat kepada suaminya bahwa dia sudah hampir tak bisa bernapas lagi. Bergegas Liu Yang Kun mendekati isterinya. Perlahan lahan tangannya membuka tali pengikat kantong kulit itu, lalu sambil menutup lobangnya dengan jarinya ia memberikan kantong itu kepada Tui Lan. Hati-hati Tui Lan memasukkan lobang itu ke dalam mulutnya, lalu bernapas dua atau tiga kali. Kemudian mengembalikannya lagi kepada Liu Yang Kun dengan hati-hati. Dadanya kembali lega dan lapang.

   Tapi sebaliknya matanya semakin terasa pedih karena terlalu lama di dalam air. Arus air makin deras dan kuat, sehingga mereka harus semakin hati hati berpegangan di dinding terowongan. Liu Yang Kun di depan, sedangkan Tui Lan di belakangnya. Berkali-kali Tui Lan hampir terpeleset dan terseret arus air. Untunglah Liu Yang Kun selalu menjaganya. Setiap wanita itu tak kuasa menjaga keseimbangannya, suaminya segera merangkulnya. Arus air memang sedemikian kuatnya sehingga berulang kali batu tempat mereka berpegang terlepas dari dinding terowongan. Terowongan itu berkelok-kelok, naik turun beberapa kali. Setiap berada di kelokan, tubuh mereka seperti dihempaskan ke dinding terowongan dengan kuatnya. Dan berkali-kali pula Liu Yang Kun harus melindungi isterinya dari keganasan arus air yang ganas itu. Hampir saja Tui Lan berputus asa.

   Sudah berjam-jam rasanya ia hanyut di dalam terowongan itu, dan kemungkinan telah lebih dari setengah lie ia menempuh jalan itu, namun ternyata mereka belum muncul juga di permukaan air. Cadangan udara di dalam kantong kulit itu sudah hampir habis. Mereka sudah membayangkan kematian di depan mata. Mereka sudah pasrah. Apalagi ketika mereka sudah tak kuasa lagi melawan seretan arus yang semakin ganas itu. Sambil berpegangan dan menggigit kedua lobang kantong udara itu, mereka membiarkan diri mereka hanyut dibawa arus air tersebut. Sudah lebih dari lima lie jauhnya mereka diseret arus air itu. Udara segar di dalam kantong itu sudah tidak memungkinkan lagi untuk mereka isap bersama. Kerongkongan mereka seolah tercekik, sementara isi dada mereka bagaikan hendak meletus keluar.

   Tui Lan sudah mulai lemas, sehingga Liu Yang Kun terpaksa membiarkannya bernapas dengan kantong itu sendirian. Dengan sekuat tenaga ia menahan napasnya sambil berdoa, agar supaya ia dan isterinya segera dikeluarkan dari terowongan maut tersebut. Liu Yang Kun sudah tidak kuat lagi. Meskipun masih menggigit kantong udara itu, tapi keadaan Tui Lan juga sama saja dengan suaminya. Dia juga sudah tak bisa bertahan lebih lama lagi. keduanya berusaha berpelukan dengan erat, agar niat mereka untuk mati bersama-sama benar-benar terlaksana. Tiba-tiba Liu Yang Kun mendengar suara gemuruh di depan mereka, seolah-olah suara malaikat dari sorga yang hendak menjemput mereka. Kemudian arus air itu seperti melontarkan mereka ke atas, menyongsong suara gemuruh tersebut. Dan entah bagaimana, tiba-tiba saja kepala mereka tersembul ke atas permukaan air!

   "Haaah..?" otomatis mulut Liu Yang Kun dan isterinya terbuka lebar untuk menghirup udara segar. Dan otomatis pula lengan Liu Yang Kun menggapai batu karang sebisanya, untuk menahan tubuh mereka. Hup! Ia berhasil memeluk sebongkah batu, kemudian menaikkan Tui Lan ke atasnya.

   "Ya Thian... terima kasih! Telah Kau kabulkan doaku..." Liu Yang Kun berdesah dengan lemasnya di sisi isterinya. Setelah berkurang rasa lemas dan gemetar di badannya,Liu Yang Kun perlahan-lahan melihat isterinya. Dilihatnya Tui Lan masih memejamkan matanya. Napasnya belum teratur. Namun demikian tangannya masih tampak mencengkeram kantong udara itu dengan eratnya.

   "Ah...!" pemuda itu berseru perlahan ketika dilihatnya tubuh isterinya tak memakai penutup apa-apa lagi. Begitu pula dirinya. Tampaknya arus air itu telah menghanyutkan segalanya.

   "Moi-moi...! Bangunlah! Kau tidak apa-apa, bukan?" bisiknya perlahan di telinga istrinya.

   "Uuuuuuuuuh...? Koko... apakah kita sudah mati?" Tui Lan bersuara serak.

   "Tidak! Kita belum mati, moi-moi. Kita masih hidup. Pandanglah aku!" Tui Lan membuka matanya. Lalu memandang wajah suaminya.

   "Kalau begitu... kita sudah bisa selamat dari dalam tanah itu?" tanyanya dengan nada gembira.

   "Belum! Belum! Kita masih... hei?!" Tiba-tiba Liu Yang Kun berteriak kaget.

   Ketika ia mengedarkan matanya ternyata dirinya berada di ujung sebuah air terjun di dalam tanah. Batu karang dimana mereka berbaring itu ternyata merupakan benteng terakhir dari ujung terowongan air tadi. Dan ketika ia mencoba melongok ke bawah, ia me lihat kabut air yang diakibatkan oleh air terjun tersebut. Dasar air terjun itu tidak kelihatan dari tempatnya berbaring. Dan ketika sekali lagi ia mengedarkan pandangannya, diam-diam hatinya menjadi ngeri. Lobang terowongan yang dilaluinya itu ternyata menjebol keluar di atas atap sebuah gua lain yang amat besar dan tinggi langit-langitnya. Sehingga arus air yang terlontar dari dalam lobang terowongan itu langsung tertumpah ke dalam dasar gua teraebut. Dan suara gemuruh yang didengarnya tadi ternyata adalah suara air terjun itu.

   "Koko...? Ada apa? Mengapa kau berteriak?" Tui Lan yang masih terlentang itu bertanya. Liu Yang Kun menghela napas panjang.

   "Kita berdua telah lolos dari lobang neraka, tapi kelihatannya justru terperosok ke neraka lain yang lebih buruk dan mengerikan. Lihatlah, kita berdua berada di atas langit-langit sebuah gua...!"

   "Apa...?" Tui Lan tersentak kaget, lalu bangun, tapi cepat-cepat dipegang tangannya oleh Liu Yang Kun.

   "Hati-hati...! Kau bisa jatuh terhempas ke bawah."

   "Oooooh??" Tui Lan menjerit begitu melihat dimana dirinya sedang berada.

   "Jangan takut! Kita nanti mencari jalan untuk turun ke bawah. Hmm, tampaknya kita tidak semakin ke atas, tapi justru semakin ke bawah menembus bumi..." Tui Lan memeluk dan menangis di dada suaminya.

   "Koko... aku takut," katanya gemetar. Lalu,

   "Dimanakah kita sekarang...?"

   "Tenanglah hatimu. Paling-paling kita mati. Dan sungguh berbahagia sekali bisa mati bersamamu. Kau demikian juga, bukan?" sekali lagi Liu Yang Kun menenangkan hati isterinya. Tui Lan menatap wajah Liu Yang Kun, kemudian mengangguk-angguk. Liu_Yang Kun tersenyum.

   

Pendekar Penyebar Maut Eps 36 Pendekar Penyebar Maut Eps 37 Darah Pendekar Eps 39

Cari Blog Ini