Darah Pendekar 39
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 39
"Terimakasih, paman. Aku suka sekali belajar ilmu silat darimu!"
"Nah, ikuti gerakanku. Mula-mula kedua kaki dibentangkan selebar ini, tenaga tubuh berada ditengah-tengah, seimbang, perhatian kedepan dan sikapmu kokoh seperti benteng, seimbang seperti orang menunggang kuda. Nah, begitu, lalu kaki digeser kedepan, mula-mula yang kanan, jatuhkan perlahan saja, disusul yang kiri dan tanganmu itu begini!"
Dengan patuh Cui Hiang mengikuti gerakan A-hai. Hebatnya, A-hai dapat saja mengajarkan ilmu silat yang cocok untuk seorang yang hanya berlengan tunggal! juga dia memberi petunjuk tentang gerak napas sewaktu bersilat. Akan tetapi, baru beberapa gerakan saja, gadis cilik itu sudah menjadi pening sekali dan terhuyung, hampir pingsan. A-hai cepat menangkap dan merangkulnya, melihat wajah yang pucat itu. Biasanya, menghadapi peristiwa begini, A-hai yang ketolol-tololan itu tentu akan menjadi bingung. Akan tetapi sekali ini ternyata tidak. Dia bersikap tenang saja.
"Ah, aku lupa. Tenaga dalammu belum kuat untuk mempelajari ilmu silat ini. Mari duduklah, akan kuajarkan ilmu menghimpun tenaga dalam dan akan kubantu engkau dengan penyaluran tenaga dalam tubuhku." A-hai lalu tanpa ragu-ragu lagi seolah-olah memang sudah pekerjaannya sehari-hari melatih silat, duduk bersila dan diapun menyuruh Cui Hiang duduk bersila diatas pangkuannya! dengan meletakkan kedua telapak tangannya, yang kiri dipunggung anak itu, yang kanan ditengkuknya, dia lalu berbisik-bisik memberi petunjuk agar anak itu dapat menerima penyaluran sinkang dari tubuhnya lewat kedua telapak tangannya, dan menyalurkan seperti yang dibisikkannya.
Cui Hiang yang menaruh kepercayaan sepenuhnya itu mentaati semua petunjuk orang yang menjadi gurunya. Hawa yang panas memancar dan memasuki tubuhnya. Tiba-tiba darah mengucur keluar dari luka dipundaknya yang dibalut oleh Bwee Hong, Melihat ini, A-hai sama sekali tidak rnenjadi gugup. Tangannya yang tadi menempel ditengkuk kini bergerak, sebuah jari telunjuknya menekan pundak dan darah itupun berhenti mengucur! Secara tiba-tiba saja A-hai menjadi seorang ahli yang bukan main lihainya. Mereka berdua tenggelam dalam latihan itu sehingga mereka tidak tahu bahwa Bwee Hong dan Siok Eng muncul dan memandang kearah mereka dengan mata terbelalak penuh rasa heran dan kagum.
"Apakah kesadarannya telah pulih kembali?" tanya Siok Eng, berbisik penuh harap.
"Entahlah, aku belum yakin benar. Agaknya eh, lihatlah!" Kedua orang dara pendekar yang lihai itu terkejut ketika nampak uap mengepul dari kepala A-hai dan Cui Hiang. Uap itu makin tebal dan berwarna putih dan merah. Kemudian muka dan tubuh A-hai dan Cui Hiang juga perlahan-lahan berobah, separuh merah dan separuh putih, persis keadaan A-hai ketika kumat tempo hari.
"Hebat!" Bwee Hong berbisik.
"Cui Hiang telah diberi pelajaran ilmu sinkang yang amat hebat!"
"Lebih hebat lagi, kenapa sekecil itu Cui Hiang sudah mampu menerimanya?" bisik Siok Eng yang juga merasa kagum. Mereka tetap menonton tanpa mengeluarkan suara berisik. Lambat-laun uap diatas kepala mereka itu makin menipis, lalu lenyap. Dan A-hai menyudahi latihannya, menyuruh Cui Hiang turun dari atas pangkuan. Keduanya lalu bangkit berdiri. A-hai menoleh kepada dua orang dara itu dan mereka berdua segera melihat perobahan itu. Sikap ketololan seperti biasa lenyap dari wajah tampan itu. Sikap A-hai kini tenang dan pandang matanya penuh wibawa dan kekuatan dahsyat. Seketika timbul rasa hormat dan segan dihati kedua orang dara itu!
"Nona berdua sudah selesai berkemas? Aku sedang berlatih dengan Cui Hiang," katanya sopan dan lembut.
"Saudara A-hai kelihatannya sudah ingat kembali akan masa lalumu?" tanya Siok Eng sedangkan Bwee Hong hanya memandang seperti orang kesima. Mendengar pertanyaan itu, A-hai mengangguk-angguk.
"Agaknya begitulah. Akan tetapi masih belum semua dapat kuingat. Berkat pengobatan nona Bwee Hong yang bijaksana, aku dapat mengingat lebih banyak tentang masa laluku. sayang, aku masih belum dapat teringat siapa keluargaku dan dari mana aku berasal. Aku hanya bisa mengingat lebih banyak tentang ilmu silat. Ya, sekarang aku ingat bahwa memang dahulu aku dapat bermain silat."
"Saudara Thian Hai, apakah engkau sudah teringat akan nama margamu?" Bwee Hong bertanya dan tiba-tiba saja dara ini menyebut saudara Thian Hai, bukan lagi A-hai seperti biasanya. Dan agaknya pemuda itupun tidak menjadi kikuk dengan sebutan itu. Dia memandang Wajah Bwee Hong dengan pandang yang masih sama, penuh dengan rasa kagum, hormat dan sayang, akan tetapi sikapnya sungguh jauh berbeda dengan A-hai yang biasa. A-hai yang biasa itu agak ketololan, bahkan kemanjaan. Yang sekarang ini benar-benar seorang laki-laki jantan yang dewasa dan matang!
"Sayang, nona. Aku masih belum mampu mengingat nama margaku. Aku hanya lebih banyak teringat akan ilmu silat yang pernah kupelajari. Aku memang bisa silat"
"Bisa silat?" Bwee Hong tersenyum.
"Bukan hanya bisa, engkau malah seorang datuk ilmu silat, seorang ahli yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali dalam ilmu silat."
"Ah, nona berolok-olok."
"Tidak, aku bersungguh-sungguh. Lihat saja adik kecil ini. Kalau kelak engkau melatihnya setahun saja, kami berdua ini sudah bukan tandingannya lagi!" kata pula Bwee Hong dengan suara serius.
"Engkau sudah begini hebat, entah bagaimana pula kelihaian orang yang menjadi gurumu, saudara Thian Hai," kata Siok Eng yang juga ikut-ikut mengganti nama A-hai menjadi Thian Hai. Mendengar kedua orang dara itu menyebutnya Thian Hai, pemuda itu tersenyum.
"Hendaknya nona berdua jangan bersikap sungkan. Aku masih tetap A-hai bagi kalian yang menjadi sahabat-sahabat baikku. Aku tidak mempunyai guru, yang mengajarkan silat kepadaku adalah ayahku sendiri."
"Ayahmu? Siapakah ayahmu dan dimanakah beliau sekarang?" Bwee Hong yang tertarik itu cepat bertanya.
"Ayahku, ayah-ibuku ah, entahlah, aku sudah lupa lagi," A-hai menutupi muka dengan kedua telapak tangannya. Melihat ini, Bwee Hong merasa kasihan dan ia memberi isyarat kepada temannya agar jangan bertanya lagi. Sementara itu, melihat A-hai menutupi mukanya, Cui Hiang menghampiri dan menyentuh lengannya.
"Paman Hai, engkau kenapakah? Jangan berduka, paman" Mendengar ini, A-hai menurunkan kedua tangannya. Dia lalu memandang Cui Hiang dan tersenyum.
"Mengapa menangis dan tidak tertawa saja?" tiba-tiba Cui Hiang berkata, mengutip sebaris sajak yang pernah dinyanyikan A-hai. A-hai tertawa dan memondong tubuh anak perempuan itu keatas dan dia melempar-lemparkan tubuh itu seperti sebuah bola keatas, lalu menerimanya lagi dan melemparkannya lagi. Melihat ini, Bwee Hong dan Siok Eng ikut gembira dan setelah menerima kembali tubuh Cui Hiang, A-hai berkata,
"Lihat, aku sudah tertawa, bukan?" Mereka berempat lalu melanjutkan perjalanan menuju kearah Kotaraja atau ibu kota Sianyang di Propinsi Shen-si. Disepanjang perjalanan, A-hai selalu mengajak Cui Hiang bergurau dan menghiburnya, juga setiap kali ada kesempatan, ia melanjutkan melatih sinkang kepada gadis cilik itu.
Beberapa hari kemudian, tibalah mereka disebuah dusun kecil dilereng bukit. Kotaraja tidak begitu jauh lagi. Mereka berempat melepaskan lelah ditepi hutan kecil. Bwee Hong dan Siok Eng mengeluarkan buntalan yang terisi perbekalan yang mereka beli diperjalanan, yaitu roti dan daging kering, sedikit bumbu dan juga arak ringan. Akan tetapi, Cui Hiang tidak mau makan. Ia malah bangkit berdiri dan berjalan perlahan menuju ke puncak bukit. Bwee Hong hendak memanggil dan menegurnya, akan tetapi A-hai memberi isyarat kepada dara itu, kemudian diapun bangkit dan mengikuti Cui Hiang yang berjalan seperti orang kehilangan akal menuju ke puncak bukit. Akhirnya Cui Hiang berhenti ditepi jurang dan berdiri termenung, memandang jauh kebawah.
"Cui Hiang, kenapa engkau tidak mau makan roti? Apakah engkau tidak suka roti? Kalau engkau tidak suka, biar kucarikan binatang buruan." Mendengar kata-kata yang begitu halus penuh kasih sayang, Cui Hiang menoleh dan memandang wajah A-hai dengan air mata berlinang-linang, kemudian ia menunduk. Begitu ia melihat lengan kirinya yang buntung, tangisnya meledak. Ia menubruk A-hai dan menangis mengguguk,
"Paman!" A-hai membiarkan anak itu menangis. Dia tahu bahwa selama ini Cui Hiang menahan-nahan tangisnya, mencoba menghibur kedukaannya. Dan kini, agaknya bendungan itu bobol dan sebaiknya kalau gadis cilik ini menangis sepuasnya agar semua ganjalan dihati itu dapat ikut terseret oleh arus air mata. Dia sendiri tersentuh oleh tangis Cui Hiang, Hatinya seperti diremas-remas dan matanya sendiripun menjadi basah. Tiba-tiba saja kepalanya berdenyut-denyut. Mata yang tadinya berkaca-kaca itu kini tiba-tiba bersinar dan mencorong mengerikan. Darahnya yang mengalir keras itu seperti berkumpul dikepalanya sehingga wajahnya berobah menjadi kemerahan. Dia mengepal tinju kanan sampai terdengar suara berkerotokan.
"Jahanam yang membuntungi lenganmu itu tentu akan kubunuh apabila bertemu denganku!" katanya penuh geram, suaranya juga berobah menjadi menggetar penuh kemarahan. Tentu saja Cui Hiang menjadi terkejut bukan main dan ketakutan melihat perobahan pada wajah dan sikap A-hai.
"Paman Hai... engkau kenapakah, paman? Jangan memandangku seperti itu... aku takut" A-hai terharu dan merangkulnya. Setelah dirangkul, Cui Hiang kembali merasa tenang.
"Paman, aku ingin membunuh orang itu dengan tanganku sendiri. Akan tetapi bagaimana aku dapat melawan dia dengan tanganku yang hanya sebelah ini?"
"Jangan takut! Masih ada aku disini!" kata A-hai geram.
"Aku mempunyai ilmu silat yang amat hebat dan yang akan kuajarkan kepadamu. Ilmu itu disebut Thai-kek Sin-ciang. Aku percaya engkau akan mampu melawan dan mengalahkannya. Akan tetapi engkau harus lebih dahulu mematangkan tenaga sinkang yang kita latih itu. Hayo kita latihan lagi!"
Didorong semangat untuk segera dapat mengalahkan musuh yang telah membuntungi lengannya, kini dengan penuh semangat dan ketekunan, Cui Hiang mulai berlatih lagi. Mereka latihan sedemikian tekunnya sehingga ketika Bwee Hong dan Siok Eng tiba disitu, keduanya tidak tahu dan tetap tenggelam dalam latihan. Melihat betapa A-hai melatih Cui Hiang dengan tekunnya, dua orang gadis itu menjadi terharu dan juga bersyukur bahwa anak kecil yang bernasib malang itu, yang kehilangan keluarganya dan juga lengannya, telah memperoleh seorang guru yang luar biasa.
"Enci Bwee Hong, agaknya saudara Thian Hai itu sudah hampir sembuh. Perawatanmu nampaknya berhasil."
"Mudah-mudahan begitulah. Mudah-mudahan dengan beberapa kali perawatan dengan tusuk jarum dia akan sembuh sama sekali, tapi"
Bwee Hong berhenti bicara, lehernya terasa seperti tercekik. Hatinya dipenuhi keraguan dan kekhawatiran. Ia merasa khawatir kalau yang sudah didengarnya tentang A-hai itu ternyata benar. Bagaimana kalau ternyata kemudian seperti yang didengarnya dari tukang warung yang terbunuh oleh para penjahat itu bahwa A-hai adalah seorang kongcu yang sudah beristeri, bahkan mempunyai seorang anak perempuan? Kalau A-hai sudah berkeluarga, tentu ia... ia tidak ingin merusak rumah tangga orang lain. Akan tetapi kalau benar dia sudah beristeri, kenapa sampai sekarang isterinya itu tidak mencarinya? Keraguan ini membuatnya termenung dan melihat perobahan pada air muka sahabatnya itu, Siok Eng memandang dengan heran. Sahabatnya itu hampir berhasil mengobati dan menyembuhkan A-hai, mengapa tidak nampak gembira malah seperti orang gelisah?
"Enci Bwee Hong, engkau kenapakah?" Bwee Hong tergagap mendengar pertanyaan yang mengandung teguran itu.
"Ah, tidak apa-apa, adik Eng... aku... aku merasa kasihan kepada anak perempuan itu!" Siok Eng mengangguk dan memandang kepada Cui Hiang yang sedang berlatih sinkang secara aneh bersama A-hai itu dan iapun menarik napas panjang.
"Kalau dilihat, sukar mengatakan apakah harus merasa kasihan ataukah bersyukur. Enci, banyak kejadian didunia ini membuktikan bahwa peristiwa yang nampaknya buruk sering kali malah mendatangkan berkah. Coba saja lihat Cui Hiang itu. Andaikata ia tidak kematian keluarganya kemudian buntung lengan kirinya, kukira belum tentu A-hai akan tergerak hatinya sehingga dia menurunkan ilmunya yang hebat kepada anak itu." Bwee Hong mengangguk.
"Kalau direnungkan, memang ada kenyataannya dalam kata-katamu itu, adik Eng." Setelah selesai berlatih, A-hai yang melihat dua orang gadis itu segera menghampiri dan wajahnya berseri.
"Nona Hong, agaknya kesehatanku sudah semakin baik. Aku makin banyak dapat mengingat ilmu silatku." Mereka melanjutkan perjalanan dan tiba-tiba setelah mereka keluar dari hutan kecil itu, nampak debu mengepul dikejauhan dan terdengar bunyi terompet.
Empat orang itu lalu bersembunyi, tidak ingin bertemu dengan pasukan yang lewat itu. Tak lama kemudian, pasukan itupun lewat. Jumlah mereka antara dua sampai tiga ratus orang dan mereka nampak kelelahan. Dari pakaian mereka, tahulah Bwee Hong bahwa mereka adalah pasukan pemerintah yang agaknya mengundurkan diri karena terdesak oleh pasukan pemberontak Chu Siang Yu. Wajah mereka muram, pakaian mereka kotor berdebu dan diantara mereka terdapat orang-orang yang luka, ada yang dibalut lengannya, ada yang dibalut kepalanya, ada yang pucat wajahnya dan ada yang jalannya terpincang-pincang. Pasukan itu lewat dan memasuki dusun kecil yang pernah dilewati Bwee Hong dan kawan-kawannya, agaknya pasukan itu hendak beristirahat disana.
"Hemm, mereka itu pasukan pemerintah yang agaknya kalah perang. Entah apa yang telah terjadi didepan," kata Bwee Hong yang nampaknya ingui sekali mengetahui.
"Aku akan menyelidikinya sebentar."
"Jangan, nona Hong. Biar aku saja yang melakukan penyelidikan. Mereka itu pasukan yang kalah perang, dapat melakukan apa saja untuk melampiaskan kekesalan hati mereka dan nona adalah seorang gadis... eh, cantik" Bwee Hong senang mendengar ini akan tetapi tentu saja. tidak dinyatakannya pada wajahnya. Bagaimanapun juga, karena pujian atau pernyataan bahwa ia cantik itu membuat jantungnya berdebar dan mukanya agak merah, ia cepat menutupinya dengan berkata,
"Aku dapat menyamar sebagai seorang gadis dusun.."
"Sebaiknya tidak, nona. Perajurit-perajurit itu lelah dan kesal hatinya, dalam keadaan seperti itu mereka bisa saja mengganggu setiap orang wanita. Biar aku saja yang pergi menyelidikinya. Akupun ingin tahu apa yang telah terjadi." Diam-diam Bwee Hong kagum. A-hai yang sekarang ini benar-benar amat berbeda dengan A-hai tempo hari. Kini A-hai bersikap jantan dan juga tenang dan cerdas, seperti sikap seorang, pendekar tulen. Dan didalam suaranya terkandung ketegasan yang sukar untuk dibantah. Maka iapun mengangguk.
"Baiklah kalau begitu."
Cui Hiang. minta kepada A-hai untuk diperbolehkan ikut. A-hai tidak merasa keberatan karena ikutnya anak itu malah mempermudah penyamarannya sebagai seorang perantau dan keponakannya. Bwee Hong dan Siok Eng berjanji akan menanti didalam hutan itu sampai mereka kembali dari penyelidikan kedusun. A-hai bersama Cui Hiang lalu berangkat memasuki dusun. Nampak pasukan yang kepayahan itu tersebar dirumah-rumah penduduk dusun, dipelataran-pelataran, Mereka menggeletak dimana-mana melepaskan lelah. Mereka minta makanan dan minuman dari penduduk dusun itu. penduduk dusun yang ketakutan itu tidak berani membantah dan sibuklah mereka hilir-mudik dijalan melayani para perajurit itu dengan makanan dan minuman seadanya.
Munculnya A-hai dan seorang anak perempuan kecil yang buntung lengannya tidak mencurigakan. Selain pasukan mengira bahwa mereka itupun anggauta penduduk dusun, juga melihat seorang anak perempuan buntung lengannya adalah pemandangan biasa di waktu perang seperti itu. Dimana-mana terlihat orang-orang terluka dan pengungsi-pengungsi kelaparan. A-hai yang menggandeng tangan kanan Cui Hiang, memasuki dusun itu dan tiba-tiba saja sikapnya berobah. Dia kelihatan seperti orang termangu-mangu, memandang kesekitarnya, bukan kepada para perajurit, melainkan kepada rumah-rumah dan pohon-pohon didusun itu. Kadang-kadang dia berhenti dan termenung. Melihat ini, tentu saja Cui Hiang merasa heran dan setelah mereka melewati sekelompok perajurit, ditempat yang sunyi, Cui Hiahg bertanya,
"Paman Hai, engkau kenapakah?" A-hai yang sedang melamun itu terkejut.
"Ehh? Aku? Tidak apa-apa, hanya aku merasa heran sekali mengapa aku seperti pernah mengenal tempat ini. Padahal ketika kita melewatinya aku sama sekali tidak memperhatikannya. Kenapa sekarang aku seperti merasa bahwa tempat ini sama sekali tidak asing bagiku? kau lihat pohon siong besar disana itu? Aku pernah memanjat disana! Cuma pohon itu tidak sebesar sekarang ini. Dan aku pernah tinggal ditempat seseorang yang letaknya didekat pohon itu. Akan tetapi, entah siapa aku tidak ingat lagi" kata A-hai dengan suara lirih dan matanya termenung memandang kearah pohon itu. Dari depan muncul beberapa orang perajurit dan seorang perwira. Agaknya mereka itu melakukan tugas meronda dan meneliti keadaan. ketika perwira itu melihat A-hai, alisnya berkerut dan diapun menegur,
"Hei, kenapa engkau enak-enakan saja disini dan tidak membantu saudara-saudara lain untuk sekedar meringankan penderitaan pasukan kami? Apakah engkau pemberontak? Atau orang yang pro kepada pemberontak?" Perwira itu sudah meraba gagang goloknya. Jelaslah bahwa sekali saja A-hai mengeluarkan kata-kata atau memperlihatkan sikap menentang, golok itu akan dicabut dan dibacokkan!
"Harap tai-ciangkun tidak salah duga," A-hai berkata, suaranya tenang saja dan sikapnya sungguh berbeda dari biasanya. Kalau dia masih seperti A-hai biasanya, tentu dia akan marah dan memaki-maki, A-hai tempo hari hanya menurutkan perasaannya saja. Kinipun A-hai mendongkol, akan tetapi dia dapat mempergunakan kecerdikannya dan menjawab dengan tenang.
"Aku bukan pemberontak, malah aku menjadi korban perang, terpaksa merantau kehilangan keluarga. Bahkan keponakanku ini kematian semua keluarganya dan lengannya juga terluka oleh penjahat." Perwira itu memandang tajam penuh selidik, akan tetapi mengangguk-angguk percaya.
"Kalau begitu, bantulah kami. Kami mencari sumber air yang berada didusun ini, kami perlu air untuk mandi menyegarkan badan." Seketika A-hai teringat dimana adanya sumber air itu.
"Mari kutunjukkan dimana adanya sumber air itu, ciangkun." Perwira itu lalu memanggil anak-buahnya, disuruh mengambil bak-bak air dan merekapun mengikuti A-hai dan Cui Hiang mendaki bukit. Dengan cekatan A-hai menjadi penunjuk jalan dan dia sama sekali tidak mencari-cari, seolah-olah dia sudah biasa pergi kesumber air itu. Melihat ini, pasukan itu makin percaya bahwa A-hai tentulah seorang penduduk dusun itu pula. Jalan kesumber air itu licin dan agak sulit. Dan perwira itu girang melihat betapa A-hai dengan cekatan dapat membantu para perajurit mengusung bak-bak air keatas dan ternyata bahwa pemuda itu memiliki tenaga yang besar sekali.
"Nah, itulah sumber air yang mengalir kedusun. Dibawah pohon itu, ciangkun." kata A-hai. Benar saja, disitu terdapat mata air yang deras airnya dan para perajurit dengan gembira lalu mandi, didahului oleh sang perwira. A-hai sendiri lalu berdiri menjauh, termangu-mangu.
"Paman, apakah engkau lelah sekali? Mengapa engkau termenung lagi?" Cui Hiang yang memperhatikan sekali setiap gerak-gerik A-hai, mendekat, menyentuh tangannya dan bertanya dengan suara penuh sayang. A-hai menarik napas panjang dan duduk diatas batu gunung, diikuti oleh Cui Hiang yang duduk disampingnya. Para perajurit tentu akan mengira pemuda ini mengaso karena lelah.
"Tidak, Cui Hiang, aku. tidak lelah. Aku sedang berusaha mengumpulkan ingatanku. Aku sungguh telah mengenal daerah ini dengan baik. Rasanya... aku pernah menolong seorang kawan wanita yang dilarikan orang ketempat ini. Orang itu adalah adik seperguruanku sendiri yang murtad. Eh... benar begitu, aku ingat sekarang. Benar! Aku mempunyai seorang saudara seperguruan yang kelakuannya jelek, suka menghina wanita. Tapi ilmu silatnya amat lihai. Untung ayahku siang-siang sudah melihat keburukan wataknya itu sehingga ilmu silat simpanan keluarga tidak diajarkan kepadanya. Agaknya suteku itu pun merasakan hal ini. Dia minggat meninggalkan ayah, tapi ayah diam saja. Bagaimanapun juga, ketika mendengar bahwa suteku itu melakukan kejahatan-kejahatan diluar, ayah menjadi marah. Akan tetapi ayahku telah bersumpah tidak akan keluar dari daerah pertapaannya, maka dia lalu... lalu... wah, aku lupa lagi..." Cui Hiang yang mendengarkan dengan penuh perhatian itu, kini tersenyum.
"Paman, tidak sukar melanjutkan ceritamu itu. Aku dapat menebaknya. Ayahmu tentu mengutus paman untuk pergi mencari adik seperguruan paman itu. Dijalan agaknya paman berkenalan dengan seorang wanita yang kemudian menjadi kawan. Lalu pada suatu hari kawanmu diculik oleh sutemu itu. Bukankah begitu? Lalu paman mengejarnya dan... paman lalu menghajarnya habis-habisan disini, ditempat ini! Benarkah begitu?" Wajah A-hai berseri gembira dan dia menepuk pahanya sendiri.
"Benar sekali! Engkau benar. Kami berkelahi dengan sengit, di... dilereng sana itu!" A-hai menudingkan telunjuknya kearah lereng disebelah.
"Adikku itu sungguh bertambah lihai bukan main setelah berkelana didunia luar. Dan hebatnya, dia dapat pula memainkan beberapa ilmu silat simpanan keluarga kami. Agaknya dia telah mencuri lihat ketika aku berlatih. Mari, kita melihat tempat kami bertempur dahulu. Kalau tidak salah, disana terdapat banyak bekas-bekas perkelahian kami." Mereka berlari-lari kearah lereng itu. Ternyata tempat itu adalah sebuah lereng datar dimana terdapat banyak batu-batu besar. Seperti orang yang sudah hafal akan tempat itu dan keadaannya, A-hai menghampiri sebuah batu besar dan berkata,
"Lihat batu ini! Aku terjatuh kesini ketika terkena pukulan pada pahaku. Ketika aku terlentang dibatu ini, suteku melancarkan pukulan-pukulan maut yang dapat kuelakkan dan pukulannya itu mengenai batu ini. Lihat!" Cui Hiang memandang dan mulutnya ternganga keheranan melihat bekas-bekas diatas permukaan batu itu. Bekas-bekas itu tidak menyerupai bentuk jari tangan, melainkan seperti tapak kaki anjing atau kucing, dan dalamnya ada lima senti!
"Paman, kenapa pukulan tangan macamnya seperti ini?" Cui Hiang bertanya heran. A-hai tersenyum.
"Itu adalah bekas jari-jari tangan yang disatukan membentuk paruh burung. Itulah pukulan sakti pemutus urat dari ilmu keluargaku, disebut Thai-kek Sin-ciang. Apa lagi kalau dilontarkan dengan tenaga sinkang Merah Putih seperti yang kau pelajari, akibat pukulan itu hebat bukan main. Untung bagiku bahwa suteku itu tidak mempelajari sinkang itu."
"Bukan main hebatnya" Cui Hiang membelalakkan matanya dan memandang ngeri.
"Ini masih belum seberapa. Ada ilmu andalan keluargaku yang disebut Thai-lek Pek-kong-ciang, lebih hebat lagi!"
"Wah, Thai-kek Sin-ciang itu masih ada yang lebih hebat lagi?"
"Ya, Thai-lek Pek-kong-ciang adalah ilmu yang dilakukan dengan Khong-sinkang, yaitu Tenaga Sakti Kosong!"
"Eh? Tenaga kosong? Bagaimana itu, paman?"
"Hanya keturunan langsung saja yang bertulang baik diwarisi ilmu mujijat ini. Tenaga Sakti Kosong adalah tenaga sakti yang benar-benar kosong sehingga tidak dapat dirasakan oleh panca indera. Tanpa mengandung hembusan angin sedikitpun sehingga apabila dipukulkan kepada segumpal kapas yang ringan sekalipun, kapas itu tidak akan bergoyang. Padahal tenaga ini mempunyai daya yang amat hebat dan sukar dicari bandingnya didunia ini. Yang nampak kosong itu sesungguhnya penuh, dan yang kosong itu lebih kuat dari pada yang isi. Ruangan dijagad raya inipun kosong dan yang isi hanya merupakan bagian saja dari pada kekosongan luas itu. Seperti juga suara hanya merupakan sebagian kecil dari pada keheningan yang maha luas."
"Wah, aku bingung, paman. Apa sih artinya semua itu?" A-hai tersenyum dan bergurau.
"Jangankan engkau, aku sendiripun bingung kalau sudah bicara tentang filsafat kekosongan. Mungkin hanya omong kosong belaka! Kembali kepada ilmu itu, sesungguhnya amat hebat. Tergantung dari besar kecilnya tenaga lawan. Kalau lawan bertenaga besar, maka tenaga itu otomatis menjadi lebih besar lagi. Kalau lawan bertenaga kecil, tenaga Khong-sinkang itupun menjadi kecil, hanya lebih besar sedikit sekedar untuk melebihi lawan. Kalau tidak menemui lawan, tenaga itupun tidak nampak sama sekali, tidak ada pengaruhnya sama sekali seperti udara hampa. Itulah sebabnya dinamakan Tenaga Sakti Kosong. Tenaga ini tidak dapat dipergunakan untuk melukai atau menyerang orang, melainkan menerima dan membalikkan serangan orang lain saja." Cui Hiang terbelalak heran dan bingung.
"Apakah... apakah paman sudah menguasai ilmu aneh ini?"
"Tentu saja. Aku adalah keturunan tunggal yang terakhir dari keluargaku. Ayahku bilang bahwa aku memiliki bakat yang lebih baik dari ayah atau bahkan dari kakek-kakekku, jadi aku berhak mempelajarinya."
"Kalau begitu... maukah paman memperlihatkan ilmu itu kepadaku? Aku ingin sekali menyaksikannya."
"Baiklah, agar engkau mengenal ilmu simpanan keluargaku. Nah, bersiaplah, aku memukulmu dengan Tenaga Sakti Kosong!" kata A-hai.
Dia berdiri lurus dengan kedua kaki dirapatkan. Tidak terjadi keanehan apa-apa, tidak ada pembahan wajahnya, tidak ada suara, bahkan tidak ada sedi-kitpun angin menyambar ketika dia menekuk sedikit lututnya dan kedua tangannya mendorong kedepan, kearah Cui Hiang. Perlahan sekali, gerakan itu, seolah-olah dia hanya mengulurkan tangan kepada Cui Hiang. Tidak terasa apapun oleh Cui Hiang, bahkan rambut anak itupun tidak sampai bergerak. Tentu saja Cui Hiang menjadi terheran-heran. Tadinya ia bersiap menyambut serangan orang yang tanpa upacara telah menjadi gurunya itu akan tetapi karena ternyata pemuda itu sama sekali tidak menyerangnya, iapun termangu-mangu dengan heran. Disangkanya bahwa A-hai ragu-ragu untuk menyerangnya, takut kalau ia terluka.
"Mari, paman, cepat menyerang. Aku sudah siap menyambut. Kenapa paman tidak melanjutkan?"
"Anak bodoh, aku. sudah memukulmu sejak tadi. Inilah maka ilmu ini dinamakan Tenaga Sakti Kosong. Engkau memang tidak merasakan apa-apa, karena engkau tidak mengerahkan tenagamu. Coba engkau menangkis, tentu engkau akan melihat buktinya." Tentu saja Cui Hiang menjadi penasaran. Tentu A-hai telah mempermainkannya. Mana mungkin serangan itu sudah dilakukan kalau ia tidak merasakan apa-apa? Kenapa yang begini dinamakan ilmu yang hebat? Dengan alis berkerut karena mengira dipermainkan ia menepiskan tangannya kearah A-hai dan bermaksud untuk menjauhkan diri. Akan tetapi, apa yang terjadi? Ketika ia menepiskan tangannya, tiba-tiba saja dirinya didorong oleh tenaga luar biasa yang membuatnya terjungkal kebelakang! Cui Hiang bangkit dan matanya terbelalak ketakutan. Tubuhnya terasa lemas seperti baru saja dilanda angin yang amat kuat.
"Paman, apa yang kau lakukan?" A-hai tersenyum dan mengulurkan tangan, membantu gadis kecil itu bangun.
"Nah, engkau sudah merasakan sekarang? Kalau tangkisanmu tadi lebih kuat, engkaupun akan lebih keras terbanting. Ilmu ini hebat karena tak dapat dirasakan, disitulah letak keampuhannya. Dengan ilmu inilah maka dijaman dahulu terdapat dongeng-dongeng yang aneh, dimana seorang sakti sendirian saja mampu menghancurkan sebuah kerajaan yang mempunyai pasukan laksaan orang. Dan ini pula sebabnya mengapa dijaman dahulu terdapat dongeng akan kesaktian manusia yang seperti dewa."
"Hebat!" Cui Hiang kagum sekali.
"Oya... setelah paman berkelahi melawan sute paman itu lalu bagaimana?"
"Adikku benar-benar hebat kepandaiannya. Aku hampir terbunuh olehnya. Ilmu silatnya seperti iblis, kecepatannya seperti setan. Akan tetapi setelah aku mempergunakan ilmu simpanan keluargaku, barulah dia kewalahan. Dia jatuh bangun melawan Khong-sinkang yang kupergunakan untuk Ilmu Thai-lek Pek-kong-ciang. Tubuhnya yang kebal itu akhirnya terluka dan dia dapat kuringkus dan kubawa menghadap ayahku."
"Wah, hebat sekali cerita itu, paman. Lalu bagaimana jadinya dengan wanita sahabatmu itu, paman?" tanya Cui Hiang tertarik.
"Tentu saja ia menjadi isteri Souw-kongcu. Masa hal itu perlu ditanyakan lagi?' tiba-tiba terdengar suara orang dan muncullah seorang laki-laki tua yang tergopoh-gopoh menghampiri mereka. Laki-laki tua yang kurus ini dengan wajah berseri-seri memandang kepada A-hai.
"Souw-kongcu! Telah sepuluh tahun kita tidak saling bertemu. Apakah kongcu baik-bauk saja? Kenapa lama benar tidak berkunjung kesini? Dan bagaimana dengan puterimu yang mungil itu? Tentu sudah besar sekarang," Berkata demikian, kakek itu melirik kearah gadis kecil berlengan buntung sebelah dengan ragu-ragu.
A-hai bengong memandang kepada kakek itu. Lagi-lagi ada orang yang menyebutnya kongcu, seorang tuan muda she Souw! Benarkah dia seorang she Souw? Akan tetapi kenapa dia tidak mengenal kakek ini sama sekali? Secara tak terduga-duga, proses penyembuhannya berjalan dengan cepat, akan tetapi ternyata masih banyak hal-hal lalu yang sama sekali tidak diingatnya, agaknya termasuk orang tua ini. Siapakah kakek ini? Nampaknya orang ini selain sangat mengenalnya, juga sangat menghormatnya. Telah dua orang bersama tukang warung itu yang mengenalnya sebagai seorang kongcu yang telah mempunyai isteri dan anak. Kalau benar demikian, dimanakah adanya isterinya dan anaknya itu? Dan dimana pula rumahnya? Hatinya terguncang keras dan biarpun dia belum yakin benar bahwa dia memang Souw-kongcu, melihat ada orang yang mengenalnya, dia lalu menangkap tangan kakek itu.
"Lopek, katakanlah. Apakah wajahku benar-benar wajah Souw-kongcu seperti yang kau kenal itu? Benarkah? Lalu... lalu dimanakah tinggalnya Souw-kongcu?" Kakek itu terbelalak kebingungan.
"Eh, bagaimana ini? Souw-kongcu, apakah yang telah terjadi denganmu sehingga sikapmu seaneh ini?"
"Lopek, maafkanlah aku. Aku sendiri tidak tahu betul siapa sebenarnya aku ini, apakah Souw-kongcu ataukah orang lain. Ketahuilah, aku telah terserang penyakit sehingga aku lupa segala-galanya tentang masa laluku. Justeru sekarang ini aku sedang melakukan penyelidikan untuk dapat mengingat kembali masa laluku, Tempat ini kukenal baik akan tetapi... maaf, aku lupa sama sekali kepadamu, tidak mengenal wajahmu." Kakek itu mengangguk-angguk dan memandang dengan sinar mata menaruh kasihan.
"Ah... kiranya begitu? Souw-kongcu, aku adalah kepala kampung didusun ini. Tentu saja aku sangat mengenalmu karena engkau telah menikah dengan puteri angkatku sendiri. Aku adalah mertua angkatmu sendiri, kongcu. Marilah ikut aku kerumahku dan aku akan menceritakan segalanya dan kongcu akan dapat melihat gambar-gambar lama. Mudah-mudahan kongcu akan dapat teringat lagi akan semua masa lalumu. Marilah" Pada saat itu nampak beberapa orang perajurit menghampiri tempat itu.
"Nah. itu dia disana! Hei, monyet. Kenapa kau pergi tanpa pamit? Mau lari, ya?' Hayo, bantu kami mengangkut bak air itu turun. Komandan kami perlu air untuk mandi'"
"'Wah, ini kepala kampung disini pula!," tegur seorang lain diantara mereka.
"Kenapa engkau disini? Kenapa engkau meninggalkan komandan kami dirumahmu sendirian saja? Apakah engkau tidak suka kepada kami para perajurit kerajaan ya? Mau berontak, ya? Mau jadi kaki tangan pemberontak asing?" Kakek kepala kampung; itu menjawab halus,
"Saya tidak berniat buruk. Saya hanya ingin membuktikan laporan orang bahwa ada beberapa orang perajurit menawan rakyatku. Maka saya mengikuti kalian sampai kesini. Dan ternyata orang-orangku ini hanya kalian mintai bantuan mencari sumber air."
"Wah, kau kira perajurit-perajurit kerajaan adalah perajurit brengsek yang suka mengganggu rakyat, ya? Gila kau. Hayo pulang kerumahmu lagi. Komandan kami ingin sekali mandi secepatnya dan kita bisa didamprat kalau terlambat." Kepala kampung memberi isyarat agar A-hai menurut saja. Mereka lalu turun dari tempat itu dan A-hai membantu mereka memikul bak air kerumah si kepala kampung dimana sang komandan sudah menunggu, dengan baju atas terbuka. Nampaklah dadanya yang bidang berbulu dan menyeramkan.
"Kenapa lama benar kalian? Ingin dihukum cambuk, ya?" bentaknya marah. Tentu saja para anak-buahnya menjadi ketakutan dan mereka cepat mempersiapkan segalanya untuk sang komandan yang kegerahan dan ingin mandi itu. Sebelum menuju ketempat mandi, komandan itu berteriak kearah kepala kampung,
"Siapkan makanan enak untukku. Carikan ayam gemuk dan masak yang enak!" Si kepala kampung hanya mengangguk lalu memerintahkan orang-orangnya untuk mempersiapkan permintaan sang komandan.
"Inilah akibatnya perang," katanya lirih kepada A-hai.
"Kalah atau menang, tetap saja rakyat yang menderita akibatnya. Penindasan selalu terjadi dengan sewenang-wenang, Tentu saja, kadarnya yang berbeda. Dibawah telapak kaki musuh, tentu lebih hebat dan lebih celaka."
A-hai mengangguk. Teringat dia akan keadaan para penduduk dusun yang kelaparan dan terpaksa lari mengungsi. Dan kini penduduk dusun itu dipaksa melayani para perajurit dan mengeluarkan seluruh miliknya untuk menyenangkan para perajurit agar mereka tidak mengamuk dan menghukum para penduduk yang dapat dituduh sebagai berpihak kepada musuh atau pemberontak. Setelah selesai membantu para perajurit, A-hai dan Cui Hiang lalu diajak masuk oleh kepala kampung. Mereka memasuki rumah melalui pintu samping dan memasuki bangunan samping dimana tuan rumah biasa minum teh dan membaca kitab.
(Lanjut ke Jilid 28)
Darah Pendekar (Seri ke 01 - Serial Darah Pendekar)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Bahan Cerita : Sriwidjono
Jilid 28
Ketika mereka memasuki ruangan dimana tergantung sebuah lukisan besar seorang wanita yang berpakaian puteri Istana, A-hai berlari menghampiri dan berdiri memandang gambar itu dengan muka pucat dan mata terbelalak. Cui Hiang juga berdiri mendekat dan gadis cilik ini terkejut sekali melihat betapa gambar wanita itu wajahnya persis wajah Bwee Hong. Gambar wanita ini nampak lebih agung dan anggun, mungkin karena pakaiannya seperti puteri Istana. Akan tetapi wajahnya sungguh mirip sekali wajah Bwee Hong. A-hai berdiri memandang dengan peluh bercucuran. Jelas dia nampak amat terpengaruh oleh gambar itu, dan keharuan membayang diwajahnya.
"Lopek... siapa... siapakah wanita dalam gambar ini? Aku seperti sudah sangat mengenalnya... aku merasa sangat dekat dengan wanita ini, akan tetapi... aku lupa lagi siapakah ia"
"Wanita ini adalah puteri angkatku sendiri, isteri dari Souw-kongcu."
"Hahhh...? Isteri... Souw-kongcu? Dan kalau aku Souw-kongcu, ia isteriku?"
"Benar, itulah gambar puteri angkatku"
"Akan tetapi kalau ia puteri kakek, kenapa ia mengenakan pakaian seorang puteri Istana?" tiba-tiba Cui Hiang bertanya. Gadis cilik ini sudah "pernah" melihat gambar puteri Istana, maka ia menyatakan keheranannya. Kakek itu tertegun sebentar dan mukanya menjadi kemerahan. Mendengar pertanyaan yang diajukan Cui Hiang, A-hai juga memandang kakek itu.
"Memang aneh sekali kalau engkau mempunyai anak berpakaian seperti itu, lopek, dan aku... mana mungkin aku mempunyai isteri puteri Istana?" A-hai juga bertanya, mendesak. Siapa tahu penjelasan kakek ini akan merupakan kunci pembuka rahasia masa lalunya yang dilupakannya. Kakek itu menarik napas panjang, setelah termenung sejenak lalu berkata,
"Mendiang isteriku adalah bekas selir Kaisar. Belum lama menjadi isteriku, ketika pada suatu hari Kaisar dalam perantauannya lewat didusun kami, beliau tertarik kepada isteriku dan direbutnya kekasihku dari tanganku, dan dibawa ke Istana. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Setelah kekasihku itu mempunyai anak, ia dan anaknya dikembalikan kepadaku dan anak itu dibesarkan di Istana. Jadi sebenarnya, puteri angkatku itu adalah anak isteriku dan Kaisar."
"Ahh maafkan aku, kek" Cui Hiang berkata menyesal telah mengajukan pertanyaan tadi.
"Tidak apa. Peristiwa itu sudah lama berlalu, isteriku telah meninggal dunia. Mari kuperlihatkan sebuah gambar lagi." Cui Hiang menahan teriakan heran ketika melihat gambar besar itu. Jelas bahwa pria gagah yang berpakaian sasterawan dan memegang kendali kuda putih mulus itu adalah A-hai! Dan diatas pelana kuda duduk seorang anak perempuan yang tersenyum manis sambil memeluk sebuah boneka indah berupa seorang puteri Istana, terbuat dari pada batu giok. A-hai sendiri memandang lukisan itu seperti berobah menjadi patung, kemudian dia melangkah maju mendekati gambar, tangannya terjulur kedepan, gemetar.
"Bukankah... bukankah... ini... gambarku?" teriaknya.
"Dan ini... boneka ini..." Suaranya gemetar dan tangannya merogoh kedalam buntalannya. Dikeluarkannya sebuah boneka batu giok yang ternyata persis dengan boneka yang dibawa anak perempuan dalam lukisan itu. Kini kakek itu yang memandang kaget.
"Ah, boneka itu... boneka itu adalah hadiah dari Souw-kongcu untuk cucuku itu, pada hari ulang tahunnya. Kenapa sekarang kau bawa? dimanakah cucuku itu?"
"Lopek, sudah kukatakan bahwa aku lupa akan masa laluku. Boneka ini kutemukan dirumah gu-lojin, sebuah rumah tua diluar dusun yang sunyi. Disana pula untuk pertama kalinya aku mendengar tentang Souw-kongcu itu. Ketika pertama kali melihat patung ini, aku terkesan dan... Dan nama yang terukir pada boneka ini"
"Lian Cu? Itulah nama cucuku dan Gu-lojin yang kongcu sebut itu, bukankah dia seorang pelukis yang hidup menyendiri?"
"Benar"
"Dia adalah kakakku sendiri, kongcu." Kakek itu nampak terharu sekali.
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kakakku bernama Gu-Toan dan aku sendiri bernama Gu Tek. Anak angkatku itu, yang sebenarnya puteri Kaisar dan isteriku, bernama Gu Yan Kim dan cucuku bernama Lian Cu, Souw Lian Cu." A-hai mendengarkan semua ini seperti dalam mimpi. Kemudian dia menarik napas panjang.
"Agaknya... aku memang benar-benar Souw-kongcu seperti dugaan paman itu. Aku juga mahir ilmu silat tinggi, biarpun entah karena apa aku telah lupa sebagian dari ilmu itu, dan lupa akan masa laluku sama sekali, lupa akan keluargaku..." Tiba-tiba kepala kampung itu memandang dengan wajah berseri.
"Aku ingat akan adanya suatu tanda untuk meyakinkan apakah kongcu benar-benar Souw-kongcu atau bukan."
"Benarkah itu? Bagaimanakah maksudnya?" teriak A-hai sambil mencengkeram tangan kakek itu sehingga kakek itu meringis kesakitan. A-hai cepat melepaskan cengkeramannya dan kakek itu tersenyum.
"Karena aku beruntung mempunyai mantu seorang keturunan keluarga Souw, maka aku tahu akan rahasia keluarga itu. Sejak turun-temurun, keluarga Souw adalah keluarga pendekar yang memiliki ilmu silat maha hebat! Dan sebagai tanda pengenal, semua anak keturunan mereka diberi tanda merupakan bekas luka jahitan yang memanjang dari ubun-ubun sampai kebelakang kepala dekat tengkuk. Selain luka jahitan memanjang ini, juga luka akibat totokan dari ciri perguruan keluarga sakti itu pada sebelah tulang punggung dikanan kiri, tepat dibawah pinggang. Setiap bayi keturunan mereka, setelah berusia satu tahun, tentu mendapat tanda itu. Aku sebagai kakek Lian Cu diberi tahu dan ternyata tanda itu bukanlah sekedar tanda belaka, melainkan ada hubungannya dengan ilmu mereka. Semua itu dimaksudkan untuk membuka jalan darah penting ditubuh anak itu agar setelah besar nanti sudah siap untuk menerima pelajaran ilmu keturunan mereka yang hebat. Tanpa dilakukan pembedahan pada kepala dan totokan dipinggang itu sewaktu masih bayi, tidak mungkin mereka dapat melatih ilmu mujijat keturunan keluarga itu. Bagaimana jelasnya tentang ilmu itu, tentu saja aku tidak mengerti." A-hai mendengarkan dengan terheran-heran.
"Luka bekas jahitan dan bekas totokan? Apakah itu?"
"Aku pernah melihatnya sendiri ketika cucuku Lian Cu menjalani upacara keluarga itu setelah berusia setahun. Mula-mula dipinggangnya, sebelah kanan dan kiri tulang punggung, ditotok dan daging dibagian itu menjadi hangus melepuh seperti dibakar. Setelah sembuh, bekas totokan itu meninggalkan bekas dengan nyata. Kemudian, kulit kepala bayi itu diiris dengan ujung pedang, membujur dari ubun-ubun sampai ketengkuk. Entah apa yang mereka lakukan setelah kulit kepala dibuka karena aku sendiri tidak tega untuk menonton terus. Kemudian kulit itu dijahit kembali dan setelah sembuh meninggalkan bekas luka memanjang. Nah, demikianlah. Maka untuk menentukan apakah kongcu keturunan keluarga Souw atau bukan, amatlah mudah. Selain tanda-tanda dibadan yang tidak nampak dari luar itu, juga semua keturunan keluarga Souw memakai sebuah cincin batu giok yang ada huruf Souw diukir disitu."
A-hai mendengarkan dengan bengong. Otomatis, matanya mengerling kearah jari-jari tangannya dan dia merasa kecewa tidak melihat sebuah cincinpun dijari tangannya. Apa lagi cincin batu giok yang diukir huruf Souw, bahkan cincin kuninganpun tak pernah dia memakainya.
Kemudian, lengannya bergerak dan tangannya merayap menuju kepinggangnya dibelakang, meraba-raba dan mencari-cari tanda dikanan kiri tulang punggung seperti yang diceritakan oleh kakek itu. Akan tetapi, alisnya berkerut dan kembali dia merasa kecewa karena tangannya tidak merasakan adanya bekas luka-luka akibat totokan yang membakar itu. Dengan penasaran dia lalu meraba-raba kepalanya, jari-jari tangannya menyusup kebawah rambutnya yang tebal, mencari-cari luka bekas jahitan yang menjadi ciri khas keturunan keluarga Souw. Kakek Gu Tek menanti dengan wajah tegang, sedangkan Cui Hiang juga ikut-ikutan meraba-raba kepalanya sendiri dibawah rambut karena ia merasa amat tertarik oleh cerita aneh kakek kepala kampung itu. Selagi A-hai sibuk mencari-cari dibawah rambutnya, Cui Hiang berteriak membuat keduanya terkejut.
"Haiii! Kepalaku! dikepalaku juga ada bekas luka memanjang dari depan kebelakang! Lihatlah ini, kek!" Gadis cilik itu berseru gembira sambil menyodorkan kepalanya yang kecil itu kearah kakek kepala kampung. Tentu saja kakek yang tadinya bersikap tegang itu kini tersenyum geli. Ada-ada saja ulah gadis cilik yang buntung lengan kirinya ini, pikirnya.
"Aih, nona, jangan main-main. Nona mengejutkan saja. Sungguh lucu kau ini, dan ada-ada saja. Mana bisa nona mempunyai ciri tanda itu? Apa hubunganmu dengan keluarga Souw? ha-ha, kalau toh ada bekas luka dikepalamu, kiranya itu tentu hanya akibat pukulan dengan sendok nasi atau sumpit oleh ibumu karena kenakalanmu." Kakek itu tertawa geli sampai terguncang perutnya, bukan untuk menghina atau mentertawakan, melainkan karena benar-benar merasa lucu setelah dicekam ketegangan tadi. Akan tetapi Cui Hiang tidak ikut ketawa, malah matanya melotot.
"Kek..., tapi dikepalaku benar-benar ada bekas luka yang memanjang! Coba saja kau raba sendiri, panjang bersambung dari muka kebelakang!" Suaranya mengandung rasa penasaran sehingga menarik perhatian kakek itu.
Kakek Gu Tek masih menahan ketawa dan tersenyum lebar ketika terpaksa meluluskan permintaan Cui Hiang. Jari-jari tangannya meraba sekenanya saja kearah kepala anak itu, hanya untuk memberi kepuasan saja. Akan tetapi, tiba-tiba senyumnya sedikit demi sedikit menghilang dari paras mukanya, dan kini wajahnya dibayangi keheranan yang besar, matanya terbelalak. Jari-jari tangannya kini meraba-raba dan jelas terasa oleh ujung jari-jarinya adanya bekas luka memanjang dari ubun-ubun sampai ketengkuk. Cepat dia menyibakkan rambut yang hitam itu dan alangkah kagetnya ketika disitu dia benar-benar melihat tanda luka bekas jahitan!
"Kau.. kau... siapa?" Akhirnya kakek itu bertanya dengan suara gemetar, dan tangannya yang agak menggigil itu kini meraba pinggang. Cui Hiang mendiamkannya saja ketika bajunya disibakkan agar kakek itu dapat memeriksa punggungnya. Dan kakek Gu Tek semakin terbelalak ketika melihat betapa dikanan kiri pinggang gadis cilik itu benar-benar nampak adanya bekas totokan yang mirip jejak kaki kucing itu.
"Kau... engkau benar-benar keturunan keluarga Souw" teriaknya dengan muka berubah agak pucat.
"Hemm" Tiba-tiba A-hai berseru lirih.
"Lopek, dikepalaku juga seperti ada bekas jahitan, akan tetapi hanya pendek saja, tidak sampai keubun-ubun dan tengkuk."
"Ah, mana mungkin, kongcu? Maaf, biarkan aku memeriksanya!" Dengan hati penasaran kakek itu lalu memeriksa kepala dan pinggang A-hai. Semakin penasaran hatinya ketika menemukan bahwa memang benar dikepala A-hai ada tanda jahitan itu, akan tetapi tidak begitu panjang seperti tanda pada kepala Cui Hiang, bahkan tanda pada pinggangnya juga tidak sedalam dan sejelas seperti yang terdapat pada pinggang anak perempuan itu. Biarpun demikian, jelas bahwa tanda-tanda itu ada pada A-hai, maka kakek itu menjadi girang sekali. Dirangkulnya pemuda itu dengan hati terharu.
"Engkau benar Souw-kongcu ah, Souw-kongcu betapa girang hatiku" A-hai bersikap tenang. Bagaimanapun juga, semua ini belum meyakinkan hatinya karena ingatannya belum pulih.
"Lopek, harap maafkan aku. Sekarang aku baru dapat teringat sebagian-sebagian, dan aku sedang dalam pengobatan. Mudah-mudahan tak lama lagi aku akan dapat teringat semuanya. Aku sendiri juga mulai agak yakin bahwa aku sebenarnya adalah orang she Souw, mantumu. Akan tetapi harap jangan bertanya apa-apa tentang masa laluku. Aku belum ingat semua itu bahkan aku belum ingat tentang keluargaku. Tidak ada sedikitpun yang kuingat tentang isteri atau anakku. Bahkan setelah berhadapan dengan lopek sendiri yang agaknya tidak salah lagi tentulah ayah mertuaku, akan tetapi aku sama sekali tidak ingat dan tidak mengenal wajah lopek. Maafkanlah dan harap lopek bersabar sampai aku memperoleh kembali ingatanku."
Dengan wajah sedih kakek Gu Tek hanya mengangguk-angguk. Kini A-hai menoleh kepada Cui Hiang. Sama sekali tidak pernah disangkanya ada hal yang begini kebetulan. Dia merasa kasihan kepada Cui Hiang dan mengajaknya hidup bersama, bahkan telah menurunkan ilmu silatnya yang dia tidak tahu betul adalah ilmu simpanan keluarganya dan siapa kira, ternyata gadis ini mempunyai ciri-ciri keturunan keluarga Souw seperti yang dituturkan oleh kakek itu!
"Cui Hiang, jika dilihat dari adanya tanda-tanda ditubuhmu, ternyata diantara kita masih ada hubungan keluarga. Entah hubungan yang bagaimana aku belum dapat memastikannya. Mungkin antara paman dan keponakan atau antara saudari sepupu, atau bahkan antara kakak dan adik." Cui Hiang mengangguk-angguk, menunduk dan beberapa butir air mata menitik turun keatas sepasang pipinya yang agak pucat. Tentu saja dara kecil ini merasa gembira dan terharu sekali Pendekar yang amat dikaguminya dan disayangnya ini masih ada hubungan keluarga dengannya! A-hai kini menjura kepada kakek Gu Tek kepala kampung itu.
"Lopek, tolong beri tahu kepadaku, dimanakah tempat tinggal keluarga Souw itu? Aku harus pergi kesana karena aku yakin bahwa kalau aku pergi ketempat keluarga itu, aku akan lebih mudah mengingat masa laluku." Kakek itu mengembangkan kedua lengannya dan menggerakkan pundaknya, menarik napas panjang penuh sesal.
"Wah, inilah celakanya. Aku sendiri belum tahu tempat tinggal keluarga pendekar itu. Keluarga Souw benar-benar merahasiakan tempat mereka, bahkan aku sendiri sebagai mertuanya tidak boleh tahu. Mereka tidak mau dikenal orang, tidak ingin diganggu dengan urusan kaum persilatan. Itulah sebabnya ketika tiba-tiba mantuku dan puteriku pergi selama sepuluh tahun dan tidak pernah datang berkunjung, aku sama sekali tidak tahu kemana harus mencari mereka. Sampai-sampai isteriku, bekas selir Kaisar itu, meninggal dunia karena duka. Hanya secara samar-samar aku pernah mendengar dari puteriku, bahwa tempat tinggal mereka itu terdapat disebuah pulau penuh bunga yang indah. Rumah mereka didirikan ditepi sungai kecil yang airnya jernih, yang mengalir ditengah pulau kecil itu dan dibelakang rumah mereka... terdapat sebuah air terjun yang sangat indah!" A-hai melanjutkan, seperti dalam mimpi rasanya.
"Benar!" seru kakek itu gembira.
"Ah, engkau benar-benar mantuku! Ya Tuhan, dimanakah adanya isterimu dan cucuku yang mungil itu?" Kakek itu tidak dapat menahan runtuhnya beberapa butir air matanya. A-hai tertegun dan seluruh tubuhnya terasa lemas, wajahnya membayangkan kesedihan mendalam.
"Entahlah... entahlah, aku tidak ingat lagi..." katanya kecewa sekali. Pada saat itu terdengar teriakan beberapa orang perajurit dihalaman samping rumah,
"Hai, kepala kampung! dimana engkau? Mana masakan ayam itu? Apakah sudah siap?" Tergopoh-gopoh kakek Gu Tek menemui komandan pasukan dan menjura dengan sikap hormat.
"Maaf, tai-ciangkun, saya harus mencarikan ayam dulu karena kami sendiri tidak mempunyainya, harap ciangkun bersabar." Komandan itu menjadi marah dan membentak,
"Hemm, jangan mempermainkan aku. Siapkan secepatnya, juga untuk sore nanti karena ada seorang panglima kerajaan yang akan datang berkunjung."
"Baik, ciangkun." Dan kakek Gu Tek lalu mengatur orang-orangnya untuk mempersiapkan makanan yang dipesan oleh komandan itu. Malam itu komandan pasukan menjamu seorang panglima yang datang bersama dua orang kakek berjubah coklat. Panglima ini adalah Lai-goanswe dan dua orang kakek berjubah coklat itu adalah dua orang tokoh Liong-i-pang, dikawal pula oleh belasan orang perajurit pengawal. Setelah makan hidangan yang disuguhkan, panglima itu bertanya dengan suara lantang kepada sang komandan.
"Ma-ciangkun, sekarang ceritakan kepadaku tentang keadaan digaris depan dan terangkan mengapa engkau membawa sisa pasukanmu meninggalkan Jenderal Beng dari daerah pertempuran?" Komandan pasukan itu menarik napas panjang.
"Lai-goanswe, keadaan semua pasukan kerajaan digaris depan sudah amat payah. Pasukan-pasukan pemberontak Chu Siang Yu yang dibantu pasukan-pasukan bangsa liar sungguh terlalu amat kuat. Jumlah mereka bertambah terus sedangkan jumlah pasukan kita semakin berkurang tanpa adanya bala bantuan dari Kotaraja. Saya membawa pasukan mundur sampai kesini karena perintah langsung Beng-goanswe sendiri. Beliau kini bertahan disepanjang Sungai Ular, sedangkan kami diutus untuk mempersiapkan jalan mundur pasukan induk. Juga kami diutus untuk mencari tambahan ransum karena persediaannya sudah menipis dan tidak pernah ada kiriman bantuan ransum dari Kotaraja. Kekuatan musuh hampir tiga kali lipat jumlahnya. Jenderal Beng Tian bermaksud untuk mengumpulkan sisa pasukan yang ada, bertahan dibenteng terakhir sampai titik darah terakhir."
"Apakah Jenderal Beng sudah mendengar bahwa didaerah selatan dan timur juga muncul barisan pemberontak Liu Pang yang tidak kalah kuatnya?"
"Sudah, Beng-goanswe sudah mendengar berita itu. Hal itu pulalah yang membuat Beng-goanswe menjadi patah semangat. Beliau berpendapat bahwa kalau sampai pasukan yang paduka pimpin itu sampai kalah, itu berarti bahwa barisan pemberontak Liu Pang itu tentu kuat sekali. Mungkin lebih kuat dari pada pasukan pemberontak Chu Siang Yu. Kalau sudah muncul dua pasukan pemberontak yang masing-masing memiliki kekuatan melebihi kekuatan pemerintah, apa yang mesti diperbuat lagi? Paling-paling kita bertahan sampai kita gugur sebagai bunga bangsa!" kata komandan pasukan she Ma itu dengan sikap gagah. Jenderal Lai menarik napas panjang.
"Betapa menyedihkan melihat banyaknya orang yang menjadi perajurit setia seperti engkau ini telah tewas dengan sia-sia. Ma-ciangkun, maksudmu untuk gugur sebagai bunga bangsa memang menjadi watak seorang perajurit sejati. Akan tetapi ada suatu hal yang lebih penting lagi untuk dipikirkan. kalau tekad itu dilakukan demi membela tanah air dan bangsa, memang tepat dan sudah menjadi kewajiban setiap orang warga negara. Akan tetapi lebih bijaksanalah kalau kita melihat dulu untuk siapa kita berjuang. Benarkah untuk negara dan bangsa, ataukah hanya untuk segelintir manusia di Istana yang merupakan manusia-manusia lalim dan tidak patut kita bela?"
"Apa... apa maksud paduka?" Ma-ciangkun memandang heran. Dia adalah seorang perajurit tulen yang setia dan dia mengenal benar Jenderal Lai ini yang selama puluhan tahun pernah menjadi atasannya. Seorang jenderal yang setia! Akan tetapi mengapa kini mengeluarkan kata-kata yang membingungkan hatinya itu?
"Ma-ciangkun. Aku baru saja dari Kotaraja. Kaisar baru dan para pembantunya sungguh membuat kita prihatin. Mereka itu sama sekali tidak memperdulikan keadaan pasukan yang didesak musuh. Mereka bersenang-senang, berpesta-pora dan melakukan segala macam kemaksiatan yang menjijikkan. Pembesar-pembesar penjilat dan korup dinaikkan pangkat, kaum sesat yang amat kejam dijadikan pengawal-pengawal dan panglima, sedangkan pejabat-pejabat yang setia dan jujur malah dipecat, dipenjarakan atau dibunuh. Istana seperti menjadi sarang penjahat yang paling keji. Ketika aku menghadap Kaisar yang masih muda itu, sama sekali tidak ada penghargaan melihat betapa aku dan pasukanku telah membela kerajaan mati-matian, bahkan hampir saja aku dibunuh oleh begundal-begundal Kaisar yang terdiri dari datuk-datuk sesat yang lihai itu. Apakah sekarang engkau masih mau gugur sebagai bunga bangsa demi sekumpulan manusia lalim dan sesat seperti mereka itu?" Wajah perwira Ma menjadi pucat.
Pendekar Tanpa Bayangan Eps 8 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 5 Naga Beracun Eps 14