Ceritasilat Novel Online

Pedang Penakluk Iblis 13


Pedang Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 13




   Hui Lian mengucapkan kata-kata merendahkan diri. Hidangan datang dan mereka makan minum dengan gembira. Ternyata bahwa biarpun sudah tua, pembesar itu. pandai sekali bergaul dan amat gembira. Selain ini ia amat mencinta isterinya, sehingga dalam makan minum ini, dengan penuh perhatian ia menyumpit potongan-potongan daging yang paling baik untuk dimasukkan ke dalam mangkok di depan isterinya. Mulutnya tiada hentinya menghibur isterinya ini supaya jangan gelisah, supaya makan agar jangan sakit dan sebagainya.

   Setelah makan minum selesai, pembesar itu minta maaf kepada Kong Ji dan Hui Lian, menggandeng tangan isterinya dan berkata.

   "Isteriku baru saja mengalami kekagetan, harap jiwa maafkan, kami hendak beristirahat." Setelah mereka pergi, Kong Ji nampak murung. Diam-diam Hui Lian memperhatikan dan kemudian ia tidak tahan untuk tidak bertanya.

   "Kau mengapa, Suheng? Agaknya tidak senang hatimu...."

   "Bukan tidak senang, Sumoi, hanya aku berduka memikirkan nasib diriku. Melihat suami isteri tadi... mereka begitu rukun dan saling mencinta... aah..." ia memandang tajam kepada Hui Lian dengan pandang mata penuh arti.

   Merahlah wajah Hut Lian. ia bangkit dari duduknya dan mengalihkan percakapan.

   "Suheng, aku pun hendak mengaso sebentar. Perjalanan tadi, telah membikin mataku agak pedas mungkin banyak debu membikin kotor mata." ia lalu meninggalkan suhengnya, masuk ke dalam kamarnya.

   Akan tetapi ternyata Kong Ji mengikutinya dan kini berdiri di pintu.

   "Boleh aku masuk, Sumoi?"

   "Mengapa tidak? Asal daun pintu kau biarkan terbuka." Kong Ji melangkah masuk dan duduk diatas bangku. Hui Lian duduk di atas pembaringan.

   "Suheng," kata Hui Lian tidak enak melihat pemuda itu diam saja.

   "kau pergilah ke kamarmu, lebih baik kita mengaso dulu."

   Akan tetapi Kong Ji tidak bergerak dari tempat duduknya dan menatap wajah sumoinya dengan mata penuh kerinduan.

   "Sumoi, apakah kau tidak mau bersikap agak manis kepadaku? Sumoi, kau tahu akan perasaan hatiku kepadamu, kau tahu bahwa aku amat rindu kepadamu, aku... aku...."

   "Hush, Suheng, aku tidak suka bicara tentang ini, sekarang bukan waktunya!" Hui Lian mengerutkan keningnya.

   Kong Ji menundukkan mukanya, kelihatan sedih sekali sehingga tak terasa pula Hui Lian menjadi terharu. Demikian pandai, pemuda itu menarik mukanya sehingga nampak amat berduka dan putus asa.

   "Memang aku Liok Kong Ji semenjak kecil bernasib buruk. Pembesar bandot tua itu, tukang korupsi dan manusia tiada guna masih lebih bahagia dari padaku. Ada seorang wanita yang mencintaya, akan tetapi aku... hanya kebencian yang ada dalam dada semua wanita terhadapku...."

   "Suheng jangan bicara begitu, kau mengasolah di kamarmu. Tenangkan pikiranmu dan jangan berpikir yang tidak-tidak."

   Kong Ji, berdiri, kelihatan lemas.

   "Maaf, Sumoi, aku tadi melantur. Akan tetapi aku tidak akan beristirahat, aku harus pergi ke Bu-cin-pang untuk menagih hutang lama. Kau mau ikutkah?"

   Tentu saja Hu, Lian tidak mau ditinggalkan dalam urusan ini, ia segera berkemas dan tak lama kemudian berangkatlah mereka berdua menuju perkumpulan Bu-cin-pang. Dengan mudah saja mereka mendapat keterangan di mana adanya rumah perkumpulan ini.

   Rumah perkumpulan Bu-cin-pang atau Bu-cin-pai adalah rumah perkumpulan yang besar dan megah, karena memang perkumpulan ini yang paling besar dan berpengaruh di dalam kota itu. Sebagai-mana pembaca masih ingat, di dalam permulaan cerita ini, telah dituturkan serba sedikit tentang Bu-cin-pang yang mengeluarkan barongsai yang kemudian menjagoi dan betapa timbul bentrokan antara Bu-cin-pang dan tiga pengemis dari Hek-kin-kai-pang. Kemudian Lie Bu Tek membela para pengemis itu, mengalahkan orang orang Bu-cin-pang sehingga Hoa-san-pai dimusuhi oleh Bu-cin-pang.

   Kong Ji dan Hui Lian tiba di depan gedung itu. Hui Lian ikut dengan suhengnya, bukan semata-mata karena ingin menghadapi urusan pembalasan sakit hati, juga ia ingin menyaksikan sepak terjang Kong Ji dan ingin menjaga agar suhengnya itu tidak terlalu ganas.

   "Suheng, menurut penuturanmu itu, yang bersalah dan berdosa terhadap Hoa-san-pai, hanyalah Ma Ek itu. Maka harap kau suka maafkan anggauta-anggauta lain yang tidak berdosa," pesannya ketika mereka pergi ke rumah perkumpulan ini. Kong Ji hanya mengangguk.

   Beberapa orang anggauta Bu-cin-pang melihat kedatangan mereka. Di antara mereka terdapat orang-orang yang tadi mengawal kereta pembesar Cu, maka melihat kedatangan Hui Lian, mereka benar-benar menyambut dengan muka berseri. Akan tetapi melihat Kong Ji, merek:a bersikap dingin.

   "Lihiap, ini merupakan kehormatan besar sekali bagi Bu-cin-pang," kata seorang di antara mereka kepada Hui Lian.

   "Jangan banyak cerewet!" Kong Ji memotong.

   "Lekas panggil keluar Si Moyet Tua Ma Ek!"

   Orang-orang itu melongo, kemudian mereka menjadi marah sekali. Seorang di antara mereka melangkah maju menghadapi Kong Ji dan berkata tak senang "Sahabat, mengapakah kau bersikap begini tidak patut terhadap kami? Tadi kau sudah menghina kami dan kami diam saja karena kami mengingat akan pertolongan Lihiap ini, sekarang kau datang-datang memaki ketua kami."

   "Jangan banyak cakap, lekas panggil bangsat tua Ma Ek kesini, aku mau bicara"" kata Kong Ji dan kedua tangannya digerakkan secara sembarangan ke depan, akan tetapi akibatnya empat orang anggauta Bu-cin-pang seperti tertiup badai dan terlempar ke kanan kiri.

   Keadaan menjadi rebut, sebagian menjauhkan diri dan ada beberapa orang lagi berlari masuk ke dalam. Kong Ji tersenyum kepada Hui Lian melihat gadis ini agak khawatir kalau-kalau Kong Ji menyebar maut.

   Akan tetapi, setelah anggauta Bu-cin pang yang berlari masuk tadi keluar lagi, mereka bukan mengiringkan ketua Bu cin-pang, melainkan seorang pemuda berusia dua puluh tahun lebih, bertubuh tinggi besar dan bersikap gagah. Pemuda ini adalah putera dari Ma Ek bernama Ma Hoat. ia menjura kepada Hui Lian karena ia sudah mendengar dari anak buahnya tentang kegagahan nona ini, kemudian ia menghadapi Kong Ji.

   "Siapakah yang ingin bertemu dengan Ma-lo-pangcu (Ketua Ma)" tanyanya ragu-ragu.

   Kong Ji maju selangkah.

   "Aku Toat-ma-beng (Pencabut Nyawa Kuda) hendak bertemu dengan Lo-ma (Kuda Tua), di mana dia?" Dengan kata-kata ini, terang sekali Kong Ji menghina Ma Ek. Nama keturunan Ma Ek adalah Ma atau boleh diartikan kuda, maka dengan menyebut diri Pencabut Nyawa Kuda, jelas bahwa ia datang hendak memusuhi Ma Ek.

   Merahlah wajah Ma Hoat mendengar ini.

   "Kau ini manusia kurang ajar sekali. Ayahku Siang-pian Giam-ong (Raja Maut Senjata Sepasang Ruyung) bukan orang orang boleh dipermainkan dan aku puteranya, Tiat-jiu (Si Tangan Besi) Ma Hoat juga tidak suka menelan hinaan orang begitu saja. Ayah sedang keluar kota, dan kau mau apakah?" Kong Ji mengeluarkan ketawa kecil, lagaknya menghina sekali.

   "Hem, kau kuda kecil jangan banyak berlagak. Ketahuilah bahwa Ayahmu itu dosanya sudah setinggi bukit dan aku datang untuk mencabut nyawanya."

   "Bedebah!" Ma Hoat tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Ia memaki dan cepat menerjang maju dengan sepasang "tangan besinya"!

   Akan tetapi mana bisa ia melawan Kong Ji. Andaikata ada seratus Ma Hoat, kiranya takkan mudah merobohkan Kong Ji. Maka semua orang Bu-cin-pang terheran-heran ketika terdengar suara "duk" dan biarpun mereka melihat jelas betapa kepalan tangan kanan dari Ma Hoat dengan tepat mengenai dada Kong Ji, namun bukan pemuda ini yang roboh melainkan Ma Hoat sendiri yang terpental ke belakang lalu jatuh bergulingan sampai lima kali. Ma Hoat berdiri sambil meringis kesakitan.

   "Masih ada yang gatal tangan hendak memukulku? Boleh, hayo silakan maju!" Kong Ji menantang sambil melangkah maju dan membusungkan dadanya. Ma Hoat dan kawan-kawannya otomatis melangkah mundur ketakutan. Akan tetapi dengan mendongkol sekali Ma Hoat berkata,

   "Kau lihai sekali, akan tetapi siapakah kau dan mengapa kau memusuhi kami? Mengakulah terus terang agar kelak dapat kami laporkan kepada Ayah kalau ia datang."

   "Hem, tikus-tikus bernyali kecil...." kata Kong Ji dan ketika Hui Lian melihat suhengnya itu menggerak-gerakkan tangan mengerahkan tenaga Tin-san-kang seakan-akan siap untuk menyebar pukulan ia cepat berkata,

   "Suheng tidak perlu membunuh orang yang tidak berdosa. Ma Ek tidak ada, biarlah lain kali datang lagi."

   Kong Ji menoleh kepada sumoinya, kemudian ia tersenyum kepada para anggauta Bu-cin pang.

   "Kau dengar itu? Kalau tidak taat kepada Sumoiku yang berhati emas, kalian sudah hancur seperti ini!" ia menggerakkan kedua tangan memukul ke atas di depannya dan "bra braak!" papan nama Bu-cin-pang berikut sebagian payon rumah di depan jatuh berantakan ke bawah. Ma Hoat dan kawan-kawannya menjadi pucat mereka tak bergerak seperti patung memandang kepada dua orang saudara seperguruan itu yang meninggalkan mereka.
(Lanjut ke Jilid 13)

   Pedang Penakluk Iblis/Sin Kiam Hok Mo (Seri ke 02 - Serial Pendekar Budiman)
Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 13
Tiba-tiba Kong Ji menoleh kepada Ma Hoat dan berkata.

   "Kalau kau masih penasaran, aku bermalam di hotel Sen an-koan, di kamar nomor tujuh!"

   Setelah jauh dari situ, Hui Lian bertanya heran.

   "Suheng, nomor kamar adalah sembilan dan nomor kamarku belas. Kamar nomor tujuh adalah kamar Cu-taijin dan isterinya. Mengapa menyebut nomor kamarmu nomor tujuh?

   Kong Ji tersenyum dan berkata.

   "Begitukah? Ah, aku sudah lupa lagi akan nomor kamar-kamar kita, Sumoi. Akan tetapi tidak mengapa, kukira mereka takkan begitu goblok untuk datang ke hotel Seng-an-koan."

   Biarpun mulutnya bicara demikian, namun sesungguhnya Kong Ji ketika memberitahukan tempat menginap tadi ia mengandung maksud yang amat mengerikan. Memang otak pemuda ini, dapat merangkai dan mengatur siasat secara kilat, yang bagi orang lain merupakan siasat yang masak selama berhari-hari. Tentu saja Hui Lian sudah puas dengan jawaban itu dan tidak mengira sama sekali bahwa pada malam hari itu akan terjadi hal-hal yang amat menyeramkan di kamar tujuh hotel Seng-an-koan....... .

   Sukar sekali untuk mengikuti jalan pikiran Kong Ji, juga amat sukar untuk nengenal dan mengerti wataknya yang amat aneh. Pemuda ini, kalau dilihat dan didengar begitu saja, nampak seperti seorang pemuda tampan dan halus, sopan dan lemah lembut tutur katanya, bahkan kadang-kadang kelihatan seperti seorang yang amat baik hati. Akan tetapi, hanya iblis yang mengetahui keadaan di dalam ruang kepala dan dadanya. Ruang dadanya penuh dengan hawa dan nafsu jahat, penuh dendam dan dengki, iri hati dan suka melihat orang lain menderita. Kepalanya penuh dengan siasat-siasat busuk yang amat cerdik dan licik, penuh dengan kecerdikan yang langka, sehingga boleh jadi pikiran pemuda aneh ini sudah mendekati kegilaan.

   Malam hari itu Hui Lian tidak dapat tidur. Ia memikirkan keadaan suhengnya. Mulai tampak olehnya keanehan watak suhengnya itu, dan kalau ia ingat betapa suhengnya menyatakan cinta kasih begitu terus terang ia merasa terharu, juga kasihan dan bingung. Ia sendiri suka kepada Kong Ji, akan tetapt ia tidak tahu apakah dia cinta kepada pemuda itu atau tidak. Memikirkan bahwa suhengnya menjadi suaminya, bagi Hui Lian adalah hal yang amat tidak mungkin, hal yang amat memalukan, hal yang tidak disukanyai. Tentu saja gadis yang masih muda ini belum dapat membedakan antara suka dan cinta, bahkan ia masih belum tahu apakah sebetulnya cinta kasih itu.

   Kemudian ia teringat akan ayah bundanya dan mengalirlah air mata Hui Lian teringat kepada ibunya dan merasa amat rindu. Mengapa ia telah berlaku lancang, minggat dari rumah bersama Kong Ji?. Akan tetapi ketika ia teringat akan percakapan antara ayah bundanya dan Soan Li sucinya, hatinya menjadi panas dan ia merasa kasihan kepada Kong Ji. Selama ini, ia tidak mendapat bukti kebenaran tuduhan Soan Li terhadap Kong Ji. Sudah jelas bahwa suhengnya itu seorang gagah yang berjiwa pendekar.

   Menjelang tengah malam, barulah Hui Lian dapat tidur pulas. Akan tetapi tidak lama ia tidur nyenyak karena tiba-tiba ia mengimpi mendengar suara orang-orang ketawa. Suara ketawa ini demikian aneh dan menyeramkan sehingga ia menjadi gelagapan dan terbangun dari tidurnya. Namun, biarpun Hui Lian sudah telentang, dengan mata terbuka lebar, masih saja ia mendengar suara ketawa yang menyeramkan itu! Bulu tengkuk gadis ini berdiri. Selama hidupnya belum pernah ia mendengar suara ketawa yang demikian anehnya. Ayahnya seringkali mendapat kunjungan tokoh-tokoh kang-ouw yang aneh-aneh, dan ada pula di antaranya mereka itu yang suara ketawanya aneh sekali, namun tidak seperti suara ketawa yang ia dengar pada malam ini, yang ia dengar dalam mimpi dan juga dalam keadaan sadar! Kemudian suara itu lenyap dan kini terdengar suara orang menangis perlahan. Hui Lian yang mempunyai pendengaran tajam terlatih ini tahu bahwa itulah suara seorang wanita terisak-isak ketakutan.

   Karena masih terpengaruh oleh suara ketawa yang menyeramkan tadi dan masih terheran-heran mengapa di dalam mimpi ia juga mendengar suara itu, Hui Lian sampai lama berbaring telentang. Setelah ia yakin betul bahwa ia sudah sadar dan bahwa suara wanita terisak isak itu jelas terdengar keluar dari kamar Cu-taijin, pembesar dan isterinya yang bermalam di kamar nomor tujuh hotel itu, ia melompat turun.

   Hui Lian menjadi serba salah. ia melompat turun dari pembaringan dan duduk di atas bangku, mendengarkan suara isak tangis itu. Apa yang harus ia lakukan? Ia tidak tahu mengapa nyonya itu menangis. Apakah cekcok dengan suaminya? Apakah yang terjadi? Memang amat mudah bagi Hui Lian untuk mengintai ke dalam kamar nomor tujuh itu, akan tetapi ia tidak sudi mengintai kamar di mana menginap sepasang suami isteri!

   Akan tetapi, Hui Lian teringat akan sesuatu dan pucatlah dia. Bukankah suhengnya tadi memberi tahu kepada Ma Hoat dan orang orang Bu-cin-pai bahwa suhengnya bermalam di hotel ini di kamar nomor tujuh? Siapa tahu kalau orang Bu-cin-pai datang menyerbu kamar itu! Pikiran ini membuat Hui Lian cepat-cepat menyambar pakaian luarnya, memakai pakaian itu lalu membawa pedangnya, melompat keluar dari jendela setelah membuka daun jendela itu perlahan- lahan. ia melompat terus ke atas genteng dan dengan beberapa kali gerakan kaki saja ia sudah tiba di atas kamar nomor tujuh.

   Kini jelas terdengar suara isak tangis itu dan tiba-tiba terkejutlah Hui Lian karena mendengar suara Nyonya Cu itu menjerit keras sekali, disusul pula oleh teriakan mengaduh nyonya itu. Sebelum hilang kagetnya, Hui Lian mendengar pula suara pembesar she Cu itu.

   "Aduh... mati aku...!"

   Hui Lian hendak menerjang masuk melalui jendela yang hendak ditendangnya, akan tetapi ia mendengar suara gaduh di kamar itu, dan terdengar pintu, tertendang roboh dan disusul suara Kong Ji.

   "Bangsat she Ma, kau benar-benar berani datang mengantar kematian?"

   Cepat Hui Lian menendang jendela dan meloncat ke dalam. Ia melihat pemandangan yang amat mengerikan sehingga biarpun ia tabah, tetap saja gadis ini membuang muka dan tidak berani memandang ke atas pembaringan. Di atas pembaringan itu, tubuh Nyonya Cu yang berkulit putih dengan pakaian tidak keruan menggeletak dengan leher putus! Juga pembesar she Cu itu menggeletak di atas lantai dengan kepala pisah dan tubuhnya. Di atas tempat tidur dan di lantal darah....... membanjir, menimbulkan pemandangan yang amat menyeramkan. Ma Hoat, pemuda tinggi besar putera Siang-pian Giam-ong Ma Ek, berdiri di sudut dengan tangan kanan masih memegang sebatang golok yang berlumur darah, dan dari cara pemuda ini berdiri, maklumlah Hui Lian bahwa pemuda ini sudah kena ditotok oleh Kong Ji sehingga berdiri kaku seperti patung. Namun mata pemuda she Ma itu ditujukan kepada Kong Ji penuh kebencian. Adapun Kong Ji sendiri, telah menyalakan lilin dan kini memegang tempat lilin, wajahnya agak pucat.

   "Sayang kita terlambat, Lian-moi"." katanya perlahan ketika ia mellhat Hui Lian melayang masuk dari jendela.

   Hui Lian tak dapat berkata apa-apa pada saat itu, ia masih terpengaruh oleh pemandangan yang amat mengerikan. Sementara itu, dan luar terdengar tindakan kaki banyak orang yang tentu saja tertarik oleh jerit dan teriakan tadi.

   "Bangsat seperti ini harus dibikin mampus!" kata Kong Ji dan tangan kirinya yang tadi bergerak memasuki saku bajunya, menyambar ke arah kepala atau ubun-ubun kepala pemuda she Ma itu. Hui Lian tidak mencegah karena memang ia juga benci melihat kekejaman Ma Hoat.

   Akan tetapi aneh, ketika jari jari tangan Kong Ji menimpa kepala Ma Hoat, tidak terjadi sesuatu. Bahkan pemuda itu tidak kelihatan sakit, sehingga Hui Lian menjadi heran, lalu memandang kepada suhengnya. Akan tetapi sebenarnya Kong Ji telah melakukan semacam pukulan keji yang ia pelajari dari See-thian Tok-ong, yakni pukulan yang disebut pukulan "merampas ingatan" dan pukulan perlahan ini telah merusak urat-urat saraf di antara otak sehingga untuk selamanya pemuda she Ma ini akan menjadi lupa keadaan atau gila! Perubahan hanya terlihat kepada sinar matanya yang tiba-tiba menjadi layu dan bengong.

   "Mari kita keluar, Moi moi," kata Kong Ji. Hui Lian tanpa menjawab ikut keluar dari pintu kamar itu. Banyak orang datang di depan pintu, dengan lampu di tangan. Juga semua pengurus hotel datang di tempat itu.

   "Telah terjadi pembunuhan hebat, pembunuhnya telah kami tangkap dan kini berada di kamar dalam keadaan tidak berdaya. Kalian uruslah hal ini dan serahkan pembunuh itu kepada yang berwajib," kata Kong Ji senang, kemudian ia bersama Hui Lian meninggalkan tempat itu, pergi duduk di ruang depan.

   Orang-orang menyerbu masuk ke dalam kamar dan mereka bergidik menyaksikan pemandangan yang amat menyeramkan itu. Akan tetapi alangkah kaget hati mereka ketika mereka melihat bahwa yang menjadi pembunuh keji itu bukan lain adalah Ma Hoat, seorang tokoh yang amat disegara di Keng-sin-bun. Siapakah yang tidak kenal dengan putera dui ke-tua Bu-cin-pai ini? Akan tetapi, mereka makin terheran-heran ketika melihat pemuda she Ma ini tertawa ha-ha-hi-hi dan tidak dapat btrgerak, tidak melawan ketika golok yang berlumur darah itu di ambil orang. Tubuhnya kaku dan tidak bertenaga sama sekali. Ributlah semua orang dan urusan ini lalu diserahkan kepada pembesar yang berkuasa di kota itu.

   "Suheng bagaimanakah terjadinya itu semua?" tanya Hui Lian kepada Kong Ji dengan suara masih menyatakan kengeriannya. Kong Ji menarik napas panjang dan wajahnya yang tampan itu nampak agak pucat. Kelihatannya ia menaruh hati kasihan sekali kepada pembesar dan isterinya itu.

   "Sebetulnya aku sudah tidur, akan tetapi tiba-tiba aku mendengar suara kaki di atas genteng. Aku cepat bangun dan bersiap sedia, karena aku mengira bahwa ada orang jahat hendak memasuki kamarku. Ternyata aku salah duga dan sama sekali tidak tahu bahwa bangsat she Ma itu memasuki kamar nomor tujuh. Kemudian aku mendengar tangis nyonya muda itu sehingga aku menjadi curiga. Cepat aku keluar dan mengintai di dalam kamar. Remang-remang aku mehhat bahwa she Ma itu telah berada di dalam kamar dengan golok di tangan! Aku tidak tahu apa yang ia lakukan akan tetapi agaknya ia melakukan perbuatan yang tidak patut dan mengancam nyonya itu dengan goloknya, sedangkan suami tua bangka itu tidak dapat berbuat apa-apa. Mungkin nyonya muda itu melawan, maka tiba-tiba sebelum aku dapat mencegah, bangsat she Ma itu telah mengayun goloknya, membunuh Cu-hujin dan suaminya. Melihat ini, aku cepat menendang daun pmtu, ia hendak menyerang akan tetapi aku mendahuluinya, menotoknya dan memasang lilin. Dan pada saat itulah kau menendang daun jendela dan melompat masuk."

   Hui Lian bergidik. ia merasa heran sekali mengapa Ma Hoat melakukan pembunuhan ini. Agaknya Kong Ji dapat membaca apa yang dipikirkan oleh sumoinya, buktinya pemuda ini menarik napas dan berkata,

   "Tentu ia mengira bahwa yang berada di dalam kamar itu adalah aku dan... dan kau...."

   Merah wajah Hut Lian mendengar ini -dan untuk menyembunyikan rasa jengahiya, ia berkata mencela suhengnya.

   "Semua adalah gara-garamu, Suheng. Kalau kau tidak salah memberi tahu bahwa kamarmu nomor tujuh, suami isteri itu takkan mengalami nasib yang demikian menyedihkan."

   Kong Ji menarik muka menyesal sekali.

   "Memang aku yang bodoh, mari aku pergi membasmi orang-orang Bu-cin-pai!" Ia bangun berdiri seakan-akan hendak melaksanakan ancamannya ini, akan tetapi Hui Lian mencegahnya. Pada saat itu, orang-orang mengangkat jenazah Nyonya Cu untuk diurus seperlunya. Kong Ji duduk kembali dan memandang. Bibirnya bergerak-gerak sedikit dan hatinya berkata.

   "Kalau kau tidak melawan, aku takkan membunuhmu!"

   Jenazah ke dua datang digotong orang, yakni Cu-taijin yang juga ditutup dengan kain, Kong Ji menyeringai dan hatinya berkata.

   "Kalau isterimu tidak muda dan cantik, kau takkan mampus!"

   Kini orang menggiring keluar pemuda she Ma yang dituduh menjadi pembunuh kejam itu, Hui Lian semenjak tadi melihat rombongan itu dengan hati ngeri, menjadi terheran-heran. Ma Hoat berjalan terhuyung-huyung, kedua tangannya diikat orang dan yang mengherankan sinar mata pemuda ini layu dan matanya terbelalak memandang kosong ke depan, babirnya bergerak-gerak seperti orang bicara perlahan dan kadang-kadang ia tertawa menyeringai!

   "Dia telah gila..." bisik Hui Lian.

   "Ya, dia gila dan tentu akan dihukum. Pembalasan yang baik sekali bagi tokoh Bu-can-pai," kata Kong Ji.

   Hui Lian menengok kepadanya.

   "Suheng kau tadi menggerakkan tangan ke arah kepalanya, kau telah memukulnya dengan pukulan apakah"

   Kong Ji tersenyum.

   "Tadinya aku hendak membunuhnya karena hatiku panas sekali melihat kekejamannya, akan tetapi aku lalu ingat bahwa kalau aku membunuhnya, orang akan mengira aku yang membunuh suami isteri itu, maka aku menahan tenagaku dan hanya menepuk kepalanya. ia terluka akan tetapi tidak mati.

   "Hm, kau sudah menghukum dia, Suheng. Tentu dia takkan lama hidup."

   "Entahlah, mungkin beberapa pekan..." jawab Kong Ji kurang peduli.

   Hui Lian tidak mempunyai alasan untuk tidak percaya kepada suhengnya. Semua nampak begitu wajar. Peristiwa mengerikan itu pun wajar. Semua orang dapat melihat bahwa Ma Hoat memasuki kamar suami isteri itu, agaknya hendak mengganggu Nyonya Cu, kemudian membunuh mereka. Mungkin juga tadinya Ma Hoat mengira bahwa kamar itu didiami oleh Kong Ji dan Hui Lian. Tentu demikian terjadinya pembunuhan itu, tak bisa lain. Hui Lian juga percaya, hanya ia masih bingung dan terheran bagaimana Ma Hoat yang tidak berapa tinggi kepandaiannya itu begitu berani mati untuk datang menuntut balas!

   Tentu saja Hui Lian tidak mendengar suara hati Kong Ji tadi, juga tidak dapat melihat apa yang tersembunyi di balik senyuman wajah tampan itu. Kalau gadis ini tahu apa yang sebetulnya telah terjadi, mungkin ia akan roboh pingsan saking kagetnya, dan mungkin ia akan menjauhi suhengnya seperti orang menjauhi ibis! Tak seorang pun tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kong Ji telah mempergunakan kepandaiannya, pada tengah malam itu ia keluar dari kamarnya tanpa diketahui oleh siapa pun juga. Kemudian ia mengunjungi rumah Ma Hoat, juga tanpa diketahui orang ia memasuki kamar Ma Hoat menotok pemuda ini dan membawanya Iari ke rumah penginapan itu, kemudian ia melompat ke dalam kamar nomor tujuh dan melemparkan tubuh Ma Hoat ke lantai. Cu-taijin terbangun akan tetapi ia segera ditotok dan tak berdaya.

   Dalam kegilaannya, Kong Ji yang malam itu sudah berubah menjadi iblis, hendak mengganggu nyonya muda yang membikin dia tergila-gila karena kecantikannya. Hanya seorang iblis yang bisa melakukan hal ini mengganggu isteri orang di depan suaminya dan di depan orang lain! Nyonya Cu mengecewakan hatinya karena meronta dan menangis, maka ia lalu mengambil golok yang tadi dibawanya dari kamar Ma Hoat membabat putus leher Nyonya Cu, kemudian membebaskan totokannya pada Cu-taijin untuk memberi kesempatan kepada orang tua ini berteriak, membunuhnya pula dengan golok yang masih berlumur darah itu. Kemudian, ia menekan gagang golok ke dalam tangan kanan Ma Hoat sambil menotoknya sehingga tubuh pemuda ini menjadi kaku!

   Semua itu memang sudah direncanakan lebih dulu, bahkan telah direncanakan ketika ia mengaku menginap di dalam kamar nomor tujuh di hotel itu pada saat ia hendak meninggalkan Bu-cin-pai bersama Hui Lian. Oleh karena siasat ini diatur amat licin, biar Hui Lian sendiri kena ditipu dan sama sekali tidak menyangka bahwa pembunuhan itu adalah perbuatan Kong Ji.

   Betapapun juga, setelah terjadinya peristiwa ini, di waktu malam Hui Lian suka gelisah. Ia mendapat perasaan bahwa kadang-kadang suhengnya itu kelihatan amat aneh, penuh rahasia dan ada sesuatu yang amat seram menakutkan terbayang pada diri pemuda itu. Mereka melanjutkan perjalanan dan dalam usaha mereka mencari Giok Seng Cu, Ba Mau Hoatsu, dan See thian Tok-ong yang menurut Kong Ji harus dibalas, mereka makin mendekati tapal batas di daerah utara. Memang, orang-orang kang-ouw mengabarkan bahwa tokoh-tokoh besar pada pergi ke utara, di mana mulai panas suasananya dengan adanya tanda-tanda memberontak dari bangsa Mongol.

   Pada suatu malam, ketika dua orang muda ini bermalam di sebuah rumah penginapan besar di kota Potouw di lembah Sungai Kuning, kota yang sudah mendekati perbatasan dengan Mongol, terjadi hal ke dua yang membuat gadis ini makin berlaku hati-hati terhadap suhengnya. Makin ke utara, makin berkuranglah wanita-wanita cantik dan biarpun hal ini bagi Hui Lian tentu saja tidak ada artinya, namun bagi Kong Ji merupakan siksaan besar! Semenjak meninggalkan Pulau Kim-bun-to dan melakukan perjalanan dengan Hui Lian, secara diam-diam di luar tahu sumoinya ini, entah sudah berapa kali Kong Ji melakukan perbuatan-perbuatan yang terkutuk.

   Sepak terjangnya lebih jahat dan mengerikan daripada perbuatan seorang jai-hwa-ciat (bangsat pemetik bunga) biasa, dan lebih kejam daripada seorang perampok biasa. Di mana-mana ia meninggalkan maut sebagai bekas tangannya dan semua ini di lakukan demikian cepat dan licin tanpa meninggalkan bekas sehingga biarpun perbuatan-perbuatannya menyebar maut di mana-mana ini menggegerkan dunia kang-ouw, namun tak seorang yang dapat menerka perbuatan siapakah yang demikian keji itu. Apalagi orang lain bahkan Hui Lian yang melakukan perjalanan bersama dengan Kong Ji, masih tidak tahu sama sekali akan segala perbuatan pemuda ini!

   Wanita-wanita utara memang tidak secantik wanita-wanita selatan dan daerah utara ini jauh kalau dibandingkan dengan daerah selatan yang kaya dan penuh kota-kota perdagangan. Juga hawanya tidak menyenangkan, amat dingin sewaktu musim salju dan luar biasa panasnya di waktu musim panas. Oleh karena ini, Kong Ji merasa tersiksa dan setiap hari ia membujuk Hui Lian untuk mempercepat perjalanan agar mereka segera sampai di tempat yang mereka tuju, yakni Telaga Gasyun Nor, tempat yang terkenal sebagai tempat berkumpulnya orang-orang Mongol di bawah pimpinan Temu Cin yang gagah perkasa. Kong Ji dan Hui Lian mendengar bahwa di sana banyak berkumpul orang-orang kang-ouw dan kiranya di tempat inilah mereka akan dapat bertemu dengan tokoh-tokoh yang mereka cari.

   Memang mencari tokoh-tokoh yang dianggap musuh besar itu dipergunakan oleh Kong Ji sebagai alasan, padahal sebenarnya ia mempunyai cita-cita lain. Ia ingin mengadakan hubungan dengan pemimpin-pemimpin orang Mongol, untuk bersekutu dengan mereka dan mencari kesempatan mendapatkan kekuasaan dan pengaruh!

   Malam hari itu, ketika berbaring di dalam kamarnya, Kong Ji tak dapat pulas. ia gelisah sekali bergulik ke kanan kiri. Hawa di dalam kamar panas bukan main dan beberapa kali pemuda ini mengeluarkan suara keluhan panjang pendek.

   Kemudian ia bangkit dari tempat tidurnya, membuka pintu kamar. Keadaan sunyi karena waktu itu sudah menjelang tengah malam. Rumah penginapan yang besar dan kuno itu tidak banyak tamunya sehingga kamar-kamar banyak yang kosong. Para pelayan sudah tidur nyenyak dan keadaan gelap. Kong Ji melompat dan sebentar saja ia sudah berada di luar jendela kamar Hui Lian!

   Untuk beberapa lama ia ragu-ragu menggeleng-geleng kepala dan melangkah menjauhi jendela, hendak kembali ke kamarnya sendiri. Akan tetapi kembali berhenti bertindak, menoleh dan mendekati jendela lagi. Sampai lama ia berdiri di situ, ragu ragu dan sangsi. Kalau orang melihat mukanya tentu akan melihat pertentangan keras di dalam batin pemuda ini terbayang pada mukanya, pertentangan antara dua pikiran atau dua suara yang bertempur di dalam dadanya.

   Akhirnya wajahnya berubah beringas dan sekali ia menggerakkan tangan daun jendela kamar Hui Lian terbuka. Kemudian tubuhnya berkelebat dan melompatlah ia memasuki kamar itu dari jendela yang sudah terpentang lebar. Akan tetapi tiba-tiba ia berseru kaget dan cepat mengelak ketika dari sampingnya menyambar pedang yang hampir saja menembusi dadanya.

   "Bangsat hina dina! Apakah kau mencari mampus berani mengganggu Nonamu?" terdengar bentakan Hui Lian. Kong Ji merasa terkejut dan juga bingung, ia malu sekali. Cepat ia melompat keluar akan tetapi bayangan Hui Lian mengejarnya. Kong Ji tak dapat melarikan diri lagi dan ia berdiri sambil menundukkan mukanya.

   Ketika Hui Lian tiba di luar kamar dan melihat siapa orangnya yang membongkar jendela kamarnya dan memasuki kamarnya tadi, gadis ini berdiri bengong dan wajahnya sebentar pucat sebentar merah. Dadanya berombak dan sampai beberapa lama ia tidak dapat mengeluarkan kata-kata. Memang ia sudah menaruh hati curiga dan setiap malam ia berlaku hati-hati sekali, tak pernah melepaskan pakatan luar dan selalu berkawan pedang. Hal ini adalah karena ia selalu merasa ngeri apabila teringat akan nyonya pembesar she Cu itu. Malam itu mendengar suara jendela kamarnya dibongkar orang, maka ia telah bersiap siap dia dan begitu melihat sesosok bayangan orang melompat masuk, ia segera menyerang dengan tusukan pedangnya. Tidak disangkanya bayangan itu lihat sekali, di dalam lompatan masih sempat mengelak dan melompat keluar lagi. Dan kini ternyata bahwa orang itu adalah Kong Ji.

   "Suheng... apa... apa yang hendak kau lakukan tadi...?" tanyanya, suaranya bengis, akan tetapi agak gemetar dan perlahan.

   "Sumoi... kaubunuhlah aku... aku... aku merasa kesepian dan gelisah... aku cinta, kepadamu... aku rindu kepadamu... hatiku terslksa karena ingin dekat dengan mu... aku lupa daratan. Ampunkan aku Sumoi, atau kau boleh bunuh saja aku.." kata-kata ini dakeluarkan dengan suara menggetar dan dari celah-celah jari tangan yang menutupi muka itu mengalir butiran-butiran air mata!

   Hui Lian menyarungkan pedangnya kembali.

   "Suheng mengapa kau berlaku begitu rendah? Sungguh tak kunyana, Su heng..." Di dalam hati Hui Lian mulai ingat akan penuturan sucinya, yakni Gak Soan Li tentang watak buruk dari suhengnya ini, penuturan yang tadinya tidak dipercayanya, yang dianggapnya sebagai pernyataan iri hati dan dengki dari Soan Li.

   "Sumoi, aku cinta padamu, dan aku tak tahan lagi... karena itulah aku menjadi gelap pikiran. Sumoi, aku bersumpah takkan melakukan lagi. Marilah kita lekas melanjutkan perjalanan agar lekas selesai tugas kita, kemudian kita kembali ke Pulau Kim- bun to. Atau... kalau kau tidak percaya lagi kepadaku, cabut pedangmu itu dan kau boleh bunuh aku, aku takkan melawan!"

   Hui Lian tidak menjawab, ia tahu bahwa kalau suhengnya ini mau melawan, ia takkan dapat menangkan terhadap suhengnya ia juga tidak yakin benar apakah yang akan dilakukan pada saat itu. Melihat gadis itu diam saja. Kong ji mencabut Pak-kek Sin-kiam yang selalu berada di punggungnya, memberikan pedang pusaka itu kepada Hui Lian.

   "Sumoi aku bersumpah, disaksikan oleh pokiam ini, bahwa aku takkan melakukan perbuatan itu lagi. Kau percayalah...."

   "Bagaimana aku bisa yakin akan isi hatimu?" akhirnya Hui Lion berkata lirih.

   "Kalau kau sudah tidak percaya lagi kepadaku, nah, ambil pedang ini dan kau boleh tusuk dadaku, Sumoi."

   Hui Lian menggerakkan tangannya dan di lain saat pedang Pak-kek Sin-kiam sudah berada di tangannya. Kong Ji diam-diam terkejut dan pemuda ini siap untuk menggunakan pukulan maut kalau gadis ini menyerang. Akan tetapi Hui Lian tidak menyerangnya, hanya memandang kepada Pak-kek Sin-kiam, lalu berkata.

   "Suheng, aku maafkan kau. Mungkin kau tadi kemasukan iblis yang berkeliaran di daerah asing ini. Akan tetapi, sebagai hukuman, aku merampas Pak-kek Sin-kiam. Biarlah aku yang membawa pedang ini dan untukmu, biar kau memakai pedangku," Hui Lian mencabut pedang dan sarung pedangnya, pedang yang juga baik akan tetapi tentu saja kalah jauh kalau dibandingkan dengan Pak-kek Sin-kiam, lalu memberikan pedangnya kepada Kong Ji. Gadis ini berpikir bahwa dengan pedang itu di tangan, ia takkan khawatir lagi menghadapi Kong Ji. Hal ini pun dibenarkan oleh kata-kata Kong Ji yang agaknya dapat membawa pikirannya.

   "Terima kasih, Sumoi, kau memang berhati mulia. Sekarang Pak-kek Sin-kiam sudah berada di tanganmu, dengan Pak kek Kiam-sut, tentu sewaktu-waktu kau dapat membunuhku kalau aku tidak memegang teguh janjiku."

   Hui Lian merasa lega. Memang, biar pun pemuda ini sudah mempelajari Pak-kek Sin-ciang-hoat, akan tetapi baru teorinya belaka dan kalau ia memegang Pak-kek Sin-kiam dan mainkan ilmu pedang itu, apakah yang dapat dilakukan oleh Kong Ji terhadapnya? Seujung rambut pun gadis ini tidak pernah mengira bahwa jangankan dia dengan Pak-kek Sin-kiam dan ilmu pedang Pak-kek Kiamsut, biarpun ada lima orang seperti dia, belum tentu akan dapat menangkan Kong Ji. Pemuda ini diam-diam telah melatih semua teori dari Pak-kek Sin-ciang, dan agaknya dalam ilmu ini ia tidak kalah oleh Hui Lian.

   Apalagi dia sudah mempunyai Tin-san-kang yang hebat, sudah mempunyai ilmu silat dari See-thian Tok-ong dan juga telah mendapat dasar-dasar yang kuat dari ilmu silat Hoa-san-pai serta Kwan-im-pai, bahkan semua ini masih ditambah lagi oleh gemblengan dari Go Ciang Le yang melatihnya dengan sungguh-sungguh dalam ilmu silat tinggi lain kecuali Pak-kek Sin-ciang. Demikianlah, perjalanan dilakukan terus dengan cepat. Mereka mempergunakan kuda untuk melewati tapal batas dan akhirnya tibalah mereka di Telaga Gasyun Nor atau juga disebut Cu yen-hu.

   Di sekitar telaga ini terdapat tanah yang subur dan karena inilah maka Temu Cin mempergunakannya sebagai markas besar sementara. Di sini terdapat tempat yang subur pula, sedangkan daerah itu sebagian besar terdiri dan padang pasir yang gundul. Selain ini, dan telaga ini ia pun dapat melakukan perjalanan melalui air sungai yang ada hubungannya dengan Sungai Kurang sehingga tempat ini memang dapat disebut amat strategis.

   Akan tetapi, tentu saja Temu Cin takkan menjadi seorang pemimpin besar kalau dia tidak mempunyai siasat yang amat cerdik. Di luarnya saja kelihatan bahwa tempat itu ia jadikan markas besar, namun pada hakekatnya, markas besarnya dipecah-pecah dan berada di mana-mana. ia maklum bahwa bangsanya menghadapi banyak saingan dan musuh yang selalu mengintai dan yang bertujuan menghancurkannya, maka ia tidak begitu bodoh untuk memusatkan tenaga di suatu tempat. Selain ini, ia pun menghubungi orang-orang pandai dari pedalaman, yang dibujuknya dan diberi hadiah hadiah besar untuk membantu perjuangannya.

   
Pedang Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ketika Hui Lian dan Kong Ji tiba di tempat itu, mereka berdua segera dikurung oleh barisan penjaga yang tentu saja merasa curiga. Mereka mengira bahwa dua orang muda ini tentulah penyeldik atau mata-mata dari pemerintah Kin yang masih berkuasa di selatan. Maka para penjaga itu mengurung dan membentak.

   "Turun dart kuda dan menyerah! Tanpa perlawanan kami akan menangkap kalian hidup-hidup untuk dihadapkan kepada kepala penjaga" Akan tetapi, mana Kong Ji dan Hui Lian takut menghadapi ini? Kong Ji tersenyum mengejek dan berkata,

   "Orang liar, tutup mulutmu yang kotor dan lebih baik kau lekas-lekas panggil keluar pemimpinmu yang bernama Temu Cin!"

   Pada waktu itu, nama Temu Cin sudah amat dipandang tinggi oleh orang-orang Mongol, sudah dianggap sebagai penjelmaan dewata agung yang datang ke dunia untuk memimpin bangsa Mongol. Oleh karena itu, mendengar pemuda bangba Han ini tidak menghormati pimpinan mereka, para penjaga menjadi marah sekali.

   "Manusia kurang ajar! Kau sudah berani datang di wilayah kami tanpa ijin dan datang-datang kau bersikap kurang ajar. Apakah kau mempunyai nyawa cadangan maka begitu tak takut mampus?"

   Para orang-orang Mongol itu mulai mengurung dan mereka telah mencabut senjata. Sikap mereka mengancam sekali dan di sana-sini terdengar teriakan orang menyuruh Kong Ji dan Hui Lan menyerah baik-baik. Namun Kong Ji tiba-tiba tertawa bergelak dan berkata penuh suara menyindir.

   "Ha, ha, begini sajakah macamnya anak buah dari Temu Cin yang tersohor gagah? Tidak tahunya sejajar gentong-gentong nasi yang tiada guna""

   Tentu saja orang Mongol itu menjadi marah sekali dan serentak mereka menyerbu. Kong Ji mencabut pedangnya dan melompat turun dari kuda, diturut oleh Hui Lian yang menjadi bingung melihat sikap suhengnya itu. Menurut suhengnya, mereka datang ke tempat itu bukan saja ntuk mencari orang-orang kang-ouw yang menjadi musuh besar, akan tetapi juga hendak bertemu dengan Temu Cin pemimpin orang-orang Mongol yang terkenal sekali. Akan tetapi mengapa sekarang suhengnya itu seakan-akan sengaja mencari urusan?

   Namun Hui Lian tidak sempat memusingkan semua ini karena banyak sekali orang Mongol menyerang dan mengeroyoknya sehingga ia terpaksa mencurahkan perhatiannya untuk membela diri. Orang-orang Mongol itu ternyata rata-rata bertenaga besar dan gerakan senjata mereka juga kuat dan cepat sekali. Akan tetapi, oleh karena gerakan mereka itu hanya gerakan cepat dan nekad, tidak teratur seperti gerakan ahli silat, tentu saja bagi Kong Ji dan Hui Lian yang berilmu tinggi, mereka ini merupakan makanan yang empuk.

   Hui Lian tidak mau membunuh orang tanpa ada sebab tertentu. Di dalam pertempuran dan percekcokan ini, di dalam hati ia mengaku bahwa pihaknya yang salah. Ia hanya membela diri karena ikut dikeroyok, akan tetapi ia hanya murobohkan orang tanpa melukai berat, atau menabas kutung senjata mereka saja. Pak-kek Sin-kiam bagaikan sebatang pisau tajam bertemu buah labu menghadap golok dan pedang para pengeroyok itu. Setiap kali pedang pusaka ini bertemu dengan senjata lawan, pasti senjata lawan itu terbabat putus dengan amat mudahnya. Oleh karena kejadian ini orang-orang Mongol menjadi gentar dan mereka mengalihkan pengeroyokan mereka kepada Kong Ji. Akan tetapi, inilah kesalahan mereka. Kalau mereka mengeroyok Hui Lian saja, paling hebat senjata mereka rusak dan mereka roboh terluka ringan. Sekarang setelah mereka mengeroyok pemuda itu, sama halnya dengan mencari mati sendiri. Kong Ji benar-benar telengas dan kedua tangannya menyebar maut. Setiap sambaran tangan kiri meremukkan kepala atau menotok jalan darah kematian! Hui Lian sampai bergidik melihat sepak terjang suhengnya ini.

   Baiknya baru ada tujuh orang yang tewas ketika tiba-tiba terdengar bentakan keras menahan semua orang yang bertempur. Bentakan itu demikian berpengaruh, karena semua orang Mongol lalu melompat mundur dan berlutut.

   Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, yang datang itu adalah Temu Cin sendiri bersama pasukannya yang terpukul mundur oleh pasukan musuh yang besar jumlahnya. Pada waktu itu Temu Cin sedang memimpin bangsanya untuk menundukkan suku suku bangsa lain yang tadinya menindas mereka. Di antara suku-suku bangsa yang besar dan kuat adalah suku-suku bangsa Kerait dan Naiman. Dua suku bangsa ini bersatu dan menghadapi pemberontakan Temu Cin. Baru-baru ini, Temu Cin dengan hanya seratus lima puluh orang pasukannya, bertemu dengan rombongan musuh yang jumlahnya seribu orang lebih. Tentu saja pasukan Temu Cin menjadi kewalahan dan dikejar-kejar. Dengan amat cerdiknya, Temu Cin melarikan pasukann menuju ka Gasyun Nor, di mana telah bersiap sedia kawan-kawan untuk menyambut musuh. Dengan keras hati dan tidak mengenal lelah Temu Cin terus melakukan perjalanan yang amat jauh melalui padang pasir untuk memancing musuhnya yang banyak jumlahnya.

   Akan tetapi, ketika tiba di Telaga Cu-yen-hu atau Telaga Gasyun Nor, ia melihat orang-orangnya tengah mengeroyok seorang pemuda dan seorang dara yang amat luar biasa permainan pedangnya, Temu Cin paling suka melihat orang gagah, dan memang termasuk kecerdikannya untuk memikat hati orang-orang pandai agar cita-citanya mendapat bantuan mereka. Oleh karena ini, sekelebat saja melihat jalannya pertempuran, Temu Cin sudah tahu bahwa dua orang muda itu bukanlah ahli silat sembarangan.

   Di lain pihak, ketika Kong Ji dan Hui Lian memandang orang yang baru tiba, mereka diam-diam merasa kagum dan tertarik. Ada sesuatu dalam diri Temu Cin yang menarik perhatian orang dan menimbulkan kekaguman, ada sesuatu dalam sikapnya yang berbeda dengan semua orang. Selain ini, pemuda Mongol ini juga gagah sekali, dengan wajah seperti harimau dan sepasang mata sipit yang tajam dan bergerak-gerik penuh kecerdikan. Temu Cin menjura kepada Kong Ji dan Hui Lian, sedangkan matanya bersinar kagum ketika melihat pedang Pak-kek Sin-kiam di tangan gadis itu.

   "Ji-wi Enghiong yang mulia, maafkan aku tidak sempat menyambut lebih siang kedatangan Ji-wi yang merupakan penghormatan bagi kami. Dan lebih-lebih lagi maafkan atas kelancangan orang-orangku yang tidak tahu bahwa dua orang gagah datang sebagai sahabat. Biarlah aku akan memberi hukuman kepada mereka!"

   Mendengar ini, Kong Ji melengak dan Hui Lian merasa tidak enak sekali. Sebetulnya, pihaknya yang seharusnya ditegur dan pihaknya yang keterlaluan, akan tetapi tuan rumah mengeluarkan kata-kata yang demikian sungkan.

   "Sahabat, harap kau yang maafkan kami, dan harap jangan memberi hukuman kepada orang-orangmu. Mereka itu hanya menjalankan kewajiban dan kamilah yang datang mengganggu. Maaf, maaf...." kata Hui Lian.

   Temu Cin berpaling kepada orang-orangnya.

   "Kaudengarkan itu? Lihiap ini bukan orang sembarangan, baru melihat pokiamnya saja, seharusnya kalian dapat menduga. Hayo lekas singkirkan mayat-mayat ini dan bersihkan tempat untuk menyambut dua tamu agung""

   Sekarang Kong ji melangkah maju dan menjura.

   "Kami memang berlaku lancang, untungnya Tuan Rumah begitu sopan santun dan baik hati. Sebetulnya, kedatangan kami adalah untuk bertemu dengan pimpinan besar kalian yang bernama Temu Cin."

   Orang Mongol muda yang bertubuh tegap itu tertawa bergelak.

   "Alangkah bahagia hatiku mendapat perhatian dua orang muda begini gagah perkasa. Tai-hiap, akulah Temu Cin!"

   Kong Ji dan Hum Lian kali ini benar-benar terkejut. Sama sekali tidak mereka sangka bahwa pemimpin besar itu masih begitu muda, dan lagi begitu sederhana!

   Melihat keheranan mereka, kembali Temu Cin tertawa.

   "Marilah duduk di dalam tenda, Ji-wi Enghiong. Mari kita bercakap-cakap di dalam dan minun arak."

   Karena tidak baik dan tidak enak bicara di luar, apalagi setelah terjadi pertempuran tadi, Kong Ji dan Hui Lian menurut saja. Mereka mengikuti Temu Cin yang masuk ke dalam sebuah tenda besar sekali di mana telah tersedia meja dan bangku serba lengkap. Tidak disangka bahwa biarpun hanya bangunan tenda, namun di sebelah dalamnya lengkap dan menyenangkan, patut menjadi tempat tinggal seorang pemimpin besar. Setelah duduk dan arak dikeluarkan oleh pelayan yang cepat pergi lagi, Temu Cin bertanya,

   "Tidak tahu siapakah Jiwi yang muda dan gagah?"

   "Aku bernama Liok Kong Ji, dan nona ini adalah Go Hui Lian, sumoiku. Kami datang dari selatan, dari Pulau Kim bun-to."

   Mendengar sepasang mata yang sipit itu terbelalak dan wajah Temu Cin berseru.

   "Aha, Lihiap ini she Go, ada hubungan apakah kiranya dengan Taihiap Ciang Le yang berjuluk Hwa I Enghiong dan juga tinggal di Kim-bun-to?"

   "Dia adalah ayahku," jawab Hui Lian cepat.

   Temu Cin cepat berdiri dari tempat duduknya dan menjura dalam-dalam kepada Hui Lian.

   "Ah, benar-benar kehormatan besar sekali bagiku dapat bertemu dengan Lihiap di sini, dapat menerima kunjungan puteri dari Taihiap Go Ciang Le. Guru-guruku yang demikian banyak jumlahnya tak seorang pun di antara mereka yang tidak mengagumi dan menjunjung tinggi nama ayahmu, Nona."

   "Terima kasih, Taijin terlampau menghormat," jawab Hui Lian yang sebaliknra menyebut "taijin", karena menurut pendapatnya bukankah pemuda Mongol itu seorang yang berkedudukan tinggi, menjadi pemimpin besar seluruh rakyat Mongol? Temu Cin sebaliknya tidak merasa aneh disebut taijin dan sikapnya biasa serta ramah-tamah.

   "Adapun maksud kedatangan kami," kata Kong Ji kemudian.

   "Karena sudah lama sekali kagum mendengar nama besar Taijin, kagum mendengar pergerakan saudara-saudara bangsa Mongol untuk memperbaiki nasib. Apalagi mendengar berita bahwa Taijin bercita-cita untuk membebaskan rakyat kami dari penindasan bangsa Kin, benar-benar menimbulkan hati kagum dan berterima kalis. Oleh karena itu, kami sengaja datang bukan saja untuk menyaksikan kebenaran berita ini, juga untuk berkenalan dengan Taijin dan kalau mungkin menyediakan tenaga membantu perjuangan suci ini.

   Berseri wajah Temu Cin mendengar ini. Untuk menarik hati dan menarik bantuan orang-orang gagah di dunia kang-ouw, ia tidak segan-segan mengeluarka banyak harta. Apalagi pemuda yang gagah ini datang-datang menawarkan tenaga bantuannya sendiri. Hal ini benar-benar menyenangkan hatinya sehinggga ia tersenyum-senyum gembira.

   Akan tetapi sebaliknya Hui Lian menjadi amat terheran-heran. Mengapa sekarang suhengnya menyatakan maksud yang amat jauh bedanya daripada semula? Ia menoleh kepada suhengnya dengan pandang mata penuh pertanyaan, akan tetapi Kong ji pura-pura tidak melihatnya. Hati Hui Lain menjadi mendongkol sekali dan ia kehilangan kesabarannya.

   "Taijin, menurut kabar yang kudapat, di utara ini banyak perkumpulan orang-orang pandai dan tokoh-tokoh kang-ouw dari segala macam golongan. Oleh karena inilah maka kami sengaja datang ke sini bukan hanya untuk berkenalan denganmu, akan tetapi terutama sekali hendak mencari beberapa orang tokoh kang-ouw yang menjadi musuh besar kali. Kami mengharapkan keterangan dan taijin apakah mereka berada di daerah utara ini."

   Temu Cin menekan perasaan tidak senangnya mendengar ini. Ia amat membutuhkan bantuan orang-orang pandai untuk melaksanakan cita-citanya yang besar, yakni selain mempersatukan suku-suku bangsa di utara sehingga menjadi suku bangsa besar, juga untuk menyerbu ke selatan dan menguasai seluruh Tiongkok. Tentu saja mendengar adanya pertentangan antara orang gagah, ia tidak senang karena itu berarti merugikan perjuangannya. Akan tetapi dengan pandai dapat menyembunyikan perasaannya itu dan pada wajahnya yang gagah tidak terbayang sesuatu.

   "Siapakah gerangan nama musuh-musuh besar Lihiap itu?"

   "Mereka adalah orang-orang tingkat tinggi di dunia kang-ouw, yakni Giok Seng Cu ketua Im-yang-bu-pai, Ba Mau Hoatsu dari Tibet dan See-thian Tok ong beserta anak isterinya."

   Temu Cin benar-benar terkejut mendengar ini.

   "Mereka adalah orang-orang luar biasa di dunia kang-ouw!" katanya.

   "Sudah lama sekali aku mendengar nama mereka sebagai iblis-iblis yang sakti, akan tetapi sayang belum pernah bertemu muka, juga mereka tidak ada di sini. Lihiap bermusuhan dengan orang-orang seperti itu, alangkah berbahayanya! Baiklah, aku akan membuka mata dan memasang telinga, kalau aku mendengar di mana adanya mereka, pasti aka kuberi tahu kepada Lihiap." Kemudian pemimpin orang Mongol ini berpaling kepada Kong Ji.

   "Liok Taihiap, tentang maksudmu hendak membantu kami benar-benar amat kuhargai. Tentu saja kelak tidak akan melupakan budi yang besar dari Taihiap ini. Akan tetapi aku pun bersama seluruh kawanku minta bukti pembelaan dari Taihiap. Tak lama lagi akan datang serombongan barisan musuh, yakni dari suku bangsa Naiman dan Kerait yang jumlahnya seribu orang lebih, dipimpin sendiri oleh kepala suku bangsa Naiman yang gagah perkasa. Mereka mengejar-ngejar kami dan kalau mereka tiba aku akan mengadakan perlawanan besar-besaran. Untuk serbuan mereka ini aku sudah memasang jebakan dan aku yakin mereka akan dapat kuhancurkan. Kawan-kawanku di sini berjumlah tiga ribu orang lebih dan sekarang sudah kusiapkan. Bahkan aku sudah memanggil beberapa orang panglima dan pembantu dari barat. Maukah kau dan Lihiap membantu kami?"

   "Tentu saja, Taijin. Serahkan saja pemimpin barisan musuh kepadaku, hendak kuperlihatkan bahwa kedatangan kami ini tidak percuma belaka!" jawab Kong Ji gembira.

   Tiba-tiba terdengar sorak sorai yang hebat dari jurusan timur dan pada saat itu seorang pengawal masuk bersama seorang Mongol yang usianya, kurang lebih tiga puluh tahun, bertubuh tegap sekali akan tetapi agak pendek, sepasang matanya lebar dan kumisnya kecil panjang. Orang ini berpakaian perang dan di pinggangnya tergantung sebuah golok yang gagangnya amat indah ukirannya. Dengan matanva yang lebar itu ia menatap Kong Ji dan ia tidak menyembunyikan kekagumannya ketika ia melihat Hui Lian yang cantik manis.

   "Bouw Ang Gempo, bagus kau datang pada saat yang tepat!" Temu Cin berkata girang ketika panglima itu memberi hormat kepadanya.

   "Perkenalkan dulu kepada dua orang pendekar ini. Dia ini adalah Liok Kong Ji Taihiap, murid dari pendekar besar Go Ciang Le di Kim bun-co, sedangkan Nona ini adalah puteri dari Go-talhiap itu yang bernama Go Hui Lian. Jiwi Enghiong, inilah Bouw Ang Gempo panglima perangku yang sudah bayak berjasa."

   matanya terhadap Kong Ji agak bercuriga, akan tetapi terhadap Hui Lian, jelas sekali terbayang kekagumannya.

   "Bouw Ang Gempo, berapa banyak pasukan yang kaubawa?"

   "Dua ribu lima ratus orang, Khan Muda!" kata panglima itu. Kong Ji dan Hui Lian terkejut mendengar sebutan Temu Cin yang disebut Khan Muda atau Raja Muda itu. Tak mereka sangka bahwa kedudukan orang Mongol muda ini sudah meningkat demikian tinggi.

   "Bagus, kau dan anak buahmu harus menjaga agar jangan terlampau banyak terjadi pembunuhan. Taklukkan orang-orang Naiman dan Kerait itu dalam keadaan hidup sehingga mereka akan menggabungkan diri dengan kita. Adapun tentang kepala suku bangsa Naiman beserta putennya yang keras kepala itu, kau serahkan saja kepada Liok-taihiap dan Go Lihiap. Mereka ini sudah sanggup untuk menghadapi mereka!"

   Bouw Ang Gempo menggerakkan sepasang alisnya yang gombyok.

   "Akan tetapi, Lima Honggan kepala suku bangsa Naiman itu lihai sekali! Apalagi puterinya bukanlah orang yang tidak boleh di-buat main-main!" Sambil berkata demikian ia memandang kepada Kong Ji dengan pandang merendahkan dan kepada Hui Lian dengan pandang mata khawatir.

   Temu Cinn tersenyum.

   "Ha, ha, ha, panglimaku, kaulah yang kurang awas. Sekarang tidak ada waktu lagi, kelak setelah selesai mengalahkan musuh, boleh kau belajar kenal dengan kelihaian dua orang pendekar muda ini!"

   Panglima itu memberi hormat dan berjalan keluar. Temu Cin juga mengajak dua orang tamunya untuk keluar, karena suara musuh yang mendatangi tempat itu kini sudah terdengar jelas, Mereka sudah berbaris di dekat telaga dan terdengar suara menantang-nantang.

   Barisan yang datang hendak menyerbu suku bangsa Mongol ini kelihatan tidak teratur. Sungguhpun mereka itu rata-rata memiliki perawakan yang gagah dan kuat, namun sebagian besar nampak amat lelah, bahkan ada beberapa orang yang cepat mengambil air dari telaga untuk menghilangkan rasa haus.

   Mereka dipimpin seorang tua yang berjenggot panjang dan tangan kanannya memegang tongkat kuningan yang dipegang seperti toya. Kelihatannya gagah sekali dan dari tindakannya nyata bahwa ia memiliki kepandaian silat yang tinggi. Kakek ini diam saja, hanya memandang ke depan dengan mata tajam, sedangkan yang berteriak-teriak menantang adalah pembantu-pembantunya yang berdiri di bagian depan dari barisan itu.

   Setelah menghadapi mereka dari jarak tiga puluh tombak Temu Cin berkata, suaranya nyaring sekali sehingga diam-diam Hui Lian dan Kong Ji memuji dan tahu bahwa pemimpin muda ini ternyata memiliki tenaga lweekang dan khikang ang tinggi juga.

   "Paman Lima Honggan! Sudah berkali-kali kukatakan bahwa tiada gunanya kau dan kawan-kawanmu memusuhiku. Kau takkan menang! Bagaimana kau bisa mengalahkan bangsa Mongol yang besar? Daripada membuang nyawa cuma-cuma, bukanlah lebih baik kau dan kawan-kawanmu menggabungkan diri dengan kami! Hawa begini panas, kalian sudah melakukan perjalanan jauh, apakah tidak lebih baik datang minum arak menghilangkan lelah? Lihatlah anak buahmu sudah kehausan, apakah kau tidak hendak memberi kesempatan kepada mereka untuk minum dulu? Lihat, aku dan kawan-kawanku sengaja tidak menjaga telaga, untuk memberi kesempatan kepada orang-orangmu melepaskan lelah!"

   "Temu Cin, siapa sudi mendengar bujukanmu? Kau sudah menghina keluarga kami, kau hendak mengajak kami menyerang ke selatan? Huh, orang macam kau akan menyerang ke selatan? Tengoklah tingginya Gunung Thai-san, apa kaukira akan dapat menghadapi orang selatan yang banyak memiliki ahli-ahli silat yang tinggi? Sudahlah, jangan banyak cerewet. Kalau kau memang laki-laki, pertanggung jawabkan semua perbuatanmu dan menyerah untuk kubelenggu!"

   

Pendekar Budiman Eps 3 Memburu Iblis Eps 22 Pendekar Budiman Eps 3

Cari Blog Ini