Ceritasilat Novel Online

Pendekar Budiman 3


Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo Bagian 3




   Memang, dia adalah Tan Seng, kakek tokoh Hoa-san-pai yang tangguh itu. Di bagian pertama dari cerita ini telah dituturkan betapa Tan Seng tidak saja kehilangan anak perempuan dan mantunya, bahkan juga cucu tunggalnya, Go Ciang Le, telah lenyap diculik orang tanpa ia ketahui siapa penculiknya dan kemana perginya anak itu. Tadinya ia merasa putus asa dan tidak tahu untuk apa ia harus hidup lebih lama lagi. Akan tetapi kemudian ia teringat akan keturunan Liang Ti, murid keponakannya yang telah mengorbankan nyawa demi perjuangan suci. Maka ia lalu mendatangi isteri Liang Ti, lalu membawa anak tunggal Liang Ti yang bernama Liang Bi Lan, dibawanya ke puncak Hoa-san-pai dan diserahkan kepada suci (kakak perempuan seperguruan) dan suheng suhengnya yang bertapa di puncak Hoa san.

   Adapun isteri Liang Ti kembali ke dusun orang-tuanya, akan tetapi tiga tahun kemudian, janda yang bernasib malang ini membunuh diri karena dipaksa oleh seorang pembesar Kin yang mengadakan pembersihan di dusun orang-tuanya. Selama belasan tahun, Bi Lan mewarisi ilmu silat dari Hoa-san-pai dan boleh dikata untuk masa itu, murid terpandai dan yang banyak mewarisi ilmu silat Hoa-san-pai adalah Bi Lan! Memang masih ada beberapa orang suhengnya dan seorang suci. akan tetapi biarpun kepandaian mereka itu lebih masak, tetap saja Bi Lan seorang yang lebih banyak mewarisi ilmu ilmu paling rahasia dari Hoa-san-pai. Tokoh-tokoh Hoa-san-pai yang berkumpul di puncak Hoa san dan yang bersama-sama menggembleng Bi Lan adalah empat orang.

   Pertama-tama adalah tokoh nomor satu atau yang tertua di Hoa san pada waktu itu, yakni Liang Gi Tojin yang lebih mementingkan ilmu bathin dari pada ilmu silat. Dari Liang Gi Cinjin, Bi Lan mewarisi lweekang yang tinggi dan juga pengetahuan bathin yang dalam. Kemudian orang ke dua adalah Liang Bi Suthai, yang berwatak keras akan tetapi yang memiliki ilmu silat paling lihai diantara saudara-saudaranya. Orang ke tiga adalah sasterawan dan memang dahulunya ketika masih muda, kakek ini adalah seorang sasterawan yang gagal menempuh ujian! Namanya Kui Tek An, akan tetapi setelah ia menjadi pertapa, ia memakai nama Liang Tek Sianseng. Dan orang ke empat adalah Tan Seng sendiri yang berpakaian seperti seorang petani. Empat orang tokoh Hoa-san-pai ini menjadi guru dari Bi Lan, maka tidak mengherankan apabila sekarang nona ini telah menjadi seorang nona yang lihai ilmu silatnya.

   Adapun suheng suhengnya (kakak seperguruan laki-laki) atau suci (kakak seperguruan perempuan) dari Bi Lan adalah murid-murid dari semua gurunya, yakni yang pertama bernama Lie Bu Tek murid dari Liang Gi Tojin yang telah meninggalkan perguruan empat tahun yang lalu. Ke dua adalah murid tunggal dari Liang Bi Suthai, seorang pendekar wanita bernama Ling In she Thio, seorang nona cantik bertubuh langsing tegap yang juga telah turun gunung kembali ke rumah orang-tuanya di Biciu. Orang ke tiga adalah murid dari Liang Tek Sianseng, seorang pemuda bernama Gau Hok Seng dan yang bekerja sebagai seorang pianwsu di selatan. Baiklah kita kembali kepada Bi Lan dan kakeknya, yakni Tan Seng yang pada pagi hari yang sejuk dan indah itu duduk di lereng bukit dan bercakap-cakap setelah Tan Seng mengagumi latihan ilmu silat dari cucunya.

   Dengan gemblengan empat orang guru, Tan Seng percaya bahwa kini ilmu kepandaian Bi Lan tidak berada di sebelah bawah tingkat kepandaiannya sendiri. Ia maklum bahwa di dunia ini banyak sekali orang-orang pandai yang menjadi penjahat, sehingga dia sendiri dahulu hampir celaka ketika dikeroyok oleh perwira-perwira Kin yang dibantu oleh orang-orang kang ouw yang menjadi penjilat dan pengkhianat bangsa. Ketika untuk kesekian kalinya Bi Lan yang sebenarnya bukan cucunya sendiri itu bertanya tentang ayah bundanya, Tan Seng berpikir bahwa agaknya sudah tiba waktunya bagi Bi Lan untuk mendengar hal yang sesungguhnya tentang orang-tuanya. Nona ini tidak menjadi sedih mendengar tentang kematian ayahnya bahkan ia merasa bangga bahwa ayahnya tewas dalam pertempuran untuk membela bangsa. Kematian ibunya membuat ia menggertak gigi dan memaki,

   "Akan kuhancurkan kepala anjing-anjing Kin itu!"

   "Memang sudah menjadi kewajiban kita untuk berusaha mengusir penjajah yang menguasai dan menjajah tanah air bagian utara, Bi Lan, akan tetapi kita tidak boleh menurutkan nafsu marah. Pada waktu inipun rakyat masih terus-menerus melakukan perlawanan dan pemberontakan dengan gigih. Nah, kewajibanmulah untuk membantu perjuangan mereka itu, demi kemerdekaan tanah air dan demi menjunjung tinggi nama Hoa-san-pai kita."

   Akan tetapi yang membuat nona itu paling berduka adalah kenyataan bahwa Tan Seng bukanlah kakeknya. Dan mendengar tentang riwayat Go Sik An, ia merasa kagum sekali.

   "Kong kong," sebutan ini sekarang terdengar agak ganjil olehnya.

   "A... seharusnya aku menyebut sukong (kakek guru) karena aku... aku bukan cucumu,"

   "Tidak begitu Bi Lan," jawab Tan Seng terharu, sambil mengusap usap kepala gadis itu.

   "Biarpun kau bukan cucuku yang aseli akan tetapi bagiku kau adalah pengganti cucuku. kau seterusnya sebutlah kong kong padaku, Bi Lan." Suara kakek ini terdengar menggetar sehingga Bi Lan yang amat sayang kepada kakek ini, tidak tega untuk menolak permintaan ini.

   "Jadi cucumu yang bernama Go Ciang Le itu lenyap diculik orang, kong kong?" Tan Seng mengangguk, lalu menceritakan kejadian itu dengan singkat.

   "Sampai sekarang aku tidak tahu apakah Ciang Le masih hidup atau sudah mati dan juga masih belum kuketahui siapa sebenarnya yang telah menculik anak malang itu."

   "Heran sekali, kong kong, mengapa kau tidak bisa mencari orang yang melakukan perbuatan itu? Bukankah kong kong mempunya banyak sekali sahabat di dunia kang ouw?" Kakek ini mengangguk-angguk,

   "Memang betul begitu, akan tetapi di dunia ini terdapat banyak sekali orang-orang aneh dan orang-orang sakti yang menyembunyikan diri. Kalau maksud penculik itu baik, mungkin cucuku itu kelak akan muncul sebagai seorang gagah perkasa, menjadi murid orang sakti. Akan tetapi kalau dia bermaksud buruk..." kakek ini tidak kuasa melanjutkan kata-katanya, kemudian disambungnya pula.

   "Akan tetapi, aku telah berpesan kepada kedua suhengmu dan sucimu untuk menyelidiki di mana sesungguhnya gua yang disebut Gua Pahlawan itu." Pada saat itu, dari kaki bukit Hoa-san-pai berlari-lari naik seorang pemuda tinggi besar berbaju biru, bertopi biru dan bercelana putih. Pemuda ini memiliki wajah yang biasa disebut "Toapan", simpatik dan jujur.

   Tubuhnya kekar dan tegap membayangkan akan kebesaran tenaganya dan wajahnya yang bersih membayangkan kebersihan hatinya, ia melomoat lompat dan berlari cepat mempergunakan Ilmu Lari Cepat Cho sang hui (Terbang di Atas Rumput) yang dilakukan dengan amat mahirnya. Biarpun tubuhnya tinggi besar, namun ia seakan-akan seekor kupu yang beterbangan tanpa menimbulkan suara berisik. Inilah Gan Hok Seng, atau yang di daerahnya terkenal dengan sebutan Gan piauwsu, karena dia telah membuka sebuah perusahaan piauwkiok (ekspedisi) yang diberi nama Hui houw piauw kiok (Perusahaan Ekspedisi Macan Terbang) dan oleh karena nama perusahaannya inilah maka ia mendapat nama julukan Hui houw (Macan terbang). Seperli telah diceritakan di depan, Gan Hok Seng ini adalah murid dari Lian Tek Sian seng, sasterawan tokoh Hoa-san-pai itu.

   Cara Hok Seng berlompatan dan berlari-lari, membayangkan bahwa wataknya selain jujur dan polos juga amat gembira. Sayangnya bahwa pemuda ini agak dogol, yakni kurang cepat jalan pikirannya, sungguhpun ia bukan seorang bodoh, namun menghadapi perkara yang tiba-tiba ia suka memperlihatkan sikap yang ketolol tololan. Ketika ia tiba di lereng yang penuh rumput hijau tiba-tiba ia mendengar suara angin dari belakang dan ketika ia menengok, ia melihat seorang Hwesio, Pendeta Buddha bekepala gundul yang bertubuh tegap pendek berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun berlari cepat sekali, lebih cepat dari pada larinya sendiri. Karena Hwesio itu agakiya hendak menuju ke kuil di puncak Hoa san, Gan Hok Seng lalu membalikkan tubuhnya menghadang Hwesio itu yang juga segera berhenti melihat pemuda itu mengangkat tangannya.

   "Selamat siang, Twa-suhu" tegur Hok Seng sambil tersenyum gembira dan memberi hormat dengan kedua tangannya diangkat ke dada.

   "Hendak ke manakah Twa-suhu agaknya amat tergesa gesa?" Hwesio itu memandang dengan pandang mata menyelidik, kemudian balas bertanya,

   "Kau siapakah dan apa hubunganmu dengan Hoa-san-pai?" Hok Seng tidak senang mendengar pertanyaan dan melihat sikap Hwesio yang kasar ini, yang dianggapnya tidak sesuai untuk seorang pendeta. Akan tetapi Karena ia jujur, ia menjawab dan mencela dengan terus terang,

   "Ah tidak kusangka Twa-suhu demikian kasar seperti seorang kang ouw buta huruf saja! Aku adalah murid Hoa-san-pai bernama Gan Hok Seng atau Gan piauwsu. ketua dari Hui houw piauwkiok." Hwesio itu mengangkat hidungnya dengan sikap memandang rendah sekali.

   "Hem, jadi kau ini masih murid Hoa-san-pai? Siapa gurumu? Si pemalas Liang Gi atau si nenek genit Liang Bi, ataukah si kutu buku Liang Tek? Atau barangkali petani busuk Tan Seng? Hayo kau beritahukan kepada pinceng, karena segala julukan Hui houw dan nama Hui houw piauwkiok, mana pinceng mengenalnya!" Merahlah wajah Hok Seng. Dia memang masih muda baru dua puluh tiga tahun umurnya dan darahnya masih panas. Lagak Hwesio ini benar-benar amat menyebalkan hatinya. Gurunya Liang Tek Kian seng disebut kutu buku, twa supeknya disebut pemalas, bahkan sukouwnya disebut nenek genit dan susioknya disebut petani busuk!

   "Eh, Hwesio gendeng, mengapa kau datang datang memaki orang? Ketahuilah bahwa aku adalah murid dari Liang Tek Sianseng, guru ku pernah bilang bahwa menilai hati orang dengar saja apa yang keluar dari mulutnya. kau mengeluarkan omongan kotor dan hawa busuk maka mudah saja menerka bagaimana macamnya isi perutmu!" Tiba-tiba Hwesio itu tertawa bergelak.

   "Sebetulnya memang malu harus ribut-ribut dengan seorang tingkat rendah macam engkau ini, akan tetapi karena kau murid Liang Tek si kutu buku, biarlah pinceng lihat apakah kau juga menjadi kutu buku seperti gurumu."

   "Aku bukan kutu buku! Guruku telah mengajar ilmu silat tinggi kepadaku. Jangan kau memandang hina ilmu kepandaian dari Hoa-san-pai!" Hok Seng membentak, hampir tak dapat menahan marahnya lagi.

   "Begitu? Nah, cobalah, bocah! Kalau kau bisa menahan sepuluh jurus seranganku, baru lah aku percaya omonganmu." Setelah berkata demikian, tiba-tiba Hwesio itu mengibaskan tangan bajunya yang lebar ke arah Hok Seng dalam Ilmu Pukulan Tui san ciang (Pukulan Mendorong Bukit) yang dilakukan dengan pengerahan tenaga lweekang.

   Hok Seng merasa betapa angin dingin dan tajam menyambar mukanya, maka ia cepat menggeser kaki sambil miringkan tubuh untuk menghindarkan diri dari pukulan pertama ini. Akan tetapi tak terduga sama sekali bahwa pada saat itu juga, pukulan kedua dengan ujung lengan baju sebelah kiri telah menyusul ke arah pusarnya! Inilah pukulan yang amat berbahaya dan dapat membuat jiwa melayang. Hok Seng cepat melompat ke kiri, akan tetapi masih saja ujung lengan baju itu mengenai tubuh belakangnya sehingga terdengar bunyi berdebuk dan Hok Seng merasa betapa daging dan kulit di bagian belakang Itu panas dan pedas. Baiknya ia telah mengerahkan lweekang di bagian itu sehingga hanya terasa sakit saja tanpa menderita luka berat. Akan tetapi yang lebih menyakitkan hatinya adalah suara ketawa Hwesio itu.

   "Ha-ha-ha-ha, tidak tahunya hanya sebegitu saja kebecusan murid dari si kutu buku! Ha-ha-ha, orang dogol! Lihat, kulit pantatmu kelihatan, apakah kau masih belum mau mengaku kalah dan berlutut di depan Tiauw It Hosiang yang bergelar It ci sinkang (Si Jari Lihai). Ketahuilah bahwa kau berhadapan dengan tokoh dari Go-bi-pai!"

   Hok Seng cepat melirik ke arah tubuh belakangnya dan benar saja, celananya yang putih itu telah hancur di bagian tubuh belakang sebelah kanan sehingga tampak kulit tubuh belakangnya yang putih dan agak kemerahan karena pukulan tadi. Ia menjadi mendongkol sekali dan secepat kilat tangannya bergerak kearah punggung, mengeluarkan sepasang poan koan pit (senjata seperti alat tulis pensil bulu). Poan koan pit di tangarnya ini memang senjatanya yang paling istimewa warisan dari suhunya yang memang amat ahli dalam mainkan poan koan pit, baik untuk menulis syair maupun untuk dipergunakan sebagai senjata. Poan koan pii di tangan kirinya berbulu pulih, dan di tangan kanannya berbulu hitam dan keras. Melihat pemuda itu mengeluarkan senjata poan koan pit, Tiauw It Hosiang tertawa bergelak dan kelihatan ia geli sekali.

   "Ha-ha-ha benar-benar si kutu buku telah membiak muridnya menjadi kutu buku kecil! Eh, bocah! kau mengeluarkan pit, apakah kau hendak menulis sajak ataukah hendak melukis gambar? Ha-ha-ha!" Hok Seng tak dapat menahan kemarahannya lagi. Ia cepat maju menggerakkan sepasang poan koan pit dan pit di tangan kiri yang berbulu putih itu cepat menusuk ke arah mata kanan lawannya, sedangkan pit berbulu hitam di tangan kanan menusuk dengan totokan ke arah jalan darah tai hwi hiat!

   Serangannya ini luar biasa hebatnya dan karena ia tahu akan kelihaian lawannya, maka sekali serang ia mengeluarkan gerak tipu yang di sebut Ji liong lo hui (Dua Ekor Naga Mengacau Laut). Akan tetapi Hwesio itu benar-benar lihai dan memiliki gerak cepat sekali. Dan kali ia menggerakkan tangannya dan ujung lengan bajunya sekaligus dapat menangkis serangan poan koan pit bahkan ujung lengan baju itu hendak membelit senjata lawan untuk dirampasnya. Hok Seng sudah berlaku waspada dan karena ia tahu bahwa tenaga lweekang dari lawannya ini masih lebih tinggi diri pada tenaganya sendiri, maka ia tidak membiarkan poan koan pitnya dilibat oleh ujung lengan baju itu. Ia membetot kedua senjata sambil mengirim tendangan Soan hong twi yang bertubi tubi menyerang bagian tubuh yang paling berbahaya dari Hwesio itu.

   Kembali Hwesio itu memperlihatkan kepandaiannya. Ia tidak mengelit atau menangkis tendangan tendangan itu dengan kedua tangan nya, melainkan menggerakkan kedua kakinya juga dan membarengi tendangan lawan untuk mengadu kaki! Dengan amat cepatnya ia menyambut kaki Hok Seng dengan dupakan kakinya sehingga pemuda itu mengeluarkan teriakan kaget karena tubuhnya seakan-akan di lemparkan ke belakang oleh tenaga yang amat hebat! Baiknya ia masih sadar dan dengan cepat ia menggertakkan tubuh yang terlempar di udara berjungkir balik membuat salto tiga kali dengan gerak tipu Kou-liong hoan-sin (Naga Siluman Berjungkir Balik). Dengan gerakan indah ini barulah ia dapat turun keatas tanah dengan baik dan dalam keadaan berdiri teguh.

   "Bagus, sekarang kau harus roboh!" teriak Tiauw It Hosiang dan dengan cepat sekali tubuhnya melayang kearah pemuda itu dan melakukan serangan serangan hebat dengan kedua kepalan dibantu oleh ke dua lengan baju.

   Tidak hanya dua kepalan tangannya yang amat berbahaya, akan tetapi juga ujung lengan bajunya yang selalu mengadakan serangan menyilang dengan kepalan, merupakan bahaya besar. Hok Seng benar-benar kali ini merasa terkejut sekali. Kedua ujung lengan baju Hwesio itu merupakan tandingan setimpal terhadap sepasang poan koan pitnya. Ke mana juga sepasang alat penotoknya menyerang, selalu terpental kembali karena kebutan kedua ujung lengan baju, adapun sepasang kepalan Hwesio itu merupakan alat penyerang yang berbahaya dan hanya dapat ia hadapi dengan elakan-elakan cepat. Akan tetapi segera ia terdesak mundur dan menjadi sibuk sekali berlompatan ke sana ke mari untuk menghindarkan diri dari bahaya maut. Pada saat Hok Seng berada dalam bahaya, tiba-tiba berkelebat bayangan yang gesit sekali dibarengi bentakan nyaring.

   "Penjahat gundul jangan kau berani mengacau di Hoa san!" Tiauw It Hosiang cepat melompat mundur dan menyampok sinar pedang yang mengarah pundaknya itu dengan ujung lengan bajunya. Akan tetapi sebelum lengan bajunya mengenai pedang, senjata itu telah dibelokkan dan sekarang tanpa tertunda lagi telah maju menusu ke arah lambungnya. Hwesio ini kaget juga dan tahu bahwa penyerang baru ini memiliki kegesitan yang lebih tinggi daripada Hok Seng. Ia segera melompat satu setengah tombak ke belakang, lalu memandang. Ternyata yang datang adalah seorang wanita yang cantik bertubuh tinggi langsing dan tegap, berwajah segar kemerahan bagaikan kembang botan yang sedang mekar.

   "Suci"!" Hok Seng menegur dan gadis itu berpaling lalu tersenyum ramah kepadanya Kemudian gadis yang baru datang ini, yaitu kakak seperguruan dari Hok Seng atau murid dari Liang Bi Suthai yang bernama Thio Ling In, menudingkan pedangnya kepada Tiauw It Hosiang sambil bertanya,

   "Kau ini Hwesio dari manakah? Apakah tidak tahu bahwa di sini Gunung Hoa san dan menjadi derah dari Hoa-san-pai? Mengapa kau mengandalkan sedikit kepandaian untuk mengacau?"

   Tiauw It Hosiang tertawa bergelak dan karena ia tertawa sambil menggerakkan khikangnya, maka suara ketawanya terdengar bergema sampai jauh. Pada saat itu, dari bawah berlari naik seorang pemuda pula, seorang pemuda yang bermuka putih dan gagah sekali. Pakaiannya bersih dan indah dan sikapnya patut sekali kalau ia menjadi seorang pendekar besar. Dia ini bukan lain adalah Lie Bu Tek, murid dari Liang Gi Tojin, atau murid tertua dan Hoa-san-pai. Ia tadi memang ber sama-sama Thio Lin ln, hanya sumoinya ini yang tidak sabar telah berlari-lari naik mendahuluinya. Ketika melihat pemuda ini, Tiauw It Hosiang segera menudingkan telunjuknya sambil bertanya,

   "Apakah yang datang inipun seorang murid Hoa-san-pai juga?" Dari jauh Lie Bu Tek sudah mendengar suara ketawa Hwesio ini dan dia merasa tak senang sekali melihat lagak Hwesio yang amat sombong ini, maka katanya tegas.

   "Aku memang murid Hoa-san-pai bernama Lie Bu Tek. Tidak tahu siapakah kau dan apa maksudmu datang di gunung kami?"

   "Ha-ha-ha! Murid-murid Hoa-san-pai memang galak galak! Jika geledek bersuara keras takkan turun hujan dan jika gentong berbunyi nyaring, tanda ia kosong! Murid-murid Hoa-san-pai bermulut besar bersuara keras tanda kosong pengetahuannya!"

   "Eh, eh, Hwesio gundul gila!" Thio Ling In memaki marah. Gadis ini memang mempunyai watak keras seperti gurunya.

   "Kau ini datang datang mencari perkara, apakah sudah bosan hidup?"

   "Suci, dia adalah Tiauw It Hosiang berjuluk It ci sinkang dari Gobi san. Memang dia datang datang menyerangku dan sengaja mencari perkara. Tak usah banyak bicara dengan dia, mari kita tangkap dia untuk diseret ke depan guru-guru kita!" Kembali Hwesio itu mentertawakan mereka. Lie Bu Tek menjadi gemas sekali. Pemuda yang usianya sudah dua puluh lima tahun lebih ini telah merantau dan memiliki pengalaman luas, juga dengan kepandaiannya, ia telah memperoleh nama besar. Kini menghadapi Hwesio Go-bi-pai ini, tentu saja ia tidak menjadi takut dan marahlah ia melihat kekurangajaran Hwesio ini.

   "Sute, sumoi, biarkan aku mencoba kepandaian Hwesio ini," katanya, kemudian dengan sekali lompatan saja ia telah berada di depan Tiauw It Hosiang. Hwesio ini melihat gerakan orang tahu bahwa ia menghadapi seorang ahli yang tidak boleh dipandang ringan, maka ia hentikan senyumnya dan memasang kuda kuda.

   "Bagus, kau murid tertua dari Hoa-san-pai? Majulah, hendak kulihat sampai di mana tua bangka tua bangka di puncak Hoa san itu memberi pelajaran kepadamu."

   "Hwesio, mulutmu terlalu kotor!" bentak Lie Bu Tek yang cepat maju menyerang dengan kepalan tangan kanannya. Pukulannya dilakukan dengan cepat dan manlep, membawa tenaga yang luar biasa kuatnya.

   Melihat cara pemuda ini memukul, Tiauw lt Hosiang tidak berani main-main lagi. Ia cepat mengelak ke kiri dai membalas kontan dengan tendangan ke arah perut Lie Bu Tek. Akan tetapi pemuda Hoa-san-pai inipun tidak gugup dan cepat ia menggunakan tangan tadi ditarik ke bawah dan menggunakan sikunya untuk menangkis tendangan ini. Pukulan dengan siku tangan kanan ini merupakan totokan ke arah jalan darah pada mata kaki, maka Tiauw It Hosiang cepat menarik kembali kakinya dan kini kedua ujung lengan bajunya menyambar dari kanan kiri mengarah kedua telinga Lie Bu Tek! Pemuda ini cepat menggunakan gerakan Liang tho lian kai (Dua Bunga Teratai Mekar), kedua tangannya bergerak dari pinggang ke atas dan berhasil menanakis sambaran ujung lengan baju. Lie Bu Tek merasa betapa lengannya tergetar dan Tiauw It Hosiang melihat betapa kedua lengan bajunya terpental ke belakang.

   "Bagus, berisi juga kau !" kata Hwesio itu yang melangkah mundur tiga tindak, kemudian ia menggerak gerakkan kedua lengannya. Tiba-tiba dadanya mengempis dan perutnya mengembung, mukanya menjadi pucat dan matanya tak pernah berkedip memandang ke depan. Dengan langkah perlahan ia lalu maju menghampiri Lie Bu Tek dengan kedua tangan terkepal, akan tetapi jari telunjuknya lurus keluar. Inilah Ilmu Silat lt ci tiam hwelouw (Ilmu Totok Satu Jari) atau It ci ciang (Pukulan Satu Jari) yang menjadi kebanggaan dan yang membuat namanya terkenal di dunia kang ouw. Ilmu silat ini benar-benar luar biasa karena seluruh gerakan berdasarkan lweekang yang berbahaya. Gerakannya menang perlahan saja, akan tetapi daya pukulannya amat lihai, sukar sekali dilawan, apa lagi oleh orang yang ilmu kepandaian atau tenaga lweekangnya masih rendah,

   Sebetulnya apabila tidak menghadapi lawan tangguh, Tiauw It Hosiang tidak mau mengeluarkan kepandaian simpanannya ini. Sekarang ia hendak mengalahkan lawannya cepat-cepat, maka ia mengeluarkan It ci tiam hwelouw. Lie Bu Tek terkejut. Sebagai seorang yang banyak merantau, ia maklum akan kehebatan lawannya ini iapun telah melatih diri dan memiliki lweekang yang tinggi, maka tentu saja ia tidak gentar dan menghadapi lawannya dengan tabah. Akan tetapi ia maklum jika kali ini tidak dapat mengalahkan lawan nya, pasti ia akan terluka hebat! Gan Hok Seng dan Thio Ling In juga maklum akan hal ini, maka mereka memandang dengan hati berdebar dan gelisah. Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara ketawa terkekeh yang merdu sekali, lalu disusul oleh suara yang jenaka,

   "Eh kau ini orang gundul apakah hendak meniru seekor kepiting? Kepalamu gundul licin, dada kempis perut kembung, telunjuk menuding, apa-apaan sih? Sungguh amat lucu, anak-anak bukan, orang-tuapun tak pantas!"

   Saking marah dan mendongkolnya mendengar olok-olok ini, Tiauw lt Hosiang tidak jadi menyerang Lie Bu Tek menyimpan kembali tenaga lweekangnya sehingga perutnya mengempis kembali dan dadanya mekar. Ia cepat-cepat menoleh dan entah dari mana datangnya, tahu-tahu di sebelah kanannya telah berdiri seorang gadis amat cantik dan usianya baru belasan tahun. Gadis itu berdiri dengan kedua alis diangkat tinggi, mata memandang lucu dan bibirnya menahan geli hati yang membuatnya tertawa terkekeh. Di belakangnya berdiri seorang kakek berpakaian petani, maka tahulah Tiauw It Hosiang bahwa ia berhadapan dengan orang keempat dari tokoh-tokoh Hoa-san-pai lalu ia menjura kepada Tan Seng yang berdiri di belakang Bi lan.

   "Susiok!" Lie Bu Tek, Gin Hok Seng, dan Thio Ling In memberi hormat kepada Tan Seng yang mengangguk-angguk kepada mereka. Adapun Bi Lan lalu menghampiri Ling In sambil berlari-lari, kemudian memeluk gadis itu sambil berkata,

   "Enci Ling In mengapa begitu lama kau baru muncul? jiwi suheng, kalian tidak bertambah besar, masih sama seperti dulu!" Kedua suheng itu tersenyum gembira.

   "Kau yang sekarang telah menjadi besar benar-benar telah menjadi sarang dara yang cantik, bukan begitu sute?" kata Lie Bu Tek kepada Gan Hok Seng yang semenjak tadi menatap wajah Bi Lan dengan kagum terheran-heran.

   "Kalau bertemu berdua di jalan, tentu aku takkan mengenalmu, sumoi. kau benar-benar berubah!" akhirnya Hok Seng berkata dan pujian kedua suhengnya ini membuat wajah Bi Lan berseri-seri. Sementara itu Tiauw It Hosiang yang menjura kepada Tan Seng berkata,

   "Kebetulan sekali kau turun! Bukankah pinceng berhadapan dengan Tan Seng Lo-Enghiong, tokoh ke empat dari Hoa-san-pai, bukan dari murid-muridnya yang kosong melompong hanya pandai menyombong saja!" Tan Seng bersikap sabar dan hendak merendahkan diri, akan tetapi tiba-tiba Bi Lan melompat ke depan Hwesio itu dan menudingkan jari telunjuknya hampir mengenai hidung Tiauw It Hosiang Hwesio ini cepat melangkah mundur, karena tentu saja ia tidak sudi hidungnya ditunjuk-tunjuk oleh nona kecil Ini.

   "Eh, Hwesio pemotong babi, kau bilang apa tadi? kau bilang datang hendak minta tambah pengertian, akan tetapi mengapa kau memaki-maki murid Hoa-san-pai! Tadipun kau berani mempermainkan saudara-saudaraku, berani pula membadut dan hendak berjoget tari kepiting, apa-apaan sih kau ini? Orang seperti kau tidak berharga untuk bicara dengan kami, hayo kau pergi dari sini!" Setelah berkata demikian Bi Lan lalu menggunakan tangan kanannya yang jari-jarinya dibuka untuk mendorong dada Hwesio itu, Tiauw It Hosiang tentu saja memandang rendah gadis ini dan melihat kejenakaan Bi Lan, dan karena mendongkol juga dihina oleh gadis cilik ini, ia bermaksud hendak mempermainkan Bi Lan dan membikin malu.

   Demikianlah, ketika tangan nona itu mendorong ke arah dadanya, ia lalu mengulur tangan kanan untuk menyambut lengan itu dan hendak ditangkap pergelangan tangannya. Akan tetapi, alangkah terkejutnya ketika jari-jari tangan Bi Lan yang mendorongnya itu tiba-tiba saja menukik ke bawah dengan pergelangan tangan ditekuk secara mendadak, dan dua buah jari tangan gadis itu dengan tepat sekali menotok ke arah jalan darah pada pergelangan tangannya! Tiauw It Hosiang cepat menarik kembali tangannya,, akan tetapi pada saat itu tangan kiri gadis yang jenaka ini telah mendorong dadanya. Tiauw It Ho siang mempertahankan diri, akan tetapi dorongan itu selain tiba-tiba dan tak terduga datangnya, juga tenaga yang dipergunakan luar biasa besarnya sehingga biarpun tidak terjengkang ke belakang, tubuh Hwesio itu telah terhuyung-huyung ke belakang sampai lima tindak!

   "Eh eh, kau masih tidak mau pergi?" bentak Bi Lan sambil pelototkan mata dan bertolak pinggang, lagaknya seperti sedang menegur seorang anak kecil yang nakal.

   "Apakah mau tunggu sampai aku menjewer telingamu?" Selama Tiauw It Hosiang menjadi tokoh ke tiga dari Go-bi-pai, yakni sudah lebih lima tahun, di manapun dia berada belum pernah Hwesio ini mengalami hinaan orang seperti yang telah dihadapinya sekarang. Dara remaja yang usianya baru belasan tahun ini, yang nampak lemah-lembut karena kulitnya halus seperti sutera dan wajahnya cantik jelita seperti bidadari, telah berani mempermainkannya dan menghinanya dengan cara yang hebat sekali.

   "Tan Seng Lo-Enghiong," katanya dengan suara menggigil saking marahnya kepada gadis itu.

   "Kalau kau tidak menyuruh pergi gadis liar ini dan tidak menyuruh dia minta ampun kepadaku, jangan salahkan pinceng turun-tangan menghajarnya!"

   "Bi Lan, jangan main-main dengan It ci sinkang Tiauw It Hosiang, dia adalah tokoh besar ke tiga dari Go-bi-pai!" kata Tan Seng setengah mengejek Hwesio yang sombong itu tanpa minta gadis itu mengundurkan diri. Memang Tan Seng kakek petani ini sengaja hendak melihat sampai di mana keberanian dan kepandaian cucunya yang tercinta, dan sampai di mana pula kesombongan Hwesio itu. Kalau kiranya gadis itu nanti terancam bahaya, baru ia hendak turun-tangan membantu.

   "Kong kong, jangan kata baru satu jarinya yang lihai (it ci), biarpun dua puluh jari tangan dan kakinya semua lihai, tidak seharusnya ia main gila di Hoa san! Jangankan baru tokoh ke tiga, biar tokoh terbesar sekalipun harus menaruh hormat kepada Hoa-san-pai! Aku takkan minta ampun sebelum dia yang lebih dulu berlutut minta ampun kepada kong kong karena tadi telah berani menghina anak murid Hoa-san-pai." Sambil berkala demikian kembali ia menghadapi Hwesio itu dengan kedua tangan bertolak pinggang dan dengan sikap menantang sekali.

   "Sumoi, jangan main-main. Dia lihai sekali!" kata Gan Hok Seng memperingatkan sumoinya karena peauwsu muda ini tadi telah merasakan sendiri kelihaian Hwesio itu.

   "Sumoi, biar susiok menghadapinya, jangan main-main!" Lie Bu Tek juga memperingatkan, karena tiga tabun yang lalu, ketika ia hendak meninggalkan perguruan, sumoinya yang paling kecil ini kepandaiannya masih di bawah tingkatnya sendiri. Sedangkan dia sebagai murid pertama dari Hoa-san-pai yang sudah banyak merantau dan berpengalaman, masih tidak kuat menghadapi Hwesio ini, apalagi sumoinya yang cantik dan jenaka ini? Adapun Thio Ling In, gadis murid Liang Bi Suthai yang juga memiliki watak jenaka akan tetapi keras, melihat betapa sumoinya berani mempermainkan Tiauw It Hosiang tertawa geli dan berkata kepada Tan Seng,

   "Susiok, biarkan teecu membantu sumoi menghadapi si gundul sombong ini!"

   "Tak usah, suci, tak usah! Orang macam ini saja perlu apa harus kau sendiri turun-tangan? Cukup dihadapi murid termuda dari Hoa-san-pai! Nah, Tiauw It Hosiang, kau hendak berkata apa sekarang?" Bi Lan kembali mengejek Hwesio itu. Kulit muka Hwesio itu sebentar menjadi merah sampai ke kepalanya dan sebentar pula menjadi sangat pucat saking menahan marahnya.

   "Kau ...kau... akan kubunuh kau..." hanya ini yang dapat keluar dari mulutnya dengan dada terengah-engah, kemudian ia mengumpulkan tenaganya, menggerak gerakkan kedua tangannya. Seperti tadi ketika menghadapi Lie Bu Tek, dadanya mengempis dan perutnya mengembung, mukanya pucat dan sepasang matanya melotot memandang kepada Bi Lan!

   Ia melangkah maju dengan kedua tangan terkepal akan tetapi jari telunjuknya lurus keluar. Saking marahnya, menghadapi anak dara ini Tiauw It Hosiang tidak segan segan mengeluarkan ilmunya yang paling dibanggakan dan diandalkan, yakni It ci tiam hwelouw yang jarang sekali gagal dalam menghadapi lawan tangguh. Lie Bu Tek menjadi pucat ketika melihat ini, juga Thio Ling In dan Gan Hok Seng memandang dengan hati berdebar-debar dan diam-diam mereka menyesali sumoinya yang dianggap terlalu sembrono itu. Hanya Tan Seng seorang yang masih tenang tenang saja. Bagaimana sikap Bi Lan sendiri? Sungguh mengherankan, gadis ini bahkan mentertawakan Tiauw It Hosiang. Ia tertawa-tawa sambil menutup mulut dengan tangan kirinya, sama sekali tidak memasang kuda kuda untuk menghadapi serangan lawan.

   "Aha, badut gundul, kembali kau berjoget kepiting!" Tiauw It Hosiang mengeluarkan bentakan parau menyeramkan dan tubuhnya menubruk maju, melakukan serangan dengan kedua jari telunjuknya yang kiri menotok jalan darah Hong sai hiat di lutut kanan, sedangkan jari kanan menotok jalan darah Kiam ceng hiat di pundak kiri nona itu! Memang luar biasa dan hebat sekali serangan beruntun yang hampir berbareng telah menyerang bagian bagian tubuh yang berjauhan ini.

   "Ayaaa! Tidak tahunya kepiting gundul ini galak!" dengan amat lincahnya Bi Lan mengelak ke belakang menghindarkan serangan totokan yang lihai itu. Gerakannya tadi ketika mengelak adalah gerakan dari langkah kaki yang disebut Tui-po lian-hoan (Gerakan Kaki Mundur Berantai). Ketiga kakak seperguruannya tentu saja sudah mempelajari Tui-po lian-hoan, akan tetapi mereka merasa kagum sekali ketika menyaksikan betapa gerakan kaki ini dapat dipergunakan untuk menghindarkan diri dari serangan yang demikian berbahaya. Di samping itu, Bi Lan masih bisa mengeluarkan kata-kata ejekan pula!

   "Mampus kau !" Tiauw It Hosiang dengan marah menyerang terus tanpa memberi kesempatan kepada lawannya.

   Kini kaki kanannya menendang dari bawah ke arah pusar sedangkan dua telunjuknya melakukan totokan berbareng ke arah leher dan ulu hati. Dengan demikian, maka sekaligus ada tiga serangan yang mengancam diri Bi Lan. Dengan bibir masih tersenyum manis, Bi Lan menghadapi serangan maut ini dengan gerak tipu Ouw po lat kiang (Menggeser Kaki Menarik Busur). Gerakan ini indah sekali karena sambil mengelak dari tendangan kaki lawan, kedua tangannya bergerak maju dan sekaligus ia menyambut totokan lawan dengan mendahuluinya menotok ke arah sambungan siku! Kembali Lie Bu Tek dan dua orang adik seperguruannya melenggong, karena biarpun mereka telah mempelajari gerak tipu Ouw po lat kiang ini, namun harus mereka akui bahwa gerakan mereka takkan secepat dan setepat itu.

   Ketika mereka melirik ke arah susiok mereka, Tan Seng hanya mengangguk-angguk puas dan nampaknya juga kagum dan gembira sekali! Tentu saja Tiauw It Hosiang tidak mau membiarkan sambungan sikunya ditotok lawan, maka cepat ia menarik kembali kedua tangannya. Akan tetapi sekarang Bi Lan tidak mau memberi hati dan memberi kesempatan kepada lawannya untuk menyerang terus, ia membalas dengan serangan serangan hebat pula dan yang ia pergunakan untuk menyerang adalah Pukulan Hun-kai ciang-hwat (Pukulan Memecah dan Membuka). Memang pukulan ini tepat sekali untuk menghadapi lt ci tiam hwelouw sehingga pertempuran berjalan luar biasa ramainya. Tentu saja dara yang masih hijau belum berpengalaman itu kalah dalam hal tenaga dan kemahiran kaki tangan, akan tetapi tak dapat disangkal pula bahwa Bi Lan menang dalam kegesitan, ketabahan dan ketenangan.

   Benar-benar amat mengagumkan betapa dara itu mempermainkan Tiauw It Hosiang seperti seorang dewasa mempermainkan seorang anak kecil saja! Pertempuran telah berlangsung empat puluh jurus lebih dan belum juga Tiauw It Hosiang mengalahkan atau mendesak gadis itu! Hal ini benar-benar membuat dada Hwesio itu hampir meledak saking marah dan penasaran, ia sengaja datang untuk menantang empat tokoh dari Hoa-san-pai, dan kini menghadapi murid termuda dari Hoa-san-pai saja, sampai kepalanya yang licin itu berpeluh belum juga ia dapat mengalahkannya! Ia mengeluarkan suara seperti seekor biruang marah, lalu merobah ilmu silatnya dan kini setiap pukulannya ditujukan untuk membunuh!
(Lanjut ke Jilid 03)

   Pendekar Budiman/Hwa I Eng-hiong (Seri ke 01 -Serial Pendekar Budiman) " Jilid 03
Karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo

   Jilid 03
Bi Lan juga merasa penasaran karena ia tidak dapat mengalahkan Hwesio ini. Ketawanya mulai menghilang dan ia bersungguh-sungguh untuk merobohkan lawannya.

   Gadis ini semenjak kecilnya memiliki kecerdikan yang luar biasa sekali. Kini setelah ia mengeluarkan seluruh kepandaian dan pikirannya di dalam pertempuran ini, mulailah ia mencari akal untuk mengalahkan Hwesio yang tangguh ini. Ia tadi melihat betapa Hwesio itu mudah sekali marah dan ternyata amat berangasan. Kalau dilawan keras sama keras, mungkin dia akan kalah karena Hwesio itu benar-benar tangguh. Maka setelah berpikir masak-masak, Bi Lan kembali memasang senyumnya yang manis dan tiba-tiba ia merobah ilmu silatnya dan kini ia mainkan Ilmu Silat Bi ciong kun, semacam ilmu silat lemas dan lemah gemulai akan tetapi penuh terisi dengan tipu-tipu menyesatkan! Karena memang gadis ini merupakan seorang dara remaja, maka bagaikan setangkai bunga ia sedang mekarnya dan Bi Lan memiliki potongan yang langsing dan menggairahkan.

   Setelah mainkan ilmu silat ini, ia berhasil mempermainkan lawannya dan membuat Hwesio itu menjadi makin penasaran dan marah. Memang di dalam gerakan Bi ciong kun ini terisi tipu-tipu yang sifatnya mengejek dan mempermainkan, bagaikan seorang penari sedang menari indah dan tiap kali Hwesio itu menyerang selalu mengenai tempat kosong! Pada saat yang amat baik di mana terdapat lowongan. Bi Lan tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dan cepat mengirim pukulan tangan kiri dengan ilmu pukulan dari Hoa-san-pai aseli. Tiauw It Hosiang tak sempat mengelak lagi dan terpaksa ia mengerahkan lweekangnya ke bagian dada yang terpukul, sedangkan telunjuk kirinya dengan cepat lalu mengirim totokan ke arah pangkal lengan gadis itu, yakni bagian tubuh lawan yang terdekat di waktu itu.

   "Duk!" pukulan tangan kiri Bi Lan mengenai sasaran dan tubuh Hwesio itu terlempar sampai setombak lebih dan biarpun ia roboh dalam keadaan berjongkok dan segera berdiri lagi, namun mukanya pucat sekali dan ia telah menderita luka dalam yang cukup lumayan. Akan tetapi, Bi Lan juga tertolak ke belakang dan gadis ini menahan rasa sakit pada pangkal lengan kanannya, bahkan masih tersenyum mengejek memandang kepada Tiauw It Hosiang. Padahal lengan kanannya pada saat itu telah menjadi lumpuh! Tiauw It Hosiang kaget sekali melihat betapa dara itu tidak nampak sakit terkena totokannya tadi, seakan-akan gadis itu tidak merasa sama sekali. Betul-betulkah anak ini dapat menahan totokannya tadi? Dengan malu dan penasaran di dalam hati, Tiauw It Hosiang menjura ke arah orang-orang Hoa-san-pai ini sambil berkata,

   "Bukan kepandaian Hoa-san-pai yang terlalu tinggi, melainkan pinceng (aku) yang lalai dan kurang latihan. Tan Lo-Enghiong, biarlah kali ini pinceng mengaku kalah, akan tetapi kami dari Go-bi-pai akan merasa terhormat sekali kalau sewaktu waktu kami mengadakan pibu dengan kalian orang-orang Hoa-san-pai." Setelah berkata demikian, Hwesio ini membalikkan tubuhnya dan hendak pergi.

   "Tiauw It Hosiang, kau telah terluka oleh pukulan Tin san ciang (Pukulan Menggetarkan Gunung), mari kuobati lukamu itu!" kata Tan Seng yang diam-diam merasa gembira dan kagum sekali melihat cucunya berhasil mengalahkan Hwesio itu! Tiauw It Hosiang menengok dan mukanya menjadi makin garang.

   "Terima kasih, biarlah luka ditimbulkan oleh pukulan Hoa-san-pai dan diobati dengan obat Go-bi-pai! Selamat berpisah," Hwesio ini sambil menahan sakit lalu pergi dari situ dengan cepat.

   "Hem, orang macam dia mana pantas menjadi pendeta?" Tan Seng berkata perlahan seperti pada diri sendiri, akan tetapi ketika ia menengok ke arah Bi Lan, ia menjadi kaget sekali.

   "Bi Lan, kau kenapa?" Gadis itu nampak pucat dan meringis kesakitan setelah lawannya sudah pergi.

   "Lengan kananku, kong kong. Ketika aku memukul dengan tangan kiri, ia telah berhasil menotok jalan darah di pangkal lengan kananku." Tan Seng memegang lengan kanan gadis itu dan setelah menekan nadinya, ia berkata.

   "Tidak ada yang luka, hanya totokan Go-bi-pai ini lain dari pada tiam hwat (ilmu totok) kita, apalagi Tiauw It Hosiang berjuluk It ci sinkang. Twa-suhumu (guru tertua) paling ahli tentang jalan darah, kau mintalah dia menolongmu sekalian melaporkan kedatangan kedua suheng dan sucimu." Bi Lan lalu berloncat-loncatan dan berlari mencari Twa-suhunya, yakni Liang Gi Cinjin di dalam kuil.

   "Susiok, mengapa kepandaian sumoi menjadi sehebat itu?" Thio Ling In bertanya kepada Tan Seng dan jelas nampak rasa iri hatinya sebagaimana telah lajimnya terdapat dalam watak sebagian besar wanita.

   "Ia memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari pada teecu, bahkan masih lebih tinggi dari pada kepandaian Lie suheng sendiri! Agaknya ada rasa pilih kasih dan berat sebelah dalam perguruan kita."
Tan Seng tersenyum dan menggeleng-geleng kepalanya.

   "Ling In dan kalian juga, Bu Tek dan Kok Seng. Jangan kalian mengira yang bukan bukan. Apakah kalian tidak melihat suatu gerakan dalam ilmu silat Bi Lan yang belum pernah kalian pelajari? Nah, tentu kalian sudah melihatnya sendiri bahwa semua ilmu silatnya tadi adalah ilmu silat Hoa-san-pai kita yang kalian sudah pelajari. Guru-gurumu tidak berat sebelah dan juga tidak pilih kasih. Sesungguhnya anak itu sendiri yang membuat kepandaiannya jadi sempurna dan sebaik itu. Tahukah kalian bahwa sekarang aku sendiripun agaknya takkan dapat menandinginya? Anak itu amat maju karena bakatnya dan karena ia memang tekun sekali melatih diri."

   Tiga orang muda itu menjadi amat kagum dan setelah mereka mengingat-ingat, memang betul bahwa semua gerakan Bi Lan ketika menghadapi Hwesio tadi, tidak ada yang tidak mereka kenal. Akan tetapi bagaimanakah ilmu silat Bi ciong kun saja dapat dipergunakan untuk menghadapi Tiauw It Hosiang yang memiliki kepandaian begitu tinggi?

   "Tinggi dan rendahnya tingkat kepandaian seorang, bahkan semata-mata tergantung pada ilmu silatnya, akan tetapi terutama sekali tergantung kepada orang yang memainkannya." Tan Seng memberi penjelasan.

   "Ilmu silat yang biasa dan sederhana saja dapat menjadi ilmu yang amat tangguh dan lihai jika dimainkan oleh seorang yang telah menguasainya betul-betul dan yang melatihnya sampai ilmu silat itu seakan-akan mendarah daging sehingga gerakan gerakannya menjadi otomatis. Sebaliknya ilmu silat yang bagaimana tinggipun akan percuma saja apabila dimainkan oleh orang yang hanya menguasai kulitnya saja."

   Ketiga murid Hoa-san-pai ini mendengarkan sambil menundukkan kepala dan mereka berjanji di dalam hati akan berlatih lebih tekun lagi. Tak lama kemudian, datanglah Bi Lan berlari-larian dengan wajah girang. Ternyata, benar sebagaimana kata kong kongnya tadi, sebentar saja Twa-suhunya. Liang Gi Tojin atau juga disebut Liang Gi Cinjin, dapat memulihkan lengan kanannya yang lumpuh, bahkan lalu menjanjikan untuk mengajar rahasia Ilmu Pi ki hu hiat (Menutup Hawa Melindungi Jalan Darah) untuk menghindarkan serangan totokan lawan.

   "Twa-suhu, ji suthai dan sam suhu dengan girang minta suheng dan suci datang di ruang besar," kata Bi Lan sambil memegang lengan Ling In.

   "Suci, kau menjadi makin cantik jelita saja!" Ling In memeluk sumoinya dan berkata dengan bangga,

   "Sumoi, kaulah yang amat manis dan kepandaianmu benar mengagumkan hatiku."

   "Ah, bagaimana suci bisa bilang begitu kalau melawan seorang gundul saja aku sampai terkena totokannya?" Sepasang alis Bi Lan berkerut dan ia benar-benar merasa amat penasaran dan tidak puas.

   "Tapi kau tadi boleh bilang telah mendapat kemenangan, sumoi!"

   "Aku tidak puas, suci. Aku masih belum patut menyebut diri sendiri berkepandaian kalau menghadapi seorang seperti Tiauw It Hosiang saja masih terluka. Aku harus belajar lebih giat lagi!" Diam-diam Ling In menjadi makin kagum dan ia membenarkan kata-kata susioknya tadi tentang kebesaran semangat Bi Lan dalam pelajaran ilmu silat. Mereka lalu menuju ke ruang besar dalam kuil di mana telah menanti Liang Gi Tojin, Liang Bi Suthai, dan Liang Tek Siangseng. Tokoh-tokoh Hoa-san-pai ini merasa girang melihat kedatangan murid-murid mereka, dan ketika mendengar tentang penyerbuan Tiauw It Hosiang, Liang Bi Suthai menjadi marah. Memang tokouw ini berwatak keras. Sambil mengepal tangannya ia berkata,

   "Orang-orang Go-bi-pai memang sombong sekali! Aku tahu mereka itu tentu masih menaruh hati dendam karena dahulu aku telah membunuh penjahat yang ternyata anak murid mereka itu. Baiklah, lain kali aku sendiri akan datang ke sana untuk membereskan hal ini agar jangan berlarut larut menjadi permusuhan besar!" Liang Gi Tojin menarik napas panjang.

   "Sumoi, memang sebaiknya kalau kau membereskan urusan ini dengan Kian Wi Taisu, ketua Go-bi-pai sendiri. Akan tetapi harap kau suka berlaku sabar agar jangan membikin ribut pula Go-bi-san." Setelah berkata demikian. Liang Gi Tojin lalu bertanya kepada muridnya.

   "Bu Tek, bagaimana dengan penyelidikanmu tentang Gua Makam Pahlawan? Apakah kedatanganmu sekarang ini ada hubungannya dengan itu?"

   "Betul suhu. Teecu mendengar dari orang-orang kang ouw bahwa Gua Makam Pahlawan yang dimaksud oleh Tan susiok itu berada di puncak Tapie-san di sebelah selatan Sungai Huai kiang. Akan tetapi..." Pemuda yang gagah ini mengerutkan keningnya seakan-akan ada sesuatu yang membuat dia merasa ngeri.

   "Bagaimana, Bu Tek? Apa yang hendak kau katakan?" Liang Tek Sianseng mendesak.

   "Teecu mendengar berita yang amat menggelisahkan, susiok," jawab Bu Tek.

   "Menurut berita yang teecu dengar, Pegunungan Tapie-san adalah tempat yang amat berbahaya kalau tidak boleh disebut tak mungkin didatangi manusia. Di sana menjadi pusat dari pada perkumpulan rahasia Hui-eng-pai (Perkumpulan Garuda Terbang) dengan tiga orang ciang bun jin (ketua) mereka yang amat terkenal jahat dan ganas, yakni Hui to Sam eng." Memang tiga orang ketua dari perkumpulan Hui-eng-pai menggunakan nama julukan di mana terdapat huruf-huruf Hui eng, akan tetapi Hui to sam eng kalau diterjemahkan boleh juga diartikan Tiga Pendekar Golok Terbang, karena biarpun dituliskan jauh berbeda namun Eng dapat diartikan Garuda atau Pendekar. Mendengar keterangan ini, Liang Gi Tojin mengangguk-angguk.

   "Pantas saja mereka itu tidak kelihatan lagi, tidak tahunya bersembunyi di Gunung Tapie-san. Memang mereka itu terkenal suka sekali mencari permusuhan dan tidak memandang kepada golongan lain. Akan tetapi, apakah jalan menuju Gua Makam Pahlawan itu hanya dapat dilakukan melalui tempat tinggal Hui-eng-pai saja?"

   "Memang ada jalan mendaki dari jurusan lain, suhu. Akan tetapi menurut keterangan orang kang ouw, bahkan jalan yang lain itu lebih berbahaya lagi, karena kabarnya di situ bersembunyi Coa ong Sin kai." Kini empat orang tokoh Hoa-san-pai itu terkejut.

   "Apa? Setan pemelihara ular itu masih hidup?" kata Liang Tek Sianseng.

   "Kukira dia tewas dalam tangan Thian te Siang mo." Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara ketawa bergelak dari luar kuil. Cepat sekali adalah gerakan Bi Lan, karena sebelum lain orang melakukan sesuatu gerakan, gadis ini telah melompat keluar. Suara ketawa itu disambung oleh kata-kata yang parau menyeramkan,

   "Siapa bilang Coa ong Sin kai tewas? Dia tidak akan dapat mati karena memiliki tiga nyawa cadangan, ha-ha-ha!" Keempat tokoh Hoa-san-pai menjadi terkejut sekali dan lalu melompat keluar untuk melihat siapa orangnya yang demikian lihai sehingga dapat mendengar percakapan yang dilakukan di dalam kuil. Bu Tek dan kedua adik seperguruannya juga menyusul guru-guru mereka keluar dari kuil itu dengan hati berdebar! Ketika semua orang tiba di luar, mereka melihat Bi Lan sedang bertempur melawan seorang kakek tinggi kurus yang bermata liar. Kakek itu bertempur sambil tertawa-tawa menghadapi Bi Lan dengan tangan kosong sedangkan gadis itu yang menggunakan pedangnya nampak tak berdaya dan dipermainkan saja oleh kakek tinggi kurus itu.

   "Coa ong Sin kai!" Liang Tek Sianseng berseru kaget lalu kedua kakinya bergerak dan melompatlah ia ke tempat pertempuran itu. Tangan kanannya telah memegang senjata Poan koan pit, yakni senjatanya yang dapat dipergunakan untuk menulis.

   "Harap kau jangan mencari permusuhan dengan kami orang-orang Hoa-san-pai," serunya. Akan tetapi Coa ong Sin kai tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha, kalian masih menjaga di Hoa san? Ha-ha-ha, nona kecil ini manis sekali, aku suka padanya. Ada jodoh antara dia dan aku, ha-ha!" Sambil berkata demikian tanpa memperdulikan Liang Tek Sianseng kakek yang seperti gila ini lalu menggerakkan kedua tangannya. Tahu-tahu pedang di tangan Bi Lan telah kena ditangkapnya. Sungguh mengherankan dan hebat sekali kakek ini yang dapat menangkap pedang tajam begitu saja dengan tangannya! Bi Lan menggunakan tenaganya membetot dengan maksud melukai tangan kakek itu, akan tetapi alangkah herannya ketika ia mendapat kenyataan bahwa pedangnya itu telah patah menjadi dua! Sebelum ia hilang kagetnya, tiba-tiba ia merasa tubuhnya lemas karena jari-jari tangan kiri kakek itu telah mencengkeram pundaknya dan menekan jalan darahnya. Di lain saat ia telah dikempit oleh Coa ong Sin kai!

   "Setan gila, kau lepaskan muridku!" Liang Bi Suthai dengan marah sekali maju menerjang dan memukul dengan kepalan tangannya. Angin pukulannya membuat pakaian Coa ong Sin kai yang compang camping itu berkibar, akan tetapi kakek gila ini dengan gerakan yang aneh dapat mengelak dan membalas serangan itu dengan pukulan-pukulan berantai. Memang hebat sekali kepandaian Coa ong Sin kai. Biarpun tangan kirinya memondong tubuh Bi Lan yang tak berdaya karena tertotok, namun tangan kanannya dan kedua kakinya masih dapat bergerak dengan amat cepatnya dan menghadapi serangan berantai ini, Liang Bi Suthai sendiri tokoh kedua dari Hoa sanpai sampai berlompatan mundur untuk menyelamatkan diri! Kembali Coa ong Sin kai tertawa bergelak.

   "Anak ini berjodoh dengan aku, jangan kalian menghalangi. Ha-ha-ha!"

   "Coa ong Sin kai, kau manusia iblis. Lepaskan muridku!" Liang Gi Tojin menggerakkan tubuhnya dan menyerang dengan ilmu silat Hoa-san-pai yang paling berbahaya. Liang Gi Tojin adalah seorang ahli kebatinan, jarang sekali ia mengeluarkan ilmu silatnya, akan tetapi kalau ia sudah mau mengeluarkannya, ternyata bahwa semua gerakannya adalah ilmu ilmu silat yang paling lihat dari Hoa-san-pai.

   Juga tenaga lweekangnya adalah paling tinggi diantara adik adik seperguruannya. Namun Coa ong Sin kai tidak menjadi gentar. Kini tangan kanannya telah memegang senjatanya yang ringan sederhana, akan tetapi lihai itu yakni sebatang bambu yang berwarna kuning berbintik bintik hijau. Tan Seng yang semenjak tadi melihat keadaan cucunya dengan hati gelisah, kini dengan amat marah telah mencabut goloknya dan menyerbu kakek gila itu, membantu twa suhengnya. Demikianpun Liang Bi Suthai dan Liang Tek Sianseng, cepat maju mengurung sehingga kakek gila itu kini terkurung dan dikeroyok oleh empat tokoh Hoa-san-pai! Lie Bu Tek, Thio Ling In dan Gan Hok Seng hanya menonton saja dengan hati berdebar, karena melihat gerakan kakek gila itu,

   Mereka tahu bahwa tidak akan ada gunanya kalau mereka ikut mengeroyok Kepandaian kakek itu terlalu tinggi dan kalau mereka membantu, bahkan hanya akan mengganggu pengeroyokan empat orang-tua itu. Ketika tadi menghadapi Liang Gi Tojin, biarpun ditambah lagi dengan Tan Seng, kakek gila itu masih dapat menahan bahkan dapat membalas serangan serangan mereka. Akan tetapi kini setelah empat orang tokoh Hoa-san-pai yang rata-rata berkepandaian tinggi itu maju semua mengeroyok Coa ong Sin kai menjadi sibuk juga. Kalau saja ia tidak sedang memondong tubuh Bi Lan, mungkin ia takkan kalah dan akan dapat merobohkan empat orang pengeroyoknya. Sebaliknya, serakan empat orang tokoh Hoa-san-pai itupun tidak leluasa karena mereka takut kalau kalau serangan mereka akan mengenai tubuh Bi Lan. Tiba-tiba kakek itu tertawa lagi dan berkata.

   Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Kalian curang, main keroyokan! Sudah, aku pergi!" Ia lalu menggunakan tubuh Bi Lan yang dipegang kedua lengannya untuk diputar sedemikian rupa sebagai pengganti senjata! Tentu saja Liang Gi Tojin dan adik adik seperguruannya menjadi terkejut sekali dan melompat mundur agar jangan sampai melukai Bi Lan sendiri dan dengan demikian, Coa ong Sin kai dengan enaknya dapat turun gunung dan melarikan Bi Lan!

   "Celaka!" Tan Seng membanting banting kakinya.

   "Kalau dia mengganggu Bi Lan, aku akan mengadu nyawa dengan dia!"

   "Percuma saja kita mengejarnya," kata Liang Gi Tojin "Dia tidak waras otaknya, kalau kita mendesak mungkin dia bahkan membunuh Bi Lan. Kita harus mengikutinya diam-diam dan mencari kesempatan untuk merampas Bi Lan kembali. Lagi pula, biarpun dia terganggu otaknya, kulihat sinar matanya tidak mengandung kebuasan terhadap Bi Lan, tidak ada hawa nafsu jahat terbayang pada matanya. Maka aku yakin bahwa dia takkan mengganggu Bi Lan."

   "Kalau tidak hendak mengganggu, mengapa dia menculik Bi Lan?" tanya Liang Bi Suthai dengan kening berkerut, tanda bahwa ia sedang gelisah sekali. Liang Gi Tojin menggerakkan pundaknya.

   "Siapa tahu jalan pikiran seorang gila? Mungkin diambil anak, mungkin diambil sebagai murid siapa tahu?"

   "Dia tadi menyatakan ada jodoh, kurasa dia ingin mengambil murid kepada Bi Lan." kata Liang Tek Sianseng dengan suaranya yang halus seperti lazimnya suara seorang terpelajar.

   "Biarpun dia gila, akan tetapi seorang yang berkepandaian silat tinggi tentu akan dapat dengan mudah melihat bakat bakat yang luar biasa dalam diri Bi Lan dan tentu inilah yang menarik hatinya untuk mengambil Bi Lan sebagai muridnya." Semua orang membenarkan dugaan ini dan hati mereka agak merasa lega. Betapapun juga, Tan Seng mengambil keputusan untuk menyelidiki dan mengejar ke Tapie-san, sekalian hendak mencari Goa Makam Pahlawan seperti yang diterangkan oleh Lie Bu Tek tadi. Tiga orang murid Hoa-san-pai itu menyatakan hendak ikut dengan Tan Seng, karena merekapun merasa sedih mengingat akan nasib Bi Lan dan ingin sekali turun-tangan membantu susiok mereka dan menolong Bi Lan.

   Adapun Liang Tek Sianseng lalu menyatakan hendak mencari seorang tokoh terbesar di dunia kang ouw pada waktu itu untuk dimintai pertolongannya. Ia percaya bahwa kalau tokoh kang ouw ini yang mendatangi Coa ong Sin kai dan menggunakan pengaruhnya, tentu kakek gila itu akan mengembalikan Bi Lan ke Hoa-san-pai. Tokoh terbesar pada waktu itu, yang namanya terkenal di seluruh penjuru dunia, bukan lain adalah Pak Kek Siansu (Guru Dewa Kutub Utara), seorang kakek sakti yang bertapa di Puncak Pegunungan Luliang san, yakni puncak yang disebut Jeng in thia (Ruang Seribu Awan). Kakek ini dahulunya datang dari utara, dari mana asalnya tak seorangpun mengetahuinya, maka ia disebut Guru Dewa Kutub Utara.

   Baru kira kira sepuluh tahun yang lalu ia bertapa di puncak Gunung Luliang san akan tetapi biarpun dia sendiri belum pernah turun gunung dan mencampuri urusan dunia, semua orang di dunia kang ouw tahu belaka bahwa kakek ini memiliki kesaktian yang luar biasa sekali. Banyak sudah tokoh-tokoh dunia persilatan yang ingin menguji kepandaian Pak Kek Siansu, akan tetapi apa yang selalu terjadi? Jagoan-jagoan ini setelah tiba di Jeng in thia, dengan mudah dirobohkan oleh tiga orang kakek pelayan yang selalu melayani keperluan Pak Kek Siansu, yang boleh juga disebut sebagai murid-muridnya! Baru menghadapi pelayan pelayannya saja sudah tak ada yang dapat mengalahkan, apalagi kalau Pak Kek Siansu turun-tangan sendiri! Akan tetapi kakek sakti ini tak pernah mau turun-tangan, bahkan banyak sudah yang tunduk baru mendengar wejangan dan melihat sikapnya saja.

   Biarpun Pak Kek Siansu tak pernah mencampuri urusan dunia ramai, akan tetapi oleh karena ia terkenal sakti, maka ia disegani dan dihormati oleh semua golongan, baik dari golongan orang-orang kang ouw yang gagah perkasa, maupun dari mereka yang memilih jalan hitam dan dikenal sebagai orang-orang jahat. Dan oleh karena menganggap bahwa perbuatan Coa ong Sin kai yang menculik murid perempuannya itu keterlaluan sekali, maka Liang Tek Sianseng mengambil keputusan untuk melaporkannya kepada Pak Kek Siansu dan mohon pertolongannya agar murid itu dapat dilepaskan dari kekuasaan Coa ong Sin kai, pengemis yang gila itu. Sudah beberapa kali Liang Tek Sianseng mengunjungi Pak Kek Siansu dan kakek sakti itu suka sekali kepada sasterawan ini, yang selain pandai menulis syair, juga pandai sekali bermain catur.

   

Pendekar Pedang Pelangi Eps 28 Memburu Iblis Eps 6 Memburu Iblis Eps 24

Cari Blog Ini