Ceritasilat Novel Online

Memburu Iblis 22


Memburu Iblis Karya Sriwidjono Bagian 22




   "Apa yang terjadi, Lopek?" salah seorang dari mereka bertanya kepada Lo sin-ong. Kakek buta itu pura-pura kaget.

   "Oh...? Kami... kami telah bertemu dengan orang-orang itu tadi. Dan mereka...mereka lalu saling berebut untuk mengganggu cucuku ini. Mereka saling berkelahi sendiri... dan... cucuku juga berusaha membela diri. Lalu...lalu terjadilah semuanya ini... oh!"

   "Hei, lihat!" tiba-tiba salah seorang penduduk yang memeriksa mayat-mayat itu berteriak.

   "Mereka adalah bangsat-bangsat perusuh yang sering mengganggu jalan ini! Mulut mereka berbau arak! Huh... ini dia pemimpinnya!"

   "Betulkah...?" orang yang berada di depan Lo-sin-ong itu menoleh dan bertanya kepada kawannya.

   "Benar! Lihat! Inilah orang yang membunuh pedagang ikan itu!" yang lain menyahut. Tiba-tiba wajah orang yang ada di depan Lo-sin-ong itu menjadi gembira.

   "Terima kasih, Lopek. Ternyata kau dan cucumu telah membantu kami untuk mengenyahkan mereka. Jangan takut, kami yang akan mengurus mereka. Hmmmmh... eh, siapakah sebenarnya Lopek ini. Dari mana dan mau kemana sebenarnya? Mengapa malam-malam begini masih berada di jalan pula?" Lo-sin-ong menghela napas lega. Bagaimanapun juga ternyata orang-orang yang dibunuh Tiauw Li Ing itu adalah para penjahat yang sering mengganggu penduduk.

   "Kami memang sedang dalam perjalanan ke Cin-an. Karena kami terburu-buru, maka kami telah memberanikan diri untuk berjalan malam pula. Tak tahunya kami telah menemui halangan di tempat ini. Untunglah kami selamat..." Lo-sin-ong berbohong.

   "Ah, kalau begitu... marilah Lopek singgah dulu di rumahku. Besok pagi saja Lopek meneruskan perjalanan. Biarlah kami yang mengatur dan mengurus para penjahat ini.Lopek tak usah khawatir dengan mereka, karena para petugas keamanan di kota ini pun telah dibuat pusing oleh tingkah-laku mereka." Lo-sin-ong pun menjadi semakin lega.

   "Terima kasih... terima kasih. Tapi kami benar-benar terburu-buru. Sungguh menyesal kami tidak bisa menerima undangan itu. Lain kali saja kami akan singgah. Maafkanlah kami..." katanya menolak. Demikianlah, setelah meminta diri kepada orang-orang yang ada di tempat itu, Lo-sin-ong mengajak muridnya pergi.

   Semula Tiauw Li Ing menolak. Gadis yang telah menjadi putus-asa karena kesedihan hatinya itu benar-benar tak ingin hidup lagi. Gadis itu merasa bahwa hidupnya benar-benar sudah tidak berguna lagi. Ia lebih baik mati dari pada tidak bisa hidup bersama Liu Yang Kun. Gadis itu baru mau diajak pergi setelah dalam kejengkelannya Lo-sin ong berjanji akan mempertemukan gadis itu dengan Pangeran Liu Yang Kun. Barulah kakek buta itu merasa menyesal setelah di sepanjang jalan Tiauw Li Ing selalu merengek terus. Kakek buta itu baru menyadari betapa sulitnya melaksanakan janjinya itu. Bagaimana dia bisa mempersatukan mereka kalau cinta itu hanya bertepuk sebelah tangan? Masakan sebuah perkawinan itu harus diwujudkan dengan paksaan? Oleh karena itu ketika mereka singgah untuk sarapan pagi di sebuah warung di luar kota, Lo-sin-ong mencoba untuk menasehati muridnya.

   "Li Ing...! Bukankah masih banyak pemuda lain yang lebih baik dari pada Pangeran Liu Yang Kun? Mengapa kau tetap tidak bisa melupakannya?"

   "Entahlah, suhu. Teecu juga telah berusaha pula dengan sekuat tenaga tapi tetap tidak bisa. Semakin keras teecu berusaha, justru semakin lekat pula ingatan teecu kepadanya. Memang kadang-kadang teecu bisa melupakannya, tapi hal itu juga tidak berlangsung lama, karena dalam waktu yang tidak lama teecu tentu akan mengingatnya kembali."

   "Tapi... bukankah kau bisa menahannya sampai bertahun-tahun? Lalu mengapa sekarang kau tiba-tiba menjadi parah lagi sedemikian rupa? Apakah kau telah berjumpa lagi dengan pemuda itu?" Mendadak mata Tiauw Li Ing menjadi merah lagi. Kemudian setetes demi setetes air matanya turun membasahi pipinya.

   "Benar, suhu. Semalam dia telah berkunjung ke rumah teecu..." gadis itu mulai terisak.

   Kemudian sambil menangis gadis itu menceritakan kejadian malam tadi kepada gurunya. Bagaimana pemuda itu melawan keluarganya untuk membantu orang-orang Mo-kauw, bagaimana pemuda itu tidak mempedulikan dirinya, serta bagaimana pemuda itu meninggalkan dirinya begitu saja. Sekali lagi Lo-sin-ong menarik napas sedih. Matanya telah buta, namun dengan demikian hatinya justru menjadi peka dan perasa sekali. Diam-diam hatinya tersentuh oleh kisah yang diceritakan muridnya itu. Rasanya dia ikut merasakan pula penderitaan hati Tiauw Li Ing itu. Lama sekali mereka terdiam. Semakin dipikirkan Lo-sin-ong semakin menjadi kasihan kepada muridnya. Sehingga akhirnya timbul niat di dalam hati orang tua itu untuk membantu Tiauw Li Ing, bagaimanapun caranya. Pokoknya asal gadis itu bisa terlaksana menjadi isteri Pangeran Liu Yang Kun.

   "Siapa tahu hal itu justru akan bisa mengubah wataknya yang buruk itu nanti?" orang tua itu berkata di dalam hatinya. Sementara itu Tiauw Li Ing menatap gurunya dengan pandang mata penuh harapan.

   "Benarkah suhu hendak membantu teecu?" tanyanya ragu ketika melihat Lo-sin-ong berdiam diri sekian lamanya. Nada suaranya terdengar sedih dan memelas. Hati kakek buta itu semakin pedih dan iba.

   "Tentu... tentu, anak manis. Kau tidak perlu khawatir. Kau akan berhasil mendapatkan dia. Percayalah," katanya yakin. Tiauw Li Ing tersenyum. Dan bukan main cantiknya gadis itu. Walau air mata masih tetap mengalir di atas pipinya, namun wajah itu benar-benar telah berubah menjadi segar kembali. Dan Lo-sin-ong juga ikut merasakan getaran kegembiraan itu melalui genggaman tangan Tiauw Li Ing.

   "Nah,.. sekarang habiskan makan pagimu! Kita pergi menemui dia." orang tua itu berkata mantap.

   "Hah...?" Tiauw Li Ing terbelalak dengan mulut ternganga.

   "Menemui dia sekarang? Dimana...? Apa... apakah suhu tahu dimana dia sekarang?" Lo-sin-ong mengangguk. Hampir saja gadis itu bersorak kegirangan. Tapi sekejap kemudian kegembiraan itu seperti hilang dengan tiba-tiba.

   "Tapi... tapi bagaimana kalau ia tetap tidak mau dengan teecu," ujarnya kemudian seperti akan menangis.

   "Jangan bersedih. Suhu mempunyai akal. Apakah kau mau melakukannya?" Tiauw Li Ing menatap gurunya. Ia kelihatan tak mengerti maksud gurunya.

   "Apa yang mesti teecu lakukan, suhu?" bisiknya ragu. Lo-sin-ong tersenyum.

   "Kemarilah, akan kubisikkan rencana itu kepalamu!" Tiauw Li Ing mendekat. Lo-sin-ong lalu membisikkan rencananya ke telinga gadis itu. Dan beberapa saat kemudian wajah Tiauw Li Ing berangsur-angsur menjadi cerah kembali.

   "Tapi bagaimana kalau siasat itu tak mempan? Bagaimana kalau dia menjadi marah nanti?" ujar gadis itu setelah mendengarkan semua rencana gurunya.

   "Hemmm, jangan takut! Apa kau lupa bahwa ilmu silatku masih lebih tinggi dari pada dia? Dia cuma tertulis pada urutan yang ke tujuh, sedangkan aku berada satu tingkat di atasnya. Apa yang mesti ditakutkan?"

   "Tapi... tapi...?" Tiauw Li Ing menyela, tapi tak jadi. Sebenarnya gadis itu agak kurang yakin atas urut-urutan di dalam Buku Rahasia itu, karena ia telah menyaksikan sendiri bagaimana lihainya Liu Yang Kun sekarang. Tapi tentu saja gadis itu tak berani mengatakannya di depan gurunya. Lo-sin-Ong mengerutkan keningnya.

   "Bagaimana, Li Ing? Apakah kau masih sangsi dan belum yakin akan keberhasilan rencana kita itu?"

   "Tidak, suhu. Aku percaya bahwa rencana itu tentu akan berhasil."

   "Bagus! Kalau begitu mau tunggu apa lagi? Marilah kita berangkat sekarang!"

   "Kita berangkat? Sekarang? Kemana...?" Tiauw Li Ing menyahut dengan suara bersemangat.

   "Kembali ke dalam kota!" Sekejap Tiauw Li Ing tertegun kaget.

   "Kembali ke dalam kota? Mengapa, mengapa... eh, apakah d-dia masih berada di sana?" pekiknya tak percaya.

   "Benar! Marilah..." jawab Lo sin-ong tenang.

   "Oooh!" Tiauw Li ing berdesah bingung malah. Demikianlah dengan hati berdebar debar Tiauw Li Ing mengikuti gurunya. Mereka melangkah kembali ke dalam kota. Walaupun sebenarnya ada juga kesangsian dan keraguan di dalam hati Tiauw Li Ing, namun gadis itu tetap saja berhasrat melaksanakan siasat dan rencana gurunya. Siapa tahu siasat gurunya itu benar-benar akan berhasil nantinya? Bukankah lebih baik berusaha dari pada tidak sama sekali? Sementara itu di dalam kamarnya Liu Yang Kun sama sekali juga tidak tidur pula. Setelah tadi malam hampir menabrak Lo-sin-ong di depan rumah penginapannya, pemuda itu langsung menuju kamarnya. Ketika melewati kamar Toan Hoa pemuda itu mendengar kawannya mendengkur dengan kerasnya. Maka Liu Yang Kun juga tidak ingin mengganggunya. Apalagi malam memang telah sangat larut. Pemuda itu ingin beristirahat pula.

   Tapi ternyata Liu Yang Kun tak bisa memicingkan matanya. Bayangan wajah Tiauw Li Ing selalu menghantuinya. Pemuda itu merasa khawatir bila Tiauw Li Ing dapat menemukan tempat tinggal nanti, sebab sekilas pemuda itu melihat ada sesosok bayangan wanita yang mengejarnya ketika keluar dari rumah Tung-hai-tiauw itu. Oleh karena itu Liu Yang Kun memilih untuk bersamadi saja di kamarnya sekalian berjaga-jaga kalau-kalau ada sesuatu yang tak diingininya. Siapa tahu gadis itu benar-benar akan datang. Siapa tahu bahwa kedatangannya nanti akan membawa juga seluruh kekuatan ayahnya? Tetapi semua kecurigaannya itu ternyata meleset. Sampai terang tanah tak mengalami gangguan apapun. Gadis itu tidak datang. Begitu pula dengan para pengawal dan anak buah Tung-hai-tiauw. Sebaliknya yang mengganggu semadinya justru kawannya sendiri. Toan Hoa!

   "Hmm, Tuan Chin...! Apakah kau sudah bangun?" pengurus Kim-liong Piauw-kok itu menyapa dari luar pintu. Liu Yang Kun tertawa perlahan.

   "Aku sama sekali tidak tidur, saudara Toan. Masuklah...dan duduklah! Aku akan mandi lebih dahulu." Toan Hoa membuka pintu, kemudian melangkah masuk. Pakaiannya sudah berganti, dan dandanannya juga sudah tampak rapi dan bersih. Tampaknya pengurus Kim-liong Piauw-kok itu telah mandi dan berganti pakaian sebelum datang ke kamar Liu Yang Kun. Wajahnya juga kelihatan segar. Sama sekali sudah tidak tampak sisa-sisa mabuknya tadi malam. Toan Hoa lalu mengambil kursi dan duduk di dekat pintu. Sementara Liu Yang Kun malah melangkah keluar ke kamar mandi.

   "Kau duduklah dulu! Aku akan sekalian memesan kepada pelayan untuk mengirimkan sepoci teh hangat ke sini." pemuda itu berkata. Toan Hoa merengut.

   "Masakan cuma teh saja? Kurang nyaman...ah!" sungutnya. Liu Yang Kun berhenti di depan pintu. Sambil menoleh ia berkata,

   "Lalu... apa yang saudara Toan inginkan? Katakan! Nanti aku akan katakan pula kepada pelayan." Toan Hoa segera tersenyum.

   "Nah begitu! Akulah yang seharusnya memilih minuman kita ini, karena akulah yang menjadi tuan rumah di dalam perjamuan kita. Hahahah...!"

   "Ya. Tapi ada syaratnya..." Liu Yang Kun memotong.
(Lanjut ke Jilid 22)

   Memburu Iblis (Seri ke 03 - Darah Pendekar)
Karya : Sriwidjono

   Jilid 22
"Syarat?"

   "Ya! Asal tidak memesan arak keras lagi!"

   "Uuuuuu...!" Liu Yang Kun lalu melangkah kembali dengan tertawa. Di depan kamar Toan Hoa dia berpapasan dengan pelayan.

   "Hm... kebetulan sekali! Coba kau datang ke kamarku! Temanku ada di sana. Dia ingin memesan makanan dan minuman" katanya kepada pelayan itu.

   "Baik, tuan. Tapi maaf, apa-apakah tuan yang bernama Tuan Chin atau Tuan Liu?" pelayan itu bertanya. Liu Yang Kun mengerutkan keningnya. Matanya menatap pelayan itu dengan curiga.

   "Benar. Ada apa...?" jawabnya hati-hati. Tiba-tiba wajah pelayan itu menjadi berseri-seri. Tangannya segera merogoh lipatan bajunya dan mengeluarkan secarik kertas.

   "Tuan Chin...! Ada seorang tamu yang menitipkan surat ini tadi pagi. Ia meminta kepadaku agar surat ini disampaikan kepada tuan, sebab dia tidak mempunyai banyak waktu untuk menemui tuan sendiri."

   "Surat? Untukku...? Siapakah orang itu? Wanita atau... laki-laki?" Liu Yang Kun bertanya kaget seraya menerima surat itu. Pelayan itu menggelengkan kepalanya.

   "Entahlah, tuan... saya juga belum pernah mengenalnya. Dia seorang lelaki tampan. Sikapnya halus. Bertubuh jangkung dan mengenakan pakaian seperti sastrawan." Liu Yang Kun membuka lipatan surat itu.

   "Seorang sastrawan...? Siapakah dia?" gumamnya perlahan sambil membaca surat itu.

   Saudara Chin atau Saudara Liu
Aku menunggu kedatanganmu di bekas reruntuhan Kong-tee-bio malam ini.
Waktunya tepat ketika bulan muncul dari balik Kapur.
Teman lama.

   "Teman lama...?" pemuda itu bergumam lagi. Wajahnya kelihatan bingung. Pelayan itu mengangkat pundaknya, lalu melangkah pergi sambil tersenyum. Ditinggalkannya tamunya yang tampak bingung dan sibuk memikirkan surat yang dibawanya itu. Ia menuju ke kamar Liu Yang Kun untuk menerima pesanan makanan seperti yang telah diperintahkan oleh pemuda itu tadi. Demikianlah, karena pikirannya selalu tercekam oleh isi surat yang amat membingungkan itu, maka Liu Yang Kun menjadi lebih banyak melamun dari pada mengguyurkan air ke badannya. Sehingga otomatis pula ia menjadi sangat lama di dalam kamar mandi itu.

   "Huh! Jangan-jangan Tuan Chin ini tidur di kamar mandi." Toan Hoa bersungut-sungut sambil berjalan mondar-mandir menggendong tangan di dalam kamar Liu Yang Kun. Tiba-tiba pengurus Kim-liong Piauw kiok itu memandang terbeliak ke tempat tidur Liu Yang Kun! Di atas pembaringan itu tergeletak sebuah rompi atau baju pendek beserta cawat atau celana pendek, terbuat dari kulit ular, yang berbelang-belang mengkilap kehijau-hijauan! Sekejap Toan Hoa menjadi heran, sehingga kakinya tanpa terasa telah melangkah mendekati pembaringan itu. Namun sebelum tangannya meraih benda itu, tiba-tiba terdengar suara ketukan pada pintu kamar. Cepat Toan Hoa kembali ke kursinya.

   "Siapa?" serunya.

   "Pelayan, tuan. Pesanan tuan tadi telah siap " terdengar jawaban dari luar pintu. Toan Hoa menghela napas.

   "Masuklah," ia memerintahkan. Sambil menunggu selesainya pelayan itu menurunkan hidangan yang telah dipesannya, Toan Hoa melangkah ke jendela. Dipandangnya orang-orang yang sibuk berlalu-lalang di jalan raya. Kemudian diawasinya pula kumpulan kuda yang ditambatkan tamu di halaman depan rumah penginapan tersebut.

   "Hmm... banyak benar tamu yang berdatangan hari ini. Ada apa gerangan di dalam kota ini?" tanyanya kepada pelayan itu.

   "Ah mereka cuma lewat. Bukankah dua pekan lagi di kota Cin-an akan ada perayaan pernikahan? Tamu-tamu telah mulai berdatangan sejak kemarin."

   "Perayaan pernikahan? Pernikahan siapa?"

   "Wah masakan tuan belum mendengarnya juga? Ketua Tiam-jong-pai, Hek-pian-hok Ui Bun Ting, akan melangsungkan pernikahannya dengan bekas kepala kuil cabang Im-Yang-kauw di Teluk Po-hai," jawab pelayan itu sambil tersenyum menahan tawa. Toan Hoa membalikkan tubuhnya. Keningnya berkerut melihat senyum pelayan itu.

   "Mengapa kau tertawa?" tegurnya tak mengerti. Pelayan itu menjadi kaget. Namun dengan mulut yang masih tersenyum ia menjawab.

   "Ah, masakan tuan juga belum pernah melihat ketua Tiam-jong-pai yang sudah banyak ubannya itu? Dalam umurnya yang telah mulai lanjut itu ternyata ia masih ingin kawin juga. Dan wanita pilihannya ternyata juga tidak tanggung-tanggung pula, yaitu seorang bekas pendeta wanita dari Aliran Im-Yang-kauw. Hehe-haha... apakah tuan juga tidak merasa aneh dan lucu mendengar berita itu?" Sekali lagi Toan Hoa mengerutkan keningnya, lalu ditatapnya pelayan itu lekat-lekat.

   "Eh... apanya yang lucu dan aneh? Bukankah mereka juga manusia? Apalagi usia mereka juga belum lebih dari lima puluh tahun. Nah, apanya yang lucu dan aneh? Apakah karena pengantin wanitanya adalah bekas pendeta itu? Hmm... kudengar tiada larangan bagi pendeta Aliran Im-Yang-kauw untuk kawin. Apalagi pengantin wanita itu sudah tidak menjadi pendeta Im-Yang-kauw lagi sekarang..." Pelayan itu tidak berani membantah lagi. Begitu selesai dengan tugasnya ia lalu bergegas keluar. Di depan pintu ia berpapasan dengan Liu Yang Kun yang telah selesai membersihkan badannya.

   "Hei... lengkap benar pesanannya? Ini mau pesta atau... mau makan pagi?" Liu Yang Kun berseru ketika memandang meja yang penuh sesak dengan segala macam masakan enak-enak itu.

   "Hahaha...! Marilah, Tuan Chin... kita meneruskan pesta kita yang belum selesai tadi ma lam! Aku berjanji untuk tidak mabuk lagi, sehingga pesta kita dapat berlangsung hingga selesai. Hahaha..." Toan Hoa tertawa. Setelah merapikan pakaiannya, Liu Yang Kun lalu ikut duduk pula menghadapi meja itu. Tapi Toan Hoa segera menepuk lengannya.

   "Eee...Tuan Chin tidak mengenakan baju rompi itu dahulu?" tanyanya. Seraya menunjuk ke arah pembaringan Liu Yang Kun. Ada nada ingin tahu dalam suaranya. Liu Yang Kun agak kaget juga. Namun dengan cepat ia bisa menguasai dirinya kembali. Dipandangnya temannya itu dengan tenang.

   "Saudara Toan telah melihatnya?"

   "Ya, maafkanlah... aku tidak sengaja melihatnya. Semula aku kaget melihatnya. Kukira benda apa, tak tahunya sebuah rompi dari kulit ular. Eh, sebenarnya pakaian apakah itu? Dan dimana Tuan Chin bisa memperoleh kulit ular sedemikian lebarnya itu? Jangan jangan Tuan Chin mendapatkannya dari kulit ular raksasa Ceng-liong-ong itu..." dengan nada bergurau Toan Hoa menjawab. Diam-diam Liu Yang Kun menyesali keteledorannya. Tapi semuanya memang telah terjadi dan tak bisa disesali lagi. Cuma yang menjadi persoalannya sekarang adalah sampai sejauh mana temannya tersebut tahu tentang baju kulit ularnya itu. Jangan-jangan temannya itu juga telah memeriksa dan mengetahui tentang rahasianya pula. Oleh karena itu jawabnya kemudian dengan hati-hati,

   "Entahlah, saudara Toan. Aku tak tahu, apakah itu kulit Ceng-liong-ong atau bukan, namun yang terang benda itu memang kudapatkan dari seekor ular raksasa. Ular itu telah kubunuh, karena aku juga hampir dibunuhnya pula."

   "Dan... ternyata kulit ular itu bisa melindungi kulit tuan dari tajamnya senjata musuh, bukan?" Toan Hoa menyelidik. Liu Yang Kun terpaksa mengangguk.

   "Hah? Kalau begitu... ular yang kau bunuh itu memang Ceng-liong-ong! A-ha... itulah sebabnya ular keramat itu tak muncul di Danau Tai-ouw tempo hari! Binatang itu telah mati sebelumnya, hahaha...!" Toan Hoa yang merasa dapat membongkar suatu misteri atau rahasia di dalam dunia persilatan itu tertawa gembira. Namun mendadak pula tawanya itu terhenti. Seperti orang yang tiba-tiba teringat akan sesuatu hal ia menatap wajah Liu Yang Kun.

   "Tapi... eh, sebentar...! Waktu itu para pendekar persilatan yang berkumpul di Danau Tai-ouw telah digegerkan pula oleh munculnya seseorang yang mengenakan baju kulit ular seperti itu. Malahan khabarnya baju itu juga terbuat dari kulit Ceng-liong-ong dan kebal terhadap senjata tajam." katanya kemudian sambil mengetuk-ngetuk dahinya sendiri. Dheg! Berdegup hati Liu Yang Kun mendengar ucapan itu. Entah mengapa tiba-tiba hatinya seperti diingatkan kepada isterinya. Tapi hanya sesaat, karena sesaat kemudian ia telah menjadi sadar pula kembali.

   "Bagaimana mungkin Tui Lan berada di sana sebulan yang lalu? Dan bagaimana mungkin pula dia berada di danau itu kalau dia masih berada bersama aku di terowongan bawah tanah itu? Ah... Tui Lan... Tui Lan!" keluhnya di dalam hati. Liu Yang Kun lalu memandang Toan Hoa. Dicobanya untuk menghapuskan kesan bahwa ia te lah terpengaruh olah ucapan Toan Hoa tadi.

   "Seseorang telah mengenakan baju kulit ular pula? Siapakah dia?" tanyanya hati-hati. Tetapi jawaban yang dikeluarkan Toan Hoa justru lebih mengejutkan lagi malah!

   "Entahlah, Tuan Chin. Tidak seorangpun yang mengenalnya. Semua orang hanya tahu kalau dia adalah seorang wanita muda, berparas cantik dan..."

   "...Dan sedang hamil! Begitukah?" tiba-tiba Liu Yang Kun memotong dengan suara tegang. Lagi-lagi pemuda itu tercekam oleh ingatan kepada isterinya. Toan Hoa meringis kesakitan karena di dalam ketegangannya Liu Yang Kun telah mencengkeram lengannya.

   "Oh, maaf... aku tak sengaja." Liu Yang Kun cepat menyadari kekasarannya dan melepaskan cengkeramannya.

   "Hmm... lagi-lagi pikiranku telah melayang ke Tui Lan kembali!" pemuda itu membatin. Sambil mengusap-usap lengannya yang sakit Toan Hoa menyeringai. Dipandangnya wajah Liu Yang Kun yang pucat itu dengan perasaan bingung.

   "Be-benar, Tuan Chin. Semua orang memang mengatakan demikian. Wanita cantik itu sedang hamil," katanya agak takut-takut.

   "Ooooooh...!" Liu Yang Kun berdesah lemas. Jawaban Toan Hoa itu ternyata semakin menambah keresahan dan kegalauan di hati pemuda itu. Wajah Tui Lan kembali menggoda hatinya. Sementara itu Toan Hoa semakin menjadi bingung menyaksikan sikap Liu Yang Kun.

   "Tuan Chin? Ada apa...?" bisiknya khawatir.

   "Eh-oh... tidak! Aku tidak apa-apa!" dengan sangat gugup Liu Yang Kun menjawab. Tentu saja Toan Hoa semakin bertambah curiga melihat kegugupan kawannya itu. Masakan seorang pendekar sakti seperti Liu Yang Kun masih bersikap sedemikian gugupnya? Tentu ada apa-apanya. Tapi tentu saja Toan Hoa tidak berani menanyakannya.

   "Eh... apakah Tuan Chin telah mengenal wanita itu?" tanyanya dengan sangat hati-hati sekali, Liu Yang Kun tampak tertegun sebentar. Namun sesaat kemudian kepalanya menggeleng dengan cepat.

   "Tidak... eh, belum. Aku belum mengenalnya," bantahnya, padahal hatinya semakin yakin bahwa wanita yang diceritakan itu tentu Tui Lan, isterinya.

   Memang terjadi pertentangan di dalam hati dan pikiran Liu Yang Kun! Di satu pihak pemuda itu merasa yakin bahwa Tui Lan tidak mungkin muncul di Danau Tai ouw sebulan yang lalu, tapi di lain pihak pemuda itu juga merasa bahwa data-data atau ciri-ciri yang diceritakan oleh Toan Hoa tersebut benar-benar semakin mengarah kepada isterinya. Dan semuanya itu sungguh-sungguh sangat menyiksa dan membuat penasaran hati Liu Yang Kun. Benarkah isterinya masih hidup? Kalau benar, lalu dimanakah ia sekarang? Dan kalau wanita itu memang benar Tui Lan, lantas bagaimana ia bisa keluar dari dalam tanah dan kemudian muncul di Danau Tai ouw? Apakah terowongan itu juga berhubungan dengan danau tersebut? Demikianlah, Liu Yang Kun semakin tenggelam ke dalam bayangan isterinya. Antara rasa percaya dan tidak percaya, ia mulai berpikir bahwa Tui Lan memang masih hidup.

   "Oh... aku benar-benar sangat penasaran. Jangan-jangan wanita hamil itu memang Tui Lan. Aku harus mencari dan menyelidikinya. Tapi...dimana aku harus mencarinya? Hmm... eh, benar... aku akan ke Teluk Po-hai menemui gurunya. Kalau Tui Lan benar-benar selamat, ia tentu pulang ke rumah gurunya itu," pemuda itu berkata di dalam hatinya.

   "Lalu..." Toan Hoa hendak bertanya lagi, tapi tak jadi. Tak enak rasa hatinya mendesak terus menerus. Begitulah, meskipun cerita tentang wanita berbaju kulit ular itu telah menghilangkan sebagian besar nafsu makannya, tapi Liu Yang Kun tetap berusaha untuk menyenangkan hati Toan Hoa. Apalagi setelah mengetahui bahwa Toan Hoa akan pulang hari itu.

   "Saudara Toan, terima kasih atas semuanya ini..."

   "Alaa... Tuan Chin, kau jangan membuat aku menjadi malu. Apa yang kulakukan ini belum apa-apa bila dibandingkan dengan budi baikmu kepadaku dahulu. Akulah yang seharusnya berterima kasih kepadamu. Ah, sudahlah... Aku juga sudah berpesan kepada pengurus penginapan ini, bahwa seluruh biaya penginapan dan makanan Tuan Chin selanjutnya adalah tanggungan Kim-liong Piauw-kiok. Tuan Chin dapat tinggal disini selama Tuan Chin suka..."

   "Terima kasih. Saudara Toan. Tapi aku juga akan berangkat pagi ini. Aku..."

   "Hei, mengapa tergesa-gesa! Aku... aku tidak bermaksud mengusir Tuan Chin. Aku dan anak buahku memang harus pulang hari ini, karena tugas yang lain telah menantikan kami." Liu Yang Kun tersenyum.

   "Ah... tidak! Saudara Toan jangan berpikir yang bukan-bukan. Aku memang mempunyai kepentingan juga. Aku harus lekas-lekas berangkat hari ini pula."

   "Oh, apakah Tuan Chin hendak menghadiri pesta pernikahan Ketua Tiam-jong-pai di Kota Cin-an?" Liu Yang Kun mengerutkan keningnya.

   "Pesta pernikahan? Ah, tidak...! Aku belum kenal dengan Ketua Tiam-jong-pai. Aku memang hendak menuju ke Cin-an, tapi tidak untuk melihat pernikahan itu."

   "Lalu... apa tujuan Tuan Chin di sana?" Liu Yang Kun menghela napas.

   "Ah., aku cuma lewat saja. Aku bermaksud pergi ke Teluk Po-hai."

   "Teluk Po-hai...? Oh... apakah Tuan Chin berasal dari daerah itu? Tuan Chin kenal dengan Si Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai?" tiba-tiba Toan Hoa berseru. Liu Yang Kun menatap wajah Toan Hoa dengan hati berdebar, lalu perlahan-lahan kepalanya mengangguk.

   "Sudah kenal? Hei... kalau begitu mengapa Tuan Chin tidak diundangnya?" Liu Yang Kun menjadi tegang. Pemuda itu mulai digoda oleh bayangan Tui Lan lagi. Mengapa Si Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai itu harus mengundangnya?

   "Me-mengapa... bekas pendeta itu harus mengundangku?" tanyanya agak gemetar.

   "Dialah pengantin wanitanya! Dialah yang hendak menikah dengan Hek-pian-hok Ui Bun Ting, ketua Tiam-jong-pai itu."

   "Hah...?" Liu Yang Kun benar-benar kaget setengah mati. Guru Tui Lan itu hendak kawin dengan Ketua Tiam-jong-pai? Berapa umur orang tua itu sebenarnya? Sungguh aneh sekali.

   "Hei! Berapa usia mereka sebenarnya?" tanyanya terheran-heran. Tapi ternyata Toan Hoa pun juga terheran-heran pula melihat Liu Yang Kun.

   "Usia mereka? Eh...bukankah Tuan Chin sudah mengenal Si Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai itu? Tentu saja umur mereka telah cukup tua, karena rambut mereka pun sudah mulai memutih. Bahkan Hek-pian-hok Ui Bung Ting sudah hampir putih semuanya."

   "Oh! Kalau begitu aku akan melihat pesta itu," mendadak Liu Yang Kun berkata pendek.

   "Tuan Chin hendak menghadiri pesta pernikahan itu? Lhoh... mengapa Tuan Chin tiba-tiba berubah haluan? Bukankah Tuan Chin tadi mengatakan kalau tidak memperoleh undangan? Mengapa sekarang...?" Liu Yang Kun bangkit berdiri dari kursinya, lalu cepat mengemasi barang-barangnya. Diambang pintu ia menoleh.

   "Karena memang Si Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai itulah yang hendak kujumpai di Teluk Po-hai! Nah... Saudara Toan, aku pergi dahulu! Terima kasih atas keteranganmu." Toan Hoa menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang akan dilakukan pemuda itu di pesta pernikahan Ketua Tiam-jong-pai nanti. Baginya, kelakuan dan sikap Liu Yang Kun selama itu betul-betul sulit diduga.

   "Ia masih sangat muda, tapi kesaktiannya sangat luar biasa, sehingga namanya ikut tercantum di dalam Buku Rahasia yang menghebohkan itu. Entah apa hubungannya dengan Si Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai itu sehingga dia hendak menemuinya." Demikianlah kedua sahabat itu lalu berpisah jalan. Toan Hoa dan anak buahnya pulang ke kota Sin-yang, sedangkan Liu Yang Kun meneruskan perjalanannya ke kota Cin-an. Toan Hoa dan anak buahnya melaju dengan kuda dan gerobak-gerobak mereka, sementara Liu Yang Kun melangkah ke tepian sungai untuk mencari tumpangan perahu nelayan.

   "Aku tidak memiliki uang sepeserpun. Lalu... bagaimana aku harus membujuk para nelayan itu agar mereka mau membawa aku ke kota Cin-an?" pemuda itu memutar otaknya,

   "Aoaah, aku akan mengatakan kepada mereka bahwa aku bersedia membantu apa saja asal mereka mau membawa aku ke kota Cin-an."

   An-lei memang hanya kota kecil, sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama Liu Yang Kun telah sampai di perkampungan nelayan. Sebuah perkampungan yang padat penghuninya. Jorok dan kotor. Sungguh berlawanan sekali dengan keadaan di dalam kota yang bersih dan rapi. Liu Yang Kun terpaksa mengernyitkan hidungnya, karena bau amis dan busuk menyengat jalan napasnya, sementara ribuan lalat tampak berterbangan di sekelilingnya. Dan pemuda itu segera menghela napas pula ketika terlihat olehnya beberapa orang anak kecil mengais-ngais sisa makanan di sebuah warung kecil. Wajah mereka tampak sangat menderita, dengan tubuh kurus dan baju yang sudah tak layak lagi untuk dipergunakan sebagai penutup tubuh mereka. Salah seorang diantaranya mereka tampak berlari mendekat ketika melihat Liu Yang Kun. Tangannya segera teracung untuk minta sedekah.

   "Berilah kami sekeping uang, tuan... sudah dua hari kami tak makan..." rintihnya memelas. Beberapa saat lamanya Liu Yang Kun tak bisa berkata-kata. Matanya memandang termangu-mangu kepada bocah cilik bernasib ma lang itu. Tapi apa dayanya kalau ia sendiri juga tidak punya uang sepeserpun?

   "Ah, maafkan aku, dik... Aku sendiri..." desahnya berat seraya merogoh kantung bekalnya yang ia tahu tidak ada apa-apanya itu. Tapi betapa kagetnya pemuda itu ketika jari-jarinya menyentuh sebuah kocek uang diantara lipatan baju kulit ularnya. Bahkan kocek uang itu tidak cuma sebuah, tapi dua buah malah. Dan setiap koceknya penuh dengan uang logam, sehingga terdengar gemerincing ketika tersentuh tangannya.

   "Hah...?" pemuda itu berseru kaget. Karena merasa penasaran maka Liu Yang Kun segera membuka buntalannya. Dan matanya segera terbelalak. Diantara lipatan baju kulit ularnya tampak dua buah kocek uang dan... surat yang diterimanya dari pelayan penginapan itu!

   "Oh, ini... ini...?" gumamnya bingung. Tentu saja anak kecil itu menjadi terheran-heran pula melihat tingkah laku Liu Yang Kun yang kebingungan itu.

   "Tu-tuan...?" ujarnya serak, namun sudah cukup untuk menyadarkan Liu Yang Kun.

   "Ah, ya... ya... nih, terimalah!" pemuda itu cepat menyahut serta mengambil dua keping uang tembaga untuk diberikan kepada anak kecil itu. Setelah itu Liu Yang Kun cepat-cepat pergi meninggalkan tempat itu. Sambil me langkah ia tak henti-hentinya berpikir tentang uang dan surat tersebut.

   "Hmm... tentu Toan Hoa yang menaruh uang itu di kantung bekalku. Siapa lagi kalau bukan dia? Dialah yang berada di kamarku sewaktu aku mandi pagi tadi," gumamnya.

   Memburu Iblis Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Lalu sambil menarik napas panjang ia meneruskan kata-katanya,

   "...Tapi dengan demikian aku bisa membayar perahu untuk mengantar aku ke Cin-an sekarang. Ah! Cuma... bagaimana dengan surat yang kuterima melalui pelayan rumah penginapan tadi? Ehmm... Kong-tee-bio... ketika bulan mulai muncul." Liu Yang Kun berhenti melangkah, lalu mendongak ke atas. Ia mencari Bukit Kapur itu.

   "Dimanakah bukit itu berada?" gumamnya lagi perlahan-lahan. Seorang lelaki kurus kering tampak melintas di samping Liu Yang Kun. Di atas punggungnya ertumpuk onggokan jala dan peralatan untuk mencari ikan yang lain. Begitu beratnya beban itu sehingga langkahnya terhuyung-huyung seperti orang mabuk. Kebetulan ketika melewati Liu Yang Kun, kaki orang itu terantuk batu.

   "Eeiit...!" orang itu menjerit. Tubuhnya terpelanting, sehingga barang bawaannya juga terlempar dari punggungnya. Hup! Otomatis Liu Yang Kun melompat menangkap barang-barang itu. Juga sekalian menyambar pula baju orang itu agar tidak terjatuh.

   "Hati-hati, paman... Beban ini sebenarnya terlalu berat bagimu. Hmm...marilah kutolong membawanya. Kemanakah paman hendak membawanya? Ke sungai?" tegurnya bersahabat. Lelaki itu mengangguk dengan napas terengah-engah. Wajahnya pucat, sementara rasa kagetnya juga kelihatan belum hilang dari hatinya.

   "Te-terima kasih, t-ttuan!" bisiknya dengan bibir gemetar. Sambil berjalan membawakan alat perlengkapan perahu itu, Liu Yang Kun mengajak lelaki kurus itu bercerita. Ternyata orang itu memang seorang nelayan. Seorang nelayan miskin yang menggantungkan kehidupannya hanya pada mata-pencahariannya mencari ikan. Maka sudah biasa bagi nelayan kurus itu untuk meninggalkan keluarganya selama berhari-hari di rumah, sementara dia sendiri menyusuri sungai itu sampai di kota Cin-an. Demikian pula yang hendak dilakukannya sekarang. Semua perlengkapan perahu itu akan dipasangnya di perahu kecilnya, karena malam nanti ia akan berangkat pula ke Cin-an.

   "Ke Cin-an...? Oh... sungguh kebetulan sekali! Akupun hendak mencari tumpangan perahu pula ke sana. Paman, bolehkah aku menumpang perahumu? Jangan khawatir, aku akan membayar ongkosnya...!" Liu Yang Kun hampir bersorak saking gembiranya.

   "Ah... tentu saja boleh. Tapi tuan tak perlu membayarnya. Aku sudah cukup uang untuk memberi bekal kepada keluargaku nanti," nelayan kurus itu cepat menolak pemberian Liu Yang Kun.

   "Tapi...?" Ketika Liu Yang Kun hendak memaksa agar nelayan itu mau menerima uangnya, tiba-tiba seorang anak lelaki berlari menubruk nelayan tersebut. Kemudian terdengar bocah itu menangis terisak-isak.

   "Ayah... huk... uang itu... huk... uang itu..." Nelayan kurus itu terkejut. Tangannya mencengkeram pundak bocah itu.

   "Cepat katakan! Ada apa dengan uang itu? Hilang?" hardiknya dengan suara cemas. Bocah kecil itu mengangkat wajahnya. Dipandangnya mata ayahnya dengan sinar mata yang terus mengalir di pipinya. Tampak benar kalau bocah itu sangat ketakutan.

   "Uang itu... uang itu di-di-di-rampas... oleh kawanan Si Bongkok!" anak itu melapor dengan terbata-bata.

   "Oooh... habis sudah semuanya! Gagal lagi rencanaku malam ini..." nelayan kurus itu tiba-tiba meratap. Badannya terhuyung-huyung dan tentu akan segera jatuh kalau tidak disambar oleh Liu Yang Kun. Pemuda itu cepat meletakkan barang bawaannya, kemudian menolong si nelayan kurus yang hendak pingsan itu. Penduduk yang melihat kejadian itu segera berdatangan pula. Mereka ikut menolong nelayan itu. Beberapa orang di antara mereka segera menanyakan sebab-sebabnya.

   "Uang tabungan ayahku telah dirampas oleh kawanan Si Bongkok. Padahal ayah telah mengumpulkannya selama sebulan ini." anak kecil itu bercerita.

   "Siapakah Si Bongkok itu?" Liu Yang Kun ikut bertanya pula. Namun tiba-tiba kata-katanya terhenti. Dengan mata terbeliak kaget ia berseru,

   "Hei... kau? Bukankah kau anak yang kuberi uang tembaga tadi?" Anak kecil itu menjadi kaget pula. la juga tidak menyangka bahwa orang yang bersama ayahnya itu adalah orang yang telah memberinya uang tadi.

   "Si Bongkok adalah pemimpin kawanan perusuh yang sering berkeliaran di kota An-lei ini. Bahkan gerombolannya itu sering mengganggu para penduduk di sekitar kota ini pula. Dan pagi ini tampaknya Si Bongkok benar-benar amat parah. Sejak terang tanah tadi telah kudengar ia menyebar keonaran dimana-mana. Mungkin ia mau membalas dendam." salah seorang dari orang-orang yang berkumpul di tempat itu memberi jawaban.

   "Balas dendam...?" Liu Yang Kun menegaskan.

   "Ya! Tadi malam belasan orang kawan mereka telah dibunuh mati oleh seorang kakek tua beserta cucu perempuannya." orang itu menjawab pula.

   "Mengapa para petugas keamanan tidak mau memberantas si Bongkok dan gerombolannya itu?"

   "Petugas keamanan? Ah... jumlah mereka tidak cukup banyak untuk melawan gerombolan itu. Para petugas keamanan cenderung untuk membiarkan saja tingkah laku kawan perusuh itu, asalkan para perusuh itu tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang sangat keterlaluan, seperti membunuh, merampok dan mengganggu anak bini orang."

   "Kalau mereka itu ternyata membunuh orang juga? Apa yang akan dilakukan oleh para petugas keamanan itu?"

   "Pejabat keamanan di kota ini akan meminta bala bantuan dari kota Cin-an. Tapi hal yang demikian itu jarang sekali terjadi, karena si Bongkok itu sedikit-sedikit juga punya otak pula. Dia tak mau menjadi buronan selama berbulan-bulan hanya karena salah tangan membunuh orang."

   Demikianlah, beberapa waktu kemudian si nelayan kurus itu telah pulih kembali kesehatannya. Dia tidak jadi membawa barang-barangnya ke sungai, sebaliknya dia minta diantar kembali ke rumahnya. Liu Yang Kun yang sudah terlanjur membawakan barang-barangnya itu terpaksa ikut pula mengantarkannya. Rumah si nelayan kurus itu sungguh mengenaskan sekali.Gubug reyot itu lebih tepat disebut kandang kelinci dari pada rumah tempat tinggal untuk manusia. Sedangkan isteri si nelayan kurus tampak lebih tua dari pada usia sebenarnya. Kurus dan menderita. Sementara anaknya yang berjumlah lima orang itu juga kelihatan pucat dan kekurangan pula. Isteri si nelayan kurus itu sangat terkejut melihat kedatangan suaminya. Tapi para tetangganya segera memberi tahu apa yang telah terjadi pada suaminya.

   "Oooooooh...!" wanita itu berdesah sedih. Otomatis lengannya memeluk anak-anaknya. Tampak benar kalau hatinya sangat terpukul oleh berita itu. Dipandangnya anak-anaknya yang terbesar, yang telah menghilangkan uang tabungan keluarganya itu dengan mata berkaca-kaca. Setelah memberikan kata-kata hiburan mereka satu persatu orang-orang yang mengantarkan si nelayan kurus itu meninggalkan gubug reyot tersebut. Mereka itu sama miskinnya dengan si nelayan kurus, sehingga mereka juga hanya bisa menghibur saja.

   "Paman...? Apakah kau tidak jadi berangkat malam nanti?" setelah semuanya pergi Liu Yang Kun mendekat dan bertanya kepada si nelayan kurus. Dengan wajah sedih dan putus asa nelayan kurus itu menggelengkan kepalanya. Matanya tampak berlinang-linang ketika memandang isteri dan anak-anaknya.

   "Maaf, Tuan... Bagaimana aku bisa pergi kalau uang itu sudah hilang? Apa yang hendak dimakan keluargaku kalau aku pergi selama berhari-hari nanti? Aku harus mengumpulkan uang dulu bila hendak meninggalkan mereka." Liu Yang Kun menghela napas panjang. Hatinya terharu melihat penderitaan keluarga miskin itu.

   "Sungguh tak kusangka masih demikian banyak orang yang menderita di negeri ini. Hmmm... tampaknya masih banyak pula yang harus dikerjakan oleh Hongsiang untuk memperbaiki nasib rakyat." pemuda itu berkata di dalam hati.

   "Lebih baik tuan mencari tumpangan perahu yang lain saja..." terdengar si nelayan kurus itu memberi saran kepadanya.

   "Tidak, paman. Kalau cuma uang yang menjadi masalahmu, aku dapat menggantinya. Kita akan tetap berangkat malam ini. Eh, berapa uang yang hilang itu, dik?" Liu Yang Kun tersenyum, lalu berpaling kepada bocah yang telah menghilangkan uang itu dan bertanya ramah.

   "S-satu tail, Tuan..." anak kecil itu menjawab agak takut.

   "Heh? Cuma setail...?" Liu Yang Kun berseru kaget.

   "Be-benar..." Si nelayan kurus dan anaknya menjawab berbareng. Liu Yang Kun betul-betul tidak habis mengerti. Satu tail untuk menghidupi enam jiwa manusia selama lebih dari sepekan? Bagaimana mungkin itu? Lalu apa yang harus mereka makan dengan uang sekecil itu? Masakan mereka harus makan rumput seperti binatang piaraan mereka? Tetapi dengan demikian Liu Yang Kun semakin merasa kasihan terhadap keluarga itu. Diambilnya sebuah dari kantong uang pemberian Toan Hoa itu. Di dalamnya ada puluhan keping uang perak dan tembaga, yang jumlahnya tentu lebih dari se ratus tail.

   "Paman, uang ini kuberikan kepadamu. Pergunakanlah dia untuk memperbaiki nasib keluargamu." Liu Yang Kun berkata seraya menyerahkan kantung uang tersebut. Si nelayan kurus dan isterinya terbelalak. Apalagi ketika mereka menerima kantung uang itu dan membukanya. Mereka justru menjadi gemetar karena kaget. Mereka mengawasi tumpukan uang perak dan tembaga itu seakan-akan tak percaya.

   "T-t-t... tuan? Eh-oh... eh-oh... ini... ini... Uang ini... uang ini tuan berikan kepada kami semua?"

   "Ya! Apakah belum cukup?" Tiba-tiba si nelayan kurus dan isterinya menjatuhkan diri berlutut di depan Liu Yang Kun.

   "Ah... ini... ini justru terlalu banyak buat kami. Kami belum pernah melihat uang sebanyak ini dalam hidup kami." suami-isteri itu menyahut dengan suara gemetar.

   "Nah... kalau begitu terimalah! Dan jangan lupa, nanti malam kita jadi berangkat ke Cin-an. Tapi sebelum berangkat aku ingin kau mengantar aku ke suatu tempat..."

   "Terima kasih, tuan... Terima kasih. Tapi kemana tuan hendak pergi?" Si nelayan kurus bertanya dengan wajah cerah. Tampak benar kalau hatinya menjadi sangat bergembira. Liu Yang Kun menatap wajah isteri nelayan kurus itu untuk beberapa saat lamanya. Kemudian katanya perlahan, namun sangat jelas.

   "Aku hendak pergi ke bekas reruntuhan kuil Kong-tee-bio. Kau tahu tempat itu?" Tak terduga wajah si nelayan kurus itu tiba-tiba menjadi pucat kembali.

   "Ja-jangan... tuan! Tuan jangan ke sana! Temannya banyak sekali, tuan akan dikeroyok nanti." katanya ketakutan. Kini ganti Liu Yang Kun yang terperanjat.

   "Eh... apa maksudmu? Siapakah yang temannya banyak sekali itu?" serunya tak mengerti. Si nelayan kurus melongo.

   "Si Bongkok...! Bukankah tuan hendak bertemu dengan Si Bongkok itu?" serunya pula.

   "Si Bongkok? Apakah Si Bongkok itu tinggal di Kuil Kong-tee-bio?" Si nelayan kurus itu cepat mengangguk.

   "Benar, tuan. Dia dan anak buahnya memang tinggal di sana," jawabnya semakin heran. Liu Yang Kun mengerutkan dahinya. Dia yang semula tidak ingin campur tangan di dalam urusan Si Bongkok itu justru menjadi heran mendengar keterangan si nelayan kurus itu. Ada hubungan apa antara Si Bongkok dengan orang yang mengundangnya itu? Apakah orang yang menamakan dirinya 'teman lama' itu Si Bongkok pula? Tapi siapakah Si Bongkok itu? Rasa-rasanya ia tidak mempunyai kenalan atau teman yang bertubuh bongkok atau bernama Si Bongkok selama ini. Tapi dengan demikian urusan tersebut justru semakin menambah perasaan ingin tahunya malah. Hal yang sangat kebetulan itu sungguh amat menggelitik hatinya. Ia ingin segera melihat, siapa sebenarnya Si Bongkok atau orang yang menyebut dirinya 'teman lama' itu?

   "Bagaimana, paman? Kau sanggup mengantarkan aku ke sana, bukan? Jangan takut, karena aku takkan mengajakmu memasuki kuil itu! Kau boleh kembali setelah menunjukkan tempat itu kepadaku. Aku sendiri yang akan pergi ke sana." akhirnya ia berkata. Demikianlah setelah seharian penuh membantu si nelayan kurus mempersiapkan perahunya, maka sore harinya Liu Yang Kun lalu berangkat ke kuil Kong-tee-bio. Di sepanjang jalan si nelayan kurus selalu mencoba membujuk dia agar ia mau mengurungkan niatnya untuk menjumpai Si Bongkok.

   "Sudahlah, paman... engkau tak perlu mencemaskan aku. Aku akan berusaha menjaga diri sebaik-baiknya. Dan boleh kau ketahui pula, bahwa kedatanganku ke sana bukan untuk berurusan dengan Si Bongkok, melainkan dengan seorang teman. Teman lamaku sendiri." Liu Yang Kun menenangkan hati kawannya.

   "Teman lama...? Oooh... tuan mempunyai teman diantara kawanan perusuh itu...?"

   Liu Yang Kun tersenyum dan tidak menjawab pertanyaan itu. Pemuda itu justru me lihat ke arah langit sebelah timur, dimana bulan purnama nanti akan muncul. Terdengar suara napasnya yang panjang ketika pemuda itu menyadari bahwa hari masih terlalu siang. Matahari bahkan belum seluruhnya tenggelam, sinarnya yang kemerahan masih tampak menyala di sebelah barat. Mereka berdua terus saja melangkah ke arah timur menjauhi kota An-lei. Mereka menerobos perkampungan-perkampungan penduduk yang padat di luar kota itu. Dan beberapa waktu kemudian mereka telah melewati dusun yang terakhir, untuk kemudian mereka mulai melangkah di atas tanah persawahan yang diselang-seling dengan padang rumput dan pegunungan. Dan haripun telah menjadi gelap ketika mereka memasuki tanah-tanah yang berbukit. Tiba-tiba si nelayan kurus berhenti.

   "Kenapa, paman? Kita telah sampai di tempat itu?" Liu Yang Kun bertanya. Si nelayan kurus mengangguk.

   "Y-y-a...! Itu di... di lereng Bukit Kapur! Tuan lihat bangunan kuil yang sudah rusak itu? Itulah bekas Kuil Kong-tee-bio!" bisiknya serak seraya menunjuk ke arah kejauhan, dimana terlihat tanah berbukit-bukit berwarna keputihan. Liu Yang Kun memandang ke tempat yang ditunjuk si nelayan kurus. Dengan ketajaman matanya pemuda itu bisa melihat sebuah bangunan kuil yang besar dan luas, namun sudah separuhnya yang rusak. Bangunan itu dapat dilihat dengan jelas karena terletak di tempat yang tinggi, sementara di sekitarnya hanya ada batu-batu kapur yang berserakan. Tempatnya sangat lapang dan sama sekali tiada pepohonan, sehingga bangunan itu tampak seperti sebuah puri yang angker dan menakutkan. Sekali lagi Liu Yang Kun memandang ke langit. Dilihatnya sinar rembulan mulai mengintip di balik bukit.

   "Waktunya sudah akan tiba. Aku datang tepat pada waktunya," pemuda itu berkata di dalam hatinya.

   "Tuan...? Apa... apakah tuan tetap akan pergi ke sana?" si nelayan kurus bertanya pula. Suaranya mulai gemetar, suatu tanda bahwa rasa gentar juga sudah mulai merayap pula di hatinya. Liu Yang Kun tersenyum,

   "Tentu saja. Paman boleh pulang sekarang. Nantikanlah aku di atas perahu paman! Setelah urusanku di kuil itu selesai, aku akan cepat-cepat kembali. Kita terus berangkat ke kota Cin-an."

   "Baiklah, tuan... aku akan kembali. Tapi kumohon tuan mau berhati-hati. Saya tidak ingin menunggu tuan dengan sia-sia di atas perahuku." Liu Yang Kun mengangguk dengan perasaan berterima kasih atas perhatian si nelayan kurus kepadanya. Setelah itu dia me langkah menaiki tanah berbukit kapur itu dengan waspada. Siapa tahu orang yang mengundangnya itu telah berada di sekitar tempat tersebut dan sekarang sedang mengawasi dirinya? Suasana di tempat itu benar-benar sangat lengang, sunyi dan gelap. Jalan pun juga tidak rata, sehingga Liu Yang Kun harus sering berloncatan dari batu ke batu untuk mendekati bangunan kuil itu.

   "Tampaknya dulu juga dibangun jalan menuju ke kuil itu. Tapi jalan itu sudah rusak sekarang. Bahkan di beberapa tempat tadi telah berubah menjadi jurang, tempat air hujan mengalir dari atas bukit." Kira-kira empat puluh tombak dari bangunan kuil itu Liu Yang Kun berhenti. Bangunan itu benar-benar besar dan luas. Tetapi temboknya sudah banyak yang roboh, terutama tembok halamannya sehingga bangunan pendapanya yang megah itu tampak jelas dari tempatnya berdiri.

   "Kata nelayan tadi Si Bongkok dan anak buahnya tinggal di sana. Tapi mengapa aku tidak melihat bayangan seorang manusiapun di tempat itu? Mengapa mereka juga tidak memasang lampu penerangan barang sebuahpun? Apakah mereka benar-benar telah menunggu kedatanganku di sana? Hmmm... aku harus berhati-hati. Aku mencium sesuatu yang kurang beres di tempat ini." Tiba-tiba Liu Yang Kun teringat pada 'kemampuan anehnya" yang selama ini jarang sekali ia pergunakan. Yaitu kemampuan yang setarap dengan ilmu Lin-cui-sui-hoat (ilmu tidur di atas permukaan air) milik Toat-beng-jin, seorang tokoh Aliran Im-Yang-kauw.

   Kemampuan yang ia maksudkan itu adalah kemampuan untuk 'melihat' sesuatu yang belum tampak oleh matanya, yaitu dengan mempergunakan ketajaman hati, perasaan, pendengaran dan penciumannya. Sebuah ilmu tingkat tinggi yang hanya dapat dipelajari oleh seorang pertapa yang telah benar-benar mengesampingkan urusan duniawinya. Liu Yang Kun lalu menyilangkan kedua tangannya di dadanya. Matanya terpejam. Pikiran dan perasaannya terpusat menjadi satu. Perlahan-lahan ia mengerahkan kemampuan dan kekuatan batinnya untuk 'melihat' sesuatu yang mencurigakan di sekitarnya. Mula-mula semuanya tampuk gelap gulita. Tapi sejalan dengan terkumpulnya kekuatan yang ia miliki, bayangan yang tercipta di dalam batinnya pun juga semakin terang pula. Sedikit demi sedikit ia memperoleh gambaran tentang bangunan kuil yang telah mulai rusak itu.

   "Oooooh...!" pemuda itu tiba-tiba berdesah. Tidak tampak sesosok bayangan manusiapun di dalam reruntuhan kuil itu. Semua ruangannya kosong melompong. Hanya ada bekas-bekasnya saja bahwa tempat itu sering dipakai orang. Belasan tempat tidur darurat seperti tikar, tumpukan jerami dan papan kayu tampak berserakan di segala tempat. Sementara beraneka macam bentuk senjata juga tampak bergantungan pula di atas dinding-dindingnya.

   "Mengapa tak seorangpun yang bersiap untuk menyambutku di kuil itu? Dimanakah orang yang mengundang aku itu? Dan kemana pula orang-orang Si Bongkok yang katanya bertempat tinggal di reruntuhan kuil itu? Heran...!" Mendadak Liu Yang Kun terkejut. Ketika ia memusatkan seluruh pikiran dan perasaannya ke bagian belakang kuil itu, ia 'melihat" belasan orang lelaki tertumpuk di dalam gudang bekas tempat menyimpan kayu bakar. Semuanya dalam keadaan lemas dan tak berdaya. Malah beberapa orang di antaranya tampak terluka.

   "Ooooh!" Liu Yang Kun lalu menghentikan pemusatan ilmunya. Bergegas ia melangkah menuju ke kuil itu. la menjadi penasaran dan ingin segera membuktikan apa yang tampak di dalam pemusatan ilmunya tadi. Benar juga. Tak seorangpun tampak di dalam kuil itu. Pemuda itu hanya menemukan secarik kertas di atas meja reyot yang berada di tengah-tengah pendapa tersebut. Di atas kertas itu tertulis beberapa huruf, yang berbunyi:

   Maaf, saudara Chin, aku terpaksa mengingkari janji. Sesuatu yang sangat gawat telah terjadi di dunia persilatan kita. Aku sedang berusaha untuk menyelidikinya. Kau pergilah ke kota Cin-an. Mungkin kita bisa bersua di sana. Sekali lagi aku minta maaf.

   Teman lama.

   "Sesuatu yang gawat...? Apakah itu?" Liu Yang Kun bergumam. Karena tak bisa menduga apa yang dimaksudkan oleh orang misterius itu, maka Liu Yang Kun lalu melangkah ke halaman belakang. Ia langsung menuju ke bekas gudang penyimpanan kayu itu.

   "Ohhhhh...! " pemuda itu tertegun. Benar juga apa yang tersirat di dalam ilmunya tadi. Gudang yang sudah rusak itu penuh dengan tubuh manusia yang saling bertumpang tindih. Semuanya di dalam keadaan lemas tak berdaya. Dan salah seorang diantaranya, yang berada di dekat pintu, adalah seorang lelaki separuh baya. Tubuhnya agak gemuk, kakinya pendek-pendek dan punggungnya bongkok.

   "Si Bongkok dan anak buahnya..." Liu Yang Kun berdesah kaget. Kemudian dengusnya pula,

   "Siapakah yang telah menghajar kawanan penjahat ini? Apakah orang yang mengaku sebagai teman lamaku itu pula?" Beberapa saat lamanya Liu Yang Kun tertegun di tempatnya. Ia tak tahu, apa yang harus ia kerjakan terhadap kawanan penjahat tersebut. Apakah ia harus menolong mereka atau membiarkan saja mereka itu di sana?

   "Hmm, baiklah... Aku akan membebaskan Si Bongkok itu. Siapa tahu dia bisa memberi keterangan kepadaku, siapa sebenarnya 'teman lamaku' itu?" akhirnya pemuda itu memutuskan. Liu Yang Kun lalu berjongkok di dekat Si Bongkok. Jari-jarinya yang penuh tenaga itu menotok beberapa titik jalan darah di tubuh pimpinan penjahat tersebut. Setelah itu tangannya dengan cepat mengurut pula di beberapa bagian tubuh yang lain.

   "Uh!" Si Bongkok mengeluh, kemudian bergerak. Jalan darahnya telah kembali normal seperti sediakala.

   "Bangkitlah!" Liu Yang Kun berdesah. Pimpinan penjahat yang sering mengganggu penduduk kota An-lei itu lalu menggeliatkan badannya, kemudian berdiri. Wajahnya yang pucat itu menengadah, matanya tampak gelisah ketika memandang Liu Yang Kun. Memang di dalam pantulan cahaya bulan yang terang benderang itu perbawa Liu Yang Kun tampak angker dan berwibawa.

   "Terima kasih, Taihiap," desisnya gemetar, lalu menundukkan kepalanya seperti orang yang telah mengakui segala kesalahannya. Liu Yang Kun menarik napas panjang. Matanya meredup.

   "Kau Si Bongkok yang sering mengganggu penduduk di sekitar tempat ini, bukan? Dengarlah...! Sebenarnya aku tak peduli apa yang telah terjadi padamu dan pada kawan-kawanmu ini. Tetapi aku sependapat dengan orang yang telah menghukum kalian seperti ini. Orang itu tidak membunuh kalian, tapi hanya memberi peringatan agar kalian tidak melakukan tindakan-tindakan yang tercela lagi. Dan orang itu cuma akan membunuh bila di kelak kemudian hari ia mendengar engkau dan kawan-kawanmu melakukan kejahatan kembali." Liu Yang Kun menghentikan kata-katanya sebentar. Kemudian sambil membalikkan badannya pemuda itu mengerahkan tenaga dalamnya. Tiba-tiba dengan telapak tangan terbuka ia mendorong ke arah dinding halaman yang jaraknya ada lima tombak dari tempatnya berdiri itu.

   "Whuuuuuuuus...!"

   "Brrooooooool!" Tembok itu terguncang dan berderak runtuh oleh angin pukulan itu. Si Bongkok ternganga. Dan otomatis hatinya semakin menjadi ciut. Apa yang dilakukan oleh Liu Yang Kun itu memang sebuah pameran kekuatan yang tiada tara. Hanya orang-orang yang memiliki tenaga dalam sempurna saja yang bisa berbuat seperti itu.

   "Lihatlah! Akupun dapat berbuat seperti itu pula kepadamu apabila pada suatu saat menjumpai engkau berbuat kejahatan lagi," pemuda itu mengancam. Si Bongkok cepat-cepat menjatuhkan dirinya di depan Liu Yang Kun. Dengan suara ketakutan ia berjanji untuk tidak mengulangi semua perbuatan jahatnya lagi. Ia berjanji akan membubarkan kawan-kawannya dan kembali hidup baik-baik di tempat asalnya.

   "Baiklah untuk sementara aku percaya kepadamu. Tapi semuanya itu masih harus dibuktikan dulu. Sekarang aku hendak bertanya tentang hal lain. Ehm... apakah kau mengenal orang yang telah menangkap kau dan kawan-kawanmu itu?" Si Bongkok menengadah. Mula-mula matanya memancarkan sinar bingung dan tak mengerti. Namun sesaat kemudian kepalanya lalu menggeleng lemah.

   "Maaf, Taihiap... aku be-belum mengenalnya. Aku dan kawan-kawanku juga baru melihatnya siang tadi. Dia..., dia masih muda, bertubuh tinggi dan berpakaian seperti sastrawan..." jawabnya gemetar. Tampak benar kalau penjahat itu sangat ketakutan ketika bercerita tentang sastrawan yang menghukumnya siang tadi, sehingga Liu Yang Kun memperoleh kesimpulan bahwa 'teman lamanya" itu tentulah seorang yang sangat hebat dan mengerikan pula kepandaiannya. Apalagi menyaksikan sikap Si Bongkok yang selalu tampak cemas dan gelisah begitu selesai memberikan jawabannya. Beberapa kali orang itu menoleh ke kanan dan ke kiri, melirik ke arah kegelapan malam di sekitarnya, seakan-akan dia merasa takut kalau-kalau lawannya itu akan datang kembali. Liu Yang Kun tersenyum.

   "Hmm...apa sebenarnya yang telah ia lakukan kepadamu?" katanya kepada penjahat itu.

   "Jangan takut...!" tambahnya pula ketika dilihatnya orang itu semakin menjadi ketakutan.

   "Orang itu... orang itu... eh, kelihatannya seperti bukan manusia. Dia... dia bisa menghilang seperti hantu. Tahu-tahu... kami semua roboh di atas lantai pendapa!" ucap Si Bongkok kemudian dengan suara gugup.

   "Hmmmh!" Liu Yang Kun mendengus penasaran karena ia semakin tak bisa menerka, siapa sebenarnya orang yang mengaku sebagai teman lamanya itu.

   

Pendekar Penyebar Maut Eps 20 Pendekar Penyebar Maut Eps 27 Pendekar Penyebar Maut Eps 16

Cari Blog Ini